ArticlePDF Available

Abstract

Tulisan ini ingin menempatkan gejolak perjuangan kelas—pemikiran Karl Marx—sebagai bahan kajian analisis kritis dalam melihat upaya perjuangan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia, utamanya dalam aksi mahasiswa bersama dengan rakyat pada gerakan #GejayanMemanggil, #RakyatGugatNegara dan aksi lainnya di berbagai wilayah di Indonesia. Ide utama dari esai ini adalah bahwa teori kelas Marx hadir berdasarkan filosofi pemahaman terhadap fenomena sosial; adanya pembagian kelas pada masyarakat itu sendiri. Pada studi ini dilihat adalah kelas penguasa (pemerintah; negara) dan kelas rakyat biasa. Marx berkeyakinan bahwa inklusivitas dalam masyarakat hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas. Tulisan ini menggunakan jenis metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan kajian pustaka. Eksplorasi data sekunder dalam tulisan ini didapatkan melalui penelusuran tulisan ilmiah dan tulisan populer seperti jurnal, tulisan di koran, media daring dan buku yang terkait dengan tema dalam tulisan ini. Berdasarkan analisis data, temuan dalam kajian ini bahwa pada konteks perjuangan perempuan (secara organisasi dan individu) dan orang-orang yang memiliki kepedulian pada kekerasan seksual di Indonesia, menghadapi tantangan perjuangan kelas perempuan dalam mendesak pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual menjadi Undang-Undang.
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 |1
227
VOLUME 4 NOMOR 2 2020 | E-ISSN : 2581-2424 | P-ISSN : 2597-3657 | Website : journal.undiknas.ac.id
Korespondensi:
Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM.21,
Hegarmanah, Kecamatan. Jatinangor,
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
E-mail: nikodemus15001@mail.unpad.ac.id
PERJUANGAN KELAS PENGESAHAN RUU PENGHAPUSAN
KEKERASAN SEKSUAL
Nikodemus Niko1, Atem2, Alif Alfi Syahrin3, Alfin Dwi Rahmawan4, Anggi
Mardiana5
1)2)5) Universitas Padjadjaran; 3) Universitas Pendidikan Indonesia;
4) Universitas Bangka Belitung
nikodemus15001@mail.unpad.ac.id
Received: 24 May 2020 | Reviewed: 29 June 2020 | Accepted: 28 July 2020
ABSTRAK
Tulisan ini ingin menempatkan gejolak perjuangan kelaspemikiran Karl Marxsebagai bahan
kajian analisis kritis dalam melihat upaya perjuangan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual di Indonesia, utamanya dalam aksi mahasiswa bersama dengan rakyat pada gerakan
#GejayanMemanggil, #RakyatGugatNegara dan aksi lainnya di berbagai wilayah di Indonesia. Ide
utama dari esai ini adalah bahwa teori kelas Marx hadir berdasarkan filosofi pemahaman terhadap
fenomena sosial; adanya pembagian kelas pada masyarakat itu sendiri. Pada studi ini dilihat adalah
kelas penguasa (pemerintah; negara) dan kelas rakyat biasa. Marx berkeyakinan bahwa inklusivitas
dalam masyarakat hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas. Tulisan ini menggunakan jenis
metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan kajian pustaka. Eksplorasi data sekunder
dalam tulisan ini didapatkan melalui penelusuran tulisan ilmiah dan tulisan populer seperti jurnal,
tulisan di koran, media daring dan buku yang terkait dengan tema dalam tulisan ini. Berdasarkan
analisis data, temuan dalam kajian ini bahwa pada konteks perjuangan perempuan (secara
organisasi dan individu) dan orang-orang yang memiliki kepedulian pada kekerasan seksual di
Indonesia, menghadapi tantangan perjuangan kelas perempuan dalam mendesak pengesahan RUU
penghapusan kekerasan seksual menjadi Undang-Undang
Kata Kunci: Karl Marx, Perjuangan Kelas, Kekerasan Seksual, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
228
ABSTRACT
This paper put the turmoil of the class struggle Karl Marx's thoughts as a critical analysis study
given the efforts to struggle for the ratification of sexual violence in Indonesia, primarily in student
action along with people on #GejayanMemanggil, #RakyatGugatNegara and other actions in various
regions in Indonesia. The main idea of this essay is that Marx's class theory is presently based on the
philosophy of understanding the social phenomena; of class division in the community. In this study,
we were seen that the ruling class (government; state) and the regular folk class. Karl Marx's thought
was based on the presuppositions that the main actors in society were social classes, how human
alienation was the result of a class's suppression by other classes. This paper uses a type of descriptive
qualitative research method with a library review approach. The exploration of secondary data in this
paper is obtained through the search of popular scientific papers such as journals, newspapers, online
media, and books. Based on data analysis, the findings in this study that in the context of women's
struggle (by organization and individual) and those who have concern for sexual violence in Indonesia,
face the challenge of the women's class struggle in urging the ratification of the BILL to remove sexual
violence into law
Keywords: Karl Marx, class struggles, sexual violence, the BILL of elimination of sexual violence
PENDAHULUAN
Fenomena kekerasan seksual di Indonesia seperti halnya fenomena gunung es.
Kekerasaan seksual terutama pada perempuan dan anak selalu berada pada peringkat tertinggi
dengan total kasus yang selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Berdasarkan catatan
tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan, 2019) Kekerasan yang banyak terjadi yakni kekerasan dalam rumah tangga atau
KDRT. Kekerasan dalam ranah personal ini pada tahun 2019 saja mencapai angka 71% (9.637)
kasus. Pada ranah KDRT kekerasan seksual menempati posisi kedua setelah kekerasan fisik
dengan banyak 2.988 kasus atau sebanyak 31%. Kekerasan seksual di ranah personal
berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan (2019) menyebutkan banyak dilakukan oleh
pacar sedangkan untuk KDRT berada di peringkat kedua terbesar yaitu dilakukan oleh ayah
kandung, paman, suami, sepupu dan saudara/kerabat.
Selain melihat kekerasan seksual di ranah personal, banyak kasus-kasus kekerasan
perempuan yang terjadi di ranah publik atau komunitas. Tercatat 3,915 kasus (64%) kekerasan
perempuan di ranah publik adalah kekerasan seksual yaitu pencabulan 1.136 kasus, perkosaan
762 kasus, dan pelecehan seksual 394 kasus. Komnas perempuan (2019) mencatat pelaku
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
229
kekerasan seksual di ranah publik yang dikeluarkan catatan tahunan pada peringkat pertama
dilakukan oleh tetangga. Kemudian yang kedua disusul oleh teman sebanyak 506 kasus, orang
lain 465 kasus, orang tidak dikenal 452, dan guru 125 kasus. Tantangan besar sebenarnya untuk
menciptakan ruang aman bagi perempuan terhadap kekerasan seksual (lihat Wariyatun, 2019),
dan percepatan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah jalan bagi
perempuan mendapatkan ruang aman.
Berdasarkan data-data tersebut Indonesia bukanlah negara yang ramah terhadap
warganya mengenai kekerasan seksual. Contoh kasus yang mencuat ke ranah hukum seperti
kasus Baiq Nuril dan Agni. Mereka adalah korban kekerasan seksual tetapi juga menjadi
korban dari hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum Indonesia yang tidak ramah bagi korban
kekerasan dan pelecehan seksual. Movement yang dilakukan di Indonesia atas pengesahan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga terjadi pada negara-negara maju (termasuk
negara-negara di Asia), bahkan jauh sebelum di Indonesia (lihat. Baker & Bevacqua 2017);
Levine, 2017; Aktar, 2019; Lin & Yang, 2019; Sovann, 2019).
