ArticlePDF Available

YUDISIALISASI DAN LIMITASI HUKUM ISLAM: CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA DI LOMBOK

Authors:
  • State Islamic University (UIN) of Mataram, Indonesia

Abstract

Male repudiation (cerai talak) at religious courts reveals important changes in contemporary practice of Islamic law in Indonesia. This paper addresses two salient features of repudiation, namely judicialization and limitation. Based on empirical studies at the religious courts in Lombok, this study gathered the data on repudiation through observation, interview and documentation. The data shows changing practice and meaning of Islamic marital dissolution due to judicialization, that is an administrative and bureaucratic processes of legal settlement at religious courts. Upon the introduction and application of modern codification of Islamic law, such as the Compilation of Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam/KHI) enacted by Presidential Decree No. 1/1991 and Religious Judicature Act No. 7/1989 at religious courts, the influence of fiqh on Islamic divorce has diminished significantly. Such application not only creates judicialization but also causes limitation on the number of male repudiation, outnumbered by female-initiated divorce (cerai gugat). Talak, which is male domain under the conception of fiqh, is now a contested terrain by legal actors, such as men (husbands), women (wives) and judges. Consequently, judicialization of talak has reduced not only male power but also its practice at the religious courts. Cerai talak di pengadilan agama mencerminkan perubahan-perubahan penting dalam penerapan hukum Islam kontemporer di Indonesia. Artikel ini membahas dua fenomena mengemuka praktik talak, yaitu yudisialisasi dan limitasi. Berangkat dari penelitian empiris di pengadilan agama di Lombok dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi, penelitian ini meyingkap pergeseran pemaknaan dan praktik talak kontemporer. Hal ini disebabkan oleh yudisialisasi, yaitu proses administrasi dan birokratiasasi penyelesaian perkara di pengadilan agama. Pasca diperkenalkannya kodifikasi hukum keluarga Islam, seperti Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden No. 1/1991 maupun Undang-undang Peradilan Agama No. 7/1989, pengaruh fikih dalam hukum perceraian Islam berkurang secara signifikan seiring dengan pemberlakuan kodifikasi di pengadilan agama. Implikasinya bukan saja pada yudisialisasi, akan tetapi juga limitasi talak, yakni terbatasnya perkara cerai talak dibanding cerai gugat. Talak yang dalam norma fikih menjadi domain kuasa suami yang hampir mutlak, kini dalam praktiknya di pengadilan agama menjadi wilayah yang dikontestasikan oleh para aktor hukum, baik suami, istri maupun hakim sehingga berdampak pada limitasi talak, baik dari segi kuantitas perkara maupun kuasa suami dalam penyelesaian cerai talak.
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H 57
YUDISIALISASI DAN LIMITASI HUKUM ISLAM
Cerai Talak di Pengadilan Agama di Lombok
Mohamad Abdun Nasir
Universitas Islam Negeri Mataram
email: m.a.nasir@uinmataram.ac.id
Heru Sunardi
Universitas Islam Negeri Mataram
email: herusunardi@uinmataram.ac.id
Abstract
Male repudiation (cerai talak) at religious courts reveals important changes in contemporary practice of
Islamic law in Indonesia. This paper addresses two salient features of repudiation, namely judicialization
and limitation. Based on empirical studies at the religious courts in Lombok, this study gathered the data
on repudiation through observation, interview and documentation. The data shows changing practice and
meaning of Islamic marital dissolution due to judicialization, that is an administrative and bureaucratic
processes of legal settlement at religious courts. Upon the introduction and application of modern codication
of Islamic law, such as the Compilation of Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam/KHI) enacted by Presidential
Decree No. 1/1991 and Religious Judicature Act No. 7/1989 at religious courts, the inuence of qh on
Islamic divorce has diminished signicantly. Such application not only creates judicialization but also causes
limitation on the number of male repudiation, outnumbered by female-initiated divorce (cerai gugat). Talak,
which is male domain under the conception of qh, is now a contested terrain by legal actors, such as men
(husbands), women (wives) and judges. Consequently, judicialization of talak has reduced not only male
power but also its practice at the religious courts.
Cerai talak di pengadilan agama mencerminkan perubahan-perubahan penting dalam penerapan hukum Islam
kontemporer di Indonesia. Artikel ini membahas dua fenomena mengemuka praktik talak, yaitu yudisialisasi
dan limitasi. Berangkat dari penelitian empiris di pengadilan agama di Lombok dengan metode pengumpulan
data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi, penelitian ini meyingkap pergeseran pemaknaan dan
praktik talak kontemporer. Hal ini disebabkan oleh yudisialisasi, yaitu proses administrasi dan birokratiasasi
penyelesaian perkara di pengadilan agama. Pasca diperkenalkannya kodikasi hukum keluarga Islam, seperti
Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden No. 1/1991 maupun Undang-undang Peradilan Agama
No. 7/1989, pengaruh kih dalam hukum perceraian Islam berkurang secara signikan seiring dengan
pemberlakuan kodikasi di pengadilan agama. Implikasinya bukan saja pada yudisialisasi, akan tetapi juga
limitasi talak, yakni terbatasnya perkara cerai talak dibanding cerai gugat. Talak yang dalam norma kih
menjadi domain kuasa suami yang hampir mutlak, kini dalam praktiknya di pengadilan agama menjadi
wilayah yang dikontestasikan oleh para aktor hukum, baik suami, istri maupun hakim sehingga berdampak
pada limitasi talak, baik dari segi kuantitas perkara maupun kuasa suami dalam penyelesaian cerai talak.
Kata kunci: yudisialisasi, limitasi, talak, pengadilan agama, Lombok
A. Pendahuluan
Salah satu bidang hukum keluarga
Islam yang mengalami banyak pergeseran dan
perubahan makna dan praktik adalah cerai
talak, terutama yang terjadi di pengadilan
agama saat sekarang. Perceraian di pengadilan
agama dibedakan menjadi dua, yaitu cerai
talak dan cerai gugat. Cerai gugat adalah
perceraian yang diinisiasi oleh istri. Istri
sebagai penggugat dan suami sebagai tergugat.
Kebalikan dari cerai gugat adalah cerai talak.
Suami bertindak sebagai pemohon yang
mengajukan permohonan talak ke pengadilan
agama terhadap istrinya sebagai termohon.
Angka cerai talak yang diinisiasi oleh suami
jumlahnya lebih sedikit dibanding cerai gugat
yang diajukan oleh istri (meskipun jumlah
keduanya menduduki perkara tertinggi di
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H
58
Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam
pengadilan agama secara naisonal). Padahal
suami, menurut konvensi hukum Islam (qh),
memiliki kuasa yang jauh lebih besar dibanding
istri dalam hal perceraian. Namun angka
statistik perkara perceraian di pengadilan
agama menunjukkan fenomena sebaliknya.
Menurut data perceraian nasional yang
dikeluarkan oleh Direktorat Badan Peradilan
Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA),1
jumlah total permohonan talak secara nasional
tahun 2010 mencapai 94.099 perkara. Dua
tahun berikutnya, jumlah permohonan talak
yang masuk di pengadilan agama seluruh
Indonesia tahun 2011 mencapai 99.566 dan
107.805 pada tahun 2012.2 Tahun 2016,
Badilag mencatat kenaikan angka talak
menjadi 128.401, sementara angka cerai
gugat mencapai 314.515.3 Di Lombok, data
perkara tahun 2016 menunjukkan fenomena
yang relatif sama, dimana jumlah perceraian
sangat tinggi. Pengadilan Agama Mataram,
misalnya, mencatat sebanyak 167 perkara
talak, sementara cerai gugat berjumlah 434.4 Di
Lombok Barat, perkara cerai talak pada tahun
yang sama berjumlah 158 dan cerai gugat 476,5
sedang di Pengadilan Agama Praya, Lombok
Tengah, jumlah cerai talak mencapai 147 dan
gugat 705.6
Data statistik perceraian di atas
menunjukkan fenomena yang menarik untuk
dikaji lebih lanjut. Namun belum ada studi
yang secara khusus membahas cerai talak
dari sudut pandang yang genuine, yaitu
dengan menganalisis aspek yudisialisasi
serta implikasi empirisnya bagi praktik talak
di pengadilan agama. Artikel ini bermaksud
untuk mengkaji secara mendalam dan kritis
praktik talak kontemporer di pengadilan
agama di Lombok dan mengeksplorasi pola-
1 Data perceraian semua di pengadilan agama di Indonesia bisa dilihat di situs Badilag, https://badilag.
mahkamahagung.go.id/.
2 Ibid.
3 Lihat data lengkap di “Data Perkara PA tahun 2015.pdf”, Google Docs, https://drive.google.com/le/
d/0B5UQVcJ8Df8WamxkRVNtT3hBOW8/view?usp=embed_facebook, diakses 25 September 2017.
4 Lihat dan unduh laporan tahunan Pengadilan Agama Mataram di PA Mataram, http://pa-mataram.go.id/m/,
accessed 24 Sep 2017.
5 PA Giri Menang, http://pa-girimenang.go.id/, accessed 24 Sep 2017.
6 Lihat dan unduh laporan tahunan Pengadilan Agama Praya, Lombok Tengah, di http://pa-praya.go.id/
diakses pada tanggal 24 September 2017.
7 Abdullah Mustafa dan Zainuddin Mansyur, Eksistensi Li’an sebagai Alat Penyelesaian Sengketa Rumah Tangga di
Pengadilan Agama se Pulau Lombok (Mataram: Lemlit IAIN Mataram, 2010).
8 Nurmala Fahriyanti, “Putusan Cerai Gugat di Kota Mataram NTB 2007-2011: Tinjauan Yuridis-Sosiologis”,
Tesis Magister Studi Hukum Keluarga Islam (Mataram: Pascasarjana IAIN Mataram, 2012).
pola perubahan dan pergeseran yang terjadi
di dalamnya. Talak menjadi pintu masuk
untuk memahami lebih mendetail reformasi
dan reinterpretasi hukum Islam dari kih
dan transformasinya ke dalam hukum positif
negara, praktiknya di pengadilan agama
dan implikasinya bagi penerapan talak yang
cenderung menyempit sehingga kuantitas
kasusnya lebih sedikit dibanding dengan cerai
gugat.
