ArticlePDF Available

Konsep al-Falah dalam Islam dan Implementasinya dalam Ekonomi

Authors:
  • Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar
  • Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasar Arab (STIBA) Makassar

Abstract

The study aims to: (1) know the epistemology and concept of al-fala>h in Islamic perspective; (2) know the implementation of al-fala>h concept in micro and macroeconomic. The study uses a qualitative-descriptive approach with library research technique. The results showed that in Islamic epirstemology, al- al-fala>h defined as all forms of happiness, luck, success and prosperity that is perceived by a person, both born and inner, which it can be feeled in the world and in the hereafter, from all sides and dimensions (comprehensive) in all aspects of life. The concept of al-fala>h demands a muslim to be oriented to the community in every activity, where the hereafter becomes the ultimate goal of the process in the world continuously, while the material facilities in the world can be maximised to maximize the implementation of worship to God more perfectly. Al-fala>h is a multidimensional concept that has implications on the aspects of individual behaviour (micro) and collective behavior (macro), namely survival, freedom of desire, strength and self-esteem and spirituality.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
516
KONSEP
AL-FALA>H
DALAM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM EKONOMI
Khaerul Aqbar
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar
Email: khaerul@stiba.ac.id
Azwar Iskandar
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar
Email: azwar@stiba.ac.id
Akhmad Hanafi Dain Yunta
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar
Email: ahmadhanafi@stiba.ac.id
Keywords:
ABSTRACT
al-fala>h, concept, luck,
happiness, economy
The study aims to know: (1) the epistemology and concept of al-
fala>h in Islamic perspective; (2) the implementation of al-fala>h
concept in micro and macroeconomic. The study uses a
qualitative-descriptive approach with library research technique.
The results showed that in Islamic epirstemology, al- al-fala>h
defined as all forms of happiness, luck, success and prosperity that
is perceived by a person, both born and inner, which it can be
feeled in the world and in the hereafter, from all sides and
dimensions (comprehensive) in all aspects of life. The concept of
al-fala>h demands a muslim to be oriented to the community in
every activity, where the hereafter becomes the ultimate goal of
the process in the world continuously, while the material facilities
in the world can be maximised to maximize the implementation
of worship to God more perfectly. Al-fala>h is a multidimensional
concept that has implications on the aspects of individual
behaviour (micro) and collective behavior (macro), namely
survival, freedom of desire, strength and self-esteem and
spirituality.
Kata kunci:
ABSTRAK
al-fala>h,
konsep, beruntung,
bahagia, ekonomi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) epistemologi dan
konsep
al-fala>h
dalam Islam; (2) implementasi konsep
al-fala>h
dalam mikro dan makro ekonomi. Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan kualitatif-deskriptif dengan teknik riset
kepustakaan (
library research
). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam epirstemologi Islam,
al-fala>h
didefiniskan sebagai
segala bentuk kebahagiaan, keberuntungan, kesuksesan dan
kesejahteraan yang dirasakan oleh seseorang, baik ia bersifat lahir
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
517
dan batin, yang bisa ia rasakan di dunia dan di akhirat kelak, dari
segala sisi dan dimensi (komprehensif) dalam seluruh aspek
kehidupan. Konsep
al-fala>h
menuntut seorang muslim untuk
berorientasi pada
maslahah
dalam setiap aktivitasnya, dimana
akhirat menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-
menerus, sementara sarana material di dunia dapat dimaksimalkan
guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan
lebih sempurna.
Al-fala>h
merupakan konsep multidimensi yang
memiliki implikasi pada aspek perilaku individual (mikro)
maupun perilaku kolektif (makro), yaitu kelangsungan hidup,
kebebasan berkeinginan, kekuatan dan harga diri dan spiritualitas.
PENDAHULUAN
Persoalan ekonomi mendasar yang dihadapi umat manusia saat ini adalah
munculnya suatu pandangan mengenai konsep kesejahteraan (
al-fala>h
) yang
keliru, dimana mereka menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi
nilai pada posisi yang dominan. Kekeliruan pandangan masyarakat dalam konsep
al-fala>h
ini terjadi karena mereka berpijak pada ideologi materialisme yang
mendorong perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi yang hedonistik,
sekuleristik dan materialistik.1 Dampak yang ditimbulkan dari cara pandang yang
keliru inilah yang membawa malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial
masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, kesenjangan
ekonomi yang semakin lebar, lunturnya sikap kebersamaan dan persaudaraan,
timbulnya penyakit-penyakit sosial (
social deseases
) seperti pelacuran,
penyalahgunaan wewenang (korupsi, kolusi dan nepotisme), anarkisme,
perjudian, minuman keras dan lainnya.
Fenomena sosial ini muncul disebabkan karena adanya beberapa
kemungkinan.2 Pertama, karena perilaku manusia didasarkan pada paradigma
ilmu ekonomi yang cenderung berbicara dalam dataran ekonomi positif (
positive
economics
) yang menekankan pada aspek efisiensi alokasi sumber daya ekonomi
dengan maksud untuk menjaga objektivitas ilmu. Kedua, model masyarakat yang
dikembangkan dalam ilmu ekonomi modern beranjak dari tradisi masyarakat
Barat yang sekuler sehingga contoh, model dan rumusan teori ekonominya
berlatar belakang masyarakat Barat. Ketiga, tradisi pemikiran Neo-Klasik
menempatkan aspek individualisme, naturalisme dan utilitarianisme dalam posisi
sentral dalam membangun paradigma ilmu ekonomi, sehingga teori dan model
yang dikembangkan merupakan rumusan yang berorientasi pada aspek material
seperti maksimalisasi keuntungan dan kepuasan, bekerjanya mekanisme harga
melalui
invisible hand
untuk mencapai keseimbangan pasar (
equilibrium
) dengan
tingkat pengerjaan yang penuh (
full employment
). Kondisi tersebut akan tercapai
manakala terpenuhinya asumsi
asymmetrical information
dimana para pelaku
1 Adam Kupeer dan Jessica Kuper,
The Social Science Encyclopedia
. Inggris: Cambridge
University Press. 2001. hal. 628.
2 Muhammad Umar Chapra
, The Future of Economics; An Islamic Perspective
. UK: The
Islamic Foundation. tt. hal.1.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
518
ekonomi dapat melakukan pilihan terbaik berdasarkan semua kemungkinan
terbaik yang tersedia. Namun pada kenyataannya, kondisi tersebut sulit terpenuhi
sehingga menimbulkan distorsi di pasar yang berakibat tidak tercapainya kondisi
keseimbangan sehingga kesejahteraan setiap individu menjadi sesuatu yang sulit
diperoleh.
Ringkasnya, ancaman umum yang terjadi pada masyarakat dunia
mengenai konsep
al-fala>h
(kesejahteraan) pada dasarnya masih berupa
perkembangan materi, tanpa mengindahkan pertimbangan spiritual, moral dan
etika. Mungkin seseorang bisa menemukan pengecualiaan dalam gagasan
kesamaan dan mengurangi perbedaan
income
. Kebahagian spiritualitas, sebagai
suatu faktor yang memotivasi perilaku manusia, tidak diasumsikan sebagai faktor
penting dalam perkembangan kesejahteraan ekonomi. Sebagai hasilnya, mungkin
sebagian besar rasa kemanusiaan (
humanity
) masih terperangkap dalam jaring
kemiskinan dan kerugian. Hal ini disebabkan kecaman terhadap praktisi sistem
ekonomi kapitalis yang memandang bahwa kebahagiaan atau
al-fala>h
masih
bersifat materi. Belum lagi ketika berbicara masalah kepentingan, sikap
individualisme masih mendominasi seluruh nilai-nilai manusia.
Dari paparan di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah hal apa
yang mendasari kekeliruan kebanyakan manusia di dunia ini dalam memahami
makna
al-fala>h
yang sesungguhnya.
Al-fala>h
hanya dipahami pada tahapan
materi saja, sehingga sikap, tindakan seseorang dalam melakukan tindakan
produksi, konsumsi dan distribusi menjadi jauh dari asas dan konsep syariah
Islam yang mulia ini. Hal ini kemudian menjadi sesuatu yang lumrah karena telah
menjadi sebuah
common mistake
dalam memahami sebuah konsep kesejahteraan,
kebahagiaan dan kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tingkat
individu, keluarga, sosial masyarakat maupun negara sekalipun. Olehnya, penting
untuk mengkaji dan memahami bagaimana Islam memandang konsep
al-fala>h
ini
agar seorang muslim mampu menjalankan kehidupannya dalam tuntunan agama.
