ArticlePDF Available

MANGARU SEBAGAI SENI TRADISI DI LUWU

Authors:
  • Badan Riset dan Inovasi Nasional

Abstract

Penelitian ini bertujuan menjelaskan makna dan nilai dari tari tradisional Mangaru di Luwu. Proses pengumpulan data menggunakan metode kualitatif, yakni wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tari mangaru yang ditarikan oleh masyarakat subetnis Rongkong di Luwumenggambarkan keperkasaan pasukan prajurit Kerajaan Luwu pada masa dahulu. Tari Mangaru masih eksis hingga sekarang dan dipentaskan pada acara-acara resmi dan pernikahan. Keberadaan Mangaru secara tidak langsung menggambarkan adanya hubungan antara Kerajaan Luwu dengan subetnis Rongkong. Gerakan dankostum yang digunakan oleh penari Mangaru mengandung makna yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat sebagai tempat tumbuhnya tarian tersebut. Namun, kandungan yang paling kental adalah makna integrasi antarsubetnis yang ada di Luwu.
109 PB
MANGARU SEBAGAI SENI TRADISI DI LUWU
MANGARU AS A TRADITIONAL ART IN LUWU
Iriani
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221
Telepon (0411) 885119,883748,Fsksimile (0411) 865116
Pos-el: iriani_96@yahoo.com
Handphone: 081266169000
Diterima: 8 Januari 2016; Direvisi:23 Maret 2016; Disetujui: 30 Mei 2016
ABSTRACT
This study aims to explain the meaning and value of Mangaru traditional dance in Luwu. The process of collecting
data applies the qualitative methods, such as: interview, observation, documentation, and literature study. The
result shows that mangaru dance which is danced by the subethnics of Rongkong in Luwu depicts the braveness
of military troops of Luwu Kingdom in the past. The Mangaru dance still exists today and is staged on formal
occasions and weddings. The existence of mangaru indirectly describes the presence of relationship between
Luwu Kingdom and subethnics of Rongkong. The movements and costumes used by mangaru dancers have the
suitable meaning with the values of the people in which the dance is growing. However, the most content is the
integration within subethnics in Luwu.
Keywords: the Mangaru dance, subethnics of Rongkong, the military braveness, integration.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menjelaskan makna dan nilai dari tari tradisional Mangaru di Luwu. Proses pengumpulan
data menggunakan metode kualitatif, yakni wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tari mangaru yang ditarikan oleh masyarakat subetnis Rongkong di Luwu
menggambarkan keperkasaan pasukan prajurit Kerajaan Luwu pada masa dahulu. Tari Mangaru masih eksis
hingga sekarang dan dipentaskan pada acara-acara resmi dan pernikahan. Keberadaan Mangaru secara tidak
langsung menggambarkan adanya hubungan antara Kerajaan Luwu dengan subetnis Rongkong. Gerakan dan
kostum yang digunakan oleh penari Mangaru mengandung makna yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat
sebagai tempat tumbuhnya tarian tersebut. Namun, kandungan yang paling kental adalah makna integrasi
antarsubetnis yang ada di Luwu.
Kata kunci: tari Mangaru, subetnis Rongkong, keperkasaan prajurit, integrasi.
PENDAHULUAN
Setiap daerah memiliki seni tradisional
yang merupakan identitas daerah masing-masing,
seperti halnya di Luwu sebagai bekas kerajaan
tertua dan tersohor di Sulawesi Selatan. Kerajaan
tersebut sangat kaya dengan karya seninya, seperti
tari pajaga yang terdiri atas`beberapa macam,
yakni pajaga bone balla dan pajaga palili.
Selain itu juga ada seni tradisional mangaru.
Tari mangaru merupakan kesenian yang tumbuh
dalam lingkungan istana berkaitan dengan
kehebatan pasukan perang Kerajaan Luwu pada
zaman dahulu. Kemudian diabadikan menjadi
suatu kesenian yang cukup penting dalam
lingkungan istana.
Pelras (2006:226) mengatakan bahwa
mang’aru merupakan tarian yang pertunjukkan
oleh para prajurit sebelum berangkat ke Medan
perang dengan mencabut keris dengan mengayun-
ayunkannya serta mengucapkan semacam syair
sumpah setia kepada pemimpin mereka. Bahkan
Pelras mengatakan, bahwa dalam taraf tertentu
merupakan hiburan bagi kaum laki-laki, juga
merupakan medan untuk menguji kejantanan para
pemberani (to’warani).
110 PB
WALASUJI Volume 7, No. 1, Juni 2016: 109—121
Berkesenian merupakan media untuk
menuangkan ekspresi, buah pikiran, gagasan,
cita-cita dan rasa di setiap benak manusia.
Kesenian merupakan sebuah ruang bagi wacana,
tempat bersemayamnya pikiran dan rasa,
sehingga terjelma suatu kongurasi budaya yang
menyiratkan adanya pesan tertentu (Melalatoa
dalam Ariani, 2013:780). Pesan dan tujuan yang
ingin dicapai dalam berkesenian tertuang dalam
gerak, iringan percakapan/dialog, maupun kostum
yang dikenakan. Sehingga seringkali penonton
atau penikmat disuguhi sebuah pertunjukkan
yang harus dicerna secara langsung, ataupun
melalui bahasa simbol yang tersirat dalam
serangkaian pementasannya. Selain sebagai aspek
tontonan yang bersifat menghibur, seni tradisi
juga mengandung pesan, mengandung petuah,
tuntunan yang ingin diketahui oleh penonton
(Monoharto, 2003:6).
Karakter sebuah kesenian dipengaruhi
oleh jiwa zamannya juga mencerminkan
jiwa penciptanya. Demikian juga dengan tari
tradisional mangaru di Luwu yang dipengaruhi
oleh keberadaan raja. Karya tari yang diciptakan
bukan sekedar pertanda bahwa tari pernah ada
yang gampang hilang ditelan waktu, tetapi
merupakan ungkapan dari idealisme serta nilai-
nilai kejuangan dalam diri yang bersangkutan,
bernafaskan kepahlawanan dan nilai kejuangan.
Tari kerajaan merupakan kebudayaan yang penuh
dengan pendidikan yang berhubungan dengan
sistem nilai dan sistem simbol, karena gerak tari
merupakan sebuah simbol yang memuat nilai.
Menurut Sodarno dalam Sunaryadi (2012:486)
seni merupakan suatu hasil karya cipta manusia,
dijadikan sebagai media komunikasi untuk
mengkomunikasikan seperangkat nilai yang
berhubungan dengan masalah moral, sosial, dan
spiritual.
Menurut Iriani (2011:40) seni tradisional,
seperti tari pajaga bone balla dan tarian lainnya
yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
istana Kerajaan/Kedatuan Luwu bukan hanya
sebagai hiburan semata, namun mengandung
makna kewibawaan seorang raja/pajung yang
selalu mengingatkan tentang keseimbangan
(equilibrium) dalam kehidupan. Keseimbangan
yang dimaksud adalah keseimbangan antara
manusia dengan Tuhannya, keseimbangan antara
manusia dengan manusia, dan keseimbangan
antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Selain itu seni tradisional mangaru
merupakan bagian penting dari Kerajaan Luwu,
karena mengandung pesan-pesan pada orang
terdahulu. Oleh karena itu seni mangaru tidak
dapat ditiru oleh daerah lain karena memiliki
makna dan nilai historis bagi pemiliknya yang
tidak dimiliki oleh daerah lain. Selain itu tari
mangaru yang dimaksud dalam tulisan ini,
belum pernah ditulis oleh penulis seni tradisi
sebelumnya.