Studi ini menemukan dua pola utama
praktik talak di pengadilan agama di Lombok,
yaitu yudisialisasi dan limitasi. Yang pertama
merujuk kepada sebuah proses penyelesaian
sengketa keluarga dimana suami bertindak
sebagai pemohon untuk menceraikan istrinya,
sementara yang kedua, sebagai akibat
judisialisasi, menunjuk kepada penyempitan
talak baik dari segi jumlah perkara maupun
kuasa suami untuk menyelesaikan sengketa
keluarga, sebagaiamana yang telah digariskan
dalam kih. Yudisialisasi bukan semata
proses-proses dan teknis penyelesian perkara
di pengadilan yang dipengaruhi oleh sistim
beracara dan bersifat technical, akan tetapi juga
mempengaruhi substansi, makna dan praktik
perceraian talak. Konsekwensinya, talak
mengalami reduski dan limitasi yang secara
signikan bukan saja berpengaruh terhadap
angka cerai talak (dibanding cerai gugat), akan
tetapi juga menggeser dominasi dan peran
suami dalam penyelesaian konik pernikahan.
Beberapa penelitian terdahulu yang
terkait dengan topik penelitian ini misalnya
dilakukan Mustafa dan Mansyur tentang li’an
(tuduhan berzina) sebagai alasan perceraian,7
Fahriyanti tentang alasan-alasan perceraian
yang diajukan oleh istri dan akibat perceraian
terhadap status anak dan harta bersama,8 dan
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H 59
Mohamad Abdun Nasir & Heru Sunardi
Nasir tentang dominasi dan resistensi dalam
cerai gugat.9 Dalam konteks yang lebih luas,
Yasin menulis tentang perkawinan Islam
Sasak,10 dan Platt mengkaji agensi perempuan
dalam perkawinan adat Lombok.11 Penelitian
lainnya tentang talak di luar Lombok namun
relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh
Annas,12 Hamad,13 dan Susilawati, Abadi dan
Mahmud14 tentang berbagai macam aspek
dalam pembayaran nafkah iddah pasca
talak, dan Rahmainy dan Rahmawati tentang
gugatan balik (rekonvensi) istri dalam cerai
talak.15 Dua penelitian tentang taklik talak
dilakukan masing-masing oleh Yusuf dan
Chaer16 dan Bariah dan Hermawan.17 Meski
terdapat persinggungan dengan penelitian-
penelitian tersebut, yaitu mengkaji cerai talak,
pengadilan agama dan hukum keluarga di
Lombok, akan tetapi studi ini memiliki fokus
kajian yang berbeda, sebagaimana dijelaskan
di muka.
Data penelitian ini diperoleh dari
kasus-kasus cerai talak di empat pengadilan
agama di Lombok, yaitu Mataram, Giri
Menang (Lombok Barat), Praya (Lombok
Tengah), dan Selong (Lombok Timur). Dengan
mengikuti metode pengumpulan data jenuh,18
yaitu pengumpulkan data berhenti ketika
tidak ditemukan data baru yang berbeda
dengan yang telah didapatkan, penelitian
ini mengidentikasi beberapa kasus talak
akan tetapi hanya dua contoh kasus saja
yang akan ditampilkan dan dianalisis di sini.
Keduanya memiliki pola yang berbeda dan
mewakili kasus-kasus serupa lainnya. Ada
banyak perkara talak yang ditemukan yang
memiliki kemiripan dari segi alasan, proses
9 Mohamad Abdun Nasir, “Islamic Law, Domination and Resistance: Women Judicial Divorce in Lombok”,
Asian Journal of Social Science, 44 (2016): 78-103.
10 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2010).
11 Maria Platt, “Patriarchal Institution and Women’s Agency in Indonesian Marriages: Sasak Women Navigating
Dynamic Marital Continums,” PhD Dissertation (Monash, Australia: La Trobe University, 2010).
12 Syaiful Annas, “Masa Pembayaran Beban Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Perkara Cerai Talak (Sebuah
Implementasi Hukum Acara di Pengadilan Agama)”, Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 10:1 (2017): 1-12.
13 Muchammad Hammad, “Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Nafkah Iddah Talak dalam Hukum Keluarga
Muslim Indonesia, Malaysia dan Yordania”, Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 7:1 (2016): 17-28.
14 Eka Susilawati, Moh. Masykur Abadi dan M. Latief Mahmud, “Pelaksanaan Putusan Nafkah Istri Pasca Cerai
Talak di Pengadilan Agama Pamekasan”, Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial 8:2 (2014): 374-393.
15 Linda Rahmainy dan Ema Rahmawati, “Penerapan Rekonveksi sebagai Hak Istimewa Tergugat dalam Perkara
Perceraian (Talaq) di Pengadilan Agama”, Jurnal Ilamih Hukum DeJure 2:2 (2017): 299-315.
16 Sofyan Yusuf dan Moh. Toriqul Chaer, “Ta’lik Talak Perspektif Ulama Madzhab dan Pengaruhnya dalam
Rumah Tangga”, Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman 10:2 (2017): 262-284.
17 Oyah Bariah dan Iwan Hermawan, “Analisis Putusan PA Karawang tentang Cerai Gugat Karena Pelanggaran
Ta’lik Talak”, al-Afkar 1:1 (2018): 182-195.
18 Metode pengumpulan data ini masuk kategori non-probability sampling. Lihat Sugiyono, Metode Penelitian
Kualitatif, Kuantitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 218-221.
penyelesaian maupun putusan akhir sehingga
tidak perlu ditampilkan semua. Pola-pola yang
sama sangat mungkin karena penyelesaian
perkara dipengaruhi oleh prosedur dan tata
cara yang seragam. Dengan analisis dan
pendekatan kualitatif, penelitian ini tidak
bermaksud mensurvei keseluruhan perkara
talak, namun mencari sampel berdasarkan
tujuan atau kriteria tertentu kemudian
dianalisis beradasarkan perspektif teoritis
penelitian tentang relasi (hukum) Islam dan
negara, otoritas dan birokratisasi hukum
Islam. Untuk mendalami perkara yang dikaji,
peneliti tidak saja melakukan wawancara
mendalam terhadap para pihak yang terlibat,
seperti hakim, suami, istri, panitera dan saksi,
akan tetapi juga menghadiri sidang-sidang
perkara talak untuk memantau setiap tahap
dalam proses penyelesaiannya.
Pada bagian selanjutnya akan disajikan
perspektif teoritis untuk memahami terjadinya
pola-pola pergeseran dan perubahan
talak, potret umum pengadilan agama di
Lombok dan kasus-kasus hukumnya, serta
analisis dua contoh kasus cerai talak yang
mereeksikan pola yudisialisasi dan limitasi.
Di bagian penutup, disajikan kesimpulan yang
menegaskan kembali argumen dan temuan-
temuan penting studi ini serta keterbatasannya
dan peluang riset lanjutan yang bisa dilakukan.
B. Penerapan Hukum Islam di Pengadilan
Agama
Bagian ini merupakan kerangka teoritis
untuk memahami munculnya perubahan pola-
pola cerai talak di pengadilan agama yang
berbeda dengan cerai talak yang murni atas
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H
60
Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam
dasar kih. Perbedaan itu terkait prosedur
maupun substansi dan makna talak. Legislasi
hukum Islam ke dalam hukum positif (siyasah
syar’iyyah), terutama hukum keluarga dan
status perseorangan, di negara-negara Islam
memberi dampak yang besar bagi praktik
hukum keluarga Islam kontemporer. John
L. Esposito berargumen bahwa reformasi
hukum keluarga Islam telah mengubah dan
menguatkan status hukum bagi perempuan
serta kedudukan mereka di masyarakat.19
Meski elemen bias jender masih belum terkikis
habis dalam hukum keluarga Islam, namun
menurut sejarawan hukum Islam Judith
E. Tucker, reformasi kontemporer hukum
keluarga Islam telah menawarkan ruang yang
lebih banyak bagi perempuan dibanding yang
diberikan oleh kih untuk menegosiasikan
persoalan keluarga.20 Dua perspektif sarjana
tersebut membantu memahami fenomena
tingginya angka cerai gugat dibanding dengan
rendahnya cerai talak. Di Indonesia, reformasi
hukum Islam dalam konteks hukum positif
bisa dilacak akarnya mulai era 1970-an dan
terus berlangsung hingga dekade 2000-
an,21 bahkan berlanjut hingga sekarang dan
mencakup bidang hukum yang lebih luas di
luar hukum keluarga, seperti hukum ekonomi
dan perbankan syari’ah.22
Peradilan, termasuk di dalamnya
pengadilan agama, merupakan institusi negara
yang sangat penting posisinya seiring dengan
meningkatnya kompleksitas permasalahan
hukum dan berbarengan pula dengan
semangat negara sebagai negara hukum
(rechtstaat), bukan negara absolut atau otoriter.
Dalam pandangan Martin Shapiro dan Alec
S. Sweet, mustahil mengkaji problematika
sosial dengan tanpa melihat hukum dan
peradilan.23 Dalam konteks hukum Islam,
19 John L. Esposito with Natana J. DeLong-Bas, Women in Muslim Family Law, second edition (New York: Syracuse
University Press, 2002), h. 157.
20 Judith E. Tucker, Women, Family and Gender in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), h.
130-132.
21 Mohamad Abdun Nasir, Positivisasi Hukum Islam di Indonesia (Mataram: IAIN Mataram Press, 2004).
22 Jan Michiel Otto, “Sharia and National Law in Indonesia,” in Jan Michiel Otto (ed.), Shari’a Incorporated: A
Comparative Overview of the Legal Systems of Twelve Muslim Countries in Past and Present (Leiden: Leiden
University Press, 2010), h. 433-490.
23 Martin Saphiro and Alec Stone Sweet, On Law, Politics and Judicialization (Oxford, UK: Oxford University Press,
2002), h. 1.
24 Ini adalah argument utama yang diajukan oleh Hallaq tentang sharia era negara-bangsa. Baca penjelasan
lengkapnya Mohamad Abdun Nasir, “Wacana Syariat Kontemporer di Barat”, Ulul Albab, Vol. 18, No. 1 (2017):
1-20. Untuk pandangan umum Hallaq tentang hukum Islam, baca Wael B. Hallaq, Shari’a: Theory, Practice and
Transformation (Cambridge: Cambridge University Press, 2008).
25 Wawancara dengan salah satu panitera di Pengadilan Agama Mataram, 22 September 2017.
negara, menurut Wael B. Hallaq, menjadi salah
satu sumber otoritas hukum Islam karena
keputusan yang diberikan melalui pengadilan
agama memiliki implikasi hukum yang
mengikat.24 Dominasi peran negara sedikit
banyak mengubah praktik hukum keluarga
Islam. Dengan mengintegrasikan talak dalam
domain dan kompetensi pengadilan agama,
maka “yudisialisasi” talak, yaitu menjadikan
talak sebagai bagian dari proses yudisial
penyelesaian hukum di pengadilan, tidak
terhindarkan. Pengalaman para aktor hukum
baik pemohon (suami), termohon (istri)
maupun penegak hukum (panitera dan
hakim) menjadi penting untuk diungkap
dan dikaji guna memahami aspek praktis
institusionalisasi dan yudisialisasi talak.
