Conference PaperPDF Available

DISTRIBUSI IKAN TERUMBU DI PERAIRAN CAGAR ALAM PULAU SEMPU, KABUPATEN MALANG

Authors:

Abstract

Abstrak Reef Check is an activity to find out the condition of coral reefs and it's another supporting ecosystem. Reef fish are important for describing the healthy condition of coral reef health. Herbivorous fish is major agent of decreasing number coral's competitor, algae, that open space to coral growth. Corallivorous fish are dependent on coral for their daily dietary, so both of coral and fish are mutualism each other. Deterioration of coral and it supporting ecosystem due stressor will impacted on their sustainability. The aim of this research is to record reef fish in nature reserve area, Pulau Sempu, as part yearly monitoring of ReefCheck program. Survey was conducted on Teluk Semut 1, Teluk Semut 2, Watu Meja, and Waru-waru. Underwater Visual Census (UVC) was used as a method for this research to identify reef fish in a transect of 100 x 5 x 5m scale in (length, width, and height). Results showed several fishes was used to identify yet the family of Chaetodontidae with mean abundance 0.0072 individual/m3 in Teluk Semut 1, 0.0084 individual/m3 in Teluk Semut 2, 0.0104 individual/m3 in Waru-Waru, and 0.008 individual/m3 in Watu Meja. Watu Meja and Waru-Waru station showed higher mean abundance than other station, this indicates coral reefs ecosystem in this station have a better health and condition compare to the other stations. Haemulidae, snapper and grouper shows low mean abundance that indicates overfishing on Sempu Strait, South Malang. Reef fish in Pulau Sempu that has important for economical seem lower in their abundance and the other hand indicator reef fish higher indicate the coral reef still remaining health. 1. PENDAHULUAN Nilai komersial yang dimiliki ikan banyak ditemukan di daerah terumbu karang, sehingga dapat dikatan bahwa terumbu karang sebagai habitat bagi ikan komersil. Selain itu, ekosistem termbu karang juga memiliki tingkat keragaman ikan yang tinggi (Manembu et al., 2014). Luasan dari terumbu karang hanya 0,1% dari permukaan laut yang ada di dunia, akan tetapi memiliki kisaran 12.000 spesies ikan yang ada di dunia dan 7.000 spesies merupakan spesies ikan yang terdapat pada ekosistem terumbu karang atau sekitar 58,3% dari jenis ikan yang ada di dunia (Allen, 2007). Ikan yang hidup didalam ekosistem terumbu karang memiliki ciri yang beragam, mulai dari warna, bentuk, dan ukuran. Ikan terumbu sebagai ikan konsumsi juga memiliki nilai sebagai ikan hias dengan nilai jual tinggi (Manembu et al., 2014). Ikan terumbu berdasarkan tujuan pegelolaan dapatdibagi menjadi tiga kelompok, antaralain adalah ikan target, ikan indikator dan ikan mayor (berperan dalam rantai makanan) (Dartnall dan Jones, 1986). Komunitas ikan terumbu yang berasosiasi dengan karang memiliki respon dari setiap perubahan dalam berbagai faktor lingkungan serta perubahan dalam berbagai kondisi, yakni mulai dari perubahan secara spasial maupun temporal (Miller dan Hay, 1998). Bentuk yang berbeda dari life form karang merupakan salah satu faktor utama dari tempat hidup dari ikan terumbu (Kingsford, 1998). Ikan terumbu mempunyai ikatan yang erat dengan terumbu karang, terumbu karang dijadikan tempat dimana ikan berlindung, mencari makan, dan memijah. Struktur fisik dari setaip karang di jadikan tempat berlindung bagi ikan dari kejaran pridator sehingga menjadi tempat yang aman bagi ikan terumbu (Denny dan Babcock, 2004). Melimpahnya komunitas ikan terumbu sangat erat kaitannya dengan kondisi dari kondisi karang itu sendiri, sama halnya dengan keanekaragaman spesies ikan terumbu yang juga berbanding lurus dengan keanekaragaman spesies karang keras (Rembet, 2011). Ikan terumbu dapat membantu karang dalam proses pemulihan ketika terjadi akumilasi berlebihan dari makroalga di suatu perairan (Anderson dan Russell, 2004). Pencemaran perairan oleh logam berat Pb (timbal) dapat membahayakan organisme perairan dengan tingkat toksisitas yang cukup tinggi dan mengakibatkan kerusakan organ pada organisme yang nantinya dapat menyebabkan kematian (Triadayani, 2010). Selain itu, kegiatan penangkapan yang intensif juga dapat berpengaruh terhadap populasi ikan dan ekosistemnya (Lampae, 2005). Hal ini dapat mengganggu ekosistem terumbu karang yang nantinya berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap hasil
Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan VIII
ISBN : 978-602-72784-3-1
© 2019 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya
Website : www.semnas.fpik.ub.ac.id
E-mail: semnas.fpik@ub.ac.id
Submitted: 2019-10-01
Revised: 2019-10-31
Accepted: 2019-12-01
Online: 20
20
-
01
-
24
DISTRIBUSI IKAN TERUMBU DI PERAIRAN CAGAR ALAM PULAU
SEMPU, KABUPATEN MALANG
Oktiyas Muzaky Luthfia*, Dzikrillah Akbara, Muhammad Syahidan F.Sa, Muhammad
Reza Mahendraa, Supriadi Sihotanga, Dyan Faridhaa
aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang,
Jl. Veteran Malang, Jawa Timur 65145, Indonesia
*E-mail : omuzakyl@ub.ac.id
Abstrak
Reef Check is an activity to find out the condition of coral reefs and it’s another supporting ecosystem. Reef fish
are important for describing the healthy condition of coral reef health. Herbivorous fish is major agent of decreasing
number coral’s competitor, algae, that open space to coral growth. Corallivorous fish are dependent on coral for their
daily dietary, so both of coral and fish are mutualism each other. Deterioration of coral and it supporting ecosystem
due stressor will impacted on their sustainability. The aim of this research is to record reef fish in nature reserve
area, Pulau Sempu, as part yearly monitoring of ReefCheck program. Survey was conducted on Teluk Semut 1,
Teluk Semut 2, Watu Meja, and Waru-waru. Underwater Visual Census (UVC) was used as a method for this
research to identify reef fish in a transect of 100 x 5 x 5m scale in (length, width, and height). Results showed several
fishes was used to identify yet the family of Chaetodontidae with mean abundance 0.0072 individual/m3 in Teluk
Semut 1, 0.0084 individual/m3 in Teluk Semut 2, 0.0104 individual/m3 in Waru-Waru, and 0.008 individual/m3 in
Watu Meja. Watu Meja and Waru-Waru station showed higher mean abundance than other station, this indicates
coral reefs ecosystem in this station have a better health and condition compare to the other stations. Haemulidae,
snapper and grouper shows low mean abundance that indicates overfishing on Sempu Strait, South Malang. Reef
fish in Pulau Sempu that has important for economical seem lower in their abundance and the other hand indicator
reef fish higher indicate the coral reef still remaining health.
