ArticlePDF Available

Tarik-Menarik Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa di Kabupaten Pangandaran dalam Tinjauan Dialektoekolinguistik

Authors:

Abstract

Penelitian ini mengkaji tarik-menarik bahasa Sunda dan bahasa Jawa di Kabupaten Pangandaran sebagai bentuk primordialisme masyarakat perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah dalam tinjauan dialektoekolinguistik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua, yaitu pendekatan teoretis dan pendekatan metodologis. Secara teoretis, pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan dialektoekolinguistik. Adapun secara metodologis, penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Penyediaan data yang dilakukan dengan metode cakap dan metode simak. Instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah daftar kosakata (swadesh) yang memuat bahasa dalam sistem kekerabatan yang ada, kata ganti, dan bagian tubuh. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif-sinkronis. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat – Indonesia dengan memilih lima kecamatan sebagai daerah pengamatan yang ditentukan berdasarkan arah mata angin, yaitu Kecamatan Cimerak, Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Kalipucang, Kecamatan Padaherang, dan Kecamatan Pangandaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) bahasa Sunda dialek Pangandaran memperlihatkan adanya gejala (a) variasi bunyi vokal, (b) variasi bunyi konsonan, (c) aparesis, (d) apokop, dan (e) gejala leksikal; (2) gejala-gejala bahasa yang ada memperlihatkan adanya tarik-menarik antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa di Kabupaten Pangandaran sebagai bentuk primordialisme masyarakat perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
107
Mabasan : Masyarakat Bahasa & Sastra Nusantara
http://mabasan.kemdikbud.go.id/index.php/MABASAN
p-ISSN: 2085-9554
e-ISSN: 2621-2005
TARIK-MENARIK BAHASA SUNDA DAN BAHASA JAWA
DI KABUPATEN PANGANDARAN DALAM TINJAUAN
DIALEKTOEKOLINGUISTIK
SUNDANESE AND JAVANESE LANGUAGE ATTRACTIONS IN
PANGANDARAN DISTRICT IN DIALECTOEKOLINGUISTIC REVIEW
Wagiati, Duddy Zein
Universitas Padjadjaran
Ponsel: 081214152436; Pos-el: wagiati@unpad.ac.id
Abstrak
Penelitian ini mengkaji tarik-menarik bahasa Sunda dan bahasa Jawa di Kabupaten
Pangandaran sebagai bentuk primordialisme masyarakat perbatasan Jawa Barat dan
Jawa Tengah dalam tinjauan dialektoekolinguistik. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri atas dua, yaitu pendekatan teoretis dan pendekatan metodologis.
Secara teoretis, pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan
dialektoekolinguistik. Adapun secara metodologis, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif-deskriptif. Penyediaan data yang dilakukan dengan metode cakap dan metode
simak. Instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah daftar
kosakata (swadesh) yang memuat bahasa dalam sistem kekerabatan yang ada, kata ganti,
dan bagian tubuh. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
komparatif-sinkronis. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa
Barat Indonesia dengan memilih lima kecamatan sebagai daerah pengamatan yang
ditentukan berdasarkan arah mata angin, yaitu Kecamatan Cimerak, Kecamatan
Sidamulih, Kecamatan Kalipucang, Kecamatan Padaherang, dan Kecamatan
Pangandaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) bahasa Sunda dialek
Pangandaran memperlihatkan adanya gejala (a) variasi bunyi vokal, (b) variasi bunyi
konsonan, (c) aparesis, (d) apokop, dan (e) gejala leksikal; (2) gejala-gejala bahasa yang
ada memperlihatkan adanya tarik-menarik antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa di
Kabupaten Pangandaran sebagai bentuk primordialisme masyarakat perbatasan Jawa
Barat dan Jawa Tengah.
Kata-kata kunci: bahasa Sunda; bahasa Jawa; Pangandaran; dialektoekolinguistik
Abstract
This study examines the attraction between Sundanese and Javanese in Pangandaran
Regency from a dialectoecolinguistic review. The approach used in this study consists
of two, namely a theoretical approach and a methodological approach. Theoretically,
the approach used in this study is the dialectoecolinguistic approach. As for the
methodology, this study uses qualitative-descriptive methods. The Provision of data is
Naskah Diterima Tanggal: 3 Maret 2020; Direvisi Akhir Tanggal: 23 Juni 2020; Disetujui Tanggal: 24 Juni 2020
DOI: https://doi.org/10.26499/mab.v14i1.332
Tarik Menarik Bahasa Sunda
108
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
presented through speaking and listening method. The instrument used in the data
collection process is a vocabulary list (swadesh) which contains language in the
existing kinship system, pronouns, and body parts. The analytical method used in this
study is the comparative-synchronous method. This research is conducted in
Pangandaran Regency, West Java Province - Indonesia by selecting five districts as
observation area determined based on the direction of wind, namely Cimerak District,
Sidamulih District, Kalipucang District, Padaherang District, and Pangandaran
District. The results show that: (1) Sundanese Pangandaran dialect shows symptoms of
(a) variations of vowel sounds, (b) variations of consonant sounds, (c) aparesis, (d)
apocopes, and (e) lexical symptoms; (2) the phenomena of the language that show the
attractions between Sundanese and Javanese in Pangandaran Regency as a form of
primordialism in the border communities of West and Central Java.
Keywords: Sundanese; Javanese; Pangandaran; dialectoecolinguistics
1. Pendahuluan
Pesatnya perkembangan bahasa
Indonesia menjadi bahasa nasional dan
bahasa resmi di negara Indonesia
menjadi kondisi yang sangat
menggembirakan. Hampir semua
generasi terdidik atau terpelajar telah
menjadikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa tutur dalam kehidupan sehari-
hari. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional telah berhasil menjadi alat
komunikasi atau perantara bagi banyak
suku bangsa yang hidup dan menyebar
di negara kita (Assapari, 2014; Putri,
2017; Wijana, 2018; Yazidi, 2012).
Dengan bahasa Indonesia, mereka yang
hidup dari latar belakang budaya dan
bahasa berbeda pada akhirnya tetap
dapat berkomunikasi dengan suku
bangsa lainnya. Namun demikian, dalam
kondisi yang lain, adanya politik bahasa
yang menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional dipandang lain
oleh sebagian masyarakat kita, bahwa
kondisi ini dapat menimbulkan
kekhawatiran akan terpinggirkannya
bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
Terlebih di tengah arus globalisasi yang
menjadikan bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional. Kondisi ini ikut
meramaikan konstelasi lingual dalam
penggunaannya. Orang akan semakin
melupakan keberadaan bahasa daerah
sebagai bahasa pertama. Meskipun pada
realitasnya, bahwa sejauh ini belum ada
bukti yang menguatkan bahwa
pembelajaran dua bahasa atau lebih akan
menimbulkan gangguan (Wijana,
2006).
Kebijakan politik bahasa, dalam
hal ini peresmian bahasa Indonesia
menjadi bahasa nasional, menjadi satu
hal yang patut disyukuri. Sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia telah berhasil
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
109
menjadi alat komunikasi dan interaksi
antarsuku bangsa yang hidup di negara
Indonesia. Perbedaan sosiokultural dan
lingual tidak lagi menjadi penghalang
komunikasi antarmasyarakat sebab
dengan adanya bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, komunikasi antarsuku
bangsa akan mudah dilakukan. Ada
beberapa kemungkinan yang terjadi
apabila bahasa Indonesia tidak dijadikan
sebagai bahasa nasional. Pertama,
penduduk di daerah dengan bahasa yang
berbeda akan berkomunikasi dengan
cara mereka masing-masing tanpa
keduanya saling mengerti. Situasi ini
tentu saja tidak akan menghasilkan
praktik komunikasi yang efektif
bahkan rentan adanya salah persepsi dan
salah komunikasi, alih-alih menyebutnya
dengan istilah “kesimpangsiuran
komuikasi” (Sedana, 2017).
