Content uploaded by Azwar Iskandar
Author content
All content in this area was uploaded by Azwar Iskandar on Aug 25, 2020
Content may be subject to copyright.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
516
KONSEP
AL-FALA>H
DALAM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM EKONOMI
Khaerul Aqbar
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar
Email: khaerul@stiba.ac.id
Azwar Iskandar
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar
Email: azwar@stiba.ac.id
Akhmad Hanafi Dain Yunta
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar
Email: ahmadhanafi@stiba.ac.id
Keywords:
ABSTRACT
al-fala>h, concept, luck,
happiness, economy
The study aims to know: (1) the epistemology and concept of al-
fala>h in Islamic perspective; (2) the implementation of al-fala>h
concept in micro and macroeconomic. The study uses a
qualitative-descriptive approach with library research technique.
The results showed that in Islamic epirstemology, al- al-fala>h
defined as all forms of happiness, luck, success and prosperity that
is perceived by a person, both born and inner, which it can be
feeled in the world and in the hereafter, from all sides and
dimensions (comprehensive) in all aspects of life. The concept of
al-fala>h demands a muslim to be oriented to the community in
every activity, where the hereafter becomes the ultimate goal of
the process in the world continuously, while the material facilities
in the world can be maximised to maximize the implementation
of worship to God more perfectly. Al-fala>h is a multidimensional
concept that has implications on the aspects of individual
behaviour (micro) and collective behavior (macro), namely
survival, freedom of desire, strength and self-esteem and
spirituality.
Kata kunci:
ABSTRAK
al-fala>h,
konsep, beruntung,
bahagia, ekonomi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) epistemologi dan
konsep
al-fala>h
dalam Islam; (2) implementasi konsep
al-fala>h
dalam mikro dan makro ekonomi. Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan kualitatif-deskriptif dengan teknik riset
kepustakaan (
library research
). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam epirstemologi Islam,
al-fala>h
didefiniskan sebagai
segala bentuk kebahagiaan, keberuntungan, kesuksesan dan
kesejahteraan yang dirasakan oleh seseorang, baik ia bersifat lahir
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
517
dan batin, yang bisa ia rasakan di dunia dan di akhirat kelak, dari
segala sisi dan dimensi (komprehensif) dalam seluruh aspek
kehidupan. Konsep
al-fala>h
menuntut seorang muslim untuk
berorientasi pada
maslahah
dalam setiap aktivitasnya, dimana
akhirat menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-
menerus, sementara sarana material di dunia dapat dimaksimalkan
guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan
lebih sempurna.
Al-fala>h
merupakan konsep multidimensi yang
memiliki implikasi pada aspek perilaku individual (mikro)
maupun perilaku kolektif (makro), yaitu kelangsungan hidup,
kebebasan berkeinginan, kekuatan dan harga diri dan spiritualitas.
PENDAHULUAN
Persoalan ekonomi mendasar yang dihadapi umat manusia saat ini adalah
munculnya suatu pandangan mengenai konsep kesejahteraan (
al-fala>h
) yang
keliru, dimana mereka menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi
nilai pada posisi yang dominan. Kekeliruan pandangan masyarakat dalam konsep
al-fala>h
ini terjadi karena mereka berpijak pada ideologi materialisme yang
mendorong perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi yang hedonistik,
sekuleristik dan materialistik.1 Dampak yang ditimbulkan dari cara pandang yang
keliru inilah yang membawa malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial
masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, kesenjangan
ekonomi yang semakin lebar, lunturnya sikap kebersamaan dan persaudaraan,
timbulnya penyakit-penyakit sosial (
social deseases
) seperti pelacuran,
penyalahgunaan wewenang (korupsi, kolusi dan nepotisme), anarkisme,
perjudian, minuman keras dan lainnya.
Fenomena sosial ini muncul disebabkan karena adanya beberapa
kemungkinan.2 Pertama, karena perilaku manusia didasarkan pada paradigma
ilmu ekonomi yang cenderung berbicara dalam dataran ekonomi positif (
positive
economics
) yang menekankan pada aspek efisiensi alokasi sumber daya ekonomi
dengan maksud untuk menjaga objektivitas ilmu. Kedua, model masyarakat yang
dikembangkan dalam ilmu ekonomi modern beranjak dari tradisi masyarakat
Barat yang sekuler sehingga contoh, model dan rumusan teori ekonominya
berlatar belakang masyarakat Barat. Ketiga, tradisi pemikiran Neo-Klasik
menempatkan aspek individualisme, naturalisme dan utilitarianisme dalam posisi
sentral dalam membangun paradigma ilmu ekonomi, sehingga teori dan model
yang dikembangkan merupakan rumusan yang berorientasi pada aspek material
seperti maksimalisasi keuntungan dan kepuasan, bekerjanya mekanisme harga
melalui
invisible hand
untuk mencapai keseimbangan pasar (
equilibrium
) dengan
tingkat pengerjaan yang penuh (
full employment
). Kondisi tersebut akan tercapai
manakala terpenuhinya asumsi
asymmetrical information
dimana para pelaku
1 Adam Kupeer dan Jessica Kuper,
The Social Science Encyclopedia
. Inggris: Cambridge
University Press. 2001. hal. 628.
2 Muhammad Umar Chapra
, The Future of Economics; An Islamic Perspective
. UK: The
Islamic Foundation. tt. hal.1.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
518
ekonomi dapat melakukan pilihan terbaik berdasarkan semua kemungkinan
terbaik yang tersedia. Namun pada kenyataannya, kondisi tersebut sulit terpenuhi
sehingga menimbulkan distorsi di pasar yang berakibat tidak tercapainya kondisi
keseimbangan sehingga kesejahteraan setiap individu menjadi sesuatu yang sulit
diperoleh.