Keywords
:
1. PENDAHULUAN
Nilai komersial yang dimiliki ikan banyak ditemukan di daerah terumbu karang, sehingga dapat dikatan
bahwa terumbu karang sebagai habitat bagi ikan komersil. Selain itu, ekosistem termbu karang juga
memiliki tingkat keragaman ikan yang tinggi (Manembu et al., 2014). Luasan dari terumbu karang hanya
0,1% dari permukaan laut yang ada di dunia, akan tetapi memiliki kisaran 12.000 spesies ikan yang ada di
dunia dan 7.000 spesies merupakan spesies ikan yang terdapat pada ekosistem terumbu karang atau sekitar
58,3% dari jenis ikan yang ada di dunia (Allen, 2007). Ikan yang hidup didalam ekosistem terumbu karang
memiliki ciri yang beragam, mulai dari warna, bentuk, dan ukuran. Ikan terumbu sebagai ikan konsumsi
juga memiliki nilai sebagai ikan hias dengan nilai jual tinggi (Manembu et al., 2014). Ikan terumbu
berdasarkan tujuan pegelolaan dapatdibagi menjadi tiga kelompok, antaralain adalah ikan target, ikan
indikator dan ikan mayor (berperan dalam rantai makanan) (Dartnall dan Jones, 1986).
Komunitas ikan terumbu yang berasosiasi dengan karang memiliki respon dari setiap perubahan dalam
berbagai faktor lingkungan serta perubahan dalam berbagai kondisi, yakni mulai dari perubahan secara
spasial maupun temporal (Miller dan Hay, 1998). Bentuk yang berbeda dari life form karang merupakan
salah satu faktor utama dari tempat hidup dari ikan terumbu (Kingsford, 1998). Ikan terumbu mempunyai
ikatan yang erat dengan terumbu karang, terumbu karang dijadikan tempat dimana ikan berlindung, mencari
makan, dan memijah. Struktur fisik dari setaip karang di jadikan tempat berlindung bagi ikan dari kejaran
pridator sehingga menjadi tempat yang aman bagi ikan terumbu (Denny dan Babcock, 2004). Melimpahnya
komunitas ikan terumbu sangat erat kaitannya dengan kondisi dari kondisi karang itu sendiri, sama halnya
dengan keanekaragaman spesies ikan terumbu yang juga berbanding lurus dengan keanekaragaman spesies
karang keras (Rembet, 2011). Ikan terumbu dapat membantu karang dalam proses pemulihan ketika terjadi
akumilasi berlebihan dari makroalga di suatu perairan (Anderson dan Russell, 2004).
Pencemaran perairan oleh logam berat Pb (timbal) dapat membahayakan organisme perairan dengan
tingkat toksisitas yang cukup tinggi dan mengakibatkan kerusakan organ pada organisme yang nantinya
dapat menyebabkan kematian (Triadayani, 2010). Selain itu, kegiatan penangkapan yang intensif juga dapat
berpengaruh terhadap populasi ikan dan ekosistemnya (Lampae, 2005). Hal ini dapat mengganggu
ekosistem terumbu karang yang nantinya berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap hasil
Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan VIII Tahun 2019
Website : www.semnas.fpik.ub.ac.id
E-mail: semnas.fpik@ub.ac.id
18
tangkapan serta ukuran dari ikan terumbu. Tingkat kerusakan dapat berpengaruh terhadap proses yang
terjadi di dalam ekosestem terumbu karang (Bryant et al., 1989).
Pulau Sempu berada pada 8°26'28.18" LS, 112°40'58.33" BT. Pulau Sempu merupakan daerah cagar
alam dengan luasan 980 ha yang berada di Kabupaeten Malang (Luthfi et al., 2017). Selain dari aktifitas
pelayaran atau penangkapan secara destruktif yang berpotensi mengancam kerusakan ekosistem terumbu
karang, terdapat aktifitas manusia pula yang berdampak buruk. Aktivitas tersebut diantaranya adalah
peningkatan jumlah penduduk, alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, aktifitas wisata, serta
kegiatan perikanan yang semuanya berpotensi dalam terjadinya penurunan kesehatan dari ekosistem
terumbu karang yang ada di lingkungan perairan sempu (Luthfi et al, 2017). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jumlah serta kelimpahan ikan terumbu di perairan Cagar Alam Pulau Sempu menggunakan
metode Reef Check. Mengingat tingginya ancaman terhadap terumbu karang yang dapat berpengaruh
terhadap berkurangnya biodiversitas ikan terumbu dan ketergantungan masyarakat pesisir terhadap
sumberdaya perikanan, maka perlu adanya pendataan mengenai persebaran dari ikan terumbu yang ada di
wilayah perairan Cagar Alam Sempu,Malang.
2. BAHAN DAN METODE
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 29 April 2018 di Cagar Alam Pulau Sempu, Desa Tambakrejo,
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pengambilan data dilakukan pada empat stasiun diantaranya Teluk Semut
1 (112.68203o BT – 08.43913o LS), Teluk Semut 2 (112.68082o BT – 08.44010o LS), Watu Meja
(112.69814o BT – 08.42895o LS), dan Waru-Waru (112.69370o BT – 08.43005o LS) (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi stasiun penelitian
Metode pengambilan data penelitian ini menggunakan metode underwater visual census (UVC) (Reef
Check org). Metode UVC adalah mendeskripsikan ikan yang berada dalam transek. Metode ini sangat
cocok untuk memantau kelimpahan ikan terumbu karena memungkinkan pengumpulan data tingkat
komunitas tanpa gangguan yang melekat pada teknik pengambilan sampel yang lebih merusak (Halford
dan Thompson, 1994). Pengambilan data transek yang digunakan adalah transek denagn ukuran 100 x 5 x
5 meter (panjang, lebar dan tinggi). Pencatatan data jenis dan jumlah ikan dilakukan dengan jarak pandang
sejauh 5 m, 2.5 m ke kiri dan 2.5 m ke kanan serta pandangan menghadap arah depan sejauh panjang transek
yang digunakan. Identifikasi jenis ikan terumbu dilakukan secara langsung di lapangan dan dicatat dalam
sabak berdasarkan tabel Reef Check. Pengambilan data dilakukan oleh satu orang penyelam di setiap
stasiun. Perhitungan jumlah ikan dicatat dengan menggunakan sistem turus di sabak (underwater slate)
yang sudah dibuat sebelumnya. Pengambilan data dilakukan setiap 20 m dengan jeda 5 m sepanjang 100 m
(Gambar 2).