Kesimpangsiuran komunikasi ini
pada masanya nanti akan memunculkan
konflik horizontal. Jika kondisi ini terus
berlangsung, sampai kapan pun tidak
akan pernah ada kesepakatan sosial yang
menjadikan bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang bersatu dalam suatu negara
kesatuan. Kedua, memunculkan
konsensus sosial untuk memilih dan
mengambil salah satu dari kekayaan 413
bahasa daerah (Pusat Bahasa, 2009;
Wahyuni, 2010) sebagai bahasa
nasional. Namun demikian, kondisi yang
kedua ini akan memunculkan dua risiko
besar, yakni munculnya kecemburuan
terhadap daerah yang bahasanya terpilih
sebagai bahasa nasional dan
memunculkan sikap etnosentris pada
suku bangsa penutur bahasa yang terpilih
menjadi bahasa nasional. Atas dasar itu,
pemilihan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dapat dipandang sebagai
kebijakan yang tepat di tengah kondisi
bangsa Indonesia yang multikultural.
Kebijakan politik bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional pun
ternyata masih memunculkan dilema
(Sudrama & Yadnya, 2015). Di satu sisi,
kebijakan tersebut bernilai positif karena
telah mampu mengurangi potensi
disintegrasi antarbangsa di Indonesia.
Namun, di sisi yang lain, adanya politik
bahasa yang menempatkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional,
sedikit-banyaknya telah memengaruhi
penggunaan bahasa-bahasa daerah
(Baryadi, 2014; Sutama, 2018). Itulah
sebabnya, dewasa ini, keberadaan
bahasa-bahasa daerah mulai mengalami
tekanan fungsional, seiring dengan
politik bahasa tersebut. Atas fakta
tersebut di atas, dewasa ini dapat
disaksikan bahwa beberapa bahasa
Tarik Menarik Bahasa Sunda
110
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
daerah mulai ditinggalkan oleh
penuturnya, meskipun sama-sama
berkomunikasi dengan penutur daerah
yang sama. Dengan demikian, disadari
ataupun tidak, bahasa-bahasa daerah
telah mengalami pergeseran bahasa. Jika
kondisi ini terus dibiarkan, tidak
menutup kemungkinan akan mengarah
kepada gejala kepunahan bahasa
(language death) (Ibrahim, 2011). Hal
ini senada dengan apa yang diungkapkan
oleh Mbete bahwa apabila dalam suatu
keluarga, praktik berbahasa antara orang
tua dengan anaknya --dan sebaliknya--
dalam bahasa lokal sudah semakin
jarang, apalagi menghilang, kondisi ini
merupakan tanda serius akan adanya
kematian bahasa (Mbete, 2003).
Namun demikian, di tengah
hiruk-pikuk kecemasan orang-orang
akan lunturnya loyalitas berbahasa
daerah, naluri pemertahanan bahasa
sebenarnya sudah dimiliki secara alami
oleh penuturnya. Tarik-menarik kosakata
bahasa satu dengan bahasa lainnya yang
sering bersinggungan merupakan bentuk
nyata upaya pemertahanan bahasa.
Tarik-menarik ini tanpa disadari telah
memberikan pengaruh pada bahasa
lawan dan bahasa penutur sendiri.
Pengaruh itu bisa diadaptasi secara
langsung tanpa melalui perubahan bunyi
atau melalui perubahan bunyi. Oleh
sebab itu, dapat dikatakan bahwa saling
keterpengaruhan itu merupakan bentuk
eksistensi dari masing-masing bahasa.
Dalam perspektif dialektologis,
terlihatnya keterpengaruhan antarbahasa
yang saling bersinggungan sangat
memungkinkan terjadi. Hal tersebut
dapat terjadi karena satu bahasa dapat
memengaruhi bahasa lainnya. Di sisi
yang lain, bahasa ‘pribumi memiliki
imunitas untuk bertahan dari pengaruh
bahasa luar dan pada masanya nanti
dapat terjadi pula adanya kompromi dari
kedua bahasa yang saling berpengaruh
tersebut.
Kondisi demikian terjadi pada
dialek bahasa Sunda di Pangandaran,
yang mengalami kontak dengan bahasa
Jawa. Kedua bahasa tersebut saling
berpengaruh satu sama lain sehingga
dapat ditemukan glos-glos yang
memiliki realisasi yang sama dan etimon
yang sama. Kondisi ini pada masanya
nanti akan memunculkan
kesimpangsiuran tentang status bahasa di
wilayah tersebut. Kesimpangsiuran
tersebut akan terlihat jelas apabila
dilakukan kalkulasi dialektometri untuk
menentukan status bahasa dan dialek di
wilayah tersebut. Sampai saat ini,
memang, batasan mengenai bahasa dan
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
111
dialek masih menjadi isu perdebatan
yang berkepanjangan di antara sesama
dialektolog. Hal ini disebabkan oleh
bahwa menentukan kriteria yang tepat,
akurat, dan cermat untuk dapat
membedakan antara bahasa dan dialek
menjadi salah satu isu teoretis yang
rumit dalam kajian linguistik.
Pangandaran merupakan salah
satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat
dengan tingkat kompleksitas
penduduknya yang cukup tinggi.
Kompleksitas tersebut salah satunya
disebabkan oleh letak geografis
Pangandaran yang berbatasan dengan
Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa
Tengah. Kondisi ini menjadikan
Pangandaran sebagai salah satu daerah
enclave bahasa yang di dalamnya
memungkinkan adanya persinggungan
dua bahasa atau lebih. Persinggungan
antarbahasa akan memunculkan
dinamika lingual yang kompleks pula.
Kabupaten Pangandaran mayoritas
berpenduduk suku Sunda. Namun
demikian, karena salah satu kebijakan
politik masa orde baru, yakni
transmigrasi dan pemerataan penduduk
di wilayah Indonesia, khususnya Jawa,
menjadikan banyaknya penduduk suku
Jawa yang juga tinggal dan menetap di
Pangandaran. Transmigrasi ini juga
sedikit-banyaknya akan berpengaruh
terhadap dinamika sosiokultural dan
lingual yang ada di Pangandaran.
Bahasa Sunda dan bahasa Jawa,
secara status kebahasaan, merupakan dua
bahasa yang berkerabat, yaitu masuk
rumpun Austronesia atau Nusantara
(Mulyana, 1975). Relasi di antara bahasa
sekerabat ternyata tidak sama dekat
antara satu bahasa dengan bahasa
lainnya, ada yang lebih dekat atau lebih
jauh (Blust, 1977). Blust
mengelompokkan bahasa sekerabat
berdasarkan jauh dekatnya hubungan
yang dinamakan subgrouping. Telah
banyak penelitian tentang subgrouping
bahasa Nusantara, seperti penelitian
Imam Syafii dan Abd. Syukur Ibrahim
(Syafii & Ibrahim, 2019), Emily A.
Gasser (Gasser, 2015), La Ino (Ino,
2015), Iqbal Nurul Azhar (Azhar, 2010),
Budasi (Budasi, 2012), Yundi Fitrah dan
Rengki Afria (Fitrah & Afria, 2017), dan
Suryata (Suryata, 1998). Suryata (1998)
secara khusus mengelompokkan bahasa
Sunda dan bahasa Jawa sebagai bahasa
sekerabat yang memiliki relasi yang
cukup dekat.
Penelitian ini bertujuan menguak
sedikit-banyaknya tentang tarik-menarik
antara bahasa Sunda dialek Pangandaran
dan bahasa Jawa yang mengalami
Tarik Menarik Bahasa Sunda
112
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
persinggungan di Kabupaten
Pangandaran. Relasi bahasa tersebut
dapat dilihat dari adanya saling pengaruh
di antara keduanya dengan pola-pola
lingual tertentu dan tingkat
pemertahanan tertentu pula. Di lain sisi,
penelitian ini juga dapat menguak pola
migrasi bahasa Jawa yang tersebar di
daerah Pangandaran. Oleh sebab itu,
pertanyaan penelitian yang dijawab pada
penelitian ini adalah (1) bagaimanakah
pola variasi bahasa Sunda Dialek
Pangandaran, dan (2) bagaimana tarik-
menarik bahasa Sunda dan bahasa Jawa
di Kabupaten Pangandaran.
Hasil penelitian ini bermanfaat
bagi pengembangan teori linguistik,
khususnya dialektologi dan linguistik
komparatif, dan secara praktis
memberikan masukan bagi pengambilan
kebijakan dalam rangka pemertahanan
bahasa dan pengembangan bahasa,
khususnya di Pangandaran dan Jawa
Barat.
2. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri atas dua,
yaitu pendekatan teoretis dan
pendekatan metodologis. Secara teoretis,
pendekatan yang digunakan di dalam
penelitian ini adalah ekolinguistik
dialektal. Ekolonguistik itu sendiri dapat
dipahami sebagai gabungan kajian antara
linguistik dan ekologi (Mbete, 2015;
Subiyanto, 2013; Tarigan, 2016). Kajian
tersebut mengelaborasikan dua disiplin
ilmu untuk mengungkap fakta ilmiah
dalam serangkaian kajian ilmiah.
Kegiatan elaborasi dua disiplin ilmu
dewasa ini mengalami perkembangan
yang relatif signifikan karena disiplin
ilmu apa saja dapat melengkapi satu
sama lain untuk mengungkap dan
menerangkan fakta-fakta ilmiah yang
tidak mengenal batasan-batasan tertentu
(Mahsun, 2010). Pada penelitian ini,
digunakan terminologi dialekto-
ekolinguisik sebagai bentuk kajian
multidisiplin antara dialektologi dan
ekolinguistik.
Adapun secara metodologis,
penelitian ini menggunakan metode
kualitatif-deskriptif. Secara kualitatif,
data yang diteliti dan hasil analisisnya
diperoleh dari rekaman, pengamatan,
wawancara, atau bahan tertulis dan data
ini tidak berbentuk angka
(Djajasudarma, 2010; Gunawan, 2013;
Nugrahani, 2014; Sugiono, 2011; Yusuf,
2014). Sementera itu, pendekatan
deskriptif mendasarkan pada fakta yang
secara empiris dan penutur-penuturnya,
sehingga hasilnya berupa perian bahasa
seperti apa adanya. Penggunaan metode
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
113
deskriptif ini senada dengan apa yang
dijelaskan Sudaryanto bahwa data yang
didapatkan adalah hasil pengamatan
penulis tanpa menilai salah atau benar
suatu data (Sudaryanto, 2015).
Tahapan penelitian ini dibagi ke
dalam tiga tahapan, yaitu tahap
penyediaan data, tahap analisis data, dan
tahap penyajian hasil analisis data.
Pelaksanaan penelitian diawali
dengan penyediaan data yang dilakukan
dengan metode cakap dan metode simak
(Sudaryanto, 2015). Pada tahap
penyediaan data, langkah pertama yang
dilaksanakan adalah menentukan daerah
yang akan dijadikan sebagai lokasi
penelitian ini. Setelah itu, tahapan yang
harus dilaksanakan adalah menyediakan
data dengan menggunakan metode
cakap, yaitu metode pengumpulan data
lingual dengan melakukan percakapan
antara peneliti dengan penutur sebagai
narasumber. Pengumpulan data ini pun
dilakukan dengan beberapa teknik, di
antaranya adalah teknik cakapan terarah,
bertanya langsung, bertanya tidak
langsung, memancing jawaban, dan
bertanya untuk memperoleh jawaban
berganda.
Instrumen yang digunakan dalam
proses pengumpulan data adalah daftar
kosakata (swadesh) yang di dalamnya
memuat beberapa bagian yang akan
ditanyakan, yaitu bahasa dalam sistem
kekerabatan yang ada, kata ganti, dan
bagian tubuh. Berikut alat pengumpul
data (instrumen) penelitian yang
digunakan berupa:
a) Data informan yang ditujukan
kepada informan untuk
mengungkapkan identitas informan,
mulai dari tempat lahir, lamanya
tinggal, dan mobilitas informan;
b) Data isian desa yang ditujukan
kepada kepala desa serta
penduduknya;
c) Daftar tanyaan berupa daftar
kosakata yang ditujukan kepada
informan untuk mengungkapkan data
kosakata.
Selanjutnya, dalam metode
cakap, peneliti langsung mewawancarai
informan (teknik cakap semuka) dan
menyimak berian mereka dengan
mencatat dan merekam (teknik rekam
dan catat) berian mereka pada daftar
tanya ataupun cerita-cerita spontan
mereka yang berhasil dipancing oleh
peneliti. Rekaman ini digunakan sebagai
pengecek data pada saat dijumpai
kebimbangan mengenai data yang ada
(yang telah dicatat). Apabila data yang
dibutuhkan sudah didapatkan, tahap
selanjutnya adalah bagaimana data
Tarik Menarik Bahasa Sunda
114
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
tersebut diolah dan dianalisis. Sebanyak
20 orang dijadikan sebagai informan
pada penelitian ini
Daftar tanya yang digunakan di
dalam penelitian ini berupa 300 kosakata
dasar swadesh yang dimodifikasi sesuai
dengan keperluan dan tujuan penelitian.
Daftar tanya ini terdiri atas tiga
kelompok pertanyaan dan terbagi dalam
12 bagian, yakni kosakata yang
mengandung makna berikut: sistem
kekerabatan, kata ganti, bagian-bagian
tubuh, bagian-bagian rumah, alat-alat,
keadaan dan bagian alam, tumbuhan dan
buah-buahan, hewan/binatang,
makanan/minuman, sifat/keadaan,
ekspresi abstrak dan kata kerja, serta
kata tanya, kata sambung, dan lain-lain.
Kosakata yang digunakan adalah
kosakata bahasa Sunda sehari-hari.
Metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
komparatif-sinkronis. Maksudnya adalah
data yang diperoleh dari berbagai desa
yang diteliti dibandingkan dengan
sesamanya dan dibandingkan dengan
bahasa Sunda daerah lain.
Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Pangandaran dengan memilih
lima kecamatan sebagai daerah
pengamatan yang ditentukan
berdasarkan arah mata angin. Di setiap
kecamatan ditentukan empat desa yang
dipilih berdasarkan arah mata angin
juga. Daerah-daerah yang diambil
sebagai tempat penelitian adalah
Kecamatan Cimerak (Desa Legok Jawa,
Desa Kertaharja, Desa Masawah, dan
Desa Sindangsari); Kecamatan
Padaherang (Desa Wuluh, Desa Paledah,
Desa Maruyungsari, dan Desa
Sindangwangi); Kecamatan Kalipucang
(Desa Tunggilis, Desa Bagolo, Desa
Cibuluh, dan Desa Emplak); Kecamatan
Sidamulih (Desa Cikembulan, Desa
Pajaten, Desa Sidamulih, dan Desa
Sukaresik); dan Kecamatan Pangandaran
(Desa Wonoharjo, Desa Sidomulyo,
Desa Sukaharjo, dan Desa Pananjung).
3. Pembahasan
Posisi geografis masyarakat etnis
Sunda di Kabupaten Pangandaran, Jawa
Barat sebagai penutur asli bahasa Sunda
sangat strategis. Karena berada di
enclave bahasa, penutur bahasa
Sunda di Pangandaran memungkinkan
bersinggungan dengan penutur bahasa
lainnya, khususnya bahasa Jawa. Daerah
Pangandaran menjadi salah satu daerah
perbatasan antarprovinsi, yakni Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah.
Setiap daerah perbatasan kerap kali
menjadi bahasa peralihan, tidak hanya
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
115
dalam aspek administrative, melainkan
juga dalam aspek bahasa dan budaya.
Saling pengaruh antarbahasa dan
antarbudaya menjadi hal yang lumrah
terjadi di daerah perbatasan. Bahasa
Sunda Dialek Pangandaran berinteraksi
dengan bahasa Jawa di Cilaccap, Jawa
Tengah. Kantong-kantong bahasa Jawa
juga banyak ditemukan di daerah
Pangandaran.
Jejak-jejak pengaruh kejawaan
jelas terlihat di Pangandaran. Salah
satunya terlihat dari nama-nama tempat
yang ada di daerah tersebut yang identik
dengan aturan fonologi bahasa Jawa,
seperti Kedung Wuluh, Tunggilis,
Bagolo, Wonoharjo, Sidomulyo,
Sukoharjo, dan sebagainya. Kondisi ini
mempertegas satu hal bahwa wilayah
administratif tidak dapat membatasi di
mana sebuah bahasa mesti dituturkan.
Karena kajian ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan
dialektoekolinguistik, data-data lingual
yang telah dijaring menggunakan daftar
kosakata (swadesh) tidak akan dijadikan
sebagai data kajian seluruhnya. Data
tersebut disaring kembali dengan hanya
menjadikan kosakata yang masuk pada
dimensi biologis sesuai dengan
pendekatan ekolinguistik yang akan
dijadikan sebagai data kajian, yaitu
kosakata-kosakata yang memiliki relasi
antara kehidupan manusia dengan
tanaman, hewan, alam, bumi, laut, dsb.