Sampai saat ini seni tradisi mangaru
masih dilakukan oleh orang Luwu, bahkan
dianggap sebagai kesenian yang sangat vital.
Sehingga mulai tahun 1981 tari mangaru
merupakan kesenian yang wajib di tampilkan
pada setiap festival keraton. Hal ini tentu sangat
terkait dengan keberadaan dan kejayaan kerajaan
Luwu pada masa lampau, yang mana tari mangaru
merupakan simbol ketangguhan pasukan perang
mengalahkan musuh untuk mempertahankan
kerajaan Luwu dari serangan musuh.
Kesenian sifatnya khas dan dapat
menimbulkan rasa bangga dan dapat memberikan
identitas pada sebagian warga masyarakatnya
(Koenjaraningrat dalam Moersid, 20001:3). Oleh
karena itu, adanya kekhawatiran akan kehilangan
identitas, akibat maraknya seni kontemporer, yang
mampu menggugah selera konsumen atau selera
pasar, khususnya para generasi muda. Maka seni
tardisional perlu dilestarikan, salah satunya adalah
dengan melakukan penulisan tentang makna
dan fungsi tari mangaru sebagai tari tradisional
di Luwu yang kaya akan pesan-pesan orang
terdahulu. Nilai patriotisme dan nilai persatuan
merupakan salah satu nilai yang ada dalam tari
mangaru, yang mana nilai-nilai tersebut sangat
penting dan relevan untuk diterapkan pada genersi
muda saat ini.
Beradasarkan latar belakang tersebut, maka
masalah penelitian ini ialah bagaimana eksisitensi
tari mangaru saat ini terkait dengan maraknya
seni kontemporer yang begitu digemari oleh
generasi muda? Apa fungsi dan bagaimana makna
mangaru pada masyarakat Luwu?
111 PB
Adapun tujuan penelitian ini adalah ingin
menginterpretasi dan menganalisis eksisitensi
tari mangaru saat ini dan mendeskripsikan serta
menganalisis fungsi dan makna tari mangaru
pada saat ini.
Menurut Ahimsa Putra (2004:6) tradisi
merupakan sejumlah kepercayaan atau praktek
yang diwariskan dari generasi ke generasi tidak
melalui tulisan (biasanya secara lisan atau lewat
contoh tindakan), yang diterima oleh suatu
masyarakat atau komunitas sehingga menjadi
mapan dan mempunyai kekuatan hukum. Apabila
dikaitkan dengan kesenian, maka kesenian
tradisional merupakan salah satu praktek yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut
Melalatoa dalam Moersid (2001:3) bahwa
kesenian merupakan ruang bagi wacana tempat
bersemayamnya pikiran dan rasa sehingga
terjelma satu kongurasi budaya. Pikiran dan rasa
yang sifatnya abstrak ini bisa merupakan wacana
individual, wacana individual sebagai anggota
masyarakat.
Kebudayaan merupakan keseluruhan tanda
atau simbol yang digunakan oleh manusia dalam
hidupnya untuk mempertahankan keberadaannya
sebagai mahluk hidup yang diperolehnya dalam
kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat
atau komunitas. Tanda atau simbol dapat dibagi
atas dua aspek yakni:(1) hal-hal yang abstrak,
seperti ide-ide, pengetahuan, nilai-nilai, norma,
dan aturan yang dapat dilihat, karena tersimpan
sebagai pengetahuan yang ada dalam pikiran, (2)
yang agak abstrak seperti perilaku dan tindakan
(Ahimsa Putra, 2004:3).
Hal itu dapat di artikan bahwa kebudayaan
manusia baik pada tataran wujud gagasan
(ideas), tataran perilaku dan tindakan (activities),
dan tataran wujud benda-benda (artifacts)
diekspresikan melalui gagasan-gagasan nilai-
nilai, dan simbol-simbol. Dapat dikatakan bahwa
kebudayaan terdiri atas pola-pola yang nyata,
maupun tersembunyi. Perilaku atau hasil tindakan
akan mempengaruhi tindakan selanjutnya dan
lahir secara berpola..
Bahasa sebagai salah satu unsur
kebudayaan merupakan simbol yang terpenting
dalam kehidupan manusia. Namun selain
menggunakan sistem simbol berupa suara yang
keluar dari mulut untuk berkomunikasi, manusia
juga memanfaatkan sistem simbol yang lain
untuk menyatakan perasaan-perasaan, ide-ide,
pengetahuan atau pandangan-pandangannya
yang semuanya dapat disebut sebagai ”pesan”,
seperti gerak, dan bunyi-bunyian. Sitem simbol
dan tanda-tanda budaya dapat dianalisis seperti
yang digunakan oleh para ahli bahasa. Analisa
ini digunakan untuk mengungkap makna-makna
yang dianggap ada dibalik benda tersebut. Adapun
analisa yang digunakan mengikuti jalur simbolis
atau semiotis.
Menurut Ahimsa Putra (2002:3) analisa
simbolis ditujukan untuk menyingkap makna
dari berbagai macam simbol yang bersifat
disadari, sedangkan analisa semiotis adalah untuk
mengungkapkan makna dibalik benda-benda
kebudayaan yang bersifat kurang disadari. Simbol
yang paling dasar adalah bahasa atau bunyi yang
keluar dari organ mulut manusia kemudian diberi
makna.
Seperti halnya dengan tari mangaru yang
berasal dari sastra rakyat yang hidup secara lisan
dan termasuk dalam folklor. Rusyana dalam
(Sunaryo, 2014:2) menyatakan sastra rakyat
dalam arti folklore tidak mempunyai naskah.
Cerita rakyat sebagai bagian dari folklore
merupakan bagian dari persediaan cerita yang
telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat,
baik masyarakat yang telah mengenal huruf
maupun masyarakat yang belum mengenal
huruf. Hal ini juga dipertegas oleh william
dalam (Sunaryo, 2014:5) folklore is the body of
expressive culture, including tales, music, dance.
Legends, oral history, proverbs jokes, popular
beilefs, customs, and so forth within a particular
population comprising the traditions (incuding
oral tradisicions) of that culture, subculture or
group, it is also the set of practices through which
those expressive genres are shared.
Pendapat di atas cukup jelas bahwa budaya
oral tidak tertulis yang disampaikan dari mulut
ke mulut dari generasi ke generasi dalam bentuk
lagu/ syair dan tari mangaru termasuk dalam
folklor.
