Available via license: CC BY-NC-ND 4.0
Content may be subject to copyright.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
212
Hak Guna Usaha (HGU) Hapus Karena Diterlantarkan
(Studi Kasus HGU PT Bali Anacardia/BA di Kabupaten Sumba Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Timur)
Ana Silviana
Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Email: silvianafhundip@gmail.com
Abstrak
Hak atas tanah adalah hak yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat tanah yang dihakinya, agar dapat bermanfaat bagi dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat dan negara. Prinsip dari hak atas tanah adalah berfungsi sosial, sehingga
hak atas tanah apabila tidak diusahakan sesuai dengan peruntukan pemberian haknya akan terkena
sanksi hapus nya hak atas tanah yang bersangkutan. PT BA yang bergerak di bidang perkebunan
jambu mete, tanah HGUnya telah ditetapkan sebagai tanah telantar pada tahun 2013. Makalah ini
akan mengkaji secara normatif mengenai penyebab penetapan sebagai tanah telantar, dan upaya yang
dapat dilakukan terhadap pemilik tanah yang ditetapkan sebagai tanah telantar. Hasil menunjukkan
bahwa faktor ekonomi dan faktor teknis yang menyebabkan tanah ditetapkan sebagai tanah telantar,
dan upaya hukum yang dilakukan oleh pemegang hak mengajukan gugatan ke PTUN.
Kata Kunci: Hapus nya HGU, Telantar.
Abstract
Land rights are the rights granted to the holder of land rights to use or take advantage of the
land he owns, so that he can benefit himself, his family, the community and the state. The principle of
land rights is a social function, so that land rights if not pursued in accordance with the allocation of
rights will be subject to sanctions for the abolition of the relevant land rights. PT BA engaged in
cashew plantations, its HGU land was determined as abandoned land in 2013. This paper will review
normatively about the cause of the designation as abandoned land, and efforts that can be made to
landowners who are designated as abandoned land. The results show that the economic and technical
factors that caused the land to be determined as neglected tanah, and legal remedies undertaken by
right-holders filed a lawsuit with PTUN.
Keywords: Remove HGU, Neglected.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
213
A. Latar Belakang Permasalahan
Tanah sepanjang manusia hidup masih ditempatkan sebagai sarana yang
utama bagi penunjang hidup dan kehidupan manusia. Hak atas tanah sebagai sebutan
secara yuridis, sebagai hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang memberi
wewenang kepada pemegang hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan untuk
kelangsungan hidup dan penghidupannya.
Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, tanah yang diberikan kepada bangsa
Indonesia merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan dan sebagai kebutuhan
dasar manusia, khususnya untuk ketersediaan papan dan pangan nya. Fungsi tanah yang
strategis bagi kehidupan bangsa Indonesia, maka Negara diberi wewenang oleh bangsa
Indonesia untuk membuat suatu kebijakan dalam mengatur, mengurus, mengelola serta
melakukan pengawasan terkait dengan pemanfaatan, pemilikan, penggunaan dan
pemeliharaan bumi, termasuk tanah. Kewenangan negara dalam mengatur, menentukan
dan mengelola tanah ditujukan untuk tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bangsa
Indonesia.
Konstitusi telah mengamanatkan kewenangan tersebut dalam isi ketentuan
Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945, bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk
kemakmuran rakyat”. Penjelasan secara otentik pasal tersebut terjabarkan dalam Pasal 2
UUPA (UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), sebagai
ketentuan yuridis pengaturan bidang Pertanahan di Indonesia.
Prinsip yang terkandung dalam UUPA, bahwa tanah mempunyai fungsi sosial.
Artinya, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat
dibenarkan, tanahnya dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal tersebut menimbulkan kerugian bagi orang
lain. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai tanah maupun
bagi masyarakat dan Negara. Akibat hukumnya tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan
sesuai sifat dan peruntukannya dapat diproses dan dinyatakan sebagai tanah telantar.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
214
Saat ini masih banyak tanah-tanah yang telah dikuasai dan atau dimiliki baik
yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan hak atas tanah
dibeberapa tempat masih banyak dalam keadaan telantar, sehingga cita – cita luhur untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu perlu dilakukan
penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk
mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan. Selain itu, optimal sasi tanah di wilayah
Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup mengurangi
kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan
pangan dan energi. Penelantaran tanah baik di kota, di desa maupun di lahan pertanian /
perkebunan bekas dengan Hak Guna Usaha (HGU) selain merupakan tindakan yang
tidak bijaksana, tidak ekonomis juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang
harus dijalankan para pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah memperoleh dasar
penguasaan tanah.
Berdasarkan catatan Forest Wacht Indonesia (FWI), hanya 2,8 juta hektare
dari 4,3 juta hektare lahan HGU yang digunakan untuk perkebunan. Sementara, sebanyak
1,5 juta hektare lahan digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Lahan tersebut
difungsikan sebagai pemukiman penduduk.
1
Untuk wilayah Jawa Tengah, tanah
perkebunan dengan HGU yang terindikasi ditelantarkan ada 6 (enam). Dua di antaranya
perkebunan kelas IV yang dinilai kurang mengoptimalkan pemanfaatan dan izin
usahanya, dan 4 (empat) lainnya adalah perkebunan kelas V yang dinilai jelek.
2
Perkebunan di Jawa Tengah luasnya mencapai 848.000 Ha, terdiri dari Perkebunan
Rakyat 763.900 Ha dan 7 Perkebunan Besar (PB) 75.000 Ha.
