ArticlePDF Available

Crowdfunding sebagai Bentuk Budaya Partisipatif pada Era Konvergensi Media: Kampanye #BersamaLawanCorona (Kitabisa.com)

Authors:

Abstract

Internet dan teknologi digital memberikan kemudahan bagi manusia untuk melakukan berbagai macam aktivitas yang semula dilakukan secara manual, bertatap muka, dan dengan keterbatasan jarak dan waktu. Dengan adanya teknologi-teknologi baru pada era digital yang terkoneksi dengan jaringan internet, manusia dapat terhubung dengan mudah meskipun terpisah oleh jarak. Akan tetapi, semua teknologi tersebut tidak memiliki arti tanpa ada manusia sebagai pengguna. Keberadaan dan kegunaan teknologi tergantung pada institusi dan budaya yang memungkinkan teknologi tersebut bertahan sehingga penting untuk mengkaji budaya partisipatif yang melingkupi teknologi itu. Ada empat bentuk budaya partisipatif yang dapat dikaji, yaitu afiliasi, ekspresi, pemecahan masalah secara kolaboratif, dan sirkulasi. Salah satu masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada 2020 adalah masalah pandemi Covid-19. Meningkatnya jumlah orang yang terdiagnosis positif Covid-19 dan korban meninggal menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat sehingga banyak orang yang membeli alat-alat kesehatan, seperti masker dan hand sanitizer, untuk melakukan pencegahan. Hal itu menyebabkan kelangkaan stok dan peningkatan tajam harga alat-alat kesehatan, padahal tenaga medis yang secara langsung menangani para pasien sangat membutuhkannya. Di tengah kesulitan dana untuk mencegah dan mengatasi penyebaran Covid-19, muncul kampanye penggalangan dana #BersamaLawanCorona yang dilaksanakan oleh platform crowdfunding Kitabisa.com yang bekerja sama dengan beberapa partners. Tulisan ini merupakan sebuah conceptual paper dengan metode kualitatif literature review yang berusaha membangun argumen hubungan logis antara konsep crowdfunding, budaya partisipatif, dan konvergensi media yang dikaitkan dengan kampanye penggalangan dana #BersamaLawanCorona yang diselenggarakan oleh Kitabisa (kitabisa.com) untuk membantu mengatasi masalah pandemi Covid-19 di Indonesia.
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19
1
Crowdfunding sebagai Bentuk Budaya Partisipatif pada Era Konvergensi
Media: Kampanye #BersamaLawanCorona (Kitabisa.com)
Dhyayi Warapsari
dhyayi.warapsari81@ui.ac.id
Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya 4, Jakarta, Indonesia
Submitted: 24 March 2020 Revised: 13 April 2020 Accepted: 13 Mei 2020
Abstrak
Internet dan teknologi digital memberikan kemudahan bagi manusia untuk melakukan berbagai macam
aktivitas yang semula dilakukan secara manual, bertatap muka, dan dengan keterbatasan jarak dan waktu.
Dengan adanya teknologi-teknologi baru pada era digital yang terkoneksi dengan jaringan internet, manusia
dapat terhubung dengan mudah meskipun terpisah oleh jarak. Akan tetapi, semua teknologi tersebut tidak
memiliki arti tanpa ada manusia sebagai pengguna. Keberadaan dan kegunaan teknologi tergantung pada
institusi dan budaya yang memungkinkan teknologi tersebut bertahan sehingga penting untuk mengkaji budaya
partisipatif yang melingkupi teknologi itu. Ada empat bentuk budaya partisipatif yang dapat dikaji, yaitu
afiliasi, ekspresi, pemecahan masalah secara kolaboratif, dan sirkulasi. Salah satu masalah yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia pada 2020 adalah masalah pandemi Covid-19. Meningkatnya jumlah orang yang terdiagnosis
positif Covid-19 dan korban meninggal menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat sehingga banyak
orang yang membeli alat-alat kesehatan, seperti masker dan hand sanitizer, untuk melakukan pencegahan. Hal
itu menyebabkan kelangkaan stok dan peningkatan tajam harga alat-alat kesehatan, padahal tenaga medis yang
secara langsung menangani para pasien sangat membutuhkannya. Di tengah kesulitan dana untuk mencegah
dan mengatasi penyebaran Covid-19, muncul kampanye penggalangan dana #BersamaLawanCorona yang
dilaksanakan oleh platform crowdfunding Kitabisa.com yang bekerja sama dengan beberapa partners. Tulisan
ini merupakan sebuah conceptual paper dengan metode kualitatif literature review yang berusaha membangun
argumen hubungan logis antara konsep crowdfunding, budaya partisipatif, dan konvergensi media yang
dikaitkan dengan kampanye penggalangan dana #BersamaLawanCorona yang diselenggarakan oleh Kitabisa
(kitabisa.com) untuk membantu mengatasi masalah pandemi Covid-19 di Indonesia.
Kata kunci: budaya partisipatif; crowdfunding; donasi online; konvergensi media; media digital
Crowdfunding as A Form of Participatory Culture in Media Convergence Era:
#BersamaLawanCorona Campaign (Kitabisa.com)
Abstract
The internet and digital technology provide convenience for humans to carry out various activities that were
originally carried out manually, face-to-face, and with time and distance limitations. With new technologies in
the digital age connected to the internet, people can easily connect to each other even though separated by
distance. However, all of these technologies are meaningless without humans as users. The existence and
usefulness of technology depends on the institution and culture that enable the technology to survive so that it
is important to study the participatory culture that surrounds the technology. There are four forms of
participatory culture that can be studied, namely affiliations, expressions, collaborative problem-solving, and
circulations. One of the problems being faced by Indonesia in 2020 is the Covid-19 pandemic issue. The
increasing number of people diagnosed positive for Covid-19 and the death toll has caused panic among the
people so that many people buy medical devices, such as masks and hand sanitizers, for prevention. It causes a
shortage of stocks and a sharp increase in prices for medical devices, whereas medical personnel who directly
deal with patients urgently need it. In the midst of financial difficulties to prevent and overcome the spread of
Covid-19, a #BersamaLawanCorona fundraising campaign was launched by the crowdfunding platform
Kitabisa.com in collaboration with several partners. This paper is a conceptual paper with a qualitative
literature review method that attempts to build an argument for a logical relationship between the concepts of
crowdfunding, participatory culture, and media convergence in the context of #BersamaLawanCorona
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 2
fundraising campaign organized by Kitabisa (Kitabisa.com) that help resolve the Covid-19 pandemic problem
in Indonesia.
Keywords: participatory culture, crowdfunding, online donation, digital media, media convergence
PENDAHULUAN
Kemunculan teknologi digital dan
internet memungkinkan pelaksanaan
kegiatan yang semula dilakukan melalui
tatap muka atau cara manual lainnya
dengan segala keterbatasan jarak dan
waktu menjadi lebih cepat, efisien,
mudah, dan tanpa hambatan jarak dan
waktu. Salah satu kegiatan yang
memanfaatkan teknologi digital dan
internet adalah kegiatan penggalangan
dana dari masyarakat atau yang dikenal
dengan istilah crowdfunding. Menurut
Gras, Nason, Lerman, dan Stellini (2017),
konsep crowdfunding yang menggunakan
platform online sama dengan konsep
kegiatan penggalangan dana yang telah
lama dipraktikkan jauh sebelum penemuan
teknologi digital dan internet atau yang
mereka sebut dengan istilah offline
crowdfunding. Pada era sebelum
kemunculan internet, offline crowdfunding
dilakukan melalui tatap muka langsung
atau menggunakan media cetak. Pada saat
ini, offline crowdfunding masih dilakukan,
misalnya melalui konser musik, makan
malam, dan lomba maraton untuk amal.
Internet menyediakan alat bagi para
penggalang dana untuk mengumpulkan
uang secara online sebagai tambahan dari
penggalangan dana yang mereka lakukan
secara offline (Dresner, 2014). Gras dkk.
(2017) menyebut kegiatan offline
crowdfunding dan online crowdfunding
saling melengkapi. Pada era internet,
kegiatan offline crowdfunding
memanfaatkan internet untuk
menyebarkan informasi mengenai kegiatan
tersebut. Kegiatan penggalangan dana
melalui platform online juga
membutuhkan pembangunan kepercayaan
secara offline karena orang cenderung mau
berdonasi online jika mereka dapat
mempercayai penyelenggaranya.
Penggunaan platform offline dan online
secara bersamaan dapat membangun
sebuah komunitas yang lebih kuat dan
meningkatkan kemungkinan orang untuk
berdonasi karena orang cenderung ingin
berdonasi untuk membangun hubungan
dengan orang lain (Gras et al., 2017).
Perkembangan teknologi
memunculkan beragam pilihan media
yang menyebabkan semakin beragamnya
cara orang mengakses informasi dan
berinteraksi melalui internet. Pada era
Web 1.0, orang menggunakan web hanya
untuk mencari informasi dan melakukan
interaksi (Dresner, 2014). Pada era Web
2.0, orang dapat memanfaatkan web
untuk berbagi informasi, berkomunikasi
dengan teman, dan bahkan membangun
hubungan online dengan orang yang
tidak pernah ditemui (Dresner, 2014).
Kehadiran teknologi mobile
memungkinkan orang untuk mengakses
informasi di internet dari mana saja, baik
melalui aplikasi atau situs web versi
mobile (Wong, 2012). Informasi yang
diakses pun memiliki format yang lebih
beragam, seperti teks tertulis, video,
gambar, foto, dan animasi.
Seiring dengan perkembangan
teknologi yang semakin beragam itu,
terjadi konvergensi media yang
menggabungkan teknologi-teknologi itu
untuk satu tujuan yang terarah (Trivedi
& Thaker, 2001). Konvergensi media
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 3
mendorong perubahan di masyarakat,
seperti gaya hidup, pola perilaku, dan
strategi pasar (Trivedi & Thaker, 2001).
Akan tetapi, menurut Jenkins dkk.
(2009), teknologi tidak dapat melakukan
apa pun tanpa adanya pengguna.
Pemanfaatan teknologi dikatakan oleh
Jenkins dkk. (2009) tergantung pada
konteks budaya. Kemunculan teknologi
baru mengubah hubungan manusia
dengan teknologi yang sudah ada
sebelumnya dan aktivitas yang terkait,
tetapi aktivitas yang diakibatkan oleh
teknologi baru itu akan bertahan dan
menyebar hanya jika ada budaya yang
mendukung terjadinya penyebaran
aktivitas itu (Jenkins et al., 2009).
Perkembangan teknologi digital
dan internet pada era Web 2.0 ini
didukung oleh budaya partisipatif yang
muncul sebagai respons kemunculan
teknologi-teknologi baru yang
memungkinkan orang biasa untuk
mengarsipkan, menganotasi,
menyediakan, dan menyebarkan konten
media dengan cara yang lebih
berpengaruh (Jenkins et al., 2009).
Menurut Jenkins dkk. (2009), budaya
partisipatif memiliki empat bentuk, yaitu
afiliasi dengan komunitas online,
ekspresi diri dengan membuat karya
baru, pemecahan masalah secara
kolaboratif, dan sirkulasi informasi.
