Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
BAHASA GAUL KAUM MUDA SEBAGAI KREATIVITAS LINGUISTIS
PENUTURNYAPADA MEDIA SOSIAL DI ERA TEKNOLOGI KOMUNIKASI
DAN INFORMASI
YOUTH’S SLANG LANGUAGE AS LINGUISTIC CREATIVITY STATEMENT ON SOCIAL MEDIA IN
THE ERA OF COMMUNICATION TECHNOLOGY AND INFORMATION
Duddy Zein1 & Wagiati2
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran1
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran2
zein@unpad.ac.id1, wagiati@unpad.ac.id2
ABSTRAK
Salah satu praktik berbahasa yang menjadi dampak perkembangan teknologi komunikasi dan informasi adalah
munculnya kreativitas linguistis, khususnya di kalangan kaum muda. Kreativitas linguistis pada praktiknya telah
menimbulkan adanya divergensi bahasa sehingga menimbulkan disparitas komunikasi antara kaum muda dengan
kaum tua di tengah masyarakat. Tulisan ini mengangkat tiga hal utama, yaitu (1) bagaimanakah gejala lingual
di kalangan kaum muda yang disebut sebagai bahasa gaul, (2) bagaimana bentuk-bentuk kreativitas linguistis di
kalangan kaum muda, dan (3) faktor apa saja yang mendorong terjadinya proses kreativitas linguistis. Penelitian
ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik . Data penelitian diambil dari jejaring media sosial twitter pada tahun
2018. Hasil kajian memperlihatkan beberapa hal yaitu, (1) bahasa gaul di kalangan kaum muda pada dasarnya
dipahami sebagai subragam informal bahasa Indonesia; (2) bahasa gaul di kalangan kaum muda memiliki identitas
leksikal yang menjadi ciri utamanya, yaitu adanya reduksionisme, penyingkatan kata, dan akronimisasi; (3) faktor
yang melatarbelakangi munculnya kreativitas linguistis di kalangan kaum muda, yaitu esiensi berbahasa, sosial-
psikologis, anutan berbahasa, kemajuan teknologi, dan keinginan untuk menciptakan varian (bahasa Indonesia)
baru.
Kata Kunci: bahasa gaul, teknologi komunikasi dan informasi, komunikasi, kreativitas, linguistik
ABSTRACT
One of speaking practices that result from the impact of technological development is the emergence of linguistic
creativity, especially among the youth. In practice, linguistic creativity has led to their divergence, causing disparity
of communication among young people by older people in the community. This paper raises three main issues: (1)
how the symptoms of language among young people are referred as slang, (2) how the forms of creativity linguistic
among young people, (3) factors that encourage the process of creativity in linguistic. The results of study shows:
(1) slang among young people was basically conceived as an informal sub-register of Indonesian; (2) slang
among young people has become the lexical identity of its main characters, namely the reductionism, abbreviating
the word, and acronymisation; (3) the factors underlying the emergence of linguistic creativity among young
people, the eciency of language, socio-psychological, language adherence, advances in technology, and the
desire to create a new variant (Indonesian).
Keywords: slang, communication and information technology, communication, creativity, linguistic
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi yang
ada dewasa ini telah memengaruhi
dimensi kultural yang ada di tengah-
tengah masyarakat, termasuk praktik
berbahasa di tengah-tengah masyarakat
penuturnya. Gejala ini berlangsung
dengan cepat seiring dengan adanya
perkembangan teknologi komunikasi
dan informasi yang secara tidak
langsung telah menentukan perubahan
di sektor lainya, seperti maraknya
penggunaan media sosial di kalangan
anak-anak muda. Praktik komunikasi
yang disebabkan oleh perkembangan
teknologi ini telah berpengaruh terhadap
realisasi lingual yang digunakan
sebagai media komunikasi di
kalangan penuturnya. Gejala ini telah
menyebabkan adanya disparitas dan
kesenjangan bahasa yang digunakan
oleh kaum tua dan kaum muda. Pada
praktiknya, tidak sedikit kaum tua yang
merasa kesulitan untuk memahami
cara berbahasa yang digunakan kaum
236
Tanggal Submit: 26-06-2018; Tanggal Revisi: 05-07-2018; Tanggal Diterima: 26-07-2018
Duddy Zein & Wagiati| Bahasa Gaul Kaum Muda..... 237
muda dalam praktik komunikasinya.
Dalam praktik lingual di kalangan kaum
muda, kita sering mendengar ungkapan-
ungkapan baru, seperti japri, gaje, keleus,
sokap, brokap, warlok, alay, bais, woles,
sokil gob, spupet, ucul, unyu, rempong,
PHP, afgan, cuktau, curcol, fudul, kepo,
galau, gengges, hoax, kongkow, lebeh,
mager, narsis, gokil, terciduk, takis, kuy,
saik, dan ababil.