Lebih sedikitnya kasus cerai talak
dibanding dengan cerai gugat menimbulkan
persoalan menyangkut otoritas laki-laki—
yang dalam konteks kih memiliki kuasa
sangat besar—dan menyempitnya praktik
perceraian, khususnya talak. Menurut salah
seorang informan, kasus talak yang terjadi di
luar pengadilan agama di Lombok jumlahnya
sangat besar.25 Namun, data di pengadilan
agama di Lombok, dan juga data nasional,
menunjukkan fakta yang sebaliknya, yakni
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan cerai
gugat, sebuah fenomena yang menarik untuk
dikaji secara mendalam. Secara doktriner,
menurut ketentuan norma kih, suami
memiliki hak istimewa dalam memutus ikatan
perkawinan, yaitu melalui talak. Dengan talak,
mereka berwenang untuk menceraikan istri,
bahkan secara sepihak, dengan syarat talak
tersebut diucapkan dengan sadar dan tidak
di bawah ancaman. Hak istimewa (privilege)
talak berada di tangan suami karena akad
perkawinan dibuat dan disepakati antara calon
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H 61
Mohamad Abdun Nasir & Heru Sunardi
suami dengan wali calon istri. Akibatnya,
suami memiliki kuasa lebih besar dalam hal
menjaga atau memutus akad pernikahan
dibanding istri karena istri tidak terlibat dalam
kesepakatan akad nikah.
Di sinilah menariknya talak dianalisis
dalam perspektif “yudisialisasi dan politik
hukum”. Institusionalisasi norma atau aturan
tertentu (dalam hal ini talak) ke dalam
ranah pengadilan akan mengubah watak
dan fungsinya. Menurut Sweet, dengan
mengacu pada sistim peradilan Prancis,26
yudisialisasi dalam beberapa bidang di
negara tersebut telah menuntut hakim untuk
secra konsisten menerapakn konstitusi dan
landasan hukum yang berlaku di pengadilan.
Dia mencatat, dalam beberapa kasus hukum,
hakim diharuskan memiliki cara pandang
dan penafsiran hukum yang selaras dengan
konsitusi atau sesuatu yang sudah disepakati
oleh “orthodoksi konsitusional klasik”.
Orthodoksi konstitusional klasik bisa
bermakna landasan tertinggi hukum atau
konstitusi dalam suatu negara. Dalam konteks
Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945 dan
peraturan-peraturan turunan dari keduanya
yang secara hierarkhis lebih rendah, seperti
Undang-undang dan Instruksi Presiden.
Artinya keputusan-keputusan pengadilan
agama mengacu kepada sumber-sumber
tersebut.
Sementara itu, dalam memahami
pergeseran pola hubungan (hukum) Islam
dan negera dan perubahan otoritas, Hallaq
menyebut bahwa kebangkitan negara-bangsa
yang terjadi di negara-negara Muslim telah
mengubah peta otoritas dalam hukum
Islam. Otoritas hukum Islam pada awalnya
didominasi oleh ahli hukum idialis (fuqaha)
akan tetapi kemudian digeser perannya oleh
negara dan institusi-institusinya, termasuk
pengadilan.27 Jika dalam norma tradisional
ortodoksi kih talak merupakan ranah mutlak
suami, kini setelah proses yudisialiasi, praktik
dan keberlakuan talak menjadi berubah
karena harus melalui proses peradilan dan
birokrasi. Konsekwensi yudisialisasi, seperti
yang ditemukan dalam studi ini, adalah
membesarnya peran negara dan institusinya
26 Alec Stone Sweed, “Judicialization and the Construction of Governance”, dalam Shapiro dan Sweed (ed.), On
Law, h. 84
27 Wael B. Hallaq, “Can Sharia be Restored?”, dalam Yvonne Hazbeck-Haddad dan Barbara Freyer Stowasser (eds.), Islamic
Law and the Challenges of Modernity (Walnut Creek, CA: Almatira Press, 2004), h. 21-54.
28 Diringkas dari sejarah dan prol semua pengadilan agama di Lombok.
serta perangkat hukumnya, seperti hakim dan
pengadilan, dan mengecilnya peran suami
serta menguatnya daya tawar istri dalam
talak. Data cerai talak yang akan dianalisis
akan memperjelas perspektif teoritis di
atas. Sebelum menguraikan data utama,
terlebih dahulu akan dibahas tentang hukum
keluarga Islam secara umum di Lombok dalam
perspektif pengadilan agama.
C. Talak dan Problematika Hukum
Keluarga Islam di Pengadilan Agama
di Lombok
Sejarah modern pasca kemerdekaan
peradilan agama di Lombok dimulai dengan
terbentuknya Pengadilan Agama/Mahkamah
Syariah Mataram atas dasar Peraturan Menteri
Agama RI No. 5 Tahun 1958. Pengadilan
tersebut berkedudukan di Kota Mataram
dengan wilayah jurisdiksinya meliputi
keseluruhan pulau Lombok. Pada tahun
1968, keluar Keputusan Menteri Agama
No. 195 tentang pembentukan pengadilan
agama untuk Lombok Timur dan Lombok
Tengah karena Pengadilan Agama Mataram
dirasakan sudah tidak lagi memadai. Namun
operasionalisasi dua pengadilan yang baru
terbentuk baru bisa dilaksanakan tahun 1976
untuk Pengadilan Agama Selong, Lombok
Timur, dan tahun 1977 untuk Pengadilan
Agama Praya, Lombok Tengah. Pemekaran
wilayah Mataram menjadi Kota Mataram dan
Lombok Barat berimbas pada pembentukan
pengadilan agama baru di Giri Menang,
Lombok Barat, pada tahun 1998. Sampai saat
ini, terdapat 4 (empat) pengadilan agama.
Kabupaten Lombok Utara yang terbentuk
pada tahun 2007 belum memiliki pengadilan
agama dan karena itu mereka masih bergabung
dengan Pengadilan Agama Lombok Barat.28
Berikut data statistika jumlah dan
kategori perkara di pengadilan agama di
Lombok tahun 2017. Data dirangkum dari
laporan tahunan 4 (empat) pengadilan agama
di Lombok.
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H
62
Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam
No. Kategori Perkara Jumlah
1. Isbat Nikah 3.570
2. Cerai Gugat 2.655
3. Cerai Talak 703
4. Perwalian 46
5. Kewarisan dan penetapan
ahli waris 152
6. Pencegahan Perkawinan 9
7. Harta Bersama 22
8. Dispensasi Kawin 36
9. Wali Adhol 20
10. Izin Poligami 9
11. Asal-usul Anak 8
12. Hibah 2
13. P3HP 7
14. Lain-lain 16
Jumlah total 7.255
Seperti terlihat dalam tabel, jumlah
perkara terbanyak adalah isbat nikah atau
pengesahan pernikahan. Ini menunjukkan
bahwa perkawinan sirri atau yang tidak
dilakukan di hadapan petugas pencatat
perkawinan sangat tinggi. Perkara kedua
adalah cerai gugat yang mencapai tiga
kali lipat lebih dari cerai talak. Perkara
kewarisan menempati urutan keempat dan
disusul oleh perwalian, dispensasi kawin,
harta bersama dan wali adhol. Beberapa
perkara lain yang jumlahnya di bawah 20
termasuk pencegahan perkawinan, izin
poligami, asal-usul anak, P3HP, dan hibah
serta lainnya. Karena fokus tulisan pada
perceraian, maka selanjutnya diuraikan
alasan-alasan yang melatarbelakangi
terjadinya perceraian, baik cerai gugat
maupun cerai talak.
Sebelum mengarah secara spesik pada
data talak, berikut akan jelaskan aspek makro
perceraian. Aspek makro berkaitan dengan
gambaran umum yang bisa disimpulkan
dari data statistik pengadilan. Aspek mikro
berkaitan dengan proses masing-masing
perkara secara spesik. Aspek makro yang
akan diuraikan berkenaan dengan alasan-
29 Dalam terminologi kih, tidak harmonis dan konik terus menerus disebut syiqaq. Keduanya bisa menjadi
dasar talak maupun perceraian yang diminta oleh istri. Untuk penjelesan lebih lanjut tentang syiqaq, baca Arne
Huzaimah, “Urgensi Integrasi antara Mediasi dan Hakam dalam Penyelesaian Perkara Perceraian dengan
alasan Syiqaq di Pengadilan Agama”, Nurani 16:2 (2016): 1-24 dan Haniah Ilhami, “Interpretation of Syiqaq and
its Procedural Law at Religious Courts in Yogyakarta”, Mimbar Hukum 26:1 (2014): 148-157.
30 Propinsi NTB, khususnya wilayah Lombok, mencatat angka pekerja migrant yang cukup besar. Rata-rata
pekerja migrant laki-laki bekerja di perusahaan dan kebut sawit di Malaysia, sedangkan pekerja migrant
perempuan bekerja di sektor domestic di negara-negara Timur Tengah.
alasan penyebab perceraian.
Berdasarkan data laporan pengadilan
agama di Lombok, faktor “tidak harmonis”
atau “berselisih terus menerus” merupakan
penyebab utama perceraian. Namun demikian,
keduanya belum menjadi variabel yang jelas
karena apa yang dimaksud dengan “tidak
harmonis” dan “berselisih terus menerus”
masih umum meskipun makna tidak harmonis
bisa berarti tiada kecocokan dan kedamaian
yang berdampak kepada perselisihan yang
tiada henti.29 Akan tetapi keduanya masih
ambigu karena dua hal tersebut bisa saja
menjadi akibat daripada penyebab atau alasan
bercerai. Dari sini, tampaknya kedua faktor
ini tidak cukup bagus memberikan diskripsi
yang jelas apakah keduanya marupakan akar
penyebab atau akibat dari sebab lain yang
tidak/belum diketahui atau tidak disebutkan
lebih rinci. Kemungkinannya adalah dua
alasan tersebut merupakan alasan yang
umum yang dapat memayungi segela macam
jenis masalah, konik dan ketegangan dalam
rumah tangga. Perlu ada survei atau penelitian
lainnya yang lebih dalam lagi mengenai
persoalan tersebut. Dua hal ini menjadi alasan
bagi suami maupun istri untuk bercerai.