Ringkasnya, ancaman umum yang terjadi pada masyarakat dunia
mengenai konsep
al-fala>h
(kesejahteraan) pada dasarnya masih berupa
perkembangan materi, tanpa mengindahkan pertimbangan spiritual, moral dan
etika. Mungkin seseorang bisa menemukan pengecualiaan dalam gagasan
kesamaan dan mengurangi perbedaan
income
. Kebahagian spiritualitas, sebagai
suatu faktor yang memotivasi perilaku manusia, tidak diasumsikan sebagai faktor
penting dalam perkembangan kesejahteraan ekonomi. Sebagai hasilnya, mungkin
sebagian besar rasa kemanusiaan (
humanity
) masih terperangkap dalam jaring
kemiskinan dan kerugian. Hal ini disebabkan kecaman terhadap praktisi sistem
ekonomi kapitalis yang memandang bahwa kebahagiaan atau
al-fala>h
masih
bersifat materi. Belum lagi ketika berbicara masalah kepentingan, sikap
individualisme masih mendominasi seluruh nilai-nilai manusia.
Dari paparan di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah hal apa
yang mendasari kekeliruan kebanyakan manusia di dunia ini dalam memahami
makna
al-fala>h
yang sesungguhnya.
Al-fala>h
hanya dipahami pada tahapan
materi saja, sehingga sikap, tindakan seseorang dalam melakukan tindakan
produksi, konsumsi dan distribusi menjadi jauh dari asas dan konsep syariah
Islam yang mulia ini. Hal ini kemudian menjadi sesuatu yang lumrah karena telah
menjadi sebuah
common mistake
dalam memahami sebuah konsep kesejahteraan,
kebahagiaan dan kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tingkat
individu, keluarga, sosial masyarakat maupun negara sekalipun. Olehnya, penting
untuk mengkaji dan memahami bagaimana Islam memandang konsep
al-fala>h
ini
agar seorang muslim mampu menjalankan kehidupannya dalam tuntunan agama.
Beberapa kajian terdahulu telah membahas dan mengkaji bagaimana konsep
al-
fala>h.
Ulfa Jamilatul Farida3 mengkaji konsep perwujudan
al-fala>h.
Namun kajian
ini tidak membahas secara mendalam bagaimana konsep dan epistemologi
al-
fala>h
secara mendalam, hanya pada aspek
penanganan masalah pangan di dunia.
Abdullah Shuhairimi
et al.
4
membahas konsep al-falah yang berlatarbelakangkan
nilai-nilai murni dalam disiplin keusahawanan Islam. Kajian ini mengupas nilai-
nilai murni berdasarkan kepada tafsiran landasan ilmu dan panduan wahyu dan
turut memfokuskan kepada konsep keusahawanan Islam dan usahawan berjaya
menurut neraca muamalah Islam. Namun demikian, kajian ini juga tidak
membahas konsep dan epistemologi
al-fala>h
secara mendalam dan
implementasinya dalam ekonomi.
3 Ulfa Jamilatul Farida,
Memahami Konsep Al-Falah Melalui Upaya Penguatan
Ketahanan Pangan Dalam World Islamic Economic Forum (WIEF),
Journal of Islamic Economics
Lariba, 5
(1), (2019). H. 53-69.
4 Abdullah Shuhairimi, Bakar Muhammad Shukri, dan Abdul Hamid Solahuddin,
Transformasi Usahawan Al Falah: Satu Refleksi,
Malaysia: Penerbit UniMAP.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
519
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: (1)
mengetahui epistemologi dan konsep
al-fala>h
dalam Islam; (2) mengetahui
implementasi konsep
al-fala>h
dalam pandangan mikro dan makro ekonomi.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif-deskriptif. Metode
tersebut merupakan upaya memahami berbagai konsep yang ditemukan dalam
proses penelitian, dengan menggunakan teknik riset kepustakaan (
library
research
). Dalam riset kepustakaan (
library research
), penelitian ini
menggunakan jenis dan sumber data sekunder yang diperoleh dari hasil
penelitian, artikel dan buku-buku referensi yang membahas topik yang berkaitan
dengan masalah penelitian.5
PEMBAHASAN
Epistemologi
al-fala>h
dalam Islam
Al-fala>h
secara bahasa diambil dari kata dasar
al-fala>h
yang bermakna
z}afara bima> yuri>d
(kemenangan atas apa yang diinginkan), disebut
afla>h
artinya
menang, keberuntungan dengan mendapatkan kenikmatan akhirat. Dalam Al-
Qur’an surah al-Mukminun ayat 1, Allah berfirman,
Terjemahnya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.”
Al-fala>h
artinya keberuntungan, kebahagiaan di dunia, kebahagiaan di
akhirat. Dan kata
al-fala>h
, jika huruf
fa’
di-
kasrah
-kan bermakna mengurusi lahan
pertanian, membajak, menanam dan menyiram, dan sebagainya.6
Menurut Muhammad Muhyiddin Qaradaghi, secara istilah,
al-fala>h
berarti
kebahagiaan dan keberuntungan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dilihat dari
segala sisi dan dimensi (komprehensif) dalam seluruh aspek kehidupan.
Sebagaimana yang terlihat dalam nash Al-Qur’an dan Sunah.7 Menurut Al-Attas,
al-fala>h
diartikan sebagai pengalaman rohani yang berteraskan keyakinan
terhadap semesta dan kehidupan yang memancarkan akhlak dan adab yang baik.8
Dari penjelasan di atas,
al-fala>h
dapat diartikan sebagai segala
kebahagiaan, keberuntungan, kesuksesan dan kesejahteraan yang dirasakan oleh
seseorang, baik ia bersifat lahir dan batin, yang bisa ia rasakan di dunia dan di
akhirat kelak. Tidak ada ukuran yang bisa mengukur tingkat kebahagiaan karena
ia bersifat keyakinan dalam diri seseorang.
5Azwar Iskandar dan Khaerul Aqbar,
Kedudukan Ilmu Ekonomi Islam di Antara Ilmu
Ekonomi dan Fikih Muamalah: Analisis Problematika Epistemologis
, Nukhbatul ‘Ulum: Jurnal
Bidang Kajian Islam, Vol. 5, No. 2 (2019), h. 88-105.
https://journal.stiba.ac.id/index.php/nukhbah/article/view/77.
6 Ibrahim Mustafa,
Mu’jam Wasith
dengan materi ( حلف ), Turki: Maktabah Islamiyah .tt.
hal 699.