Ungkapan-ungkapan baru
tersebut dapat dilihat dari praktik lingual
para kaum muda, khususnya dalam
media sosial, seperti facebook, twitter,
instagram, dan line. Praktik lingual
berbasis media sosial tersebut ternyata
telah memengaruhi praktik lingual kaum
muda di dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam ranah pergaulan di
antara mereka. Menurut pemahaman
para kaum tua, praktik lingual dengan
memunculkan ungkapan “gado-gado”
tersebut masih terasa aneh di telinga
dan di pikiran mereka, tetapi bagi kaum
muda praktik lingual tersebut merupakan
sesuatu yang biasa, wajar, kreatif, dan
komunikatif.
Jika kita amati lebih mendalam,
dan dikaitkan dengan konteks linguistik
secara umum, bentuk-bentuk lingual
sebagaimana yang telah dicontohkan di
atas merupakan fenomena kreativitas
linguistis kaum muda. Bahkan, praktik
lingual semacam ini dirasa telah
menjadi verbal oportoir mayoritas
kaum muda dewasa ini. Yang menjadi
masalah adalah masih adanya disparitas
kompetensi antara kaum muda dengan
kaum tua sehingga menimbulkan
mispersepsi yang pada masanya nanti
akan menimbulkan miskomunikasi di
antara mereka. Kompetensi linguistik
yang menimbulkan gejala lingual di
kalangan anak muda, nyatanya belum
dimiliki kalangan orang tua. Itulah
sebabnya, mengapa dalam praktiknya
terjadi adanya kesenjangan bahasa
antara kaum tua dengan kaum muda atau
dengan ungkapan yang berlebihan dapat
dipahami sebagai “shock lingual” di
kalangan kaum tua.
Kreativitas linguistis kaum muda
pada praktiknya telah menimbulkan
adanya divergensi bahasa sehingga tidak
aneh jika gejala lingual tersebut malah
menimbulkan disparitas komunikasi
antara kaum muda dengan kaum tua
di tengah-tengah masyarakat. Seperti
yang telah kita pahami bersama, bahwa
perubahan bahasa yang terjadi secara
alamiah memerlukan waktu yang cukup
lama untuk bisa menjadi varian baru
dalam bahasa tersebut. Pada masanya
nanti, varian baru dari suatu bahasa tidak
akan menimbulkan disparitas komunikasi
di antara kelompok-kelompok sosial
yang ada di dalam masyarakat bahasa
tersebut.
Gejala lingual inilah yang
melatarbelakangi penulisan artikel ini
sehingga diharapkan adanya sumbangsih
intelektual dalam konteks linguistik
untuk mengurangi disparitas komunikasi
yang ada di tengah masyarakat. Masalah
yang telah dikemukakan di atas menarik
untuk diperbincangkan dalam konteks
linguistik dan komunikasi. Oleh karena
itu, tulisan ini membahas gejala lingual di
kalangan anak muda berupa munculnya
bahasa gaul dan mengaitkannya dengan
aspek komunikasi. yang menimbulkan
adanya gejala lain berupa divergensi
bahasa. Rahyono (2015: 83) mengatakan,
di saat bahasa digunakan dalam konteks
komunikasi, bahasa terjalin dengan
kebudayaan dalam cara yang kompleks
dan berbagai cara.
Divergensi didefinisikan
sebagai proses terpecah-belahnya suatu
bahasa menjadi beberapa dialek karena
tidak adanya fasilitas pendidikan
yang standar dan kurang cukupnya
komunikasi (Kridalaksana, 2008:
52). Dalam konteks sosiolinguistik,
divergensi bahasa dipahami sebagai
proses terpecahnya suatu bahasa menjadi
Jurnal Sosioteknologi | Vol. 17, No 2, Agustus 2018238
dialek, dialek menjadi subdialek,
atau ragam menjadi subragam, baik
karena faktor internal maupun faktor
eksternal, yang mengakibatkan kesulitan
pada masyarakat tutur tertentu untuk
memahami varian baru tersebut
(Martinet, 1987).
Sampai pada tahap ini, dari
amatan penulis, perkembangan bahasa
gaul di kalangan kaum muda disebabkan
oleh adanya kontak bahasa, yang
pada masanya nanti diikuti dengan
adanya proses penyerapan dan adopsi
unsur-unsur lingual tersebut ke dalam
bahasa Indonesia (BI) atau bahasa
gaul (BG) melalui proses campur kode
dan interferensi. Menurut penulis,
kedua gejala lingual tersebutlah yang
sampai saat ini sangat menentukan dan
menyuburkan laju perkembangan bahasa
gaul di kalangan kaum muda.
Tulisan ini akan mengangkat tiga
hal utama yang berkenaan dengan gejala
lingual tersebut, yaitu (1) bagaimanakah
gejala lingual di kalangan kaum muda
yang disebut sebagai bahasa gaul tersebut,
(2) bagaimana bentuk-bentuk kreativitas
linguistis dalam bahasa gaul di kalangan
kaum muda, dan (3) faktor-faktor apa
saja yang mendorong terjadinya proses
kreativitas linguistis pada kaum muda
tersebut.
