Content uploaded by Achmad Faidz Mufidi
Author content
All content in this area was uploaded by Achmad Faidz Mufidi on Apr 29, 2020
Content may be subject to copyright.
“PENGARUH KEBIJAKAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR (PSBB)
TERHADAP TINGKAT INTENSITAS MOBILITAS PENDUDUK DAN MUDIK
LEBARAN”
Achmad Faidz Mufidi, Dr. Dra. R. Nunung Nurwati, M.Si.
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran
E-mail: achmad18005@mail.unpad.ac.id, nngnurwati@yahoo.co.id
ABSTRACT
Mudik is a social phenomenon that occurs in Indonesian society. Which is going home is also
part of mobilization, namely horizontal mobilization and also non-permanent mobilization. The
homecoming activities cannot be released by the Indonesian people because this has become a
part and has become a culture for Indonesia. There are many reasons or factors that encourage
someone to do homecoming. One of the most important is the urge to meet parents in their
hometown. Homecoming has also become a tradition that cannot be released, because the
updated amount always increases every year due to advances in transportation technology and
others. However, this will be different in 2020, this year the whole world is changing the
epidemic that is changing and the spread rate is quite fast. Therefore, the government issued a
policy, namely PSBB, which policy is about people to travel and close access to health insurance.
This is a decrease in mobility and a decrease in homecomers because of the PSBB policy.
Keywords : Mudik; PSBB; Mobilization.
ABSTRACT
Mudik merupakan sebuah fenomena sosial yang terjadii di masyarakat Indonesia. Yang mana
mudik juga merupakan bagian dari mobilisasi, yaitu mobilisasi horizontal dan juga mobilisasi
non-permanen. Kegiatan mudik tidak bisa dilepaskan oleh bangsa Indonesia karena hal tersebut
sudah menjadi bagian dan telah menjadi budaya bagi Indonesia. Ada banyak sekali alasan atau
faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan mudik. Salah satu nya dan yang paling
utama adalah dorongan untuk bertemu dengan orang tua di kampung halaman. Mudik juga sudah
menjadi tradisi yang tidak bisa dilepaskan, oleh akrena nya jumlah intensitas nya selalu
meningkat setiap tahunnya yang disebabkan oleh kemajuan teknologi transportasi dan yang
lainnya. Akan tetapi hal tersebut akan berbeda di tahun 2020, tahun ini seliuruh dunia mengalami
wabah penyakit yang mematikan dan tingkat penyebaranya cukup cepat. Oleh karena nya
pemerintah memeberikan sebuah kebijakan yaitu PSBB, yang mana kebijakan tersebut melarang
orang untuk bepergian dan menutup akses- askes perjalanan. Hal tersebut mengakibatkan adanya
oenurunan mobilitas dan penurunan intensitas pemudik karena adanya kebijakan PSBB.
Kata Kunci : Mudik; PSBB; Mobilitas.
PENDAHULUAN
Fenomena mudik di Indonesia, telah
menjadi sebuah tradisi atau budaya bagi
warga negara di Indonesia. Fenomena ini
merupakan fenomena sosio-kultural.
Berbagai alasan rasional seolah tidak
mampu menjelaskan fenomena ini yang
sudah melekat erat di dalam nilai kultural
bangsa Indonesia. Pulang mudik yang hanya
setahun sekali dan yang biasanya terjadi di
akhir Ramadhan atau menyambut lebaran
ini, bukan hanya untuk sekedar melepas
kerinduan pada kampung halaman tetapi
mengandung makna yang jauh lebih dalam
dari pada itu. Kalau hanya melepas rindu
dan bertemu keluarga, hal tersebut bisa
dilakukan bukan hanya di bulan Ramadhan
melainkan di waktu lain. Memang banyak
alas an mengapa orang melakukan mudik,
atau pulang kampung. Namun fenomena ini
sangat berkaitan erat dengan budaya di
Indonesia.
Jumlah warga kota yang mudik setiap
tahunnya diperkirakan mencapai sepuluh
hingga enampuluh persen. Hal tersebut
dapat dilihat pada bukti empiris, yang mana
saat libur lebaran, jalan-jalan dan pusat-
pusat keramaian kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, Bandung, Semarang, dan yang
sebagainya, menjadi sangat sepi. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat yang
mengatakan bahwa kota-kota besar di
Indonesia dibangun oleh keberadaaan para
“pendatang” (Abeyasekere 1989: Jelinek
1991: Evers dan Korff 2000: Somantri
2001).