7 Syaikh Muhammad Muhyiddin Qaradaghi,
al Falah fi al Kitab wa as Sunnah
.
http://www.qaradaghi.com/portal/index.php?option=com_content&view=article&id=2337:-1-
4&catid=9:2009-04-11-15-09-29&Itemid=7
8 Wan Mohammad Nor Wan Daud,
Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia; Membina
Negara Maju dan Bahagia
, Kuala Lumpur: CASIS UTM International Campus, 2011. hal.4.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
520
Adapun epistemologi
al-fala>h
dalam perspektif Barat,
al-fala>h
dalam
bahasa Inggris memiliki banyak sinonim. Ia bisa berarti
welfare, well-being
atau
dalam istilah statistika dikenal dengan sebutan
human development
.
Al-fala>h
atau kesejahteraan menurut ahli psikologi modern adalah kumpulan aturan atau
petunjuk yang menggambarkan kebahagiaan masyarakat yang merupakan salah
satu kriteria keberhasilan sebuah negara dan dasar-dasar negara. Kesejahteraan
ini dikaitkan dengan kebahagian dasar (
underlying state of happiness
), berbeda
dengan perasaan bahagia dan gembira yang senantiasa berubah, yang disebut
sebagai “
a sense of satisfaction with one’s life, both in general and in specific
areas.. such as relationships, health and work.
”9
Menurut Segel dan Bruzy, kesejahteraan adalah kondisi sejahtera dari
suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi,
kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat. Kondisi kesejahteraan sosial diciptakan
atas kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini
diatur. Kedua, sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi. Ketiga, sejauh mana
kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan.10
Para pakar ilmu sosial mendefinisikan kesejahteraan sosial dengan tinggi
rendahnya tingkat hidup masyarakat.11 Sekurang-kurangnya mencakup lima
bidang utama yang termasuk dalam konsep
Al-fala>h
atau Kesejahteraan. Istilah
ini disebut dengan
Big Five
, yaitu: bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang
perumahan, bidang jaminan sosial, bidang pekerjaan sosial.
Surah al-Mukminun merupakan salah satu surah yang disepakati oleh para
ulama tentang turunnya, yaitu sebelum Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah.
Yusuf Ali dalam hal ini mengatakan bahwa surat ini merupakan surah terakhir
yang turun di Mekkah.12 Dinamai dengan al-Mukminun karena surat ini
menerangkan tentang sifat-sifat tersebut diharapkan mereka mendapat
keberuntungan di akhirat dan ketenteraman jiwa di dunia. Ada juga yang
menamakan surat ini dengan
al-fala>h
. Kedua nama tersebut diambil dari kata-
kata yang terdapat pada ayat pertama surat ini yaitu:
“qad aflaha al-mukminun”
.
Surat ini merupakan surat yang ke 23 bila dilihat dari urutan surat dalam Al-
Qur’an, nama surat ini merupakan surat yang ke-76 bila ditinjau dari urutan
turunnya. Ia turun sebelum surat
al-Mulk
dan sesudah surat
al-Thur
. Jumlah ayat-
ayatnya sebanyak 117 ayat, namun ada juga yang menghitung sebanyak 118
ayat.13
Tujuan utama surah ini adalah uraian tentang kebahagiaan dan
kemenangan yang akan diraih secara khusus oleh orang-orang mukmin, walaupun
ada ulama yang menambahkan bahwa surat ini merupakan ajakan untuk beriman
kepada Allah dan hari akhir serta menjelaskan sifat-sifat orang mukmin. Surah
9 Ibid.
10 James Midgley,
Pembengunan Sosial: Persepektif Pembangunan dalam Kesejahteraan
Sosial
. Jakarta: Ditperta Islam Depag RI. 2005. hal. 20
11 James Midgley,
Pembengunan Sosial: Persepektif Pembangunan dalam Kesejahteraan
Sosial
. Jakarta: Ditperta Islam Depag RI. 2005. hal. 20
12 Abdullah Yusuf Ali,
Al Qur’an dan Terjemah dan Tafsirnya
. Penerjemah Ali Audah.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993. hal 863.
13 M. Quraish Shihab,
Tafsir al Mishbah
. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati. 2006. hal. 114.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
521
ini dimulai dengan uraian tentang sifat orang mukmin kemudian diikuti dengan
bukti keimanan yang ada dalam diri manusia dan alam raya, serta hakekat iman
sebagai mana yang telah disampaikan oleh para rasul sejak Nabi Nuh sampai
Nabi Muhammad
s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam
.
Allah swt. berfirman,
Terjemahnya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka
Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di
balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. dan orang-
orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan
orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang
akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di
dalamnya.”14
Dalam tafsir ayat 1-2 (sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman yaitu orang-orang yang khusuk dalam shalatnya), Ibnu Katsir
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘beruntung’ ialah karena mereka akan
meraih surga karena mereka khusyuk
dalam salatnya yakni
qalbu
mereka
khusyuk
dengan mereka merendahkan diri mengkonsentrasikan
qalbu-
nya
terhadap salat, mencurahkan perhatiannya kepada salat dan memprioritaskan
salat dari perbuatan lain. Pada saat itulah tercipta ketenangan dan kesenangan
diri.15
Menurut M. Quraish Shihab, Kata
“qad aflaha”
dalam ayat di atas yang
kalau diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti sesungguhnya telah
beruntunglah, yakni pasti akan mendapatkan apa yang didambakan oleh orang-
orang yang mantap imannya dan mereka buktikan dengan melakukan amal-amal
shaleh, karena iman dan amal shaleh merupakan kunci surga. Yaitu orang-orang
14 Q.S. al-Mukminun: 1-11
15 Muhammad Ali As Shabuni,
Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
, Vol II. Beirut: Daarul Qur’an
Al Kariim. 1998. hal 560.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
522
mukmin yang khusyuk dalam salatnya. Khusuk artinya tenang, rendah hati lahir
dan batin.16
Dari dua penafsiran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu
keberuntungan yang di dapatkan seorang hamba ketika di dunia ini adalah saat ia
menjalankan salat dengan kekhusyukan sehingga tercipta ketenangan lahir dan
batin di dunia dan balasan surga di akhirat nanti akan ia dapatkan.