Menurut Odum (1994), kelimpahan ikan terumbu dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑋 = 𝑥𝑖
𝑛
Dimana:
X: Kelimpahan ikan terumbu
xi: Jumlah ikan pada stasiun ke-i
n: Volume transek pengamatan
Tantangan dan Peluang Pengelolaan Perikanan Kelautan Berkelanjutan Menyongsong Sustainable
Development Goals (SDGs)
Website : www.semnas.fpik.ub.ac.id
E-mail: semnas.fpik@ub.ac.id
19
Menurut Reef Check.org adapun ikan terumbu yang harus dicatat guna diketahui berapa jumlah dan
kelimpahannya. Ikan Kepe-Kepe/ Butterfly fish (Chaeodonidae) semua spesies sebagai indikator
penangkapan berlebih dan penangkapan ikan hias. Tidak hanya itu, ikan terumbu Chaetodonidae memiliki
keunikan yakni kelimpahan dan jumlahnya akan memberikan gambaran mengenai kondisi terumbu karang.
Ikan Grunts/Sweetlips (Haemulidae) sebagai indikator penangkapan berlebih. Ikan Kakak tua atau ikan
bayeman (nama lokal daerah Malang Selatan) yang termasuk dalam family Scaridae dengan ukuran > 20
cm sebagai indikator penangkapan berlebih. Belut laut/ Moray eel (Muraenidae) sebagai indikator
penangkapan berlebih. Ikan Kerapu/ Grouper/ Coral Trout sebagai indikator penangkapan berlebih dan
perdagangan ikan hidup dengan kategori ukuran 30-40 cm, 40-50 cm, 50-60 cm dan > 60 cm. Barramundi
Cod (Cromileptes altivelis) sebagai indikator penangkapan berlebih dan perdagangan ikan hidup.
Bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum) sebagai indikkator penangkapan berlebih. Ikan
Napoleon/ Humphead wrasse (Cheilinus undulatus) sebagai indikator penangkapan berlebih dan
perdagangan ikan hidup.
Gambar 2. Metode Underwater Visual Census (UVC)
Metode estimasi ikan terumbu dilakukan guna pengukuran dan perhitungan data ikan. Perlu diingat
bahwa dalam menentukan ukuran ikan karang tidak boleh melebihi 20% dari ukuran sebenarnya. Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai ukuran saat melakukan perhitungan estimasi ukuran ikan,
antaralain objek yang diamati akan terlihat lebih besar saat menggunakan masker selam, arah sudut ikan,
visibilitas perairan atau tingkat kerjenihan dan variasi bentuk tubuh dari ikan yang berbeda-beda (Halford
dan Thompson, 1994). Penelitian ini menggunakan metode estimasi perhitungan ukuran ikan terumbu yang
mengacu pada metode Reef Check Indonesia. Metode tersebut memperkirakan panjang ikan menggunakan
perbandingan under water slate dengan visual pengamatan secara langsung pada saat mengambil data
lapang.
Pembekalan materi pengukuran estimasi ikan perlu dilakukan sebelum pengambilan data dan
perhitungan hasil data guna mendapatkan estimasi ukuran ikan karang dengan akurat. Pada awal
pemantauan, tingkat keakuratan dari para pengamat estimasi ikan harus dicatat guna mengetahui derajat
kesalahan (error) dari setiap estimasi yang mereka dapat. Secara garis besar, para pengamat ikan karang
harus dapat mengestimasi panjang ikan dengan selisih 5 cm dan mampu memiliki tingkat keakuratan
tersebut melalui pelatihan dan praktek. Kategori ukuran ikan dibagi ke dalam ikan kecil sampai sedang (10
– 35 cm) dan ikan besar (> 35 cm) (Luthfi et al, 2017).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada stasiun Teluk Semut 1 hanya di temukan 2 jenis ikan terumbu, yakni Butterflyfish dan Parrotfish.
Berdasarkan grafik rata-rata kelimpahan ikan di stasiun Teluk Semut 1, diketahui kelimpahan ikan yang
ada di stasiun Teluk Semut 1 didominasi jenis ikan Butterflyfish dengan nilai 0.0072 individu/m3.
Sedangkan jenis ikan Parrotfish dengan nilai 0.0004 individu/m3 (Gambar 3). Hasil pengamatan ikan
terumbu di stasiun Teluk Semut 1 pada kedalaman sekitar 2-4 m dalam jarak transek 0 - 20 m ditemui 3
ekor Butterflyfish. Pada jarak 25 - 45 m ditemui 6 Butterflyfish. Pada jarak 50 - 70 m ditemui 7 Butterflyfish,
1 Parrotfish. Pada jarak 79 – 95 m ditemui 2 Butterflyfish. Jenis ikan Haemulidae, Parrotfish, Bumphead
parrot, Humphead wrasse dan Baramundi Cod tidak ditemukan pada pada stasiun Teluk Semut 1.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan VIII Tahun 2019
Website : www.semnas.fpik.ub.ac.id
E-mail: semnas.fpik@ub.ac.id
20
Gambar 3. Sebaran Ikan Terumbu di Stasiun eluk Semut 1
Ikan terumbu yang ada di stasiun Teluk Semut 2 yakni terdapat 3 jenis yang di temukan. Kelimpahan
ikan jenis Butterflyfish adalah 0.0084 individu/m3. Kelimpahan jenis ikan Snapper adalah 0.0008
individu/m3. Sedangkan kelimpahan ikan jenis Grouper adalah 0.0004 individu/m3. Jenis ikan yang tidak
ditemui pada stasiun Teluk Semut 2 adalah Haemulidae, Barramundi Cod, Humphead wrasse, Bumphead
parrot, Parrotfish dan Moray eel. Hasil pengamatan ikan pada kedalaman 3 - 5 m pada Teluk Semut 2
dengan jarak transek 0 - 20 m ditemukan 4 Butterflyfish. Pada jarak 25 - 45 m ditemukan 6 Butterflyfish
dan 2 Snapper. Pada jarak 50 - 70 m ditemui 4 Butterflyfish. Pada jarak 79 - 95 m ditemui 7 Butterflyfish
dan 1 Grouper ukuran 30 - 40 cm. Pada stasiun Teluk Semut 2 ini hanya ditemukan 3 jenis ikan yaitu
Butterflyfish 21 ekor, Snapper 2 ekor dan Grouper 1 ekor. Berdasarkan grafik rata-rata sebaran ikan di
stasiun Waru-Waru, diketahui kelimpahan ikan yang ada di stasiun Waru-Waru didominasi jenis ikan
Butterflyfish dengan nilai 0.0104 individu/m3. Sedangkan jenis ikan Parrotfish dengan nilai rata-rata 0.0036
individu/m3 dan jenis Moray eel 0.0004 individu/m3 (Gambar 5).
