Content uploaded by Yovan Hendriek
Author content
All content in this area was uploaded by Yovan Hendriek on Sep 25, 2020
Content may be subject to copyright.
1
Cara Mengatasi Dismenore Primer Pada Remaja
Tanpa Menggunakan Obat
Yovan Hendriek – Kota Pontianak
Pendahuluan
Pada saat menstruasi masalah yang dialami banyak wanita adalah rasa tidak nyaman atau rasa
nyeri yang hebat. Hal ini biasa disebut dismenore. Dismenore merupakan masalah
ginekologis yang paling umum dialami wanita baik wanita dewasa maupun wanita usia
remaja (Sukini et al, 2017).
Dismenore (dysmenorrhoea) dalam bahasa Indonesia adalah nyeri menstruasi, nyeri perut
yang berasal dari kram rahim dan terjadi selama menstruasi. Dismenore dapat memiliki gejala
yang kompleks berupa kram perut bagian bawah yang menjalar ke punggung atau kaki.
Dismenore sering disertai sakit kepala, sering berkemih, dan juga dapat disertai rasa mual,
muntah, dan diare. Beberapa wanita bahkan pingsan. Keadaan ini muncul cukup hebat
sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, memaksa penderita untuk beristirahat dan
meninggalkan pekerjaan atau cara hidup sehari-hari untuk beberapa jam atau beberapa hari
(Nuraini, 2017 ; Beddu et al, 2015).
Angka Kejadian Dismenore
Wanita pernah mengalami nyeri haid sebanyak 90%. Masalah ini setidaknya mengganggu
50% wanita masa reproduksi dan 60-85% pada usia remaja (Oktobriariani, 2015).
Angka kejadian dismenore di dunia cukup tinggi, yaitu 43-93% wanita mengalami dismenore,
rata-rata lebih dari 50% perempuan di setiap negara mengalaminya dan 5-10% dari mereka
mengalami dismenore yang sangat berat sehingga meninggalkan kegiatan mereka 1-3 hari
dalam sebulan. (Novia & Puspitasari, 2008 ; Sukini et al, 2017).
2
Di Indonesia angka perempuan usia produktif yang menderita dismenore selama menstruasi
diperkirakan 55%. Namun yang berobat ke pelayanan kesehatan sangatlah sedikit yaitu hanya
1 – 2% (Nurrianingsih dan Nurhidayati, 2015).
Data di Indonesia menunjukkan dismenore yang banyak terjadi adalah dismenore primer.
Prevalensi dismenore di Indonesia sebesar 64,25% yang terdiri dari 54,89% dismenore
primer dan 9,36% dismenore sekunder. Dismenore primer adalah nyeri haid yang tidak
diketahui secara jelas penyebabnya (Trisnawati, 2012). Dismenore primer sering terjadi,
kemungkinan lebih dari 50% wanita mengalaminya dan 15% diantaranya mengalami nyeri
yang hebat. Lokasi geografis bukanlah penentu utama karena gejala dismenore primer dapat
ditemui di seluruh daerah di Indonesia bahkan dunia (Novia & Puspitasari, 2008 ;
Oktobriariani, 2015 ; Novita Sari et al, 2015).
Dismenore primer dialami oleh 60-75% wanita muda, dengan tiga perempat dari jumlah
wanita tersebut mengalami nyeri ringan sampai sedang dan seperempat lagi mengalami nyeri
berat (Oktobriariani, 2015 ; Novita Sari et al, 2015).
Prevalensi dismenore pada remaja putri di Indonesia dilaporkan sekitar 92%. Insiden ini
menurun seiring dengan bertambahnya usia dan meningkatnya kelahiran (Beddu et al, 2015).
Patofisiologi dan Gejala Dismenore
Penyebab dismenore adalah kelebihan produksi prostaglandin (PG) di endometrium selama
siklus ovulasi. Wanita dengan dismenore memiliki kadar prostaglandin lebih tinggi dalam
plasma dibandingkan wanita tanpa dismenore (Sukini et al, 2017).
Rasa sakit yang dirasakan beberapa hari sebelum menstruasi dan saat menstruasi biasanya
karena meningkatnya sekresi hormon prostaglandin (Beddu, 2015).
Peningkatan produksi prostaglandin akan mengakibatkan kontraksi uterus dan vasokonstriksi
pembuluh darah, maka aliran darah yang menuju ke uterus menurun sehingga tidak mendapat
3
suplai oksigen yang adekuat. Hal ini menyebabkan nyeri dan dapat mengganggu aktivitas
(Sukini et al, 2017 ; Rahmawati, 2015).
Molekul yang berperan pada dismenore adalah prostaglandin F2α, yang selalu menstimulasi
kontraksi uterus, sedangkan prostaglandin E menghambat kontraksi uterus. Terdapat
peningkatan kadar prostaglandin di endometrium saat perubahan dari fase proliferasi ke fase
sekresi. Pada perempuan dengan dismenore primer didapatkan kadar prostaglandin lebih
tinggi dibandingkan perempuan tanpa dismenore. Peningkatan kadar prostaglandin tertinggi
saat haid terjadi pada 48 jam pertama. Hal ini sejalan dengan awal muncul dan besarnya
intensitas keluhan nyeri haid. Keluhan mual, muntah, nyeri kepala, atau diare sering
menyertai dismenore yang diduga karena masuknya prostaglandin ke sirkulasi sistemik
(Anwar et al, 2011).
Menurut Widjanarko (2006) gejala yang dirasakan adalah nyeri panggul atau perut bagian
bawah (umumnya berlangsung 8–72 jam), yang menjalar ke punggung dan sepanjang paha,
terjadi sebelum dan selama menstruasi (Novia & Puspitasari, 2008). Gejala-gejala yang
ditimbulkan dismenore antara lain nyeri pada perut, pusing, nyeri pinggang, mual, nyeri
punggung dan bahkan dapat menyebabkan pingsan (Rahmawati, 2015).
Gejala sensasi yang berbeda seperti nyeri atau tidak nyaman pada payudara juga
dapat dijumpai pada saat mengalami dismenore (Kiesner, 2009). Gangguan dari sisi
psikologis berupa gangguan mood dapat dijumpai pada remaja dengan dismenore (Kiran et
al., 2012) dalam (Sanjiwani, 2017).
Dismenore dapat menyebabkan tidak nafsu makan, gangguan tidur, tidak berdaya, bahkan
depresi (Harel, 2006). Dismenore dapat mengurangi kualitas hidup perempuan (Sanjiwani,
2017).
Dampak yang ditimbulkan oleh dismenore misalnya mual, bad mood, dan stres, serta dapat
menurunkan kualitas hidup dan produktivitas wanita dalam bekerja (Rahmawati, 2015).