Dalam tafsir ayat 3 (dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang tidak berguna), al-Qurthubi berkata bahwa makna
laghw
di sini adalah dikembalikan kepada adatnya. Al-Dhahak berkata bahwa
laghw
yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Al-Hasan berkata maksudnya
adalah seluruh kemaksiatan. Bisa juga bermakna musik sebagaimana
diriwayatkan oleh Anas bin Malik.17
Imam Syaukani berkata bahwa
al-laghw
menurut Juraij adalah semua
kejelekan dari perbuatan tidak bermanfaat dan kesia-siaan berupa kemaksiatan
dan apa-apa saja yang tidak dipandang baik dalam berbuat dan bertindak.
Menuruk al-Dhahak,
laghw
artinya kesyirikan. Al-Hasan menafsiri dengan semua
kemaksiatan. Berpaling dari mereka bermakna berpaling dari mereka setiap
waktu. Maksudnya juga berpaling dari mereka ketika masuk waktu salat.18
Seorang muslim hendaknya menghindari perbuatan sia-sia baik perbuatan
dan perkataan. Hal-hal yang mengarah kepada kejelekan dan kemaksiatan. Hal
tersebut merupakan sifat seorang mukmin yang percaya kepada Allah dan hari
akhir.
Dalam tafsir ayat 4 (dan orang-orang yang menunaikan zakat), Ibnu
Katsir berkata bahwa jumhur ulama maksud zakat di sini adalah zakat harta.
Kewajiban zakat ini diwajibkan pada tahun kedua Hijriah di Madinah. Ia
diwajibkan jika telah masuk
nis}ab
dan ukurannya secara khusus. Sebenarnya
kewajiban zakat sudah ditetapkan di Mekah. Zakat di sini juga bermaksud
zakah
al-nafs
. Yaitu bebas dari syirik. Zakat di sini mengandung dua hal, yaitu zakat
harta dan jiwa. Seorang mukmin yang sempurna adalah yang memiliki kedua hal
ini.19
Iman yang mantap akan mendorong seseorang untuk menafkahkan
sebagian hartanya, dan dapat mengantar masyarakat menikmati kecukupan dan
kebahagiaan, karena kesempurnaan dan kebahagiaan seseorang adalah
keberatannya di tengah-tengah masyarakat yang bahagia. Zakat,
sedekah
dan
berbagai
infak dapat mempererat hubungan sosial sehingga masing-masing
anggota masyarakat merasakan dan bertanggung jawab atas derita yang dialami
oleh anggota lainnya. Dampak positif dari zakat yaitu terkikisnya dengki atau iri
hati.
Dalam tafsir Ayat 5-7 (dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budakbudak yang mereka miliki; maka
mereka sesungguhnya dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari di balik
16 M. Quraish Shihab,
Tafsir al Mishbah
. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati. 2006. hal. 146.
17 Al-Qurthubiy,
Tafsir al Qurthubiy
. Vol XII. Beirut: Darul Fikr. tt. hal. 98
18 Syaukani,
Fathul Qadhir Jami’ bayan
.Vol I. Beirut: Daarul Ma’rifah.2004. hal. 977
19 Ibnu Katsir,
Tafsir Ibn Katsir
. Vol V. Mesir: Darul Thayyibah.2002. hal. 458.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
523
itu, maka itulah orang-orang yang melampaui batas), Al-Thabari mengatakan
bahwa seorang mukmin harus menjaga diri dari perbuatan seksual yang tercela
atau perbuatan kelamin yang menyimpang segala macam. Adapun firman Allah:
“illa’ala azwajihim auw ma malakat aimaanuhum
” (kecuali terhadap
pasanganpasangan mereka atau budak wanita mereka miliki), potongan ayat ini
dijadikan alasan oleh Syafi’i, diharamkannya onani/masturbasi, karena
penyaluran kebutuhan seks hanya dibenarkan dengan istri-istri yang sah atau
dengan budak-budak jika masih ada.20 Menurut Quraish Shihab, “dalam ayat ini
Allah Swt menerangkan sifat-sifat orang mukmin yang akan mendapatkan
kebahagiaan yaitu orang-orang yang suka mejaga kemaluanya dari perbuatan keji
seperti berzina, mengerjakan perbuatan kaum Luth (homoseksual).”21
Hal ini berarti bahwa Islam memandang seks adalah suatu yang tidak
buruk atau kotor karena ia adalah salah satu fitrah manusia yang suci. Bahkan
apa yang keluar akibat penyaluran biologis itu (mani atau sperma) dinilai oleh
ulama sebagai suatu yang suci. Lebih dari itu Rasullulah
s}allalla>hu ‘alaihi wa
sallam
menegaskan dalam sabdanya: “
hatta fi bud}’i ahadikum s}adaqah
”.
Maksudnya, Allah menganugerahkan ganjaran kepada suami istri yang
melakukan hubungan intim.22
Dalam tafsir ayat 8 (dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulkan) dan janji-janjinya), Al-Qurthubi berkata bahwa yang dimaksud
dengan amanah di sini adalah seluruh amanah dan janji yang telah dibebankan
oleh manusia dalam agama dan dunia baik perkataan maupun perbuatan. Hal
inilah yang umum bagi manusia. Maksudnya adalah menjalankan dan dan
menjaganya. Amanah itu lebih bersifat umum daripada janji. Setiap janji adalah
amanah dimana ianya dimulai dengan perkataan, perbuatan dan keyakinan.23
Dalam ayat ini Allah
ta’ala
menjelaskan sifat lain orang-orang mukmin yang
akan mendapat keberuntungan, yaitu orang mukmin yang suka memelihara
amanat-amanat yang dipikulkannya, baik amanat itu dari Allah maupun sesama
manusia.24
Menurut Quraish Shihab “Kata
amanatihim
dalam ayat diatas adalah
bentuk jamak dari kata amanah dan seakar dengan kata iman yang artinya
dipercaya. Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman, di antaranya
keduanya sangat erat. Semakin tipis keimanan seseorang semakin berkurang juga
sifat amanahnya. Seseorang semakin berkurang juga sifat amanahnya. Amanah
dalam pengertian sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikanya
kepada pemiliknya dalam bentuk semula, sedangkan amanah dalam pengertian
luas mencakup banyak hal, seperti perkawinannya adalah amanah manusia
dengan sesamanya, memelihara kelangsungannya, menjaga rahasia, tidak
20 Imam Ja’far At Thabary,
Jamiul Bayan an Ta’wil ayilal Quran.