Memang alasan orang untuk melakukan
mudik tersebut banyak dan beragam, tetapi
ada yang lebih khas dan melekat erat
terhadap budaya di Indonesia, yang mana
diantara nya ialah kebutuhan untuk
mengunjungi orang tua dan keluarga di
kampung halaman, berziarah ke makam
keluarga, kerabat dan saudara, serta melihat
warisan tinggalan keluarga di kampung
halaman tercinta. Ke tiga hal tersebut
menjadi dorongan yang besar bagi Sebagian
warga negara Indonesia tepatnya umat
muslim yang pergi merantau. Namun dari
ketiga hal diatas yang menjadi pokok utama
adalah mengunjungi orang tua dan sanak
saudara yang berada disana. Hal tersebut
menjadi sangat penting bagi orang Indonesia
dikarenakan hal itu menjadi penting turun
temurun, dimana jika tidak melakukan
mudik atau mengunjungi orang tua kita akan
merasa “durhaka”. Hal tersebut sudah
menjadi kebutuhan kultural yang seolah-
olah bersifat “memaksa”. Dan dorongan
tersebut menjadi sangat kuat dikarenakan
adanya persepsi warga negara Indonesia
bahwa waktu yang paling tepat atau cocok
untuk mengunjungi orang tua, kerabat atau
saudara ialah, saat menjelang lebaran.
Menurut teori migrasi, perpindahan spontan
dan bersifat sementara ini dapat di
kategorikan sebagai “temporarily migration”
karena setiap migran hanya berniat untuk
bepergian atau pindah dari tempat mereka ke
suatu tempat lain dalam waktu yang relative
singkat tanpa niatan untuk menetap. (Mantr
a, 1986)
Dalam pelaksanaan migrasi spontan dan
temporer ini tidak ada beban berat dalam hal
ekonomi atau dengan kata lain dengan biaya
yang dikeluarkan, karena pada dasar nya
tujuan utamanya ialah kebahagiaan dan
kegembiraan yang mana orang yang
melakukan mudik atau pemudik ini bisa
berkumpul Kembali dengan orang tua dan
keluarga di kampung halaman. Kegembiraan
dan kebahagiaan ini yang dinikmati bersama
keluarga, orang tua sanak family, akan
menghapus semua beban sosial maupun
ekonomi yang ditanggung pemudik, setelah
setahun lamanya bergelut di kota untuk
bekerja. Para pemudik biasanya tidak
menghiraukan besaran biaya yang
dikeluarkan asal bisa apulang ke kampung
halaman.
Berdasarkan data lebaran 2013 diperkirakan
teradapat 24 juta pemudik bergerak menuju
kampung halaman. Jumlah yang setara
dengan 90% penduduk Malaysia. Sedangkan
jumlah pemudik lebaran yang terbesar
adalah dari Jakarta yang menuju ke Jawa
Tengah. Secara rinci prediksi jumlah
pemudik tahun 2014 ke Jawa Tengah
mencapai 7.893.681 orang, berdasarkan
jumlah tersebut didasarkan beberapa
kategori yaitu 2.023.451 orang pemudik
sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil,
3.426702 orang naik bus, 192.219 orang
naik kereta api, 26.836 orang naik kapal
laut, dan 88.335 orang naik pesawat.
Dapat dipastikan data tersebut bakalan naik
setiap tahunnya. Akan tetapi di tahun 2020
ini bakalan berbeda cerita, yang mana pada
tahun ini Indonesia bahkan dunia mengalami
sebuah pandemic yang serius, yang mana
terdapat sebuah virus yang mengubah
kehidupan manusia di seluruh dunia, yaitu
corona virus atau biasanya disebut dengan
pandemi covid-19.
Pandemi asal mula virus ini bersal dari
Wuhan, Tiongkok. Yang mana ditemukan
pada akhir Desember tahun 2019. Dan
sampai saat ini menurut data WHO per 1
maret 2020 sudah terdapat 65 negara yang
telah terjangkit virus ini. Pada awalnya
menurut data epidemiologi menunjukan
terdapat 66% pasien berkaitan dengan satu
pasar atau live market yang ada di Wuhan,
Tiongkok, yang mana dari pasien tersebut
menunujukan hasil sampel isolate yang
menunjukan adanya infeksi coronavirus,
jenis betacoronavirus tipe baru, yang diberi
nama yaitu novel Coronavirus (2019-nCov)
atau yang biasa kita sebut dengan covid-19.