112 PB
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif deskriptif. Selain itu juga menggunakan
pendekatan diakronik. Untuk memperoleh
data tentang tari mangaru sebagai salah satu
kesenian tradisional di Luwu, maka ada beberapa
teknik yang digunakan untuk menjaring data,
yakni melakukan wawancara secara intensif
terhadap para informan yang telah dipilih secara
purposive, dengan kriteria orang tersebut dianggap
mampu dan bersedia memberikan informasi
sesuai dengan substansi penelitian. Melakukan
observasi (pengamatan) terhadap lingkungan
sosial dan benda-benda digunakan pada saat tarian
berlangsung, selain itu juga membandingkan
antara hasil wawancara dengan kenyataan yang
terjadi (triangulasi). Untuk mendukung data
primer, maka dilakukan studi pustaka dengan
membaca literatur-literatur atau tulisan yang
berkaitan dengan substansi penelitian.
Data yang diperoleh dari wawancara,
observasi dan dokumentasi dianalisis secara
kualitatif. Analisis data terdiri atas tiga alur
kegiatan secara bersamaan, yakni reduksi
data, menyederhanakan data yang diperoleh
dengan mengklasikasi, penyajian data dengan
membuat abstraksi dengan menghubungkan
atau membandingkan dengan teori yang ada dan
penarikan kesimpulan.
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Palopo dulunya merupakan ibu kota
kabupaten Luwu, namun setelah dimekarkan
menjadi empat kabupaten, yakni Luwu, Palopo,
Luwu Utara, dan Luwu Timur, maka saat ini
kota Palopo berdiri sendiri. Kota Palopo selain
berdiri sendiri, juga merupakan bekas Kedatuan
Luwu yang dibuktikan dengan adanya bekas
istana bangunan Belanda dan masjid tua yang
dikenal dengan masjid Jami’. Istana tersebut
menjadi simbol keberadaan Kedatuan Luwu
yang merupakan pusat kebudayaan Luwu,
sehingga segala seni tarisi yang tumbuh dan
berkembang di Luwu selalu terkait dengan
keberdaan Kedatuan Luwu, seperti halnya tari
mangaru yang merupakan gambaran prajurit
Kedatuan Luwu pada masa lampau.
Pada awal terbentuknya kota Palopo
sebagai daerah otonom, maka secara administrasi
pemerintahan, Kota Palopo memiliki 4 (empat)
wilayah kecamatan dan 19 Kelularah, serta 9
desa. Seiring perkembangan jumlah penduduk,
maka pada tahun 2006 hingga saat ini, wilayah
Kecamatan Kota Palopo dimekarkan menjadi 9
Kecamatan dan 48 Kelurahan.
Jumlah penduduk Kota Palopo sekitar tahun
2015 tercatat sebanyak 152.703 jiwa, secara terinci
menurut jenis kelamin masing-masing 74.870
jiwa laki-laki dan 77.833 jiwa perempuan, dengan
demikian maka Rasio Jenis Kelamin sebesar
96,19 angka ini menunjukkan bahwa bilamana
terdapat 100 penduduk perempuan ada 96-97
penduduk laki-laki, atau dengan kata lain bahwa
perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan
di Kota Palopo pada Tahun 2012 sudah mendekati
1 banding 1. Dengan pertumbuhan penduduk
pertahun rata-rata sebesar 1,20 persen.
Berdasarkan keyakinan, penduduk Kota
Palopo beragama Islam. Sekitar 85% dari
jumlah penduduk Kota Palopo beragama Islam.
Masyarakat Palopo telah memeluk Islam sejak
zaman Kerajaan yang dibuktikan dengan hadirnya
masjid tua (jami’) di tengah Kota Palopo. Dari
segi etnis, masyarakat Kota Palopo sangat
heterogen yang terdiri atas beberapa etnis dan sub
etnis, diantaranya adalah Bugis, Toraja dan sub
etnis Rongkong. Namun sub etnis lebih dikenal
dengan istilah orang Rongkong. Etnis Rongkong
inilah yang mengembangkan tari mangaru yang
ada saat ini.
Kota Palopo juga merupakan salah satu
basis orang Rongkong. Bahkan di beberapa tempat
di Kota Palopo, seperti di Desa Mancani, Tellu
Wanua dihuni oleh mayoritas orang Rongkong
yang mengungsi dari Kampung mereka akibat
peristiwa DI/TII. Setelah situasi aman sebagian
dari mereka memilih tetap hidup di Kota Palopo
(Saprillah,2012:35).
Secara hstoris orang Rongkong merupakan
garda terdepan pada pasukan perang Kedatuan
Luwu untuk melawan musuh, sebab orang
Rongkong dianggap sebagai orang yang kuat dan
pemberani. Oleh karena itu maka orang Rongkong
WALASUJI Volume 7, No. 1, Juni 2016: 109—121
113 PB
dijadikan sebagai pasukan perang pada Kedatuan
Luwu pada masa dahulu (Pangeran, 2011:13).
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Palopo dalam pergaulan sehari-hari terdiri atas
bahasa Bugis (Ware ) dan bahasa Ta e (termasuk
di dalamnya bahasa Rongkong dan Toraja).
Bagi anak muda menggunakan bahasa Indonesia
berdialek Palopo.
Stratikasi Sosial
Dalam masyarakat tradisional secara realitas
proses pelapisan sosial umumnya ditentukan oleh
faktor yang bersifat mitos yang berkaitan dengan
unsur-unsur yang bersifat “supranatural”. Kondisi
sosial dan pemikiran demikian merupakan suatu
hal umum yang terjadi atau berlaku pada semua
kelompok etnis yang terdapat di Indonesia
termasuk di Luwu. Seperti adanya ‘to manurung
yang dianggap sebagai pemimpin pertama yang
ada di Luwu dan keturunannyalah yang saat ini
masih dianggap bangsawan.
Menurut Keterangan dari salah seorang
informan (wawancara dengan Andi Sanad Kaddi
Raja, 22 Februari 2011), bahwa masyarakat
Luwu mengenal adanya stratikasi sosial atau
lapisan sosial menurut dimensi kekuasaan sebagai
dimensi yang cukup menonjol pada masa dahulu.
Dalam suatu garis kontinum, lapisan-lapisan itu
dapat dilihat sebagai berikut.
Lapisan atas: 1. Opu
Lapisan Menengah: 2. Daeng
Lapisan bawah: 3. To maradeka
4. Kaunang (ata)
Perbedaan antara lapisan sosial di atas
dengan menengah tidak terlalu signikan, yakni
antara opu dengan daeng. sebab daeng masih
mempunyai darah bangsawan. Walaupun dalam
aturan adat luwu, daeng tidak bisa menjabat
sebagai pajung. Akan tetapi perbedaan antara
lapisan atas dengan lapisan bawah, benar-benar
jauh berbeda, seperti antara opu dengan kaunang
dan kaunang tai manu. Seorang kaunang merasa
sangat kecil di hadapan seorang opu, yang
dapat dilihat pada saat berinterkasi. Selain itu
dapat dilihat pada saat upacara adat, baik pesta
pernikahan, maupun pesta kematian.
Sudah jelas perbedaan kekusaan antara
opu dengan bukan opu itu cukup besar. Antara
daeng dengan opu marupakan lapisan yang cukup
berbeda, yakni keturunan daeng atau gelar daeng
sama sekali tidak bisa diangkat menjadi pajung,
walaupun pada dasarnya punya darah bangsawan,
namun karena ada salah satu anggota keluarganya
(ayah atau ibu) menikah dengan to sama atau
to maradeka, maka darah kebangsawanannya
dianggap berkurang, sehingga ia hanya bergelar
daeng.