Kampanye penggalangan dana
#BersamaLawanCorona yang
dilaksanakan oleh salah satu platform
online crowdfunding di Indonesia,
Kitabisa (kitabisa.com), merupakan salah
satu bentuk budaya partisipatif dalam
usaha mencari solusi bagi masalah
pendanaan untuk menangani krisis
pandemi Covid-19 di Indonesia pada
2020. Data laporan di laman utama
kampanye #BersamaLawanCorona
(galangdana.kitabisa.com/partners/bersa
malawancorona) per 12 April 2020
menunjukkan bahwa kampanye tersebut
telah berhasil mengumpulkan dana lebih
dari 101 miliar dari 3.300 lebih
penggalang dana. Jumlah donasi dan
penggalang dana itu mengalami
peningkatan yang cukup drastis dalam
waktu kurang dari sebulan di mana per
20 Maret 2020 jumlah donasi masih di
kisaran 14 miliar dari 290 penggalang
dana. Penyebaran informasi mengenai
penggalangan dana melalui kampanye
#BersamaLawanCorona itu disebarkan
melalui berbagai macam media, seperti
televisi, kegiatan offline, kanal berita
online, dan media sosial dengan
menggunakan berbagai format media,
seperti teks, video, dan gambar. Tulisan
ini menggunakan kampanye
crowdfunding #BersamaLawanCorona
tersebut sebagai konteks untuk
menjelaskan kaitan logis antara konsep
crowdfunding, budaya partisipatif, dan
konvergensi media.
Hasil penelusuran penelitian-
penelitian terdahulu memperlihatkan
bahwa penelitian mengenai
crowdfunding memiliki beberapa topik
yang dominan seputar motivasi orang
berpartisipasi dalam crowdfunding (Aziz,
Nurwahidin, & Chailis, 2019; Choy &
Schlagwein, 2016; Gleasure & Feller,
2016; Sitanggang, 2018), penggunaan
platform crowdfunding (Hutami &
Irwansyah, 2019; Ibrahim, 2013;
Sitanggang, 2018), gotong royong (Gea,
2016; Irfan, 2016), pemanfaatan
crowdfunding untuk pendanaan
(Abdillah & Danial, 2015; Adiansah,
Mulyana, & Fedryansyah, 2016; Arifin
& Wisudanto, 2017), dan hukum
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 4
(Budiman & Octora, 2019; Chang, 2018;
Hariyani & Serfiyani, 2015).
Penelitian-penelitian terdahulu
mengenai crowdfunding belum ada yang
menjelaskan secara eksplisit kaitan
antara konsep crowdfunding, budaya
partisipatif, dan konvergensi media.
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi
jembatan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya yang ingin meneliti topik
crowdfunding dan mengaitkannya
dengan konsep budaya partisipatif dan
konvergensi media.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini merupakan sebuah
conceptual paper yang menggunakan
metode kualitatif literature review.
Conceptual paper tidak menghasilkan data
karena fokus pada pembentukan argumen
logis untuk mengintegrasikan dan
mengajukan hubungan antarkonstruksi,
bukan fokus pada pengujian secara empiris
(Gilson & Goldberg, 2015). Conceptual
paper tidak menghasilkan teori baru pada
level konstruksi, tetapi menjembatani teori-
teori yang sudah ada, menghubungkan
karya-karya dari disiplin ilmu yang
berbeda, menyediakan kajian dari berbagai
level, dan meluaskan wawasan pikiran
(Gilson & Goldberg, 2015). Conceptual
paper yang baik dimulai dari ringkasan
mengenai topik pembahasan dan keadaan
terkini dari topik itu (state of the science)
untuk menentukan apa yang telah
diketahui, harus mulai dari mana, dan area
apa yang masih harus diteliti (Gilson &
Goldberg, 2015) sehingga metode literature
review menjadi pilihan yang tepat.
Tulisan ini berfokus pada
pembentukan argumen mengenai hubungan
logis antara konsep crowdfunding, budaya
partisipatif, dan konvergensi media yang
dikaitkan dengan situasi krisis Covid-19 di
Indonesia dan berfokus pada kampanye
#BersamaLawanCorona yang
diselenggarakan oleh Kitabisa
(kitabisa.com). Data mengenai konsep-
konsep dikumpulkan dari buku dan jurnal,
sedangkan data mengenai kampanye
#BersamaLawanCorona dikumpulkan
dari situs berita online, media sosial, dan
situs kitabisa.com, baik dari laman utama
kampanye #BersamaLawanCorona
(https://galangdana.kitabisa.com/partner
s/bersamalawancorona) maupun dari
laman kampanye mitra atau partners di
bawah kampanye
#BersamaLawanCorona, seperti laman
penggalangan dana yang dilakukan oleh
keluarga artis Raffi Ahmad, Nagita
Slavina, dan Rafathar
(https://kitabisa.com/campaign/lindungid
aricovid19) dan Dompet Dhuafa
(https://kitabisa.com/campaign/ayolawanc
orona). Untuk menambah data mengenai
platform Kitabisa, peneliti juga
menelusuri informasi di laman Tentang
Kitabisa (https://kitabisa.com/about-us)
dan laman bantuan
(https://help.kitabisa.com/), serta
mencoba melakukan donasi untuk
melihat alur donasi di platform Kitabisa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Crowdfunding
Menurut Belleflamme dkk. (2014),
fenomena crowdfunding adalah fenomena
yang relatif baru. Konsep crowdfunding
disebut oleh Belleflamme dkk. (2014)
datang dari konsep yang lebih besar, yaitu
crowdsourcing. Dalam crowdsourcing,
crowd digunakan untuk mendapatkan ide,
pendapat, masukan, dan solusi, sedangkan
dalam crowdfunding, hasil spesifik yang
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 5
diharapkan dari crowd adalah dana
(Belleflamme et al., 2014; Hemer, 2011).
Belleflamme dkk. (2014: 588)
menawarkan definisi crowdfunding
sebagai ajakan terbuka, terutama melalui
internet, untuk menyediakan sumber daya
finansial, baik dalam bentuk donasi atau
pertukaran dengan produk yang akan
dihasilkan atau dalam bentuk apresiasi
lainnya untuk mendukung inisiasi suatu
tujuan tertentu. Serupa dengan definisi dari
Belleflamme dkk., Dresner (2014: xi)
mendefinisikan crowdfunding sebagai
kerja sama kooperatif oleh orang-orang
yang mengumpulkan uang mereka yang
biasanya dilakukan melalui internet untuk
mendukung usaha-usaha yang dimulai
oleh orang atau organisasi lain. Hal yang
perlu menjadi perhatian pada kedua
definisi tersebut adalah penyebutan
medium untuk melakukan crowdfunding,
yaitu ‘terutama melalui internet’ dan
‘biasanya dilakukan melalui internet’.
Penyebutan internet mengindikasikan
penggunaan teknologi jaringan online
dalam melakukan crowdfunding, tetapi
kedua definisi tersebut tidak juga menutup
kemungkinan penggunaan medium lain
karena tidak menyebutkan keharusan
penggunaan internet.
Pendefinisian batasan medium dalam
konsep crowdfunding, apakah online saja
atau juga mencakup offline, menjadi
sorotan Gras dkk. (2017). Menurut Gras
dkk. (2017), penggalangan dana melalui
tatap muka langsung (offline) yang telah
ada sebelum penemuan internet memiliki
konsep yang sama dengan penggalangan
dana melalui interaksi virtual dengan
teknologi internet (online) sehingga istilah
crowdfunding sebaiknya mencakup offline
dan online. Pada tulisan ini, konsep
crowdfunding yang digunakan mencakup
offline dan online, dengan kecenderungan
ke arah penggunaan online sehingga
definisi crowdfunding yang digunakan
adalah definisi dari Belleflamme dkk.
(2014) dan Dresner (2014).
Pengkomunikasian tujuan dan
kepentingan crowdfunding dilakukan
secara luas dalam sebuah forum terbuka
melalui sebuah kampanye oleh pemilik
kampanye atau pihak yang bertanggung
jawab terhadap penggalangan dana
tersebut yang kemudian dievaluasi oleh
sekumpulan besar individu yang disebut
dengan crowd (Dresner, 2014). Pesan
dalam kampanye crowdfunding tidak
ditujukan secara khusus untuk khalayak
tertentu (Dresner, 2014). Kampanye
disebarkan terutama melalui sebuah
platform online, lalu didukung oleh
penyebaran melalui saluran komunikasi
personal lainnya (Choy & Schlagwein,
2016; Dresner, 2014).
Crowdfunding dapat dilakukan untuk
beragam tujuan, mulai dari untuk
membantu korban bencana alam,
penerbitan buku, membantu modal usaha
kecil menengah, hingga kampanye politik
(Dresner, 2014). Secara umum, ada dua
kategori besar crowdfunding, yaitu
crowdfunding yang mengharapkan
keuntungan finansial dan crowdfunding
yang tidak mengharapkan keuntungan
finansial (Dresner, 2014). Dalam semua
kategori itu, crowdfunding yang memiliki
tujuan sosial menempati peringkat teratas
(Dresner, 2014).
Crowdfunding dapat dijalankan
dengan beberapa model kampanye
(Dresner, 2014), yaitu:
1) Crowdfunding berbasis donasi atau
amal. Model ini sering digunakan oleh
organisasi nonprofit untuk
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 6
menggalang dana bagi orang-orang
yang sedang dalam kesulitan.
2) Crowdfunding berbasis apresiasi
(reward). Penggalang dana yang
menggunakan model ini menawarkan
imbalan nonfinansial yang berwujud,
seperti ucapan terima kasih di laman
situs, pencantuman nama sebagai
sponsor, atau hadiah barang.
3) Crowdfunding berbasis pinjaman.
Penggalang dana yang menggunakan
model ini menawarkan pengembalian
dana yang biasanya disertai dengan
bunga dalam jadwal yang ditentukan.
4) Crowdfunding berbasis ekuitas.
Penggalang dana yang menggunakan
model ini menawarkan kesempatan
bagi donatur untuk memiliki saham di
perusahaan.
Tren di industri crowdfunding
menunjukkan bahwa platform-platform
crowdfunding cenderung fokus pada satu
model kampanye yang spesifik untuk
membantu membangun basis khalayak
yang terus datang ke platform itu karena
kesamaan nilai yang mereka miliki (Choy
& Schlagwein, 2016; Dresner, 2014).
Kesamaan nilai yang dimiliki oleh semua
pihak yang terlibat akan membantu
platform, penggalang dana, dan khalayak
karena komunikasi yang efisien dapat
terjadi ketika semua pihak memiliki
kesamaan minat (Dresner, 2014). Sebagai
contoh, platform crowdfunding yang
menjadi fokus pada tulisan ini, yaitu
Kitabisa (kitabisa.com) memfokuskan diri
pada model crowdfunding berbasis donasi
untuk tujuan sosial dan tidak memfasilitasi
pemberian reward bagi para donatur.
Pengklasifikasian crowdfunding juga
dapat dilakukan berdasarkan karakteristik
pembuat kampanye, seperti
pengklasifikasian yang dilakukan oleh
Hemer (2011), sebagai berikut:
1) Independen dan tunggal di mana
penggalangan dana dilakukan oleh
individu yang tidak memiliki latar
belakang institusi atau organisasi.
2) Embedded di mana penggalangan
dana dilakukan oleh organisasi publik
atau privat yang telah ada
sebelumnya, seperti perusahaan dan
pemerintah.
3) Start-up di mana penggalangan dana
dilakukan oleh pihak independen yang
bertujuan untuk mendirikan sebuah
organisasi privat atau publik.
Berdasarkan keterangan yang
dikumpulkan dari situs web kitabisa.com,
Kitabisa memfasilitasi kampanye yang
dilakukan oleh individu, maupun
organisasi, seperti perusahaan yang ingin
mengajak masyarakat untuk ikut serta
dalam kampanye CSR (corporate social
responsibility) perusahaan, serta institusi
pemerintah dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang ingin menggalang
dana untuk kegiatan sosial.