Latarbelakang perusahaan dengan HGU menelantarkan tanahnya tentunya
sangat berbeda-beda, ada yang latar belakang ekonomi, sumber daya manusia, atau
karena memang investasi. Salah satu kasus yang terjadi sebagai objek kajian pada
penelitian ini adalah tanah Hak Guna Usaha milik PT BA yang bergerak di bidang usaha
penanaman Jambu Mede. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan
1
Katadata.co.id dengan judul "Sebanyak 1,5 Juta Hektare Lahan Terlantar di Indonesia"
, https://katadata.co.id/berita/2019/03/04/sebanyak-15-juta-hektare-lahan-terlantar-di-indonesia,Dimas Jarot
Bayu, diunduh tanggal 7 Oktober 2019, 13.30 WIB.
2
Sigit, Tjahjo Surjono (2012),” Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Hak Guna Usaha (Hgu) Perkebunan Di
Jawa Tengah (Studi Analisis Terhadap Tanah Terlantar), Thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
215
Nasional Republik Indonesia, Nomor 5/PTT-HGU/BPN RI/2013, menetapkan bahwa
HGU No.1/Sumba Timur atas nama PT Bali Anacardia (BA) yang terletak di Desa
Patawang dan Matawaimaringu, Kecamatan Rindi Amalulu dan Kahaunga Eti,
Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT sebagai tanah telantar.
Penelantaran tanah dapat berdampak pada terhambat nya pencapaian berbagai
tujuan program pembangunan, rentan nya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi
nasional. Penelitian ini mengkaji tentang mengapa HGU No.1/Sumba Timur atas nama
PT BA dinyatakan sebagai tanah telantar?, dan upaya hukum apa yang dilakukan oleh
pemegang hak terhadap HGU yang dinyatakan sebagai tanah telantar?
B. Metode Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif,
sebagai pendekatan utama mengingat pembahasan didasarkan pada peraturan perundang-
undangan dan prinsip hukum yang berlaku dalam masalah tanah terlantar. Dalam
pendekatan yuridis normatif hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.
3
Pendekatan yuridis
normatif dimaksudkan di sini untuk melakukan pengkajian terhadap bidang hukum,
khususnya hukum Agraria Pertanahan mengenai penelantaran tanah dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010.
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, artinya tidak hanya sekedar
berhenti untuk mendeskripsikan hasil penelitian, namun sekaligus menganalisis dengan
mengelompokkan, mengkategorisasikan secara sistematis dan rinci serta menyeluruh
4
mengenai segala sesuatu mengenai masalah penetapan tanah telantar terhadap HGU
No.1/ Sumba Timur. Penelitian ini tidak berhenti hanya sampai ke tahap melukiskan saka
akan tetapi dengan keyakinan-keyakinan tertentu mengambil kesimpulan umum dari
bahan-bahan mengenai objek permasalahan.
Objek penelitian ini adalah penetapan tanah telantar terhadap HGU
No.1/Sumba Timur atas nama PT BA di NTT. Data yang dipergunakan dalam penelitian
3
Ammirudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press , 2006), hlm. 118
4
Alfa Rizki, Metode Penelitian Deskriptif, http://alfaruq2010.blogspot.com, di akses tanggal 7 Oktober 2019,
21.00 WIB
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
216
ini adalah data sekunder yang digali melalui bahan-bahan hukum baik primer maupun
sekunder. Data yang telah terkumpul dianalisis secara normatif kualitatif. Data disajikan
dalam berbentuk narasi atau uraian logis sistematis dengan metode berfikir secara
deduktif, yaitu pola berfikir yang didasarkan suatu fakta yang sifatnya umum kemudian
ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus untuk menjawab permasalahan dalam penelitian
ini.
C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Kronologis kepemilikan tanah HGU No.1/Suma Timur oleh PT BA
Berdasarkan hasil penelusuran data dokumen, PT BA adalah perusahaan
swasta dalam negeri yang berdiri berdasarkan Akta terakhir No.06 / 02 DES / 1987. PT
BA bergerak dalam bidang usaha perkebunan, perindustrian dan lain-lain. Pendiri PT BA
adalah Tn Toriqullie. Beliau merintis perkebunan Jambu Mede mulai Tahun 1972 di
Pulai Madura yang kemudiaan berkembang dan dilanjutkan sampai ke Pulau Muna usaha
perkebunan tersebut tahun 1988. Pada tahun 1989, PT BA mendapat kepercayaan dari
Pemerintah melalui Departemen Pertanian, untuk mengembangkan wilayah Indonesia
Timur, terutama untuk tanah marginal dengan Proyek Pengembangan Wilayah Khusus
(P2WK) dengan tanaman Jambu Mede (jambu monyet).
PT BA juga pernah mendapatkan Piagam Penghargaan dari Menteri Pertanian
pada waktu itu Dr. Ir. Syahrudin Baharsyah pada tanggal 21 Juni 1994, karena
keberhasilan PT BA mengembangkan penanaman Jambu Mede seluas 19.094 Ha di
tanah marginal Indonesia Timur, meliputi NTT seluas 8446 Ha, NTB seluas 4.701 Ha,
Bali seluas 4.587 Ha, DIY seluas 1.104 Ha dan Jawa Timur seluas 256 Ha. Sistem yang
dikembangkan adalah sistem perkebunan plasma Mede.
Dengan pengembangan perkebunan sistem plasma tersebut, kemudian
Pemerintah merekomendasikan untuk menindaklanjuti usaha tersebut, agar PT BA
bertindak selaku Inti untuk melakukan pembinaan kepada Plasma di daerah tersebut,
diantaranya di Sumba Timur Kecamatan Rindi Umalulu, Kataka, Patawang.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
217
Berdasarkan arahan dari pemerintah tersebut, kemudian PT BA mengajukan
permohonan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah kepada Negara, dan PT BA sudah
melakukan aktivitas penanaman di tanah tersebut mulai tahun 1989 sebagai tanda bukti
keseriusan PT BA untuk mengusahakan tanah tersebut. HGU PT BA lahir pada tanggal
31 Desember tahun 2017, dan keluar sertipikat HGU No.1 seluas 581 Ha dalam jangka
waktu 25 tahun yang akan berakhir pada Tahun 2042.