Beberapa kajian terdahulu telah membahas dan mengkaji bagaimana konsep
al-
fala>h.
Ulfa Jamilatul Farida3 mengkaji konsep perwujudan
al-fala>h.
Namun kajian
ini tidak membahas secara mendalam bagaimana konsep dan epistemologi
al-
fala>h
secara mendalam, hanya pada aspek
penanganan masalah pangan di dunia.
Abdullah Shuhairimi
et al.
4
membahas konsep al-falah yang berlatarbelakangkan
nilai-nilai murni dalam disiplin keusahawanan Islam. Kajian ini mengupas nilai-
nilai murni berdasarkan kepada tafsiran landasan ilmu dan panduan wahyu dan
turut memfokuskan kepada konsep keusahawanan Islam dan usahawan berjaya
menurut neraca muamalah Islam. Namun demikian, kajian ini juga tidak
membahas konsep dan epistemologi
al-fala>h
secara mendalam dan
implementasinya dalam ekonomi.
3 Ulfa Jamilatul Farida,
Memahami Konsep Al-Falah Melalui Upaya Penguatan
Ketahanan Pangan Dalam World Islamic Economic Forum (WIEF),
Journal of Islamic Economics
Lariba, 5
(1), (2019). H. 53-69.
4 Abdullah Shuhairimi, Bakar Muhammad Shukri, dan Abdul Hamid Solahuddin,
Transformasi Usahawan Al Falah: Satu Refleksi,
Malaysia: Penerbit UniMAP.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
519
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: (1)
mengetahui epistemologi dan konsep
al-fala>h
dalam Islam; (2) mengetahui
implementasi konsep
al-fala>h
dalam pandangan mikro dan makro ekonomi.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif-deskriptif. Metode
tersebut merupakan upaya memahami berbagai konsep yang ditemukan dalam
proses penelitian, dengan menggunakan teknik riset kepustakaan (
library
research
). Dalam riset kepustakaan (
library research
), penelitian ini
menggunakan jenis dan sumber data sekunder yang diperoleh dari hasil
penelitian, artikel dan buku-buku referensi yang membahas topik yang berkaitan
dengan masalah penelitian.5
PEMBAHASAN
Epistemologi
al-fala>h
dalam Islam
Al-fala>h
secara bahasa diambil dari kata dasar
al-fala>h
yang bermakna
z}afara bima> yuri>d
(kemenangan atas apa yang diinginkan), disebut
afla>h
artinya
menang, keberuntungan dengan mendapatkan kenikmatan akhirat. Dalam Al-
Qur’an surah al-Mukminun ayat 1, Allah berfirman,


Terjemahnya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.”
Al-fala>h
artinya keberuntungan, kebahagiaan di dunia, kebahagiaan di
akhirat. Dan kata
al-fala>h
, jika huruf
fa’
di-
kasrah
-kan bermakna mengurusi lahan
pertanian, membajak, menanam dan menyiram, dan sebagainya.6
Menurut Muhammad Muhyiddin Qaradaghi, secara istilah,
al-fala>h
berarti
kebahagiaan dan keberuntungan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dilihat dari
segala sisi dan dimensi (komprehensif) dalam seluruh aspek kehidupan.
Sebagaimana yang terlihat dalam nash Al-Qur’an dan Sunah.7 Menurut Al-Attas,
al-fala>h
diartikan sebagai pengalaman rohani yang berteraskan keyakinan
terhadap semesta dan kehidupan yang memancarkan akhlak dan adab yang baik.8
Dari penjelasan di atas,
al-fala>h
dapat diartikan sebagai segala
kebahagiaan, keberuntungan, kesuksesan dan kesejahteraan yang dirasakan oleh
seseorang, baik ia bersifat lahir dan batin, yang bisa ia rasakan di dunia dan di
akhirat kelak. Tidak ada ukuran yang bisa mengukur tingkat kebahagiaan karena
ia bersifat keyakinan dalam diri seseorang.
5Azwar Iskandar dan Khaerul Aqbar,
Kedudukan Ilmu Ekonomi Islam di Antara Ilmu
Ekonomi dan Fikih Muamalah: Analisis Problematika Epistemologis
, Nukhbatul ‘Ulum: Jurnal
Bidang Kajian Islam, Vol. 5, No. 2 (2019), h. 88-105.
https://journal.stiba.ac.id/index.php/nukhbah/article/view/77.
6 Ibrahim Mustafa,
Mu’jam Wasith
dengan materi ( حلف ), Turki: Maktabah Islamiyah .tt.
hal 699.
7 Syaikh Muhammad Muhyiddin Qaradaghi,
al Falah fi al Kitab wa as Sunnah
.
http://www.qaradaghi.com/portal/index.php?option=com_content&view=article&id=2337:-1-
4&catid=9:2009-04-11-15-09-29&Itemid=7
8 Wan Mohammad Nor Wan Daud,
Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia; Membina
Negara Maju dan Bahagia
, Kuala Lumpur: CASIS UTM International Campus, 2011. hal.4.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
520
Adapun epistemologi
al-fala>h
dalam perspektif Barat,
al-fala>h
dalam
bahasa Inggris memiliki banyak sinonim. Ia bisa berarti
welfare, well-being
atau
dalam istilah statistika dikenal dengan sebutan
human development
.
Al-fala>h
atau kesejahteraan menurut ahli psikologi modern adalah kumpulan aturan atau
petunjuk yang menggambarkan kebahagiaan masyarakat yang merupakan salah
satu kriteria keberhasilan sebuah negara dan dasar-dasar negara. Kesejahteraan
ini dikaitkan dengan kebahagian dasar (
underlying state of happiness
), berbeda
dengan perasaan bahagia dan gembira yang senantiasa berubah, yang disebut
sebagai
a sense of satisfaction with one’s life, both in general and in specific
areas.. such as relationships, health and work.
9
Menurut Segel dan Bruzy, kesejahteraan adalah kondisi sejahtera dari
suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi,
kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat. Kondisi kesejahteraan sosial diciptakan
atas kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini
diatur. Kedua, sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi. Ketiga, sejauh mana
kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan.10
Para pakar ilmu sosial mendefinisikan kesejahteraan sosial dengan tinggi
rendahnya tingkat hidup masyarakat.11 Sekurang-kurangnya mencakup lima
bidang utama yang termasuk dalam konsep
Al-fala>h
atau Kesejahteraan. Istilah
ini disebut dengan
Big Five
, yaitu: bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang
perumahan, bidang jaminan sosial, bidang pekerjaan sosial.
Surah al-Mukminun merupakan salah satu surah yang disepakati oleh para
ulama tentang turunnya, yaitu sebelum Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah.
Yusuf Ali dalam hal ini mengatakan bahwa surat ini merupakan surah terakhir
yang turun di Mekkah.12 Dinamai dengan al-Mukminun karena surat ini
menerangkan tentang sifat-sifat tersebut diharapkan mereka mendapat
keberuntungan di akhirat dan ketenteraman jiwa di dunia. Ada juga yang
menamakan surat ini dengan
al-fala>h
. Kedua nama tersebut diambil dari kata-
kata yang terdapat pada ayat pertama surat ini yaitu:
“qad aflaha al-mukminun”
.
Surat ini merupakan surat yang ke 23 bila dilihat dari urutan surat dalam Al-
Qur’an, nama surat ini merupakan surat yang ke-76 bila ditinjau dari urutan
turunnya. Ia turun sebelum surat
al-Mulk
dan sesudah surat
al-Thur
. Jumlah ayat-
ayatnya sebanyak 117 ayat, namun ada juga yang menghitung sebanyak 118
ayat.13
Tujuan utama surah ini adalah uraian tentang kebahagiaan dan
kemenangan yang akan diraih secara khusus oleh orang-orang mukmin, walaupun
ada ulama yang menambahkan bahwa surat ini merupakan ajakan untuk beriman
kepada Allah dan hari akhir serta menjelaskan sifat-sifat orang mukmin. Surah
9 Ibid.
10 James Midgley,
Pembengunan Sosial: Persepektif Pembangunan dalam Kesejahteraan
Sosial
. Jakarta: Ditperta Islam Depag RI. 2005. hal. 20
11 James Midgley,
Pembengunan Sosial: Persepektif Pembangunan dalam Kesejahteraan
Sosial
. Jakarta: Ditperta Islam Depag RI. 2005. hal. 20
12 Abdullah Yusuf Ali,
Al Qur’an dan Terjemah dan Tafsirnya
. Penerjemah Ali Audah.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993. hal 863.