Tabel 1. Kelimpahan ikan terumbu yang ditemukan di seluruh stasiun penelitian
Stasiun
Kelimpahan (indv
ividu
/m
3
)
Butterfly fish Snapper Grouper Parrot fish Moray eel
Teluk Semut 1
0.0072
0
0
0.0004
0
Teluk Semut 2
0.0084
0.0008
0.0004
0
0
Waru
-
Waru
0.0104
0
0.0004
0.0036
0.0004
Watu Meja
0.008
0.0048
0
0
0
Gambar 4. Sebaran Ikan Terumbu di Stasiun Teluk Semut 2
Hasil pengamatan ikan terumbu yang di lakukan di stasiun Waru-Waru pada kedalaman 3 m - 4 m
dengan jarak 0 - 20 m terdapat 3 Butterflyfish, 1 Parrotfish, 1 Moray eel. Pada jarak 25 – 45 m terdapat 5
Butterflyfish, 2 Parrotfish. Pada jarak 50 – 70 m terdapat 11 Butterflyfish, 4 Parrotfish. Pada jarak 75 – 95
m terdapat 7 Butterflyfish, 2 Parrotfish. Pada kedalaman ini hanya ditemukan 3 jenis ikan Butterflyfish 26
ekor, Parrotfish 9 ekor dan Moray eel 1 ekor. Jenis ikan yang tidak ditemukan pada Stasiun Waru-Waru
antara lain Haemulidae, Snapper, Barramundi Cod, Humphead wrasse, Bumphead parrotfish.
0
1
2
3
4
5
6
Kelimpahan ikan terumbu
(individu/m3)
0
2
4
6
Kelimpahan ikan terumbu
(individu/m3)
Tantangan dan Peluang Pengelolaan Perikanan Kelautan Berkelanjutan Menyongsong Sustainable
Development Goals (SDGs)
Website : www.semnas.fpik.ub.ac.id
E-mail: semnas.fpik@ub.ac.id
21
Gambar 5. Sebaran Ikan Terumbu di Stasiun Waru-Waru
Kelimpahan ikan pada stasiun Teluk Semut 2 dapat di lihat pada Tabel 6. Berdasarkan grafik diketahui
kelimpahan ikan yang ada di stasiun Watu meja didominasi jenis ikan Butterflyfish dengan nilai 0.008
individu/m3, sedangkan jenis ikan snapper dengan nilai rata-rata 0.0048 individu/m3 (Gambar 5). Stasiun 4
pengambilan data kelimpahan ikan terumbu di perairan Selat Sempu yaitu stasiun Watu Meja hasil
pengamatan ikan dengan kedalaman 3 m - 4 m dengan jarak 0 – 20 m terdapat 5 Butterflyfish, 2 Snapper.
Pada jarak 25 – 45 m tidak terdapat kelimpahan. Pada jarak 50 – 70 m terdapat 4 Butterflyfish, 2 Snapper.
Pada jarak 75 – 95 m terdapat 11 Butterflyfish 8 Snapper.
Gambar 6. Sebaran Ikan Terumbu di Stasiun Watu Meja
Hasil pengamatan ikan terumbu yang dilakukan di perairan Pulau Sempu yang paling banyak di temukan
adalah ikan family Chaetodontidae. Chaetodontidae atau biasa dikenal dengan sebutan ikan kepe-kepe atau
ikan kupu-kupu merupakan ikan terumbu sejati dan distribusinya hanya berada di sekitar terumbu karang.
Ikan kepe-kepe juga memiliki keunikan lainnya yaitu keberadaan, kelimpahan jenis serta individu ikan ini
pada suatu perairan dapat menjadi gambaran kondisi dari terumbu karang di tempat tersebut (Suryanti,
2011). Menurut Luthfi et al. (2019), stasiun Watu Meja memiliki presentase tutupan karang 8% dan di
dominasi substrat non living yakni pasir sebesar 53% dan batu 29% yang terdapat turfalgae pada
permukaannya. Namun hasil data penelitian ini menunjukkan bahwa ikan Chaetodonidae pada stasiun Watu
Meja dan Waru-Waru memiliki jumlah nilai tertinggi yakni masing-masing 26 individu. Jenis Chaetodon
kleinii merupakan salah satu jenis ikan kepe-kepe yang dapat mendiami lingkungan ekstem dengan jumlah
besar, hal ini dikarenakan ikan tersebut bersifat omnivora dan planktivora (Edrus dan Syam, 1998).
Makanan kesukaan ikan tersebut antaralain alga, zooplankton dan polip karang lunak (Edrus dan Syam
1998). Sejalan dengan pernyataan tersebut, penelitian Luthfi et al. (2019) mengenai substrat living dan non
living pada perairan pulau Sempu hanya pada stasiun Watu Meja ditemukan soft coral/ karang lunak.
Rendahnya jumlah ikan terumbu yang di temukan dalam penelitian ini diduga disebabkan oleh fluktasi
presentase tutupan karang. Presentase tutupan karang pada Pulau Sempu menurun secara signifikan pada
tahun 2018 dan di dominasi oleh substat non living (Luthfi et al., 2019). Terumbu karang memiliki fungsi
ekologis sebagai habitat kompleks, dapat mempengaruhi kelimpahan dan biomassa ikan (Manembu et al.,
2012). Kelimpahan ikan yang berbeda-beda juga di picu oleh perbedaan presentase tutupan karang hidup
yang secara langsung memberi kesempatan ruang hidup ikan terumbu (Muniaha et al., 2016). Waktu
0
2
4
6
8
10
Kelimpahan ikan terumbu
(individu/m3)
0
2
4
6
8
Kelimpahan ikan terumbu
(individu/m3)
Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan VIII Tahun 2019
Website : www.semnas.fpik.ub.ac.id
E-mail: semnas.fpik@ub.ac.id
22
pengambilan data yang dilakukan pada pukul 07.00 WIB sampai dengan jam 15.00 WIB juga
mempengaruhi hasil data distribusi dari keberadaan ikan terumbu tersebut. Menurut Ilyas (2018), ikan
target atau biasa disebut sebagai ikan ekonomis penting yang hidup di ekosistem terumbu karang
merupakan hewan yang bersifat nocturnal atau aktif di malam hari, yang artinya segala aktivitas seperti
mencari makan dilakukan saat malam hari. Selain itu kegiatan wisatawan diduga menjadi penyebabnya,
seperti berenang, kanoing (Luthfi, 2016), dan kapal nelayan yang terus berdatangan untuk mengantar
wisatawan. Perlu diketahui bahwa ikan memiliki tingkat kesensitifan yang tinggi.