Antara opu dan to maradeka dianggap
mempunyai perbedaan yang sangat besar
dibanding antara daeng dengan opu. To maradeka
adalah dianggap sebagai keturunan orang biasa,
sama sekali tidak ada jalan untuk menjadi pajung,
sebab sama sekali tidak mempunyai darah
kebangsawanan.
Bagi kaunang (ata) dan kaunang tai manu
adalah posisi yang paling bawah dalam stratikasi
sosial di Luwu. Pada masa dahulu orang tersebut
sama sekali tidak punya tempat dalam sistem
kekerabatan para keturunan bangsawan. Selain
itu mereka sama sekali tidak punya akses untuk
menjadi pajung, maupun menikah dengan
keturunan pajung.
Menurut Chabot (1984:196), bagi
kelas sosial yang tinggi selalu berusaha
untuk mempertahankan batas-batas yang
keras antara kelas sosial yang lain secara
ketat. Walaupun demikian martabat orang
rendahan dapat menjadi tinggi martabatnya, bila
dia dapat menunjukkan hubungan
kekerabatan, meskipun sangat jauh dari
golongan yang bermartabat tinggi, sehingga
dengan demikian, maka dari sudut rakyat biasa,
tingkat-tingkat sosial tidak mutlak tertutup rapat.
Dapat juga, kesempatan ekonomi yang dimiliki
memungkinkan seorang untuk masuk dalam
lingkaran kekuasaan, baik secara
interaksional, maupun secara intergenerasional
yang dialami oleh anaknya. Dalam hubungan
secara interaksional, secara subyektif orang
yang bersangkutan tetap tahu diri.
114 PB
Eksistensi Tari Mangaru
Mangaru merupakan sebuah ekspresi seni
yang menggambarkan keperkasaan pasukan
perang Kedatuan Luwu pada masa lampau yang
terdiri atas beberapa gerakan, sehingga disebut
dengan tari mangaru, sementara penarinya sendiri
disebut pangaru. Tarian tersebut menceritakan
jalannya peperangan yang penuh dengan semangat
yang berapi-api.
Tari mangaru tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat Luwu, khususnya pada sub
etnis Rongkong. Secara historis etnis Rongkong
merupakan pasukan perang Kedatuan Luwu yang
cukup tangguh, sehingga diletakkan pada garda
terdepan unyuk melawan musuh dari berbagai
penjuru. Walaupun tari mangaru tumbuh dan
berkembang di kalangan etnis Rongkong, namun
tarian tersebut eksis karena Kedatuan Luwu.
Tarian tersebut tidak dapat dipisahkan dengan
keberadaan kedatuan Luwu, bahkan menjadi icon
kedatuan Luwu sampai saat ini. Hal ini dapat
dilihat ketika festival keraton yang mengharuskan
penampilan tari mangaru.
Mengenai kapan tari mangaru mulai ada,
tidak diketahui pasti, namun tarian mangaru ini
diperkirakan mulai ada sejak zaman dahulu. Tarian
tersebut hidup di tengah masyarakat Luwu,yang
dijadikan sebagai penyemangat pasukan perang
ketika akan berangkat berperang.
Ada versi yang mengatakan, bahwa asal
usul tari mangaru berasal dari kemenangan
seorang pasukan perang Kerajaan Luwu pada
saat berperang melawan musuh, yakni ketika
seorang panglima perang pergi berperang
dan mengalahkan musuhnya. Sebagai bukti
kepada Datu Luwu, bahwa ia mengalahkan
musuhnya maka ia membawakan sepenggal
kepala ke hadapan datu, namun setelah pasukan
perang tersebut tiba di hadapan datu atau
raja, maka kepala tersebut bergerak-gerak di
dalam gendongan pasukan perang si pembawa
sepenggal kepala, namun untuk mengelabui
mata yang melihatnya agar tidak terlihat bahwa
kepala tersebut bergerak, maka si pembawa
sepenggal kepala tersebut menari-nari untuk
menghindari gigitan kepala yang ada di dalam
sarung dan disimpan di belakangnya. Selain
menari-nari untuk menghindari gigitan kepala,
juga untuk mengelabui orang yang melihatnya
agar tidak ketahuan kalau ia menghindari
gigitan kepala tersebut. Peristiwa inilah yang
menjadi cikal bakal tari mangaru hingga saat ini.
Benar atau tidaknya cerita tersebut tidak dapat
dibuktikan, namun inilah yang berkembang dan
dikenal oleh masyarakat, khususnya penari tari
mangaru. Walaupun tarian tersebut masih dalam
perdebatan, ada yang mengatakan tarian ini
bukan berkembang dalam istana kedatuan Luwu
karena tarian ini tidak tercantun dalam naskah La
Galigo, sehingga ada yang mengatakan, bahwa
tarian tersebut muncul secara politis, yakni untuk
mempertahankan eksisitensi Kedatuan Luwu.
Versi lain mengatakan, bahwa tari mangaru
ada sejak zaman dahulu, walaupun berkembang di
komunitas Rongkong. Dilaksanakan pada setiap
desa yang ada di Rongkong, oleh karena itu, maka
merekalah yang mengerti dan memahami tarian
tersebut. Salah seorang pangaru yang sangat
terkenal di Luwu adalah almarhum Subenteng.
Ia sangat memahami seluk beluk tari mangaru.
Sehingga ialah yang melatih seseorang untuk bisa
menjadi pangaru.
Ada beberapa informan yang mengatakan,
bahwa pada zaman dahulu tari mangaru dijadikan
penjemput tamu raja atau datu. Sehingga sebelum
tamu menemui datu, mereka harus menyaksikan
tari mangaru terlebih dahulu sebagai tanda
penghormatan.
Tari mangaru terdiri atas penari laki-laki
dan penari perempuan. Penari laki-laki disebut
dengan istilah pangaru dan penari perempuan
disebut dengan panggiding atau penyemangat.
Jumlah penari laki-laki sekitar 8 orang, sementara
jumlah penari perempuan sekitar 12 orang.
Dikatakan bahwa semakin banyak jumlah penari
perempuan atau pangngiding semakin baik, sebab
semakin semarak tarian tersebut. Begitupun
sebaliknya, apabila pangngiding sedikit maka
tarian mangaru tidak bisa semarak.
Peralatan Musik
Peralatan yang digunakan ketika
pementasan tari mangaru berlangsung diiringi
oleh alat musik yang sederhana berupa gendang
WALASUJI Volume 7, No. 1, Juni 2016: 109—121
115 PB
dan gong. Biasanya gendang yang digunakan pada
saat pementasan berlangsung terdiri atas 2 buah
gendang dan 2 buah gong. Namun kadangkala
pula hanya terdiri atas satu gendang dan satu
gong, sebab kondisi gendang dan gong sangat
terbatas. Gendang merupakan alat penyemangat
penari, sehingga apabila gong dan gendang tidak
ada maka tarian tersebut tidak hidup.