Kebiasaan penduduk di wilayah desa Patawaimaringu ( dulu Desa Kataka )
dan desa Kahaunga Eti, apabila memburu babi hutan mereka selalu membakar alang-
alang atau tumbuhan liar yang tumbuh di ladang. Pada Tahun 1991, penduduk sekitar
perkebunan membuka ladang dengan melakukan pembakaran. Akibat pembakaran
ladang tersebut merambat ke wilayah tanah perkebunan yang sudah ditanami Jambu
Mede, sehingga lahan seluar 389 Ha terbakar. Kebakaran lahan tersebut oleh penduduk
tidak hanya satu kali.
5
Kebakaran terjadi pada hari Rabu, 11 September 1991. Sumber api berasal
dari sekitar Desa Petawang tepatnya pada KM 3 atau kurang lebih 3 Km dari areal
Kebun Inti. Karena panas terik matahari dan angin kencang api merambat masuk ke
kebun Inti tersebut sekitar ja, 13.00 WITA. Sebetulnya pihak perusahaan sudah membuat
aliran api dengan jarak 10 meter dari pinggir pagar pembatas perkebunan. Namun,
karena angin yang besar dan kencang menyebabkan bunga api maupun kobaran api
menyambar jauh ke dalam kebun inti. Area yang terbakar sekitar 389 Ha dari luar areal
kebun 581 Ha (Isi surat laporan bencana kebakaran).
Pada tahun 1992 Menteri Pertanian mengirim Surat kepada Gubernur Bank
Indonesia untuk menyediakan Kredit PBSN untuk mengembangkan Perkebunan Mede
PT.BA di NTT dan NTB (Surat Nomor KB.520/503 MENTAN/XI/92) di tanah HGU
tersebut dalam rangka bertindak selaku Inti Plasma Mede. Berdasarkan surat
permohonan tersebut, pihak BI telah menyetujui dan untuk penyaluran ditunjuk
BAPOINDO sebagai Bank Pelaksana, pada Tanggal 30 Juni 1995 Nota Pelimpahan
sebesar Rp.5.010.000.000,- telah diberikan kepada BAPINDO. Dalam perjalanannya
5
Surat Laporan bencana Kebakaran, Nomor 23/PT.BA/PWK.STB/91, Waingapu, 15 Oktober 1991, yang
ditujuak kepada PT BA Pusat di Denpasar dengan tembusan ke Kantor BKPM Kupang dan Kantor Disbun
Tingkat I Sumba Timur.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
218
BAPINDO bermasalah, sehingga di merger akibatnya dana kredit untuk PT BA tidak
dapat dicairkan.
Pada Tahun 1998 terjadi Krisi Moneter yang mengakibatkan seluruh aktivitas
ekonomi lumpuh. Untuk persiapan menata kembali perkebunan Mede, PT BA mencari
Mitra Usaha baru. Tahun 2000 – 2008 pihak PT BA melakukan sosialisasi ke masyarakat
sekitar lahan perkebunan dengan kegiatan bakti sosial dalam rangka untuk penanaman
kembali tanah perkebunan. Karena, pada Tahun 2000-2008 Group Perusahaan PT BA
atas inisiatif pendiri PT BA (Bapak Tori) telah mengembangkan Industri Penanaman
Modal Asing Hulu ke Hilir dengan Mitra Usaha yang mempunyai teknologi tinggi untuk
memproses limbah kilt Mede menjadi Bahan Filler Brake di Industri Otomotif dengan
pihak Partner Jepang (NEC & HONDA).
Pada Tahun 2011 PT BA mulai dinyatakan terindikasi sebagai Tanah yang
ditelantarkan dan kemudian pada Tahun 2013 Keluar Surat Penetapan dari Kepala BPN
bahwa HGU No.1/Sumba Timur ditetapkan sebagai Tanah Telantar.
2. Proses Penetapan HGU No.1/Sumba Timur atas nama PT BA sebagai Tanah
Telantar
Pada Tahun 2011 PT BA mendapat Surat Peringatan I (Pertama) bernomor
439/024-53.500/X/2011, tertanggal 28 Oktober 2011. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
(PP) No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar jo.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Telantar, menyatakan bahwa pemegang hak wajib mengusahakan,
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai sifat dan tujuan pemberian hak/dasar
penguasaannya. Berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang dilakukan oleh Kantor
Wilayah BPN Provinsi NTT, ternyata HGU dengan SK Hak Nomor : 18/HGU/1992
tanggal 03 November 1993, Sertipikat Tanah Nomor : U.01/Sumba Timur, tanggal 07-
05-1993 atas nama PT. BA masih terdapat tanah yang ditelantarkan seluas 581,2 Ha.
Berdasarkan rapat Panitia C yang dilaksanakan tanggal 29 September 2011 di
Ruang Rapat Sekretaris Daerah Kabupaten Sumba Timur, maka pemegang hak diberi
PERINGATAN I, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan telah mengusahakan,
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
219
pemberian haknya dan apabila tidak mengindahkan peringatan tersebut akan diberi
PERINGATAN II. Dalam masa PEINGATAN I, pemegang hak wajib menyampaikan
laporan berkala setiap 2 (dua) mingguan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN NTT,
dengan tembusan Kepala Kantor Pertan Kabupaten Sumba Timur di Waingapu. Pada
akhir PERINGATAN I akan dilakukan monitoring dan evaluasi perkembangan kemajuan
pengusahaan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya, dan pemegang hak harus
memberikan data dan informasi perkembangan kemajuan. Demikian isi SP I yang
ditandatangani Kepala Kanwil BPN Provinsi NTT.