Hasil pengematan menunjukkan bahwa ikan Scaridae/ Parrotfish atau ikan Kaka tua jarang ditemukan
di stasiun penelitian. Jumlah persebaran ikan target dipengaruhi langsung oleh faktor lingkungan. Variasi
faktor lingkungan seringkali dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan struktur komunitas ikan target
atau ikan ekonomis penting. Hal tersebut dikarenakan ikan target memiliki sifat yang terintegrasi dengan
kondisi terumbu karang di perairan di mana ikan target tersebut tinggal. Menggunakan teknik dan
klasifikasi yang dilakukan, didapatkan karakteristik dari terumbu karang merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap pengaturan sebaran dan kelimpahan komuniatas ikan target. Terdapat dua faktor
utama dalam pembentukan struktur komunitas ikan target ini yaitu kondisi dari terumbu karang dan posisi
lokasi terhadap kondisi hidrodinamika perairan. Posisi stasiun (terlindung atau terbuka) juga dapat
mempengaruhi struktur komunitas ikan terumbu (Rembet, 2011). Selain itu, aktivitas manusia terutama
penangkapan juga menjadi fator berikutnya. Saat ini nelayan spearfishing di Malang Selatan cukup marak
dengan target penangkapan yakni ikan terumbu.
Tidak di temukan ikan jenis lain seperti ikan Humphead wrasse atau Napoleon dikarenakan tingkat
persebaran yang rendah dan tingkat laju reproduksi yang lambat. Menurut Soemodinoto (2013), ikan
Napoleon memiliki laju reproduksi yang lambat. Hal tersebut dapat diketahui dengan tingkat kematian yang
tinggi pada saat siklus larva, yang mana umumnya hanya 10 - 30% dari telur yang dipijah bisa menetas dan
menjadi ikan juvenile. Densitas jumlah ikan Napoleon dewasa di alam bebas biasanya jarang melebihi 20
ekor ikan per 10.000 m2. Distirbusi dari ikan Napoleon umumnya tersebar luas di kawasan perairan Indo-
Pasifik.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa distribusi ikan di Perairan Selat Sempu
didominasi oleh ikan family Chaetodontidae. Indikator ikan terumbu lain sedikit di jumpai pada seluruh
stasiun penelitian. Keberadaan ikan terumbu tersebut dipengaruhi oleh waktu pengamatan, kebiasaan ikan
target atau ikan ekonomis yang nocturnal, serta aktivitas wisatawan dan penangkapan dengan target ikan
terumbu serta faktor lingkungan ikan terumbu itu sendiri.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah Selam Keahlian FPIK Universitas
Brawijaya, Dinas Perikanan Pondokdadap Kabupaten Malang, teman-teman Selam Keahlian serta pihak
yang sudah membantu menyelesaikan penelitian ini hingga berjalan dengan lancar.
DATAR PUSTAKA
Adrim, M., dan Hutomo, M. “Species composition, distribution and abundance of Chaetodontidae
along reef transects in the Flores Sea,” Netherlands Journal of Sea Research, vol. 23, no. 2, 85-93,
1989
Adrim, M., Harahap, S. A., & Wibowo, K. “Struktur Komunitas Ikan terumbu di Perairan Kendari
(Community Structure of Coral Reef Fishes at Kendari Waters),” ILMU KELAUTAN: Indonesian
Journal of Marine Sciences, vol. 17, no. 3, 154 163, 2012.
Allen, R. Gerald. “Conservation Hotspots of Biodiversity and Endemism for Indo-Pacific coral Reef Fishes,”
Aquatic Conservation: Marine and Freshwate Ecosystems, vol. 18, 541-556, 2007.
Anderson, Marti J., Russel B. Millar. “Spatial Variaion and Effects of Habitat on Temprature eef Fish
Assemblages in Northeastearn New Zealand,” Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology, 305, 191-221, 2004.
Dartnall, A.J, M. Jones. “A Manual ofSurvey Methods Living Resoures in Coastal Area”. ASEAN-
Australia Cooperative Program on Marine Science Hand book. Townsville, Australian Institute of
Marine Science, 167 pp, 1986.
Denny, C.M, R.C. Babcock. “Do Partial Marine Reserves Protect Reef Fish Assemblages?,” Biological
Conservation. 166: 119-129, 2004.
Tantangan dan Peluang Pengelolaan Perikanan Kelautan Berkelanjutan Menyongsong Sustainable
Development Goals (SDGs)
Website : www.semnas.fpik.ub.ac.id
E-mail: semnas.fpik@ub.ac.id
23
Edrus, I. N., dan Syam A, R. “Sebaran Ikan Hias Suku Chaetodonitidae di Perairan Karang Pulau Ambon
dan Perannanya dalam Penentuan Kondisi Terumbu Karang”. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia,
vol.6, no.3.1998.
Halford, A. A., & Thompson, A. A. “Visual census surveys of reef fish. Long term monitoring of the Great
Barrier Reef,” Standard operational procedure, no. 3. 1996.
Ilyas, I. S., Astuty, S., & Harahap, S. A. “Keanekaragaman Ikan Karang Target Kaitannya Dengan
Keanekaragaman Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Inti di Taman Wisata Perairan
Kepulauan Anambas”. Jurnal Perikanan Kelautan, vol. 8, no.2, 2018.
Irons, D. K. (1989). “Temporal and areal feeding behavior of the butterflyfish, Chaetodon trifascialis, at
Johnston Atoll,” Environmental Biology of Fishes, vol. 25, (1-3), 187-193, 1989.
Kingsford, Michael. “The Distribution Pattern of Exploited Girellid, Kyphosid and Sparid Fishes on
Temperate Rocky Reefs in New South Wales Australia,” Biology and Aquacuture. 131-134, 1998.
Lampae, M., Sairin, S., & Ahimsa-Putra, H. S. “Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka
dan Konsekuensi Lingkungan dalam Konteks Internal dan Eksternal: Studi Kasus pada
Nelayan Pulau Sembilan,” Humaniora, vol. 17, no.3, 312-325, 2005.