13 M. Quraish Shihab,
Tafsir al Mishbah
. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati. 2006. hal. 114.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
521
ini dimulai dengan uraian tentang sifat orang mukmin kemudian diikuti dengan
bukti keimanan yang ada dalam diri manusia dan alam raya, serta hakekat iman
sebagai mana yang telah disampaikan oleh para rasul sejak Nabi Nuh sampai
Nabi Muhammad
s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam
.
Allah swt. berfirman,
      
       
   
      
        
Terjemahnya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-
orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka
Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di
balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. dan orang-
orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan
orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang
akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di
dalamnya.14
Dalam tafsir ayat 1-2 (sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman yaitu orang-orang yang khusuk dalam shalatnya), Ibnu Katsir
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘beruntung’ ialah karena mereka akan
meraih surga karena mereka khusyuk
dalam salatnya yakni
qalbu
mereka
khusyuk
dengan mereka merendahkan diri mengkonsentrasikan
qalbu-
nya
terhadap salat, mencurahkan perhatiannya kepada salat dan memprioritaskan
salat dari perbuatan lain. Pada saat itulah tercipta ketenangan dan kesenangan
diri.15
Menurut M. Quraish Shihab, Kata
“qad aflaha”
dalam ayat di atas yang
kalau diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti sesungguhnya telah
beruntunglah, yakni pasti akan mendapatkan apa yang didambakan oleh orang-
orang yang mantap imannya dan mereka buktikan dengan melakukan amal-amal
shaleh, karena iman dan amal shaleh merupakan kunci surga. Yaitu orang-orang
14 Q.S. al-Mukminun: 1-11
15 Muhammad Ali As Shabuni,
Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
, Vol II. Beirut: Daarul Qur’an
Al Kariim. 1998. hal 560.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
522
mukmin yang khusyuk dalam salatnya. Khusuk artinya tenang, rendah hati lahir
dan batin.16
Dari dua penafsiran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu
keberuntungan yang di dapatkan seorang hamba ketika di dunia ini adalah saat ia
menjalankan salat dengan kekhusyukan sehingga tercipta ketenangan lahir dan
batin di dunia dan balasan surga di akhirat nanti akan ia dapatkan.
Dalam tafsir ayat 3 (dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang tidak berguna), al-Qurthubi berkata bahwa makna
laghw
di sini adalah dikembalikan kepada adatnya. Al-Dhahak berkata bahwa
laghw
yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Al-Hasan berkata maksudnya
adalah seluruh kemaksiatan. Bisa juga bermakna musik sebagaimana
diriwayatkan oleh Anas bin Malik.17
Imam Syaukani berkata bahwa
al-laghw
menurut Juraij adalah semua
kejelekan dari perbuatan tidak bermanfaat dan kesia-siaan berupa kemaksiatan
dan apa-apa saja yang tidak dipandang baik dalam berbuat dan bertindak.
Menuruk al-Dhahak,
laghw
artinya kesyirikan. Al-Hasan menafsiri dengan semua
kemaksiatan. Berpaling dari mereka bermakna berpaling dari mereka setiap
waktu. Maksudnya juga berpaling dari mereka ketika masuk waktu salat.18
Seorang muslim hendaknya menghindari perbuatan sia-sia baik perbuatan
dan perkataan. Hal-hal yang mengarah kepada kejelekan dan kemaksiatan. Hal
tersebut merupakan sifat seorang mukmin yang percaya kepada Allah dan hari
akhir.
Dalam tafsir ayat 4 (dan orang-orang yang menunaikan zakat), Ibnu
Katsir berkata bahwa jumhur ulama maksud zakat di sini adalah zakat harta.
Kewajiban zakat ini diwajibkan pada tahun kedua Hijriah di Madinah. Ia
diwajibkan jika telah masuk
nis}ab
dan ukurannya secara khusus. Sebenarnya
kewajiban zakat sudah ditetapkan di Mekah. Zakat di sini juga bermaksud
zakah
al-nafs
. Yaitu bebas dari syirik. Zakat di sini mengandung dua hal, yaitu zakat
harta dan jiwa. Seorang mukmin yang sempurna adalah yang memiliki kedua hal
ini.19
Iman yang mantap akan mendorong seseorang untuk menafkahkan
sebagian hartanya, dan dapat mengantar masyarakat menikmati kecukupan dan
kebahagiaan, karena kesempurnaan dan kebahagiaan seseorang adalah
keberatannya di tengah-tengah masyarakat yang bahagia. Zakat,
sedekah
dan
berbagai
infak dapat mempererat hubungan sosial sehingga masing-masing
anggota masyarakat merasakan dan bertanggung jawab atas derita yang dialami
oleh anggota lainnya. Dampak positif dari zakat yaitu terkikisnya dengki atau iri
hati.
Dalam tafsir Ayat 5-7 (dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budakbudak yang mereka miliki; maka
mereka sesungguhnya dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari di balik
16 M. Quraish Shihab,
Tafsir al Mishbah
. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati. 2006. hal. 146.
17 Al-Qurthubiy,
Tafsir al Qurthubiy
. Vol XII. Beirut: Darul Fikr. tt. hal. 98
18 Syaukani,
Fathul Qadhir Jami’ bayan
.Vol I. Beirut: Daarul Ma’rifah.2004. hal. 977
19 Ibnu Katsir,
Tafsir Ibn Katsir
. Vol V. Mesir: Darul Thayyibah.2002. hal. 458.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
523
itu, maka itulah orang-orang yang melampaui batas), Al-Thabari mengatakan
bahwa seorang mukmin harus menjaga diri dari perbuatan seksual yang tercela
atau perbuatan kelamin yang menyimpang segala macam. Adapun firman Allah:
“illa’ala azwajihim auw ma malakat aimaanuhum
(kecuali terhadap
pasanganpasangan mereka atau budak wanita mereka miliki), potongan ayat ini
dijadikan alasan oleh Syafii, diharamkannya onani/masturbasi, karena
penyaluran kebutuhan seks hanya dibenarkan dengan istri-istri yang sah atau
dengan budak-budak jika masih ada.20 Menurut Quraish Shihab, “dalam ayat ini
Allah Swt menerangkan sifat-sifat orang mukmin yang akan mendapatkan
kebahagiaan yaitu orang-orang yang suka mejaga kemaluanya dari perbuatan keji
seperti berzina, mengerjakan perbuatan kaum Luth (homoseksual).”21
Hal ini berarti bahwa Islam memandang seks adalah suatu yang tidak
buruk atau kotor karena ia adalah salah satu fitrah manusia yang suci. Bahkan
apa yang keluar akibat penyaluran biologis itu (mani atau sperma) dinilai oleh
ulama sebagai suatu yang suci. Lebih dari itu Rasullulah
s}allalla>hu ‘alaihi wa
sallam
menegaskan dalam sabdanya:
hatta fi bud}’i ahadikum s}adaqah
”.
Maksudnya, Allah menganugerahkan ganjaran kepada suami istri yang
melakukan hubungan intim.22
Dalam tafsir ayat 8 (dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulkan) dan janji-janjinya), Al-Qurthubi berkata bahwa yang dimaksud
dengan amanah di sini adalah seluruh amanah dan janji yang telah dibebankan
oleh manusia dalam agama dan dunia baik perkataan maupun perbuatan. Hal
inilah yang umum bagi manusia. Maksudnya adalah menjalankan dan dan
menjaganya. Amanah itu lebih bersifat umum daripada janji. Setiap janji adalah
amanah dimana ianya dimulai dengan perkataan, perbuatan dan keyakinan.23
Dalam ayat ini Allah
ta’ala
menjelaskan sifat lain orang-orang mukmin yang
akan mendapat keberuntungan, yaitu orang mukmin yang suka memelihara
amanat-amanat yang dipikulkannya, baik amanat itu dari Allah maupun sesama
manusia.24
Menurut Quraish Shihab “Kata
amanatihim
dalam ayat diatas adalah
bentuk jamak dari kata amanah dan seakar dengan kata iman yang artinya
dipercaya. Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman, di antaranya
keduanya sangat erat. Semakin tipis keimanan seseorang semakin berkurang juga
sifat amanahnya. Seseorang semakin berkurang juga sifat amanahnya. Amanah
dalam pengertian sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikanya
kepada pemiliknya dalam bentuk semula, sedangkan amanah dalam pengertian
luas mencakup banyak hal, seperti perkawinannya adalah amanah manusia
dengan sesamanya, memelihara kelangsungannya, menjaga rahasia, tidak
20 Imam Ja’far At Thabary,
Jamiul Bayan an Ta’wil ayilal Quran.