METODE
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri atas
dua pendekatan, yaitu pendekatan
secara teoretis dan pendekatan secara
metodologis. Secara teoretis, pendekatan
yang dipakai di dalam penelitian ini
adalah pendekatan sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan bidang
ilmu antardisiplin antara sosiologi
dan linguistik; kedua bidang tersebut
mempunyai kaitan yang sangat erat.
Fokus kajian pada penelitian ini adalah
tentang divergensi bahasa.
Adapun secara metodologis,
pendekatan yang dipakai dalam penelitian
ini adalah pendekatan kualitatif-
deskriptif. Pendekatan kualitatif
dilakukan pada objek yang alamiah;
objek yang berkembang apa adanya, tidak
dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran
peneliti tidak memengaruhi dinamika
pada objek tersebut. Pendekatan ini
memandang realitas sosial, termasuk
bahasa, sebagai sesuatu yang holistik/
utuh, kompleks, dinamis, penuh makna,
dan hubungan gejala bersifat interaktif
(reciprocal) (Sugiyono, 2010: 8). Secara
kualitatif artinya data yang diteliti dan
hasil analisisnya diperoleh dari rekaman,
pengamatan, wawancara, atau bahan
tertulis, dan data ini tidak berbentuk
angka. Sementara itu, pendekatan
deskriptif mendasarkan pada fakta, yang
secara empiris diperoleh dari penutur-
penuturnya, sehingga hasilnya berupa
perian bahasa seperti apa adanya.
Tahapan penelitian ini dibagi
ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap
penyediaan data, tahap analisis data,
dan tahap penyajian hasil analisis data.
Pelaksanaan penelitian ini diawali
dengan penyediaan data yang dilakukan
dengan metode simak (Sudaryanto,
2015). Sumber data diambil dari jejaring
sosial media twitter tahun 2018.
Penganalisisan data dilakukan
dengan menggunakan metode agih atau
distribusional. Metode agih atau metode
distribusional adalah metode yang alat
penentunya bagian dari bahasa yang
diteliti (Sudaryanto, 2015).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan ini diformulasikan
ke dalam (1) bahasa gaul merupakan
gejala lingual berupa bahasa pergaulan
kaum muda, (2) bahasa gaul di kalangan
kaum muda sebagai varian dari ragam
informal bahasa Indonesia, (3) proses
kreativitas linguistis kaum muda, dan (4)
faktor-faktor yang mendorong terjadinya
kreativitas linguistis di kalangan kaum
muda.
Duddy Zein & Wagiati| Bahasa Gaul Kaum Muda..... 239
Bahasa Gaul sebagai Gejala Lingual
Ditinjau dari segi linguistik,
bisa kita pahami bahwa bahasa gaul di
kalangan kaum muda bisa dikategorikan
sebagai satu di antara varian bahasa yang
berlaku di lapisan masyarakat golongan
muda. Kedudukannya sebagai varian
bahasa, bahasa gaul dapat juga dianggap
sebagai satu di antara ragam informal
dari bahasa Indonesia itu sendiri. Dalam
konteks pemaknaan, bahasa gaul sangat
dipengaruhi situasi pemakaiannya,
yakni mengacu pada pemakaian dan
diasosiasikan sebagai varian bahasa
yang digunakan pada situasi sosial
yang dekat, akrab, dan santai. Oleh
karena itu, varian ini disebut sebagai
“bahasa gaul” diasosiasikan pada situasi
psikologi-sosial pemakaiannya. Ditinjau
dari intensitas pemakaiannya, bahasa
jenis ini sedang menjadi bahasa “tren”
di kalangan anak muda saat ini.
Jika dikaitkan dengan fenomena
kultural, kehadiran bahasa gaul dapat
saja dianggap sebagai satu di antara
fenomena kultural yang sedang merebak
di kalangan kaum muda dewasa ini.
Kemunculan bahasa gaul
di kalangan kaum muda tidak dapat
dilepaskan dari frame of reference
(kerangka berpikir) kaum muda itu
sendiri yang menganggap praktik
berbahasa tidak ubahnya seperti
berpakaian, berpenampilan, atau
berselera musik yang harus selalu
mengikuti setiap perkembangan zaman,
dinamis, nonkontamitatif, dan bebas.
Itulah sebabnya mengapa bahasa gaul di
kalangan anak muda dipahami sebagai
suatu identitas kultural yang memiliki
nuansa sebagai sebuah praktik lingual
yang komunikatif dan “modern”.
Anggapan bahwa apabila perilaku
seseorang tidak mengikuti trend saat ini
dianggap sebagai perilaku yang tidak
“modis” menjadi salah satu penyebab
merebaknya penggunaan bahasa gaul
di kalangan kaum muda. Apabila ada
di antara kalangan muda yang tidak
mengikuti praktik lingual bahasa gaul,
mereka akan dianggap sebagai orang
yang tidak gaul, alias “kuper” (kurang
pergaulan).