4
Dismenore Primer Pada Remaja
Dismenore dapat dibagi menjadi dua kelompok, dismenore primer dan dismenore sekunder
(Anwar, et al, 2011). Dismenore yang sering terjadi adalah dismenore primer atau nyeri haid
yang terjadi tanpa adanya kelainan pada alat reproduksi (Beddu et al, 2015).
Masa remaja merupakan usia produktif dimana 55% menderita dismenore saat menstruasi.
Dismenore primer adalah penyakit yang paling sering dilaporkan oleh remaja dan dewasa
muda. Kejadian dismenore meningkat dengan umur (13,6% pada umur 12 tahun, 39,5% pada
umur 13 tahun, 50,3% pada umur 14 tahun dan 55% pada umur 15 tahun) (Sukini et al,
2017 ; Nurrianingsih dan Nurhidayati, 2015).
Dismenore primer umumnya terjadi pada usia 15–30 tahun dan sering terjadi pada usia 15–
25 tahun yang kemudian hilang pada usia akhir 20-an atau awal 30-an (Novia & Puspitasari,
2008).
Dismenore primer merupakan permasalahan di bidang ginekologi yang banyak menyerang
remaja putri. Dampak dari dismenore dapat mengganggu aktivitas remaja dan menyebabkan
ketidakhadiran siswi di sekolah (Beddu et al, 2015). Dismenore pada siswi dapat
mengakibatkan terganggunya aktivitas sekolah dan menurunnya konsentrasi belajar
(Nurrianingsih dan Nurhidayati, 2015).
Nyeri saat menstruasi umumnya terjadi pada remaja putri usia 15 sampai 25 tahun. Rasa nyeri
mulai dirasakan 24 jam saat menstruasi dan bisa bertahan 49 – 72 jam. Namun, ada juga
wanita yang mengalami nyeri mulai dari awal hingga hari terakhir menstruasi, yaitu sekitar 5
sampai 6 hari (Oktobriariani, 2015).
Dismenore primer adalah nyeri haid tanpa ditemukan keadaan patologi pada panggul.
Dismenore primer berhubungan dengan siklus ovulasi, disebabkan oleh kontraksi
5
miometrium sehingga terjadi iskemia oleh karena produksi prostaglandin endometrium fase
sekresi (Anwar, et al, 2011).
Dismenore primer sering terjadi pada usia muda/remaja dengan keluhan nyeri seperti kram
dan lokasinya di tengah bawah rahim. Keluhan mual, muntah, diare, nyeri kepala, sering
terjadi pada dismenore primer. Namun pada pemeriksaan ginekologi tidak ditemukan
kelainan. Biasanya nyeri muncul sebelum keluarnya haid dan meningkat pada hari pertama
dan kedua (Anwar, et al, 2011).
Pada penelitian (Novia & Puspitasari, 2008), kejadian dismenore primer pada responden
sebanyak 71,0% dan 29,0% tidak mengalami dismenore primer. Sebagian besar responden
mengalami dismenore primer karena sebagian besar responden berusia 15–25 tahun, dimana
pada usia tersebut seorang wanita berisiko untuk menderita dismenore primer. Pada usia ini
terjadi optimalisasi fungsi saraf rahim sehingga sekresi prostaglandin meningkat, dan
timbullah dismenore primer.
Penanganan Dismenore Primer Tanpa Menggunakan Obat
Penanganan dismenore terbagi dalam dua kategori yaitu pendekatan farmakologis dan non
farmakologis (Nurrianingsih et al, 2015).
Penanganan non farmakologi diberikan tanpa penggunaan bahan kimia yang diupayakan
dapat membantu mengurangi keluhan selama haid. Teknik yang digunakan misalnya usapan
lembut pada perut (effleurage massage), TENS, akupresur, akupuntur, aromaterapi, olah raga,
perbaikan nutrisi dan lain-lain (Sanjiwani, 2017).
Beberapa perilaku pemeliharaan kesehatan dalam mengatasi keluhan dismenore secara
nonfarmakologis berdasarkan penelitian (Novita Sari et al, 2015):
1. melakukan senam/ olahraga teratur (11,1%)
2. melakukan kompres hangat di perut bagian bawah (16,7%)
6
3. melakukan teknik akupunktur (1,4%)
4. minum jamu/ minuman herbal kunyit (52,8%)
5. melakukan teknik relaksasi nafas dalam (20,8%)
Berikut ini akan dibahas berbagai cara mengatasi dismenore tanpa menggunakan obat yang
didapatkan dari berbagai sumber :
A. Teknik Relaksasi
Salah satu penanganan dismenore secara non farmakologi adalah dengan teknik relaksasi.
Teknik relaksasi terbukti berpengaruh dalam menurunkan derajat dismenore (Nurrianingsih
et al, 2015).
Relaksasi merupakan teknik pengendoran atau pelepasan ketegangan. Teknik relaksasi
yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama (teknik
relaksasi nafas dalam). Contoh: bernafas dalam-dalam dan pelan. Teknik relaksasi melalui
olah nafas merupakan salah satu keadaan yang mampu merangsang tubuh untuk
membentuk sistem penekan nyeri yang akhirnya menyebabkan penurunan nyeri. Di samping
itu juga bermanfaat untuk pengobatan penyakit dari dalam tubuh, meningkatkan
kemampuan fisik dan keseimbangan tubuh dan pikiran. Olah nafas dianggap membuat
tubuh menjadi rileks sehingga berdampak pada keseimbangan tubuh dan pengontrolan
tekanan darah. Pada kondisi rileks tubuh akan menghentikan produksi hormon adrenalin
dan semua hormon yang diperlukan saat stres (Nurrianingsih et al, 2015).
Teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri dengan cara
merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme akibat peningkatan prostaglandin,
sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah ke daerah
yang mengalami spasme dan iskemik (Novita Sari et al, 2015).
7
Hal penting yang menjadikan tindakan relaksasi bermakna secara signifikan terhadap skala
nyeri yaitu posisi yang tepat, pikiran yang tenang, dan lingkungan yang tenang
(Nurrianingsih et al, 2015).
B. Terapi Pijat
Terapi pemijatan merupakan metode yang popular untuk relaksasi dengan
memberikan manipulasi pada bagian tubuh menggunakan sentuhan ataupun
pemberian penekanan secara lembut menggunakan jari tangan, lengan bawah, atau
siku, bahkan dengan kaki (Sherman et al., 2010). Mekanisme pijat dapat
mengatasi nyeri menganut paham teori gate control. Kerja mielinisasi serabut
saraf penghantar nyeri menuju otak berkurang sehingga nyeri dihantarkan lebih
lama bahkan terhambat, dan stimulus pijatan dapat mencapai otak lebih
cepat sehingga “menutup gerbang” masuknya persepsi nyeri (Sanjiwani, 2017).