Vol V. Beirut:
Muassasah ar Risalah. Hal. 350.
21 M. Quraish Shihab,
Tafsir al Mishbah
. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati. 2006. hal. 154.
22 H.R. Muslim.
23 Al-Qurthubiy,
Tafsir al Qurthubiy
. Vol XII. Beirut: Darul Fikr. hal. 98
24 Abdullah Yusuf Ali, Abdullah Yusuf Ali,
Al Qur’an dan Terjemah dan Tafsirnya
.
Penerjemah Ali Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus 1993. Hal;863
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
524
menyalahgunakan jabatan, memelihara semua nikmat yang diberikan oleh Allah,
seperti memelihara lingkungan menjaga kesehatan diri sendiri dan lain-lainnya.25
Begitu penting dan besarnya amanah dalam kehidupan seorang mukmin,
sehingga Islam sangat memperhatikannya bahkan Al-Quran dan Sunah telah
meletakkan landasan dan dasarnya. Allah telah menjadikan sifat amanah sebagai
sifat utama dan pertama yang dimiliki oleh Nabi Muhammad
s}allalla>hu ‘alaihi
wa sallam
, sehingga sejak kecil beliau dikenal sebagai
al-amin
(jujur dan
terpercaya). Untuk itu sifat amanah harus dimiliki oleh setiap orang mukmin.
Dalam tafsir ayat 9 (dan orang-orang yang memelihara salat-salatnya),
Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini tidak sama dengan ayat kedua dari surat
ini, sebab pada ayat kedua mengandung perintah
khusyuk
dalam salat sebagai
sifat orang mukmin yang akan mendapatkan kemenangan, sedangkan dalam ayat
ini Allah
ta’ala
menerangkan tentang orang mukmin yang akan mendapat
kemenangan yaitu orang mukmin yang selalu memelihara dan memperhatikan
salatnya lima waktu dengan memenuhi persyaratan dan sebab-sebabnya.26 Al-
Qurthubiy berkata bahwa arti memelihara salatnya adalah menjaga waktunya,
menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.27
Ayat ini merupakan ayat penutup sifat-sifat teruji bagi orang-orang
mukmin yang mengandung masing-masing dapat meraih kebahagiaan yang
memang pada ayat kedua telah disebut juga salat tetapi dalam konteks yang
berbeda. Di sana tentang kekhusukan dan di sini tentang pemeliharaanya secara
keseluruhan dan untuk tiap-tiap salat. Walaupun pelakunya di sini tidak
mencapai kekhusukan yang sempurna sebagaimana yang mereka yang
dibicarakan oleh ayat kedua.
Dalam tafsir ayat 10-11 (mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
(yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya), Syaukani
berkata bahwa hadis yang dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dan disahihkan oleh al-
Hakim, dari Abu Hurairah: Merekalah yang mewarisi, maksudnya adalah
mewarisi tempat tinggal mereka dan tempat tinggal saudara mereka yang telah
disediakan karena mereka taat kepada Allah.” Rasulullah bersabda,
Al-Firdaus
adalah tempat yang paling tinggi, ia berada di tengah dan surga yang paling
utama.”28
Al-Qurthubi menafsiri “merekalah yang merwasikan, maksudnya adalah
surga dan segala kenikmatannya. Yaitu surga
firdaus
yang paling tinggi, paling
utama dan berada paling tengah. Abu Hurairah berkata,
Al-firdaus
adalah
gunung yang ada di surga di mana ia memancarkan sungai-sungai yang ada di
surga. Makna mereka kekal didalamnya adalah mereka mengalami keabadian.”29
Allah
ta’ala
telah menjamin bagi semua orang mukmin yamg memiliki
sifat-sifat diatas dengan balasan yang paling baik. Yaitu surga, bukan surga biasa
25 M. Quraish Shihab,
Tafsir al Mishbah
. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati. 2006. hal. 158.
26 Muhammad Ali As Shabuni,
Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
, Vol II. Beirut: Darul Qur’an
Al Karim. 1998. hal 563.
27 Al-Qurthubiy,
Tafsir al Qurthubiy
. Vol XII. Beirut: Darul Fikr. 2002. hal. 97.
28 Syaukani,
Fathul Qadhir al Jami’ bayan
.Vol I. Beirut: Darul Ma’rifah.2004. hal. 977.
29 Al-Qurthubiy,
Tafsir al Qurthubiy
. Vol 12. Beirut: Darul Fikr. 2002. hal .97.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
525
namun surga yang paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah. Hal inilah menjadi
tanda kebahagiaan yang hakiki, karena kebahagiaan itu adalah ketika saat
mendapatkan kebahagiaan tanpa dibatasi waktu dan tempatnya.
Selanjutnya, selain pada surah al-Mukminun ayat 1-11 di atas, makna
al-
fala>h
juga disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn
‘Amru ibn ‘Ash dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab
al-Zakah, Bab “al-Kafaf
wa al-Qana’ah”
nomor hadis 1054. Dalam hadis ini, Rasulullah bersabda,










.
Terjemahnya:
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, mendapat rizki ang cukup
serta Qana’ah terhadap apa yang diterima.”
Al-Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini ada anjuran untuk
ta’affuf
(menahan diri dari meminta-minta),
qana’ah
(merasa cukup) dan bersabar atas
kesempitan hidup dan selainnya dari kesulitan (perkara yang tidak disukai) di
dunia.”30
Kebahagiaan, keberuntungan, kesejahteraan dan kesuksesan yang seorang
hamba yang tidak ada habisnya adalah sifat qana’ah, yaitu merasa rida dengan
pemberian Allah yang Maha Adil. Rasululah
s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam
bersabda
,
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta),
akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa
(hati)”31 Dalam hadis lain, Rasulullah
s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“…Ridahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu
akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”32 itulah yang disebut
dengan
al-fala>h
dalam epistemologi Islam. Sa’ad bin Abi Waqqash
rad}iallahu
‘anhu
pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai putraku, jika dirimu hendak
mencari kekayaan, carilah dia dengan
qana’ah
, karena
qana’ah
merupakan harta
yang tidak akan lekang.”
Konsep
al-Fala>h
Menurut Islam
Di dalam Islam, filosofi
al-fala>h
menuntut seorang muslim untuk
berorientasi pada
maslahah
dalam setiap aktivitasnya. Jika seseorang
menggunakan ukuran
maslahah
dalam aktivitas ekonominya baik dalam kegiatan
produksi, konsusmsi maupun distribusi, maka diharapkan ia akan mencapai
al-
fala>h
yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Sebab, seperti yang telah
dikemukakan di awal tentang epistemologi
al-fala>h
dalam Islam, istilah
al-fala>h
diambil dari kata-kata Al-Qur’an yang sering dimaknai sebagai keberuntungan
jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek
material, namun justeru lebih ditekankan pada aspek spiritual.
30 Al-Nawawi.
Syarh Shahih Muslim
. Vol VII. Mesir: Mu’assasah Qarthubah. 1926. hal.
145. 31 H. R. Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
32 H. R. Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan
hasan
oleh Al-Albani.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
526
Rasionalitas dalam Islam bukannya kemudian membatasi peluang untuk
melakukan pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak.
Term
“maksimisasi” bisa saja tetap digunakan, hanya dibatasi oleh kendala etika dan
moral Islam. Olehnya, istilah “kepuasan” pun mengalami transformasi
pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi
al-fala>h,
dalam arti yang luas,
dunia dan akhirat.
Al-fala>h
di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia
secara terus-menerus. Dalam relasi
means-ends
, bila diperbandingkan dengan
pandangan sekular, material sebagai representasi
al-fala>h
di dunia adalah
berfungsi sebagai
the means
, dalam rangka mencapai
the ultimate ends, the real
al-fala>h
, di akhirat kelak.33 Dengan demikian, pengejaran sarana material di
dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah kepada
Allah dengan lebih sempurna.