Kostum Pemain
Berkaitan dengan pakaian atau kostum yang
dikenakan oleh penari, ada dua macam, yakni
kostum yang digunakan oleh penari (pangaru)
dan kostum yang digunakan oleh pengiring atau
pangngiding. Pada kelompok penari (pangaru),
pakaian yang dikenakan menyerupai pakaian
prajurit kerajaan. Berupa pakaian baju berwarna
hitam dikombinasi dengan putih dengan memakai
celana berwarna merah dengan kombinasi kuning
dan hitam. Pada bagian dada ke bawah dihiasi
dengan renda yang menyerupai lipatan-lipatan
kain berwarna putih dan baju bagian pergelangan
tangan juga dihiasi renda putih menyerupai
lipatan-lipatan kain berwarna putih. Baju yang
digunakan oleh pangaru disebut dengan baju
pitting. Kelompok pangaru/penari memakai
celana sebatas lutut berwarna merah dengan
kombinasi celana bagian bawah dengan warna
hitam dan renda kuning keemasan. Celana yang
digunakan oleh pangaru dikenal dengan sulara
tallung buku. Disamping itu kelompok penari
laki-laki (pangaru) dilengkapi dengan sepu-sepu/
kandu-kandu sariawan atau tas salempang. Juga
dilengkapi dengan songko atau topi yang dihiasi
menyerupai tanduk kerbau yang diujung tanduk
masing-masing dihiasi dengan bulu ayam.
Pelengkap yang paling utama pada
kelompok penari (pangaru) adalah parang
(kalewang) adalah parang tua yang berasal
dari Rongkong yang menurut kepercayaan
masyarakat Rongkong dianggap keramat dan
mengandung racun yang berbahaya, sehingga
apabila digunakan dan mengenai seseorang, maka
orang tersebut bisa meninggal dunia. Oleh sebab
itu, maka parang yang sebenarnya tidak digunakan
lagi dalam pementasan, dan diganti dengan parang
yang terbuat dari kayu (parang-parangan).
Gambar 1
Kostum dan perlengkapan pangaru
Gambar 2
penangkal, pangkat, sepu-sepu, dan sindekker
Bagi penari pengiring (pangngiding)
menggunakan baju berwarna hijau dengan
kombinasi kuning keemasan dan ikat pinggang
(salipi) berwarna putih strep biru. Baju tersebut
dikenal dengan baju sakkala. Bagian bawah
menggunakan kain sarung berwarna biru
kombinasi warna merah dan kuning keemasan
(sarung garus), serta memakai sundekker di
kepala. Kelompok penari pangngiding juga
dilengkapi dengan kalung (rara), serta anting-
anting berwarna keemasan. Sementara di bagian
sanggul dilengkap dengan hiasan dari bulu ayam
yang dikenal dengan lajung-lajung.
Selain itu kelompok penari perempuan
dilengkapi dengan panah atau tombak yang
dihiasi dengan bulu-bulu ayam. Ketika memberi
semangat kepada pangaru, panah tersebut
digunakan memanah ke atas dan bawah.
Gerakan dalam Mangaru
Pementasan tari mangaru berlangsung
selama kurang lebih 15 menit, di dalamya terdiri
atas beberapa gerakan yakni tarian pangaru itu
116 PB
sendiri dan tarian pangngiding (pengiring). Pada
tarian pangaru ada empat macam gerakan, yakni
(1) sipangatta (2) sijalling, (3) sigerengngi, dan
(4) siambai. Sementara tarian pangngiding terdiri
atas enam macam gerakan, yakni (1) mangatta, (2)
sijalling, (3) silurui, (4) sambaii, (5) kallo-kallo,
(6) kiki.
Sipangatta
Sipangatta merupakan gerakan tari mangaru
yang pertama yang berarti gerakan bersiap-siap.
Para pasukan yang akan berperang diharapkan
melakukan persiapan dalam rangka melawan
musuhnya.
Sijalling
Merupakan gerakan melirik kepada lawan
yang mengisyaratkan bahwa perlawanan akan
siap dilakukan, jangan sampai ada diantara
mereka yang tidak siap untuk bertarung.
Sigerengngi
Merupakan gerakan saling mengelilingi
seperti seekor ayam yang akan bertarung.
Siambai
Merupakan gerakan saling berperang
atau berkelahi mengadu kekuatan. Gerakan
ini merupakan puncak dari semua gerakan
dalam tarian mangaru. Pada saat pementasan
berlangsung para pangaru saling menghenyuskan
parangnya. Oleh karena itu pada saat ini, mereka
tidak lagi menggunakan parang betulan, sebab
setelah kelompok pangaru mengalami trance
mereka akan memperlakukan lawannya seperti
lawan yang sebenarnya, sehingga bisa saja
melukai lawannya apabila parang yang digunakan
adalah parang betulan. Hal tersebut pernah terjadi,
sehingga digantikan dengan parang yang terbuat
dari kayu yang menyerupai parang betulan
(kalewang).
Hal yang umum dijumpai pada pentas
seni tari adalah adanya suatu acara puncak atau
klimaks. Walaupun tekanan dan sebab yang
menempatkan suatu episode ke dalam posisi
puncak berbeda-beda antara satu kesenian dengan
kesenain lainnya. Demikian juga halnya dengan
tari mangaru, dia juga memiliki acara puncak
diantara serentetan atraksi yang ditampilkannya.
Atraksi tersebut tatkala diantara para pemain ada
yang mengalami trance.
Sedangkan para penari pengiring atau
pangngiding juga memiliki gerakan yang
tujuannya adalah memberi semangat kepada
kelompok pangaru. di antaranya adalah (1)
mangatta, (2) sijalling, (3) siambai, (4) silurui,
(5) kallo-kallo, (6) kiki..Gerakan mangatta,
sijalling, silurui dan siambai merupakan gerakan
yang seperti dilakukan oleh pangaru untuk
menyemangati para pangaru. Kemudian gerakan
kiki yakni gerakan yang menyerupai burung yang
terbang di udara, dan mengepak-ngepakkan
sayapnya. Kemudian gerakan kallo-kallo yaitu
gerakan terbang di udara dengan sesuka hatinya
tanpa beraturan.
Selain itu penari pengiring (pangngiding)
juga mempunyai gerakan menombak ke samping
dan tombak ke atas, sebagai support kepada
pangaru, yang mana memperlihatkan kepada
pangaru bahwa perempuan saja bersemangat
kenapa laki-laki tidak. Pada saat tarian berlangsung,
para pangngiding membagi dua bagian, sehingga
apabila pangngiding hanya sedikit, maka tarian
tersebut kurang meriah.
Fungsi Mangaru
Sesuai dengan penjelasan di atas, bahwa
pada zaman dahulu tarian ini digunakan untuk
menyambut raja, jadi ketika ingin menghadap raja
terlebih dahulu diadakan tari mangaru. Sehingga
dapat dikatakan, bahwa pada zaman dahulu tari
mangaru berfungsi sebagai penjemput tamu.