Penelitian lainnya menyatakan bahwa pijatan dapat memberikan efek relaksasi
karena dapat meningkatkan sirkulasi oksigen pada jaringan sehingga dapat
mengurangi nyeri (Sanjiwani, 2017).
Ketika seseorang merasakan sensasi nyeri, dengan memberikan relaksasi
diharapkan persepsi terhadap nyeri tersebut dapat berkurang bahkan hilang. Pada
kasus dismenore, penerapan pijat juga langsung dapat dilakukan pada area
abdomen, dilakukan dengan teknik yang lembut. Teknik pijatan pada abdomen
adalah dengan memposisikan otot perut rileks, selanjutnya hangatkan tangan dan
usap perut dengan mengaplikasikan minyak pada area di atas simpisis dan di atas
umbilikus dengan pijatan melingkar searah jarum jam dengan menggunakan telapak
tangan kanan yang disatukan dengan tangan kiri selama 15 menit dilakukan sejak
dua hari sebelum perkiraan menstruasi (Sanjiwani, 2017).
8
Pijatan lembut pada perut bawah selama 15 menit dan dipadukan menggunakan
minyak esensial dinyatakan dapat meningkatkan sirkulasi oksigen pada jaringan
serta meningkatkan produksi endorphin lebih baik (Sanjiwani, 2017).
C. Akupresure
Penanganan yang masih sebatas pemberian obat penghilang nyeri dalam jangka waktu
lama tentu saja memiliki efek samping yang berbahaya bagi kesehatan perempuan
(Rahmawati, 2015).
Akupresur merupakan salah satu alternatif penanganan dismenore non-farmakologi.
Terapinya aman, mudah, dapat digunakan secara mandiri oleh remaja dan sebagai bagian
dari asuhan kebidanan reproduksi khususnya perempuan (Rahmawati, 2015).
Akupresur dikenal sebagai salah satu metode pengobatan China tradisional. Metode ini
dapat digunakan untuk penyembuhan dismenore dengan menggunakan teknik memijat pada
titik meridian bagian tubuh tertentu (Rahmawati, 2015).
Akupresur merupakan bentuk terapi yang efektif dan aman pada dismenore. Selain itu,
akupresur adalah terapi yang mudah dipelajari dan tanpa biaya (Rahmawati, 2015).
Berbeda dengan akupunktur yang menggunakan jarum sebagai media pengobatan,
akupresur menggunakan pijatan jari pada titik-titik meridian untuk memperlancar proses
peredaran darah pada tubuh pasien. Titik-titik akupresur pada dasarnya sama dengan titik-
titik pada akupunktur. Titik Sanyinjiao (SP6) adalah titik-titik meridian untuk melakukan
akupresur pada penderita dismenore. Titik Sanyinjiao (SP6) adalah titik meridian yang
berhubungan dengan organ limpa, hati, dan ginjal. Titik ini berada 4 jari di atas mata kaki
(Rahmawati, 2015).
9
Gambar 1. Titik Sanyinjiao (SP6) (Hartono et al, 2012).
Penelitian di Iran menyatakan bahwa penerapan akupresur pada titik SP6 selama
120 siklus dengan durasi penekanan oleh ibu jari selama delapan detik dan dua detik
untuk istirahat (Ajorpaz, Hajbaghery, & Mosaeby, 2011) dalam (Sanjiwani, 2017).
Wong, Lai dan Tse (2009) dalam penelitian mengenai dampak akupresur Sanyinjiao (SP6)
menyimpulkan bahwa responden yang mendapat terapi akupresur SP6 dapat meringankan
dismenore selama kurang lebih tiga bulan (Rahmawati, 2015).
Titik-titik akupresur lainnya yang berkaitan dapat mengurangi dismenore yaitu LI4 (usus
besar), titik yang terletak antara tulang metacarpal pertama dan kedua pada bagian distal
lipatan kedua tangan. LR3 (hati), merupakan titik yang terletak di punggung kaki pada
cekungan antara pertemuan tulang metatarsal satu dan dua. Titik LI4 dan LR3 diyakini
mampu merangsang pelepasan hormon endorfin oleh kelenjar pituitari. Hormon ini berefek
seperti morfin di dalam tubuh sehingga dapat memberikan efek analgesik dan relaksasi pada
area yang terasa nyeri. Titik LR3 juga dapat melancarkan aliran darah dan menghilangkan
sumbatan pada pembuluh darah (Rahmawati, 2015).
10
Gambar 2. Titik LI4 (Hartono et al, 2012).
Gambar 3. Titik LR3 (Hartono et al, 2012).
Dismenore berhasil membaik melalui penekanan pada titik Zuehai (SP 10)
dan Sanyinjiao (SP 6) dan penekanan tunggal pada SP 6 saja ternyata cukup
efektif serta tidak memerlukan biaya yang besar untuk meredakan nyeri serta
ansietas ketika dismenore (Sanjiwani, 2017).
11
Gambar 4. Titik SP10 (Hartono et al, 2012).
Setelah sebelumnya responden dilatih dengan baik, pelaksanaan akupresur
diterapkan mandiri selama 20 menit pada tiga hari pertama menstruasi oleh
responden selama enam bulan pengamatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa penerapan pada titik hegu (LI4) dan sanyinjiao (SP6) memang meredakan
nyeri haid (Sanjiwani, 2017).
D. Aromaterapi
Aromaterapi merupakan salah satu teknik Complementary Alternative Medicine
yang menggunakan minyak esensial dari tumbuhan yang dapat diperoleh khasiatnya
melalui aplikasi topikal atau secara inhalasi (Han et al., 2006). Aroma minyak yang
terhirup akan bereaksi pada saraf penciuman yang akan dihantarkan hingga saraf
pusat dan memengaruhi pikiran untuk mencapai relaksasi. Sementara aplikasi pada
kulit memungkinkan minyak akan terserap dari pori-pori menuju pembuluh
darah dan memberikan efek relaksasi otot (Sanjiwani, 2017).
Jenis minyak yang dapat mengurangi kram perut yaitu jenis lavender, cary sage, dan
rose. Jenis minyak yang dapat digunakan untuk diusapkan pada perut adalah
campuran cinnamon oil, rose, clove, juga lavender pada minyak almond. Tidak ada
12
laporan adanya efek samping dalam mengatasi nyeri. Penggunaan minyak
aromaterapi yang diusapkan pada daerah perut dapat menurunkan nyeri. Lavender
sering digunakan karena mengandung antidepresan yang diyakini dapat membantu
mengurangi kecemasan dan menurunkan sensasi nyeri (Sanjiwani, 2017).