Pengklasifikasian lain dapat
dilakukan berdasarkan strategi pendanaan
kampanye crowdfunding yang diatur oleh
platform crowdfunding (Dresner, 2014),
yaitu:
1) All-or-nothing di mana penggalang
dana harus menentukan target jumlah
dana yang ingin dicapai dan target
waktu pencapaian. Ketika target
pengumpulan dana tidak tercapai
ketika tenggat waktu yang ditentukan
telah berlalu, kampanye dinyatakan
gagal dan dana dikembalikan lagi ke
para donatur. Contoh platform
crowdfunding yang menerapkan all-
for-nothing adalah Kickstarter.
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 7
2) Flexible funding di mana penggalang
dana akan mendapatkan dana berapa
pun yang sudah ia kumpulkan,
meskipun target dana tidak tercapai
setelah lewat tenggat waktu
kampanye. Platform crowdfunding
Kitabisa menerapkan sistem flexible
funding ini bagi penggalang dana yang
memiliki akun terverifikasi.
Crowdfunding pada Era Konvergensi
Media
Konsep crowdfunding di mana
organisasi amal menggalang dana dari
masyarakat untuk mendanai suatu proyek
atau isu filantropis telah ada sejak ribuan
tahun lalu (Dresner, 2014; Gleasure &
Feller, 2016). Gras dkk. (2017) menyebut
fenomena crowdfunding bukan hal baru
dan tidak muncul karena adanya platform
teknologi. Sebelum penemuan internet,
penggalangan dana dilakukan melalui
interaksi langsung atau media cetak,
misalnya penggalangan dana untuk
pembiayaan Patung Liberty (Gras et al.,
2017). Gras dkk. (2017) menyebut
penggalangan dana semacam itu dengan
istilah offline crowdfunding, sedangkan
istilah online crowdfunding digunakan
untuk menyebut penggalangan dana yang
menggunakan teknologi platform online.
Hingga saat ini, praktik offline
crowdfunding masih dilakukan, misalnya
melalui acara penggalangan dana berupa
konser amal, gala dinner, lomba maraton,
dan lain sebagainya (Gras et al., 2017).
Gras dkk. (2017) menyebut kegiatan
offline crowdfunding dan online
crowdfunding saling melengkapi. Orang
membagikan informasi tentang offline
crowdfunding menggunakan internet
sehingga memungkinkan semakin banyak
orang mengetahui tentang kegiatan
penggalangan dana tersebut. Selain itu,
penyebaran informasi tentang offline
crowdfunding melalui internet juga dapat
membantu membangun reputasi dan
kredibilitas penggalang dana sehingga
memudahkan penggalang dana ketika
mereka hendak menyelenggarakan online
crowdfunding karena orang mau berdonasi
online jika mereka dapat mempercayai
penyelenggaranya (Gras et al., 2017).
Penggunaan platform offline dan online
dapat membangun sebuah komunitas yang
lebih kuat dan dapat meningkatkan
kemungkinan orang untuk berdonasi
karena orang cenderung ingin berdonasi
untuk membangun hubungan dengan
orang lain (Gras et al., 2017).
Kemunculan teknologi internet
menyediakan alat bagi organisasi-
organisasi nonprofit untuk menggalang
dana online sebagai tambahan dari
penggalangan dana yang mereka lakukan
secara offline itu (Dresner, 2014). Pada
awal kemunculan internet, orang-orang
masih memiliki kekhawatiran untuk
bertransaksi online, tetapi seiring dengan
meningkatnya pengalaman dan
kepercayaan mereka terhadap transaksi
online, organisasi-organisasi nonprofit
dapat semakin memanfaatkan internet
untuk menjangkau lebih banyak donatur
dengan jangkauan geografis, sektor, dan
kepentingan yang lebih luas (Dresner,
2014).
Kemunculan beragam situs-situs
web sosial pada era Web 2.0 juga ikut
mendorong peningkatan pengadopsian
crowdfunding (Dresner, 2014). Pada era
Web 1.0, orang hanya menggunakan web
untuk mencari informasi dan melakukan
transaksi, tetapi setelah beragam situs-situs
web sosial bermunculan pada era Web 2.0,
web juga menjadi tempat untuk berbagi
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 8
kesenangan, berkomunikasi dengan teman,
dan membangun hubungan secara online
dengan orang-orang yang bahkan tidak
pernah ditemui (Dresner, 2014). Situs-situs
web sosial tidak hanya memungkinkan
orang untuk melakukan donasi, tetapi juga
memungkinkan amplifikasi kekuatan
kegiatan penggalangan dana tersebut
dengan cara memudahkan orang untuk
menyebarkan informasi tentang kegiatan
penggalangan dana itu supaya orang-orang
yang berada dalam jaringan sosial mereka
terinformasi mengenai apa yang mereka
percayai dan menjadi tertarik untuk ikut
berpartisipasi (Dresner, 2014).
Seiring dengan perkembangan
teknologi, semakin banyak teknologi yang
dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan
kegiatan crowdfunding. Teknologi-
teknologi yang beragam itu semakin lama
semakin berkonvergensi. Konvergensi
berarti merampingkan berbagai macam
teknologi yang berbeda menuju ke satu
arah (Trivedi & Thaker, 2001). Sebelum
era konvergensi media, satu teknologi
hanya digunakan untuk satu aplikasi dan
satu tujuan spesifik (Trivedi & Thaker,
2001), misalnya telepon hanya untuk
menelepon dan televisi hanya untuk
menonton tayangan televisi. Revolusi
digital memungkinkan beragam media
untuk melepaskan identitasnya dan
bergabung dengan media lain dengan
tujuan yang sama, yaitu untuk
mentransmisikan dan memanipulasi
informasi, misalnya melalui penggabungan
teks, gambar diam, gambar bergerak,
suara, dan mesin pencarian di satu medium
(Chakaveh & Bogen, 2007; Trivedi &
Thaker, 2001). Kemunculan teknologi-
teknologi baru mendorong penyediaan
layanan yang lebih murah, nyaman, padat,
dan mudah digunakan (Trivedi & Thaker,
2001).
Konvergensi media memberikan
dampak signifikan ke masyarakat, seperti
perubahan gaya hidup, pola perilaku, dan
strategi pasar (Trivedi & Thaker, 2001).
Konvergensi media dapat menjangkau
bagian dari masyarakat yang sebelumnya
tidak dapat dijangkau, misalnya orang
yang memiliki keterbatasan fisik dan tidak
dapat bepergian jauh (Trivedi & Thaker,
2001). Hal tersebut memungkinkan
peningkatan partisipasi masyarakat.
Masyarakat menjadi lebih terinformasi
karena akses ke informasi yang semakin
luas dan keinteraktifan yang
dimungkinkan oleh konvergensi media
(Trivedi & Thaker, 2001).
Menurut Chakaveh dan Bogen
(2007), dari sisi ekonomi, ada beberapa
strategi konvergensi media yang
digunakan oleh perusahaan untuk
mendapatkan keuntungan finansial, yaitu:
1) Konsentrasi korporasi di mana
beberapa perusahaan besar memiliki
banyak media.
2) Digitalisasi di mana konten media
diproduksi dalam sebuah bahasa
komputer yang universal sehingga
dapat dengan mudah diadaptasi untuk
penggunaan di berbagai medium.
3) Deregulasi pemerintah di mana para
konglomerat media semakin diizinkan
untuk memiliki berbagai macam
media di dalam pasar yang sama dari
hulu ke hilir.
Konvergensi media pada industri
crowfunding lebih menggunakan strategi
digitalisasi konten di mana konten dapat
dengan mudah diadaptasi ke berbagai
medium sehingga memudahkan akses ke
konten tersebut. Konvergensi media
tersebut dapat dilihat pada tahap produksi
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 9
dan distribusi, serta dari sisi penyedia
platform crowdfunding, seperti Kitabisa,
dan dari sisi penggalang dana atau pemilik
kampanye.
Pada tahap produksi, konvergensi
media dari sisi penggalang dana dapat
dilihat dari penggunaan berbagai macam
bentuk media, seperti teks tertulis, foto
atau grafis, dan video untuk menarasikan
cerita mengenai latar belakang
penggalangan dana dan rencana
penggunaan uang donasi. Misalnya,
Dompet Dhuafa menggunakan teks, foto-
foto dokumentasi kegiatan penyemprotan
desinfektan, dan infografis rencana
penerima bantuan dan jenis bantuan dalam
narasi di laman penggalangan dana mereka
(https://kitabisa.com/campaign/ayolawanc
orona) yang merupakan bagian dari
kampanye #BersamaLawanCorona di
platform Kitabisa. Penggunaan ragam
bentuk media itu akan menambah
kejelasan dan keefektifan dari narasi
kampanye crowdfunding. Tulisan
membantu merangkai cerita keseluruhan
bagi pembaca, sedangkan foto atau grafis
dan video menjadi sarana efektif untuk
menarik perhatian dan menjelaskan konsep
yang abstrak (Choy & Schlagwein, 2016).
Selanjutnya, distribusi informasi mengenai
kampanye crowdfunding dapat dilakukan
oleh penggalang dana melalui radio, surat
kabar, dan media sosial (Choy &
Schlagwein, 2016).
Dari sisi penyedia platform
crowdfunding, tahap produksi berarti
memproduksi atau menyediakan platform
yang dapat mendukung pelaksanaan
crowdfunding. Dukungan tersebut
dilakukan antara lain dengan cara
menyediakan platform yang mendukung
penggunaan beragam bentuk media dalam
penjelasan detail kampanye crowdfunding,
menyediakan beragam metode
pembayaran bagi para donatur yang ingin
melakukan donasi secara offline dan
online, membuat alur proses donasi yang
mudah, dan menyediakan fitur untuk
mempermudah distribusi konten. Praktik
konvergensi media di tahap produksi itu
dapat ditemukan di platform crowdfunding
Kitabisa. Platform Kitabisa
mengakomodasi penambahan foto dan
video di penjelasan detail kampanye dan
perkembangan kabar terbaru kampanye.
Kitabisa juga menyediakan beragam
pilihan metode pembayaran, mulai dari
uang digital, transfer rekening, hingga
kartu kredit di mana semua metode
pembayaran itu dapat dilakukan di mana
saja dan kapan saja melalui telepon
genggam. Proses donasi semakin
dimudahkan dengan pilihan untuk
berdonasi tanpa harus memiliki akun di
Kitabisa sehingga donatur tidak harus
repot mengingat kata sandi setiap kali
mereka ingin melakukan donasi.
Pembuatan platform yang mudah diakses
dan digunakan seperti itu menjadi salah
satu faktor kesuksesan sebuah kampanye
crowdfunding karena kemudahan proses
memberikan donasi ikut menentukan
keputusan orang untuk ikut berdonasi
(Choy & Schlagwein, 2016).
Tahap distribusi atau penyebaran
informasi dapat dipermudah oleh penyedia
platform crowdfunding dengan
menambahkan tombol fungsi berbagi ke
media sosial sehingga pemilik kampanye
atau para donator dapat dengan mudah
membagikan kampanye crowdfunding itu
ke jaringan sosial mereka. Platform
Kitabisa menyediakan tombol berbagi ke
WhatsApp di laman kampanye dan tombol
berbagi ke WhatsApp dan Facebook di
laman pembayaran donasi.
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 10
Kemudahan akses ke informasi
crowdfunding di platform juga menjadi hal
yang penting untuk diperhatikan.