Vol V. Beirut:
Muassasah ar Risalah. Hal. 350.
21 M. Quraish Shihab,
Tafsir al Mishbah
. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati. 2006. hal. 154.
22 H.R. Muslim.
23 Al-Qurthubiy,
Tafsir al Qurthubiy
. Vol XII. Beirut: Darul Fikr. hal. 98
24 Abdullah Yusuf Ali, Abdullah Yusuf Ali,
Al Qur’an dan Terjemah dan Tafsirnya
.
Penerjemah Ali Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus 1993. Hal;863
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
524
menyalahgunakan jabatan, memelihara semua nikmat yang diberikan oleh Allah,
seperti memelihara lingkungan menjaga kesehatan diri sendiri dan lain-lainnya.25
Begitu penting dan besarnya amanah dalam kehidupan seorang mukmin,
sehingga Islam sangat memperhatikannya bahkan Al-Qur’an dan Sunah telah
meletakkan landasan dan dasarnya. Allah telah menjadikan sifat amanah sebagai
sifat utama dan pertama yang dimiliki oleh Nabi Muhammad
s}allalla>hu ‘alaihi
wa sallam
, sehingga sejak kecil beliau dikenal sebagai
al-amin
(jujur dan
terpercaya). Untuk itu sifat amanah harus dimiliki oleh setiap orang mukmin.
Dalam tafsir ayat 9 (dan orang-orang yang memelihara salat-salatnya),
Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini tidak sama dengan ayat kedua dari surat
ini, sebab pada ayat kedua mengandung perintah
khusyuk
dalam salat sebagai
sifat orang mukmin yang akan mendapatkan kemenangan, sedangkan dalam ayat
ini Allah
ta’ala
menerangkan tentang orang mukmin yang akan mendapat
kemenangan yaitu orang mukmin yang selalu memelihara dan memperhatikan
salatnya lima waktu dengan memenuhi persyaratan dan sebab-sebabnya.26 Al-
Qurthubiy berkata bahwa arti memelihara salatnya adalah menjaga waktunya,
menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.27
Ayat ini merupakan ayat penutup sifat-sifat teruji bagi orang-orang
mukmin yang mengandung masing-masing dapat meraih kebahagiaan yang
memang pada ayat kedua telah disebut juga salat tetapi dalam konteks yang
berbeda. Di sana tentang kekhusukan dan di sini tentang pemeliharaanya secara
keseluruhan dan untuk tiap-tiap salat. Walaupun pelakunya di sini tidak
mencapai kekhusukan yang sempurna sebagaimana yang mereka yang
dibicarakan oleh ayat kedua.
Dalam tafsir ayat 10-11 (mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
(yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya), Syaukani
berkata bahwa hadis yang dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dan disahihkan oleh al-
Hakim, dari Abu Hurairah: “Merekalah yang mewarisi, maksudnya adalah
mewarisi tempat tinggal mereka dan tempat tinggal saudara mereka yang telah
disediakan karena mereka taat kepada Allah.” Rasulullah bersabda, “
Al-Firdaus
adalah tempat yang paling tinggi, ia berada di tengah dan surga yang paling
utama.”28
Al-Qurthubi menafsiri “merekalah yang merwasikan”, maksudnya adalah
surga dan segala kenikmatannya. Yaitu surga
firdaus
yang paling tinggi, paling
utama dan berada paling tengah. Abu Hurairah berkata, “
Al-firdaus
adalah
gunung yang ada di surga di mana ia memancarkan sungai-sungai yang ada di
surga. Makna mereka kekal didalamnya adalah mereka mengalami keabadian.”29
Allah
ta’ala
telah menjamin bagi semua orang mukmin yamg memiliki
sifat-sifat diatas dengan balasan yang paling baik. Yaitu surga, bukan surga biasa
25 M. Quraish Shihab,
Tafsir al Mishbah
. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati. 2006. hal. 158.
26 Muhammad Ali As Shabuni,
Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
, Vol II. Beirut: Darul Qur’an
Al Karim. 1998. hal 563.
27 Al-Qurthubiy,
Tafsir al Qurthubiy
. Vol XII. Beirut: Darul Fikr. 2002. hal. 97.
28 Syaukani,
Fathul Qadhir al Jami’ bayan
.Vol I. Beirut: Darul Ma’rifah.2004. hal. 977.
29 Al-Qurthubiy,
Tafsir al Qurthubiy
. Vol 12. Beirut: Darul Fikr. 2002. hal .97.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
525
namun surga yang paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah. Hal inilah menjadi
tanda kebahagiaan yang hakiki, karena kebahagiaan itu adalah ketika saat
mendapatkan kebahagiaan tanpa dibatasi waktu dan tempatnya.
Selanjutnya, selain pada surah al-Mukminun ayat 1-11 di atas, makna
al-
fala>h
juga disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn
‘Amru ibn ‘Ash dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab
al-Zakah, Bab “al-Kafaf
wa al-Qana’ah”
nomor hadis 1054. Dalam hadis ini, Rasulullah bersabda,
.
Terjemahnya:
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, mendapat rizki ang cukup
serta Qana’ah terhadap apa yang diterima.”