Terhadap SP I tersebut PT. BA memberikan penjelasan tentang pemanfaatan
lahan yang telah dilakukan dengan mengirim surat tertanggal 9 Nopember 2011, Nomor:
02/PTBA/2011, bahwa aktivitas yang sudah dilakukan oleh PT. BA di lahan HGU
No.1/Sumba Timur adalah:
1. PT BA bekerja sama dengan Pemerintah melalui Program P2WK di beberapa
daerah, khususnya di wilayah NTT termasuk diantaranya di Sumba Barat dan
Sumba Timur sejak tahun 1990 s/d 1997 melakukan pembibitan jambu mete
sejumlah 1.733.100 bibit,
2. PT BA sebagai Inti telah membebaskan tanah yang terletak di Desa Kataka,
Kec Ridi Umalulu Kab Sumba Timur dengan status HGU. Selanjutnya tanah
tersebut ditanami dengan jambu mete dan diberi pagar berduri seluas 581
Hektare.
3. Pada tanggal 11 September Tahun 1991 terjadi kebakaran seluas 389 Ha
termasuk di dalamnya lahan yang telah ditanami sehingga tanaman jadi mati.
4. Pada Tahun 1995 - 1996 PT BA berusaha untuk bangkit kembali dengan
mencari tambahan modal melalui kredit pola PBSN dari Pemerintah (Bank
Indonesia) untuk NTT dan NTB sebesar kurang lebih Rp. 5 Miliar, dan
penyaluran dana melalui Bank pelaksana yaitu Bapindo. Karena Bapindo pada
saat itu mengalami merger sehingga kredit yang telah disetujui dan
ditandatangani tidak bisa disalurkan kepada PT BA, sehingga PT BA tidak
dapat melakukan aktivitas.
5. Tahun 2011 PT BA telah mendapat mitra kerja yang akan memanfaatkan
tanah HGU tersebut, dan kegiatannya akan dimulai pada tahun 2012.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
220
6. PT BA memohon agar dapat diberi kesempatan untuk memanfaatkan dan
mengolah kembali lahan tersebut.
Pada tanggal 1 Desember 2011 dengan Surat Nomor: 490/024-
53.500/XII/2011, PT.BA mendapat surat PERINGATAN II, karena menurut BPN
setelah memperhatikan perkembangan kemajuan pengusahaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah Hak Guna Usaha PT BA atas dasar Pengusahaan SK Hak No:
18/HGU/1922 tanggal 03 November 1992, Sertipikat Tanah Nomor: U.01/Sumba Timur,
tanggal 07-05-1993 atas nama PT. BA, ternyata pemegang hak tidak mengindahkan dan
tidak melaksanakan PERINGATAN I masih terdapat tanah yang ditelantarkan seluas
581,2 Ha.
Sesuai dengan Pasal 8 Ayat (2) PP No. 11 Tahun 2010, pemegang hak diberi
jangka waktu 1 (satu) bulan untuk mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan
tanah sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dengan menanami jambu
mede, apabila tidak mengindahkan dan tidak melaksanakan peringatan II akan diberikan
PERINGATAN III. Dalam masa Peringatan II, pemegang hak wajib menyampaikan
laporan berkala setiap 2 (dua) mingguan kepada Kakanwil Provinsi BPN NTT dengan
tembusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sumba Timur di Waingapu.
Surat dari Kakanwil BPN Prov NTT kepada Kakan Pertanahan Kab Sumba Timur
tentang hal Pemberitahuan Peringatan II yang isinya: bahwa Kakan diperintahkan untuk
mengumumkan Pemberian Peringatan II Tanah Telantar HGU Nomor 1/ Sumba Timur
atas nama PT BA pada papan pengumuman di Kantor Pertanahan Kabupaten Sumba
Timur.
PT. BA juga membuat Laporan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah HGU oleh
Pemegang Hak, tanggal 5 Desember 2011 kepada Kakanwil BPN Prov NTT intinya:
Luas tanah 581,2 Ha peruntukannya untuk pertanian (perkebunan) dengan kondisi
penggunaan / pemanfaatan tanah :
1. Telah dimanfaatkan : 389 Ha
2. Tidak/belum dimanfaatkan : 192,2 Ha
3. Pada tahun 1991 pernah ditanami jambu mete sebelum sertipikat HGU terbit, masih
berdasarkan SK Gub No.89/Pencad/BKPMD/1990 tanggal 15 Des 1990 tentang Izin
Pencadangan Tanah dan SK Gub No. 90/BKPMD/1990 tentang Izin Lokasi dan
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
221
Pembebasan Hak/Pembelian Tanah Perkebunan Jambu Mete tanggal 18 Desember
1990.
4. PT BA melaporkan bahwa terjadi kebakaran lahan seluas 389 Ha berdasarkan Surat
No. 23/PTBA/PWK/STB/91 tanggal 15 Oktober 1991
5. Karena keterbatasan dana dan manajemen belum bisa memperbaiki dan mengolah
kembali tanah tersebut.
Tanggal 5 Januari 2012 PT. BA mengirim surat kepada Kakanwil BPN Prov
NTT, perihal : Pendayagunaan Tanah HGU No.1 PT BA di Sumba Timur yang isinya :
1. Menindaklanjuti pertemuan di kantor BPN Prov NTT pada tanggal 26 Okt 2011
perihal Pelaksanaan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, bahwa PT BA
telah melakukan penanaman dengan jenis tanaman jambu mete di Desa Kataka Kec
Rindi Umalulu (sekarang Desa Matawaimaringu Kec Kahangu Eti)
2. Walaupun dengan kondisi tanah yang kering dan tidak subur, PT BA telah berusaha
melakukan penanaman dan mengeluarkan biaya yang sangat tinggi, namun pada
tahun 1991 telah terjadi kebakaran yang disebabkan adanya pembakaran yang
dilakukan oleh penduduk setempat dalam membuka lahan baru yang mengakibatkan
kebakaran tersebut menjalar hingga ke lahan PT BA dan menyebabkan semua
tanaman yang sudah di tanam oleh PT BA menjadi rusak/mati.