Pertumbuhan penggunaan teknologi
mobile harus menjadi pertimbangan untuk
memastikan pengguna mobile dapat
dengan mudah mengakses platform
crowdfunding. Wong (2012) menyebutkan
bahwa ada dua pendekatan untuk
beradaptasi dengan teknologi mobile, yaitu
(1) melalui pembuatan aplikasi untuk
sistem operasi mobile tertentu, seperti
Android dan iOS, dan (2) melalui
pembuatan situs web versi mobile.
Platform crowdfunding Kitabisa memiliki
desain situs yang dapat beradaptasi dengan
ukuran layar sehingga dapat diakses secara
optimal di tablet dan telepon genggam.
Selain itu, Kitabisa juga memiliki aplikasi
mobile untuk sistem operasi iOS dan
Android.
Crowdfunding sebagai Bentuk Budaya
Partisipatif
Budaya partisipatif adalah budaya
yang memiliki hambatan relatif rendah
bagi terbentuknya ruang yang
memungkinkan ekspresi artistik,
keterlibatan masyarakat, dukungan kuat
untuk menciptakan dan membagikan
kreasi, dan bimbingan informal di mana
partisipan yang lebih berpengalaman
membagikan pengetahuan mereka kepada
partisipan baru (Jenkins et al., 2009).
Dalam budaya partisipatif, para partisipan
merasa bahwa kontribusinya berharga dan
merasa terkoneksi secara sosial dengan
para partisipan yang lainnya (Jenkins et
al., 2009). Tidak semua orang harus
terlibat, tetapi semua orang harus percaya
bahwa mereka bebas untuk ikut
berkontribusi dan ketika mereka
berkontribusi, kontribusi mereka itu akan
dihargai oleh orang lain (Jenkins et al.,
2009).
Studi mengenai media baru sering
kali berfokus pada teknologi dan apa yang
dapat dilakukan dengan teknologi itu
(Jenkins et al., 2009). Namun, bagi Jenkins
dkk. (2009), pengguna adalah hal yang
lebih penting karena teknologi, seperti
komputer, tidak dapat melakukan apa pun
tanpa adanya pengguna. Ada konteks
budaya dan institusional tertentu yang
menentukan bagaimana dan mengapa
teknologi itu digunakan. Kemunculan
teknologi baru mengubah hubungan
manusia dengan teknologi yang sudah ada
sebelumnya dan aktivitas yang terkait,
tetapi aktivitas tersebut hanya akan
menyebar jika budaya mendukung
terjadinya penyebaran tersebut (Jenkins et
al., 2009). Budaya partisipatif muncul
karena budaya menyerap dan merespon
kemunculan teknologi-teknologi media
baru yang memungkinkan orang biasa
untuk mengarsipkan, menganotasi,
menyediakan, dan mensirkulasi konten
media dengan cara baru yang lebih kuat
dan berpengaruh (Jenkins et al., 2009).
Menurut Jenkins dkk. (2009),
budaya partisipatif memiliki empat bentuk,
yaitu:
1) Afiliasi atau keanggotaan informal
maupun informal di komunitas-
komunitas online yang berkisar pada
beragam bentuk media, seperti
Facebook, Twitter, online games,
forum, dan WhatsApp.
2) Ekspresi melalui pembuatan sebuah
bentuk kreasi baru, seperti membuat
cerita fan fiction, video penggemar,
dan modding untuk video games.
3) Pemecahan masalah secara kolaboratif
dalam kelompok informal maupun
formal untuk menyelesaikan tugas dan
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 11
membentuk sebuah pengetahuan baru,
misalnya kolaborasi membuat artikel
pengetahuan di Wikipedia.
4) Sirkulasi atau menentukan alur
informasi dalam media baru sehingga
dapat membentuk tren baru, seperti
podcasting dan blogging.
Budaya partisipatif dalam
crowdfunding dapat dilihat dari partisipasi
para aktor yang terlibat di dalamnya.
Pelaksanaan crowdfunding melalui internet
saat ini pada dasarnya memiliki konsep
yang sama dengan praktik penggalangan
dana untuk membiayai sesuatu yang telah
dilakukan ribuan tahun yang lalu (Dresner,
2014). Orang-orang ingin terlibat dalam
penggalangan dana tersebut karena mereka
percaya pada hal yang mereka danai, ingin
ikut memberikan kontribusi, ingin menjadi
bagian dari sejarah, dan ingin menjadi
bagian dari sesuatu yang lebih besar dari
diri mereka sendiri (Dresner, 2014).
Alasan yang sama juga mendasari orang-
orang untuk ikut terlibat dalam
crowdfunding pada era sekarang (Choy &
Schlagwein, 2016; Dresner, 2014).
Teknologi-teknologi yang ada pada
saat ini menyediakan sarana untuk
menjangkau dan berkolaborasi dengan
khalayak dalam jumlah besar atau crowd
dan memungkinkan penyebaran informasi
mengenai sebuah kampanye individual
secara efisien (Dresner, 2014).
Penggunaan beragam teknologi
memungkinkan pemenuhan keinginan
khalayak untuk ikut terlibat, mendukung,
membuat, dan mengambil keputusan
terkait dengan kampanye crowdfunding
(Dresner, 2014).
Partisipasi pengguna menjadi sebuah
faktor kunci bagi kesuksesan sebuah
kampanye crowdfunding (Kim, Por, &
Yang, 2017). Masyarakat didorong untuk
membagikan kampanye tersebut ke
jaringan sosial online mereka sehingga
tercipta kepedulian mengenai kampanye
tersebut di berbagai media sosial (Choy &
Schlagwein, 2016). Ketersediaan tombol
berbagi ke WhatsApp dan Facebook di
platform Kitabisa membantu
mempermudah penyebaran informasi
mengenai kegiatan kampanye
#BersamaLawanCorona ke jejaring sosial
yang lebih luas. Selain itu, penggunaan
tanda pagar #BersamaLawanCorona
sebagai nama kampanye di platform
Kitabisa juga dapat digunakan untuk
mempermudah orang untuk menemukan
kampanye-kampanye crowdfunding dan
kegiatan-kegiatan terkait lainnya di media
sosial sehingga memudahkan mereka untuk
ikut berpartisipasi dalam usaha kolaboratif
menangani masalah pandemi Covid-19.
Hasil penelusuran tagar
#BersamaLawanCorona di Twitter dan
Instagram menunjukkan tagar tersebut
antara lain digunakan untuk mengajak
berdonasi, mencari penyedia alat-alat
perlindungan diri, dan meminta bantuan
donasi seperti yang dapat dilihat pada
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 12
Gambar 1.
Sumber: Instagram dan Twitter
Gambar 1. Contoh Penggunaan Tagar #BersamaLawanCorona di Media Sosial
Komentar dari para donatur di laman
kampanye juga membantu memengaruhi
orang lain untuk ikut terlibat dalam
kampanye crowdfunding (Choy &
Schlagwein, 2016; Kim et al., 2017).
Donasi yang dilakukan oleh orang lain
menjadi salah satu motivasi untuk ikut
berdonasi karena jumlah donatur yang
banyak dianggap sebagai indikator bahwa
kampanye tersebut layak untuk
diperhatikan (Choy & Schlagwein, 2016).
Kemampuan untuk melihat progres
kampanye, seperti berapa banyak uang
yang sudah terkumpul, siapa saja yang
sudah menyumbang, dan kemampuan
untuk membaca komentar para donatur
dapat meningkatkan motivasi orang untuk
ikut menyumbang karena mereka ingin
menjadi bagian dari komunitas yang
memiliki pikiran dan nilai yang sama
(Choy & Schlagwein, 2016). Komentar
dari para donatur dan pemilik kampanye
itu membuat mereka merasa menjadi
bagian dari komunitas yang saling
terhubung meskipun terpisah jarak dan
waktu (Choy & Schlagwein, 2016).
Pada offline crowdfunding, progres
kampanye berupa jumlah dana yang
terkumpul dan nama donatur biasanya
diumumkan dalam sebuah pertemuan
berkala atau media massa. Pada online
crowdfunding, progres tersebut dapat
dilihat pada platform crowdfunding yang
digunakan. Misalnya pada platform
crowdfunding Kitabisa, orang dapat
melihat progres dana yang terkumpul,
kabar terbaru dari penggalang dana, siapa
saja fundraiser atau pihak yang membantu
menggalang dana, siapa saja donatur dan
berapa besar donasi yang mereka berikan,
berapa jumlah orang yang sudah
berdonasi, waktu donasi, dan komentar
dari para donatur. Keberadaan informasi
tersebut dapat menunjukkan tingkat
keaktifan kampanye crowdfunding itu dan
dapat semakin meningkatkan rasa
kebersamaan yang mendorong orang untuk
ikut berpartisipasi dalam suatu kampanye.
Pemanfaatan Crowdfunding pada Masa
Pandemi Covid-19
Badan Kesehatan Dunia atau WHO
(World Health Organization) menetapkan
Coronavirus disease (Covid-19) atau yang
terkadang disebut sebagai virus korona
menjadi pandemi global pada 11 Maret
2020 (Dzulfaroh, 2020). Penetapan status
pandemi global tersebut dikarenakan
Covid-19 telah menyebar ke 118 negara
dengan jumlah kasus positif dan korban
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 13
meninggal dunia yang terus meningkat
(Dzulfaroh, 2020). Dengan penetapan
status pandemi global tersebut, negara-
negara di seluruh dunia diharapkan lebih
serius menangani dan mencegah
penyebaran Covid-19 (Dzulfaroh, 2020).
Kasus pertama positif Covid-19 di
Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020
oleh Presiden Joko Widodo (CNN
Indonesia, 2020). Setelah pengumuman
tersebut, banyak orang mulai membeli
masker dan hand sanitizer atau cairan
pembersih tangan untuk mencegah
penularan Covid-19 (DP, 2020).
Permintaan yang tinggi mengakibatkan
kelangkaan stok masker dan hand sanitizer
di pasar dan peningkatan harga jual yang
drastis. Selain masker dan hand sanitizer,
alat-alat kesehatan lainnya, seperti
termometer tembak, alkohol, dan
antiseptik juga mengalami kelangkaan stok
dan peningkatan harga (Safhira, 2020). Hal
itu berdampak pada para tenaga medis
yang menjadi kesulitan untuk memperoleh
alat-alat kesehatan tersebut, padahal
mereka adalah pihak yang paling
membutuhkan alat-alat tersebut karena
mereka berhadapan langsung dengan
pasien positif sehingga menjadi pihak yang
paling rawan tertular. Masalah tersebut
semakin diperparah oleh semakin
banyaknya jumlah pasien positif yang
harus ditangani oleh para tenaga medis.
Di tengah situasi tersebut, muncul
beragam aksi penggalangan dana untuk
membantu tenaga medis mendapatkan
alat-alat kesehatan atau alat perlindungan
diri (APD). Beberapa kampanye
penggalangan dana tersebut memanfaatkan
platform crowdfunding Kitabisa. Terdapat
kampanye besar penggalangan dana terkait
epidemi Covid-19 di Kitabisa yang
menggunakan nama
#BersamaLawanCorona. Kampanye
#BersamaLawanCorona itu
diselenggarakan oleh Kitabisa dan mitra.
Mitra atau yang disebut dengan istilah
partners pada platform Kitabisa terdiri atas
individu, LSM, tokoh publik, komunitas,
yayasan, perusahaan, dan organisasi
lainnya. Setiap partners mengadakan
kampanye sendiri dengan target yang
dapat berbeda antara satu sama lain, tetapi
masih dalam topik yang sama, yaitu
bersama melawan korona. Ada kampanye
penggalangan dana bagi para tenaga medis
untuk mendapatkan APD dan makanan.