Pemberian aplikasi minyak lavender pada permukaan kulit dapat meningkatkan
relaksasi otot, memperlancar suplai darah ke jaringan sekitarnya serta
meningkatkan elastisitasnya (Atarha, Vakilian, Ruzbehani, Bekhradi, 2009) dalam
(Sanjiwani, 2017).
Penelitian lain menemukan bahwa tidak ada perbedaan efek perubahan intensitas
nyeri dismenore ketika minyak lavender diinhalasi atau digunakan dalam massage.
Aromaterapi lavender dapat memberikan respons psikologis saat menjelang maupun
ketika menstruasi dan dismenore berlangsung. Proses tersebut terjadi karena aroma
lavender memodulasi aktivasi cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang
memberikan efek sedasi (Sanjiwani, 2017).
Sebelumnya aroma lavender yang diinhalasi dan kemudian ditangkap oleh saraf
olfaktorius diteruskan ke sistem saraf pusat dan sistem limbik, pusat dari fungsi
autonomi emosi (Sanjiwani, 2017).
Jenis aromaterapi lain yang digunakan untuk kasus dismenore yaitu aromaterapi
jahe dan pepermin. Olesan minyak aromaterapi jahe atau pepermin selama 15 menit
dapat menurunkan sensasi nyeri dan lokasinya. Pepermin diketahui memberikan
efek pada durasi nyeri, meringankan anoreksia atau masalah pencernaan seperti
diare dan konstipasi, serta mempengaruhi suasana hati (mood). Sedangkan efek
yang diberikan oleh aromaterapi jahe yaitu mengurangi mual, pusing, dan sakit
kepala (Sanjiwani, 2017).
13
Aromaterapi jahe dapat menghambat kerja enzim cyclooxygenase dan
lipooxigenase sehingga terjadi reduksi pada leukotriene dan prostaglandin. Hal ini
menyebabkan berkurangnya nyeri. Aromaterapi jahe memiliki efek anti emetik
sehingga memberikan rasa nyaman pada individu (Sanjiwani, 2017).
Aromaterapi jahe juga meningkatkan sirkulasi darah sehingga sakit kepala dan
pusing yang dirasakan ketika dismenore dapat berkurang (Sanjiwani, 2017).
E. Terapi musik
Terapi musik adalah sebuah aktivitas terapeutik yang menggunakan musik sebagai
media untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan
kesejahteraan emosi (Djohan, 2009) dalam (Sanjiwani, 2017). Peran musik dalam
menurunkan nyeri sesuai dengan teori gate control. Musik menghambat proses
penghantaran stimulus nyeri melalui medulla spinalis sehingga otak tidak lagi
melanjutkan persepsi terhadap nyeri (Sanjiwani, 2017).
Mendengarkan musik selama 30 menit baik selama menstruasi atau sejak
tujuh hari sebelum menstruasi dapat menekan gejala fisik maupun psikologis
yang timbul. Oksitosin menurun ?? setelah mendengarkan musik selama 30 menit
(Nilsson, 2009) dalam (Sanjiwani, 2017). Melalui kondisi tersebut maka sensasi
nyeri yang dirasakan berkurang. Mendengarkan musik dapat menjadi sarana
pengalihan dari rasa nyeri dan mengurangi perasaan negatif (Sanjiwani, 2017).
Mendengarkan pilihan musik sendiri dapat lebih menurunkan emosi yang negatif
pada mahasiswa setelah diberikan stressor (Labbe, Schmidt, Babin, & Pharr,
2007) dalam (Sanjiwani, 2017). Pemilihan musik dengan tema yang sedih harus
dihindari karena dapat mempengaruhi psikologis melalui kemampuannya dalam
14
mengingatkan kenangan masa lalu (Vuoskoski & Eerola, 2012) dalam (Sanjiwani,
2017).
Jika individu salah memilih jenis musik yang didengarkannya seperti musik yang
memiliki kenangan buruk, sedih, atau nada terlalu tinggi maka sensasi relaksasi
tidak akan dapat tercapai. Mendengarkan musik yang memberikan aura
positif baik dilakukan setiap hari minimal 30-60 menit sehari. Ini dapat membantu
meningkatkan hormon relaksasi (Sanjiwani, 2017).
Pada tingkat remaja, pemahaman ini perlu diperkenalkan agar mereka menyadari
kebiasaan mereka mendengarkan musik dapat dimanfaatkan lebih baik dalam
mengatasi dismenore (Sanjiwani, 2017).
F. Terapi Suhu
Dalam menangani dismenore, sebagian besar masyarakat Indonesia melakukan
terapi tradisional minum air hangat atau melakukan kompres hangat pada bagian
tubuh yang sakit (Rahmawati, 2015).
Efek kompres hangat yaitu pelebaran pembuluh darah sehingga meningkatkan aliran
darah ke bagian yang nyeri, menurunkan ketegangan otot dengan meningkatkan
relaksasi otot, ataupun mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan, sehingga
meningkatkan proses penyembuhan (Novita Sari et al, 2015).
Pemanfaatan suhu hangat sebagai terapi kompres merupakan metode konduksi
suhu yang memberikan efek relaksasi, vasodilaasi pembuluh darah, sehingga
oksigen, dan sari makanan dapat lebih banyak terserap pada jaringan tersebut. Alat
yang dipergunakan untuk melakukan kompres hangat dapat berupa heating
15
pad, hot silica atau kain yang dihangatkan, serta penggunaan botol karet atau
plastik berisi air hangat (Sinclair, 2007) dalam (Sanjiwani, 2017). Penggunaan terapi
suhu pada area topikal akan memberikan respons pada suhu sekitar 40-45°C
(Klein, 2013) dalam (Sanjiwani, 2017).
Penelitian lainnya yang mencoba memfasilitasi pembuatan bantal hangat untuk para
remaja dengan dismenore juga menunjukkan keberhasilan dan kebergunaannya
selama remaja menjalani aktivitas belajar dengan menempelkan kompres
bantal hangat pada daerah perut (Kim & Jeumg, 2013) dalam (Sanjiwani, 2017).
Prinsip pemberian kompres hangat ini yaitu untuk merelaksasikan otot pada
abdomen sehingga aliran oksigen dapat lebih baik, termasuk pada uterus. Prinsip
kompres hangat ini termasuk aman diterapkan untuk kasus dismenore bagi remaja
sebagai bentuk pertolongan pertama secara mandiri (Sanjiwani, 2017).
G. Yoga
Yoga merupakan suatu teknik olah tubuh yang berasal dari India. Yoga dapat
memelihara kesehatan dengan menciptakan harmonisasi tubuh dan pikiran.
Harmonisasi tubuh dan pikiran tersebut terjadi melalui kemampuannya
mempengaruhi level Gamma Aminobutyric Acid (GABA) pada otak (Sanjiwani,
2017).