3. Mengingat jangka waktu HGU berakhir pada tahun 2017 dan melihat pada
kenyataannya bahwa tanah tersebut berbatu-batu dan tidak subur terutama tidak
adanya sumber air di lokasi yang dapat dicapai, maka pihak PT BA memohon untuk
diberikan kebijaksanaan yaitu:
a. PT BA memohon waktu 2 tahun untuk diberikan kesempatan untuk mengolah
dan melakukan persiapan pendayagunaan lahan HGU no.1 tersebut.
b. Untuk mengolah tanah tersebut PT BA telah melakukan kerja sama dengan
mitra yang akan digunakan untuk tanaman semusim seperti jagung, dan juga
tanaman jambu mete serta akan melibatkan penduduk sekitar tanah HGU No,1
c. Oleh karena tanaman tersebut sangat membutuhkan air maka PT BA akan
melakukan pengeboran di luar lokasi untuk mendapatkan sumber air.
Tanggal 10 Januari 2012 PT BA mendapat surat Peringatan III yang
merupakan peringatan terakhir agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan telah
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
222
mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan pemberian haknya, dan apabila tidak mengindahkan dan tidak
melaksanakan Peringatan III (terakhir) akan dijatuhkan SANKSI tanahnya ditetapkan
sebagai TANAH TERLANTAR, yang sekaligus memuat hapus nya hak, putusnya
hubungan hukum, dan penegasan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
negara.
Dalam masa Peringatan III pemegang hak wajib menyampaikan laporan berkala
setiap 2 (dua) mingguan kepada Kakanwil BPN Prov NTT dengan tembusan ke Kakan
Pertanahan Kabupaten Sumba Timur di Waingapu. Pada akhir Peringatan III dilakukan
monitoring dan evaluasi perkembangan kemajuan pengusahaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanahnya, dan pemegang hak harus memberikan data dan informasi
perkembangan kemajuan tersebut.
Pada tanggal 10 Januari 2012 dilaksanakan rapat bersama antara BPN dengan PT
BA (pemegang hak) untuk membicarakan Tanah terindikasi telantar dengan kesimpulan
bahwa:
1. Tanah HGU Nomor 1/Sumba Timur atas nama PT. BA tidak digunakan dan
dimanfaatkan sesuai sifat dan tujuan pemberian haknya, sesuai PP No. 11 Tahun
2010 maka tanah tersebut dikategorikan Tanah Terindikasi Telantar.
2. Tanah HGU Nomor 1/Sumba Timur atas nama PT. BA masih aktif dan berakhir
haknya pada tanggal 31 Desember 2017 sehingga status tanah tersebut tanah HGU
aktif dan tidak dimanfaatkan sebagaimana maksud dan tujuan diberikan hak.
3. Hasil identifikasi dan Penelitian yang dilakukan oleh Tim Rapat pemegang hak
tidak membantah
4. Pihak PT. BA mengakui bahwa tanah tersebut tidak dimanfaatkan sesuai sifat dan
tujuan pemberian haknya karena beberapa faktor:
a. Kesulitan Tenaga Kerja (SDM) dalam pengelolaan/usaha perkebunan jambu
Mede;
b. Pernah diusahakan tahun 1990 s/d 1991 namun mengalami musibah kebakaran
akibat musim kemarau yang berkepanjangan;
c. Kurangnya modal usaha dan terjadinya krisis moneter pada tahun 1998;
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
223
d. Tidak tersedianya infrastruktur penunjang dalam usaha Perkebunan Jambu
Mete (tidak adanya sumber air).
5. Akhirnya Tim rapat berkesimpulan bahwa terhadap HGU No.1/Sumba Timur atas
nama PT BA tetap diberikan peringatan III dan ditindaklanjuti untuk diusulkan
kepada Kepala Kanwil BPN Provinsi NTT untuk dilanjutkan usulan kepada
Kepala BPN RI ditetapkan sebagai tanah telantar sesuai ketentuan peraturan yang
berlaku.
Akhirnya, pada tanggal 16 Januari 2013 dikeluarkan Surat Keputusan Kepala
BPN RI Nomor: 5/PTT-HGU/BPN RI/2013 tentang Penetapan Tanah Telantar Yang
Berasal dari HGU Nomor 1/Sumba Timur atas nama PT BA. Keputusan tersebut
sekaligus menetapkan hapus nya hak atas tanah, memutuskan hubungan hukum, dan
tanah dikuasai langsung oleh Negara. Hapus nya hak atas tanah menyebabkan
hapusnya Hak Tanggungan dan tidak menyebabkan hapus nya utang yang dijamin.
Keputusan ini juga memerintahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Sumba Timur untuk:
1. Menarik, mencoret sertipikat HGU Nomor 1/Sumba Timur atas nama PT
BA terletak di Desa Patawang dan Matawaimaringu (dahulu Desa Kataka),
Kecamatan Rindi Umalulu dan Kahaunga Eti (dahulu Kecamatan Rindi
Umalulu), Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT seluas 581,2 Ha dan
sertipikat Hak Tanggungan Nomor 4/2000 Tanggal 6 Juni 2000 atas nama
PT Bahana Artha Ventura, serta mencoret dalam daftar umum dan daftar
isian lainnya dalam tata usaha pendaftaran tanah.
2. Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sumba Timur tidak dapat
menarik, mencoret sertipikat HGU Nomor 1/ Sumba Timur atas nama PT.