Ada juga kampanye penggalangan dana
untuk membantu para pekerja informal,
seperti pengemudi ojek dan pedagang kaki
lima, yang tidak dapat bekerja dari rumah
atau yang pendapatannya menurun karena
kebijakan bekerja dari rumah.
Dari kampanye crowdfunding
#BersamaLawanCorona, kita dapat
melihat empat bentuk budaya partisipatif,
yaitu afiliasi, ekspresi, pemecahan masalah
secara kolaboratif, dan sirkulasi.
Penggunaan judul besar kampanye
#BersamaLawanCorona menyatukan
kampanye-kampanye crowdfunding terkait
bantuan selama masa pandemi Covid-19
dalam satu bendera dan menciptakan
sebuah kebersamaan untuk satu tujuan,
yaitu melawan korona. Orang dapat
memilih partners mana yang merupakan
afiliasi mereka, misalnya penggemar tokoh
publik tertentu dapat memilih untuk
melakukan donasi ke kampanye
crowdfunding yang diselenggarakan oleh
tokoh publik tersebut supaya merasakan
kedekatan dengan tokoh tersebut dan
orang-orang yang sama-sama menggemari
tokoh itu sehingga dapat tercipta rasa
kebersamaan yang semakin erat di dalam
komunitas penggemar. Partisipasi dalam
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 14
bentuk ekspresi dapat dilakukan dengan
membuat artikel blog mengenai
pengalamannya terlibat dalam sebuah aksi
sosial bersama dengan komunitas atau ikut
serta membantu membuat materi promo
untuk kampanye crowdfunding itu.
Keikutsertaan berdonasi pada kampanye
crowdfunding yang diadakan oleh
kelompok yang menjadi afiliasinya
merupakan salah satu bentuk pemecahan
masalah secara kolaboratif, yaitu mengenai
pencarian solusi terkait masalah finansial
dalam masa pandemi Covid-19. Kampanye
besar berjudul #BersamaLawanCorona
yang menaungi kampanye-kampanye
penggalangan dana untuk penanganan
masalah selama masa pandemi Covid-19
membuka kesempatan bagi masyarakat
untuk berkolaborasi menangani masalah
korona dengan komunitas-komunitas lain
di luar afiliasinya. Kolaborasi tersebut
dapat terjadi atas dasar kesamaan nilai atau
tujuan, yaitu melawan korona.
Bentuk budaya partisipatif lainnya
adalah sirkulasi atau penyaluran informasi
di media baru. Penyebaran informasi
mengenai kampanye crowdfunding
#BersamaLawanCorona dapat dilakukan
melalui beragam saluran komunikasi.
Penyelenggara crowdfunding, seperti
tokoh publik atau LSM, dapat
menyebarkan informasi mengenai
kampanye crowdfunding mereka melalui
situs web, blog, video YouTube, media
sosial, dan media massa. Para donator
membagikan informasi melalui media
sosial ke jaringan sosial mereka. Platform
crowdfunding Kitabisa juga turut
memfasilitasi penyebaran informasi
melalui penyediaan tombol berbagi ke
aplikasi chatting WhatsApp, posting rutin
di media sosial mereka, dan kerja sama
liputan dengan media massa.
Salah satu tokoh publik yang ikut
terlibat menggalang dana dalam kampanye
#BersamaLawanCorona di platform
Kitabisa adalah artis Raffi Ahmad dan
keluarga. Raffi Ahmad berhasil
mengumpulkan dana lebih dari 1 milyar
dalam waktu seminggu (Janati, 2020).
Keterlibatan Raffi Ahmad beserta istrinya,
Nagita Slavina, dalam penggalangan dana
itu mendapatkan sorotan di media massa,
seperti di portal berita online Kompas dan
di acara berita televisi CNN Indonesia
yang rekamannya kemudian diunggah ke
YouTube (Gambar 2).
Sumber: Kompas dan CNN Indonesia
Gambar 2. Liputan Penggalangan Dana Raffi Ahmad di Media Massa
Liputan di media massa itu turut
menyebarluaskan informasi mengenai
kegiatan penggalangan dana yang
dilakukan oleh Raffi Ahmad di platform
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 15
Kitabisa. Liputan-liputan itu
mengamplifikasi usaha keluarga Raffi
Ahmad menyebarkan informasi
penggalangan dana yang ia lakukan
melalui akun-akun media sosial yang
mereka miliki. Melalui media sosial,
keluarga Raffi Ahmad membagikan
informasi penggalangan dana dan tautan
ke laman kampanye mereka di platform
Kitabisa (Gambar 3). Selain itu, mereka
menggunakan media sosial untuk
membagikan video dan foto-foto
perkembangan terbaru mengenai kegiatan
penggalangan dana mereka (Gambar 4)
sebagai tambahan dari laporan yang
mereka berikan di platform Kitabisa.
Sumber: Instagram dan Twitter
Gambar 3. Penyebaran Informasi melalui Akun Media Sosial
Sumber: Instagram dan Twitter
Gambar 4. Laporan Perkembangan melalui Akun Media Sosial
Media sosial juga digunakan oleh
Raffi Ahmad dan Nagita Slavina untuk
berinteraksi dengan masyarakat secara
langsung. Hal itu terlihat dari tweet mereka
yang berisi ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah ikut berdonasi.
Akun Twitter Raffi Ahmad juga terlihat
me-retweet tweet orang yang meminta
bantuan masker, hand sanitizer, dan alat-
alat perlindungan diri lainnya. Interaksi-
interaksi seperti itu mendorong masyarakat
untuk ikut berpartisipasi dalam
menyebarkan informasi mengenai
penggalangan dana yang dilakukan oleh
keluarga Raffi Ahmad, antara lain dengan
membuat tweet yang mengajak orang
berdonasi melalui kampanye crowdfunding
Raffi Ahmad di Kitabisa dan ikut
memberikan informasi pihak-pihak mana
saja yang sedang membutuhkan bantuan
melalui kolom komentar atau mention di
Twitter.
Kegiatan online crowdfunding yang
dilakukan oleh keluarga Raffi Ahmad itu
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 16
juga didukung oleh penyebaran informasi
secara offline yang dilakukan saat
menyalurkan bantuan dari hasil donasi
sementara yang terkumpul. Penyebaran
informasi tersebut dilakukan dengan
mencantumkan nama kegiatan, nama akun
media sosial, dan tautan ke laman donasi
milik keluarga Raffi Ahmad di platform
Kitabisa (Gambar 5). Kegiatan-kegiatan
offline tersebut kemudian difoto dan
diunggah ke laman laporan perkembangan
kampanye mereka di platform Kitabisa
sehingga terjadi penguatan reputasi dan
kredibilitas penggalang dana secara offline
dan online. Hal itu dapat berpengaruh pada
peningkatan kepercayaan dan keinginan
orang untuk berdonasi, seperti yang
dikatakan oleh Gras dkk. (2017) bahwa
penggunaan platform offline dan online
secara bersamaan akan membangun
sebuah komunitas yang lebih kuat dan hal
itu dapat meningkatkan kemungkinan
orang untuk berdonasi karena orang
cenderung ingin berdonasi untuk
membangun hubungan dengan orang lain.
Sumber: Kitabisa
Gambar 5. Kegiatan Penyaluran Bantuan Offline
Hingga 12 April 2020, kampanye
crowdfunding #BersamaLawanCorona
telah berhasil mengumpulkan dana 101
milyar lebih dari 3.300 kampanye lebih.
Pencapaian tersebut akan sulit
dilaksanakan tanpa bantuan teknologi
digital dan internet. Teknologi digital dan
internet memungkinkan informasi tersebar
dengan lebih cepat dan luas tanpa
hambatan waktu sehingga membuka
peluang semakin banyak orang untuk ikut
berpartisipasi dalam kampanye
crowdfunding #BersamaLawanCorona.
Ketersediaan beragam cara akses
informasi pada platform Kitabisa, seperti
melalui situs web versi desktop dan
mobile, serta aplikasi mobile untuk iOS
dan Android, memudahkan masyarakat
untuk mendapatkan informasi mengenai
kampanye crowdfunding itu. Orang dapat
dengan mudah mengakses informasi
mengenai progres dana yang terkumpul,
tenggat waktu pelaksanaan kampanye,
cerita latar belakang dan tujuan
penggalangan dana, informasi terbaru dari
penggalang dana mengenai pencairan dana
dan penyaluran dana, siapa saja donatur,
berapa besar donasi setiap donatur, waktu
berdonasi, dan komentar-komentar dari
para donatur. Informasi tersebut
mengesankan keterbukaan sehingga
memunculkan perasaan keterlibatan nyata
dalam sebuah aksi kolaboratif untuk satu
tujuan bersama yang pada akhirnya dapat
mendorong semakin banyak orang untuk
ingin berpartisipasi. Hal itu ditambah
dengan keaktifan platform crowdfunding
Kitabisa, penggalang dana, dan donatur
dalam menyebarkan informasi ke jaringan
sosial mereka melalui media sosial, media
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 17
massa, dan sarana komunikasi lainnya.
Selain itu, kemudahan alur proses donasi
pada platform Kitabisa, seperti
kemampuan berdonasi tanpa harus
membuat akun di Kitabisa terlebih dulu
dan ketersediaan beragam pilihan metode
pembayaran baik online maupun offline,
juga mendukung pelaksanaan kampanye
crowdfunding #BersamaLawanCorona.
SIMPULAN
Perkembangan teknologi
memunculkan keragaman media digital
pada era internet. Beragam media itu
berkonvergensi dan dapat dimanfaatkan
untuk satu tujuan, antara lain untuk
kegiatan penggalangan dana atau
crowdfunding. Pemanfaatan beragam
teknologi yang tersedia pada era
konvergensi media memungkinkan
partisipasi khalayak dalam jumlah besar
secara cepat di dalam kegiatan
crowdfunding tanpa adanya hambatan
jarak geografis. Kecepatan dan kemudahan
berpartisipasi dalam penggalangan dana
sangat diperlukan, terutama pada saat
menghadapi krisis pandemi Covid-19 di
mana waktu menjadi salah satu faktor
yang harus diperhatikan agar virus tidak
semakin menyebar.
Pemanfaatan teknologi untuk
menyukseskan kampanye crowdfunding
didukung oleh budaya partisipatif yang
telah terbentuk di dalam masyarakat. Satu
nilai atau tujuan bersama dapat memicu
partisipasi dari berbagai lapisan
masyarakat untuk turut memanfaatkan
beragam teknologi yang tersedia guna
menyukseskan aksi penggalangan dana.
Ketika hendak melakukan kegiatan
crowdfunding, penggalang dana perlu
memperhatikan pemilihan platform
crowdfunding yang tepat, baik dari segi
kesamaan nilai yang diusung di dalam
platform tersebut, tipe pendanaan,
teknologi dan format media yang
didukung, hingga alur kemudahan donasi.
Selain itu, penggalang dana juga perlu
memperhatikan penggunaan media sosial,
media massa, dan sarana komunikasi
lainnya, baik offline maupun online, untuk
menyebarkan informasi sehingga dapat
memperoleh perhatian dan memicu
keinginan khalayak untuk ikut
berpartisipasi dalam kegiatan
penggalangan dana tersebut. Informasi
mengenai latar belakang kegiatan
penggalangan dana dan laporan
perkembangan kegiatan perlu diberikan
secara transparan dan jelas melalui
penggunaan berbagai format media yang
mendukung, seperti teks, foto, dan video
supaya khalayak dapat lebih percaya
dengan reputasi dan kredibilitas
penggalang dana dan semakin tertarik
untuk ikut berpartisipasi.