Al-Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini ada anjuran untuk
ta’affuf
(menahan diri dari meminta-minta),
qana’ah
(merasa cukup) dan bersabar atas
kesempitan hidup dan selainnya dari kesulitan (perkara yang tidak disukai) di
dunia.”30
Kebahagiaan, keberuntungan, kesejahteraan dan kesuksesan yang seorang
hamba yang tidak ada habisnya adalah sifat qana’ah, yaitu merasa rida dengan
pemberian Allah yang Maha Adil. Rasululah
s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam
bersabda
,
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta),
akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa
(hati)”31 Dalam hadis lain, Rasulullah
s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“…Ridahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu
akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”32 itulah yang disebut
dengan
al-fala>h
dalam epistemologi Islam. Sa’ad bin Abi Waqqash
rad}iallahu
‘anhu
pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai putraku, jika dirimu hendak
mencari kekayaan, carilah dia dengan
qana’ah
, karena
qana’ah
merupakan harta
yang tidak akan lekang.”
Konsep
al-Fala>h
Menurut Islam
Di dalam Islam, filosofi
al-fala>h
menuntut seorang muslim untuk
berorientasi pada
maslahah
dalam setiap aktivitasnya. Jika seseorang
menggunakan ukuran
maslahah
dalam aktivitas ekonominya baik dalam kegiatan
produksi, konsusmsi maupun distribusi, maka diharapkan ia akan mencapai
al-
fala>h
yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Sebab, seperti yang telah
dikemukakan di awal tentang epistemologi
al-fala>h
dalam Islam, istilah
al-fala>h
diambil dari kata-kata Al-Qur’an yang sering dimaknai sebagai keberuntungan
jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek
material, namun justeru lebih ditekankan pada aspek spiritual.
30 Al-Nawawi.
Syarh Shahih Muslim
. Vol VII. Mesir: Mu’assasah Qarthubah. 1926. hal.
145. 31 H. R. Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
32 H. R. Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan
hasan
oleh Al-Albani.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
526
Rasionalitas dalam Islam bukannya kemudian membatasi peluang untuk
melakukan pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak.
Term
“maksimisasi” bisa saja tetap digunakan, hanya dibatasi oleh kendala etika dan
moral Islam. Olehnya, istilah “kepuasan” pun mengalami transformasi
pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi
al-fala>h,
dalam arti yang luas,
dunia dan akhirat.
Al-fala>h
di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia
secara terus-menerus. Dalam relasi
means-ends
, bila diperbandingkan dengan
pandangan sekular, material sebagai representasi
al-fala>h
di dunia adalah
berfungsi sebagai
the means
, dalam rangka mencapai
the ultimate ends, the real
al-fala>h
, di akhirat kelak.33 Dengan demikian, pengejaran sarana material di
dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah kepada
Allah dengan lebih sempurna.
The ethical Islamic constraint
dalam hal ini
misalnya terealisasikan dalam institusi zakat, infak dan sedekah, yang dalam
konsep Islam mampu memberikan peluang pada golongan yang lemah untuk
berusaha, karena mereka memiliki hak yang
inherently
melekat dalam harta
benda si kaya. Relasi
means-ends
ini mencakup seluruh aspek perekonomian
ummat Islam dengan sifat dan jenisnya yang tidak mungkin seluruhnya dapat
didiskusikan secara detail dalam tulisan kecil ini.
Memang harus diakui bahwa konsep
al-fala>h
dan kebahagiaan bukan
sesuatu yang mudah untuk dipahami dan diukur. Akan tetapi seluruh ilmuan
sepakat bahwa tujuan semua amal manusia baik di tingkat pribadi atau
masyarakat adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian. Dalam
pandangan Islam, kesejahteraan dan kebahagiaan adalah aspek penting dalam
kemajuan individu dan masyarakat. Itulah kebahagiaan yang dicita-citakan di
dunia dan akhirat. Negara yang maju adalah negara yang menyejahterakan dan
membahagiakan rakyatnya dengan mencapai
maqa>s}id al-syari’ah
. Itulah konsep
negara sejahtera (
baldatun tayyibah
) yang diridai Allah
azza wa jalla
.34
Melalui pembahasan yang telah lalu dalam kajian ayat-ayat Al-Qur’an
dan Sunah, nampak dengan jelas bahwa konsep
al-fala>h
dalam Islam bersesuaian
dengan konsep
al-fala>h
dalam konsep selain Islam dalam beberapa aspek, dilihat
dari sisi duniawiyah, kesejahteraan, materi dalam masayarakat dan ekonomi.
Akan tetapi ada beberapa perbedaan antara konsep
al-fala>h
dalam Islam dan
konsep
al-fala>h
selain Islam yaitu:
Pertama
,
konsep
al-fala>h
dalam Islam sudah dapat dipahami maksudnya
dilihat dari segala sisi. Bersifat komprehensif bagi kelangsungan kehidupan
manusia. Ia mencakup kebahagiaan spiritual, ruhiyah, badaniyah, secara zahir
dan batin. Seperti juga kebahagian dalam bidang politik, keamanan, ekonomi dan
sosial dan selainnya. Adapun konsep
al-fala>h
selain dari Islam, cenderung sangat
bersifat materialistik tanpa mengkaitkan sisi spiritualnya. Kesenangan bersifat
kenikmatan jasadiyah tanpa dilihat dari sisi maknawiyah. Maka konsep
al-fala>h
hanya bersifat kebahagiaan yang lahiriah yaitu harta, menuruti keinginan
33 Lihat Q.S. al-Qashash ayat 77
34 Q.S. Saba:15.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
527
duniawiyah, menikmati fasilitas dunia, dan kebahagiaan bersifat prestise,
kekuasaan dan selainnya.
Kedua, bahwa kehidupan dunia ini dalam pandangan Islam tidak berhenti
pada kematian. Bahkan kematian merupakan jenjang menuju kehidupan
selanjutnya. Dari sanalah dimulai kehidupan yang menentukan, apakah ia
mendapat nikmat atau adzab. Nikmat dengan kebahagiaan yang kekal atau azab
yang tiada henti. Oleh sebab itu,
al-fala>h
dalam Islam bermakna kemenangan,
kebahagiaan, kenikmatan yang terus menerus, tiada terputus sampai hari akhir.
Bahkan akhirat itu menjadi pondasinya. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya
Negri akhirat itu kekal, seandainya mereka tahu.”35 Allah juga berfirman,
“Barangsiapa yang dihindari dari neraka dan dimasukkan dalam Surga, maka
sungguh ia telah beruntung. Sesungguhnya kenikamatan dunia itu hanyalah
kenikmatan yang menipu.”36 Adapun konsep
al-fala>h
dalam selain Islam bersifat
terbatas. Kematian adalah akhir segalanya.