Kasus lain pada kekerasan seksual yang terjadi selama bertahun-tahun seperti ini
biasanya banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat korban seperti keluarga hingga teman
bermain. Seperti halnya kasus di Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, bocah yang
berusia 15 tahun yang diperkosa oleh ayah tirinya selama bertahun-tahun (Dewantara, 2020).
Korban mengalami perkosaan oleh ayah tirinya sejak berumur 13 tahun, dari April 2014 hingga
awal tahun 2019. Korban mengalami depresi yang sangat mendalam dan menanggung beban
psikis yang luar biasa selama bertahun-tahun. Artinya bahwa banyak sekali efek serius yang
dihadapi korban kekerasan seksual (lihat Basile & Smith, 2011); Guruge, Roche & Catallo,
2012); Cripps & Stermac 2018).
Kemudian, kasus Agni seorang mahasiswi salah satu universitas terkemuka di pulau
Jawa yang juga menjadi korban kekerasan seksual ketika menjalankan kuliah kerja nyata
(KKN) bersama dengan pelaku berinisial HS. Selama lebih dari dua tahun sejak terjadinya
pelecehan seksual di tahun 2017 hingga berakhir damai Agni berusaha mencari keadilan
terhadap kasus yang menimpanya. Walaupun kasus berakhir damai tetapi tidak ada
kesepakatan bahwa kasus Agni masuk ke dalam kasus kekerasan seksual. Selain kedua kasus
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
230
tersebut, masih banyak lagi kekerasan yang terjadi di ranah publik, terutama kekerasan seksual
yang terjadi di tampat kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh never okay dalam rentang
19 November9 Desember 2018 sebanyak 1.240 responden mengalami pelecehan seksual di
tempat kerja yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia (Never Okay Project, 2018). Hal ini
mengisyaratkan bahwa Indonesia perlunya aturan tentang perlindungan pekerja dari pelecehan
seksual di tempat kerja. Karena mengingat hanya Indonesia saja yang tidak memiliki aturan
perlindungan pekerja dari kekerasan seksual di tempat kerja.
Kekerasan seksual yang marak terjadi ini seakan-akan menjadi fenomena gunung es
yang sulit sekali dipecahkan. Dari sekian banyak data yang terlapor dari kasus kekerasan
seksual banyak juga kasus kekerasan seksual yang tidak terdata atau teridentifikasi karena
korban enggan untuk melapor. Kemudian, ada kesalahpahaman antara pemaknaan seksualitas
dan perkosaan (Niko & Rahmawan, 2020) yang membuat kompleksitas. Hal ini dikarena
terdapat faktor psikis korban ketika korban harus melaporkan kasus tersebut.
Keluar dari siklus kekerasan seksual sangatlah tidak mudah. Bahkan jika kita melihat
kekerasan seksual yang diterima oleh korban banyak yang sudah terjadi bertahun-tahun
lamanya. Kenapa hal itu bisa terjadi? Bisa saja korban merasa takut untuk melapor karena dapat
membuka luka lama yang diterima oleh korban. Atau bisa jadi karena adanya ancaman-
ancaman oleh pelaku kejahatan seksual.
Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Korban kekerasan
seksual menanggung beban berlapis dalam kehidupannya. Negara seharusnya menjamin rasa
aman dan perlindungan kepada setiap warganya mengenai kekerasan seksual yang sewaktu-
waktu dapat terjadi oleh setiap orang, dan juga negara harus hadir dalam untuk korban
kekerasan seksual. Penyuaraan terus menerus dilakukan, bahkan hingga hari ini promosi dalam
SDGs (Sustainable Development Goals) nomor 5 yang menyantumkan promosi keadilan
gender dan pemberdayaan perempuan (Bayeh, 2016; Devi, 2017; Garcia-Moreno & Amin,
2019; Moyo & Dhliwayo, 2019).
Selama ini, pelaku kejahatan seksual dapat lolos dari jeratan hukum karena belum ada
undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang kekerasan seksual secara asas legalitas.
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
231
Oleh karena itu, begitu pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus di sahkan
sebagai bentuk kepedulian negara terhadap kasus kekerasan seksual yang masih marak terjadi
di Indonesia. Tulisan ini mencoba untuk menyelami makna perjuangan kelas atas pendesakan
pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia dengan perspektif perjuangan
kelas Marx.
KAJIAN TEORI
Marx dan gerakan sosial pada dasarnya melawan kapitalisme (Barker, et al). Karl Marx
beranggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Artinya bahwa
kelas yang kuat dan kelas yang lemah dalam masyarakat memunculkan gerakan-gerakan sosial.
Kita telah melihat bahwa keterasingan manusia adalah hasil penindasan satu kelas ke kelas
lainnya. Emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas
(Suseno, 2016). Marx beranggapan jika masyarakat ingin terbebas dari penindasan dan
keterasingan maka masyarakat harus melakukan sebuah revolusi, yakni perjuangan kelas
(Coburn, 2016; Berberoglu, 2018).
Menurut Karl Marx masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada kepemilikan
sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar. Kelas proletar adalah kelas yang tidak
memiliki sarana dan alat produksi (Setiadi & Kolip, 2011). Kelas sosial terdiri dari sejumlah
orang yang memiliki status sosial baik yang diperoleh dari kelahiran (ascribed status),
perjuangan untuk meraih status sosial (aschieved status), dan karena pemberian (assigned
status). Adanya kelas dalam masyarakat ini memunculkan konflik di dalam masyarakat itu
sendiri. Dalam teori konflik sosial memandang antar elemen sosial/kelas memiliki kepentingan
yang berbeda, sementara pandangan teori struktur fungsional menempatkan elemen sosial
saling mendukung kehidupan sistem sosial.
Perjuangan kelas yang Marx maksudkan adalah perlawanan terorganisir yang berasal
dari kaum kelas proletar melawan kaum kelas bourjouis. Gagasan analisis kelas dalam model
Marxis mengandung sejumlah ambisi yang sangat besar yaitu melandasi prinsip
pengorganisasian yang khas bagi analisis sosial-politik. Bahwasannya Marx menegaskan
kesadaran kelas ini harus dibangkitkan dari ‘luar”. Disamping itu, gagasan tersebut juga
beramisi untuk menyediakan metode terbaik demi memberikan pemaknaan dan koherensi
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
232
teoritis dan empiris bagi luasnya pengakumulasian data apa pun yang mengisi rekaman sejarah
dari kehidupan masyarakat (Martinez, 2017). Titik berangkat analisis-kelas Marxisme yaitu
melalui Communist Manifesto yang didalamnya Marx dan Engels mendeklarasikan bahwa
sejarah dari semua bentuk masyarakat yang eksis sampai sekarang adalah sejarah tentang
perjuangan kelas. Gerakan perjuangan kelas dalam pandangan Marxist pada dasarnya adalah
collective action (tindakan kolektif) yang muncul sebagai reaksi atas ketertekanan kaum
proletar oleh kelas penguasa.
Teori kelas Marx menegaskan bahwa kesadaran kelas akan tumbuh kolektive sebagai
akibat dari tekanan kelas borjuis (Berberoglu, 2018). Meskipun pendekatan teoritis Marx
secara keseluruhannya dapat diterapkan pada tahap sejarah yang mana perhatian utamanya
adalah pada tahap masyarakat kapitalisperkembangannya sejak semula di akhir masa feodal,
ketegangan-ketegangan dan kontradiksi internalnya, hingga akhirnya bubar dan berubah
menjadi masyarakat komunis yang akan datang melalui kegiatan revolusioner kelas proletar.