Tulisan ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap bidang
ilmu komunikasi dengan menjadi rujukan
awal bagi penelitian-penelitian selanjutnya
yang ingin menggunakan konsep
crowdfunding, budaya partisipatif, dan
konvergensi media. Penelitian selanjutnya
dapat dilakukan dengan memperkuat data
empiris, misalnya mencoba menyoroti
narasi yang digunakan dalam sebuah
kampanye crowdfunding yang
menggunakan beragam media dengan
menggunakan metode analisis wacana atau
meneliti pola perilaku para partisipan
dalam sebuah kampanye crowdfunding
dengan menggunakan metode etnografi
untuk menemukan narasi atau pola yang
tepat digunakan untuk kegiatan
crowdfunding di era konvergensi media ini
supaya kegiatan crowdfunding itu dapat
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 18
memancing partisipasi khalayak secara
lebih luas dan memperoleh hasil yang
lebih maksimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Inaya Rakhmani, S.Sos., M.A.,
Ph.D., yang telah memberikan masukan
mengenai topik penulisan serta dosen-
dosen lainnya di Program Pascasarjana,
Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP,
Universitas Indonesia yang telah berbagi
ilmunya selama ini sehingga penulis dapat
menulis artikel ini. Ucapan terima kasih
juga ingin penulis sampaikan kepada
redaksi Jurnal Avant Garde dan reviewer
yang telah meluangkan waktu dan
memberikan masukan selama proses
review.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, F., & Danial, E. (2015).
Crowdfunding: Demokratisasi Akses
Keuangan dalam Mendukung Aksi Sosial
Mahasiswa. Jurnal Ilmiah Mimbar
Demokrasi, 15(1).
Adiansah, W., Mulyana, N., & Fedryansyah,
M. (2016). Potensi Crowdfunding di
Indonesia dalam Praktik Pekerjaan
Sosial. In Prosiding KS: Riset & PKM
(hal. 155291).
Arifin, S. R., & Wisudanto. (2017).
Crowdfunding sebagai Alternatif
Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur.
In Prosiding Simposium II - UNIID (hal.
309314). Palembang.
Aziz, I. A., Nurwahidin, N., & Chailis, I.
(2019). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Masyarakat Menyalurkan
Donasi Melalui Platform Crowdfunding
Berbasis Online. Jurnal Syarikah, 5(1),
94108.
https://doi.org/10.30997/jsei.v5i1.1835
Belleflamme, P., Lambert, T., &
Schwienbacher, A. (2014).
Crowdfunding: Tapping the right crowd.
Journal of Business Venturing, 29, 585
609.
https://doi.org/10.1016/j.jbusvent.2013.0
7.003
Budiman, T., & Octora, R. (2019).
Perlindungan Hukum Bagi Donatur
dalam Kegiatan Donation Based
Crowdfunding Secara Online. Jurnal
Kertha Patrika, 41(3), 222237.
Chakaveh, S., & Bogen, M. (2007). Media
Convergence, an Introduction. In Lecture
Notes in Computer Science (including
subseries Lecture Notes in Artificial
Intelligence and Lecture Notes in
Bioinformatics) (Vol. 4552 LNCS, hal.
811814). https://doi.org/10.1007/978-3-
540-73110-8_88
Chang, S. E. (2018). Regulation of
Crowdfunding in Indonesia. Law Review,
XVIII(1), 4171.
Choy, K., & Schlagwein, D. (2016).
Crowdsourcing for a better world: On the
relation between IT affordances and
donor motivations in charitable
crowdfunding. Information Technology
& People, 29(1), 221247.
https://doi.org/10.1108/ITP-09-2014-
0215
CNN Indonesia. (2020). Jokowi Umumkan
Dua WNI Positif Corona di Indonesia.
Diambil 24 Maret 2020, dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/
20200302111534-20-479660/jokowi-
umumkan-dua-wni-positif-corona-di-
indonesia
DP, M. (2020). Masker dan Hand Sanitizer
Mahal dan Langka Karena Virus Corona:
Awas, Ini Ancaman Penjara bagi
Penimbun Masker dan Hand Sanitizer.
Diambil 24 Maret 2020, dari
https://www.grid.id/read/042047754/mas
ker-dan-hand-sanitizer-mahal-dan-
langka-karena-virus-corona-awas-ini-
ancaman-penjara-bagi-penimbun-
masker-dan-hand-sanitizer
Dresner, S. (2014). Crowdfunding: A Guide to
Raising Capital on the Internet. New
Jersey: John Wiley & Sons.
Dzulfaroh, A. N. (2020). Virus Corona Jadi
Pandemi Global, Apa Dampak dan
Langkah Selanjutnya? Diambil 23 Maret
2020, dari
https://www.kompas.com/tren/read/2020/
03/12/064800265/virus-corona-jadi-
pandemi-global-apa-dampak-dan-
langkah-selanjutnya-
Gea, F. D. S. (2016). Crowdfunding: Gerakan
Baru Kegotongroyongan di Indonesia
(Tinjauan Evolusi Gerakan Aksi Kolektif
AVANT GARDE, VOL. 08 NO. 01, JUNI 2020, 1-19 19
dalam Media Baru). In Prosiding
Konferensi Nasional Sosiologi V Asosiasi
Program Studi Sosiologi Indonesia.
Padang.
Gilson, L. L., & Goldberg, C. B. (2015).
Editors’ Comment: So, What Is a
Conceptual Paper? Group &
Organization Management, 40(2), 127
130.
https://doi.org/10.1177/10596011155764
25
Gleasure, R., & Feller, J. (2016). Does Heart
or Head Rule Donor Behaviors in
Charitable Crowdfunding Markets?
International Journal of Electronic
Commerce, 20(4), 499524.
https://doi.org/10.1080/10864415.2016.1
171975
Gras, D., Nason, R. S., Lerman, M., & Stellini,
M. (2017). Going offline: broadening
crowdfunding research beyond the online
context. Venture Capital, 19(3), 217
237.
https://doi.org/10.1080/13691066.2017.1
302061
Hariyani, I., & Serfiyani, C. Y. (2015).
Perlindungan Hukum Sistem Donation
Based Crowdfunding pada Pendanaan
Industri Kreatif di Indonesia. Jurnal
Legislasi Indonesia, 12(4), 353361.
Hemer, J. (2011). A snapshot on crowdfunding
(No. R2/2011). Karlsruhe. Diambil dari
https://www.econstor.eu/bitstream/10419
/52302/1/671522264.pdf
Hutami, N., & Irwansyah. (2019).
Pemanfaatan Aplikasi Mobile Kitabisa
dalam Pelaksanaan Crowdfunding di
Indonesia. Komunikasi, XIII(2), 183194.
Ibrahim, N. (2013). Platform Crowdfunding
Berbasis Web untuk Donasi,
Sponsorship, dan Pendanaan UKM. In
Proceedings Konferensi Nasional Sistem
Informasi (KNSI) (hal. 216220).
Mataram.
Irfan, M. (2016). Crowdfunding sebagai
Pemaknaan Energi Gotong Royong
Terbarukan. Share: Social Work Jurnal,
6(1), 1153.
Janati, F. (2020). Galang Rp 1,3 Miliar Lawan
Corona, Raffi Ahmad Janji Disalurkan
dengan Baik. Diambil 13 April 2020,
dari
https://www.kompas.com/hype/read/202
0/04/03/125316066/galang-rp-13-miliar-
lawan-corona-raffi-ahmad-janji-
disalurkan-dengan-baik?page=all
Jenkins, H., Purushotma, R., Weigel, M.,
Clinton, K., & Robison, A. J. (2009).
Confronting the Challenges of
Participatory Culture: Media Education
for the 21st Century. Cambridge: MIT
Press.
Kim, T., Por, M. H., & Yang, S. (2017).
Winning the crowd in online fundraising
platforms: The roles of founder and
project features. Electronic Commerce
Research and Applications, 25, 8694.
https://doi.org/10.1016/j.elerap.2017.09.0
02
Safhira, V. E. (2020). Bagikan Curhatan
Tenaga Medis COVID-19 Indonesia
yang Kekurangan Alat Memadai, Donna
Agnesia: Jangan Sampai Corona Matikan
Empati Kita. Diambil 24 Maret 2020,
dari https://www.pikiran-
rakyat.com/entertainment/pr-
01353741/bagikan-curhatan-tenaga-
medis-covid-19-indonesia-yang-
kekurangan-alat-memadai-donna-
agnesia-jangan-sampai-corona-matikan-
empati-kita?page=all
Sitanggang, M. H. A. (2018). Memahami
Mekanisme Crowdfunding dan Motivasi
Berpartisipasi dalam Platform
Kitabisa.com. E Journal UNDIP, 23(3),
1–11. Diambil dari
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/in
teraksi-online/article/view/20859/19553
Trivedi, B., & Thaker, K. (2001). Social
Dimensions of Media Convergence in
India. Media Asia, 28(3), 157162.
https://doi.org/10.1080/01296612.2001.1
1726645
Wong, S. H. R. (2012). Which platform do our
users prefer: website or mobile app?
Reference Services Review, 40(1), 103
115.
https://doi.org/10.1108/00907321211203
667
... Selain dampak negatif yang dialami Indonesia juga didera berbagai bencana alam selama pandemi berlangsung. Kondisi negara kita yang semakin memburuk selama pandemi COVID-19 membuat semakin banyak munculnya individu atau organisasi guna menggalang dana untuk membantu masyarakat yang kesulitan, salah satunya penggalangan dana melalui webpage Donasi Online (Warapsari, 2020). Situs Donasi Online merupakan media penggalangan dana secara online dengan konsep kerja sama sosial pertama di Indonesia (Irfan, 2016). ...
... Di masa pandemi situs tersebut membuat kampanye (campaign) dengan tagline #BersamaLawanCorona untuk crowdfunding atau penggalangan dana yang dilakukan. Campaign ini salahsatu upaya untuk meminilamlisir masalah keuangan berasal krisis perekonomian selama pandemi COVID-19 di negara kita ini (Warapsari, 2020). ...
Article
Full-text available
Berbagai pembatasan yang diterapkan selama pandemi COVID-19 memberikan dampak negatif khususnya pada sisi ekonomi masyarakat Indonesia. Namun, kenyataannya ditemukan bahwa perilaku berdonasi masyarakat Indonesia meningkat selama pandemi meskipun persentase penurunan pendapatan dan PHK masyarakat meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran identitas moral pada donatur rutin di situs kitabisa.com selama pandemi COVID-19. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara yang selanjutnya di analisis dengan metode Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Penelitian ini dilakukan kepada tiga orang partisipan yang merupakan donatur rutin di situs kitabisa.com selama pandemi COVID-19, dengan prosedur pengambilan partisipan menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian ini menggambarkan identitas moral yang dimiliki donatur rutin situs kitabisa.com, yang ditandai dengan beberapa temuan pada ketiga partisipan. Temuan tersebut diantaranya perasaaan bersyukur dengan keadaan yang dimiliki, bisa memahami perasaan orang lain yang kesulitan, keinginan untuk bermanfaat bagi orang lain, meyakini pentingnya saling tolong-menolong, meyakini di dalam rezeki yang dimiliki ada rezeki orang lain, menyisihkan sebagian uang meski mengalami penurunan pendapatan, serta melakukan pemberian donasi secara rutin.
... Print and electronic media publications support the findings of Firdaus (2004). Media campaign strategies in fundraising are decisive during fundraising in the millennial era (Muhammad, 2022;Warapsari, 2020). Furthermore, success factors are also supported by the good image of the institution (Zebua, 2019;Prasistyo, 2010) and marketing communication (Yanuar, 2017;Fauzia, 2019;Ma'sum, 2020). ...