Oleh karena itu, dari keseluruhan data
yang ada, hanya didapat 57 kosakta yang
akan dikaji pada penelitin ini.
Keseluruhan data tersebut akan dikaji
berdasarkan analisis dialektal untuk
melihat adanya tarik-menarik antara
bahasa Sunda dialek Pangandaran
dengan bahasa Jawa yang ada di
Kabupaten Pangandaran. Data-data
tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 1
Keseluruhan Data Penelitian
No.
Bentuk Realisasi
Daerah Pengamatan
(Kecamatan)
1
hidöŋ
idöŋ
irәŋ
1, 2
3
4,5
2
abu?
lәbu?
awu?
3
1, 2, 4
5
3
lintah
3, 4
Tarik Menarik Bahasa Sunda
116
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
lεntah
1, 2, 5
4
bintaŋ
bεntaŋ
2, 3, 4
1, 5
5
manuk
manu?
1, 2, 3
4, 5
6
tεmbok
tεmbo?
1, 2
3, 4, 5
7
buruk
borok
1, 3
2, 4, 5
8
sönö?
gәni?
1, 2
3, 4, 5
9
tanöh
lәmah
1, 4
2, 3, 5
10
gәdε
1, 2, 3, 4, 5
11
Bulan
Wulan
2, 3, 4
1, 5
12
hirup
irup
urip
1, 2
3
4, 5
13
hatε?
ati?
5
1, 2, 3, 4
14
hujan
ujan
udan
1,2
3
4,5
15
binih
winih
2,3,4
1,5
16
bulu?
wulu?
2,3,4
1,5
17
Gәtih
1,2,3,4,5,
18
baralak
blarak
2,3,4
1,5
19
sira?
Sirah
4,5
1,2,3
20
bötöŋ
wötöŋ
1,2,3
4,5
21
lεta?
lεtah
litah
5
1,3
2,4
22
tεmbok
tεmbo?
1,2
3,4,5
23
toŋoŋ
gәgәr
1, 2, 3
4, 5
24
dәŋkul
tu?ur
5
1, 2,3 , 4
25
piyuŋ
mama?
5
1, 2, 3, 4
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
117
26
konεŋ
kuniŋ
1, 2, 3
4, 5
27
kutu?
tuma?
1, 2, 3
4, 5
28
bujal
pusәr
pusar
1, 3
2, 4
5
29
tali?
1, 2, 3, 4, 5
30
tulaŋ
baluŋ
2, 3, 4
1, 5
31
panonpoε?
srәŋεŋε?
1, 3
2, 4, 5
32
pasir
wәdi?
1, 2, 3, 4
5
33
tanöh
lәmah
1, 4
2, 3, 5
34
akar
oyod
1, 2, 3
4, 5
35
jukut
sukәt
1, 2, 3, 4
5
36
lauk
iwak
1, 2,3 , 4
5
37
köyöp
yuyu?
1, 4
2, 3, 5
38
әmbε?
Wәdus
1, 3, 4
2, 5
39
mońεt
kәtεk
1, 3, 4
2, 5
40
loba
?ör
sikεh
1, 3
2, 4
5
41
tәlәs
basöh
3, 4, 5
1, 2
42
baröh
apuh
1, 2, 3
4, 5
43
börat
abot
3, 4
1, 2, 5
44
gorεŋ
εlεk
1, 3, 5
2, 4
45
montok
lәmu?
1, 2, 3
4, 5
46
adoh
jauh
5
1, 2, 3, 4
47
lötik
cilik
2, 3, 4
1, 5
48
amba?
1, 2, 3, 4, 5
49
?ör
1, 4
Tarik Menarik Bahasa Sunda
118
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
luńu?
2, 3, 5
50
panjaŋ
dawa?
1, 2, 3
4, 5
51
pondok
cilәk
1, 4
2, 3, 5
52
hörin
rupәk
1, 2, 3, 4
5
53
sököt
landәp
1, 2
3, 4, 5
54
Ŋapuŋ
Mabur
1, 2, 3
4, 5
55
Ŋupiŋ
kruŋu?
1, 2, 3
4, 5
56
Ŋantәm
Balεdog
3, 4, 5
1, 2
57
Motoŋ
Nugәl
1, 2, 3, 4
5
3.1 Variasi Bahasa Sunda Dialek
Pangandaran
Beberapa gejala bahasa yang
ditemukan di lapangan adalah gejala
sinonim dan homonim. Sinonim atau
sinonimi adalah hubungan semantik
yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan
satuan ujaran lainnya (Chaer, 2012).
Sementara itu, homonim atau homonimi
adalah dua buah kata atau satuan ujaran
yang bentuknya “kebetulan” sama;
maknanya tentu saja berbeda, karena
masing-masing merupakan kata atau
bentuk ujaran yang berlainan (Chaer,
2012).
Variasi bunyi bahasa yang
banyak ditemukan berupa sinonim, yaitu
kata-kata yang bunyinya berbeda, tetapi
maknanya sama. Perbedaan bunyi timbul
akibat adanya gejala-gejala seperti
variasi bunyi baik vokal maupun
konsonan, protesis (penambahan fonem
di awal), epentesis (penambahan fonem
di tengah), paragog (penambahan fonem
di akhir), aparesis (penghilangan fonem
di awal), sinkop (penghilangan fonem di
tengah), dan apokop (penghilangan
fonem di akhir).
Gejala variasi bunyi bahasa
pertama yang terlihat pada bahasa Sunda
dialek Pangandaran adalah variasi bunyi
vokal. Data-data yang memperlihatkan
adanya variasi bunyi vokal adalah: lintah
yang direalisasikan dengan kata lintah
(3, 4) dan lεntah (1, 2, 5); bintang yang
direalisasikan dengan kata bintaŋ (2, 3,
4) dan bεntaŋ (1, 5); busuk yang
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
119
direalisasikan dengan kata buruk (1, 3)
dan borok (2, 4, 5); hidup yang
direalisasikan dengan kata hirup (1, 2),
Irup (3), dan urip (4, 5); hati yang
direalisasikan dengan kata hatε? (5) dan
ati? (1, 2, 3, 4); lidah yang direalisasikan
dengan kata lεta? (5), lεtah (1, 3), dan
litah (2, 4); kuning yang direalisasikan
dengan kata konεŋ (1, 2, 3) dan kuniŋ (4,
5); serta pusar yang direalisasikan
dengan kata bujal (1, 3), pusәr (2, 4), dan
pusar (5). Untuk lebih jelasnya hal itu
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2
Gejala Variasi Vokal pada Bahasa Sunda Dialek Pangandaran
No.
Gloss
Bentuk realisasi (DP)
Keterangan
1
lintah
lintah (3 ,4)
lεntah (1, 2, 5)
Fonem /i/ dan /ε/saling
bervariasi
2
Bintang
bintaŋ (2, 3, 4)
bεntaŋ (1, 5)
Fonem /i/ dan /ε/saling
bervariasi
3
Busuk
buruk (1, 3)
borok (2, 4, 5)
Fonem /u/ dan /o/ saling
bervariasi
4
Hidup
hirup (1, 2)
irup (3)
urip (4, 5)
Fonem /i/ dan /u/ saling
bervaraisi
5
hati
hatε? (5)
ati? (1, 2, 3, 4)
Fonem /ε/ dan /i/ saling
bervariasi
6
lidah
lεta? (5)
lεtah (1, 3)
litah (2, 4)
Fonem /ε/ dan /i/ saling
bervariasi
7
kuning
konεŋ (1, 2, 3)
kuniŋ (4, 5)
Fonem /ε/ dan /i/ saling
bervariasi
8
pusar
bujal (1, 3)
pusәr (2, 4)
pusar (5)
Fonem /ε/ dan /a/ saling
bervariasi
Selain adanya gejala variasi
vokal, bahasa Sunda dialek Pangandaran
juga memperlihatkan adanya variasi
konsonan. Data-data yang
memperlihatkan adanya gejala variasi
konsonal adalah: abu yang direalisasikan
dengan kata abu? (3), lәbu? (1, 2, 4), dan
awu? (5); burung yang direalisasikan
dengan kata manuk (1, 2, 3) dan manu?