BA, harus mengumumkan di surat kabar 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan
atau memasang papan pengumuman di lokasi setelah dikeluarkannya
keputusan yang menyatakan bahwa sertipikat tersebut tidak berlaku (tidak
mempunyai kekuatan hukum).
Akibat hukum terhadap benda-benda di atas tanah telantar dalam waktu paling lama 1
(satu) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan wajib dikosongkan oleh bekas
pemegang hak dengan beban biaya yang bersangkutan. Apabila pemegang hak tidak
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
224
melaksanakan pengosongan atas benda-benda di atas tanah telantar, bekas pemegang
hak telah melepaskan hak atas benda-benda di atas tanah tersebut kepada negara dan
selanjutnya dikuasai oleh negara.
3. Analisis Hukum terhadap Penetapan HGU No.1/Sumba Timur Sebagai
Tanah Telantar dan Upaya Hukumnya.
Tanah telantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak
Milik, Hak guna Usaha, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan atas
tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan atau sifat fan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaan (Pasal 1 angka 6
PERKABAN No.4 Tahun 2010)
Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara
Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Saat ini tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki
baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah di
beberapa tempat masih banyak dalam keadaan telantar, sehingga cita-cita luhur untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat,
untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem
kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain
itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah
Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi
kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan
pangan dan energi.
6
Pasal 6 UUPA menentukan bahwa : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”. Pada prinsipnya tanah juga mempunyai fungsi sosial, artinya bahwa hak atas
tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu
akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan
6
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
225
tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun
bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
7
Secara fundamental asas fungsi sosial hak
atas tanah bertujuan menjamin kemanfaatan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Sebagai Negara hukum yang berkonsepsi negara kesejahteraan berdasarkan
Pancasila, maka pemanfaatan tanah harus menjamin rasa keadilan bagi seluruh rakyat.
Penerapan asas fungsi sosial hak atas tanah menjadi strategi bagi terwujudnya negara
hukum yang menjamin pemanfaatan tanah yang berkeadilan. Untuk itu sangat penting
melakukan pengkajian tentang hakikat asas fungsi sosial baik dalam tinjauan teori,
yuridis, dan penerapannya di Indonesia, sebagai upaya strategis untuk memenuhi hak-
hak atas tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
8
Pasal 2 PP 11 Tahun 2010 menetapkan bahwa tanah dapat diindikasikan
sebagai tanah telantar apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
1. Tanah tersebut sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar
penguasaan atas tanah
2. Tanah tersebut tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan
sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya.
Tidak semua tanah yang dalam kondisi di atas dapat ditetapkan sebagai tanah telantar.
Penetapan sebagai tanah telantar dikecualikan pada tanah-tanah Hak Milik atau Hak
Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, dan
tanah yang dikuasai oleh pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan
sudah berstatus maupun belum berstatus barang milik Negara / Daerah yang tidak
sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya (Pasal 3 PP 11 Tahun 2010).
7
Penjelasan Pasal 6 UUPA
8
Triana Rejekiningsih, “Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum (Suatu Tinjauan Dari Teori,
Yuridis dan Penerapannya di Indonesia)", Yustisia Vol. 5 No. 2 Mei - Agustus 2016.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
226
Hak Guna Usaha (HGU) adalah salah satu hak atas tanah yang bersifat tetap,
yang diatur dalam Pasal 16 UUPA jo PP 40 Tahun 1996 Pasal 2. Pasal 1 angka 3
Peraturan Menteri ATR / Kepala BPN No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan Dan
Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha juga memberi pengertian bahwa HGU adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk usaha
pertanian, perikanan dan peternakan. Objek pertanian diperluas dengan perkebunan.
Definisi ini sama dengan definisi yang diatur dalam UUPA dan PP 40 Tahun 1996.
Subjek pemegang HGU dapat perseorangan WNI dan Badan Hukum
Indonesia. Pemegang HGU Badan Hukum dalam ketentuan di atas wajib
menyelenggarakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social
Responsibility/CSR), yaitu komitmen perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas, maupun
masyarakat pada umumnya (Pasal 1 angka 16 PERMEN ATR/Kepala BPN No.7
Tahun 2017).
Berdasarkan PERKABAN 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanag
Telantar, prosedur/tata cara penertibannya melalui empat tahapan, yaitu Inventarisasi
Tanah Terindikasi telantar; Identifikasi dan Penelitian; Peringatan dan Pemberitahuan;
dan Penetapan Tanah telantar. Tahapan tersebut dipergunakan untuk menganalisis
kegiatan proses yang sudah dilakukan kepada HGU PT BA, khususnya tentang
Identifikasi dan Penelitian, Keberadaan Panitia C, dan Peringatan dan Pemberitahuan.
Hak atas tanah yang diinentarisasi yang terindikasi sebagai tanah telantar adalah
HM, HGB, HGU dan Hak Pakai terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan
sertipikatnya, atau tanah yang telah diperoleh izin/keputusan/surat dasar penguasaan
tanah dari pejabat yang berwenang terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan
tersebut. Hasil inventarisasi kemudian oleh Kakanwil dianalisis untuk disusun dan
ditetapkan sebagai target yang akan dilakukan identifikasi dan penelitian terhadap
tanah terindikasi telantar. Syarat penetapan target berdasarkan pertimbangan lamanya
tanah tersebut diterlantarkan dan/atau luas tanah yang terindikasi telantar, kemudian
Kakanwil menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi telantar yang akan
dijadikan target identifikasi dan penelitian (Pasal 7 Perkaban 4 Tahun 2010).