The ethical Islamic constraint
dalam hal ini
misalnya terealisasikan dalam institusi zakat, infak dan sedekah, yang dalam
konsep Islam mampu memberikan peluang pada golongan yang lemah untuk
berusaha, karena mereka memiliki hak yang
inherently
melekat dalam harta
benda si kaya. Relasi
means-ends
ini mencakup seluruh aspek perekonomian
ummat Islam dengan sifat dan jenisnya yang tidak mungkin seluruhnya dapat
didiskusikan secara detail dalam tulisan kecil ini.
Memang harus diakui bahwa konsep
al-fala>h
dan kebahagiaan bukan
sesuatu yang mudah untuk dipahami dan diukur. Akan tetapi seluruh ilmuan
sepakat bahwa tujuan semua amal manusia baik di tingkat pribadi atau
masyarakat adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian. Dalam
pandangan Islam, kesejahteraan dan kebahagiaan adalah aspek penting dalam
kemajuan individu dan masyarakat. Itulah kebahagiaan yang dicita-citakan di
dunia dan akhirat. Negara yang maju adalah negara yang menyejahterakan dan
membahagiakan rakyatnya dengan mencapai
maqa>s}id al-syari’ah
. Itulah konsep
negara sejahtera (
baldatun tayyibah
) yang diridai Allah
azza wa jalla
.34
Melalui pembahasan yang telah lalu dalam kajian ayat-ayat Al-Qur’an
dan Sunah, nampak dengan jelas bahwa konsep
al-fala>h
dalam Islam bersesuaian
dengan konsep
al-fala>h
dalam konsep selain Islam dalam beberapa aspek, dilihat
dari sisi duniawiyah, kesejahteraan, materi dalam masayarakat dan ekonomi.
Akan tetapi ada beberapa perbedaan antara konsep
al-fala>h
dalam Islam dan
konsep
al-fala>h
selain Islam yaitu:
Pertama
,
konsep
al-fala>h
dalam Islam sudah dapat dipahami maksudnya
dilihat dari segala sisi. Bersifat komprehensif bagi kelangsungan kehidupan
manusia. Ia mencakup kebahagiaan spiritual, ruhiyah, badaniyah, secara zahir
dan batin. Seperti juga kebahagian dalam bidang politik, keamanan, ekonomi dan
sosial dan selainnya. Adapun konsep
al-fala>h
selain dari Islam, cenderung sangat
bersifat materialistik tanpa mengkaitkan sisi spiritualnya. Kesenangan bersifat
kenikmatan jasadiyah tanpa dilihat dari sisi maknawiyah. Maka konsep
al-fala>h
hanya bersifat kebahagiaan yang lahiriah yaitu harta, menuruti keinginan
33 Lihat Q.S. al-Qashash ayat 77
34 Q.S. Saba:15.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
527
duniawiyah, menikmati fasilitas dunia, dan kebahagiaan bersifat prestise,
kekuasaan dan selainnya.
Kedua, bahwa kehidupan dunia ini dalam pandangan Islam tidak berhenti
pada kematian. Bahkan kematian merupakan jenjang menuju kehidupan
selanjutnya. Dari sanalah dimulai kehidupan yang menentukan, apakah ia
mendapat nikmat atau adzab. Nikmat dengan kebahagiaan yang kekal atau azab
yang tiada henti. Oleh sebab itu,
al-fala>h
dalam Islam bermakna kemenangan,
kebahagiaan, kenikmatan yang terus menerus, tiada terputus sampai hari akhir.
Bahkan akhirat itu menjadi pondasinya. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya
Negri akhirat itu kekal, seandainya mereka tahu.”35 Allah juga berfirman,
“Barangsiapa yang dihindari dari neraka dan dimasukkan dalam Surga, maka
sungguh ia telah beruntung. Sesungguhnya kenikamatan dunia itu hanyalah
kenikmatan yang menipu.”36 Adapun konsep
al-fala>h
dalam selain Islam bersifat
terbatas. Kematian adalah akhir segalanya.
Ketiga, faktor
al-fala>h
dalam pandangan Islam bertentangan dengan
faktor
al-fala>h
selain dari konsep Islam. Ada dua hal yang mendasar, yaitu
sebagaimana berikut:
Faktor pertama: berkaitan dari sisi duniawiyah yaitu bersifat kebendaan
harta dan kesejahteraan dan kemapanan. Oleh sebab itu, manusia dianjurkan
untuk berusaha meningkatkan tingkat kesejahteraan, kemapanan agar
kebutuhannya terpenuhi.
Faktor kedua: dari sisi spiritual dan
ukhrawi
:
a. Beribadah dan berdzikir kepada Allah, bersyukur, takut, harap dan
cemas sampai pada tahap “engkau menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu”. Allah berfirman, “Ingatlah kepada
Allah sebanyak-banyaknya mudah-mudahan kalian beruntung.”37 Dari
sini,
al-fala>h
bagi seorang mukmin adalah mencapai keridhaan Allah,
bertaubat kepada-Nya, mendapatkan surga Allah dan dapat melihat
wajah-Nya, ditambah lagi kenikmatan surga yang telah Allah
janjikan.
b. Menggapai rida kedua orang tua, kerabat dekat dan seluruh manusia
terkhusus orang fakir dan miskin. Dan itulah yang dimaksud dengan
al-fala>h
dan kebahagiaan. Hal itu membuat hatinya berkesan. Allah
berfirman, “Dan mereka memberi makan dengan makanan yang
mereka cintai kepada orang miskin, anak yatim dan para tahanan.
Sesungguhnya kami memberi makan kalian hanya mengharap wajah
Allah saja, tidak menginginkan dari kalian balasan atau ucapan rasa
terima kasih.”38
35 Q.S. al-Ankabut:64
36 Q.S. al-Imran: 185
37 Q.S. al-Anfal:45
38 Q.S. al-Insan:9
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
528
c. Kebaikan dan berbuat baik. Allah berfirman, ”Dan berbuat baiklah
kalian mudah-mudahan kalian beruntung.”39
d. Tidak berbuat zalim dan meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa.
Implementasi Konsep
al-Fala>h
menurut Islam dalam Aspek Makro dan Mikro
Ekonomi
Bagian ini menjelaskan pandangan Islam terhadap permasalahan ekonomi,
termasuk bagaimana Islam memandang tujuan hidup manusia, memahami
permasalahan hidup dan ekonomi dan bagaimana Islam memecahkan masalah
ekonomi. Ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari metode
untuk memahami dan memecahkan masalah ekonomi yang didasarkan atas ajaran
agama Islam. Perilaku manusia dan masyarakat yang didasarkan agama Islam
inilah yang disebut perilaku rasional Islam yang akan menjadi dasar
pembentukan suatu perekonomian Islam.
Dalam konteks dunia,
al-fala>h
merupakan konsep multidimensi, memiliki
implikasi pada aspek perilaku individual (mikro) maupun perilaku kolektif
(makro). Untuk kehidupan dunia,
al-fala>h
mencakup tiga pengertian, yaitu
kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan serta kekuatan dan kehormatan.
Untuk kehidupan akhirat,
al-fala>h
mencakup pengertian kelangsungan hidup
yang abadi, kesejahteraan abadi, kemuliaan abadi dan pengetahuan abadi (bebas
dari kebodohan).
Al-fala>h
juga mencakup aspek spiritualitas dan moralitas,
ekonomi, social, budaya, baik dalam skala mikro maupun makro.
Adapun aspek mikro dan makro ekonomi dalam implementasi konsep
al-
fala>h
adalah sebagai berikut:
Pertama, spiritual, terdiri dari tauhid, budi perkerti yang baik, salat, zakat,
puasa, menjaga kemaluan, amanah dll., sukur, harap, cemas, takut, cinta dan
ihsan, berbuat baik pada kedua orangtua, kerabat, fakir miskin, anak yatim dan
binatang, tidak berbuat zalim,
qana’ah
,
ta’affuf
, zuhud dan
wara’.
Kedua, kelangsungan hidup, terdiri dari kelangsungan hidup biologis,
kesehatan, kebebasan keturunan dsb., keseimbangan ekologi dan lingkungan,
kelangsungan hidup ekonomi (kepemilikan faktor produksi), pengelolaan sumber
daya alam, penyediaan kesempatan berusaha untuk semua penduduk,
kelangsungan hipup sosial (persaudaraan dan harmoni hubungan sosial),
kebersamaan sosial, ketiadaan konflik antar kelompok, keberlangsungan hidup
politik; kebebasan dalam partisipasi politik, jati diri dan kemandirian.
Ketiga, kebebasan berkeinginan, yaitu terbebas dari kemiskinan, penyediaan
sumber daya untuk seluruh penduduk, kemandirian hidup, dan penyediaan
sumber daya untuk generasi yang akan datang.