Penyebab dismenore yaitu selain adanya kontraksi disritmik pada otot uterus dan
hipoksia jaringan yang terjadi oleh tidak seimbangnya kerja saraf simpatis, juga
karena serviks yang hipertonus serta kondisi psikosomatis seperti ansietas dan
tekanan yang dialami para remaja. Hal ini semua meningkatkan produksi
prostaglandin yang meningkatkan sensitivitas endometrium, menyebabkan
16
peningkatan kontraksi dengan atau tanpa dirasakannya dismenore (Sanjiwani,
2017).
Yoga memperbaiki ketidakseimbangan sistem saraf autonom dan mengontrol
aktivitas saraf simpatis yang berlebih. Yoga dapat mengontrol hiperaktivitas dan
kontraksi disritmik uterus yang mencetuskan dismenore. Pada kondisi ini Yoga
memberikan kontrol yang lebih pada saraf parasimpatis sehingga kondisi
uterus dapat lebih stabil. Yoga juga berperan dalam mekanisme gate control
nyeri (Sanjiwani, 2017).
Intervensi yang menerapkan teknik meningkatkan relaksasi tersebut memang tidak
secara langsung memengaruhi hormon reproduksi, tetapi memberikan pengaruh
pada kadar hormon endorphin sebagai anti nyeri alami dalam tubuh. Ketika
berada pada siklus menstruasi, maka individu akan mengalami respons
yang lebih emosional baik dari pengaruh dalam diri maupun dari
lingkungan. Pada kondisi tersebut, yoga menenangkan pikiran sehingga kondisi
emosional dapat dikontrol saat siklus menstruasi berlangsung (Sanjiwani, 2017).
Yoga merupakan perpaduan gerakan tubuh dinamis juga pelan dan
dipadukan dengan teknik nafas. Dampaknya ialah selama penerapannya oksigen
lebih banyak terserap, pikiran terpelihara, dan saraf parasimpatis menjadi lebih
dominan yang juga dapat menyeimbangkan aktivitas uterus. Yoga dapat membantu
menyeimbangkan fleksibilitas otot tubuh, pernafasan, dan pikiran sehingga tercipta
harmonisasi tubuh dan pikiran dalam mengatasi nyeri karena menekan
prostaglandin dan mediator inflamasi (Sanjiwani, 2017).
Yoga merupakan aktivitas menggerakkan badan yang berdampak pada
diproduksinya β endorphin yang akan ditangkap oleh reseptor hipotalamus
17
sehingga mengurangi sensasi nyeri serta mengendalikan emosi (Sanjiwani,
2017).
Yoga dapat mengurangi sensasi nyeri karena dapat memberikan efek relaksasi
dengan menurunkan aktivitas saraf simpatis, menurunkan denyut nadi, dan
meningkatkan volume pernafasan. Teknis nafas dalam yang diterapkan seiring
dengan gerakan tubuh selama yoga berlangsung dapat memberikan suplai oksigen
ekstra kepada tubuh sehingga tubuh dapat melepas endorphin yang merupakan
hormon untuk memberikan efek kenyamanan (Sanjiwani, 2017).
Paling tidak upaya olah tubuh atau yoga dilakukan minimal dua minggu
sebelum siklus menstruasi tiba untuk mendapatkan hasil yang diharapkan
(Rakhshaee, 2011) dalam (Sanjiwani, 2017).
Sikap badan Yoga (atau asana); meregangkan dan mengencangkan otot, memijat
organ internal, mengencangkan saraf, dan mengatur pengeluaran hormon tubuh –
semuanya memperbaiki kesejahteraan secara keseluruhan. Setiap asana
memberikan manfaat tertentu secara individual. Tetapi kalau beberapa asana
digabungkan menjadi urutan gerakan yang mengalir (disebut vinyasa), nilainya
ditingkatkan dengan gabungan dari sikap badan dan juga kecepatan semuanya itu
dipraktikkan (Maddern, 2004).
Penerapan yoga selama 20 menit setiap hari, pagi atau sore hari sejak fase luteal
atau sekitar 14 hari sebelum menstruasi dapat membantu mengurangi nyeri
(Rakhshaee, 2011) dalam (Sanjiwani, 2017).
Pada nyeri haid teknik olah tubuh dalam yoga lebih difokuskan pada area
tubuh sekitar abdomen dengan melakukan gerakan asana (Sanjiwani, 2017).
Penerapan Yoga Asanas dengan kombinasi teknik yang berbeda dapat diterapkan
untuk mengatasi keluhan dismenore (Sanjiwani, 2017).
18
1. Vajrasana : pose asana ini menghantarkan aliran darah dan impuls saraf
pada daerah pelvis dan menguatkan otot pelvis. Pose ini memberikan efek pada
saraf yang bekerja pada organ genital dan mampu mengurangi keluhan
menstruasi (Sanjiwani, 2017). Vajrasana atau postur batu karang adalah dasar
dari postur berlutut (Butler, 2006).
Gambar 5. Postur Batu Karang (Vajrasana) (Butler,
2006).
2. Marjarisana : pose yoga ini adalah gerakan lembut untuk organ reproduksi wanita
dan membantu menurunkan sensasi kram ketika haid (Sanjiwani, 2017).
19
Gambar 6. Posisi Kucing (Marjariasana) (Butler, 2006 dan Widdowson, 2004).
3. Bhujangasana : pose ini membantu mengatasi gangguan menstruasi (Sanjiwani,
2017).
Gambar 7. Posisi Kobra (Bhujangasana) (Butler, 2006).
Gerakan – gerakan yang dilakukan pada Asana Yoga membantu memberikan solusi
untuk keluhan dismenore karena pose-pose yang diterapkan mampu
menambah suplai darah pada organ sehingga oksigen ke jaringan organ tersebut
juga meningkat dan mengatasi hipoksia jaringan yang merupakan salah satu
penyebab timbulnya kram pada otot uterus ketika dismenore terjadi (Sanjiwani,
2017).
H. Olahraga / Senam
Salah satu faktor yang mempengaruhi dismenore adalah latihan olahraga. Ada korelasi antara
kebiasaan olahraga dengan dismenore. Olahraga yaitu latihan fisik seperti joging, berenang,
senam, dan bersepeda. Latihan-latihan olahraga yang ringan sangat dianjurkan untuk
mengurangi dismenore. Membiasakan olahraga ringan dan aktivitas fisik secara teratur seperti
jalan sehat, berlari, bersepeda, ataupun berenang pada saat sebelum dan selama haid dapat
membuat aliran darah pada otot sekitar rahim menjadi lancar sehingga rasa nyeri dapat
20
teratasi atau berkurang. Latihan ini sedikitnya 30-60 menit dengan frekuensi 3-5 kali
seminggu (Oktobriariani, 2015).