Menurut Marx, kontradiksi dasar dalam struktur masyarakat kapitalis sudah mencapai
puncaknya dalam krisis ekonomi; dengan adanya krisis ekonomi itu sudah pasti sistem kapitalis
akan menderita. Kaum kapitalis bersaing satu sama lain untuk memperoleh keuntungan,
kelebihan produksi yang dihasilkan merupakan dasar untuk memperoleh keuntungan. Hal ini
memunculkan respon yang massive di kalangan kaum buruh di tingkat global. Marx tidak
menyajikan suatu perencanaan terperinci mengenai masyarakat post-kapitalis, tetapi dia
membayangkan suatu masyarakat dimana keuntungan produksi yang dihasilkan oleh
kapitalisme akan dimiliki secara kolektif, daripada secara pribadi. Marx memandang bahwa
hal ini akan membebaskan individu dari keharusan menggunakan semua waktunya untuk lebih
mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka sebagai manusia.
Pada tingkat global munculnya keadaan krisis ekonomi, memungkinkan munculnya
kesadaran kelas yang lebih kuat di pihak kaum proletar. Kemungkinan-kemungkinan ini
diimbangi dengan kompetisi antara kaum buruh dengan kaum proletar, yang mana kaum buruh
akan mendapatkan keuntungan karena pekerjaan yang langka dan upah yang meniingkat.
Mengatasi persaingan ini yaitu dengan mengembangkan kesadaran kelas. Kesadaran yang
dibangun yaitu menuntut bahwa kaum buruh harus senantiasa mendapatkan jalan untuk proses
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
233
sejarah, dimana mereka terlibat didalamnya. Pada fenomena nasional yang diangkat dalam
tulisan ini yaitu dinamika kolektif yang terjadi terhadap kaum perempuan dan rakyat tertindas
dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual.
Kami melihat bahwa kritik Marx terhadap masyarakat kapitalis dan ramalannya
mengenai perkembangan masa depannya menjadi sasaran banyak kritik. Salah satu kritik yaitu
reaksi terhadap Marxisme sebagai satu ideologi politik, bukan sebagai suatu teori sosiologi
atau teori ekonomi yang objektif. Secara umum kritik-kritik terhadap interpretasi Marxis
mengenai masyarakat kapitalis mengemukan bahwa Marx meremehkan fleksibilitas dan
kemampuan menyesuaikan diri dari masyarakat kapitalis dalam menyelesaikan krisis. Namun,
Marx melihat bahwa proses dominasi atau kekuasaan yang terjadi selalu dilakukan dengan
cara-cara fisikal melalui pemaksaan.
Pembagian kelas menurut Karl Marx tidak hanya tentang hierarki kedudukan seseorang
secara ekonomi melainkan juga kedudukan seseorang dalam hierarki kekuasaan untuk
mempertahankan kedudukanya dalam suatu kelas. Dasar Anggapan Marx tentang kelas sosial
bahwa sebuah kelas sosial baru di anggap kelas dalam arti yang sebenarnya, apabila dia bukan
hanya secara (objektif) merupakan golongan dengan kepentingan sendiri, melainkan juga
sebagai (subjektif) menyadari sebagai kelas, sebagai golongan khusus yang mau
memperjuangkannya. Pelaku utama dalam perubahan sosial bukanlah individu tertentu, tetapi
kelas-kelas sosial. Bukan hanya kelas sosial apa yang ditemukan, tetapi struktur kekuasaan
yang ada dalam kelas sosial tersebut. Dalam kelas-kelas ada yang berkuasa dan yang dikuasai.
Pertentangan antara kelas atas dan kelas bawah bukan karena adanya perasaan iri atau
egois, tetapi karena adanya kepentingan yang obyektif. Menurut Marx, negara bukanlah
lembaga yang mengatur kesejahteraan rakyatnya, tetapi sebagai alat untuk mengamankan
orang-orang dari kelas atas. Jadi negara tidak netral, tetapi selalu berpihak kepada kelas atas,
maka kebijakan yang dibuat oleh negara lebih menguntungkan kelas atas. Pelaku utama dalam
perubahan sosial bukanlah individu tertentu, tetapi kelas-kelas sosial. Bukan hanya kelas sosial
apa yang ditemukan, tetapi struktur kekuasaan yang ada dalam kelas sosial tersebut.
Salah satu pemikiran yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan teori
konflik adalah analisis Marx tentang konflik yang menyatakan bahwa konflik utama yang
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
234
terjadi dimasyarakat adalah konflik antar kelas (Haryanto, 2016). Dalam Pandangan Karl
Marx, sejarah sosial menurutnya merupakan sejarah perjuangan kelas dalam social movement
(Cox, 2015). Setiap tipe masyarakat selalu terdapat didalamnya dua kelas yang saling berbeda
kepentinganya secara diametrical, sehingga menimbulkan konflik diantara keduanya. Teori
konflik Karl Marx tertarik pada bagaimana kelas yang memiliki kekuasaan berusaha
mengontrol kelas yang tidak memiliki kekuasaan. Konflik merupakan unsur utama dalam
politik dan perubahan sosial. Teoritikus konflik tidak membatasi perhatianya pada tindakan
konflik kekerasan. Mereka jugs tertarik pada kompetisi non kekerasan Antar kelompok dalam
masyarakat, antar laki-laki dan perempuan, ras, antar generasi dan latar belakang nasional
(Haryanto, 2016).
METODE PENELITIAN
Paper ini menggunakan jenis metode penelitian kualitatif deskriptif dengan
pendekatan kajian pustaka. Desk review dilakukan oleh setiap penulis dengan
menggunakan tools penelusuran pada repositori daring (online).
Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Eksplorasi data sekunder
didapatkan melalui penelusuran tulisan-tulisan ilmiah dan populer seperti jurnal, tulisan di
koran, media daring dan buku yang terkait dengan tema pengesahan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual dan ide-ide pokok teori Karl Marx tentang perjuangan kelas dan gerakan
sosial serta melalui dokumen pemerintahan Indonesia seperti draft RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual dan naskah akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pengumpulan data melalui penelusuran repositori daring yaitu: Google Scholar,
Elsevier, dan J-STOR. Data yang terkumpul kemudian di kategorisasi berdasarkan tema,
dimana masing-masing penulis mendapatkan penugasan dalam menelusuri literatur;
Nikodemus Niko menelusuri literatur dengan kata kunci Teori Kelas dan social movement
Karl Marx, Atem mendapatkan penugasan menelusuri literatur dengan kata kunci RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, Alif Alfi Syahrin mendapatkan penugasan menelusuri
literatur tentang aksi demonstrasi dalam upaya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual, Alvin Dwi Rahmawan mendapatkan penugasan penelusuran kata kunci kasus-
kasus kekerasan seksual di Indonesia, dan Anggi Mardiana mendapatkan penugasan
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
235
penelusuran kata kunci pemikiran Marx tentang organisasi politik dan power. Hasil desk
review masing-masing penulis kemudian didiskusikan bersama-sama.
Analisis data dilakukan pada saat yang bersamaan dengan penulisan paper ini,
sehingga verifikasi data dilakukan pada saat yang bersamaan. Artinya bahwa setiap penulis
memvalidasi data hasil penelusurannya pada saat bersamaan dengan penulisan sesuai
dengan penugasan.