Alasan kedua adalah meninggalkan
salah satu pihak. Meninggalkan salah satu
pihak lebih jelas maknanya, yaitu salah satu
pasangan meninggalkan pasangannya. Meski
tidak ada perincian lebih detail pihak mana
yang meninggalkan atau apa penyebabnya
salah satu pihak meinggalkan, akan tetapi
kategori meninggalkan sangat jelas, yakni
salah satu pihak pergi meninggalkan rumah
kediaman bersama. Dalam banyak kasus,
pihak laki-laki (suami) sering digambarkan
sebagai pihak yang meninggalkan istri
daripada sebaliknya baik karena alasan tidak
cocok lagi, atau hanya pergi dari rumah dan
lepas tanggungjawab. Atau suami bekerja ke
luar negeri dan tidak memberi kabar maupun
nafkah kepada istri (dan anak), seperti yang
sering ditemukan dalam narasi cerai gugat.30
Dalam beberapa kasus kecil, bisa saja istri
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H 63
Mohamad Abdun Nasir & Heru Sunardi
yang meninggalkan suami dengan pulang
kembali ke orang tuanya atau keluarga
besarnya. Atau istri pergi bekerja keluar
negeri. Ini kadang menjadi alasan bagi suami
untuk menceraikannya. Keduanya dengan
demikian bisa menjadi alasan bagi masing-
masing pihak untuk berpisah dan meminta
pengadilan menyelesaikan sengketa tersebut.
Meninggalkan pasangan menjadi alasan
berpisah baik oleh istri dalam cerai gugat
maupun suami dalam cerai talak.
Alasan lain adalah ekonomi. Suami
kurang mampu menafkahi istri dan anak-
anaknya atau, dalam beberapa kasus yang
ditemukan, tidak mau menafkahi, atau nafkah
kurang, meskipun faktanya suami mampu.
Dalam konteks hukum keluarga, suami
sebagai kepala keluarga bertanggungjawab
menanggung beban dan kebutuhan mereka
menurut kadar kemampuan dan kepantasan,
atau “bil makruf” dalam istilah al-Qur’an.31
Dari beberapa sidang, khususnya cerai gugat
(meski bukan menjadi topik penelitian ini akan
tetapi peneliti sering menemukannya selama
mengikuti sidang-sidang di pengadilan), istri
sering mengeluhkan suami yang dianggap
kurang atau tidak mau lagi menafkahi diri
dan anak-anaknya. Alasannya suami tidak
bekerja, gaji kecil maupun alasan suami
enggan memberikan uang belanja karena
ada masalah dengan istri. Dalam hal suami
belum bekerja atau tidak bekerja lagi setelah
berhenti bekerja dan masih dalam proses
mencari pekerjaan lain, atau bekerja akan
tetapi gajinya kurang, maka majelis hakim
akan menasehati para pihak, khususnya istri,
untuk bersabar. Namun jika karena suami
lari dari tanggungjawab nafkah, maka hakim
akan cepat mengabulkan permintaan istri
karena istri menjadi korban tindakan suami
yang tidak bertanggungjawab dalam masalah
ekonomi.
Alasan lain perceraian adalah kekerasan
sik atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT).32 Dalam hal ini, pelakunya mayoritas,
atau kalau tidak semuanya, adalah suami.
Istri, dan kadang juga anak-anak, menjadi
31 Untuk penjelesan lebih lanjut tentang nafkah, baca Syamsul Bahri, “Konsep Nafkah dalam Hukum Islam”,
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 17:2 (2015): 381-399), dan B. Syafuri, “Nafkah Wanita Karir dalam Perspektif Fikih
Klasik” Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah, 13:2 (2014): 201-208.
32 Abdul Wahed, “Analisis Hukum Islam terhadap Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”, Al Ihkam
Jurnal Hukum dan Pranata Sosial 4:1 (2013): 31-50.
33 Baca Nina Nurmila, Women, Islam and everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia (Cambridge: Routledge,
2009).
korban dari tindakan represif suami. Dalam
banyak persidangan terungkap suami yang
memukul istri baik karena istri dianggap
salah atau karena suami melakukan itu
dengan alasan yang tidak jelas. Alasan-alasan
di atas sering menjadi landasan istri untuk
melakukan gugatan cerai, bukan alasan suami
untuk mengajukan talak. Sama seperti alasan
ekonomi, dimana pihak suami adalah yang
sering tidak memenuhi kewajibannya. Tidak
ditemukan alasan KDRT menjadi dasar suami
menceraikan istrinya dalam kasus cerai talak.
Beberapa alasan lain, seperti moralitas
dan kriminal, sering diasosiasikan dengan
suami. Alasan moralitas yang sering
ditemukan adalah suami mabuk-mabukan
dan berjudi atau terlibat masalah hukum
pidana. Alasan kecil lainnya yang muncul
adalah poligami. Poligami seringkali menjadi
alasan istri untuk mengajukan perceraian.
Terkadang suami tidak mau bercerai karena
bermaksud menikah lagi, akan tetapi pihak
istri selalu menolak kehadiran istri kedua
dalam rumah tangga.33 Terdapat satu alasan
lain perceraian yaitu murtad. Ini misalnya
terjadi di PA Mataram, akan tetapi tidak
ditemukan di pengadilan agama lainnya di
Lombok. Mataram adalah ibu kota propinsi
yang sangat heterogen. Muslim adalah
mayoritas sementara Hindu Bali merupakan
minoritas terbanyak. Perkawinan silang
tidak sedikit kerap terjadi antara pasangan
dengan latar belakang etnis Sasak Muslim
dan Bali Hindu. Narasi yang ditemukan di
pengadilan adalah bahwa pada saat akad
nikah dilangsungkan, masing-masing pihak
telah satu agamanya meskipun sebelumnya
berbeda. Terkadang suami mengikuti agama
istri sebelum akad nikah, meskipun juga sering
kali terjadi sebaliknya, yakni istri mengikuti
agama suami. Dalam perjalanan rumah
tangga, salah satu pihak kemudian kembali
keagamaan asal. Hal ini memicu terjadinya
sengketa yang berujung kepada perceraian.
Bagian selanjutnya membahas dua temuan
utama praktik talak, yaitu yudisialisasi dan
limitasi.
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H
64
Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam
D. Yudisialisasi Talak: Dari Kuasa Suami
ke Prosedur Hukum
Contoh kasus berikut menjelaskan
yudisialisasi cerai talak yang mencerminkan
model atau pola perceraian dengan motivasi
untuk menikah kembali. Pemohon atau suami
tersandera oleh prosedur hukum sampai dia
mampu melepaskanya dengan melakukan
cerai talak di pengadilan untuk mendapatkan
akta cerai sebagai bukti bahwa dia telah
sah bercerai dan sebagai prasyarat menikah
kembali secara legal dalam pandangan negara.
Suami tidak bisa menikah kembali secara
formal sampai dia memperoleh akta cerai dari
pengadilan yang diminta oleh calon istrinya.
Diskripsi Kasus.34 AK, bekerja
wiraswasta, usia 34 tahun, pendidikan terakhir
SLTA, mengajukan permohonan cerai talak
di Pengadilan Agama Giri Menang, Lombok
Barat, pada Bulan Juni 2018. Termohon adalah
istrinya, M, usia 18 tahun, pekerjaan ibu rumah
tangga, pendidikan terakhir SD. Keduanya
tinggal di Gangga, Lombok Utara. Pernikahan
hanya dilaksanakan “secara syar’i” dan
karenanya mereka tidak memiliki buku (akta)
nikah. Dalam surat permohonannya, pemohon
menjelaskan kronologi dan sebab-musabab
keluarganya tidak harmonis yang berujung
pada konik yang tidak bisa diselesaikan.
Pemohon menikah dengan termohon pada
bulan Desember 2008 di Gangga, Lombok
Utara. Pada saat itu, masing-masing pihak
berstatus sebagai perjaka dan perawan dengan
mas kawin sejumlah uang dibayar tunai
dan tidak ada larangan yang menghalangi
keduanya menikah.
Mereka menjalani rumah tangga secara
normal dan dikaruniai seorang anak laki-
laki. Selama itu, mereka hidup harmonis.
Keadaan berubah pada tahun 2009, atau
setahun setelah menikah, ketika perselisihan
sering terjadi. Termohon dinilai berwatak
keras, cepat tersinggung dan marah-marah.
Puncaknya terjadi pada tahun 2010; pemohon
menjatuhkan talak secara syar’i kepada
termohon yang menyebabkan dia pulang ke
rumah orang tuanya. Sejak saat itu mereka
berpisah dan sampai sekarang tidak ada
harapan untuk kembali. Karena itu, permohon
bertekad menyelesaikan perkaranya di
34 Narasi kasus cerai talak diambil dan disarikan dari dokumen putusan perkara ini, wawancara dengan suami,
dengan panitera dan berdasarkan observasi siding di pengadilan.
35 Observasi dan wawancara dengan termohon dan saksi di PA Giri Menang, 5 September 2018.
pengadilan agama. Dalam surat itu, pemohon
meminta 3 putusan: pertama, mengabulkan
seluruh permohonan pemohon. Kedua,
menetapkan sahnya perkawinan pemohon
dan termohon yang dilaksanakan tahun 2008.
Ketiga, mengizinkan pemohon untuk berikrar
menjatuhkan talak satu raj’i kepada termohon
di depan sidang pengadilan.
Persidangan dilakukan tanpa kehadiran
termohon setelah dipanggil dua kali berturut-
turut namun tidak pernah hadir. Dalam
persidangan pemohon mempertahankan
semua dakwaannya. Untuk memperkuat
posisinya, pemohon melengkapi bukti identitas
diri (fotocopi KTP) dan mendatangkan
dua orang saksi, yaitu ayah kandung
pemohon dan saudara misan pemohon.
Dalam persidangan, saksi membenarkan
semua isi surat permohonan pemohon.
Mereka juga memberitahukan kepada majelis
bahwa termohon telah lama menikah lagi
dan mendapatkan 1 orang anak dari hasil
pernikahan kedua tersebut. Dengan ragam
pertimbangan yang diambil dari al-Qur’an,
pendapat ulama dan hukum positif, ditambah
dengan ketidakhadiran termohon, maka
majelis hakim memutuskan mengabulkan
permohonan termohon.
Kasus ini mereeksikan beberapa hal
yang unik tentang praktik cerai talak di
pengadilan agama. Pertama, menyangkut
ketidakhadiran salah satu pihak, yakni
termohon, dan kedua perselisihan rumah
tangga yang berujung pada terjadinya talak
di luar pengadilan agama (talak terjadi tahun
2000) dan setelah beberapa tahun kemudian
diselesaikan secara resmi. Mengapa perkara
ini diselesaikan di pengadilan agama 8
tahun kemudian? Mengapa tidak sejak awal
diselesaikan di pengadilan agama? Apa
yang mendorong pemohon baru sekarang
membawa masalahnya ke pengadilan agama?