Dasar teori fungsi yang dikembangkan
oleh Malinowski dalam bukunya yang berjudul
Ascientic Theory of culture and other Essay,
menyatakan bahwa teori fungsi unsur-unsur
kebudayaan sangat kompleks. Namun inti dari
teori itu adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan
sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk
manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupan. Kesenian sebagai contoh dari salah
satu unsur kebudayaan terjadi karena mula-mula
WALASUJI Volume 7, No. 1, Juni 2016: 109—121
117 PB
manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya
akan keindahan (Koentjaraningrat, 1980:171).
Budisantoso dalam Martarosa (2002:18)
mengemukakan, bahwa pentingnya arti kesenian
sebagai ungkapan keindahan, sesungguhnya juga
karena ia memiliki delapan fungsi sosial, yakni :
(1) sebagai sarana kesenangan, (2) bersantai atau
hiburan; ungkapan jati diri,(3) sarana jati diri,
(4) sarana integratif, (5) sarana penyembuhan
(therapeutic signicance), (6) sarana pendidikan,
(7) sarana integrasi dalam masa kacau (8) lambang
yang penuh makna dan mengandung kekuatan.
Selanjutnya Sudarsono melihat fungsi seni
terutama dari hubungan praktis dan integritasnya,
mereduksi menjadi tiga fungsi utama, yakni (1)
untuk kepentingan sosial atau sarana upacara, (2)
sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat
menghibur diri, (3) sebagai penyajian estetik.
Malinowski (dalam Koentjaraningrat,
1980:171), bahwa segala aktivitas kebudayaan
dilkukan untuk memberikan kepuasan, yakni
rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia
yang berhubungan dengan seluruh kehidupan.
Kemudian Malinowski membagi fungsi sosial
dalam tiga tingkatan abstraksi, yakin (1) fungsi
sosial dari suatu adat, pranata sosial atau usnsur
kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama
mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat,
tingkah laku manusia dan pranata sosial yang
lain dalam masyarakat, (2) fungsi sosial dari
suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh
atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau
pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti
yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat
yang bersangkutan, (3) fungsi sosial dari suatu
adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi
ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap
kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara
terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Terkait dengan fungsi yang telah
dikemukakan di atas, Merriam juga mengemukakan
beberapa fungsi kesenian dalam bukunya yang
berjudul The antropologi if music, yakni : (1)
sebagai hiburan, (2) pengintegrasian Masyarakat,
(3) komunikasi, (4) ekspresi emosional (Martarosa,
2002:26).
Kemudian Liliweri (2014:356)
mengatakan ada beberapa fungsi seni, yakni (1)
fungsi kognitif-karya seni menginformasikan
tentang apa yang diketahui oleh seniman mengenai
segala sesuatu disekitar kita, (2)fungsi estetika-
karya seni, kurang atau lebih menyampaikan
kepada kita suatu karya yang harmonis, hal
kesenangan, dan sensasi keindahan, (3) fungsi
prognosis-para seniman menggambarkan tentang
masa depan apa yang mereka melihat, masa depan
seperti apa, mereka bisa benar, tapi mereka juga
bisa salah, (4) fungsi rekreasi-seni membuat kita
berkir tentang apa yang dihasilkan seniman,
bukan tentang realitas dari apa yang dilukiskan,
(5) fungsi nilai- apa nilai yang dihasilkan oleh
seniman, suka atau tidak suka, namun seniman
menampilkan aktivitas manusia, dan ini bisa
terlihat dalam karya-karya seniman, (6) Fungsi
didaktik-pesan apa yang disampaikan oleh
seniman melalui karyanya, apakah kritik atau
perubahan politik yang ingin dicapai seniman.
Bertitik tolak dari beberapa teori fungsi
yang spesik telah dikemukakan di atas, maka
fungsi mangaru dalam masyarakat Luwu, yaitu:
Hiburan
Terkait dengan fungsi seni sebagai hiburan
dalam masayarakat, Merriam dalam Martarosa
(2002:25) mengemukakan, music provides an
entertainment function in all societies. It needs
only to be pointed out probably be drawn between
“pure” entertainment, which seems to be a
particular feature of music in Western society,
and entertainment combined with other functions.
The latter may well be a more prevalent feature
of nonliterature societies.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa fungsi
pertunjukan tari mangaru dalam masyarakat
Luwu sebagai hiburan pada saat upacara adat
berlangsung. Komposisi gerakannya antara
gerakan pangaru dan dan pangnggiding
menciptakan suasana haru dan meriah. Disamping
dapat memberikan hiburan kepada orang-orang
yang ada di sekitar pelaksanaan upacara, termasuk
para kerabat penyelenggara upacara.
118 PB
Pengintegrasian Masyarakat
Terhibur atau tidaknya seseorang oleh
pertunjukan seni hampir tidak terucap oleh
mereka. Hal ini secara umum dapat terlihat dan
tercermin dalam perilaku mereka yang penuh
semangat, suasana gembira, ceria dan penuh
canda dan gurau. Menurut Martarosa (2002:26)
inti perjuangan hidup manusia pada dasarnya
adalah menentukan tata society gather to engage
in activities which require the cooperation and
coordination of in the group. Not all music is
thus performed, of course, but every society
has occasions signaled by music which draw its
members together and reminds them of their unity.
Memahami kutipan di atas, terlihat bahwa
fungsi musik atau seni adalah sebagai wadah
untuk berkumpul para anggota masyarakat
dan mengajak warga tersebut untuk turut serta
beraktivitas, serta mengingatkan mereka sebagai
satu kesatuan kelompok. Seperti pada tari
mangaru, dimana para pemainnya berasal dari
salah satu sub etnis yang ada di Luwu, yakni
sub etnis Rongkong, namun dalam pementasan
mangaru bukan dipentaskan pada kalangan etnis
Rongkong saja, akan tetapi dipentaskan pada
upacara adat di Luwu, yang dihadiri oleh berbagai
sub etnis, bahkan disaksikan oleh berbagai etnis
yang ada di Luwu. Oleh karena itu tari mangaru
tidak hanya mengitegrasikan antara tokoh adat dan
masyarakat biasa, serta dari kalangan bangsawan
dan bukan bangsawan, namun mengiegrasikan
semua etnis yang ada di Luwu.
Ekspresi Emosional
Pada umumnya seni ataupun tarian, maupun
musik merupakan ekspresi emosional para
pemainnya. Seperti yang diungkapkan oleh
Merriam dalam Martarosa (2002:29) bahwa there
is considerable evidence to indicate that music
function widely and on number of level as means
of emotional expression. In discussing song
texts, we have had accasion to point out that one
of their outstanding feature is the fact that they
provide avehicle for the expression of ideas and
emotions not veiled in ordinary discourse. On
amore general level however, music seems clearly
to involved with emotion and to be a vehicle for
its expression, wether such emotion be special.
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa
musik atau seni mempunyai daya yang besar
sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa/emosi
para penyaji musik yang dapat menimbulkan rasa
emosi bagi para penonton . Namun rasa yang
diungkapkan para penonton beraneka ragam,
diantaranya ada rasa sedih, gembira, rasa rindu,
dan rasa tenang.
Konsep tersebut di atas juga sangat terkait
dengan fungsi tari mangaru sebagai tarian
tradisional yang dapat dijadikan sebagai sarana
ekspresi emosi dalam budaya masyarakat
Luwu. Misalnya ketika penonton menyaksikan
pementasan mangaru maka akan tergugah
emosional para penonton dan rasa yang
ditimbulkan bermaam-macam.