Article
Full-text available
Purpose: This study analyses the success factors of the Peduli Palestina fundraising by the humanitarian organisation Aksi Cepat Tanggap (ACT) during the peak of the Covid-19 Pandemic. Methods: Data collection was conducted over three months from April to June 2021. The researcher was involved in several fundraisers and conducted interviews throughout the process. This involvement yielded deep and comprehensive data. Findings: Six fundraising success factors: having legality, marketing and communication strength, higher public empathy during the pandemic, good image of the organisation, print and electronic media publications, and budget transparency. Implications: Fundraising for humanitarian causes, natural disasters, and the construction of houses of worship are routinely carried out throughout the year. However, many charitable organisations struggle to raise funds during times of crisis. ACT's success factor can be learnt. Originality: This article provides the success factors of fundraising in times of crisis. While past studies have focused on fundraising mechanisms in times of calm. Цель: В данном исследовании анализируются факторы успеха сбора средств для организации Peduli Palestina гуманитарной организацией Aksi Cepat Tanggap (ACT) во время пика пандемии Ковид-19. Методы: Сбор данных проводился в течение трех месяцев с апреля по июнь 2021 года. Исследователь участвовал в нескольких акциях по сбору средств и проводил интервью на протяжении всего процесса. Такое участие позволило получить глубокие и всесторонние данные. Выводы: Шесть факторов успеха фандрайзинга: законность, маркетинговая и коммуникационная мощь, более высокая степень сопереживания общественности во время пандемии, хороший имидж организации, публикации в печатных и электронных СМИ и прозрачность бюджета. Последствия: Сбор средств на гуманитарные цели, ликвидацию последствий стихийных бедствий и строительство молитвенных домов проводится регулярно в течение всего года. Однако многие благотворительные организации испытывают трудности с привлечением средств во время кризиса. Фактор успеха ACT может быть взят на вооружение. Оригинальность: В данной статье представлены факторы успеха сбора средств во время кризиса. В то время как прошлые исследования были сосредоточены на механизмах сбора средств в спокойные времена. Tujuan: Studi ini menganalisis faktor-faktor keberhasilan penggalangan dana Peduli Palestina yang dilakukan oleh organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) selama puncak Pandemi Covid-19. Metode: Pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan dari April hingga Juni 2021. Peneliti terlibat dalam beberapa penggalangan dana dan melakukan wawancara selama proses tersebut. Keterlibatan ini menghasilkan data yang mendalam dan komprehensif. Temuan: Enam faktor keberhasilan penggalangan dana: memiliki legalitas, kekuatan pemasaran dan komunikasi, empati publik yang lebih tinggi selama pandemi, citra organisasi yang baik, publikasi media cetak dan elektronik, dan transparansi anggaran. Implikasi: Penggalangan dana untuk kegiatan kemanusiaan, bencana alam, dan pembangunan rumah ibadah rutin dilakukan sepanjang tahun. Namun, banyak organisasi amal yang kesulitan menggalang dana pada masa krisis. Faktor keberhasilan ACT dapat dipelajari. Orisinalitas: Artikel ini memberikan faktor keberhasilan penggalangan dana di masa krisis. Sementara penelitian-penelitian sebelumnya berfokus pada mekanisme penggalangan dana di masa tenang.
... Documentation proof in donations consists of evidence provided by organizers regarding documentation and data surrounding the implementation of online fundraising, proving that the fundraising is genuinely carried out in line with its objectives. Reports on the progress of online fundraising activities need to be transparent and clear through various media formats, such as text, photos, or videos (Warapsari, 2020). Documentation proof becomes a driving factor for the emergence of trust because virtual fundraising cannot allow donors to directly verify the target of the donation. ...
Article
Fundraising is a social activity based on the encouragement the desire to help each other to those in need. Increasingly advanced technology, fundraising is now carried out online so that potential donors can reach them easily. Online fundraising means that users can only interact virtually with fundraising organizers without having to meet in person, so the trust that arises from donors is important until a decision is made to donate. The dynamics of the emergence of trust is important to generate trust in online fundraising organizers. This research was conducted using a qualitative research method with a descriptive exploratory research design. The data sources in this study were five informants who were donors from online fundraising. This study uses semi-structured interviews. Data analysis techniques in this study used inductive thematic analysis techniques. The validity of the data uses a member check. The results of the study show that prospective donors start from the experience of giving previous donations and are encouraged by moral values and then aim to provide online donation assistance which will see transparency of the platform and description of fundraising information provided by the organizer through information regarding donation targets, documentary evidence, and track record of the organizer which then raises an assessment that will result in the emergence of trust in the organizer.
... beamal.id, and the like, makes it easier for people to donate and get involved in social activities (Warapsari, 2020). Fifth, the existence of social movements on social media such as #dirumahaja and #banggabuatanindonesia also influences the development of the social piety movement in Indonesia. ...
Article
Full-text available
Indonesia's title as the most generous country in the world is supported by the strengthening spirit of social piety movements among the Muslim middle class. Social piety movements are of course also supported by the power of the social movement's collective identity in forming the basis that provides the "structure," foundation for engagement, and guidance for individual participation in its expansion. Unfortunately, the strong link between the development of collective identity in social movement groups has not been explained by previous studies. The aim of this research is to describe how the boundary work mechanism contributes to the development of collective identity in the Muslim middle class social piety movement in the Tangan di Atas (TDA) community. Using qualitative descriptive research, the research was conducted over a period of one year (December 2022-December 2023) and describes the actors and boundary work mechanisms in forming collective identity. The researcher conducted in-depth interviews with several subjects who were administrators as well as members of the TDA community to explore variations in their experiences related to the social piety movement they engage in. Meanwhile, with a phenomenological approach, researchers explore the role of individual knowledge, thoughts and feelings or internal aspects or individual subjectivity. The results of this research show that there are several aspects that can be used to view boundary works as a mechanism for forming the collective identity of social piety movements in the TDA community; shared values and principles, joint activities, mutual recognition and appreciation, and establishing relationships with external parties.
... Because viewed from various views, the use of media convergence is more effective and efficient, namely effective in terms of reach and efficient in terms of cost (Sediyaningsih, 2018). Convergence means streamlining a wide variety of different technologies heading in one direction (Warapsari & Campaign, 2020). From the increasingly advanced technological developments, mass media involves many technological factors in it such as the integration of text, numbers, images, video and sound (Khumairoh, 2021). ...
Article
Full-text available
In the digital era of the development of YouTube social media technology, there are many video contents available, one of which is Islamic da'wah content. The use of ulama in doing da'wah on YouTube is a process of transforming ulama as communicators in preaching. By using YouTube as a da'wah channel, there has been an indirect convergence of communication elements, resulting in a blur between ulama as communicators and connoisseurs of da'wah content on YouTube as communicants. The purpose of this study is to see the transformation of ulama as da'wah communicators on YouTube as da'wah channels. This research methodology is qualitative using literature studies that look at previous studies that use content analysis and opinion polls. The results of this study show that therefore, preachers in actualizing their da'wah must understand that the content and form of da'wah are inseparable parts, but can be distinguished in the concept of da'wah. While the characteristics, delivery strategies and methods of da'wah also have an important position in da'wah. With the interactivity facilitated by digital media, the boundary between communicators and communicants is getting thinner when communicating using YouTube media.
... Pesatnya perkembangan teknologi di zaman sekarang ini mempengaruhi semua kehidupan dan membuat orang kecanduan teknologi. (Warapsari, 2020) Selain memudahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, teknologi juga dapat memudahkan manusia untuk membantu sesama. Kenyamanan yang dirasakan saat ini telah memberikan pendekatan yang dapat dihubungkan dengan portal pendanaan alternatif (Putra, 2023). ...
Article
Full-text available
Donasi online telah menjadi semakin populer dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan adanya kemajuan teknologi dan akses mudah ke internet. Budaya siber mengacu pada praktik-praktik dan norma-norma yang berkembang dalam ruang digital. Donasi online sebagai budaya siber memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat dan cara mereka berpartisipasi dalam kegiatan amal. Dalam penelitian ini akan membahas mengapa dan bagaimana penonton melakukan donasi terhadap streamer di Youtube melalui fitur superchat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif analisis deskriptif, yang melakukan observasi dan wawancara dengan narasumber. Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa budaya donasi online melalui fitur superchat sudah menjadi fenomena yang berkembang di Masyarakat.
Article
This study aims to determine the factors that influence the decision to donate through crowdfunding. The factors studied include the ease of the system, religiosity, social spirit, reputation, security, and influencers with trust in management as a mediating variable and their influence on the decision to donate through crowdfunding. This study adopted the Technology Acceptance Model (TAM) and Theory of Planned Behavior (TPB) to develop the research model. The sample in this study amounted to 300 respondents with a convenience sampling technique. Primary data that is processed comes from answers to questionnaires distributed to respondents via Google Forms. Data were analyzed using the statistical software Smart PLS Version 3.3.5. The results of this study indicate that the ease of the system and trust have an influence on the decision to become a donor on the crowdfunding platform. Religion and social spirit do not influence the decision to become a donor on the crowdfunding platform. Reputation, security and influencers influence the trustworthiness of managing a crowdfunding platform.
Article
Perkembangan teknologi tidak terlepas dari modernisasi. Modernisasi memposisikan diri sebagai bentuk globalisasi yang berkelanjutan. Indonesia sangat heterogen, dan seluruh aspek masyarakat, budaya, dan kehidupan menjadi semakin beragam seiring dengan globalisasi. Perkembangan teknologi menjadi bahan modernisasi keberagaman, guna menyesuaikannya dalam konteks ketergantungan terhadap teknologi baru salah satunya komputasi sosial. Crowdsourcing merupakan bagian dari komputasi sosial dan menjadi metode yang semakin populer di kalangan institusi dan bisnis di semua sektor dengan memanfaatkan dukungan komunitas. Penelitian ini menggunakan salah satu jenis crowdsourcing yaitu crowdfunding yang diterapkan dalam apikasi dompet dhuafa. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan keberlanjutan organisasi pelayanan sosial melalui dukungan pemanfaatan platform crowdfunding dompet dhuafa. Metode dalam penelitian ini dengan mnggunakan UML dan Use case diagram untuk merancang sistem yang akan menampilkan menu donasi otomatis dan memungkinkan pengguna untuk memilih kategori donasi otomatis, mengatur waktu donasi, dan melihat saldo yang tersedia. Hasil penelitian berupa rancangan pengintegrasian fungsi donasi otomatis ke dalam aplikasi Dompet Dhuafa telah sesuai dengan kebutuhan fungsional sistem.
Article
Full-text available
This research aims to explore the synergy of civic education in minimizing cyberbullying actions in the digital world. The method used is a literature review approach, employing literature study techniques and distributing questionnaires to the general public. The main findings indicate that the majority of the population, around 77%, are involved in internet usage, with 65% actively participating in social media. WhatsApp and Instagram dominate as the most widely used platforms, reaching 92.1% and 86.5%, respectively. However, the negative impact of social media, particularly in the form of cyberbullying, cannot be ignored. The impacts of cyberbullying include psychological aspects, easily traceable digital footprints, and psychosocial effects involving feelings of isolation and social rejection. The conclusion emphasizes the importance of civic education in responding to and preventing cyberbullying, not only intellectually but also socially and emotionally adept. Netiquette, or internet etiquette, takes center stage in shaping positive characters in the digital world. A holistic approach involves community-based social education, the revolution of Generation Z's character, and active community participation to minimize cyberbullying. A safe school environment is also crucial. By understanding psychosocial aspects and moral values, civic education is expected to mold a generation that contributes positively to the digital society. Therefore, understanding citizenship and digital ethics is key to creating a safe online environment and supporting the positive development of individuals and society as a whole.