Peneliti berkesempatan untuk
mengikuti rangkaian sidang perkara ini
dan mewawancarai termohon dan para
saksinya di luar ruang sidang.35 Dalam
sidang, terungkap alasan-alasan pemohon
mengajukan permohonan talak, sebagaimana
yang tertuang dalam salinan putusan
pengadilan agama atas perkara ini. Dari hasil
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H 65
Mohamad Abdun Nasir & Heru Sunardi
wawancara, peneliti mendapatkan jawaban
pertanyaan di atas. Menurut pemohon, dia
belum merasa perlu mengajukan permohonan
talak sejak awal, katakanlah semenjak atau
setelah terjadinya talak ataupun membawanya
langsung ke pengadilan untuk proses cerai
talak saat itu juga, bukan melalui talak
di luar pengadilan, karena belum ada
keperluan untuk melakukannya. Berperkara
ke pengadilan bukanlah urusan yang mudah
bagi sebagian atau banyak orang. Selain
jarak yang jauh, dari Gangga, Lombok Utara,
ke Gerung, Lombok Barat, bukanlah jarak
yang dekat. Selain transportasi dan biaya,
juga mendatangkan saksi adalah beban
lain. Masalah ini belum ditambah jika para
pihak merasa malu membawa perkaranya
pengadilan jika diketahui oleh para tetangga
atau koleganya karena rumah tangganya
bermasalah dan hendak cerai.
Di samping itu, ada masalah lain, yakni
menyangkut kepentingan administrasi.
Pemohon baru mengajukan permohonan
talak saat sekarang karena ada kebutuhan
administrasi berupa akta cerai. Bagi yang
menikah kemudian bercerai dan menikah lagi
di luar administrasi negara, maka mereka tidak
akan pernah mengalami masalah administrasi
pernikahan. Sama halnya dengan nikah sirri,
dan bercerai di luar pengadilan; mereka
dengan mudah bisa menikah lagi setelah
masa iddah habis bagi perempuan atau bisa
langsung menikah lagi bagi laki-laki. Tidak
demikian halnya jika administrasi hukum
perkawinan diterapkan. Bagi yang hendak
menikah kembali secara resmi, maka mereka
harus memenuhi syarat-syarat atau ketentuan-
ketentuan yang bersifat administratif. Salah
satunya adalah memiliki bukti sah akta cerai
yang dikeluarkan pengadilan agama. Inilah
alasan utama yang mendasari cerai talak
dalam perkara ini.
Dalam kasus-kasus perceraian lain, baik
cerai talak maupun cerai gugat, ditemukan
fakta bahwa bercerai di pengadilan lebih
merupakan tuntutan administratif daripada
substantif. Bercerai di pengadilan bisa menjadi
motif penyelesaian masalah administrasi
yaitu untuk mendapatkan akta cerai resmi
untuk menikah lagi secara resmi. Boleh jadi
mereka telah lama bercerai secara syar’i di
luar pengadilan, sebagaimana perkara talak
ini, namun baru sekarang menyelesaikan
persoalan administrasi di pengadilan. Dengan
mencatatkan perkara cerai secara prosedural,
para pihak memiliki dokumen otentik dan
legalitas perceraian. Dalam kasus lain pula,
bercerai di pengadilan untuk memenuhi
tuntutan administratif seperti memiliki akta
cerai resmi bisa menjadi batu loncatan untuk
menyelesaikan atau menempuh masalah
hukum terkait, semisal harta bersama ataupun
pemeliharaan anak.
Dalam konsepsi kih, cerai talak
semacam ini tidak diperlukan karena suami
bisa langsung menikah kembali karena mereka
tidak ada masa tunggu (iddah) dan karena
pencatatan atau akta cerai bukan menjadi
prasarat menikah kembali. Lebih dari itu,
dalam pandangan kih, ikrar talak suami
di pengadilan dipandang sebagai ucapan
talak tambahan (baik 1 atau 2, tergantung
berapa yang telah dijatuhkan sebelumnya
sebelum dibawa ke pengadilan) sehingga
status hubungan suami-istri pasca cerai
talak di pengadilan bisa berbeda. Inilah yang
dimaksud bahwa yudisialisasi bukan saja
sekedar membawa perubahan teknis cerai
talak, akan tetap berdampak pula terhadap
substansi dan makna (meaning) talak. Makna
cerai di pengadilan dalam pandangan kih
bisa berarti cerai yang kedua atau ketiga ketika
perkara itu dibawa ke pengadilan akan tetapi
tetap merupakan talak pertama (satu) apabila
suami belum pernah mengajukan permohonan
talak sebelumnya di pengadilan.
Fakta-fakta cerai talak demikian
menunjukkan bahwa yudisialisasi hukum
Islam bukan saja telah mengubah dan
mempengaruhi praktik perceraian, terutama
sekali dari perceraian di luar pengadilan
menuju perceraian di depan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat,
akan tetapi juga membentuk pola-pola baru
perceraian dengan motif yang beragam.
Motif ini meliputi legalitas untuk melakukan
tindakan hukum selanjutnya, seperti menikah
kembali, seperti halnya dalam kasus cerai talak
ini, maupun starting point atau batu loncatan
untuk melakukan tindakan hukum lainnya.
Di sinilah prosedur hukum menjadi niscaya
dan berkuasa. Jika dalam kih suami memiliki
kuasa penuh dan besar dalam hal perceraian,
yakni mereka bisa mentalak istrinya kapan saja
dan dimana saja dan kemudian melakukan
tindakan hukum lain setelah itu, seperti
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H
66
Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam
merujuk mantan istrinya atau menikah lagi
dengan orang lain, maka hal itu tidak bisa
lagi bersifat otomatis manakala ia memilih
jalan prosedur penyelesaian perceraian di
pengadilan. Yudisialisasi atau birokratisasi
hukum keluarga Islam, termasuk hukum
perkawinannya, telah menempatkan kuasa
prosedur dan administrasi di atas substansi.
Kasus talak ini merupakan bukti nyata yang
memperkuat argument yudisialisasi talak.
E. Limitasi Talak: Suami, Istri dan
Kontestasi Perceraian
Perkara cerai talak yang akan diuraikan
di bawah ini menegaskan bahwa meskipun
talak merupakan hak mutlak suami, akan
tetapi peran tidak lagi kuat atau dominan.
Sebaliknya, dalam kasus cerai talak pun istri
memiliki peran untuk ikut mempengaruhinya,
bahkan dalam beberapa kasus peran istri sangat
dominan. Inilah salah satu konsekwensi logis
pola perubahan talak dari kih ke ketentuan
hukum positif dalam praktiknya di pengadilan
agama. Akibatnya adalah suami sebagai
pemohon cenderung menjadi pihak yang
menghadapi problematika lebih komplek yang
boleh jadi sama sekali mereka tidak sangka
masalah tersebut akan terjadi di pengadilan.
Namun, banyak pula yang menyadarinya
sehingga berimplikasi terhadap keengganan
suami membawa perkara talak ke pengadilan
dan, akibatnya, jumlah angka talak lebih kecil
dibanding cerai gugat.36 Kuasa suami dalam
domain perceraian dikontestasikan oleh
istri dalam praktik perceraian kontemporer
di pengadilan agama. Praktik talak dengan
demikian menjadi domain suami yang
limitatif yang secara tidak langsung berakibat
pada sedikitnya kasus talak dibanding kasus
cerai gugat. Salah satu perkara di bawah ini
mengilustrasikan pola limitatif talak.
Diskripsi Kasus.37 Pada Bulan Juli 2018,
sebuah perkara permohonan talak diajukan
oleh pemohon, A, usia 33 tahun, pendidikan
sarjana, berstatus pegawai negeri sipil (PNS),
dan tinggal di Masbagik, Lombok Timur.
Pemohon bermaksud mentalak istrinya
(termohon), SE, 35 tahun, bekerja sebagai
guru honorer, pendidikan sarjana dan tinggal
36 Banyak suami yang memilih bercerai di luar pengadilan karena selain menghindari biaya perkara di pengadilan, juga
karena suami merasa memiliki wewenang lebih dalam cerai talak di luar pengadilan. Wawancara dengan salah satu
panitera Pengadilan Agama Praya, 19 Juli 2018.
37 Narasi dalam kasus ini disarikan dari hasil observasi pada siding cerai talak dan wawancara dengan para pihak (suami,
istri, dan saksi) serta panitera dan hakim di PA Selong, Lombok Timur.
di Masbagik, Lombok Timur. Pemohon dan
termohon merupakan pasangan suami istri
yang menikah secara sah pada tanggal 2
Desember 2007 di depan pegawai pencatat
perkawinan pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Masbagik Kabupaten Lombok
Timur. Pada awal perkawinannya kedua belah
pihak hidup rukun dan dikarunia seorang
anak berjenis kelamin laki-laki berumur 9,
yang kini hidup bersama saudara termohon
(istri).
Dalam permohonan talak disebutkan
bahwa antara keduanya (suami/pemohon
dan istri/termohon) telah terjadi perselisihan
dan pertengkaran yang terus menerus yang
tidak dapat diselesaikan secara baik-baik.
Pertengkaran ini menurutnya karena termohon
jarang atau tidak mau mendengarkan nasehat
darinya menyangkut hubungan termohon
dan keluarga pemohon. Akibatnya terjadi
ketidakcocokan antara termohon dan keluarga
pemohon. Menurut pemohon, termohon
selalu minta pisah dengan dirinya. Puncak
perselisihan dan pertengkaran terjadi pada
bulan Mei 2013 sehingga menyebabkan
keduanya pisah tempat tinggal.
Dalam persidangan dan wawancara,
argumentasi atau alasan pemohon dibantah
oleh termohon. Menurut termohon, hubungan
antara keduanya sebenarnya baik-baik saja
sampai pada bulan Mei 2013. Tidak benar
pula jika sebelum tanggal tersebut keduanya
selalu bertengkar atau berselisih. Termohon
mengaku bahwa dirinya tipe istri yang taat
dengan suami dan menuruti nasehat suaminya.
Namun demikian, ketidak harmonisan
mereka dalam berumah tangga sebenarnya
adalah adanya campur tangan pihak ketiga,
yaitu keluarga pemohon, yang sejak awal
kurang setuju pernikahan mereka. Keluarga
pemohon, menurut termohon, mencari cara
agar hubungan keduanya dapat dipisahkan.
Hal ini terbukti dengan adanya perkawinan
secara sirri yang dilakukan oleh pemohon
dengan wanita lain tanpa sepengetahuan
termohon. Inilah yang menjadi alasan utama
pemohon mengajukan talak sehingga dia bisa
menikah secara resmi karena sebagai pegawai
negeri sipil, poligami merupakan hal yang
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H 67
Mohamad Abdun Nasir & Heru Sunardi
sangat sulit dilakukan secara resmi.
Karena alasan-alasan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon/suami dianggap
berlebihan, termohon/istri menyangkal dan
mengajukan jawaban gugat balik (rekonpensi).