Inilah beberapa pandangan
yang dapat dimunculkan ke permukaan
kajian berkenaan dengan hadirnya
fenomena lingual di kalangan kaum
muda berupa bahasa gaul yang menjadi
bahasa komunikasi di antara mereka.
Seiring dengan perkembangan yang
ada, fenomena lingual ini akan sampai
pada suatu anggapan bahwa praktik
lingual di tengah-tengah mereka dapat
mengukuhkan identitas lingual dan
kultural bagi para anggota kelompoknya.
Dari sini dapat kita lihat, bagaimana
kelompok penutur bahasa gaul akan
mendistorsi pandangan bahwa siapa saja
yang tidak menggunakan bahasa gaul
akan dianggap sebagai orang “tuwir”.
Intinya, praktik berbahasa bagi mereka
tidak hanya suatu proses komunikasi,
tetapi menjadi suatu identitas sosial
yang mencirikan apakah seseorang itu
mengikuti tren atau tidak.
Bahasa Gaul di Tengah Diskursus
Variasi Bahasa
Agar dapat dimasukkan ke dalam
suatu varian bahasa tertentu, suatu
bahasa mesti dipenuhi ciri-ciri yang
menandainya. Variabilitas dalam suatu
aspek bahasa dapat berfungsi sebagai
penanda kosakata, pelafalan, gramatika,
elemen-elemen paralinguistik, dan
wujud siologis bahasa tulis. Dalam
konteks bahasa gaul sebagai bagian dari
varian bahasa Indonesia, ia memiliki
sifat kesederhanaan, ringkas, padat,
banyak mengalami reduksi (baik
konstruksi kata maupun sintaktik),
dan b a n yak mengalami penyimpangan
kaidah kebahasaan secara normal.
Berikut adalah beberapa ciri linguistik
yang menjadi penentu bahwa bahasa
Jurnal Sosioteknologi | Vol. 17, No 2, Agustus 2018240
gaul di kalangan kaum muda merupakan
varian dari bahasa Indonesia.
Identitas Leksikal Bahasa Gaul
Ada dua aspek yang dapat
dijadikan ciri leksikal dari bahasa gaul
di kalangan kaum muda, yaitu aspek
morfologis dan aspek asal kata. Dalam
konteks aspek morfologis, bahasa gaul di
kalangan kaum muda dapat digolongkan
menjadi 4 jenis, yaitu (1) kata normal, (2)
kata reduksi, (3) kata yang mengalami
penyingkatan (singkatan), dan (4)
akronim. Adapun dalam konteks asal
kata, bahasa gaul di kalangan kaum
muda dapat dibedakan menjadi tiga
golongan, yakni kata yang berasal dari
bahasa Indonesia, kata yang berasal dari
bahasa daerah, dan kata yang berasal dari
bahasa asing.
Kata Normal
Kata normal dapat dipahami
sebagai kata yang dipakai dalam konteks
komunikasi sehari-hari, tanpa mengalami
perubahan bentuk yang diakibatkan
reduksi, penyingkatan, dan akronimisasi.
Dalam konteks komunikasi di kalangan
kaum muda, dapat ditemukan istilah-
istilah khas yang hanya berlaku secara
konvensional di kalangan mereka dan
hanya dipahami oleh anggota tutur
kalangan tersebut. Jenis kata ini dapat
menjadi ciri pembeda antara bahasa
gaul di kalangan kaum muda dengan
bahasa Indonesia pada umumnya.
Dari segi pemakaian, jenis kata ini
mengandung kesan informal, santai,
dan bebas. Berikut adalah beberapa
kata normal yang membentuk leksikon
bahasa gaul, antara lain bonyok ‘remuk’,
woles ‘santai’, pundung ‘tersinggung’,
rempong ‘ribet, susah, dan bersusah
payah’, selon ‘pelan-pelan’, peres
‘palsu, bohong’, afgan ‘sadis’, fudul
‘sifat ingin tahu’, galau ‘perasaan kacau
tidak karuan’, gengges ‘mengganggu’,
jutek ‘sombong dan jarang tersenyum’,
kongkow ‘nongkrong’, malay ‘malas’,
pecah ‘keren, atau istilah yang digunakan
untuk mengomentari hal-hal yang keren’,
gokil ‘keren, hebat’, sue ‘layaknya sial’,
ajib ‘enak, asyik’, badai ‘mantap, keren,
dan luar biasa’, bapuk ‘menjelaskan hal
yang rusak’, danta ‘jelas atau benar’,
modus ‘seseorang yang memiliki niat
lain di balik perbuatannya’, bingit
‘banget’, kipak ‘bohong’, menel
‘perilaku centil untuk menarik perhatian
orang yang disukai’, cepu ‘lemas’, jayus
‘lawakan atau tindakan yang ditujukan
untuk melawak tetapi tidak lucu’, garing
‘tidak lucu’, katrok ‘orang desa atau
kampungan’, dan sebagainya.