PEMBAHASAN
Gejolak (Pro-Kontra) RUU Penghapusan Kekerasan seksual.
Problema hukum tehadap kejahatan seksual di Indonesia masih belum menemukan
benang merah, yang mana saat ini Indonesia dalam kondisi darurat masalah kekerasan seksual.
Kasus kekerasan terhadap perempuan ini merupakan fenomena gunung es, yang mana hanya
sebagian kasus-kasus yang dilaporkan dan banyak kasus yang tidak diungkapkan. Hal ini yang
mendasari agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dimasukan ke dalam legislasi nasional
dan prolegnas prioritas.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) beberapa
tahun terakhir diekspektasikan sebagai payung hukum yang akan diandalkan sebagai bentuk
penyempurnaan hukum yang mengatur kekerasan seksual, dalam KUHP dalam pasal 285
sampai 288 hanya mengatur tindak kejahatan perkosaan dan dalam rumusannya belum mampu
melindungi korban dari kekerasan. Namun demikian RUU PKS nyatanya mandek dalam
pusaran parlemen dan perpolitikan. RUU PKS ini memunculkan pro dan kontra baik
dikalangan masyarakat, partai politik, akademisi dan Lembaga-lembaga terkait. Di dalam
parlemen fraksi partai politik terbagi menjadi dua kubu yakni kubu yang mendukung di
sahkannya RUU PKS dan kubu yang menentang.
Beberapa fraksi partai politik masing masing beradu argument terkait pasal-pasal yang
terdapat dalam RUU PKS tersebut. Setidaknya ada beberapa hal yang menimbulkan pro dan
kontra, yakni mulai dari judul yang dinilai bermasalah karena memilih kata kekerasan seksual
yang dianggap problematis dan akan mempengaruhi substansi isi RUU tersebut. RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual juga dituding melegalkan zina atau seks bebas, aborsi, pro
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
236
LGBT, lalu tindakan non fisik seperti siulan, kedipan mata juga bisa dipidana, dan tokoh agama
yang melakjukan pelecehan akan mendapatkan tambahan hukuman (news.detik.com, 2019).
Mengacu pada naskah akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan
Kekerasan Seksual pasal 1 (1) kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan
menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu
perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan
dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak
mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi
gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan
terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Penafsiran isi dari pasal-pasal tersebut menimbulkan perdebatan. Beberapa pihak yang
menolak pengesahan ini seperti Profesor Euis Sunarti Guru Besar Institute Pertanian Bogor
(IPB), Wakil Sektretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI) yakni Tengku Zulkarnain,
serta Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (P-KS). Ketua praksi P-KS Jazuli Juwaini
menyampaikan penolakannya terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena
dianggap akan menimbulkan polemik di masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan Agama. Sama halnya diutarakan oleh dosen Universitas Padjadjaran Maimon
Herawati yang menganggap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini pro zina dan memiliki
sudut pandang barat dan kalimat-kalimatnya mengandung multitafsir.
Sebaliknya Masruchah, Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan merespon
penolakan fraksi Partai Keadilan Sejahtera tersebut sebagai bentuk inkonsisten fraksi partai
politik, karena sebelumnya semua fraksi menyetujui saat RUU tersebut diusulkan dan dibahas
dalam Badan Legislasi (Baleg) DPR (Erdianto, 2019). Hal ini di dukung fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Diah Pitaloka selaku Anggota Komisi VIII DPR RI
berpendapat bahwa sering terjadi kasus kekerasan seksual yang sulit dibuktikan, oleh karennya
korban tidak mendapatkan keadilan dan justru menjadi korban hukum. Hal tersebut terjadi
karena tidak adanya instrument hukum yang dengan jelas mengatur jenis-jenis kekerasan
seksual secara menyeluruh. Hal senada di sampaikan oleh) Siti Mazumah selaku Direktur LBH
Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) yang berharap agar, RUU
penghapusan kekerasan seksual segera di sahkan (Ramadhan, 2019).
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
237
Adapun kelompok yang masih menolak RUU penghapusan kekerasan seksual melalui
petisi online ini, menganggap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pro zina, pro LGBT
dimana LGBT dinilai akan berkembang karna dilindungi RUU PKS, pro aborsi yang dimana
sudah jelas ada Undang-Undang kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
perbedaan pandangan antar kelompok maupun kelas terjadi karena belum sampai pada satu
kesepahaman tujuan. Salah satu pertimbangan dalam pengesahan RUU PKS ini ialah kelompok
rentan yang rentan terjerat (LGBT) yang diluar keinginannya sendiri (faktor gen) dinilai rentan
terjerat.
Selama tidak ada undang-undang yang mengaturnya, LGBT tidak dapat dipidanakan
dan hakim memiliki pertimbangan dalam memutus suatu perkara dengan melihat kembali pada
naskah akademik sebagai bahan pertimbangan. Yang terjadi sekarang para pembuat kebijakan
terlalu berlarut-larut dalam menganalisa dugaan-dugaan yang justru bertolak belakang dengan
substansi RUU Penghapusan kekerasan seksual, misal dugaan pro zina karena belum ada
perluasan pasal KUHP yang mengatur tentang zina bagi mereka yang belum menikah, akan
tetapi hal ini jelas berbeda dengan substansi RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual. RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera disahkan karena Indonesia saat ini Darurat
Kekerasan Seksual. Gejayan memanggil merupakan sarana perjuangan kelas yang perlu segera
dipertimbangan para penguasa, karena kepentingsn gejayan memanggi ialah murni untuk
kepentingan rakyat pada umumnya yang belum bercampur dengan kedudukan, kekuasaan dan
kepentingan.
Gejolak pro dan kontra ini juga mucul dikalangan mayarakat luas termasuk dikalangan
mahasiswa dan aktivis, yang menuntut untuk disegerakan pengesahan RUU PKS, selain itu
perdebatan yang tak terkoordinir juga menyebar di sosial-media, pada akhirnya perdebatan
berbagai pihak ini berada di jalan buntu, karena keputusan berada di tangan pemangku
kebijakan. Polemik pro dan kontra terkait pengesahaan RUU penghapusan kekerasan seksual
ini bermuara pada tertundanya RUU tersebut, dan belum lama ini, masyarakat kembali
dikejutkan dengan adanya RUU Ketahanan keluarga yang menambah gejolak baru, dan
semakin mengaburkan RUU PKS yang seharusnya menjadi konsen pemerintah untuk segera
di selesaikan dalam tataran pengambilan keputusan.
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
238
Perjuangan Kelas: Aksi Pendesakan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Perempuan di Indonesia masih rentan terhadap kekerasan yang dikarenakan budaya
patriaki. Seperti yang dikemukan oleh Purwanti (2017) bahwa budaya patriarki ini adalah
perspektif yang menyatakan bahwa laki-laki mendominasi semua peran dalam sistem sosial;
karena perempuan diabaikan dari peran yang juga bisa mereka lakukan seperti laki-laki. Peran
sosial ini termasuk dalam aspek sosial, agama, ekonomi, politik, atau budaya. Hal inilah
menjadi salah satu faktor rentannya kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan di
Indonesia. Sehingga salah satu aksi yang bermunculan mengenai tuntutan disahkannya RUU
PKS memiliki tujuan untuk memperjelas posisi kaum perempuan maupun korban pelecehan
seksual dalam sudut pandang hukum yang adil. Framing ini penting untuk memunculkan rasa
kebersamaan dalam aksi/movement (Arnold & Ake, 2013).