Gugatan rekonpensi yang diajukan oleh
termohon diantaranya berupa permintaan
biaya hadanah untuk anak mereka yang
tinggal bersamanya sebesar Rp. 2.500.000,-
(Dua Juta Lima ratus Ribu Rupiah) setiap
bulannya atau setidak-tidaknya 1/3 (sepertiga
bagian) dari gaji pemohon dihitung sejak
perkara diputus oleh majelis hakim. Termohon
merasa berhak pula atas sebagian gaji
pemohon sebesar 1/3-nya. Pada gugat balik
(rekonpensi) ini, termohon juga meminta
nafkah iddah Rp.1.500.000 X 3 bulan (masa
iddah) = Rp. 4.500.000,- (Empat Juta Lima
ratus Ribu Rupiah) dan uang iddah ini harus
diberikan secara tunai pada saat ikrar talak di
hadapan majelis hakim pemeriksa perkara.
Disamping itu, termohon meminta uang
mut’ah (pemberian satu kali suami untuk istri
yang ditalak) sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh
Juta Rupiah) dan harus diberikan secara tunai
pada saat ikrar talak.
Selain tuntutan di atas, pemohon
rekonpensi (istri) juga mengajukan gugatan
balik terhadap harta bersama, yaitu bangunan
kios ukuran ± 3 X 4 M² di Masbagik Kabupaten
Lombok Timur, yang ditaksir bernilai Rp.
20.000.000,- (Dua Puluh Juta Rupiah).
Bangunan kios dibangun oleh keduanya saat
masih dalam ikatan perkawinan dengan biaya
yang berasal dari sebagian uang penjualan
barang bawaan termohon berupa anting 2
gram, gelang 7 gram, kalung 10 gram, dan
cincin 3 gram.
Hasil wawancara peneliti menunjukan
bahwa sebenarnya termohon-lah yang pertama
kali mengajukan gugatan cerai kepada
suaminya ke pengadilan. Namun, gugatan
cerai tersebut dicabut kembali atas saran dan
pertimbangan saudaranya. Jika termohon yang
mengajukan gugatan dikhawatirkan tidak
mendapatkan 1/3 gaji pemohon sebagai PNS.
Terungkap pula termohon khawatir jika ia
yang menggugat dan kalah, maka ia yang akan
dibebani biaya perkara. Oleh karena itulah,
ia meminta agar pemohon mengajukan cerai
talak ke pengadilan karena pemohon sudah
men-talak termohon sebanyak 3 kali di luar
pengadilan, sebagaimana keterangan saksi
kepada peneliti. Talak pertama terjadi pada
tahun 2009 dan disusul talak kedua tahun 2013
yang dijatuhkan dua kali sekaligus. Namun
demikian, saksi menjelaskan bahwa termohon
adalah suami yang bertanggungjawab karena
ia tetap menengok dan memberikan nafkah
kepada anak dan istrinya walaupun sejak
tahun 2013 mereka telah berpisah rumah.
Dalam persidangan terjadi kesepakatan
bahwa biaya untuk anak diberikan sebesar
Rp. 1.500.000,- (Satu Juta Lima ratus). Uang
itu baru akan diberikan pasca putusan
pengadilan. Namun demikian, termohon
dan anaknya akan tetap menerima biaya
bulanan sebesar Rp. 1.200.000,- (Satu Juta
Dua Ratus Ribu Rupiah). Dalam putusannya,
hakim mengabulkan permohonan pemohon,
mengabulkan sebagian gugatan balik
termohon dan menolak sebagiannya.
F. Reformasi Hukum Keluarga Islam
Dua kasus di atas menggambarkan
dua hal penting. Pertama, yudisialisasi talak,
yaitu penyelesaian talak di pengadilan agama
berdasarkan tata cara atau hukum acara
yang berlaku dan, kedua, keterbatasannya
(limitasi). Yudisialisasi dimulai dari semenjak
perkara talak didaftarkan sampai memperoleh
ketetapan hukum tetap. Dalam konteks kih,
yudisialisasi tidak berlaku kecuali jika ada
konik-konik lain yang menyertai perceraian
yang perlu diselesaikan oleh hakim (qadi)
karena talak tergantung hampir sepenuhnya di
tangan suami. Dalam skema seperti ini, suami
memiliki kuasa penuh. Namun tidak demikian
halnya dalam praktik talak saat sekarang.
Terlebih ketika perkara talak diselesaikan
melalui mekanisme litigasi di pengadilan.
Ketika talak model kih diintegrasikan ke
dalam sistim peradilan modern, maka terjadi
perubahan di dalamnya, baik menyangkut
hukum normatif talak maupun prosedur talak
itu sendiri.
Dalam praktiknya, talak menjadi
birokratis karena berurusan dengan
administrasi dan prosedur, dua domain utama
kerja-kerja birokrat modern. Administrasi dan
prosedur bahkan menjadi sangat dominan
yang menentukan apakah hukum telah ditaati,
apakah keputusan yang telah dijatuhkan tidak
cacat atau batal demi hukum, dan apakah
produk hukum memiliki kekuatan hukum
tetap atau tidak. Jika dalam normativitas
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H
68
Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam
kih prosedur dan administrasi talak tidak
begitu dominan, maka dalam praktiknya di
era modern sekarang ini, talak menjadi sangat
birokratis. Dengan kata lain, yudisialisasi talak
telah mengubah pola perceraian dari kuasa
suami ke prosedur hukum dan melimitasi
jumlah kuantitas talak di pengadilan.
Yudisialisasi talak mengindikasikan
bahwa praktik talak boleh jadi merupakan
syarat administratif semata dalam rangka
mencapai tujuan lain dan tertentu. Jika
dalam normativitas kih suami memiliki
kewenangan yang besar dalam masalah
talak, yakni menjatuhkan talak, menentukan
jumlah talak sampai merujuk kembali, atau
menikah kembali beberapa waktu setelah
cerai, maka kuasa yang demikian diganti oleh
seperangkat hukum material yang bersifat
keharusan, bukan pilihan. Tidak ada acara lain
selain mengikuti proses beracara yang telah
ditentukan bagi suami jika ia ingin keluar dari
persoalan administrasi dan birokrasi hukum
perkawinan di Indonesia. Kuasa suami dalam
ranah talak telah tergantikan oleh proses-
proses administratif-yudisial.
Dalam kasus kedua, hal yang relevan
untuk dianalisis adalah bahwa talak sebagai
domain suami ternyata tidak bisa sepenuhnya
dikontrol oleh suami. Istri sebagai pihak
yang dinarasikan sebagai obyek talak dalam
perspektif kih, kini bahkan bisa menjadi
subyek hukum karena memiliki kuasa untuk
menentukan bagimana proses hukum talak
berjalan. Kasus (kedua) ini dengan sangat
tegas menunjukkan bahwa perceraian, bahkan
cerai talak itu sendiri, bukan lagi dominasi
suami. Istri bahkan berperan lebih aktif dalm
menentukan arah penyelesaiannya. Talak
menjadi wilayah yang dikontestasikan antara
suami dan istri dan mereduksi kuasa suami.
Pergeseran peran suami, istri dan hakim
pengadilan dalam penyelesaian perkara
talak mereeksikan perubahan-perubahan
fundamental dalam praktik hukum keluarga
Islam kontemporer di Indonesia. Perubahan
tersebut, seperti terlihat dalam dua kasus
cerai talak di atas, disebabkan oleh reformasi
38 John L. Esposito with Natana J. DeLong-Bas, Women in Muslim Family Law, second edition (New York: Syracuse
University Press, 2002) dan Judith E. Tucker, Women, Family and Gender in Islamic Law (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008)
39 Alec Stone Sweed, “Judicialization and the Construction of Governance”, dalam Shapiro dan Sweed (ed.), On
Law, h. 84
40 Wael B. Hallaq, “Can Sharia be Restored?”, dalam Yvonne Hazbeck-Haddad dan Barbara Freyer Stowasser
(eds.), Islamic Law and the Challenges of Modernity (Walnut Creek, CA: Almatira Press, 2004), h. 21-54.
dan integrasi hukum Islam ke dalam hukum
negara. Analisis Esposito dan Tucker tentang
peningkatan status hukum istri terlihat
jelas dalam perkara talak kedua tersebut.38
Dua sarjana ini berargumen bahwa dengan
lahirnya kodikasi hukum keluarga Islam di
negara-negara Muslim secara tidak langsung
memperkuat posisi dan peran istri. Peran
seperti ini sangat menonjol dalam kasus
cerai talak kedua. Yudisialisasi, sebagaimana
diungkapkan oleh Sweed,39 dengan demikian
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
penerapan hukum Islam. Praktik dan makna
perceraian bergeser dari praktik dan makna
konvensional ke praktik dan makna yang
yudisial, administratif dan limitatif. Lahirnya
negara-bangsa di dunia Islam, sebagaimana
argument Hallaq,40 menempatkan negara dan
institusinya, termasuk hakim dan peradilan,
sebagai otoritas yang mengontrol hukum
Islam dan menggeser peran fuqaha sebagai
arsitek kih, sebagaimana sebelumnya.
Dengan demikian, pergeseran kuasa
individu (suami) ke negara (hakim dan
sistim peradilan) tidak terjadi begitu saja,
akan tetapi berangkat dari reformasi hukum
keluarga Islam. Sebagaimana di negara-
negara Islam atau negara-negara dengan
penduduk mayoritas Islam, trend reformasi
hukum keluarga muncul pada pertengahan
abad 20. Dalam konteks Indonesia, reformasi
tersebut terjadi mulai tahun 1970. Reformasi
berangkat dari paradigma dasar tentang
pentingnya perubahan hukum agar senantiasa
selaras dengan tantangan zaman. Ketentuan
hukum yang dihasilkan pada era klasik dan
pertengahan, sebagaimana kih, memerlukan
penyegaran manakala tidak lagi relevan
dengan perubahan konteks. Karena kih
merupakan hasil ijtihad, maka ia tidak
kebal dari perubahnan. Dari perspektif ini,
ketentuan dan mekanisme talak yang dirasa
tidak relevan dengan kebutuhan dan aspirasi
modern perlu ditinjau ulang dan dirumuskan
kembali.
Dengan menjadikan talak sebagai
urusan publik, negara hendak memastikan
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H 69
Mohamad Abdun Nasir & Heru Sunardi
bahwa setiap individu pasangan memiliki
kedudukan yang sama di depan hukum.
Semua orang dianggap cakap bertindak
hukum manakala telah dewasa dan berakal,
sebagaimana prinsip dasar kih. Begitu pula,
dengan menjadikan talak bukan lagi semata
urusan privat dalam satu keluarga atau suami-
istri saja, maka negara hadir untuk memastikan
bahwa setiap orang berhak mendapatkan
keadilan. Pertimbangan “ketertiban umum”
atau maslahah tampak mengemuka di sini.