Komunikasi
Mangaru merupakan tarian yang banyak
mengadung makna dan nilai. Oleh karena itu,
tarian tersebut tidak hanya mengandung nilai
estetis akan tetapi juga sebagai sarana komunikasi
dalam masyarakat pendukung kebudayaan
tersebut, untuk menyampaikan pesan-pesan dari
leluhur mereka yang tidak dapat disampaikan
melalui komunikasi verbal, melainkan melalui
gerak tari. Seperti yang dikemukakan oleh
Meriam dalam Martarosa (2002:27) bahwa music
is not a universal language, but rather is shaped
in terms of the culture of which it is a part. In
the song texts it employs, it communicates direct
information to those who understand the language
in which it is couched. It conveys emotion, to
those who understand its idiom. The fact that
music is shared as human activity by all peoples
may mean that is communicates a certain limited
understanding simply by its existence.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa
musik disamping sebagai hiburan juga sebagai
sarana untuk menyampaikan pesan atau sebagai
sarana komunikasi. Namun tidak semua jenis
tari memiliki bahasa yang universal yang dapat
dimengerti oleh semua orang atau siapa saja,
karena setiap jenis tari atau musik lahir dan
WALASUJI Volume 7, No. 1, Juni 2016: 109—121
119 PB
tumbuh pada suatu masyarakat tertentu dengan
latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Politik
Eksistensi tari mangaru hingga saat ini
dan dijadikannya aicon pada saat Karajaan Luwu
mengikuti festival keraton merupakan suatu
apresiasi yang luar biasa bagi orang Rongkong
sebagai pemilik tarian tersebut. Namun disisi lain
ada unsur politisnya, diamana para bangsawan
bisa mempertahankan eksisitensinya sebagai
seorang keturunan bangsawan atau raja dengan
merangkul dan mempertahankan tari mangaru
sebagai tarian pasukan perang pada zaman dahulu
di kerajaan Luwu. Walaupun disisi lain dapat
diartikan, bahwa tarian tersebut bukan hanya milik
orang Rongkong namun milik semua orang Luwu.
Makna dari Mangaru
Mengacu Turner (dalam Rudito,2014:19)
simbol merupakan sesuatu yang dianggap,
dengan persetujuan bersama sebagai sesuatu
yang memberikan sifat alamiah atau mewakili,
mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas
yang sama atau dengan membayangkan dalam
kenyataan dan pikiran. Menurutnya, simbol
mempunyai tiga dimensi, yaitu:
1. Dimensi pemahaman (eksegetik), penafsiran
yang diberikan oleh informan asli kepada
peneliti, penjelasan atau interpretasi harus
digolongkan menurut ciri-ciri sosial dan
kualitas informan dalam hal ini kedudukan
status informan dalam masyarakat. Ada 3
dasar pemahaman yang dilakukan, yaitu
pemahaman nominal yaitu dasar pemberian
nama pada gejala yang tampak, pemahaman
substansial yaitu sifat-sifat alamiah dan
pemahaman faktual yaitu obyek.
2. Dimensi operasional, yaitu penafsiran
yang diungkapkan secara verbal dan
yang ditunjukkan secara situasional, yaitu
dimana, bagaimana, kondisi apa dan untuk
apa simbol tersebut diungkapkan.
3. Dimensi posisional, gejala yang mempunyai
banyak arti, artinya akan terkait dengan
gejala-gejala lainnya atau mempunyai relasi
dengan gejala-gejala lainnya.
Simbol adalah sarana komunkasi yang
kompleks yang seringkali memiliki beberapa
tingkatan makna”simbol” berbeda dari tanda,
simbol mempunyai banyak makna, sedangkan
tanda hanya memiliki satu makna. Budaya
manusia untuk mengungkapkan ideology tertentu,
struktur social, atau mewakili aspek-aspek budaya
tertentu. Artinya simbol menghadirkan makna
dari latar belakang budaya seseorang, dengan kata
lain, makna simbol tidak melekat pada simbol
itu sendiri, tetapi dari pembelajaran budaya
(Liliweri,2014:296).
Terkait dengan makna dan simbol, maka
tari mangaru mengandung beberapa makna dan
simbol, yakni:
Gerakan
Gerakan tari mangaru secara keseluruhan
dapat dimaknai sebagai suatu tarian yang
memperlihatkan bagaimana seorang prajurit
bertarung melawan musuh. Hal ini dapat dilihat
pada tahap-tahap gerakannya yang begitu
terstruktur, sehingga mereka tidak hanya berani
dan kuat melawan musuh tetapi juga sangat
menghargai lawannya, yakni mereka tidak
langsung menyerang musuhnya atau lawannya
ketika berhadapan, melainkan terlebih dahulu
memberi aba-aba agar lawannya juga siap
bertarung.
Dari tahap-tahap gerakan yang dilakukan
oleh pangaru selama pementasan berlangsung
juga dimaknai sebagai prajurit yang bersisat
kesatria dan tidak bersifat pengecut dan tidak main
keroyokan, melainkan satu lawan satu.
Kostum
Pada dasarnya setiap pakaian atau kostum
yang diguanakan oleh penari mengandung makna,
demikian pula halnya dengan pangaru. Baju
berwarna hitam yang digunakan oleh pangaru
dimaknai sebagai angkara murka, yakni siapa saja
musuh yang berani melawannya maka ia akan
mati. Sementara celana merah yang digunakan
dimaknai sebagai suatu keberanian untuk
bertarung melawan musuh. Kandu atau sepu-
sepu merupakan perlengakapan pakaian pada
zaman dahulu, sebagai tempat untuk menyimpan
120 PB
peraleratan yang kecil-kecil seperti sirih. Peralatan
tersebut dimaknai sebagai gambaran kehidupan
orang Rongkong pada zaman dahulu
Parang (kalewang)
Merupakan parang yang digunakan untuk
melawan musuh dimaknai sebagai suatu alat yang
dapat melukai musuh. Pesan ingin disampaikan
pada penggunaan parang tersbut adalah bahwa
masyarakat sub etnis Rongkong memiliki
peralatan atau parang yang sangat ampuh untuk
melukai atau memusnahkan musuhnya. Sebab
konon parang tersbut terbuat dari besi yang
berasal dari Kalewang, yaitu nama tempat yang
memiliki besi untuk dijadikan parang. Di samping
itu penggunaan kalewang juga merupakan simbol,
bahwa orang Rongkong memiliki kekayaan alam,
yaitu besi yang dapat dibuat parang.
Semua yang terungkap lewat gerak dan
tari merupakan simbol dari karakter yang hendak
ditampilkan. Adapun simbol-simbol yang
digunakan untuk mengungkapkan kekhasan-serta
perbedaan karakter atau tema untuk tari pada
dasarnya adalah yang diungkapkan secara kinetik
yaitu melalui gerak (Sedyawati, 2014:14).