(4, 5); dinding tembok yang
direalisasikan dengan kata tεmbok (1, 2)
dan tεmbo? (3, 4, 5); bulan yang
direalisasikan dengan kata bulan (2, 3, 4)
dan wulan (1, 5); hujan yang
direalisaikan dengan kata hujan (1, 2),
ujan (3), dan udan (4, 5); benih yang
direalisasikan dengan kata binih (2, 3, 4)
dan winih (1, 5); daun kelapa kering
yang direalisasikan dengan kata baralak
(2, 3, 4) dan blarak (1, 5); serta perut
Tarik Menarik Bahasa Sunda
120
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
yang direalisasikan dengan kata bötöŋ
(1, 2, 3) dan wötöŋ (4, 5). Untuk lebih
jelasnya hal itu dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 3
Gejala Variasi Konsonan pada Bahasa Sunda Dialek Pangandaran
No.
Gloss
Bentuk Realisasi
(DP)
Keterangan
1
Abu
abu? (3)
lәbu? (1, 2, 4)
awu? (5)
Fonem /b/ dan /w/
saling bervariasi
2
burung
manuk (1, 2, 3)
manu? (4, 5)
Fonem /k/ dan /?/ saling
bervariasi
3
diding tembok
tεmbok (1, 2)
tεmbo? (3, 4, 5)
Fonem /k/ dan /?/ saling
bervariasi
4
bulan
bulan (2, 3, 4)
wulan (1, 5)
Fonem /b/ dan /w/
saling bervariasi
5
hujan
hujan (1, 2)
ujan (3)
udan (4, 5)
Fonem /j/ dan /d/
saling bervariasi
6
benih
binih (2, 3, 4)
winih (1, 5)
Fonem /b/ dan /w/
saling bervariasi
7
daun kelapa
kering
baralak (2, 3, 4)
blarak (1, 5)
Fonem /r/ dan /l/ saling
bervariasi
8
perut
bötöŋ (1, 2, 3)
wötöŋ (4, 5)
Fonem /b/ dan /w/
saling bervariasi
Selanjutnya, gejala bahasa
lainnya yang muncul pada bahasa Sunda
dialek Pangandaran adalah aparesis
(penghilangan fonem di awal) dan
apokop (penghilangan fonem di akhir).
Data-data tersebut adalah: hitam yang
direalisasikan dengan kata hidöŋ (1, 2),
idöŋ (3), dan irәŋ (4, 5); hidup yang
direalisasikan dengan kata hirup (1, 2),
irup (3), dan urip (4, 5); hujan yang
direalisasikan dengan kata hujan (1, 2),
ujan (3), dan udan (4, 5); hati yang
direalisasikan dengan kata hatε? (5) dan
ati? (1, 2, 3, 4); serta kepala yang
direalisasikan dengan kata sira? (4, 5)
dan sirah (1, 2, 3). Untuk lebih jelasnya
hal tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
123
Tabel 4
Gejala Aparesis dan Apokop pada Bahasa Sunda dialek Pangandaran
No.
Gloss
Bentuk Realisasi
(DP)
Keterangan
1
hitam
hidöŋ (1, 2)
idöŋ (3)
irәŋ (4, 5)
aparesis
2
Hidup
hirup (1, 2)
irup (3)
urip (4, 5)
Aparesis
3
hujan
hujan (1, 2)
ujan (3)
udan (4, 5)
Aparesis
4
hati
hatε? (5)
ati? (1, 2, 3, 4)
Apokop
5
kepala
sira? (4, 5)
sirah (1, 2, 3)
Apokop
Selain gejala fonologis, terdapat
gejala lain yang muncul pada bahasa
Sunda dialek Pangandaran sebagai
pengaruh dari bahasa Jawa, yaitu gejala
leksikal. Kemunculan gejala ini pada
bahasa Sunda dialek Pangandaran relatif
banyak. Penyerapan utuh leksikon
bahasa Jawa ke dalam bahasa Sunda
dialek Pangandaran terjadi pada
beberapa kelas kata, yaitu nomina,
verba, dan ajektiva. Berikut ini adalah
beberapa kosakata dalam bahasa Sunda
dialek Pangandaran yang mengalami
pengaruh dari bahasa Jawa berupa
penyerapan utuh leksikon bahasa Jawa
ke dalam bahasa Sunda dialek
Pangandaran.
Tarik Menarik Bahasa Sunda
122
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
Tabel 5
Kosakata Serapan dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Sunda Dialek Pangandaran
No.
Gloss
Bentuk Realisasi
Daerah
Pengamatan
Keterangan
1
Mulut
Bibir
biwir
lambε?
1
2
3, 4, 5
nomina
2
Punggung
Toŋoŋ
Gәgәr
1, 2, 3
4, 5
nomina
3
Tulang
Baluŋ
Tulaŋ
3, 4, 5
1, 2
nomina
4
Lutut
Dәŋkul
tu?ur
5
1, 2, 3, 4
nomina
5
Ibu
Piyuŋ
mama?
5
1, 2, 3, 4
nomina
6
Api
sönö?
gәni?
1, 2
3, 4, 5
nomina
7
Matahari
panonpoε?
srәŋεŋε?
1, 3
2, 4, 5
nomina
8
Pasir
Pasir
wәdi?
1, 2, 3, 4
5
nomina
9
Tanah
Tanöh
Lәmah
1, 4
2, 3, 5
nomina
10
akar
akar
oyod
1, 2, 3
4, 5
nomina
11
Rumput
jukut
sukәt
1, 2, 3, 4
5
nomina
12
Ikan
lauk
iwak
1, 2, 3, 4
5
nomina
13
Kepiting
Köyöp
yuyu?
1, 4
2, 3, 5
Nomina
14
kambing
әmbε?
Wәdus
1, 3, 4
2, 5
Nomina
15
Kera
Mońεt
Kәtεk
1, 3, 4
2, 5
Nomina
16
Banyak
Loba
?ör
sikεh
1, 3
2, 4
5
Ajektiva
17
Basah
Tәlәs
Basöh
3, 4, 5
1, 2
Ajektiva
18
Bengkak
Baröh
Apuh
1, 2, 3
4, 5
Ajektiva
19
Berat
Börat
Abot
3, 4
1, 2, 5
Ajektiva
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
123
20
Buruk
Gorεŋ
Εlεk
1, 3, 5
2, 4
Ajektiva
21
Gemuk
Montok
lәmu?
1, 2, 3
4, 5
Ajektiva
22
Jauh
Adoh
Jauh
5
1, 2, 3, 4
Ajektiva
23
Kecil
Lötik
cilik
2, 3, 4
1, 5
Ajektiva
24
lebar
amba?
1, 2, 3, 4, 5
Ajektiva
25
Licin
?ör
luńu?
1, 4
2, 3, 5
Ajektiva
26
Panjang
panjaŋ
dawa?
1, 2, 3
4, 5
Ajektiva
27
Pendek
pondok
cilәk
1, 4
2, 3, 5
Ajektiva
28
sempit
hörin
rupәk
1, 2, 3, 4
5
Ajektiva
29
Tajam
sököt
landәp
1, 2
3, 4, 5
Ajektiva
30
apung
ŋapuŋ
mabur
1, 2, 3
4, 5
Verba
31
dengar
ŋupiŋ
kruŋu?
1, 2, 3
4, 5
Verba
32
lempar
ŋantәm
balεdog
3, 4, 5
1, 2
Verba
33
Potong
motoŋ
nugәl
1, 2, 3, 4
5
Verba
Tarik Menarik Bahasa Sunda
124
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
3.2 Tarik-Menarik Bahasa Sunda dan
Bahasa Jawa di Kabupaten
Pangandaran sebagai bentuk
Variasi Kebahasaan Masyarakat
Perbatasan Jawa Barat dan Jawa
Tengah
Suku Jawa selalu identik dengan
migrasi dan perpindahan wilayah. Suku
Jawa dengan berbagai subetnisnya
terpencar di berbagai wilayah, termasuk
di sebagian wilayah Jawa Barat yang
notabene mayoritas berbahasa Sunda.
Dari segi geografis, Pangandaran
dianggap sebagai wilayah yang memiliki
daya tarik alam, kesuburan tanah,
ketersediaan lapangan pekerjaan, dan
kondisi kultural masyarakat yang terbuka
dengan keberadaan etnis lain, telah
menjadi daya tarik masyarakat dari luar
daerah untuk bermigrasi ke Pangandaran.