Berikut adalah beberapa temuan
kalimat yang merupakan contoh
penggunaan bahasa gaul di kalangan
kaum muda yang lazim digunakan oleh
para kaum muda dalam pergaulan sehari-
hari yang ditemukan dalam media sosial.
(1) Gak tau ya, berasa kayak anak alay
aja gitu make twitter lagi, krn di sini
gak ada semacam haters ato rempong.
(twitter.com/andikaGDHadi/status
2/3/2018)
(2) Berasa ditonjok depan belakang
bonyok. (https://twitter.com/
novitamita 30/status 2/3/2018)
(3) Banyak2 bersyukur kalo ternyata
karya kita disukain orang. Dia plagiat
berarti kan dia suka, dia pengen. Jadi
kita woles aja. (https://twitter.com /
chahakim/status 2/3/2018)
(4) Dasar fudul kaya lu gak lebe aja
ngatain gue lebay ngaca sie non, loe
lebih lebay banding gue. (https://
twitter.com/TereChinong/status
2/3/2018)
(5) Baru sadar tengah malam ini, poni
rambut udah kepanjangan rasanya
gengges. (https://twitter.com/
Putrimudha/status 2/3/2018)
(6) Juteknya mukaku, tak sejutek hatiku.
Don’t judge my face. (https://twitter.
com/Vitrilswanaji/status 2/3/2018)
(7) Bikin anak marah2 mulu gegara
Duddy Zein & Wagiati| Bahasa Gaul Kaum Muda..... 241
koneksinya bapuk. (https://twitter.
com /PurworOjek/status 2/3/2018)
Reduksionisme
Gejala leksikal lainnya yang ada
pada bahasa gaul di kalangan kaum
muda adalah adanya reduksionisme.
Reduksionisme dipahami sebagai suatu
gejala penyederhanaan bentuk dari
yang kompleks menjadi bentuk yang
tidak kompleks. Dalam konteks bentuk
leksikal dari bahasa gaul kalangan muda,
reduksionisme dapat dipahami sebagai
gejala lingual yang di dalamnya terdapat
upaya penyederhanaan pada bentuk kata-
kata tertentu. Gejala reduksionisme ini
pada masanya nanti menyebabkan kata
yang bersangkutan memiliki bentuk yang
berlainan dengan bentuk kata asalnya.
Dalam konteks lingual, reduksionisme
pada kata merupakan sebuah gejala yang
ditandai dengan adanya penghilangan
atau pelepasan satu atau lebih bunyi
silabe pada sebuah kata, baik pada awal
kata, tengah, atau akhir kata. Berikut
adalah beberapa contoh kata yang
mengalami gejala reduksionisme, seperti
kata sensitif menjadi sensi, konsentrasi
menjadi konsen, laboratorium menjadi
labo, amerika menjadi amrik, komentar
menjadi komen, admin menjadi min,
juragan menjadi gan, dan typhographical
error menjadi typo. Berikut ditampilkan
beberapa kalimat yang mengandung kata
yang mengalami reduksionisme.
(8) Akhirnya beberapa bulan ini sy
pindah teriak2 ditwitter mbak. Lebih
aman. Sensi banget pakde. (https://
twitter.com/nona74433974/status
2/3/2018)
(9) Konsen usut tuntas reklamasi dan
sumber waras. (https://twitter.com /
TsafPahl/status 2/3/2018)
(10) Ada yang nyimak utas ini gak? Perlu
gue lanjutin apa kagak nih? Komen
yaa… (https://twitter.com/naztaaa/
status 2/3/2018)
Singkatan Kata
Dalam praktik lingual di kalangan
kaum muda, ciri leksikal selanjutnya
yang ditampilkan oleh bahasa gaul di
kalangan mereka adalah banyaknya
gejala penyingkatan kata. Sebetulnya
gejala penyingkatan kata ini berlangsung
secara umum, tidak hanya ada pada
bahasa di kalangan kaum muda saja,
tetapi terjadi juga dalam praktik lingual
pada umumnya. Secara psikologis, tidak
sedikit dari penutur bahasa tententu,
termasuk bahasa Indonesia, yang lebih
senang menggunakan bentuk
yang lebih singkat dibanding dengan
bentuk yang panjang dan bertele-tele.
Selain karena faktor efisiensi, faktor
lainnya yang memengaruhi banyaknya
gejala penyingkatan kata adalah tingkat
kreativitas linguistis yang cukup tinggi
di kalangan kaum muda.
Jika kita amati dengan lebih
mendalam, terdapat bentuk-bentuk
penyingkatan kata yang digunakan oleh
kaum muda dalam praktik berbahasanya.