Makna hanya dapat disimpan di dalam
simbol-simbol sakral lalu menghubungkan sebuah
antologi dan sebuah kosmologi dengan sebuah
estetika dengan sebuah moralitas. Kekuatan
khas simbol-simbol itu berasal dari kemampuan
mereka yang dikira ada untuk mengidentikasikan
fakta dengan nilai pada taraf yang paling
fundamental untuk memberikan pada sesuatu
yang bagaimanapun juga bersifat komprehensif.
PENUTUP
Belum diketahui secara pasti kapan
tari mangaru mulai ada di Luwu, namun yang
pasti tarian tersebut ada dan dikembangkan oleh
subetnis Rongkong. Keberadaan tari mangaru
mengingatkan kembali tentang masa lalu, dimana
subetnis Rongkong merupakan salah satu prajurit
Kerajaan yang begitu setia kepada raja. Walaupun
tarian ini bukan dikembangkan oleh keluarga atau
kerabat raja di Luwu, namun tari mangaru diakui
oleh kerabat raja sebagai bagian dari seni tradisi
di Kerajaan Luwu. Oleh karena itu keberadaan
tari mangaru selain berfungsi sebagai hiburan
juga berfungsi sebagai media komuikasi dan
sebagai alat integrasi di dalam masyarakat Luwu.
Selain itu secara politik keberadaan tari mangaru
menguatkan kembali eksistensi Kerajaan Luwu.
Walaupun tari mangaru tidak dikenal oleh semua
generasi muda Luwu, namun masih kalah dengan
kesenian kontemporer, dimana tari mangaru
selalu tampil pada acara-acara adat di Luwu dan
perayaan hari-hari besar di Luwu, seperti pada
ulang tahun Luwu dan bahkan setiap festival
keraton tari mangaru menjadi tarian wajib.
Selain itu tari mangaru tidak terlepas dari
makna-makna yang ditampilkan melalui gerakan
dan kostum yang digunakan pada saat pementasan
berlangsung. Oleh karena itu kesenian atau
seni tradisi mangaru merupakan media untuk
menyampaikan pesan-pesan kepada penonton
atau penikmatnya. Walaupun tidak semua
penonton dan penikmat mengerti maksud dari
pesan-pesan yang ingin disampaikan, yang mana
hanya dimengerti oleh pemilik kebudayaan itu.
Saran-Saran
Tari mangaru mengandung makna dan
ada nilai yang perlu dipertahankan hingga saat
ini, seperti nilai integrasi, patriotisme, solidaritas
dan kesetiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Christryati, 2013. Cowongan: Seni
Tradisi Pemanggilan Hujan Masyarakat
Banyumas, Jateng. Jurnal Patrawidya. Vol
14.No.4. Hal 615-838. Desember, Balai
Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta:
Yogyakarta.
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2002. Kearifan
Tradisional dan Lingkungan Sosial.
Makalah ini disampaikan dalam seminar
”harapan Seni Pertunjukan Dalam Masa
Globalisasi dan Desentralisasi” di UNY,
Yogyakarta, 5Oktober 2002.
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2004. Tari ”Serimpi”
Struktur dan imbolisme Jawa. Makalah ini
disampaikan dalam seminar sehari ”Forum
Peduli Tradisi” di selenggarakan oleh
Bidang Pelestarian dan Pengembangan
WALASUJI Volume 7, No. 1, Juni 2016: 109—121
121 PB
Kebudayaan. Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata, di Jakarta, 16 Februari 2004.
Iriani. 2011. Tari Pajaga Bone Balla Sebagai
Cermin Budaya Luwu. Dian Istana:
Makassar.
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi
I. Universitas Indonesia: Jakarta
Liliweri,Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan.
Penenrbit Nusa Media: Bandung
Monoharto, Goenawan. 2003. Seni Tradisonal
Sulawesi Selatan. Lamacca Press:
Makassar.
Moersid, Adhi, 2001. Pluralisme Budaya
dan Kesenian Nusantara. Makalah ini
disampaikan dalam seminar nasional
“Pluralisme Budaya dalam Kehidupan
Bangsa” di Sekolah Seni Indonesia Padang
Panjang, tanggal 1-5 September 2001.
Pelras, Christian. 2005. Manusia Bugis. Nalar
bekerjasama dengan forum Jakarta- Paris,
EFEO.
Sunaryadi. 2012. Filsafat Joged Mataram
Keraton Yogyakarta: relevansinya Bagi
penanaman Karakter Bangsa. Jurnal
Patrawidya. Vol 13.No.3. Hal 383-552.
September, Balai Pelestarian Nilai Budaya:
Yogyakarta
Sunaryo,Ayo. Internalisasi nilai-nilai tradisi
Pada penciptaan Tari Anak Berbudaya
Lokal.
Sedyawati, Edy. 2004. Kebudayaan di Nusantara.
Jakarta: Komunitas Bambu.
122 PB
WALASUJI Volume 7, No. 1, Juni 2016:
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
  • Christryati Ariani
Ariani, Christryati, 2013. Cowongan: Seni Tradisi Pemanggilan Hujan Masyarakat Banyumas, Jateng. Jurnal Patrawidya. Vol 14.No.4. Hal 615-838. Desember, Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta: Yogyakarta.
Makalah ini disampaikan dalam seminar "harapan Seni Pertunjukan Dalam Masa Globalisasi dan Desentralisasi" di UNY
  • Ahimsa Putra
  • Heddy Shri
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2002. Kearifan Tradisional dan Lingkungan Sosial. Makalah ini disampaikan dalam seminar "harapan Seni Pertunjukan Dalam Masa Globalisasi dan Desentralisasi" di UNY, Yogyakarta, 5Oktober 2002.
Makalah ini disampaikan dalam seminar sehari "Forum Peduli Tradisi" di selenggarakan oleh Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, di Jakarta
  • Ahimsa Putra
  • Heddy Shri
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2004. Tari "Serimpi" Struktur dan imbolisme Jawa. Makalah ini disampaikan dalam seminar sehari "Forum Peduli Tradisi" di selenggarakan oleh Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, di Jakarta, 16 Februari 2004.
Sejarah Teori Antropologi I. Universitas Indonesia: Jakarta Liliweri,Alo
  • Koentjaraningrat
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Universitas Indonesia: Jakarta Liliweri,Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Penenrbit Nusa Media: Bandung Monoharto, Goenawan. 2003. Seni Tradisonal Sulawesi Selatan. Lamacca Press: Makassar.
Makalah ini disampaikan dalam seminar nasional
  • Adhi Moersid
Moersid, Adhi, 2001. Pluralisme Budaya dan Kesenian Nusantara. Makalah ini disampaikan dalam seminar nasional "Pluralisme Budaya dalam Kehidupan Bangsa" di Sekolah Seni Indonesia Padang Panjang, tanggal 1-5 September 2001.
Filsafat Joged Mataram Keraton Yogyakarta: relevansinya Bagi penanaman Karakter Bangsa
  • Sunaryadi
Sunaryadi. 2012. Filsafat Joged Mataram Keraton Yogyakarta: relevansinya Bagi penanaman Karakter Bangsa. Jurnal Patrawidya. Vol 13.No.3. Hal 383-552.
Kebudayaan di Nusantara
  • Edy Sedyawati
Sedyawati, Edy. 2004. Kebudayaan di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.