Faktor geografis inilah yang menjadi
salah satu faktor pemicu adanya
perpindahan etnis Jawa ke Pangandaran
yang pada masanya nanti berpengaruh
juga terhadap kondisi bahasa Sunda
dialek Pangandaran. Faktor geografis ini
tidak bisa dilepaskan dari faktor
demografis; keberlimpahan kekayaan
alam Pangandaran telah menyebabkan
adanya lonjakan migrasi penduduk etnis
Jawa ke daerah Pangandaran. Migrasi
etnis Jawa ini membawa pengaruh
kultural, termasuk pengaruh bahasa Jawa
terhadap bahasa Sunda dialek
Pangandaran.
Suku Jawa kerap kali menghuni
satu wilayah dengan bercocok tanam.
Kadang-kadang juga berpindah-pindah
mengikuti aliran sungai dan daerah yang
subur. Pada umumnya, etnis Jawa
berpindah ke Pangandaran untuk
bercocok tanam demi kebutuhan pangan
khususnya karbohidratnya sambil berburu
untuk memenuhi kebutuhan proteinnya.
Aktivitas bercocok tanam dan berburu
tersebut, sedikit-banyaknya berpengaruh
terhadap kondisi lingual bahasa Sunda di
Pangandaran. Kosakata-kosakata bahasa
Sunda dialek Pangandaran yang banyak
terpengaruh bahasa Jawa sering
ditemukan dalam istilah ekologi hutan
atau lingkungan alam, khususnya hutan
hujan tropis di Pangandaran.
Berbicara tentang transmigrasi di
Indonesia, tentu terbayang dan tidak lepas
dari peran sosok Presiden RI ke-2, yakni
Soeharto. Pada masa orde baru,
transmigrasi menjadi salah satu program
andalan Soeharto yang tertuang dalam
Pembangunan Lima Tahun (Pelita) 1
sampai 6. Program transmigrasi era
Soeharto masuk dalam generasi
transmigrasi orde baru. Sebelumnya, pada
tahun 1905 s.d. 1942 dikenal dengan
istilah kolonialisasi. Kemudian Jepang
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
125
masuk menjajah Indonesia, kemudian
istilahnya berubah menjadi kerja rodi
(romusha). Pascakemerdekaan hingga
1966, pada masa orde lama, barulah ada
transmigrasi, tetapi keberlangsungannya
tidak berjalan mulus. Ketika Soeharto
menjadi Presiden RI, Pelita I sampai VI
dicanangkan pada 1969, dan pada saat
itulah transmigrasi mulai digencarkan.
Program transmigrasi di era
Soeharto ini sering dikenal dengan istilah
bedol desa atau sejuta gambut. Kebijakan
politik ini sedikit-banyaknya berdampak
terhadap kehidupan sosio-kultural di
tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Banyak lahan kosong yang digarap oleh
para imigran dan kemudian lahan-lahan
tersebut, seiring dengan perkembangan
zaman dan generasi, berubah menjadi
wilayah-wilayah layak huni mulai dari
tingkat kampung, desa, hingga kabupaten.
Pangandaran juga tidak lepas dari
kebijakan politik Soeharto. Di wilayah
ini, pada masa itu, masih banyak lahan
kosong yang mesti digarap. Hingga
akhirnya banyak pula masyarakat dari
etnis Jawa yang berpindah ke sebagian
wilayah Pangandaran dan menetap hingga
masa generasi sekarang. Kebijakan politik
ini juga berdampak pada dinamika sosio-
kultural yang ada di Pangandaran,
khususnya pada aspek lingual di wilayah
tersebut.
4. Penutup
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, beberapa gejala bahasa
yang muncul dari bahasa Sunda dialek
Pangandaran dilihat dari aspek
dialektologis adalah (1) variasi bunyi
vokal, (2) variasi bunyi konsonan, (3)
aparesis, (4) apokop, dan gejala leksikal.
Kedua, kosakata-kosakata bahasa
Sunda Dialek Pangandaran yang banyak
terpengaruh bahasa Jawa sering
ditemukan dalam istilah ekologi hutan
atau lingkungan alam, khususnya hutan
hujan tropis di Pangandaran.
Daftar Pustaka
Assapari, M. M. (2014). Eksistensi
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
Nasional dan Perkembangannya di
Era Globalisasi. PRASI, 9 (18), 29--
37.
https://doi.org/10.23887/prasi.v9i18.
8943.g5776
Azhar, I. N. (2010). Jejak Protobahasa
Austronesia pada Bahasa Madura
(Kajian Bandingan Historis terhadap
Retensi dan Inovasi Fonem
Protobahasa Austronesia pada
Bahasa Madura). Jurnal
METALINGUA, 8 (1), 1--29.
Baryadi, I. P. (2014). Pengembangan
Tarik Menarik Bahasa Sunda
126
©2020, Mabasan 14 (1), 109128
“Dwibahasawan yang Seimbang”
untuk Mempertahankan Bahasa-
Bahasa Daerah di Indonesia.
Sintesis: Jurnal Ilmiah Kebudayaan,
8 (2), 60--68.
Blust, R. (1977). The Proto Austronesian
Pronouns and Austronesian
Subgrouping. A Preliminary Report,
Rijkuniversiteit.
Budasi, I. G. (2012). Phonological
Evidences Which Separate and Unite
Mamboro Language from Proto
Wanokaka-Anakalang in Sumba
Group of Languages. A Biannual
Publication on The Study of
Language and Literature, 14 (2), 67-
-74.
Chaer, A. (2012). Linguistik Umum: Edisi
Revisi. Rineka Cipta.
Djajasudarma, F. (2010). Metode
Linguistik: Ancangan Metode
Penelitian dan Kajian. Rafika
Aditama.
Fitrah, Y., & Afria, R. (2017).
Kekerabatan Etnis-Etnis Melayu,
Batak, Sunda, Bugis, dan Jawa di
Provinsi Jambi: Sebuah Kajian
Linguistik Historis Komparatif.
Jurnal Ilmu Humaniora, 1 (2), 204--
218.
Gasser, E. A. (2015). The Development
of Verbal Infixation in
Cenderawasih Bay. In I. W. Arka,
M. Donohue, B. Evans, N. Evans, S.
Greenhill, G. Hyslop, D. Nash, B.
Palmer, A. Pawley, M. Ross, P.
Sidwell, & J. Simson (Eds.),
Language Change in Austronesian
languages. Asia-Pacific Linguistics
College of Asia and the Pacific The
Australian National University.
Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian
Kualitatif. Bumi Aksara.
Ibrahim, G. A. (2011). Bahasa Terancam
Punah: Fakta, Sebab-Musabab,
Gejala, dan Strategi Perawatannya.
Linguistik Indonesia, 29 (1), 35--52.
Ino, L. (2015). Pemanfaatan Linguistik
Historis Komparatif dalam Pemetaan
Bahasa-Bahasa Nusantara.
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1
(2), 351--365.
Mahsun. (2010). Genolinguistik:
Kolaborasi Linguistik dengan
Genetika dalam Pengelompokan
Bahasa dan Populasi Penuturnya.
Pustaka Pelajar.
Mbete, A. M. (2003). Bahasa dan Budaya
Lokal Minorita, Asal-Muasal,
Ancaman Kepunahan dan Ancangan
Pemberdayaan dalam Kerangka Pola
Ilmiah Pokok Kebudayaan
Universitas Udayana. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Dalam Bidang Linguistik
Pada Fakultas Sastra Universitas
Udayana.
Mbete, A. M. (2015). Pembelajaran
Bahasa Berbasis Lingkungan:
Perspektif Ekolinguistik.
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1
(2), 352--364.
Mulyana, S. (1975). Asal Bangsa dan
Bahasa Nusantara. Balai Pustaka.
Nugrahani, F. (2014). Metode Penelitian
Kualitatif. Cakra Books.
Putri, N. P. (2017). Eksistensi Bahasa
Indonesia pada Generasi Milenial.
Widyabastra: Jurnal Ilmiah
Pembelajaran Bahasa Dan Sastra
Indonesia, 5 (1), 45--49.
Wagiati, Duddy Zein
©2020, Mabasan 14 (1), 107128
127
Sedana, G. (2017). Komunikasi Simpang
Siur dalam Pembangunan
Masyarakat: Kasus pada Media
Masa. Jurnal Kajian Ilmu
Komunikasi, 15 (2), 5061.
Subiyanto, A. (2013). Ekolinguistik:
Model Analisis dan Penerapannya.
Humanika, 18 (2).
https://doi.org/10.14710/humanika.1
8.2.
Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka
Teknik Analisis Bahasa. Sanata
Dharma University Press.
Sudrama, K., & Yadnya, I. B. P. (2015).
Dilema Multilingualisme Dan
Implikasinya Terhadap Perencanaan
Bahasa. RETORIKA: Jurnal Ilmu
Bahasa, 1 (1), 94--107.
Sugiono. (2011). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Alfabeta.
Suryata, P. (1998). Subgrouping dan
Migrasi Sembilan Bahasa di
Indonesia: Kajian Linguistik
Komparatif. Jurnal Iptek Dan
Humaniora, 3 (2), 111--125.
Sutama, P. (2018). Politik Bahasa,
Regulasi, dan Eksistensi Bahasa
Lokal. Seminar Internasional APBL,
1--8.
Syafii, I., & Ibrahim, A. S. (2019).
Leksikostatistika Lima Bahasa
Nusantara: Bahawa Jawa, Bahasa
Madura, Bahasa Sunda, Bahasa Bali,
dan Bahasa Indonesia. BASINDO:
Jurnal Kajian Bahasa, Sastra
Indonesia, Dan Pembelajarannya, 3
(1), 85--93.
Tarigan, B. (2016). Kebertahanan dan
Ketergeseran Leksikon Flora
Bahasa Karo: Kajian Ekolinguistik.
Universitas Sumatera Utara.
Wahyuni, S. (2010). Tarik-Menarik
Bahasa Jawa Dialek Banyumas dan
Bahasa Sunda di Perbatasan Jawa
Tengah-Jawa Barat Bagian Selatan
sebagai Sikap Pemertahanan
Bahasa oleh Penutur. Undip
Semarang.
Wijana, D. P. (2018). Pemertahanan dan
Pengembangan Bahasa Indonesia
(Indonesian Language Maintenance
And Development). Widyaparwa:
Jurnal Ilmiah Kebahasaan Dan
Kesastraan, 46 (1), 91--98.
Wijana, I. D. P. (2006). Sosiolinguistik:
Kajian Teori dan Analisis. Pustaka
Pelajar.
Yazidi, A. (2012). Bahasa Indonesia
sebagai Identitas Nasional Bangsa
Indonesia. Jurnal Bahasa Dan
Sastra, 2 (2), 163--177.
Yusuf, M. (2014). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian
Gabungan. Kencana.
... The synchronic approach in interpreting cultural aspects is one of the methods of choice in the humanities. Linguistics, literature and anthropology apply this approach with the aim of uncovering structures in the form of rational and permanent meaning in aspects of language, art, symbols, signs, ceremonies and so on (Budimansyah, Lubis, & Falah, 2020;Chappell & Lü, 2022;Fletcher, 2021;Koswara, 2016;Pramayoza, 2021;Rusmana, 2018;Salura, 2007;Wagiati & Zein, 2020;Yuliawati, Hidayat, Rahyono, & Kwary, 2022). More fundamentally than the purpose of this application, the synchronic approach can reveal cultural structures in the form of cognitive understanding, especially reasoning principles that provide an understanding of the integration of a meaningful 'cultural world' (Abdeljelil, 2009;Boelaars, 1984;Cox, 2006;Djunatan, 2007Djunatan, , 2011bGeertz, 1973;Geertz, 2008;Jakob Sumardjo, 2011). ...
Article
Full-text available
This research aims to find a sociological understanding of the Mother Earth myth in the Sundanese tradition in West Java, Indonesia. Based on an intercultural approach in philosophy, researchers combine cross-disciplinary analysis, namely philosophy, sociology and anthropology. This combination of interdisciplinary studies complements methods of interpreting texts and contexts regarding cognitive understanding, especially the principles of reasoning about meaningful worldviews in everyday life. The results of this interpretation are principles of reasoning or logic called functional logic. This argument about the logic of function starts from two layers of interpretation of two elements in the culture of agrarian society. The first element is the mythology of the Paddy Goddess, and the second element is the mythical figure of the Paddy Goddess, which is the main symbol in the description of rice cultivation. These two elements contain an understanding of the paradoxical relationship between two aspects that combine with each other in the management and structuring of the agricultural world. These two aspects are found in parental culture: father and mother. This study presents the interpretation of the text and context of the mythology and symbols of the Paddy Goddess and the practice of rice cultivation. Interpretation of mythology, the symbol of Paddy Goddess and rice cultivation requires a synchronic approach and emic analysis to conclude the implied meaning, namely the principle of function as the core meaning implied in the mythology of Paddy Goddess and Rice cultivation. This interpretation shows that logic functions as the main principle of reasoning that combines various cultural elements into a logical and meaningful 'way of seeing' the life world, which influences Sundanese people consciously or not in experiencing their culture in a logical and meaningful way.
Article
Full-text available
Sundanese language, as part of the richness of local culture, plays an important role in shaping the identity and character of the younger generation, especially in the West Java region. However, its existence now faces serious challenges due to declining student interest and limitations of conventional learning resources. This study aims to analyze innovative strategies in Sundanese language learning through the digitalization of teaching materials in elementary schools. Digitalization is considered a modern approach capable of increasing student engagement, enriching methods of delivering material, and preserving local cultural values through interactive media. This research uses a qualitative approach with a descriptive method. Data were obtained through literature studies and interviews with elementary school teachers. The results show that the use of technology—such as learning applications, audio-visual media, and gamification—can increase students' motivation and understanding of the Sundanese language. However, obstacles such as limited infrastructure, lack of teachers' digital competence, and the scarcity of digital learning resources remain major barriers. Therefore, intensive training for teachers, the development of culturally relevant digital content, and policy support from schools and the government are needed. The digitalization of teaching materials is not only a learning solution but also a strategic means of preserving and actualizing Sundanese culture in the digital era. ABSTRAKBahasa Sunda sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal memiliki peran penting dalam membentuk identitas dan karakter generasi muda, khususnya di wilayah Jawa Barat. Namun, eksistensinya kini menghadapi tantangan serius seiring menurunnya minat siswa dan keterbatasan sumber belajar konvensional. Penelitian ini bertujuan menganalisis strategi inovatif dalam pembelajaran Bahasa Sunda melalui digitalisasi materi ajar di sekolah dasar. Digitalisasi dianggap sebagai pendekatan modern yang mampu meningkatkan keterlibatan siswa, memperkaya metode penyampaian materi, serta menjaga nilai-nilai budaya lokal melalui media interaktif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Data diperoleh melalui studi pustaka dan wawancara dengan guru sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi—seperti aplikasi pembelajaran, media audio-visual, dan gamifikasi—dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa terhadap Bahasa Sunda. Namun, kendala seperti keterbatasan infrastruktur, kurangnya kompetensi digital guru, dan minimnya sumber belajar digital masih menjadi hambatan utama. Oleh karena itu, dibutuhkan pelatihan intensif bagi guru, pengembangan konten digital yang relevan secara budaya, serta dukungan kebijakan dari sekolah dan pemerintah. Digitalisasi materi ajar tidak hanya menjadi solusi pembelajaran, tetapi juga sarana strategis dalam melestarikan dan mengaktualisasikan budaya Sunda di era digital.
Article
Full-text available
This study aims to explain the pattern of language accommodation and the factors that influence the occurrence of language accommodation in Pangandaran Sub-district so that the language choices of the community can be known. The focus of this research is linguistic variables so that language accommodation in Pangandaran Sub-district can be illustrated. This research uses qualitative methods with instruments in the form of questionnaires and lists of swadesh words and lists of basic cultural words according to the meaning field. The approach used in this research is sociolinguistic approach. The data in this study were obtained from direct observation and interviews. The data were classified to identify the language accommodation patterns and the factors causing the language accommodation. The findings of this research are language accommodation patterns in Pangandaran Sub-district in the form of convergence and divergence. The language accommodation is influenced by social identity factor and individual experience. Based on the pattern of accommodation and the factors that influence it, it can be seen that the language choice of Pangandaran Sub-district people is in the form of single language, code switching, and code mixing. The findings can show the language accommodation in Pangandaran Sub-district so that it can be used as a basis for planning appropriate efforts in language and culture preservation. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pola akomodasi bahasa dan faktor yang memengaruhi terjadinya akomodasi bahasa di Kecamatan Pangandaran sehingga dapat diketahui pilihan bahasa masyarakatnya. Fokus penelitian ini adalah variabel linguistik sehingga dapat tergambar akomodasi bahasa di Kecamatan Pangandaran. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan instrumen berupa kuesioner serta daftar kata swadesh dan daftar kata budaya dasar menurut medan makna. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara secara langsung. Data diklasifikasi untuk diidentifikasi pola akomodasi bahasanya dan faktor penyebab terjadinya akomodasi bahasa tersebut. Hasil temuan penelitian ini adalah pola akomodasi bahasa di Kecamatan Pangandaran berupa konvergensi dan divergensi. Akomodasi bahasa tersebut dipengaruhi oleh faktor identitas sosial dan pengalaman individual. Berdasarkan pola akomodasi dan faktor yang memengaruhinya dapat terlihat bahwa pilihan bahasa masyarakat Kecamatan Pangandaran berupa tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Hasil temuan-temuan itu dapat menunjukkan akomodasi bahasa di Kecamatan Pangandaran sehingga dapat dijadikan landasan untuk merencanakan upaya yang tepat dalam pelestarian bahasa dan budaya.