Senam merupakan suatu cabang olahraga yang melibatkan performa gerakan yang
membutuhkan kekuatan, kecepatan, dan keserasian gerakan fisik yang teratur. Senam
dismenore efektif digunakan untuk menurunkan nyeri. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
senam dismenore berpengaruh terhadap penurunan nyeri dismenore (Nuraini, 2017).
Olahraga/ senam merupakan salah satu teknik relaksasi yang dapat digunakan untuk
mengurangi nyeri. Hal ini disebabkan saat melakukan olahraga/ senam tubuh akan
menghasilkan endorphin. Senam dapat menyebabkan tubuh menjadi relaks dengan
menghasilkan hormon endorphin. Endorphin dihasilkan di otak dan saraf tulang belakang.
Hormon ini dapat berfungsi sebagai zat penenang alami sehingga menimbulkan rasa nyaman.
Dismenore lebih sedikit terjadi pada olahragawati dibandingkan wanita yang tidak melakukan
olahraga/ senam (Nuraini, 2017 ; Novita Sari et al, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian ternyata dismenore primer lebih sedikit terjadi pada wanita yang
berolahraga dibandingkan wanita yang tidak melakukan olahraga/ senam. Dengan
berolahraga maka akan menurunkan gejala dismenore primer. Dengan berolahraga akan
menurunkan kadar prostaglandin, serta melepaskan endorfin yang dapat memberikan efek
penurunan rasa sakit (Oktobriariani, 2015).
Latihan olahraga mampu meningkatkan produksi endorphin (pembunuh rasa sakit alami
tubuh), dan dapat meningkatkan kadar serotonin. Latihan olahraga yang teratur dapat
menurunkan stres dan kelelahan sehingga secara tidak langsung juga mengurangi nyeri
(Oktobriariani, 2015).
Dari 33 mahasiswi yang mengalami nyeri berat terdapat 3 mahasiswi (9,1%) yang memiliki
kebiasaan olahraga dan 30 mahasiswi (90,9%) yang tidak memiliki kebiasaan olahraga. Dari
20 mahasiswi yang mengalami nyeri ringan terdapat 8 mahasiswi (40%) yang memiliki
21
kebiasaan olahraga dan 12 mahasiswi (60%) yang tidak memiliki kebiasaan olahraga. Ada
kecenderungan bahwa prevalensi tanpa kebiasaan olahraga lebih tinggi pada mahasiswi yang
mengalami nyeri berat dibandingkan pada mahasiswi yang mengalami nyeri ringan.
Disimpulkan bahwa ada korelasi antara kebiasaan olahraga dengan dismenore. Risiko nyeri
berat pada mahasiswi yang memiliki kebiasaan olahraga adalah lebih kecil. Mahasiswi yang
tidak memiliki kebiasaan olahraga berisiko 6,66 kali lebih besar mengalami nyeri berat
dibandingkan mahasiswi yang memiliki kebiasaan olahraga (Oktobriariani, 2015).
Salah satu teknik relaksasi yang memberikan kondisi nyaman dan rileks saat mengalami
dismenore ialah dengan melakukan senam dismenore; gerakan sederhana minimal selama 3
hari sebelum menstruasi setiap pagi dan/atau sore hari (Nuraini, 2017).
Ada pengaruh yang bermakna sebelum dan sesudah pemberian senam dismenore. Senam
dapat meningkatkan jumlah dan ukuran pembuluh darah yang menyalurkan darah ke seluruh
tubuh. Olahraga penting untuk remaja putri yang mengalami dismenore karena latihan yang
sedang dan teratur akan meningkatkan pelepasan endorfin beta (penghilang nyeri alami) ke
dalam aliran darah, sehingga dapat mengurangi nyeri haid atau dismenore. Dengan olahraga
rutin atau senam terjadi peningkatan volume darah yang mengalir ke seluruh tubuh, termasuk
organ reproduksi sehingga memperlancar pasokan oksigen ke pembuluh darah yang
mengalami vasokonstriksi, sehingga nyeri haid dapat berkurang (Nuraini, 2017).
I. Nutrisi atau Gizi
Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan dismenore primer (Beddu,
2015).
Salah satu permasalahan yang dapat menimbulkan dismenore primer adalah status gizi.
Overweight / gemuk dan obesitas merupakan faktor risiko dari terjadinya dismenore primer.
Namun di sisi lain, seseorang dengan underweight / kurus ternyata juga dapat mengalami
22
dismenore primer. Kelebihan berat badan dapat mengakibatkan dismenore primer karena di
dalam tubuh orang yang mempunyai kelebihan berat badan terdapat jaringan lemak yang
berlebihan yang dapat mengakibatkan hiperplasi pembuluh darah (terdesaknya pembuluh
darah oleh jaringan lemak) pada organ reproduksi wanita sehingga darah yang seharusnya
mengalir pada proses menstruasi terganggu dan timbul dismenore primer. Orang dengan
indeks massa tubuh yang lebih dari normal menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin
yang berlebih, sehingga memicu terjadinya spasme miometrium yang dipicu oleh zat dalam
darah haid yang mirip lemak alamiah otot uterus (Beddu, 2015).
Status gizi underweight dapat diakibatkan karena asupan makanan yang kurang, menderita
suatu penyakit, adanya perilaku yang salah ataupun karena ketergantungan obat dan alkohol
(Oktobriariani, 2015).
Gizi kurang selain akan mempengaruhi pertumbuhan dan fungsi organ tubuh juga akan
menyebabkan terganggunya fungsi reproduksi. Hal ini berdampak pada gangguan haid
termasuk dismenore, tetapi akan membaik bila asupan nutrisinya baik (Beddu, 2015).
Gizi perlu dipertimbangkan pada kasus dismenore. Meninggalkan sarapan serta status
kekurangan nutrisi dapat mempengaruhi aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium dan
meningkatkan insiden dismenore (Sanjiwani, 2017).
Karena asupan makanan yang kurang, dikhawatirkan asupan dari zat besi juga akan kurang
maka dapat terjadi anemia. Anemia merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat
menyebabkan dismenore (Oktobriariani, 2015).
Status gizi dilihat dari indikator Indeks Massa Tubuh. Namun dari penelitian yang dilakukan
(Oktobriariani, 2015) disimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara status gizi dengan
dismenore.
Pengaturan diet pada kasus dismenore dapat dilakukan dengan mengurangi konsumsi
makanan dengan kandungan asam arakidonat yang berlebihan seperti mentega, minyak,
23
kelapa, dan ayam, karena dapat memicu produksi prostaglandin. Konsumsi makanan manis
juga dianjurkan tidak berlebihan karena memperlambat penyerapan vitamin dan mineral
yang berdampak kasus nyeri haid yang lebih sering (Sanjiwani, 2017).