Kekerasan terhadap perempuan mencakup pelecehan fisik, seksual, psikologis, dan
ekonomi, serta pemotongan melintasi batas usia, ras, budaya, kekayaan, dan geografi (Nilan,
dkk, 2014). Begitu juga berdasarkan Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri
dari: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi;
perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan
penyiksaan seksual (Movanita, 2019a).
Tuntutan untuk disahkannya RUU PKS dikarenakan bahwa “salah satu permasalahan
yang dihadapi terkait peraturan-peraturan perundang-undangan mengenai kekerasan seksual di
Indonesia adalah bahwa ketentuan-ketentuan ini masih diatur dalam peraturan-peraturan yang
terpisah dan di Indonesia belum ada suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang kekerasan seksual secara spesifik” (Kusuma, dkk., 2019). Terlebih khususnya
perempuan yang menjadi korban telah menduduki posisi yang lebih rumit terkait dengan beban
sosial mereka (Purwanti dan Prabowo, 2018). Hal ini semakin diperjelas bahwa budaya
patriarkal sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia (Purwanti, 2017). Sehingga
perlu adanya UU yang lebih spesifik mengatur tentang kekerasan seksual.
Aksi-aksi yang bermunculan mengenai tuntutan disahkannya RUU PKS merupakan
gambaran kekecawaan atas respon pemerintah yang dinilai lamban dalam mengesahkan suatu
UU. Padahal Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-
PKS) merupakan suatu upaya pembaruan hukum dalam mengatasi berbagai persoalan terkait
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
239
kekerasan seksual (Kusuma, dkk., 2019). Lebih lanjut, Kusuma, dkk menyebutkan bahwa
pembaharuan dalam bentuk hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut: melakukan pencegahan
terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual, mengembangkan dan melaksanakan
mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan
berpihak pada korban, agar Korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi
seorang penyintas dan memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan
tindakan tegas bagi pelaku kekerasan seksual.
Pada fenomena sosial, tentunya tak dapat dihindarkan dengan sebuah aksi yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Terlebih menyangkut dengan khalayak umum. Seperti
yang diungkapkan oleh Winarno (2019) bahwa serangkaian demonstrasi yang terjadi bertujuan
menggugat rezim penguasa yang tak berpihak pada rakyat. Sebuah aksi yang mencuat di
khalayak ramai merupakan sebuah simbol perjuangan dalam menyampaikan aspirasi serta
pembelaan terhadap kaum tertindas. Salah satunya kaum perempuan di Indonesia yang rentan
mengalami kekerasan, dalam hal ini adalah kaum tertindas.
Pembagian yang paling mendasar dan penting dalam masyarakat adalah pembagian
antara kelas-kelas yang berbeda. Marx menegaskan bahwa dia melihat kelas sosial sebagai
kategori yang paling dasar dalam struktur sosial (Upe, 2010). Bagaimana kelas-kelas itu
muncul? Pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan dengan konsep Marx mengenai
materialisme historis. Penegasan ini yaitu kemampuan manusia untuk memenuhi pelbagai
kebutuhannya, bergantung pada keterlibatannya dalam hubungan sosial dengan orang lain
untuk mengubah lingkungan materil melalui kegiatan-kegiatan produktif.
Perihal wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual (RUU PKS) menimbulkan sejumlah aksi demonstrasi yang membagi dua buah kubu
antara pro RUU PKS dan kontra RUU PKS. Seperti contoh ada anggapan yang mengatakan
bahwa RUU PKS secara tidak langsung dapat memberikan pelegalan seks diluar nikah (zina),
padahal tentang zina sudah diatur dalam KUHP (Andriasari, 2019). Aksi yang timbul di
kalangan masyarakat, khususnya dari kelompok mahasiswa, menunjukkan bahwa wacana
pengesahan RUU PKS dapat menghadirkan berbagai macam aspirasi. Hal ini dikarenakan
terdapat berbagai macam penafsiran serta pandangan ke depan mengenai RUU PKS, baik akan
disahkan atau bahkan dibatalkan.
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
240
Aksi #GejayanMemanggil merupakan bentuk aksi yang dimotori oleh mahasiswa-
mahasiswa di Yogyakarta dengan mengedepankan seruan damai untuk kesejahteraan dan
kebebasan yang dianggap semakin hari semakin dibatasi (Sukendar, 2019). Terdapat salah satu
butir tuntutan dalam aksi gejayan memanggil yakni menuntut pengesahan RUU PKS yang
dianggap sudah terlalu lama dibahas sejak 2017 (Movanita, 2019b). Dengan maksud
memberikan payung hukum terhadap korban-korban pelecahan seksual. Namun, terdapat
anggapan dari kelompok yang menolak untuk disahkannya RUU PKS, seperti yang dikutip
pernyataan Rita Soebagio selaku Ketua Umum AILA yang dilansir dalam AyoBandung.com
(2019) bahwa dalam pengesahan RUU PKS terdapat kelompok-kelompok yang berpaham
kebebasan seksual. Sehingga mengindikasikan memberi izin kebebasan seksual yang tak sesuai
dengan adat ketimuran. Padahal penafsiran tersebut kurang tepat jika ditelusuri lebih
mendalam.
Walaupun tidak secara gamblang Marx mendefinisikan kelas sosial tentu kita dapat
mengetahui bahwa kelas sosial adalah golongan dalam stuktur sosial. Tetapi, dalam pemikiran
Marx dapat diindikasikan bahwa kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pascafeodal.
Kelas sosial dalam pandangan Marx yakni kelas pekerja atau kelas bawah (ploletar) dan juga
pemilik modal atau kelas atas (borjuis). Kedua kelas ini selalu mengalami pertentangan,
pertentangan mereka bukan karena buruh iri atau para majikan egois, melainkan karena
kepentingan dua kelas itu secara objektif berlawanan satu sama lain (Suseno, 2016). Atas
konsepnya itu, dalam sistem yang dikemukan Marx bahwa negara secara hakiki merupakan
negara kelas, artinya secara tidak langsung negara dikuasai oleh kelas-kelas tertentu yang
memiliki kekuasaan baik dibidang ekonomi dan politik.
Analisis Marx mengenai kesadaran kelas tertindas sangat penting untuk melakukan
sebuah gerakan sosial. Kesadaran kolektif yang melahirkan gerakan sosial dan bertujuan
memperjuangkan kelas tertindas. Perjuanagan kelas diperuntukkan agar adanya bargaining
position sehingga kesenjangan antara kelas atas dengan kelas bawah semakin hilang dan
mencapai harapan yaitu masyarakat tanpa kelas. Seperti yang dikatakan oleh Marx jika ingin
terbebas keterasingan dan penindasan maka lakukan gerakan perjuangan kelas. Apa yang
dikatakan Marx sangat sejalan dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat pada dewasa ini,
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
241
pergerakan-pergerakan perjuangan kelas yang rata-rata banyak dilakukan oleh masyarakat
biasa kepada penguasa.
Jika di Jerman dalam bukunya “Manifesto Komunis” Marx dan Angels mengatakan
bahwa perjuangan kelas yang dilakukan yaitu untuk melawan bentuk penindasan yang
dilakukan oleh kelas borjuis dan pemerintah. Maka di Indonesia spirit perjuangan kelas itu
diadopsi oleh gerakan perempuan dan dalam beberapa bentuk gerakan-gerakan rakyat.