Article
Full-text available
Penelitian ini mengkaji hubungan kekerabatan bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Hubungan tersebut diidentifikasi dengan pendekatan campuran. Data yang diperiksa berupa dua ratus kosakata dasar Swadesh dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Data tersebut dikumpulkan dengan teknik wawancara terhadap penutur asli kedua bahasa tersebut. Analisis data dilakukan dengan teknik leksikostatistik untuk menemukan evidensi kuantitatif dan korespondensi fonemis untuk menemukan evidensi kualitatif. Data tersebut kemudian disajikan secara formal dan informal. Penelitian ini membuktikan bahwa bahasa Jawa dan bahasa Sunda mempunyai jalinan kekerabatan pada level keluarga bahasa. Hal ini dibuktikan dengan persentase kata kerabat sebanyak 60% dan waktu pisah antara tahun 693 – 991 Masehi jika dihitung dari tahun sekarang (2023). Penelitian ini juga menemukan tiga kaidah korespondensi fonemis. Korespondensi fonemis tersebut antara lain korespondensi fonem /ə ~ ɣ/, /w ~ b/, dan /ø ~ h/. Selain itu, ditemukan pula bahwa bahasa Sunda lebih dekat dengan bahasa Proto-Austronesia dibanding bahasa Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya fonem Proto-Austronesia yang dipertahankan dalam bahasa Sunda. Sementara itu, dalam bahasa Jawa fonem tersebut mengalami perubahan. Fakta ini juga menunjukkan bahwa bahasa Sunda lebih tua daripada bahasa Jawa. Kata Kunci: Kekerabatan bahasa, leksikostatistik, korespondensi fonemis, bahasa Jawa, bahasa Sunda
Article
Full-text available
Linguistik Historis Komparatif sebagai salah satu cabang linguistik mempunyai tugas utama, antara lain menetapkan fakta dan tingkat keeratan dan kekerabatan antarbahasa yang berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa-bahasa sekerabat. Bahasa-bahasa sekerabat yang termasuk dalam anggota suatu kelompok bahasa pada dasarnya memiliki sejarah perkembangan yang sama. Sesuai dengan tugas utama tersebut, linguistik historis komparatif memiliki kewenangan dalam mengkaji relasi historis di antara kelompok bahasa tertentu
Article
Full-text available
Kebhinekaan bahasa daerah yang dimiliki dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, serta penguasaan bahasa asing terutama bahasa Inggris menguatkan status masyarakat Indonesia menjadi masyarakat multilingual. Kehadiran beragam bahasa (asing, Indonesia dan daerah) mengindikasikan adanya interaksi antar bahasa yang muncul di permukaan sebagai (1) situasi yang saling mempengaruhi, (2) poliglot, dan (3) konflik atau persaingan bahasa.Situasi kebahasaan seperti ini tentu saja kalau tidak dicermati dan diantisipasi bisa membawa disharmoni sosial yang sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup bahasa terutama bahasa-bahasa daerah sehingga memerlukan perencanaan bahasa yang tepat dan fleksibel.
Article
Tulisan ini ditujukan untuk memberikan konsep pembelajaran bahasa berbasis lingkungan dalam perspektif Ekolinguistik. Perubahan lingkungan kebahasaan, tentu juga lingkungan sosial, kemanusiaan, dan kebudayaan, patut dikaji secara kritis. Demikian pula perkembangan budaya media khususnya, dan perubahan tata nilai kehidupan yang “sangat mendunia” ini perlu dicermati, disikapi, dan dievaluasi kembali secara lebih dalam. Kehidupan ini memang selalu berubah dan berkembang ke tingkat peradaban dan kebudayaan yang lebih tinggi. Akan tetapi, ke arah manakah hidup ini bergerak dan berubah, (secara khusus perubahan peran dan fungsi bahasa serta sikap para pemakainya), itulah sesungguhnya yang perlu direnungkan dan dievaluasi. Pembelajaran bahasa berbasis lingkungan diupayakan agar keanekabahasaan dan juga keberagaman bahasa yang merepresentasikan keanekaragaman hayati di lingkungan tertentu, dapat menjadi sumber penulisan dan upaya pelestarian bahasa-bahasa lokal, bahasa Indonesia, dan penguasaan bahasa asing. Melalui pembelajaran bahasa-bahasa yang berbasis lingkungan itu, peserta didik memulihkan kembali interaksi, interelasi, dan interdependensi dengan lingkungan hidup mereka, sekaligus mencegah gejala ketidakberakaran hidup mereka. Kata kunci: pembelajaran bahasa, perspektif ekolinguistik
Article
The success of the Indonesian nation to bring Malay language into a national language is a remarkable achievement that is not necessarily done by other nations.Many countries in the world, such as India, Philippines, Singapore, and so on have not succeeded in following the success of the Indonesian nation in establishing their language policy line. However, this success is not supported by the positive attitude of its speakers to maintain and develop its national language. In this regard, the pride of Indonesian and the pride of local languages as an element of Indonesian language and cultural development must be continuously improved. Keberhasilan bangsa Indonesia mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa nasional merupakan prestasi yang luar biasa yang belum tentu dapat dilakukan oleh bangsa lain. Banyak negara di dunia, seperti India, Filipina, Singapura, dan sebagainya sampai sekarang belum berhasil mengikuti kesuksesan bangsa Indonesia dalam menetapkan garis kebijakan kebahasaannya. Namun, keberhasilan ini ternyata tidak didukung oleh sikap positif para penuturnya untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa nasionalnya. Sehubungan dengan itu, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah sebagai unsur pengembangan bahasa dan budaya Indonesia harus terus ditingkatkan.
Article
This article describes the separating and uniting phonological evidences of Proto Wanokaka-Anakalang (PWn-An) and Mamboro language (Mb) reflected from the phonological changes of the Proto Mamboro-Wanokaka-Anakalang (PMb-Wn-An) phonemes. The description is based on the types of phonological changes suggested by Jeffers and Lehiste (1979). This article shows that the three phonemes of PMb-Wn-An were found ‘retention’ in PWn-An, but underwent ‘split’ in Mb and one phoneme underwent ‘monophthongization’. One phoneme of PMb-Wn-An underwent ‘substitution’, in PWn-An, but ‘retention’ in Mb. One phoneme of PMb-Wn-An was found ‘split’ in PWn-An, but ‘retention’ in Mb. Whereas, the uniting evidences show that three PMb-Wn-An phonemes were found ‘retention’ both in PWn-An and Mb. One phoneme of PMb-Wn-An underwent ‘split’ both in PWn-An as well as in Mb.
Linguistik Umum: Edisi Revisi
  • A Chaer
Chaer, A. (2012). Linguistik Umum: Edisi Revisi. Rineka Cipta.
Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian
  • F Djajasudarma
Djajasudarma, F. (2010). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Rafika Aditama.
The Development of Verbal Infixation in Cenderawasih Bay
  • E A Gasser
Gasser, E. A. (2015). The Development of Verbal Infixation in Cenderawasih Bay. In I. W. Arka, M. Donohue, B. Evans, N. Evans, S. Greenhill, G. Hyslop, D. Nash, B. Palmer, A. Pawley, M. Ross, P. Sidwell, & J. Simson (Eds.), Language Change in Austronesian languages. Asia-Pacific Linguistics College of Asia and the Pacific The Australian National University.
Metode Penelitian Kualitatif
  • I Gunawan
Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bumi Aksara.