Keempat, kekuatan dan harga diri, yaitu harga diri, kekuatan ekonomi dan
kebebasan dari utang, kemerdekaan, perlindungan terhadap hidup dan
kehormatan, dan kekuatan militer.
Akhirat memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga
dibandingkan kehidupan dunia. Namun,
al-fala>h
mengandung makna kondisi
maksimum dalam kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ekonomi Islam menuntun
39 Q.S. al-Hajj:77
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
529
bagaimana manusia memenuhi kebutuhan materinya di dunia ini sehingga
tercapai kesejahteraan yang akan membawa kepada kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
Tabel 1
Aspek Mikro dan Makro dalam
al-Fala>h
Menurut Islam
Aspek Mikro
Aspek Makro
kelangsungan hidup
biologis; kesehatan,
kebebasan, keturunan
keseimbangan ekologi
dan lingkungan
kelangsungan hidup
ekonomi; kepemilikan
faktor produksi
pengelolaan sda dan
penyediaan kesempatan
berusaha untuk seluruh
penduduk
kelangsungan hidup
sosial;
persaudaraan dan
harmonisasi hubungan
sosial
kebersamaan sosial,
ketiadaan konflik antar
kelompok
kelangsungan hidup
politik;
kebebasan dalam
berpartisipasi politik
jati diri dan kemandirian
terbebas dari kemiskinan
penyediaan sumber daya
untuk seluruh penduduk
kemandirian hidup
penyedian sumber daya
untuk generasi yang akan
datang
harga diri
kekuatan ekonomi dan
kebebasan dari utang
kemerdekaan,
perlindungan hidup dan
kehormatan
kekuatan militer
tauhid, ikhlash, jujur,
zuhud, syukur, sabar,
ketenangan, akhlak
yang baik kepada semua
makhluk.
kemandirian,
profesioniltas dalam
pekerjaan, tauhid sosial,
etos kerja, kemajuan
iptek berdasar wahyu
ilahi
Sumber: M. Akram Khan (1994)
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tentang epistemologi dan konsep
al-fala>h
dalam
Islam, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
530
Pertama, dalam epirstemologi Islam,
al-fala>h
adalah segala bentuk
kebahagiaan, keberuntungan, kesuksesan dan kesejahteraan yang dirasakan oleh
seseorang, baik ia bersifat lahir dan batin, yang bisa ia rasakan di dunia dan di
akhirat kelak, dari segala sisi dan dimensi (komprehensif) dalam seluruh aspek
kehidupan; material dan spiritual.
Kedua, konsep
al-fala>h
dalam Islam menuntut seorang muslim untuk
berorientasi pada
maslahah
dalam setiap aktivitasnya. Jika seseorang
menggunakan ukuran
maslahah
dalam aktivitas ekonominya baik dalam kegiatan
produksi, konsumsi maupun distribusi, maka diharapkan ia akan mencapai
al-
fala>h
yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup.
Al-fala>h
di akhirat menjadi
tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus. Dengan demikian,
pengejaran sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan
pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan lebih sempurna.
Ketiga,
al-fala>h
merupakan konsep multidimensi yang memiliki implikasi
pada aspek perilaku individual (mikro) maupun perilaku kolektif (makro), yaitu
kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, kekuatan dan harga diri dan
spiritualitas.
Implikasi atau saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian di
atas adalah:
1. Bagi masyarakat secara umun dan terkhusus yang telah bekerja, agar
mendidik jiwa mereka dan anak-anaknya dengan nilai-nilai Islami
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Dalam masalah ini, memberikan
pendidikan dan pemahaman tentang konsep kesejahteraan, kesuksesan dan
kebahagiaan dalam Islam itu sendiri.
2. Bagi pemerintah, agar terus memikirkan dan menjalankan amanah mengurus
masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan, kesuksesan dan kebahagiaan
baik dalam peningkatan di bidang materi (struktural, infrastruktur, dan
pelayanan umum) dan spiritual dalam hal membina kerohanian jiwa
masyarakatnya.
3. Bagi perguruan tinggi agar mendidik para generasi penerus agar memahami
epistemology dan konsep
al-fala>h
} dalam Islam, sehingga para lulusannya
memiliki andil besar dalam memperbaiki kekurangan dan kekeliruan yang
terjadi di masyarakat dalam memahami konsep
al-fala>h.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Y. (1993).
Al-Qur’an dan Terjemah dan Tafsirnya
. Penerjemah Ali
Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Nawawi. (1926).
Syarh Shahih Muslim
. Mesir: Mu’assasah Qarthubah.
Al-Qurthubiy. (t.th.).
afsir al Qurthubiy,
Beirut: Darul Fikr.
Al-Shabuni, Ali. (1998).
Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir
, Beirut: Daarul Qur’an Al
Kariim.
Al-Thabary, J. (1999).
Jamiul Bayan wa Ta’wil
. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Chapra
,
M. U.
(t.th).
The Future of Economics; An Islamic Perspective
. United
Kingdom: The Islamic Foundation.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam
Vol. 1, No. 3 (2020): Hal. 516-531
Website: https://journal.stiba.ac.id
Khaerul Aqbar, Azwar Iskandar, Akhmad Hanafi D.Y
Konsep Al-Falah dalam ...
531
Chapra, Umar, 1999,
The Future of Economics; An Islamic Perspective
. UK: The
Islamic Foundation.
Farida, U. J. (2020). Memahami Konsep Al-Falah Melalui Upaya Penguatan
Ketahanan Pangan Dalam World Islamic Economic Forum (WIEF).
Journal of Islamic Economics Lariba, 5
(1), (2019). 53-69.
Ibnu Katsir. (2002).
Tafsir Ibn Katsir
, Mesir: Darul Thayyibah.
Iskandar, A., Aqbar, K. (2109).
Kedudukan Ilmu Ekonomi Islam di Antara Ilmu
Ekonomi dan Fikih Muamalah: Analisis Problematika Epistemologis
.
NUKHBATUL ‘ULUM: Jurnal Bidang Kajian Islam, 5
(2). 88-105.
Kupeer, A., Kuper, J. (2001).
The Social Science Encyclopedia
. Inggris:
Cambridge University Press.
Midgley, J. (2005).
Pembengunan Sosial: Persepektif Pembangunan dalam
Kesejahteraan Sosial,
Jakarta: Ditperta Islam Depag RI.
Mustafa, I.,
et al.
(2001).
Mu’jam Wasith.
Turki: Maktabah Islamiyah.
Redman, A. D. (1991).
Economics and the Philosophy of Science
, New York:
Oxford University Press.
Shihab, Q. M. (2006).
Tafsir al-Mishbah
. Jakarta: Lentera Hati.
Shuhairimi, A., Bakar, M.S., & Abdul Hamid, S. (2018).
Transformasi Usahawan
Al Falah: Satu Refleksi
. Malaysia: Penerbit UniMAP.
Suharto, E. (2004).
Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan
Strtategi
. Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial.
Syaukani. (2004).
Fathul Qadhir Jami’ Bayan
, Beirut: Daarul Ma’rifah.
Wan, D. M. N. W. (2011).
Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia; Membina
Negara Maju dan Bahagia
. Kuala Lumpur: CASIS UTM International
Campus.
... sān values is not limited to the material goals and target, but also to attain a comprehensive goal in Islam that is referred to as al falāh . . Al falāh . is every form of happiness, luck, success, and prosperity that is felt by an individual, characterized in birth virtue, and can be recognized in this life and the hereafter that follows, from every side and dimension that is more comprehensive in every aspect of life, material and spiritual (Aqbar et al., 2020). According to the perspective of Imam al Ghazali, falāh . ...
... sān commitment has a wider dimension, as the orientated goal that one wants to achieve from this commitment involves goodwill for religion, soul, mentality, descendants and possession that within Islam is known as the concept of al falāh . (Aqbar et al., 2020;Musolli, 2018). This translates to relationship and work ties that is built between an individual employee and organization is not only tied to the position of fulfilling economic, social or self-actualization needs. ...