Nutrisi yang dibutuhkan dalam memberikan solusi nyeri haid adalah makanan yang
mengandung omega 3 dan omega 6 yang terkandung dalam ikan, telur, kedelai ataupun
dalam bentuk suplemen makanan karena dapat memberikan efek relaksasi pada otot.
Konsumsi makanan berlemak dan makanan cepat saji dengan porsi seminggu tiga kali atau
lebih meningkatkan risiko terjadinya dismenore.
Konsumsi makanan manis berlemak, makanan asin berlemak, makanan cepat saji, serta kafein
berlebihan dan paparan rokok meningkatkan kasus dismenore pada anak SMA (Sanjiwani,
2017).
Bahan lain bersumber dari biji-bijian, kacang-kacangan, sayur dan buah juga penting
karena mengandung magnesium, kalsium, potasium, serat, vitamin E dan B kompleks yang
dapat membantu sintesis Gama–Linolenic acid (GLA) yang selanjutnya memberikan efek
relaksasi otot. Konsumsi vitamin B1, E, Zink dan magnesium dapat membantu mengatasi
nyeri haid (Sanjiwani, 2017).
Makanan yang berserat dari sayur dan buah-buahan penting dikonsumsi setiap
hari untuk mencegah dismenore. Konsumsi sayuran dan buah yang kurang dapat
meningkatkan kasus dismenore. Konsumsi air putih paling tidak delapan gelas perhari ketika
menstruasi dan ditambah dengan melakukan peregangan perut dapat menurunkan intensitas
nyeri (Sanjiwani, 2017).
J. Bahan-Bahan Herbal
Sejumlah 90% wanita menggunakan pengobatan herbal untuk mengatasi dismenore dan
melaporkan efektif mengurangi nyeri (Sukini et al, 2017).
24
1. Kunyit (Curcuma longa)
Nyeri dismenore dapat dikurangi dengan minuman herbal. Kunyit memiliki kandungan bahan
aktif yang dapat berfungsi sebagai analgetik, antipiretik, dan anti inflamasi. Minuman herbal
semacam kunyit mengandung curcumine yang sangat baik untuk mengurangi rasa nyeri
ketika menstruasi. Curcumenol sebagai analgetik akan menghambat pelepasan prostaglandin
yang berlebihan melalui jaringan epitel uterus dan akan menghambat kontraksi uterus
sehingga akan mengurangi terjadinya dismenore. (Novita Sari et al, 2015)
Zat curcumin yang terkandung dalam kunyit merupakan salah satu contoh dari apotik
hidup dengan manfaat seperti antidepresan, anti inflamasi, antimikroba, dan hipoglikemik.
Penelitian menyatakan bahwa kunyit dapat mereduksi sintesis prostaglandin dan menghambat
kerja enzim cyclooxygenase 2 (COX 2). Enzim COX 2 berespons pada produksi
prostaglandin E2 yang menimbulkan gejala nyeri, meriang, dan peradangan yang kerap
muncul pada Premenstrual sindrom (Sanjiwani, 2017).
2. Jahe (Zingiber officinale)
Sumber herbal lainnya yang dimanfaatkan untuk mengatasi dismenore yaitu jahe. Jahe juga
diketahui bekerja sebagai penghambat enzim COX dan lipooxygenase, dan menghalangi
sintesis prostaglandin. Jahe tergolong aman dikonsumsi oleh perempuan dengan dismenore
sejak tiga hari sebelum menstruasi dengan dosis satu sendok bubuk jahe yang dilarutkan
dalam 200 cc air hangat dan dapat diminum sebanyak tiga kali sehari. Konsumsi jahe dapat
mengurangi keluhan nyeri haid yang dirasakan. Jahe memiliki efek yang sama efektifnya
dengan konsumsi ibuprofen atau asam mefenamat pada kasus dismenore primer (Sanjiwani,
2017).
3. Lidah Buaya (Aloe Vera)
Lidah buaya dan temulawak efektif menurunkan nyeri dismenore. Namun dari kedua
intervensi tersebut lidah buaya lebih efektif dibanding temulawak.
25
Lidah buaya (Aloe vera) mengandung antrakuinon dan kuinon yang memiliki efek
menghilangkan rasa sakit (analgetik) dan menghilangkan pusing. Antrakuinon mengandung
aloin dan emodin yang berfungsi sebagai analgesik. Antrakuinon cenderung membantu dalam
pengurangan rasa sakit melalui stimulasi sistem kekebalan tubuh dan penurunan
prostaglandin yang bertanggung jawab untuk rasa sakit. Antrakuinon berfungsi sebagai anti
inflamasi, sedangkan aloin dan emodin dalam antrakuinon berfungsi sebagai analgesik
(Sukini et al, 2017).
4. Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb).
Kandungan bahan alami temulawak bisa mengurangi keluhan dismenore primer. Temulawak
mengandung curcumin dan curcumenol. Curcumenol berfungsi sebagai analgetik, sedangkan
curcumin berfungsi sebagai antiinflamasi dan antipiretik. Sebagai agen analgetika,
curcumenol akan menghambat pelepasan prostaglandin yang berlebihan (Sukini et al, 2017).
Curcumin yang terkandung dalam temulawak mempunyai aktivitas penghilang rasa sakit dan
anti radang. Selain dismenore, curcumin juga dapat mengatasi ansietas, demensia, gingivitis,
sakit kepala, impotensi, dll. Curcumin yang terkandung dalam temulawak 100% mampu
menghilangkan nyeri bawah perut yang dapat terjadi selama menstruasi (Sukini et al, 2017).
Pemberian temulawak pada responden dismenore dapat mengurangi nyeri dismenorenya.
Temulawak mengandung curcumin yang dapat berfungsi sebagai analgesik. Mekanisme
penghambatan kontraksi uterus melalui curcumin adalah dengan mengurangi influks ion
kalsium (Ca2+) ke dalam kanal kalsium pada sel-sel epitel uterus. Jika penghambatan terhadap
influks ion ini dilakukan ke dalam sel epitel uterus, maka kontraksi uterus bisa dikurangi atau
bahkan dihilangkan sehingga tidak terjadi dismenore primer (Sukini et al, 2017).
5. Air Kelapa (Cocos nucifera L.)
Pemanfaatan bahan herbal yang dalam hal ini air kelapa dapat mengurangi rasa nyeri saat
haid. Air kelapa muda mengandung air 95,5%, protein 0,1%, lemak kurang dari 0,1%,
26
karbohidrat 4,0%, dan abu 0,4%. Air kelapa muda juga mengandung vitamin C 2,2-3,4
mg/100 ml dan vitamin B kompleks. Selain itu juga mengandung sejumlah mineral, yaitu
nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, klorin, sulfur, dan besi. Kandungan mineral K pada air
kelapa adalah yang tertinggi, baik pada air kelapa tua maupun air kelapa muda. Gula yang
terkandung dalam air kelapa terdiri dari glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Cairan dan darah
yang keluar dapat digantikan oleh elektrolit dan asam folat yang terkandung dalam air kelapa
(Trisnawati et al, 2012).