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
227
Kegiatan penyiapan data dan informasi antara lain meliputi (Pasal 8 PERKABAN
4 Tahun 2010):
a. verifikasi data fisik dan data yuridis,
b. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk
mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana dan tahapan
penggunaan, pemanfaatan tanah pada saat pengajuan
c. meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, apabila
pemegang hak/kuasa/wakil tidak memberikan data dan informasi atau tidak
ditempat atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap
dilaksanakan dengan cara lain untuk memperoleh dat,
d. melaksanakan pemeriksaan fisik: letak, batas, penggunaan dan pemanfaatan
tanah dengan penggunaan teknologi yang ada,
e. melaksanakan plotting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta
pertanahan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik.
Untuk melaksanakan kegiatan penyiapan data dan informasi yang dimaksud dalam
huruf c dan d di atas, Kepala Kanwil memberitahukan secara tertulis kepada
pemegang hak yang akan dilakukan identifikasi penelitian. Pemberitahuan secara
tertulis disampaikan langsung kepada pemegang hak sesuai alamat domisili pemegang
hak. Jika tidak dijumpai lagi sesuai alamat atau domisili, maka pemberitahuan
dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan pemasangan papan
pengumuman di lokasi tanah yang bersangkutan bahwa tanah tersebut sedang dalam
tahap identifikasi dan penelitian BPN RI (Pasal 8 Ayat 3).
Setelah data hasil identifikasi dan penelitian di atas dinilai cukup sebagai bahan
pengambilan keputusan upaya penertiban, maka Kepala Kantor Wilayah akan
membentuk Panitia C yang terdiri unsur Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan,
Pemerintah Daerah, dan Instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang
bersangkutan. Panitia C pada dasarnya adalah pihak yang akan secara langsung
berkomunikasi dengan pemegang hak untuk meneliti apakah tanahnya tersebut dapat
ditetapkan sebagai tanah telantar.
Adapun tugas dari Panitia C ini meliputi beberapa hal terkait identifikasi dan
penelitian terhadap tanah telantar yaitu sebagai berikut (Pasal 11 Perkaban No.4
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
228
Tahun 2010 melakukan : 1. Verifikasi data fisik dan data yuridis; 2. Mengecek buku
tanah dan atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan
pembebanan, termasuk data, rencana dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah
pada saat pengajuan hak; 3. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain
yang terkait, dan Pemegang Hak dan pihak lain harus memberikan keterangan atau
menyampaikan data yang diperlukan: 4. Melaksanakan pemeriksaan fisik dengan
menggunakan teknologi yang ada ; 5. Melaksanakan plotting letak penggunaan
dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan; 6. Membuat analisis penyebab
terjadinya tanah telantar; 7. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian; 8.
Melaksanakan sidang panitia untuk membahas dan
memberikan saran pertimbangan kepada Kepala Kantor Wilayah dalam rangka
tindakan penertiban tanah telantar.
Dari hasil rekomendasi panitia C, bawa terdapat tanah yang ditelantarkan, maka
Kepala Kanwil BPN memberitahukan kepada pemegang hak dan sekaligus
memberikan peringatan. Peringatan tertulis I diberikan agar dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak tanggal diterbitkan pemegang hak harus mengusahakan,
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya atau dasar penguasaannya.
Peringatan tertulis II diterbitkan apabila pemegang hak tidak melaksanakan
peringatan I dalam jangka waktu 1 (satu) bulan. Peringatan tertulis III diterbitkan
apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan II dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan. Data yang digunakan sebagai dasar Peringatan I adalah data dari hasil
identifikasi dan penelitian Panitia C.
Berdasarkan hasil penelusuran data sekunder dengan studi dokumen dan hasil
wawancara dari pemilik PT BA (Bapak X), bahwa menurut keterangan narasumber
proses identifikasi dan penelitian, ternyata pemegang hak tidak pernah dilibatkan dan
tidak pernah diberitahu (Pasal 8 Ayat (2) huruf c PERKABAN No.4 Tahun 2010).
Ada itikad baik
9
dari Pihak PT BA untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkan
oleh Kanwil BPN Provinsi NTT, sebagaimana isi surat PT BA kepada Kakanwil BPN
9
BW mempergunakan istilah itikad baik dalam dua pengertian, pengertian yang pertama adalah itikad baik
dalam pengertian subyektif, di dalam bahasa Indonesia disebut dengan kejujuran, pengertian tersebut terdapat
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
229
Provinsi NTT tertanggal 5 Januari 2012, perihal Pendayagunaan Tanah HGU No. 1 /
Sumba Timur atas nama PT BA, antara lain :
1. PT BA memohon waktu 2 (dua) tahun untuk diberikan kesempatan untuk
melakukan dan mengolah dan melakukan persiapan pendayagunaan lahan
HGU No.1 tersebut;
2. Untuk mengolah tanah tersebut, PT BA melakukan kerja sama dengan mitra
yang akan digunakan untuk tanaman semusim seperti jagung, dan juga
tanaman jambu Mede, serta akan melibatkan penduduk sekitar tanah HGU
No.1;
3. Oleh karena tanaman tersebut sangat membutuhkan air, maka PT BA akan
melakukan pengeboran di luar lokasi untuk mendapatkan sumber air.
Dalam pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Panitia C, pihak pemegang
hak harus dilibatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) huruf c Perkaban
No.4 Tahun 2010. Dalam kasus ini menurut penuturan pemegang hak tidak dilibatkan.
Untuk menciptakan hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang,
menjamin akuntabilitas badan hukum dan/atau Pejabat Pemerintah, memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur pemerintah serta menerapkan
asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). AAUPB dapat dipahami sebagai
asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tatacara dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan
menjadi baik, sopan, adil, terhormat, bebas dari kedzaliman, pelanggaran peraturan
tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.