Semangat yang dikemukan oleh Marx mengenai perjuangan kelas memicu gejolak pergerakan
kelas-kelas tertindas lainnya. Seperti halnya untuk mencapai disahkannya Rancangan Undang-
undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) maka perlunya gerakan perjuangan kelas
dari masyarakat, terutama kelas-kelas yang dalam hal ini memiliki kerentanan menjadi korban
kekerasan seksual, jika rancangan ini tidak kunjung disahkan.
Perjuangan kelas dalam upaya pengesahan RUU Penghapusan kekerasan seksual ini
memerlukan adanya kesadaran kelas. Kesadaran kelas apa yang dimaksud? Dalam analisis
Marx, kesadaran kelas yang dimaksud adalah kesadaran kelas para pekerja atau buruh yang
bekerja bersama-sama di suatu pabrik dengan dalam kondisi yang kurang manusiawi dan hidup
berdampingan satu sama lain (antar buruh satu pabrik) sebagai tetangga di satu kota juga, kaum
proletar menjadi sadar akan penderitaan bersama dan kemelaratan ekonominya. Singkatnya,
terpusatnya mereka pada satu tempat memungkinkan terbentuknya jaringan komunikasi dan
menghasilkan kesadaran bersama (Umanailo, 2019). Tetapi jika dilihat dalam konteks
perjuangan untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan seksual ini perlu adanya
kesadaran kelas dari golongan kelas rakyat yang merasa peduli terhadap bentuk-bentuk
kekerasan seksual, sehingga dari kesadaran kelas itu lahirlah perjuangan kelas.
Perjuangan kelas yang sangat aktif digulirkan beberapa tahun terakhir ini menuntut
penguasa (negara) segera mengesahkan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan
seksual (RUU PKS). Seperti halnya gerakan Gejayan Memanggil, Rakyat Gugat Negara,
Gerakan Umat Lintas Iman Se-Jawa Barat (Geulis) dan aksi lainnya yang menuntut hadirnya
negara dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Asumsi utama yang
menggerakkan gerakan itu karena melihat fenomena-fenomena kekerasan seksual yang setiap
tahunnya selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan bahwa
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
242
masih banyak kekerasan seksual yang dilakukan baik di ranah personal maupun di ranah
publik.
Gejayan memanggil merupakan bentuk perjuangan kelas dari mahasiswa sebagai agent
of change yang merupakan bagian dari civil society sebagai pengontrol para pembuat kebijakan
yang dinilai netral, garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat yang kerap
merasa terabaikan dengan adanya kepentingan para penguasa. Salah satu tuntutan “gejayan
memanggil” ialah sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang bukan hanya menjadi
jalan bagi perempuan mendapatkan ruang aman dan keadilan, tetapi juga menjadi sumber
movement dan keberdayaan perempuan (Ogato, 2013).
KESIMPULAN
Gerakan perjuangan kelas dalam upaya pengesahan RUU penghapusan kekerasan
seksual tergambarkan dalam bentuk aksi-aksi di berbagai wilayah di Indonesia. Gerakan
kolektif seperti Gejayan memanngil, Rakyat Gugat Negara, Gerakan Umat Lintas Iman Se-
Jawa Barat (Geulis) adalah bentuk dari perjuangan kelas, yang di dalamnya terdapat kaum
perempuan. Dalam hal ini, kelas yang tidak memiliki kekuasaan membentuk aksi kolektif
untuk menuntut kelas penguasa agar mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kami memahami narasi kelas yang digaungkan Karl Marx pada akhirnya membentuk suatu
relasi kolektif. Artinya bahwa movement yang dilakukan terhadap perjuangan pengesahan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini tidak hanya berasal dari satu kelas tertentu dan
gender tertentu, melainkan membentuk kolektifitas. Kolektif dalam hal ini adalah bagi siapa
saja (kalangan) yang mendesak pengesahan RUU ini untuk segera disahkan, dengan
pengharapan akan terdapat perbaikan sistem hukum negara dalam penanganan kekerasan
seksual, baik penanganan hak-hak korban maupun penghukuman bagi pelaku.
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
243
DAFTAR PUSTAKA
__________. (2019). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual. Diakses dari: https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-naskah-
akademik-rancangan-undang-undang-tentang-penghapusan-kekerasan-seksual
Adam, A. (2019, 22 Februari). Pelecehan Seksual di Kantor dan Beban Ganda Pekerja
Perempuan. Diakses dari: https://tirto.id/pelecehan-seksual-di-kantor-dan-beban-ganda-
pekerja-perempuan-dhxM
Aktar, S. (2019). Transnational feminism and women’s activism: Strategies for engagement
and empowerment in Bangladesh. Asian Journal of Women’s Studies. 25(2):285-294.
Doi: https://doi.org/10.1080/12259276.2019.1612508
Andriasari, D. (2019). Woman’s Day Vs RUU P-Kekerasan Seksual. Harian Pikiran Rakyat.
Edisi Jum’at 8 Maret 2019.
Arnold, G., & Ake, J. (2013). Reframing the Narrative of the Battered Women’s Movement.
Violence Against Women. 19(5):557-578. Doi:
https://doi.org/10.1177/1077801213490508
AyoBandung.com. AILA Tegaskan Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Diakses
pada Januari 22, 2020, dari: https://www.ayobandung.com/read/2019/09/25/64859/aila-
tegaskan-tolak-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual
Baker, C. N., & Bevacqua, M. (2017). Challenging Narratives of the Anti-Rape Movement’s
Decline. Violence Against Women. 24(3)1-27. Doi:
https://doi.org/10.1177/1077801216689164
Barker, et al. (Ed). (2013). Marxism and Social Movement. Leiden & Boston: Koninklijke Brill
NV.
Basile, K. C., & Smith, S. G. (2011). Sexual Violence Victimization of Women: Prevalence,
Characteristics, and the Role of Public Health and Prevention. American Journal of
Lifestyle Medicine. Doi: 10.1177/1559827611409512
Basir & Ismail. (2012). Karl Marx dan Konsep Perjuangan Kelas Sosial. International Journal
of Islamic Thought. 1: 27-33. Doi: 10.24035/ijit.01.2012.004
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
244
Bayeh, E. (2016). The role of empowering women and achieving gender equality to the
sustainable development of Ethiopia. Pacific Science Review B: Humanities and Social
Science. Doi: https://doi.org/10.1016/j.psrb.2016.09.013
Berberoglu, B. (2018). The Marxist Theory of Social Movement, Revolution, and Social
Transformation. In Berberoglu, B. (eds). The Palgrave Handbook of Social Movementts,
Revolution, and Social Transformation. Palgrave Macmillan, Cham. Doi:
https://doi.org/10.1007/978-3-319-92354-3_4
Coburn, E. (2016). Marxism and Social Movements. Socialist Studies/Études socialistes.
11(1):237-250.
Cox, L. (2015, March 16). Thinking Marxism and Social Movements. Diakses dari:
https://www.ppesydney.net/thinking-marxism-and-social-movements/
Cripps, J., & Stermac, L. (2018). Cyber-Sexual Violence and Negative Emotional States among
Women in a Canadian University. International Journal of Cyber Criminology.
12(1):171-186.
Devi, T. R. (2017). Gender Equality: Women Empowerment. Global Journal for Research
Analysis. 6(9):141-143.