Nyeri haid diakibatkan oleh ketidakseimbangan kadar prostaglandin. Nyeri haid berkurang
karena efek sekunder dari peran elektrolit dan asam folat. Cara pemanfaatan air kelapa untuk
mengurangi rasa sakit saat haid yaitu 1 gelas air kelapa hijau dan 1 potong gula aren dicampur
dan diaduk sampai merata kemudian diminum 2 kali sehari 1 gelas, pagi dan sore, selama 3
hari berturut-turut (Trisnawati et al, 2012).
Mekanisme Proses Penyembuhan Rasa Nyeri Menggunakan Air Kelapa :
Saat menstruasi tubuh mengeluarkan cairan dan darah. Asam folat dalam air kelapa
merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan dalam produksi sel darah merah,
bermanfaat untuk menggantikan darah yang keluar saat menstruasi. Dengan produksi darah
yang cukup akan memperlancar peredaran darah. Peredaran darah yang lancar akan
mencukupi sel akan kebutuhan oksigen dan nutrisi. Dengan kondisi ini, tubuh akan lebih
tahan terhadap sensasi nyeri yang ditimbulkan saat haid (Trisnawati et al, 2012).
Kadar progesteron yang cukup akan memperlancar proses peluruhan endometrium dan
nyeri yang timbul akan segera berlalu.
Air kelapa mengandung beberapa substansi yang dibutuhkan saat wanita mengalami haid.
Air kelapa secara alami mengandung banyak vitamin dan mineral (elektrolit). Cairan elektrolit
bermanfaat mencegah dehidrasi yang diakibatkan karena darah yang keluar saat haid. Air
kelapa diperkirakan dapat merangsang tubuh untuk menstabilkan produksi hormon
27
prostaglandin saat wanita mengalami haid sehingga dapat mencegah hiperkontraktilitas
rahim. Pada akhirnya rasa nyeri saat menstruasi dapat dikurangi (Trisnawati et al, 2012).
Penutup
Selain cara-cara yang sudah disampaikan di atas, mungkin masih banyak cara lain untuk
mengatasi dismenore primer tanpa menggunakan obat. Tidak lupa pula perlu diingatkan
bahwa rokok menjadi salah satu faktor risiko dalam dismenore. Perokok atau perokok
pasif berisiko mengalami dismenore sebesar 1,6 kali daripada bukan perokok pasif karena
rokok dapat menyebabkan vasokonstriksi dan mengurangi aliran darah pada endometrium
dan kadar enzim metabolism kimia rokok (CYP1A1) meningkat pada perokok pasif. Paparan
lebih dari 12 rokok perhari berpotensi 7,3 kali mengalami dismenore dibandingkan dengan
tidak terpapar (Sanjiwani, 2017).
Hanya saja ini memang suatu dilema di Indonesia. Petani tembakau sangat menggantungkan
hidupnya pada penyerapan produksi rokok di tanah air. Demikian pula pekerja-pekerja dalam
pabrik rokok. Kalau konsumsi rokok dilarang sama sekali demi alasan kesehatan maka akan
sangat banyak juga timbul masalah ekonomi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Anwar, M., Baziad, A. dan Prabowo, R.P. (Eds.). (2011). Ilmu Kandungan Edisi ketiga.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Beddu, S; Mukarramah, S and Lestahulu, V. (2015). Hubungan Status Gizi dan Usia
Menarche Dengan Dismenore Primer Pada Remaja Putri. The Southeast Asian Journal of
Midwifery, 1(1), 16-21.
Butler, D. (2006). Seri 10 Menit Yoga. Batam: Karisma Publishing Group.
Hartono, Rudyanto IW. (2012). Akupresur untuk Berbagai Penyakit. Yogyakarta: Rapha
Publishing.
28
Maddern, J. (2004). Yoga Membakar Lemak. Batam Centre: Penerbit Interaksara.
Novia, I., Puspitasari, N. (2008). Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Dismenore
Primer. The Indonesian Journal of Public Health, 4(2), 96
-
104.
Novita Sari, KS; Sumaryani, S and Trisetyaningsih, Y. (2015). Pola Perilaku Remaja untuk
Menangani Keluhan Dysmenorrhoea di SMK Muhammadiyah 2 Moyudan Sleman
Yogyakarta. Media Ilmu Kesehatan, 4 (1), 30-6.
Nuraini. (2017). Pengaruh Senam Dismenore Terhadap Penurunan Nyeri Pada Remaja Putri
SMK 1 Tapango Kecamatan Tapango Kabupaten Polewali Mandar. Jurnal Ilmiah Bidan, II
(1), 25-32.
Nurrianingsih, P., Nurhidayati, E. (Oktober 2015). Teknik Relaksasi Terhadap Tingkat
Dismenorea Pada Siswi SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Prosiding Seminar dan Call for
Paper “Moving Towards New Scientific Research in Midwifery Practice”. (pp. 181-185).
Jakarta Timur: AIPKIND.
Oktobriariani, RR. (2015). Hubungan Status Gizi dan Kebiasaan Olahraga Dengan Kejadian
Dismenore Primer Pada Mahasiswi DIII Kebidanan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Prosiding Seminar dan Call for Paper “Moving Towards New Scientific Research in
Midwifery Practice” (pp. 341-6). Jakarta Timur: AIPKIND.
Rahmawati, DT. (2015). Studi Literatur Pengaruh Akupresur Terhadap Dismenore Pada
Remaja. Prosiding Pertemuan Ilmiah Internasional Bidan (pp. 283-286). Jakarta Pusat:
Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia.
Sanjiwani, Ida Arimurti. (2017). Literature Review Dismenore Primer dan Penatalaksanaan
Non Farmakologi Pada Remaja. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Sukini, T; Yuniyanti, B and Aryanti, A. (2017). Efektivitas Pemberian Lidah Buaya (Aloe
Vera) dan Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb) Terhadap Penurunan Nyeri Dismenore
Primer. Jurnal Ilmiah Bidan, II (1), 41-7.
Trisnawati, Sumino; Nursanti, FA and Trsinawati, D. (2012). Studi Analisa Pemanfaatan Air
Kelapa Sebagai Intervensi Non Farmakologi Dalam Mengurangi Nyeri Haid Pada Remaja
Dalam Sudut Pandang Keperawatan. Jurnal Kesehatan Kusuma Husada, 3 (1), 21-7.
Surakarta: STIKES Kusuma Husada.
Widdowson, R. (2004). Yoga untuk Masa Kehamilan. PT Gelora Aksara Pratama (esensi).