10
Definisi
AAUPB menurut hasil penelitian Jazim Hamidi, antara lain : a). AUPL merupakan
nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum Administrasi
dalam Pasal 530 BW yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti subyektif
merupakan sikap bathin atau suatu keadaan jiwa. Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam Pasal
1386 BW dalam pasal tersebut diatur ”Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan kepada seseorang yang
memegang surat piutangnya adalah sah” Pengertian itikad baik yang kedua adalah itikad baik dalam arti
obyektif. Didalam bahasa Indonesia itikad baik dalam pengertian ini disebut juga dengan istilah kepatutan.
Obyektif disini menunjuk kepada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapn umum
tentang itikad baik dan tidak semata-mata pada anggapan para pihak sendiri. Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad
Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta,
www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=927, diakses tanggal 9 Oktober 2010.
10
Ridwan HR, Hukum administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal 247
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
230
Negara; b). AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi para pejabat administrasi negara
dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam
menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan atau beschikking) dan
sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat. Sebagian besar dari AAUPB
masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam
praktik kehidupan di masyarakat. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah
hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif.
11
AAUPB merupakan prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan
wewenang bagi pejabat pemerintah dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan
dalam menyelenggarakan pemerintahan. Terkait dengan AAUPB adalah Asas
Kepastian Hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajekan dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintah. Asas Kecermatan adalah asas yang
mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada
informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau
pelaksanaan keputusan dan/atau tindakan, sehingga Keputusan dan/atau Tindakan
yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau
Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.
Terkait dengan kasus pencabutan HGU PT BA, apabila dilihat proses/tahapan
yang dilakukan yang harus mendasarkan Pasal 8 Ayat (2) huruf c dan Ayat (3). (4),
dan (5). Pasal 11 Ayat (1) c Perkaban No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban
Tanah telantar. Namun, berdasarkan data sekunder dan informasi dari narasumber ada
AAUPB yang terlanggar, yaitu asas Kepastian Hukum terkait rasa keadilan dari pihak
pemegang hak yang beritikad baik memohon untuk diberi waktu 2 (dua) tahun untuk
mengolah kembali tanahnya dengan menggandeng mitra, hal ini tidak dimasukkan
dalam pertimbangan BPN. Terkait dengan asas Kecermatan yang harus dilakukan
oleh BPN dalam proses identifikasi dan penelitian namun ternyata ada proses yang
terlanggar yaitu ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 Perkaban No.4 Tahun 2010.
Dalam Surat Keputusan Kepala BPN No.5/PTT-HGU/BPN RI/2013
khususnya Diktum keenam : “apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan/kesalahan
11
Nomensen Sinamo ,Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010). hal. 142
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
231
dalam penetapan nya maka keputusan ini akan ditinjau kembali sebagaimana
mestinya, artinya bahwa SK BPN tersebut masih dapat disanggah dan digugat oleh
pihak yang merasa dirugikan atas putusan tersebut melalui gugatan ke PTUN.
D. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab utama
PT BA belum dapat mengolah tanah kembali setelah terjadi kebakaran adalah faktor
ekonomi (pendanaan) dari perusahaan. Dalam proses penetapan tanah telantar untuk
HGU No.1/Sumba Timur masih ada ketentuan hukum yang dilanggar, yaitu Pasal 8
Ayat (2) huruf c, dan Ayat (3), (4) dan (5) serta Pasal 11 Ayat (1) c PERKABAN
No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah telantar, apabila dikaitkan
dengan AAUPB ada asas yang terlanggar yaitu Asas Kepastian Hukum dan Asas
Kecermatan yang dilakukan oleh Pejabat Negara (BPN).
Terbitnya SK Kepala BPN No.5/PTT-HGU/BPN RI/2013, tanggal 16 Januari
2013 yang menetapkan HGU No.1/Sumba Timur atas nama PT BA, masih dapat
diajukan keberatan melalui gugatan PTUN, sehingga upaya hukum yang bisa
dilakukan oleh pemegang hak, dalam hal ini PT BA yang merasa dirugikan, maka
dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat
keluarnya Surat Penetapan dari Pejabat Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Muchsin. 2008. Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan
Ruang, Jakarta : Sinar Grafika, 2008)
Dayat Limbong, “Tanah Negara, Tanah Terlantar, dan Penertibannya”, Jurnal
Mercatoria,Vol 10 No 1/Juni 2017.
Katadata.co.id dengan judul "Sebanyak 1,5 Juta Hektare Lahan Terlantar di
Indonesia" , https://katadata.co.id/berita/2019/03/04/sebanyak-15-juta-hektare-lahan-
terlantar-di-indonesia, Dimas Jarot Bayu
Sigit Tjahjo Surjono .2012. ” Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Hak Guna Usaha
(Hgu) Perkebunan Di Jawa Tengah (Studi Analisis Terhadap Tanah Terlantar), hesis,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Law, Development & Justice Review
Volume:
2
E-ISSN:
2655-1942
Number:
2
Terbitan:
November 2019
Page :
212-232
232
Ammirudin dan Zaenal Asikin. 2006. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali
Press.
Alfa Rizki, Metode Penelitian Deskriptif, http://alfaruq2010.blogspot.com.
Surat Laporan bencana Kebakaran, Nomor 23/PT.BA/PWK.STB/91, Waingapu, 15
Oktober 1991, yang ditujuak kepada PT BA Pusat di Denpasar dengan tembusan ke
Kantor BKPM Kupang dan Kantor Disbun Tingkat I Sumba Timur.
Triana Rejekiningsih, “Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum
(Suatu Tinjauan Dari Teori, Yuridis dan Penerapannya di Indonesia)", Yustisia Vol. 5
No. 2 Mei - Agustus 2016.
Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus
Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta,
www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=927.
Ridwan HR. 2008. Hukum administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers.
Nomensen Sinamo. 2010. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Jala Permata Aksara.