Dewantara, J. R. (2020, 14 Januari). Perempuan dan Anak Kekerasan Seksual di Kulonprogo
Mulai Sadar untuk Lapor. Diakses dari:
https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2020/01/14/514/1029366/perempuan-dan-
anak-korban-kekerasan-di-kulonprogo-mulai-sadar-untuk-lapor
Erdianto, K. (2019, 30 Juli). Fraksi yang Menolak Pengesahan RUU PKS Dinilai Tidak
Konsisten. Diakses
dari: https://nasional.kompas.com/read/2019/07/30/18285971/fraksi-yang-menolak-
pengesahan-ruu-pks-dinilai-tidak-konsisten?page=all
Garcia-Moreno, C., & Amin, A. (2019). Violence Against Women: where are we 25 years after
ICPD and where do we need to go? Sexual and Reproductive Health Matters. 27(1):346-
348. Doi: https://doi.org/10.1080/26410397.2019.1676533
Guruge, S., Roche, B., & Catallo, C. (2012). Violence against Women: An Exploration of the
Physical and Mental Health Trends among Immigrant and Refugee Women in Canada.
Nursing Research and Practice. Doi: 10.1155/2012/434592
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
245
Haryanto, S. (2012). Spektrum Teori Sosial. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hukum Online. Isu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Versi Komnas Perempuan. Diakses
pada Maret 18, 2020, dari:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5733216560b1b/ini-isi-ruu-penghapusan-
kekerasan-seksual-versi-komnas-perempuan/
Komnas Perempuan. (2013). Korban Berjuang, Publik Bergerak: Mendobrak Stagnansi Sistem
Hukum: Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012. Diakses dari:
http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2013/12/CatatanTahunan-
Komnas-Perempuan-2012.pdf
Komnas Perempuan. (2019). Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas
Perempuan Tahun 2019. Diakses dari: https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-
lembar-fakta-dan-poin-kunci-catatan-tahunan-komnas-perempuan-tahun-2019
Kusuma, A, dkk. (2019). Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur
Tindak Kekerasan Seksual. Lex Scientia Law Review. 2(2):55-68.
Levine, E. C. (2017). Sexual Script and Criminal Statutes: Gender Restictions, Spousal
Allowences, and Victim Accountability After Rape Law Reform. Violence Against
Women. 24(3):1-28. Doi: https://doi.org/10.1177/1077801216687876
Lin, Z., & Yang, L. (2019). Indivudual and collective empowerment: Women’s voices in the
#MeToo movement in China. Asian Journal of Women’s Studies. 25(2):117-131. Doi:
https://doi.org/10.1080/12259276.2019.1573002
Martinez, M. A. (2017, August 27). A Marxist Approach to Social Movements? Retrieved
from: http://www.miguelangelmartinez.net/?2017-A-Marxist-Approach-to-Social
Movanita, A. N. K. (2019a, September 23). Kekeliruan Memahami RUU PKS, Dianggap
Liberal dan Tak Sesuai Agama. Diakses dari:
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/23/19350151/kekeliruan-memahami-ruu-
pks-dianggap-liberal-dan-tak-sesuai-agama?page=all
Movanita, A. N. K. (2019b, September 24). Ramai-ramai Turun ke Jalan, Apa yang Dituntut
Mahasiswa? Diakses dari:
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/24/15440851/ramai-ramai-turun-ke-jalan-
apa-yang-dituntut-mahasiswa?page=all
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
246
Moyo, T., & Dhliwayo, R. (2019). Archieving Gender Equality and Women’s Empowerment
in Sub-Saharan Africa: Lessons from the Experience of Selected Countries. Journal of
Developing Societies. 35(2): Doi: https://doi.org/10.1177/0169796X19845957
Never Okay Project. (2018). Kondisi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Diakses pada Maret
24, 2020, dari: https://neverokayproject.org/wp-content/uploads/2019/12/Survei-
Pelecehan-Seksual-di-Tempat-Kerja-Never-Okay-Project-2018-4.pdf
News.detik.com. Pro-Kontra RUU P-KS Anda Mendukung atau Menolak. Diakses pada Maret
22, 2020, dari: https://news.detik.com/pro-kontra/d-4728479/kontroversi-ruu-p-ks-anda-
mendukung-atau-menolak\
Niko, N., & Rahmawan, A. D. (2020). Supremasi Patriarki: Reaksi Masyarakat Indonesia
dalam Menyikapi Narasi Seksualitas dan Perkosaan Kasus Reynhard Sinaga. Jurnal
Analisa Sosiologi. 9(1):137-152.
Nilan, P., Demartoto, A., Broom, A., & Germov, J. (2014). Indonesian Men’s Perceptions of
Violence Against Women. Violence Against Women. 20(7): 869888. Doi:
10.1177/1077801214543383
Ogato, G. S. (2013). The quest for gender equality and women’s empowerment in least
developed countries: Policy and strategy implications for achieving millennium
development goals in Ethiopia. International Journal of Sociology and Anthropology.
5(9):358-372. Doi: 10.5897/IJSA2013.0454
Purwanti, A. (2017). Protection and Rehabilitation for Women Victims of Violence according
to Indonesian Law (Study on Central Java Government's handling through
KPK2BGA). Diponegoro Law Review. 2(2):312-325. Doi:
https://doi.org/10.14710/dilrev.2.2.2017.68-81
Purwanti, A., & Prabowo, R. A. (2018). Women Rights Fulfillment As The Victim Of Gross
Human Rights Violation: Urgency For The Sexual Violence Eradication Bill. Indonesia
Law Review. (3):303-315. Doi: http://dx.doi.org/10.15742/ilrev.v8n3.509
Setiadi, E. M., & Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group.
Perjuangan Kelas Pengesahan RUU……… Nikodemus Niko, Atem, Alif Alfi
Syahrin, Alfin Dwi Rahmawan,
Anggi Mardiana
JURNAL ILMIAH DINAMIKA SOSIAL 4 (2) 2020 ||
247
Sovann, R. (2019). Good practices for eliminating violence against women in Cambodia. Asian
Journal of Women’s Studies. 25(2):295-307. Doi:
https://doi.org/10.1080/12259276.2019.1615242
Sukendar, M. U. (2019). Konstruksi Realitas Berita #Gejayan Memanggil 23 September 2019
dalam Media Online Detik.com dan Kompas.com. Indonusa Conference on Technology
and Social Science.
Suseno, F. M. (2016). Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme, cetakan ke-sepuluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Umanailo, C. B. (2019). Pemikiran-pemikiran Karl Marx. Doi: 10.31219/osf.io/5q2ts. Diakses
dari: https://www.researchgate.net/publication/336764610
Upe, A. (2010). Tradisi Aliran Dalam Sosiologi Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik.
Jakarta: PT RajaGrafindo persaja.
Wariyatun. (2019). Creating zero tolerence for violence against women. Asian Journal of
Women’s Studies. 25(2):459-467. Doi: https://doi.org/10.1080/12259276.2019.1638047
Winarno, S. (2019). Demokrasi, Demonstrasi dan Demo Crazy. Malang Post. Edisi 25
September 2019.
... Dewasa ini kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok telah marak terjadi pada masyarakat. (Niko et al., 2020). Adapun fenomena-fenomena yang terjadi di Indonesia tentang kekerasan yang terjadi dikalangan siswa sebagai akibat dari perilaku agresif (Karneli et al., 2018). ...