Singkatan-singkatan tersebut ada yang
berasal dari kata-kata bahasa Indonesia,
bahasa daerah (bahasa Sunda, bahasa
Jawa, dan bahasa Betawi), serta bahasa
asing (bahasa Inggris). Berikut adalah
beberapa bentuk singkatan yang sering
ditemukan dalam praktik berbahasa
di kalangan kaum muda, seperti BTW
[betewe] kependekan dari By The Way
‘ngomong-ngomong’, OTW [otewe]
kependekan dari on The Way ‘lagi di
jalan’, OOTD kependekan dari Outfit
of the Day ‘pakaian hari ini’, CMIIW
kependekan dari correct me if I wrong
‘kalau gak salah sih’, LOL kependekan
dari Laught of Loud ‘tertawa dan lucu’,
BRB kependekan dari Be Right Back
‘segera kembali’, PHP kependekan
dari pemberi harapan palsu ‘omong
kosong’, GWS kependekan dari Get
Well Soon ‘semoga lekas sembuh’,
LDR kependekan dari Long Distance
Relationship ‘hubungan jarak jauh’, FYI
Jurnal Sosioteknologi | Vol. 17, No 2, Agustus 2018242
kependekan dari for you information
‘sekadar info’, KOOL kependekan dari
Koalitas Orang Lowclass ‘alay’, BT
kependekan dari boring total ‘bosan’,
COD kependekan dari cash on demand
‘bayar di tempat’, dan PD kependekan
dari percaya diri.
Berikut adalah beberapa gejala
penyingkatan yang ada pada bahasa gaul
kalangan muda yang didapatkan dari
jejaring sosial media twitter.
(11) Meninggalkanku tanpa suatu
kepastian adalah PHP. ( https://
twitter.com /fegalistiani/status
2/3/2018)
(12) Hal yang menyedihkan, saat dia
berkata… yaudah kamu cari pacar
lagi, aku rela… LDR menyiksaku.
(https://twitter.com/gungdewa2/
status 2/3/2018)
(13) hari ini terakhir registrasi kartu dan
gue belum lakukan itu. Jd nanti yg
punya nomorku n g bs dihubungi,
berarti diblok. Fyi dikominfo aja
sampe ada yang bantuin registrasi.
(https://twitter.com/AsriPeni3/status
2/3/2018)
(14) gws bun, saat “kamu” sakit, aku jadi
ikut sakit…(https://twitter.com
/Budie34947907/status 2/3/2017)
Akronimisasi
Selain dibangun oleh
reduksionisme dan penyingkatan kata,
identitas leksikal lainnya dari bahasa
gaul kalangan kaum muda adalah adanya
gejala akronimisasi. Akronimisasi adalah
proses pembentukan istilah-istilah berupa
akronim. Akronim itu sendiri adalah
bentuk singkatan yang diperlakukan
sebagai kata. Dalam kaitannya dengan
bentuk dan konsep, akronim memiliki
perbedaan dengan singkatan. Singkatan
merupakan gabungan huruf atau bunyi,
baik pada posisi awal maupun tengah
kata dari frasa atau kata yang disingkat
dan tidak bersifat silabik. Sementara itu,
akronim adalah gabungan huruf (bunyi),
suku kata, atau campuran huruf (bunyi)
dan suku kata, baik pada posisi awal,
tengah, ataupun akhir yang diperlakukan
sebagai kata atau dianggap sebagai kata.
Berikut adalah beberapa contoh
akronim yang dijumpai pada praktik
lingual di kalangan kaum muda, seperti
japri ‘jalur pribadi’, gaje ‘gak jelas’,
ASAP akronim dari as soon as possible
‘secepatnya, kalau bisa’, warlock ‘warga
lokal’, alay ‘anak layangan’, gajebo ‘gak
jelas bro’, cuktau ‘cukup tau’, curcol
‘curhat colongan’, kepo akronim dari
knowing every particular object ‘ingin
tahu’, kamseupay ‘kampungan sekali
udik payah’, mager ‘males gerak’, palbis
‘paling bisa’, ababil ‘ABG labil’, damat
‘bodo amat’, gabut ‘gaji buta atau tidak
ada kerjaan’, dempa ‘demi apa’, prasmul
‘perasaan melulu’, ember ‘emang benar’,
bonyok ‘bokap nyokap’, cumi ‘cuma
minjam’, dan sebagainya. Berikut adalah
beberapa gejala lingual yang berkenaan
dengan adanya gejala akronimisasi di
kalangan anak muda yang didapat dari
jejaring sosial media twitter.
(15) Diberitahukan kpda tman2 no.
IM3 udh gk aktv lg… Skrg gnti
simPATI…. Japri ya… (https://
twitter.com/wahyu_widodo30/status
2/3/2018)
(16) katanya iklan parfum terbaru aku
sudah tayang, ada yang udah lihat
kah? Atau ada yang sadar kah itu
aku? Jadi kepo nih… (https://twitter.
com /jeaniceang/status 2/3/2018)
(17) nyesel gue ke daerah lu pada
cmn di kacangin doang cuktau
gue mah. (https://twitter.com/
nadiape14685529/status 2/3/2018)
(18) lagi-lagi... Laper tengah malam ga
punya roti. Curcol dulu… (https://
twitter.com/gcnta_/status 2/3/2018)
(19) status WA yang bikin baper ini jangan
di share kecuali memang terpaksa.