Article
Full-text available
Purpose: This study suggests a new commitment concept in the workplace within the perspective of Islam that is rooted on ih. san¯ values. Methodology: This research uses a meta-analysis method. We took the top ten articles in the Q1 category from the Scopus data base using the Publish or Perish application with the title word organizational commitment. Findings: This study provides a new color in the concept of work commitment with included Islamic religious values such as ih. san¯ value, where the concept offered by previous research is stating that work commitment is a form of transactional relationship between organizations and employees built from social exchange theory. Significance: This study contributes to the development of a commitment concept in an Islamic perspective. The result of this study provides insight and a contemporary concept in building employee commitment for increasing participation and human performance. Limitations: As a new concept, measurement and validation scales still need to be developed. Implications: The concept of ih. san¯ commitment is hoped to offer a strong commitment founded on the spirit of faith and a wider goal within work activities in building commitment that is al fala¯h. : to maintain religion, spirit, mentality, descendants and possessions.
... dan kesejahteraan di dunia dan akhirat(Aqbar, Iskandar, and Yunta 2020). Islam mengajarkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, dimana manusia diarahkan untuk mencari kebahagiaan yang seimbang antara dimensi material dan spiritual. ...
Article
This study explores Mohammad Hatta's influence on housing policies in Indonesia, highlighting his integration of Islamic principles into public policy to enhance societal welfare. Hatta viewed housing as a fundamental human right that extends beyond physical needs to encompass spiritual and social dimensions. Grounded in Islamic values such as justice (‘adl), trust (amanah), and solidarity (ta'awun), his policies aimed to ensure equitable access to adequate housing, particularly for low-income communities, while promoting holistic well-being. Hatta’s vision aligned with Islamic teachings that emphasize fairness and state responsibility in fulfilling basic human rights, as reflected in QS. An-Nisa: 58. His ideas inspired initiatives like the Sejuta Rumah (One Million Houses) Program and Tapera (People’s Housing Savings), which address housing disparities and support societal harmony. Additionally, Hatta championed cooperative-based housing development, fostering community participation and mutual assistance, which not only ensured affordable housing but also empowered local economies. By integrating Islamic principles into housing policies, Hatta demonstrated how public policy could balance material, social, and spiritual needs to achieve sustainable societal welfare. His approach offers a valuable framework for future housing programs to promote justice, inclusivity, and collective prosperity.
... However, the definition of falah is only mentioned as normative-that is, as the equilibrium between this world and the hereafter (Aqbar et al., 2020;Daud & Sulaiman, 2020;Nasrulloh, 2021). There is no further analysis of the concept, except for the falah philosophy, which calls for a Moeslem to orient toward maslahah for each micro and macro stuff. ...
Article
Full-text available
This study aims to develop a model of falah-based performance measurement for Islamic banks that evaluates financial performance and normative aspects in line with Islamic economic principles. The performance of Islamic banks in Indonesia is currently assessed using approaches such as capital ownership, risk, or financial ratios, which inadequately reflect sharia-compliant operations comprehensively. Therefore, a measurement methodology aligned with sharia values is required to evaluate Islamic bank performance. This study employs quantitative methods with a Multi-Criteria Decision-Making (MCDM) approach. Specifically, the two-phase multi-attribute decision-making approach is applied to rank the performance of the banks, while the Simple Additive Weighting (SAW) method is used for weighting and data aggregation. The population in this study consists of 10 Islamic commercial banks in Indonesia, evaluated using a falah-based performance measurement model developed under the Maqashid Syariah Index framework and referred to as the falah model. The findings reveal that BTPN Sharia Bank and TB Bukopin Sharia Bank exhibit outstanding performance with a falah score of 0,852504 and 0,835432. Meanwhile, Aladin demonstrate exceptional performance. Additionally, Mega Sharia Bank achieves satisfactory performance. This study highlights the need for a comprehensive sharia-based performance evaluation to better reflect the operational objectives of Islamic banking institutions.
Article
Enhancing welfare constitutes a strategic resolution to elevate the living standards of fishermen and coastal communities. This research analyzes the welfare level of coastal communities in the Gading Beach Area, Mataram, through the perspective of maqashid syariah as propounded by Imam As-Syatibi and Yusuf al-Qardhawi, and correlates it with the concept of falah in Islamic economics. The research method employed is descriptive qualitative, utilizing data collection techniques such as participatory observation, in-depth interviews, and document analysis. The research findings indicate that the community has fulfilled the five primary indicators of maqashid syariah according to As-Syatibi, namely hifz ad-din (preservation of religion), hifz al-aql (preservation of intellect), hifz al-nafs (preservation of life), hifz an-nasl (preservation of progeny), and hifz al-mal (preservation of wealth). However, an additional indicator proposed by Yusuf al-Qardhawi, hifz al-bi’ah (preservation of the environment), has not been optimally achieved due to coastal ecosystem degradation. This finding confirms that the welfare of coastal communities is not solely contingent upon the fulfillment of basic needs (maslahah), but also on environmental sustainability as an integral component of holistic welfare or falah. The research implications underscore the importance of integrating ecological principles into coastal development policies to ensure economic prosperity and the sustainable maintenance of spiritual values. Peningkatan kesejahteraan merupakan solusi strategis untuk mengangkat taraf hidup nelayan dan masyarakat pesisir. Penelitian ini menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kawasan Pantai Gading, Mataram, melalui perspektif maqashid syariah yang dikemukakan oleh Imam As-Syatibi dan Yusuf al-Qardhawi, serta mengaitkannya dengan konsep falah dalam ekonomi Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan analisis dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat telah memenuhi lima indikator utama maqashid syariah menurut As-Syatibi, yaitu hifz ad-din (terpeliharanya agama), hifz al-aql (terpeliharanya akal), hifz al-nafs (terpeliharanya jiwa), hifz an-nasl (terpeliharanya keturunan), dan hifz al-mal (terpeliharanya harta). Namun, indikator tambahan yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawi, yakni hifz al-bi’ah (terjaganya lingkungan), belum tercapai secara optimal akibat degradasi ekosistem pesisir. Temuan ini mengonfirmasi bahwa kesejahteraan masyarakat pesisir tidak hanya bergantung pada pemenuhan kebutuhan dasar (maslahah), melainkan juga pada keberlanjutan lingkungan sebagai bagian integral dari kesejahteraan holistik atau falah. Implikasi penelitian menekankan pentingnya integrasi prinsip-prinsip ekologis ke dalam kebijakan pembangunan pesisir guna menjamin kemakmuran ekonomi dan pemeliharaan nilai-nilai spiritual secara berkelanjutan.
Article
Full-text available
Although in traditional trade practices, unethical practices are increasingly occurring, characterized by a lack of principles of honesty, trustworthiness, and transparency among traders, on the contrary, in traditional river-based trade practices at the Lok Baintan floating market with local wisdom "kuranglabih" can realize these practices. Fairtrade is in line with Islamic values. This research aims to describe trading ethics based on Islamic values in trading practices on the floating market and analyze the integration of Islamic values, local wisdom, and the role of Panyambangan in traditional river-based trade at the Lok Baintan Floating Market. This research uses a qualitative approach with a case study method. Data was collected through observation, interviews, and documentation to record cultural phenomena comprehensively. The research results show that it has contributed significantly to the Banjar people's cultural richness and character formation. As well as making strong river-based trade practices to support honest and fair trade. Local wisdom kuranglabih reflects ethics, kinship, tolerance, justice, mutual respect, and economic aspects. As moral guides, Miners play an essential role in spreading the values of honesty and generosity among traders. Commitment to Islamic values shows how cultural heritage can develop without losing its essence. This research contributes to understanding the importance of local wisdom in building honesty and justice. Research implications include sustainable planning for policymakers to protect traditional river-based markets and efforts to empower traders in developing and maintaining trade in floating markets.
Article
Full-text available
Islam adalah agama universal, agama yang mengemban misi rahmatan lil alamin dan membawa konsep kepada umat manusia tentang isu-isu terkait. Politik Islam adalah wajah Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku politik serta budaya politik yang berorientasi pada nilai-nilai, akhlak dan ajaran Islam, hingga keutuhan spritual umat Islam. Pembuatan artikel Makna Kekuasaan dalam Politik Islam ini menggunakan metode kualitatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, kuesioner dengan menggunakan gform, terdapat beberapa pertanyaan yang diajukan kepada narasumber atau informan yang dilakukan secara online. Kedua, dengan menggunakan studi literatur dan kajian dari beberapa jurnal yang ada. Sebagai negara yang mayoritas muslim tentunya perpolitikan di Indonesia diwarnai dengan syariat-syariat Islam. Islam memang memiliki konsep yang khas tentang politik, akan tetapi Islam tetap terbuka dengan berbagai konsep politik yang muncul untuk selanjutnya bisa melengkapi konsep yang telah ada, dalam Islam kekuasaan atau kekuatan berasal dari amanah Allah SWT. kepada kita sebagai khalifah di muka bumi, karena itu sebagai titipan dari Allah SWT. harus dijalankan dengan baik sesuai dengan syariat Islam dan berdasarkan pada kepentingan umum untuk bisa diamalkan dan dimanfaatkan dengan baik, sehingga bisa menjadi amal dan pahala bagi umat Islam di hari akhir kelak.