Lasabuda, R. “Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik
Indonesia,” Jurnal Ilmiah Platax, vol.1, no.2, 92-101, 2013.
Luthfi, O. M. “Konservasi Terumbu Karang di Pulau Sempu Menggunakan Konsep Taman Karang,”
Journal of Innovation and Applied Technology, vol. 2, no.1, 210-216, 2016
Luthfi, O. M, Dzikrillah A., M. Gilang R., Mujibur R., N. Kholis W. “Studi Komparatif Tutupan Living
dan Non Living Substart Dasar Perairan Pulau Sempu Kabupaten Malang Menggunakan Metode
Reef Check,” Journal of Fisheries and Marine Science, vol.3 no. 2, 127-134, 2019.
Luthfi, O. M., Riza A., Sherla R. P., F. Bethrix D., Bramastrha A. P., Davitra E. P., Elda P., M. Zuhal F.,
Johan S., Christopher A. S., Krista S., Abdul R. “Pemantauan Kondisi Ikan Karang Menggunakan
Metode Reef Check di Perairan Selat Sempu Malang Selatan,” Journal of Marine and Aquatic
Sciences. 3(2), 171-179, 2017.
Manembu, I., Luky A., D. G. Bengen., F. Yulianda “Distribusi Karang dan Ikan Karang di Kawasan Reef
Ball Teluk Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara,” Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, vol.8,
no.1, 28-32, 2012.
Manembu, Indri, L Adrianto, D. Bengen, F. Yulianda “Kelimpahan Ikan Karang pada Kawasan Terumbu
Buatan di Perairan Ratotok Sulawesi Utara,” BAWAL, vol. 6 , no.1 : 55-61, 2014.
Miller, W. Margaret, Mark E. Hay. “Effects of Fish Predation and SeaweedCompetition on Survival
Growth of Coral,” Oecologia,. vol. 113, 231-238, 1998.
Muniaha, Andi I. R., Rahmadani. “Studi Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan Kondisi Terumbu Karang
di Desa Tanjung Tiram Kabupaten Konawe Selatan,” Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan,
vol. 2, no. 1, 9-19. 2016.
Rembet, U. N., Boer, M., Bengen, D. G., & Fahrudin, A. “Struktur komunitas ikan target di terumbu
karang Pulau Hogow dan Putus-putus Sulawesi Utara,” Jurnal Perikanan dan Kelautan
Tropis, vol. 7, no. 2, 60-65. 2011.
Sadovy, Y., & Suharti, S. “Napoleon fish, Cheilinus undulatus, Indonesia In Mexico, NDF
workshop case study, vol. 3, p. 13, 2008
Soemodinoto, A., Djunaidi, A., & Nur, J. M. “Budidaya Ikan Napoleon oleh Masyarakat di Kepulauan
Anambas, Provinsi Kepulauan Riau: Evolusi Kegiatan, Jejaring Pembudidaya dan Kelayakan
Usaha. Makalah laporan pelaksanaan survei sosial-ekonomi perikanan Marine Rapid
Assessmen Program (MRAP) Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas, 3-31, 2013.
Triadayani, A. E., Aryawaty, R., & Diansyah, G. Pengaruh logam timbal (Pb) terhadap jaringan hati
ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Maspari Journal, vol. 1, no. 1, 42-47, 2013.
Article
This study aims to determine the suitability and carrying capacity of coastal areas in the Clungup Mangrove Conservation (CMC) Malang Regency, East Java for coastal tourism activities such as beach recreation, mangrove tourism, snorkeling, and fishing. This research was conducted from August to October 2020 through a survey with an observative approach to obtain primary data, while secondary data was obtained from area managers as supporting data. The carrying capacity of the area for beach tourism activities is 3,234 people/day, mangrove tourism is 6,675 people/day, diving tours are 684 people/day, and snorkeling is 59 people/day. As for fishing activities, this area can accommodate 553 people/day, Canoeing 20,025 people/day, and camping 120 people/day. The number of tourists in the CMC area is still below its carrying capacity. The management of the number of tourists that are currently controlled is considered appropriate and follows the carrying capacity of the environment. However, the potential for the area to be developed closer to its carrying capacity is still possible. Increased tourist visits will provide economic benefits for the community and business actors who support tourism around the CMC area, causing an economic multiplier effect.
Research
Full-text available
This study aims to determine the suitability and carrying capacity of coastal areas in the Clungup Mangrove Conservation (CMC) Malang Regency, East Java for coastal tourism activities such as beach recreation, mangrove tourism, snorkeling, and fishing. This research was conducted from August to October 2020 through a survey with an observative approach to obtain primary data, while secondary data was obtained from area managers as supporting data. The carrying capacity of the area for beach tourism activities is 3,234 people/day, mangrove tourism is 6,675 people/day, diving tours are 684 people/day, and snorkeling is 59 people/day. As for fishing activities, this area can accommodate 553 people/day, Canoeing 20,025 people/day, and camping 120 people/day. The number of tourists in the CMC area is still below its carrying capacity. The management of the number of tourists that are currently controlled is considered appropriate and follows the carrying capacity of the environment. However, the potential for the area to be developed closer to its carrying capacity is still possible. Increased tourist visits will provide economic benefits for the community and business actors who support tourism around the CMC area, causing an economic multiplier effect.