(https://twitter.com/PempekMirah/
status 2/3/2018)
(20) cape tuh kalau abis ngerjain ulangan.
Duddy Zein & Wagiati| Bahasa Gaul Kaum Muda..... 243
Semangat buat 5 hari ke depan.
Jangan gabut… (https://twitter.com/
adeaprliani_/status 2/3/2018)
Faktor Pendorong Kreativitas
Linguistis
Pada praktiknya, kaum muda
banyak menggunakan istilah yang
sudah mengalami gejala reduksionisme,
penyingkatan, dan akronimisasi.
Munculnya gejala ini tampaknya tidak
hanya sekadar untuk memperoleh
bentuk yang lebih singkat, pendek,
dan tidak bertele-tele dari ungkapan-
ungkapan yang dinilai panjang, tetapi
juga ada faktor sosial tertentu yang
melatarbelakangi munculnya gejala
tersebut. Pandangan ini tampak pada
adanya gejala lingual bahwa ada bentuk
yang mengalami penyingkatan, seperti
kata juta yang disingkat menjadi JT; yang
menjadi aneh adalah ketika penulisan
singkatan tersebut justru mengikuti
cara pelafalannya, yakni JT dituliskan
sesuai dengan pelafalan bunyinya dan
pelafalan tersebut mengikuti struktur
pelafalan bahasa Inggris, yakni jeti.
Secara psikologi berbahasa, bentuk jeti
dianggap oleh kalangan muda lebih
memiliki tingkat kegaulan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bentuk juta
atau JT sendiri.
Alasan penyingkatan ungkapan
Koalitas Orang Lowclass ‘alay’ menjadi
KOOL tampaknya dilatarbelakangi
pula oleh faktor sosial dan psikologis.
Adanya pandangan bahwa sesuatu yang
bernilai negatif yang bersangkutan
dengan privasi seseorang mesti dijaga
dengan baik. Dalam konteks tuturan,
istilah ini muncul beriringan dengan
konotasi negatif yang menyertai istilah
tersebut. Jika penggunaan isti l a h ini
cenderung menimbulkan kesan
negatif, ditempuhlah dengan cara
menyingkatnya. Proses penyingkatan ini
ditujukan untuk penyamaran makna yang
terkandung pada istilah tersebut. Begitu
juga bentuk-bentuk yang lain, seperti
PDKT yang merupakan kependekan dari
kata pendekatan. Kemunculan singkatan
PDKT dilatarbelakangi oleh faktor sosial-
psikologis juga. Proses penyingkatannya
ditujukan untuk menyamarkan makna
yang terkandung pada istilah pendekatan
yang dinilai berkonotasi negatif, pada
konteks tuturan tertentu, dan berkenaan
dengan privasi seseorang. Atas dasar
tersebut, digunakanlah bentuk singkatan
PDKT untuk menyamarkan makna yang
dirasa menimbulkan kesan negatif.
Simpulan ini didasarkan pada evidensi
lingual bahwa dalam bentuk tulis,
singkatan itu ternyata dituliskan sesuai
dengan pelafalannya, yakni pedekate.
Jika penyingkatan itu ditujukan
hanya untuk efisiensi, tidak mungkin
penulisannya justru malah dibuat lebih
panjang dari singkatannya.
Faktor lainnya yang
melatarbelakangi kreativitas linguistis
para praktik lingual kalangan kaum muda
adalah faktor anutan berbahasa. Banyak
dari kalangan kaum muda yang ‘latah’
mengikuti semua aspek kehidupan dari
anutannya atau idolanya, termasuk
dalam hal berbahasa. Hampir di setiap
acara televisi, terlihat praktik berbahasa
dari kalangan selebritis yang sering
menggunakan bahasa gaul. Fenomena
lingual tersebut kemudian diikuti dan
ditiru oleh kalangan kaum muda, baik
dalam pergaulan di dunia nyata maupun
dalam pergaulan di jejaring sosial media.
Kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi juga menjadi faktor
lain yang melatarbelakangi adanya
kreativitas linguistis pada praktik lingual
di kalangan kaum muda. Kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi
ini menjadi pendorong percepatan dan
penyebaran bahasa gaul di kalangan
kaum muda. Perkembangan yang
ada dilihat dari tingginya intensitas
penggunaan alat-alat komunikasi dan
teknologi, seperti televisi, telpon, dan
Jurnal Sosioteknologi | Vol. 17, No 2, Agustus 2018244
gawai. Barang-barang tersebut dewasa
ini tidak lagi dipandang sebagai barang
yang hanya dimiliki oleh kalangan
orang kaya atau orang perkotaan, tetapi
sudah banyak dimiliki oleh orang yang
tinggal di perkampungan dan perdesaan.
Dengan kata lain, alat-alat komunikasi
tersebut dianggap telah menjadi sarana
penyebaran bahasa gaul yang paling
efektif dan esien.