Article
Full-text available
The spread of Covid-19 in Indonesia has had wide-ranging impacts on human life, particularly on the economy. Therefore, a breakthrough is needed to address this issue by actively involving the community and working with the government to develop a community economic development program. This background prompted this study intending to obtain the right program for MSMEs affected by Covid-19 in Lampung Province. This study uses a qualitative approach with data collection methods, including observation, interviews, and documentation. The data analysis method used is qualitative analysis, with conclusions drawn using deductive thinking frameworks. The results of this study indicate that the community economic development approach by the Lampung Provincial Government has been implemented using the processes and stages outlined in existing theories. From the process perspective, this approach has successfully gone through each process, and so far, the program is considered capable of addressing the problems faced by MSMEs affected by Covid-19. This approach is considered more effective, as the program has been widely felt and successfully fostered creativity, trust, discipline, optimism, and improving family economies. This approach has also been implemented by Islamic economic values , which consist of the values of divinity, justice, and cooperation.
Article
Full-text available
This research aims to determine the suitability of Islamic consumption theory with the concept of decluttering as a factor preventing impulsive buying behavior in society. By using qualitative descriptive methods, researchers try to observe phenomena that occur in the field regarding impulsive buying and the implementation of decluttering activities that are currently being widely followed and then relate their suitability to the principles of consumption in Islam. The results of this research show that there is a compatibility between the theory of consumption in Islam and the concept of decluttering as a prevention of impulsive buying behavior in four indicators, namely indicators of meeting needs, usefulness, goals and financial management. Judging from the indicators of fulfillment of needs, both of them prioritize consideration of fulfilling needs first compared to fulfilling desires alone. From indicators of usefulness in consumption, Islam prioritizes blessings. In the concept of decluttering, the benefits that arise are a calm and peaceful life by not accumulating a lot of items and prioritizing using existing items according to needs. From the goal indicator, both have a goal of happiness. Islam, apart from seeking world happiness, must also pay attention to the happiness of the afterlife. From both financial management indicators, both of them are very concerned about financial income and expenses. So. finances are more disciplined and focused, but on the other hand, minimizing wastefulness and stinginess.
Article
Full-text available
Islam is a religion that commands humans to pursue happiness both here and hereafter. Previous research states that many factors can influence happiness. However, these factors emphasize worldly happiness which is temporary, while the goal that humans want to achieve is not only happiness in this world but true happiness in the hereafter. This study explores the factors that influence individual happiness and examines the impact of faith and other factors on happiness. This research uses a systematic literature review method, precisely the Prisma method and has identified 3540 research results from Google Scholar, and screened into 1265 documents, then into 99 and selected 87 qualifying studies. The results of the analysis of this number of documents found that happiness in Islam is divided into temporary and true happiness, here and hereafter. Happiness is influenced by material factors, and non-material factors such as faith and other religiosity behaviors. Happiness derived from material factors is temporary, while religiosity factors such as faith, the practice of Sufism and religious behavior bring a sense of closeness to God, and provide tranquility and peace, which is an indication of true happiness.
Article
Full-text available
This study aims to determine the law of guarantees in working capital financing (muḍārabah contracts) in Islamic banks from the perspective of maqāṣid syarī'ah. This type of research is qualitative research that is literary. The approach in this study uses the sharia maqāṣid system. The results of the study show that the guarantee applied by Islamic banks to working capital financing contracts (muḍārabah contracts) is a must that must be carried out by the bank in implementing the precautionary principle. While the maqāṣid sharia view, the application of guarantees carried out by Islamic banks in financing working capital specifically to secure the assets of ṣāḥib al-māl (hifẓ al-māl), and in general the guarantee law has entered into the elements of daruriyat al-khamsah, namely hifẓ al-dīn, hifẓ al-nafs, hifẓ al-'aql, hifẓ al-nasl dan hifẓ al-māl. Therefore, applying the guarantee law is permissible to protect the assets of ṣāḥib al-māl. Kata kunci : ABSTRAK jaminan, muḍārabah, modal kerja, maqāṣid Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hukum jaminan dalam pembiayaan modal kerja (akad muḍārabah) di bank syarī'ah dilihat dari sisi maqāṣid syarī'ah. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan maqāṣid syarī'ah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaminan yang diterapkan oleh bank syarī'ah pada akad pembiayaan modal kerja (akad muḍārabah) merupakan keharusan yang harus dilakukan oleh pihak bank dalam mengimplementasikan prinsip kehati-hatian. Sedangkan pandangan maqāṣid syarī'ah, penerapan jaminan yang dilakukan oleh
Article
Global food crises occurred post 2008 have clearly figured out the susceptibility of food security of world countries not only in poor countries but also welfare countries. World Bank data shows that there are millions of hungry people everyday. Referring to FAO data, it is known that the buried countries in the world caused by food are primarily faced by Muslim countries. This research aims to study strengthening food security in Muslim countries and resolution mechanism. Food problem is a common problem that is difficult to be overcome by each country alone. That is why a cooperation mode becomes important to overcome food problem of Muslim countries. Food problem is economic problem both conventional and Islamic economic. In Islamic economic aiming to realize al-falah, food sufficiency is a primer condition in gaining the aim. World Islamic Economic Forum is international organization of Muslim world which concerned to food problem. Therefore, it is very relevant for this international organization to be subject of research. Starting studying on condition of food security in Muslim world and food in a global context, research questions will be discussed by using operational frame in gaining al-falāh and through integration of Muslim world and representative concept of food security. Technically this research is using double research strategy mutually combining quantitative and qualitative approach to gain sharp analyses. The result of the study is strengthening food security in Muslim world done by World Islamic Economic Forum is significant first step by availability of Memorandum of Agreement (MoA) among Muslim countries, mutually cooperation of agriculture investment, and effort to upgrade the potentiality of each Muslim countries by conductively trade cooperation. The process of gaining al-falāh is manifested in effort step to fulfill a sufficiency of food in Muslim world.
Book
This is a theoretical examination of the scientific assumptions underlying much of economic theory. Part I discusses the philosophy of science in general, including the work of Popper, Lakatos, Feyerabend, Bartley, Kuhn, Fleck, Polyani, Toulmin, and Hanson. Part II focuses on Popper, Lakatos, and Kuhn and their philosophies of economics. The author concludes that economists abuse methodology, especially paradigms that are used to demonstrate that a given school of thought is more scientific than another.
Al-Qur'an dan Terjemah dan Tafsirnya
  • A Y Ali
Ali, A. Y. (1993). Al-Qur'an dan Terjemah dan Tafsirnya. Penerjemah Ali Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Jamiul Bayan wa Ta'wil. Beirut: Muassasah ar-Risalah
  • J Al-Thabary
Al-Thabary, J. (1999). Jamiul Bayan wa Ta'wil. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
The Future of Economics; An Islamic Perspective. United Kingdom: The Islamic Foundation
  • M U Chapra
Chapra, M. U. (t.th). The Future of Economics; An Islamic Perspective. United Kingdom: The Islamic Foundation.
The Future of Economics; An Islamic Perspective. UK: The Islamic Foundation
  • Umar Chapra
Chapra, Umar, 1999, The Future of Economics; An Islamic Perspective. UK: The Islamic Foundation.
Pembengunan Sosial: Persepektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial
  • J Midgley
Midgley, J. (2005). Pembengunan Sosial: Persepektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Ditperta Islam Depag RI.
Mu'jam Wasith. Turki: Maktabah Islamiyah
  • I Mustafa
Mustafa, I., et al. (2001). Mu'jam Wasith. Turki: Maktabah Islamiyah.
Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strtategi. Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial
  • E Suharto
Suharto, E. (2004). Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strtategi. Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial.
Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia; Membina Negara Maju dan Bahagia
  • Syaukani
Syaukani. (2004). Fathul Qadhir Jami' Bayan, Beirut: Daarul Ma'rifah. Wan, D. M. N. W. (2011). Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia; Membina Negara Maju dan Bahagia. Kuala Lumpur: CASIS UTM International Campus.