Article
Full-text available
Penempatan reef ball di perairan Teluk Buyat dan sekitarnya telah dilakukan pada tahun 1999 oleh PT. Newmont Minahasa Raya. Tujuan penempatan reef ball untuk membangun habitat berbagai biota yang berasosiasi dengan karang sehingga dapat meningkatkan populasi ikan ekonomis penting. Kehadiran ikan karang pada reef ball sangat penting secara ekologis dan ekonomis. Penurunan kualitas terumbu berarti hilangnya nilai ekonomi barang dan jasa, serta hilangnya jaminan makanan dan pekerjaan untuk masyarakat pesisir, yang umumnya hidup dalam kemiskinan. Secara keseluruan, komposisi spesies ikan yang ditemukan di reef ball terdiri dari 19 famili, 34 genus, 50 spesies dan 290 individu, yang tertinggi dihuni oleh jenis dari famili Mullidae. Seiring dengan bertambahnya waktu dan usia reef ball, beberapa spesies terlihat sudah menetap seperti Lutjanus kasmira, dan beberapa spesies dari famili Acanthuridae. Keberadaan reef ball membantu terbentuknya ekosistem terumbu karang yang baru dan meningkatkan kesuburan perairan, sehingga lebih meningkatkan keberadaan komposisi ikan karang, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan nelayan dari hasil tangkapan ikan karang.Kata kunci: Reef ball, karang batu, ikan karang Distribution of Coral Reefs and Fish in Buyat Bay Area Reef Ball Southeast Minahasa Regency The placement of reef ball in Buyat Bay and surrounding areas have been carried out since 1999 by PT. Newmont Minahasa Raya. The goal of this placement was to build a habitat for many biota associated with reef thus may improve economically important fish populations. The presence of reef fish on the reef ball is indispensable ecologically and economically. Furthermore, the degradation of reefs might cause the disappearance of economic value of goods and services, as well as the disappearance of food security and employment for coastal communities, who generally live in poverty. Overall, the composition of fish species found in the reef ball consists of 19 families, 34 genera, 50 species and 290 individuals, the highest inhabited by species of the family Mullidae. As time went by and the increase of reef ball age, some species seem have settled down such as Lutjanus kasmira, and several species of the Acanthuridae family. In addition, the presence of reef ball helps the formation of a new coral reef ecosystem and increase the fertility of waters, therefore enhancing the presence of reef fish composition, which might increases the income of fishermen. Keywords: Reef ball, coral reef, reef fish
Article
Full-text available
Abstrak Penelitian ini dilaksanakan guna mensurvei substrat di perairan Sempu Kabupaten Malang menggunakan metode reefcheck (PIT: Point Intercept Transect). Substrat perairan dapat dibagi menjadi dua macam, antaralain living/substrat hidup (HC = Hard Coral/karang keras, SC = Soft Coral/karang lunak, NIA = Nutrient Indicator Algae/ alga, SP = Sponge/ spons, OT = Other/ organisme living lainnya) dan non living/ substrat tak hidup (RC = Rock/ batu, RKC = Recently Killed Coral/ karang yang baru mati, RB = Rubble/ Pecahan Karang, SI = Silt/ lumpur, SD = Sand/ pasir. Data penelitian diolah menggunakan perhitungan presentase tutupan karang pada setiap stasiun penelitian. Presentase tutupan karang stasiun Teluk Semut 1 menurun dari tahun 2016 ke 2018 sebesar 22.75% dan didominasi oleh substrat batu (52%). Stasiun Teluk Semut 2 yang didominasi oleh substrat karang keras mengalami kenaikan presentase tutupan karang di tahun 2017 (42.37%) dan menurun di tahun 2018 sebesar 41%. Stasiun Waru-waru memiliki presentase tutupan karang 30% dan didominasi oleh substrat pasir(44%). Stasiun Watu Meja yang di dominasi oleh substrat pasir(53%) mengalami kenaikan presentase tutupan karang di tahun 2017 (25.5%) dan menurun sebesar 45% di tahun 2018. Presentase tutupan karang dapat dipengaruhi oleh faktor alamiah maupun non alamiah, bahkan keterkaitan aktivitas antara substrat living dan non living di perairan Sempu dalam selang waktu dua tahun. Abstract This research was conducted to survey the substrate in Sempu waters, Malang Regency using a reefcheck method (PIT: Point Intercept Transect). Water substrate can be divided into two types, including living/ living substrate (HC = Hard Coral/ hard coral, SC = Soft Coral / soft coral, NIA = Nutrient Indicator Algae/ algae, SP = Sponge/ sponge, OT = Other/ living organisms other) and non living/ non-living substrate (RC = Rock/ rock, Recently Killed Coral RKC, RB = Rubble, SI = Silt/ mud, SD = Sand/ sand. Research data is processed using calculation of coral cover percentage at each research station The percentage of coral cover at Teluk Semut 1 station decreased from 2016 to 2018 by 22.75% and was dominated by stone substrate (52%) Teluk Semut 2 station dominated by hard coral substrate experienced an increase in coral cover percentage in 2017 (42.37%) and decreased in 2018 by 41%, Waru-waru Station had a 30% coral cover percentage and was dominated by sand substrate (44%). Watu Station Table dominated by sand substrate (53%) experienced increase in press entase of coral cover in 2017 (25.5%) and decreases by 45% in 2018. Many factors affect the condition of coral cover percentage both naturally and non-naturally, even the linkages of activities between living and non living substrates in Sempu waters within two intervals year.
Article
Full-text available
PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN DALAM PERSPEKTIF NEGARA KEPULAUAN REPUBLIK INDONESIA Regional Development in Coastal and Ocean in Archipelago Perspective of The Republic of Indonesia Ridwan Lasabuda1 ABSTRACT Indonesian as an archipelagic state has been recognized internationally (UNCLOS 1982), later ratified by Act 17 of 1985. Under UNCLOS 1982, the total maritime area of Indonesia is 5.9 million km2, consisting of 3.2 million km2 of territorial waters and 2.7 km2 of Economic Exclusive Zone (Zone Ekonomi Ekslusif), not including the continental shelf. This makes Indonesia as the largest archipelagic state in the world. However, the development of marine and fisheries for this is still far from expectations, while large potential of natural resources and environmental services are relatively unexploited in coastal areas, small islands and ocean in Indonesian archipelago. Keywords : coastal and ocean, development, Indonesian, archipelago ABSTRAK Sebagai negara kepulauan, Indonesia telah diakui dunia secara internasional (UNCLOS 1982) yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia seluas 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas tersebut belum termasuk landas kontinen. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Namun demikian, pembangunan bidang kelautan dan perikanan hingga saat ini masih jauh dari harapan. Padahal wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan lautan kepulauan Indonesia disimpan potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Kata kunci : pesisir dan laut, pembangunan, Indonesia, kepulauan 1 Laboratorium Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, FPIK UNSRAT
Article
Full-text available
Reef Check is an activity to find out the condition of coral reefs and its surrounding ecosystems be then described and categorized its healthiness. The island of Java is one of the Islands in Indonesia that has lots of beaches, especially for East Java, here they have several areas that has become our research site in Sempu Strait, Sendang Biru, South Malang they are called Teluk Semut, Watu Meja, and Waru-waru. Underwater Visual Census (UVC) was used as a method for this research to identify reef fish in a transect of 100 x 5 x 5m scale in (Length, Width, and Height). Results shows several fishes was used to identify yet the family of Chaetodontidae with mean abundance 8 in Teluk Semut 1 station, 2.25 in Teluk Semut 2 station, 12.5 in Rumah Ikan station, & 13.5 in Watu Meja station. Watu Meja and Fish Apartment station shows higher mean abundance than other station, this indicates coral reefs ecosystem in this station have a better health & condition compare to the other stations. Results for family family Haemulidae, Snapper and Grouper shows low mean abundance, that indicates overfishing on Sempu Strait, South Malang. In other cases, the purposes of Reef Check is to determine the extents of human activities and its impact against the distribution and the healthiness of coral reefs in the area. For further extent, there has been still indications toward its management system yet fisheries potential in certain areas for this research.