Faktor terakhir yang
melatarbelakangi adanya kreativitas
linguistis di kalangan kaum muda adalah
adanya keinginan untuk menciptakan
varian (bahasa Indonesia) yang dapat
menunjang ekspresi perasaan, pikiran,
dan identitas lingual penuturnya. Para
kaum muda memandang bahasa baku
(bahasa Indonesia formal) sebagai
bentuk bahasa yang rumit, kaku,
dan keformalannya menimbulkan
komunikasi yang berjarak. Bagi
kaum muda, praktik berbahasa adalah
praktik transfer informasi, sehingga
dalam penggunananya, bahasa harus
memiliki sifat mudah dipahami, mudah
digunakan, dan menimbulkan keakraban
antarpenuturnya pada saat praktik
komunikasi itu berlangsung. Berpijak
pada asumsi tersebut, diduga bahwa cara
pandang kaum muda telah mendorong
adanya kreativitas linguistis di kalangan
mereka. Mereka telah melakukan upaya
linguistis berupa pembentukan sistem
bahasa yang dianggap cocok dan relevan
dengan pemahaman dan pola pikir
mereka.
SIMPULAN
Bahasa gaul di kalangan kaum
muda pada dasarnya dapat dipahami
sebagai subragam informal dari bahasa
Indonesia. Hal ini terlihat dari evidensi
lingual di antara keduanya yang memiliki
unsur-unsur linguistik yang sama.
Meskipun demikian, bahasa gaul di
kalangan kaum muda memiliki identitas
leksikal yang menjadi ciri utamanya,
yaitu
(1) Kata Normal
Dalam konteks komunikasi di
kalangan kaum muda, dapat ditemukan
istilah-istilah khas yang hanya berlaku
secara konvensional di kalangan
mereka saja, dan hanya dipahami oleh
anggota tutur kalangan tersebut. Jenis
kata ini dapat menjadi ciri pembeda
antara bahasa gaul di kalangan kaum
muda dengan bahasa Indonesia pada
umumnya. Dari segi pemakaian, jenis
kata ini mengandung kesan informal,
santai, dan bebas.
(2) Reduksionisme
Dalam konteks bentuk leksikal
dari bahasa gaul kalangan muda,
reduksionisme dapat dipahami sebagai
gejala lingual yang di dalamnya terdapat
upaya penyederhanaan pada bentuk kata-
kata tertentu. Gejala reduksionisme ini
pada masanya nanti menyebabkan kata
yang bersangkutan memiliki bentuk yang
berlainan dengan bentuk kata asalnya.
(3) Penyingkatan Kata,
Singkatan-singkatan tersebut
ada yang berasal dari kata-kata bahasa
Indonesia, bahasa daerah (bahasa Sunda,
bahasa Jawa, dan bahasa Betawi), serta
bahasa asing (bahasa Inggris).
(4) Akronimisasi.
Seperti halnya singkatan,
akronim-akronim tersebut ada yang
berasal dari kata-kata bahasa Indonesia,
bahasa daerah (bahasa Sunda, bahasa
Jawa, dan bahasa Betawi), serta bahasa
asing (bahasa Inggris).
Bahasa gaul di kalangan kaum
muda banyak mengadopsi istilah dari
campuran berbagai bahasa, terutama
bahasa daerah (bahasa Sunda, bahasa
Jawa, dan bahasa Betawi), bahasa
Indonesia, dan bahasa asing (bahasa
Inggris). Bahasa gaul di kalangan kaum
muda juga dipandang sebagai kreativitas
Duddy Zein & Wagiati| Bahasa Gaul Kaum Muda..... 245
linguistis kaum muda dan identitas
lingual kelompoknya.
Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi munculnya kreativitas
linguistis di kalangan kaum muda, yaitu
(1) faktor esiensi berbahasa, (2) faktor
sosial-psikologis, (3) faktor anutan
berbahasa, (4) faktor kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi, dan (5)
faktor keinginan untuk menciptakan
varian (bahasa Indonesia) yang dapat
menunjang ekspresi perasaan, pikiran,
dan identitas lingual penuturnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A. & Agustina, L. (2004).
Sosiolinguistik perkenalan awal.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kridalaksana, H. (2008). Kamus
linguistik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Penny, R. (2011). Variation and change
in spanish. United Kingdom:
Cambridge University Press.
Martinet, A. (1987). Ilmu bahasa
pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Rahyono, F. X. (2015). Kearifan budaya
dalam kata. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra.
Suandi, I. N. (2014). Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudaryanto. (2015). Metode dan
aneka teknik analisis bahasa.
Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Sudaryanto. (2016). Cerdas menulis
karya tulis. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian
kuantitatif, kulitatif dan r & d.
Bandung: Alfabeta, CV.
Suhardi, B. (2009). Pedoman penelitian
sosiolinguistik. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.
Sumarsono. (2014). Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata, S. (2010). Metodologi
penelitian. Jakarta: PT Raja
Grando Persada.
Yule, G. (2006). The study of language.
United Kingdom: Cambridge
University Press.