Ketiga, faktor
al-fala>h
dalam pandangan Islam bertentangan dengan
faktor
al-fala>h
selain dari konsep Islam. Ada dua hal yang mendasar, yaitu
sebagaimana berikut:
Faktor pertama: berkaitan dari sisi duniawiyah yaitu bersifat kebendaan
harta dan kesejahteraan dan kemapanan. Oleh sebab itu, manusia dianjurkan
untuk berusaha meningkatkan tingkat kesejahteraan, kemapanan agar
kebutuhannya terpenuhi.
Faktor kedua: dari sisi spiritual dan
ukhrawi
:
a. Beribadah dan berdzikir kepada Allah, bersyukur, takut, harap dan
cemas sampai pada tahap “engkau menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu”. Allah berfirman, “Ingatlah kepada
Allah sebanyak-banyaknya mudah-mudahan kalian beruntung.”37 Dari
sini,
al-fala>h
bagi seorang mukmin adalah mencapai keridhaan Allah,
bertaubat kepada-Nya, mendapatkan surga Allah dan dapat melihat
wajah-Nya, ditambah lagi kenikmatan surga yang telah Allah
janjikan.
b. Menggapai rida kedua orang tua, kerabat dekat dan seluruh manusia
terkhusus orang fakir dan miskin. Dan itulah yang dimaksud dengan
al-fala>h
dan kebahagiaan. Hal itu membuat hatinya berkesan. Allah
berfirman, “Dan mereka memberi makan dengan makanan yang
mereka cintai kepada orang miskin, anak yatim dan para tahanan.
Sesungguhnya kami memberi makan kalian hanya mengharap wajah
Allah saja, tidak menginginkan dari kalian balasan atau ucapan rasa
terima kasih.”38
35 Q.S. al-Ankabut:64
36 Q.S. al-Imran: 185
37 Q.S. al-Anfal:45
38 Q.S. al-Insan:9
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
528
c. Kebaikan dan berbuat baik. Allah berfirman, ”Dan berbuat baiklah
kalian mudah-mudahan kalian beruntung.”39
d. Tidak berbuat zalim dan meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa.
Implementasi Konsep
al-Fala>h
menurut Islam dalam Aspek Makro dan Mikro
Ekonomi
Bagian ini menjelaskan pandangan Islam terhadap permasalahan ekonomi,
termasuk bagaimana Islam memandang tujuan hidup manusia, memahami
permasalahan hidup dan ekonomi dan bagaimana Islam memecahkan masalah
ekonomi. Ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari metode
untuk memahami dan memecahkan masalah ekonomi yang didasarkan atas ajaran
agama Islam. Perilaku manusia dan masyarakat yang didasarkan agama Islam
inilah yang disebut perilaku rasional Islam yang akan menjadi dasar
pembentukan suatu perekonomian Islam.
Dalam konteks dunia,
al-fala>h
merupakan konsep multidimensi, memiliki
implikasi pada aspek perilaku individual (mikro) maupun perilaku kolektif
(makro). Untuk kehidupan dunia,
al-fala>h
mencakup tiga pengertian, yaitu
kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan serta kekuatan dan kehormatan.
Untuk kehidupan akhirat,
al-fala>h
mencakup pengertian kelangsungan hidup
yang abadi, kesejahteraan abadi, kemuliaan abadi dan pengetahuan abadi (bebas
dari kebodohan).
Al-fala>h
juga mencakup aspek spiritualitas dan moralitas,
ekonomi, social, budaya, baik dalam skala mikro maupun makro.
Adapun aspek mikro dan makro ekonomi dalam implementasi konsep
al-
fala>h
adalah sebagai berikut:
Pertama, spiritual, terdiri dari tauhid, budi perkerti yang baik, salat, zakat,
puasa, menjaga kemaluan, amanah dll., sukur, harap, cemas, takut, cinta dan
ihsan, berbuat baik pada kedua orangtua, kerabat, fakir miskin, anak yatim dan
binatang, tidak berbuat zalim,
qana’ah
,
ta’affuf
, zuhud dan
wara’.
Kedua, kelangsungan hidup, terdiri dari kelangsungan hidup biologis,
kesehatan, kebebasan keturunan dsb., keseimbangan ekologi dan lingkungan,
kelangsungan hidup ekonomi (kepemilikan faktor produksi), pengelolaan sumber
daya alam, penyediaan kesempatan berusaha untuk semua penduduk,
kelangsungan hipup sosial (persaudaraan dan harmoni hubungan sosial),
kebersamaan sosial, ketiadaan konflik antar kelompok, keberlangsungan hidup
politik; kebebasan dalam partisipasi politik, jati diri dan kemandirian.
Ketiga, kebebasan berkeinginan, yaitu terbebas dari kemiskinan, penyediaan
sumber daya untuk seluruh penduduk, kemandirian hidup, dan penyediaan
sumber daya untuk generasi yang akan datang.
Keempat, kekuatan dan harga diri, yaitu harga diri, kekuatan ekonomi dan
kebebasan dari utang, kemerdekaan, perlindungan terhadap hidup dan
kehormatan, dan kekuatan militer.