Article
Full-text available
Aggressiveness is an act committed by an individual with the intention of hurting oneself, other people, or other objects. Some students of SMPN 17 Malang who have a habit of behaving aggressively need to be given individual counseling services in order to inhibit their aggressive behavior. Many techniques in guidance and counseling can be used to reduce aggressive behavior in students. One of them is the behavioral aversion technique approach. This study aims to reduce the aggressive behavior of SMPN 17 Malang students through behavioral counseling with aversion techniques. This study included a pre-experimental design with One Group Pretest-Posttest, the research subjects were 3 students who had high aggressive behavior, which was measured using an aggressive behavior scale. The results of the Wilcoxon test showed a significance value greater than 0.05. Because this research is to reduce behavior, the researcher uses an inverse significance value benchmark, meaning that if the significance value is greater than 0.05, this research is considered effective. So it can be concluded that behavioral counseling uses effective aversion techniques to reduce aggressive behavior in students. In future research, it is expected to be able to develop aversion techniques in more detail and better as well as a reference material to help overcome the problems of other subjects who need guidance and counseling services both individually and in groups.
... Fourth, research conducted by Nikodemus Niko, et. al. [10] with the title "Class Struggle for the Ratification of the Bill on the Elimination of Sexual Violence" in 2020, this research uses descriptive qualitative research methods in the process of analysis. The purpose of this study is to discuss the impact of the demands for the ratification of the P-KS Bill, which triggers a class or the camp between the pros of the P-KS Bill and the contra of the P-KS Bill. ...
Article
Full-text available
Children are a crucial element in the sustainability of a nation, making the protection of their rights a responsibility of the state. In Indonesia, the rising cases of sexual violence against children have become an urgent issue that requires more effective legal and social approaches. The victimology perspective offers a holistic approach by placing victims at the center of attention, aiming for recovery and justice. However, legal protection for children who are victims of sexual violence faces various challenges, such as a culture of victim blaming and weak law enforcement that often focuses solely on the perpetrators. Factors contributing to children becoming victims of sexual violence include dysfunctional families, trauma, mental health issues, and unsupportive environments. In this context, the roles of the government, society, and families are essential in creating a safe environment for children's development. With a sensitive and just approach, it is hoped that cases of sexual violence can be minimized and children's rights can be optimally protected. Abstrak Anak-anak adalah elemen penting dalam keberlanjutan suatu bangsa, sehingga perlindungan terhadap hak-haknya merupakan tanggung jawab negara. Di Indonesia, meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi isu
Article
Full-text available
p>Penelitian ini bertujuan untuk mereview Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS) dalam perspektif Viktimologi dengan titik berat pada perlindungan hukum dan perhatian hukum terhadap korban akibat kekerasan seksual. Kajian ini dilakukan dengan melalui library research dengan sumber data sekunder berupa RUU PKS dan bahan referensi terkait. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa RUU PKS sangat berorientasi terhadap korban. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya hak-hak korban maupun keluarga korban serta perhatian hukum terhadap korban. Hak-hak korban dinyatakan secara tegas pada Pasal 22 hingga Pasal 31 RUU PKS. Perhatian Hukum terhadap korban terdapat dalam konsidertan hingga pasal demi pasal dengan adanya regulasi yang mewajibkan serta melarang aparat penegak hukum yang meliputi penyidik, jaksa penuntut umum hingga hakim. Selain itu juga terdapat aturan tentang pasrtisipasi masyarakat untuk ikut serta mencegah terjadinya kekerasan seksual hingga melakukan bantuan secara sosial terhadap korban kekerasan seksual. Namun demikian RUU PKS diprediksi sangat berat untuk dapat efektif mencapai tujuan dikarenakan besarnya dana yang dubutuhkan dalam rangka untuk membentuk Pusat Pelayanan Terpadu beserta pelaksanaan tugasnya. Untuk itu maka komitmen pemerintah dalam penyediaan dana untuk mendukung sepenuhnya maksud dibuat nya UU PKS menjadi sangat urgen. </p
Article
Full-text available
Ide utama dari paper ini adalah ingin membongkar narasi seksualitas yang acapkali dipersamakan dengan narasi kekerasan seksual (perkosaan) pada berbagai kasus. Paper ini berangkat dari fenomena yang sedang menjadi sorotan di awal tahun 2020, yakni tentang pemerkosaan yang melibatkan warga negara Indonesia yang berada di Inggris. Diberitakan bahwa pemerkosaan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia ini merupakan kasus pemerkosaan terbesar di Inggris. Permasalahan disini, fenomena pemerkosaan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia tersebut menjadi sebuah supremasi patriarki dengan banyaknya komentar yang berseliweran di jagat dunia maya. Metode yang dilakukan dalam peper ini adalah
Article
Full-text available
In the past, women had been inclined to remain silent in the face of sexual harassment and this article examines the case of Chinese women, who have been empowered by the global #MeToo movement to fight for social equality. Through interviews and observations, this study analyzes how this movement has empowered Chinese women both at individual and collective levels and motivated them to fight against sexual harassment. However, further challenges remain, such as reforming of outdated laws. Therefore, the study suggests an institutional level approach for the empowerment of Chinese women and aims to draw more attention to similar strategies for the empowerment of women in non-western contexts.
Article
This article aims to review the strategic experience of individuals and human rights organizations for human rights, women's rights, gender equality and social justice in Bangladesh. Following an empirical research methodology, this article has been written on the four themes: education, engagement, empowerment, and advocacy. The organizations were selected because of their creative concepts, innovative approaches, achievements and impact on the public. The study focuses on how the “Unite for Body Rights” program provides education related to Sexual and Reproductive Health Rights (SRHR); how men from local community engage themselves in promoting gender equality and social justice; how “acid survivors” transform themselves into “survivor ambassadors” and empower themselves as women’s rights activists; and how the five leading human rights organizations in Bangladesh contributed to “banning the ‘two-finger test’ on rape survivors.” This article also evaluates the obstacles faced and marks them as lessons for the future.
Article
To tackle violence against women in Cambodia, action has been taken by local people, government and Civil Society Organizations (CSOs) in the kingdom. To understand this multi-faceted issue, in this study I highlight four main interventions that address and/or seek to prevent violence against women. By investigating these—“Shaping our future: Developing healthy and happy relationships” project, the “Cambodia Men's Network,” “Gender and Development Network,” and the “Gender Café”—projects, I identify four themes that correspond with these respectively: education, networking, advocacy and empowerment. The study indicates that these practices have yielded significant results for the prevention of violence against women and girls. While each one has its limitations, it notes the potential of each to address the complex issue of violence against women.
Article
To produce social change, especially to obtain zero tolerance for violence against women (VAW) in Indonesia, collaborative work and strategies are needed among civil society organizations. This is illustrated in the work of several civil society organizations that focus on combating VAW in Indonesia through FPL (Forum Pengada Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan, Forum of Service Providers for Women Victims of Violence), a forum of NGOs for combating violence against women. At the local level, each organization implements its own strategies that use native wisdom and address local social political and cultural aspects. Women’s empowerment is created via individual intervention, but it works slowly as community support is required. Combating violence against women cannot be achieved if males are not addressed properly. For this reason, engagement of males is important. Finally, all strategies should be framed through good policies, which allow victims of VAW to gain access to justice. This is why draft bills that work to stop sexual violence against women are initiated by many civil society organizations.
Article
Despite the progress that has been made towards achieving gender equality and the empowerment of women and girls in sub-Saharan Africa (SSA), evidence shows that gender disparities remain persistent in most countries. The aim of the article is to identify lessons from the experiences of those countries which have made considerable progress in bridging the gender gap. More specifically, the article seeks to identify strategies that will enable SSA countries to achieve the gender equality goal in the United Nations 2030 Agenda for Sustainable Development.