Article
Full-text available
As relics of the past, ancient manuscripts are able to provide information on various aspects of the lives of past communities such as politics, economics, socio-culture, traditional medicine, the veil of earthquakes or natural phenomena, human physiology, and so on. The values of this information are needed to relate the good values of the past to be applied today. Media offerings related to Sundanese manuscripts are limited. Among of limited information from the website, www.kiraga.com emerged as one of the public parties that participated to preservation of this cultural heritage, especially in the scope of Sundanese manuscripts. Participation culture is defined as a new form of culture that develops due to the support of information technology, where individuals or members of a community can participate in the creation and distribution of content. This research is qualitative research with case study method, researchers try to analyze the participatory culture of kairaga.com website in preserving Sundanese manuscripts. The data collection techniques used are interviews, observation, and documentation. From the results of the research, the website manager collaborated with Pustaka Sunda, Sakola Aksara Sunda Cianjur, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Jagongan Naskah (Jangkah) with various circles of Sundanese manuscript lovers both from within and outside country to become an integral part of cultural expansion because it increases the community's ability to collaborate, namely developing and disseminating news, ideas, and creative works and connecting with people who have the same goals and interests in this case content development.
Article
Full-text available
The purpose of this study were to explore how crowdfunding can support social action both online and offline movement of students. Eighteen participants consisting of crowdfunding platform founder, founder and volunteer organization participated in this study. Grounded theory methodology was applied and involved simultaneous data collection, coding and analysis through constant comparison. The emerging theory is “democratization financial access”.
Article
Full-text available
Industri Crowdfunding (penggalangan dana) di Indonesia telah berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Sangat kontras berbeda dengan crowdfunding berbasis utang, sangat sedikit perusahaan yang melakukan crowdfunding berbasis ekuitas, yang merupakan jenis lain dari crowdfunding, muncul dan redup pada tahun 2017. Saat ini, tidak ada bisnis crowdfunding berbasis ekuitas atau peraturan terkait sementara OJK telah mengumumkan rencananya untuk mengadopsi peraturan terkait pada akhir tahun 2017. Dengan latar belakang ini, tulisan ini membahas bagaimana hukum dan peraturan di Indonesia menghambat munculnya bisnis crowdfunding berbasis ekuitas: (i) permasalahan waktu dan biaya yang tidak efisien dalam hukum perusahaan, dan (ii) potensi pelanggaran terhadap hukum dan peraturan pasar modal.
Article
Full-text available
Setiap lembaga pelayanan sosial pasti membutuhkan dana dalam melakukan berbagai program-program pelayanannya. Secara umum lembaga pelayanan sosial memperoleh pendanaan yang bersumber dari berbagai donatur baik pemerintah, swasta maupun perseorangan. Namun, sering kali dana yang diperoleh dari donatur tersebut tidak mampu menutupi biaya operasional lembaga. Banyak diantara lembaga-lembaga pelayanan sosial yang pada akhirnya gulung tikar karena tersendat aspek pendanaan. Untuk menanggulangi ancaman tersebut, setiap lembaga pelayanan sosial harus memiliki strategi-strategi dalam memperoleh pendanaan (fundraising). Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, saat ini di Indonesia mulai berkembang salah satu metode fundraising dengan menggunakan media internet. Metode ini dinamakan metode crowdfunding. Dalam praktik pekerjaan sosial baik dalam setting lembaga pelayanan sosial maupun dalam setting casework seorang pekerja sosial dapat menggunakan metode crowdfunding sebagai salah satu strategi fundraising baik untuk memperoleh dana maupun untuk menghubungkan klien dengan sistem sumber yang tersedia. Dalam hal ini pekerja sosial memainkan perannya sebagai broker.
Conference Paper
Full-text available
Crowdfunding merupakan inovasi baru dalam dunia keuangan. Crowdfunding merupakan skema intermediasi keuangan berbasis internet yang mengumpulkan dana dari masyarakat umum atau disebut dengan crowd (kerumunan). Crowdfunding dalam perkembangannya tidak hanya sebagai lembaga intermediasi keuangan saja melainkan berperan dalam membentuk rule of social capital. Artikel ini bertujuan untuk membahas peluang crowdfunding sebagai sarana pembiayaan pembangunan infrastruktur yang melibatkan masyarakat dan pemerintah sebagai penyelenggara pembangunan infrastruktur. Hasil dari studi ini menyimpulkan bahwa crowdfunding dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur terutama jika pemerintah dan masyarakat memiliki kedekatan sosial yang tinggi. Kesuksesan penghimpunan dana untuk pembangunan infrasturktur melalui crowdfunding oleh pemerintah akan dipengaruhi oleh social capital yang terbentuk. Kata kunci: Crowdfunding, Pendanaan Infrastruktur, Social capital
Article
Full-text available
Nilai-nilai gotong royong sebagai budaya Indonesia yang merupakan bentuk solidaritas sosial masyarakat diduga kian samar atau bahkan menghilang di kehidupan saat ini. Ini terjadi seiring kencangnya laju globalisasi. Perubahan yang terjadi diikuti pula oleh perkembangan teknologi, diantaranya teknologi telekomunikasi berupa handphone. Berawal hanya berfungsi sebagai alat telokomunikasi sederhana hingga sampai pada teknologi smartphone yang memungkinkan pengguna menjelajah jejaring internet yang dikenal dengan istilah media sosial. Keterjangkauan yang luas memberi peluang komunitas netizen berinteraksi antar sesama individu melalui media sosial. Seiring dengan perubahan itu membawa pada perkembangan aspek lainnya, sebagian orang menggunakan sebagai ajang pergaulan semata, sebagian menggunakannya sebagai wadah usaha (e-commerce), bahkan sebagian masyarakat lainnya menggunakan menjadi gerakan sosial. Media sosial dapat menjadi potensi positif dalam membangun perubahan perilaku masyarakat. Gerakan sosial pun dapat memperkuat peran sosial media untuk menyuarakan kesamaan rasa atas ekspresi ketidaknyaman dalam sebuah tatanan pemerintahan yang saat ini terjadi hingga sampai pada membangun kesepakatan membuat kegiatan nyata untuk merealisasikan gerakannya. Beberapa organisasi nirlaba memanfaatkannya melalui jejaring internet dalam melakukan penggalangan dananya, dengan memunculkan proyek dan portofolio. Aktifitas Fundraising melalui jejaring sosial disebut dengan Crowdfunding. Crowdfunding merupakan suatu model pendanaan dengan beberapa aktor yang berperan didalamnya. Semangat kolaborasi tersebut merupakan semangat yang sudah menjadi budaya nusantara, yaitu semangat gotong royong. Konsekuensi perubahan sosial dalam konsep gotong royong ternyata bermetamorforsis dalam media yang berbeda. Esensi gotong royong sebagai tindakan bekerja sama tanpa pamrih tetap tidak hilang. Namun berubah dengan menggunakan cara yang berbeda. Potensi ini dapat menjadi sebuah strategi baru bagi organisasi nirlaba atau organisasi pelayanan sosial dalam membangun jejaring khalayak yang lebih luas. Termasuk didalamnya adalah peran pekerja sosial.
Article
Full-text available
Purpose – The purpose of the paper is to better understand the relation between information technology (IT) affordances and donor motivations in charitable crowdfunding. Design/methodology/approach – This paper reports the findings from a comparative case study of two charitable crowdfunding campaigns. Findings – The affordances of crowdfunding platforms support types of donor motivation that are not supported effectively, or at all, in offline charity. Research limitations/implications – For future researchers, the paper provides a theoretical model of the relation between IT affordances and motivations in the context of charitable crowdfunding. Practical/implications – For practitioners in the charity space, the paper suggests why they may wish to consider the use of charitable crowdfunding and how they may go about its implementation. Originality/value – Based on field research at two charitable crowdfunding campaigns, the paper provides a new theoretical model.
Article
Crowdfunding is regarded as a novel way of collecting money for innovators to introduce products or services they ultimately wish to launch. The question arises, however, of what makes funding projects on these online platforms, with their different features of project evaluation and risk management, more successful than traditional fundraising approaches. We examine this question in the context of a pre-ordering model, which is also known as the reward-based crowdfunding model. A large-sample data analysis based on 116,956 crowdfunding projects on Kickstarter showed that most founder (i.e., identity disclosure and prior experience) and project (i.e., comments, updates, description elaborateness, and campaign duration) features have a positive effect on successful crowd fundraising. We also found a negative relationship between the funding goal amount and successful fundraising. Our findings may contribute not only to knowledge accumulation in crowdfunding research, but also to founders by offering evidence-based guidelines on the design of successful crowdfunding projects in an online fundraising platform.
Article
Crowdfunding is often touted as a recent innovation that unleashes entrepreneurial potential by connecting entrepreneurs to small amounts of money from a broad base of individuals. However, literature on the topic has largely neglected the rich history of crowdfunding and failed to make an interesting and salient distinction between online and offline crowdfunding. This paper explicates the historical roots and current practices of offline crowdfunding, compares and contrasts online and offline crowdfunding, develops theoretically grounded predictions linking each type of crowdfunding to entrepreneurship outcomes, and offers related future research opportunities. We hope to build a rich appreciation for offline crowdfunding, provide insight into how crowdfunding as a financing mechanism has evolved and persists in contemporary society, and lay a foundation for future scholarly work in the area.
Article
The current decade has witnessed rapid technological advances that have triggered off changes in the delivery system of providing information and the kind of information delivered to the society. Digitalisation, with its unique feature of carrying different technologies through a single pipe, is the driving force for convergence eliminating the distinction of various media of information dissemination. This convergence is in different areas of fixed and mobile telecommunications, television and radio broadcasting, imaging, video, audio recording, transmission, distribution, data communications, computer networks.1 This has resulted in far reaching changes in the communication scenario and the way we conduct our business and transactions. It implies changes at all levels – technology, content, reach and marketing.2 Convergence is perceived as an enabler of the information society. India is one of those countries, where media convergence is likely to be accelerated and in the near future, Indian society will no longer be influenced by one media alone. This convergence will have significant and far-reaching implications and impact on Indian society.
Article
Crowdfunding has matured into a meaningful online marketplace, both for traditional ecommerce activities and for charitable fundraising. For charities, crowdfunding presents novel donation behaviors, including those where donors may proactively seek out causes and give (often anonymously) to help others with whom they share little social connectivity. Understanding these behaviors is challenging compared to traditional fundraising, where charitable giving is partly explained by factors such as guilt avoidance, reciprocity, image, vicarious enjoyment, and group-level benefits. This suggests some subset of charitable motivations is brought uniquely into focus in crowdfunding marketplaces. These marketplaces are often inhabited by fundseeking individuals and larger formal organizations. This adds further complexity, given donors traditionally perceive and interact differently with charitable organizations and less formal fundraising entities. This study explores donation behavior in charitable crowdfunding based on the distinction between ‘pure altruism’ and ‘warm glow’ motivations. We offer a discriminatory model of donation behaviors towards individuals and organizations, which is then tested in a large-scale field study of Razoo.com. Findings suggest donations to organizations are more influenced by outcome-related factors, such as fundraising targets and the likelihood of meeting that target, while donations to individuals are more influenced by interaction-related factors, such as the level of dialogue around a campaign.