Jika talak terjadi secara personal, tertutup,
tidak terbuka untuk diinvestigasikan alasan
dan kronologinya serta tidak dijamin hak-hak
istri yang tertalak, sebagaimana yang menjadi
tujuan negara dengan keharusan perceraian di
pengadilan, maka tertib sosial akan terganggu,
terutama istri dan anak.
Dalam konsepsi hukum Islam, maslahah
adalah utama dan prinsipil. Dalam tinjauan
historis, Opwis menemukan bahwa hampir
semua pemikiran pembaharuan hukum Islam
(ijtihad) mengandung prinsip maslahah.41
Jika tujuan hukum untuk tercapainya
maslahah tidak terpenuhi dalam pelaksanaan
suatu hukum tertentu, maka hukum bisa
ditinjau kembali. Cerai talak sepihak di
luar pengadilan jelas mengancam prinsip
maslahah. Inilah alasan logis reformasi
hukum Islam dengan menjadikan talak, yang
sebelumnya dianggap urusan pribadi dan
internal rumah tangga, menjadi urusan publik
dengan negara sebagai otoritasnya yang
terbuka untuk dikontestasikan. Jika alasan
permohon talak kuat dan memenuhi syarat
dan prosedur yang tetapkan, berpeluang besar
untuk dikabulkan. Demikian pula sebaliknya.
Sementara praktik talak di luar pengadilan
menutup kemungkinan kontestasi semacam
itu.
Meski reformasi hukum keluarga
Islam bertujuan untuk penegakan maslahah,
menjamin keadilan dan prinsip kesetaraan di
depan hukum, akan tetapi kih dan otoritas
utamanya seperti ulama masih memiliki
41 Kajian komprehensif tentang maslahah sebagai dasar reformasi hukum Islam, baca Felicitas Opwis, Maslaha
and the Purpose of the Law: Islamic Discourse on Legal Change from the 4th/10th to 8th/14th Century (Leiden: Brill, 2010).
Di antara sarjana Muslim kontemporer yang giat dalam kajian dan pengembangan konsep maslaha dalam
teori besar maqashid al-shariah adalah Jasser Auda. Lihat Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic
Law: A Systems Approach (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2010) dan Maqasid al-Shari’ah: A Beginner Guide
(London: International Institute of Islamic Thought, 2008).
42 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2010).
43 Tahun 2011, perkara yang diselesaikan pengadilan agama sebanyak 425.000 dan tahun 2018 sebanyak 588.226.
Lihat www.badilag.go.idwww.badilag.go.id
pengaruh yang tidak kecil di masyarakat.
Praktik talak di luar pengadilan, pernikahan
tidak tercatat dan poligami sepihak yang masih
terjadi menunjukkan secara makro kontestasi
hukum yang belum selesai,42 yaitu kontestasi
antar kih dan hukum negara. Praktik privat
dan sepihak hukum keluarga Islam di satu
sisi mengindikasikan bahwa bagi sebagian
masyarakat kih masih merupakan otoritas
utama dalam menyelesaikan konik hukum
keluarga. Dalam konteks ini, modernasi
dan reformasi hukum belum menunjukkan
hasil yang maksimal. Meski demikian,
bukan berarti reformasi hukum keluarga
Islam gagal atau tidak efektif. Data statistik
dari Badan Peradilan Agama (Badilag),
Mahkamah Agung, menunjukkan progresitas
penyelesaian problematika hukum keluarga
Islam di Indonesia.43
G. Kesimpulan
Penilikan praktik cerai talak di pengadilan
agama di Lombok berdasarkan data yang
diperoleh selama penelitian menunjukkan
dinamika dan perubahan hukum keluarga
Islam yang mengerucut kepada dua isu
penting: yudisialisasi dan limitasi hukum
Islam. Kedua aspek tersebut mewarnai dengan
sangat jelas proses-proses penanganan dan
penyelesaian cerai talak di pengadilan agama.
Salah satu karakter keberlakuan hukum Islam,
khsusunya talak, adalah adanya administrasi
dan prosedur yang inheren di dalamnya.
Hukum Islam menjadi sangat birokratis dan
karenanya musti memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan administrasi. Proses penyelesaian
talak secara yudisial menegaskan prosedur
dan administrasi dalam bidang akhwalus
syakhsiyah. Hal ini berdampak pada perubahan
dan pergeseran pelaksanaan dan makna talak
itu sendiri, seperti tergambar dalam kasus
pertama.
Dengan masuknya unsur administratif-
yudisial, secara langsung mengubah
praktik talak. Terjadinya talak, penetapan
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H
70
Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam
dan penyelesaiannya tidak seperti yang
dielaborasikan dalam kih. Dalam konsepsinya
yang konvensional, talak adalah hak mutlak
suami. Suami bisa menjatuhkan kapan saja
dan dimana saja selama dilakukan dengan
sadar dan tanpa tekanan atau paksaan. Begitu
pula, suami bisa merujuk istrinya kapan saja
selama masa tunggu. Namun dengan proses
birokratisasi dan procedural, kuasa suami
yang hegemonik terreduksi sedemikian rupa
sehingga secara kuantitatif talak di pengadilan
agama seolah bukan lagi domain suami. Istri
yang ditalak (termohon), bahkan memiliki
hak menggungat balik (rekonvensi) yang jika
dikabulkan hakim semakin memarginalkan
peran suami, seperti terlihat dalam kasus
kedua.
Pengkajian lebih dalam dan dengan
durasi yang lebih lama atas cerai talak di
dalam dan di luar pengadilan memungkinkan
untuk menemukan pola-pola perubahan lain
yang belum disajikan dalam penelitian ini.
Termasuk di dalamnya adalah pertanyaan
apakah terbatasnya talak secara kuantitas
menunjukkan bahwa praktik talak semakin
terbit dan berkurang ataukah suami lebih
memilih penyelesaian non-litigasi di luar
pengadilan dengan mengacu pada kih.
Acknowledgment: Artikel ini merupakan
hasil penelitian yang didanai oleh LP2M UIN
Mataram tahun 2018. Peneliti mengucapkan
terima kasih atas bantuan ini dan kepada
semua pihak, yaitu asisten peneliti, para pihak,
hakim dan panitera, atas partisipasinya dalam
penelitian ini
DAFTAR PUSTAKA
Annas, Syaiful, “Masa Pembayaran Beban
Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Perkara
Cerai Talak (Sebuah Implementasi Hukum
Acara di Pengadilan Agama)”, Al-Ahwal:
Jurnal Hukum Keluarga Islam 10:1 (2017):
1-12.
Auda, Jasser, Maqasid al-Shariah as Philosophy
of Islamic Law: A Systems Approach (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2010).
----, Maqasid al-Shari’ah: A Beginner Guide
(London: International Institute of Islamic
Thought, 2008).
Bahri, Syamsul, “Konsep Nafkah dalam
Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
17:2 (2015): 381-399.
Bariah, Oyah dan Iwan Hermawan, “Analisis
Putusan PA Karawang tentang Cerai Gugat
Karena Pelanggaran Ta’lik Talak”, al-Afkar
1:1 (2018): 182-195.
Esposito, John L. with Natana J. DeLong-Bas,
Women in Muslim Family Law, second edition
(New York: Syracuse University Press,
2002).
Fahriyanti, Nurmala, “Putusan Cerai Gugat
di Kota Mataram NTB 2007-2011: Tinjauan
Yuridis-Sosiologis”, Tesis Magister Studi
Hukum Keluarga Islam (Mataram:
Pascasarjana IAIN Mataram, 2012).
Hallaq, Wael B., “Can Sharia be Restored?”,
dalam Yvonne Hazbeck-Haddad dan
Barbara Freyer Stowasser (eds.), Islamic
Law and the Challenges of Modernity (Walnut
Creek, CA: Almatira Press, 2004), h. 21-54.
----, Shari’a: Theory, Practice and Transformation
(Cambridge: Cambridge University Press,
2008).
Hammad, Muchammad, “Hak-hak Perempuan
Pasca Cerai: Nafkah Iddah Talak dalam
Hukum Keluarga Muslim Indonesia,
Malaysia dan Yordania”, Al-Ahwal: Jurnal
Hukum Keluarga Islam 7:1 (2016): 17-28.
Huzaimah, Arne, “Urgensi Integrasi antara
Mediasi dan Hakam dalam Penyelesaian
Perkara Perceraian dengan alasan Syiqaq
di Pengadilan Agama”, Nurani 16:2 (2016):
1-24.
Ilhami, Haniah, “Interpretation of Syiqaq and
its Procedural Law at Religious Courts in
Yogyakarta”, Mimbar Hukum 26:1 (2014):
148-157.
Mustafa, Abdullah dan Zainuddin Mansyur,
Eksistensi Li’an sebagai Alat Penyelesaian
Sengketa Rumah Tangga di Pengadilan Agama
se Pulau Lombok (Mataram: Lemlit IAIN
Mataram, 2010).
Nasir, Mohamad Abdun, “Islamic Law,
Domination and Resistance: Women
Judicial Divorce in Lombok”, Asian Journal
of Social Science, 44 (2016): 78-103.
----, “Wacana Syariat Kontemporer di Barat”,
Ulul Albab 18:1 (2017): 1-20.
----, Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
(Mataram: IAIN Mataram Press, 2004).
Nurmila, Nina, Women, Islam and everyday
Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia
(Cambridge: Routledge, 2009).
Opwis, Felicitas, Maslaha and the Purpose of the
Law: Islamic Discourse on Legal Change from
Al-Aḥwāl, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018 M/1439 H 71
Mohamad Abdun Nasir & Heru Sunardi
the 4th/10th to 8th/14th Century (Leiden: Brill,
2010).
Otto, Jan Michiel, “Sharia and National Law in
Indonesia,” in Jan Michiel Otto (ed.), Shari’a
Incorporated: A Comparative Overview of the
Legal Systems of Twelve Muslim Countries in
Past and Present (Leiden: Leiden University
Press, 2010), h. 433-490.
Platt, Maria, “Patriarchal Institution and
Women’s Agency in Indonesian Marriages:
Sasak Women Navigating Dynamic Marital
Continums,” PhD Dissertation (Monash,
Australia: La Trobe University, 2010).
Rahmainy, Linda dan Ema Rahmawati,
“Penerapan Rekonveksi sebagai Hak
Istimewa Tergugat dalam Perkara
Perceraian (Talaq) di Pengadilan Agama”,
Jurnal Ilamih Hukum DeJure 2:2 (2017): 299-
315.
Saphiro, Martin and Alec Stone Sweet, On
Law, Politics and Judicialization (Oxford, UK:
Oxford University Press, 2002).
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif,
Kuantitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2014).