Article
Full-text available
Penelitian sebaran ikan hias jenis Chaetodontidae sehubungan dengan kualitas terumbu karang telah dilakukan pada 10 lokasi di pantai utara Pulau Ambon dari bulan Juni sampai Juli 1994. Metode yang digunakan untuk penelitian keanekaragaman Chaetodontidae dan persen penutupan karang adalah sensus visual, survai manta tow dan line intercept transect.
Article
Full-text available
Community structure of target fishes was analyzed to understand their response to different conditions of coral reefs in several places of Hugow and Putus -Putus islands. This study focused on species abundance and diversity including Shannon-Wiener's species diversity (H'), species richness (SR), species evenness (J') and dominance (d) indices, respectively. A multivariate analysis was used for the classification or correspondence factorial analyses. The result recorded 4,501 individuals belonging to 52 species of target fishes. Both cluster and correspondence analyses clearly recognized 3 groups of target fish with 2 major controlling factors for the development of these 3 ecological groups, i.e. coral reef conditions and geographic position to the hydrodynamic condition.
Article
Girellids and sparids rank highest as the groups of fishes taken by rock fishers in New South Wales, Australia. Rapid visual counts that were stratified by depth and transects that were stratified by habitat (e.g. kelp forest and urchin grazed barrens) showed that girellids were most abundant in shallow water (< 3m deep). A few aggregations (primarily Girella bicuspidate) were found in waters up to 15 m deep. No juvenile G. bicuspidate were observed on reefs, all of the fish in counts were greater than 200mm SL In contrast, G. elevata of all size classes (30-300mm SL) were found in water less than 3 m deep. Almost all Kyphosus (98%) were in shallow water. Spends (57%) were found in shallow water, although some (Pagrus auratus) were only found in deep or mid-depth strata. Girellids, kyphosids and some sparids used the intertidal at high tide. Girellids were observed to feed in the shallows. Juvenile G. elevate (30-70 mm SL) fed in the intertidal mostly on rocky surfaces, tubeworms and the backs of large limpets (Cellana spp.) where algae were abundant. Shallow waters and the intertidal of rocky reefs have probably been underestimated in terms of importance to fisheries.
Article
Observations on chaetodontid fishes were made by applying a visual census technique at 13 coral reef locations in the Flores Sea region in October and November 1984. These observations were made along 50 m transect lines, parallel to the shore or the reef edge at depths between 3 to 12 m. Twenty-three species of Chaetodontidae were observed, representing three genera: Chaetodon (20 species), Heniochus (2 species) and Forcipiger (1 species).Chaetodon kleini, C. trifasciatus, C. melannotus and C. baronessa proved to be the most abundant species, and among them C. kleini and C. trifasciatus were the most widely distributed ones. Chaetodon semeion and C. mertensi were the rarest species. The greatest number of individuals (77) was counted at station 4.268 near Tanjung Burung, Sumbawa, while the greatest number of species (14) was observed at station 4.257, north of Komodo. The lowest number of individuals (17) was counted at station 4.175 near P. Bahuluang, Salayer, while station 4.251 near Teluk Slawi, Komodo, was inhabited by the smallest numbver of species (2).Numerical classification by using the Bray Curtis dissimilarity index resulted in three groups of entities. The first group was characterized by predomination of C. kleini and the second by predomination of C. melannotus. The third one was a loose group not characterized by any predominant species. The analyses indicated that the similarities of the chaetodontid communities between locations are not related to the distance between them, but rather to habitat conditions. For example predomination of C. melannotus is strongly related to the predomination of soft coral.Compared to other areas of Indonesia, e.g. Bali, Seribu Islands, Batam, Sunda Strait, and Ambon Bay, the Flores Sea reefs have a more abundant and more diverse chaetodontid fauna.
Article
1.Distribution patterns of 3919 species of Indo-Pacific reef fishes were analysed using GIS mapping software for the purpose of conservation prioritization of extraordinary high concentrations (‘hotspots’) of diversity and endemism.2.Megadiversity countries with more than 1000 coral reef species include Indonesia, Australia, Philippines, Papua New Guinea, Malaysia, Japan, Taiwan, Solomon Islands, Palau, Vanuatu, Fiji, New Caledonia, and the Federated States of Micronesia.3.The richest area for reef fishes is the renowned Coral Triangle, which includes eastern Indonesia, Sabah (Malaysia), Philippines, Papua New Guinea, and the Solomon Islands. The highest concentration of species within this region extends from south-eastern Indonesia to the central Philippines.4.Occupying only 3% of the surface area of the tropical Indo-west and central Pacific, the heart of the Coral Triangle contains 52% of its total species.5.The top-ranked areas based on percentage of endemism are Easter Island, Baja California, Hawaiian Islands, Galapagos Islands, Red Sea, Clipperton Island, Marquesas, Isla del Coco, Mascarene Islands, and Oman.6.The highest concentration of endemics per unit area occurs at remote south-eastern Polynesian and eastern Pacific islands including Clipperton, Isla del Coco, Easter, Rapa, and the Pitcairn Group. Copyright © 2007 John Wiley & Sons, Ltd.
Article
The chevron butterflyfish,Chaetodon trifascialis, is found throughout the Indo-Pacific. It is a territorial, diurnal, corallivore found in close association withAcropora spp. corals. The feeding behavior of 33 individuals was studied over six seasons in three habitats.Chaetodon trifascialis spent one third of its active time feeding. However, there was much individual variation. Fish had significantly higher feeding rates during the early afternoon, and there were no significant differences in the feeding rates between the seasons. Feeding rates were significantly different between the three habitats. TheMontipora-rich habitat had the highest feeding rates (x = 10.74 bites min-1 ± 0.87, all corals combined) and theAcropora-Montipora mixed habitat had the lowest feeding rates (x = 4.58 bites min-1 ± 0.63, all corals combined). Females fed significantly more than males. WhileC. trifascialis had been thought to only eatAcropora spp. corals, it occasionally fed onMontipora spp. andPocillopora sp. corals whenAcropora spp. were scarce.Chaetodon trifascialis exhibited patterns predicted by foraging theory of an energy maximizer. Territory sizes were inversely related to food density and feeding rates were inversely related to intruder rates. This is a promising system for future testing of foraging strategy models.