Akhirat memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga
dibandingkan kehidupan dunia. Namun,
al-fala>h
mengandung makna kondisi
maksimum dalam kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ekonomi Islam menuntun
39 Q.S. al-Hajj:77
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
529
bagaimana manusia memenuhi kebutuhan materinya di dunia ini sehingga
tercapai kesejahteraan yang akan membawa kepada kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
Tabel 1
Aspek Mikro dan Makro dalam
al-Fala>h
Menurut Islam
Unsur
al-Fala<h
Aspek Mikro
Aspek Makro
kelangsungan hidup
kelangsungan hidup
biologis; kesehatan,
kebebasan, keturunan
keseimbangan ekologi
dan lingkungan
kelangsungan hidup
ekonomi; kepemilikan
faktor produksi
pengelolaan sda dan
penyediaan kesempatan
berusaha untuk seluruh
penduduk
kelangsungan hidup
sosial;
persaudaraan dan
harmonisasi hubungan
sosial
kebersamaan sosial,
ketiadaan konflik antar
kelompok
kelangsungan hidup
politik;
kebebasan dalam
berpartisipasi politik
jati diri dan kemandirian
kebebasan berkeinginan
terbebas dari kemiskinan
penyediaan sumber daya
untuk seluruh penduduk
kemandirian hidup
penyedian sumber daya
untuk generasi yang akan
datang
kekuatan dan harga diri
harga diri
kekuatan ekonomi dan
kebebasan dari utang
kemerdekaan,
perlindungan hidup dan
kehormatan
kekuatan militer
spiritualitas
tauhid, ikhlash, jujur,
zuhud, syukur, sabar,
ketenangan, akhlak
yang baik kepada semua
makhluk.
kemandirian,
profesioniltas dalam
pekerjaan, tauhid sosial,
etos kerja, kemajuan
iptek berdasar wahyu
ilahi
Sumber: M. Akram Khan (1994)
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tentang epistemologi dan konsep
al-fala>h
dalam
Islam, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
530
Pertama, dalam epirstemologi Islam,
al-fala>h
adalah segala bentuk
kebahagiaan, keberuntungan, kesuksesan dan kesejahteraan yang dirasakan oleh
seseorang, baik ia bersifat lahir dan batin, yang bisa ia rasakan di dunia dan di
akhirat kelak, dari segala sisi dan dimensi (komprehensif) dalam seluruh aspek
kehidupan; material dan spiritual.
Kedua, konsep
al-fala>h
dalam Islam menuntut seorang muslim untuk
berorientasi pada
maslahah
dalam setiap aktivitasnya. Jika seseorang
menggunakan ukuran
maslahah
dalam aktivitas ekonominya baik dalam kegiatan
produksi, konsumsi maupun distribusi, maka diharapkan ia akan mencapai
al-
fala>h
yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup.
Al-fala>h
di akhirat menjadi
tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus. Dengan demikian,
pengejaran sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan
pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan lebih sempurna.
Ketiga,
al-fala>h
merupakan konsep multidimensi yang memiliki implikasi
pada aspek perilaku individual (mikro) maupun perilaku kolektif (makro), yaitu
kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, kekuatan dan harga diri dan
spiritualitas.
Implikasi atau saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian di
atas adalah:
1. Bagi masyarakat secara umun dan terkhusus yang telah bekerja, agar
mendidik jiwa mereka dan anak-anaknya dengan nilai-nilai Islami
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Dalam masalah ini, memberikan
pendidikan dan pemahaman tentang konsep kesejahteraan, kesuksesan dan
kebahagiaan dalam Islam itu sendiri.
2. Bagi pemerintah, agar terus memikirkan dan menjalankan amanah mengurus
masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan, kesuksesan dan kebahagiaan
baik dalam peningkatan di bidang materi (struktural, infrastruktur, dan
pelayanan umum) dan spiritual dalam hal membina kerohanian jiwa
masyarakatnya.
3. Bagi perguruan tinggi agar mendidik para generasi penerus agar memahami
epistemology dan konsep
al-fala>h
} dalam Islam, sehingga para lulusannya
memiliki andil besar dalam memperbaiki kekurangan dan kekeliruan yang
terjadi di masyarakat dalam memahami konsep
al-fala>h.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Y. (1993).
Al-Qur’an dan Terjemah dan Tafsirnya
. Penerjemah Ali
Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Nawawi. (1926).
Syarh Shahih Muslim
. Mesir: Mu’assasah Qarthubah.
Al-Qurthubiy. (t.th.).
afsir al Qurthubiy,
Beirut: Darul Fikr.
Al-Shabuni, Ali. (1998).
Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
, Beirut: Daarul Qur’an Al
Kariim.
Al-Thabary, J. (1999).
Jamiul Bayan wa Ta’wil
. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Chapra
,
M. U.
(t.th).
The Future of Economics; An Islamic Perspective
. United
Kingdom: The Islamic Foundation.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
531
Chapra, Umar, 1999,
The Future of Economics; An Islamic Perspective
. UK: The
Islamic Foundation.
Farida, U. J. (2020). Memahami Konsep Al-Falah Melalui Upaya Penguatan
Ketahanan Pangan Dalam World Islamic Economic Forum (WIEF).
Journal of Islamic Economics Lariba, 5
(1), (2019). 53-69.
Ibnu Katsir. (2002).
Tafsir Ibn Katsir
, Mesir: Darul Thayyibah.
Iskandar, A., Aqbar, K. (2109).
Kedudukan Ilmu Ekonomi Islam di Antara Ilmu
Ekonomi dan Fikih Muamalah: Analisis Problematika Epistemologis
.
NUKHBATUL ‘ULUM: Jurnal Bidang Kajian Islam, 5
(2). 88-105.
Kupeer, A., Kuper, J. (2001).
The Social Science Encyclopedia
. Inggris:
Cambridge University Press.
Midgley, J. (2005).
Pembengunan Sosial: Persepektif Pembangunan dalam
Kesejahteraan Sosial,
Jakarta: Ditperta Islam Depag RI.
Mustafa, I.,
et al.
(2001).
Mu’jam Wasith.
Turki: Maktabah Islamiyah.
Redman, A. D. (1991).
Economics and the Philosophy of Science
, New York:
Oxford University Press.
Shihab, Q. M. (2006).
Tafsir al-Mishbah
. Jakarta: Lentera Hati.
Shuhairimi, A., Bakar, M.S., & Abdul Hamid, S. (2018).
Transformasi Usahawan
Al Falah: Satu Refleksi
. Malaysia: Penerbit UniMAP.
Suharto, E. (2004).
Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan
Strtategi
. Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial.
Syaukani. (2004).
Fathul Qadhir Jami’ Bayan
, Beirut: Daarul Ma’rifah.
Wan, D. M. N. W. (2011).
Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia; Membina
Negara Maju dan Bahagia
. Kuala Lumpur: CASIS UTM International
Campus.