Susilawati, Eka, Moh. Masykur Abadi dan
M. Latief Mahmud, “Pelaksanaan Putusan
Nafkah Istri Pasca Cerai Talak di Pengadilan
Agama Pamekasan”, Al-Ihkam: Jurnal
Hukum dan Pranata Sosial 8:2 (2014): 374-393.
Sweed, Alec Stone, “Judicialization and the
Construction of Governance”, dalam
Shapiro dan Sweed (ed.), On Law, Politics &
Judicialization (Oxford: Oxford University
Press, 2002), h. 55-89.
Syafuri, B, “Nafkah Wanita Karir dalam
Perspektif Fikih Klasik” Ahkam: Jurnal Ilmu
Syariah, 13:2 (2014): 201-208.
Tucker, Judith E., Women, Family and Gender
in Islamic Law (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008).
Wahed, Abdul, “Analisis Hukum Islam
terhadap Masalah Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT)”, Al Ihkam Jurnal
Hukum dan Pranata Sosial 4:1 (2013): 31-50.
Yasin, M. Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak
(Malang: UIN Malang Press, 2010).
Yusuf, Sofyan dan Moh. Toriqul Chaer, “Ta’lik
Talak Perspektif Ulama Madzhab dan
Pengaruhnya dalam Rumah Tangga”, Anil
Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman
10:2 (2017): 262-284.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Regulations regarding divorce idda living in Muslim Family Law (Indonesia, Malaysia and Jordan) in general there is no difference with that found in conventional jurisprudence. Income levels that can be changed according to price inflation not contained in conventional jurisprudence, were living in Muslim Family Laws can be changed. Regulations regarding the divorce waiting period contained living in Muslim Family Law Malaysia and Jordan still better guarantee the rights of women post-divorce compared with existing regulations in Indonesia. [Peraturan mengenai nafkah iddah talak pada Hukum Keluarga Muslim (Indonesia, Malaysia dan Yordania) secara umum tidak ada perbedaan dengan yang terdapat pada fikih konvensional. Kadar nafkah yang dapat berubah sesuai inflasi harga tidak terdapat dalam fiqih konvensional, sedang dalam Hukum Keluarga Muslim nafkah tersebut dapat berubah. Peraturan mengenai nafkah iddah talak yang terdapat dalam UU Keluarga Muslim Malaysia dan Yordania masih lebih menjamin hakhak perempuan pasca perceraian dibandingkan dengan peraturan yang ada di Indonesia.]
Article
Full-text available
This paper will discuss the implementation of payment of iddah and mut'ah in the divorce (raj’i). Judges often faced a problem between text and context. Their decision imposes on men pays iddah and mut'ah life as a right for his ex-wife, but it was not implemented as the judge's decision, so that women tend to be disadvantaged ones, although the formal law can be prosecuted fiat execution, but it is not easy for a woman, sometimes the cost of iddah and mut'ah charge is not comparable with the cost of carrying out the execution, not to mention ex-husband who went (fuzzy) away unnoticed after divorce statement. Therefore the necessary of a legal breakthrough to provide legal certainty for the rights of womens through the judge's decision, with consideration argumentative primarily to determine a living payout time of iddah And mut'ah. In this paper will be described legal reasons in court as legal considerations which contains elements of juridical, sociological, philosophical in decision [Tulisan ini hendak mendiskusikan bagaimana pelaksanaan pembebanan pembayaran nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara talak (raj'i). Seringkali hakim dihadapkan pada problematika antara teks dan konteks. Adanya putusan yang membebankan terhadap laki-laki membayar sejumlah nafkah iddah dan mut’ah sebagai hak bagi mantan istri, akan tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana putusan hakim, sehingga perempuan cenderung dirugikan, meskipun secara yuridis-formil dapat dituntut fiat eksekusi, tetapi tidak mudah bagi pihak perempuan, karena kadang biaya pembebanan nafkah iddah dan mut’ah tidak sebanding dengan biaya melaksanakan eksekusi, belum lagi problem mantan suami yang pergi tanpa diketahui lagi keberadaannya setelah pengucapan ikrar talaknya. Oleh karena itu perlu terobosan hukum guna menjamin hak perempuan tersebut melalui putusan hakim dengan pertimbangan yang argumentatif terutama untuk menentukan masa pembayaran nafkah iddah dan mut’ah tersebut. Dalam tulisan ini akan diurai alasan hukum dalam putusan pengadilan sebagai bahan pertimbangan hukum yang memuat unsur yuridis, sosiologis, filosofis dalam putusan tersebut.]
Article
Full-text available
The objective of this research is to identify the interpretation of syiqaq as a legal reason in divorce lawsuit and its procedural law implemented by the Religious Courts in Yogyakarta. This is an empirical normative research, using the literature research method and field research through Focus Group Discussion (FGD). This research found that syiqaq is interpreted as a specific form of an endless quarrelling which caused danger for either husband or wife. In practice, judges combine procedural law in divorce lawsuit based on syiqaq into the procedural law in other legal reason. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interpretasi syiqaqsebagai alasan gugatan cerai oleh hakim dan praktek hukum acara penyelesaian perkara perceraian dengan alasan syiqaqyang diterapkan pada Pengadilan Agama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris, menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa syiqaqdiinterpretasikan sebagai perselisihan dan percekcokan antara suami istri yang telah menimbulkan bahaya mengancam baik pada para pihak. Dalam prakteknya, hakim menggabungkan proses acara penyelesaian perkara perceraian dengan menggunakan alasan syiqaqke dalam proses beracara untuk perkara yang menggunakan alasan perselisihan terus menerus.
Article
Full-text available
Support Payments of Career Woman within the Perspective of Classical Fiqh. This article attempts to research the right to support payments of career woman or woman in work. In traditional classic fiqh, the husband is liable to provide for support payments to his wife based on the principle of separation of property between husband and wife. This principle follows a flow of thought that a husband earns money instead of the wife. The understanding of the working wife or career woman which must be made dependent to the husband’s permission needs to be re-examined or reviewed because the scholars have not mentioned the obvious arguments concerning the matter. Likewise, no proposition exists which prohibits, either men or women, to work as well as no firm proposition about the need to have the husband’s permission to go to work. Similarly, many historical facts reveal that there were working women or career women in the time of the Prophet, such as ‘A’ishah, Ummu Mubâshir, and others.Keywords: support payments (living support), career woman, nushûzAbstrak: Nafkah Wanita Karier dalam Pespektif Fikih Klasik. Artikel ini mencoba meneliti tentang hak nafkah wanita karier atau perempuan yang bekerja. Dalam tradisi fikih klasik, suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya didasarkan pada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami adalah pencari rezeki, sedangkan istri bukan pencari rezeki. Pemahaman istri bekerja atau wanita karier yang harus digantungkan kepada izin suami itu perlu dibaca ulang atau ditinjau kembali karena ulama tidak menyebutkan dalil yang jelas tentang hal itu. Dan juga tidak adanya dalil yang melarang, baik laki-laki maupun perempuan, untuk bekerja serta tidak ada dalil yang tegas tentang keharusan bekerja dengan izin suami. Begitu juga banyaknya fakta sejarah yang mengungkapkan wanita-wanita yang bekerja atau wanita karier di masa Nabi, seperti ‘Â’ishah, Ummu Mubâshir, dan lain-lain.Kata Kunci: nafkah, wanita karier, nusyu (nushûz)DOI: 10.15408/ajis.v13i2.933
Article
KDRT (domestic violence) must be ended. Both wife andhusband come to a conclusion to finish it. However, itdoesn't mean that the role of a husband, as disciplineupholder, has to be denied. Islam does not agree with it.As an Imam (leader), a husband must maintain moralvalues to establish a peaceful and perfect harmoniousfamily. UU. No 23 Th. 2004 implicitly states that domesticviolence is any violence types occurring in a family. Ahusband has been a person who always be blamed on inthis case. This article analyzes a kind of violencecommitted by a husband against the family members---children and wife from the perspective of Fiqh (Islamiclaw)
Article
Pada umumnya dalam perkara cerai talak selain memutusperkara pokoknya, pengadilan agama juga mewajibkanuntuk membayar nafkah pada istri dan anak. Hal initernyata berbeda dengan penerapan putusan, karenapemenuhan kewajiban suami tidak selamanya berjalan baik.Pada sebagian perkara pasca perceraian, istri tidakmendapatkan nafkah walaupun hal tersebut sudah diputusoleh pengadilan. Karenanya, ada 2 (dua) fokus dalam kajianini, yakni bagaimana pelaksanaan putusan nafkah istri pascaputusan cerai talak di Pengadilan Agama Pamekasan danbagaimana penyelesaian jika nafkah tidak dilaksanakan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan nafkahistri pasca cerai talak di Pengadilan Agama Pamekasandiakumulasi dengan tuntutan lain, misalnya harta bersamadan perwalian anak. Sebagian suami membayar nafkahsebelum melakukan ikrar talak. Majelis hakim akan menundapelaksanaan ikrar talak bagi suami yang belum membayarnafkah kepada istri sampai 6 bulan. Namun, jika dalam 6bulan tidak dapat direalisasikan, maka secara yuridispengadilan agama tidak dapat menghalangi suami untukmengucapkan ikrar talak, walaupun belum membayarnafkah kepada istri.
Article
In what ways has Islamic law discriminated against women and privileged men? What rights and power have been accorded to Muslim women, and how have they used the legal system to enhance their social and economic position? In an analysis of Islamic law through the prism of gender, Judith Tucker tackles these complex questions relating to the position of women in Islamic society, and to the ways in which the legal system impacted on the family, property rights, space and sexuality, from classical and medieval times to the present. Working with concepts drawn from feminist legal theory and by using particular cases to illustrate her arguments, the author systematically addresses questions of discrimination and expectation - what did men expect of their womenfolk - and of how the language of the law contributed to that discrimination, infecting the system and all those who participated in it.
Article
I present a model of the emergence and evolution of governance, conceived (narrowly) as the continuous resolution of dyadic conflicts by a third party. The model is comprised of three core elements: normative structure, dyadic contracting, and triadic dispute resolution. I demonstrate that a move to triadic dispute resolution leads the triadic dispute resolver to construct, and then to manage, specific causal relationships between exchange, conflict, and rules. Once established, triadic governance perpetuates a discourse about the rulefulness of individual behavior, and this discourse gradually penetrates and is absorbed into those repertoires of reasoning and action that constitute political agency. In this way, political life is judicialized. The model further predicts that, under certain specified conditions, the triad will constitute a crucial mechanism of (micro and macro) political change. I then illustrate the power of the model to explain judicialization and the dynamics of change in two very different political systems: the international trade regime and the French Fifth Republic. In the conclusion, I draw out the implications of the analysis for our understanding of the complex relationship between strategic behavior and social structure.