Coronavirus adalah sekumpulan virus dari
subfamili Orthocronavirinae dalam keluarga
Coronaviridae dan ordo Nidovirales.
Kelompok virus ini yang dapat
menyebabkan penyakit pada burung dan
mamalia, termasuk manusia. Pada manusia,
coronavirus menyebabkan infeksi saluran
pernapasan yang umumnya ringan, seperti
pilek, meskipun beberapa bentuk penyakit
seperti; SARS, MERS, dan COVID-19
sifatnya lebih mematikan.
Pada 11 februai 2020, WHO memberi nama
virus baru tersebut dengan severe acute
respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-
CoV-2) dan nama penyakit nya sebagai
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
(WHO, 2020). Pada mulanya penularan
virus ini belum dapat ditemukan apakah dari
manusia ke manusia lainnya. Namun jumlah
kasus tertular terus bertambah seiring waktu
berjalan. Selain itu kasus 15 petugas medis
yang terinfeksi oleh salah satu pasien, yang
mana salah satu pasien tersebut dicurigai
kasus “super spreader”. Dan akhirnya
dikonfirmasi bahwa kasus ini atau virus ini
bisa menular dari manusia ke manusia
(Rhelman, 2020). Dan sampai saat ini virus
ini dengan cepatnya menyebar.
Berdasar data WHO per tanggal 1 maret
2020, saat ini sebanyak 65 negara sudah
terinfeksi virus corona dengan jumlah
penderita 90.308 terinfeksi oleh virus ini.
Di Indonesia sendiri awalnya virus ini
bermula dari 2 orang yang terinfeksi, yang
mana orang tersebut menghadiri suatu acara
di Jakarta yang mana sang penderita
mengalami kontak langsung dengan seorang
warga negara asing (WNA) asal jepang yang
tinggal di Malaysia. Setelah pertemuan
tersebut penderita mengeluhkan demam,
batuk dan sesak napas (WHO, 2020).
Dan sampai sekarang semenjak kasus
tersebut di Indonesia penyebaran virus
Covid-19 semkain bertambah. Sampai hari
ini per tanggal 27 April 2020,terkonfirmasi
bahwa 9.096 orang dinyatakan positif, dan
50.313 orang dinyatakan negatif. Dan juga
total pasien yang sembuh sampai saat ini
ialah 1.151 orang dan data yang meninggal
ialah 765 orang.
Jumlah ini sangat parah dan tentunya
diperlukan kebijakan yang preventif yang
cepat dan tepat sasaran dari pemerintah guna
mereda nya penyebaran virus corona ini.
Mengantisipasi untuk mengurangi jumlah
penderita virus corona di Indonesia,
beberapa daerah dan beberapa instansi telah
melakukan beberapa kebijakan nya masing-
masing diantaranya ialah work from home
(WFH), yang mana kita dituntut untuk
melakukan segala aktifitas nya dirumah
mulai dari belajar, bekerja dan kegiatan
beribadah pun dirumahkan. Dan juga
beberapa pemerintah daerah telah
melakukan kebijakan lainnya diantaranya
ialah melakukan lockdown. Yang mana
hampir seluruh kegiatan dirumahkan.
Namun, walaupun kebijakan diatas sudah
cukup baik bagi setiap daerah untuk
mengurangi wabah covid-19, tetapi masih
adanya kendala, yang mana ada hubungan
atau kontak komunikasi yang tidak tepat
sasaran antara pemerintah pusat dan daerah,
hal tersebut lah yang menjadi kendala di
Indonesia, dalam menangani covid-19.
Untuk itu perlu adanya kebijakan yang
serentak di Indonesia dalam menangani
covid-19 ini.
Pertanggal 1 april 2020, Presiden Jokowi
mengeluarkan kebijakan PSBB, atau
Pembatasan Sosial Berskala Besar. Yang
mana diharapkan dengan adanya kebijakan
ini, bisa mempercepat untuk mengurangi
penyebaran virus corona.
Lalu kaitan nya dengan mudik ialah, dimana
pemerintah dalam kebijakan PSBB ini
menerapkan adanya pembatasan bepergian,
dimana orang-orang atau warga negara
Indonesia diharapkan untuk tetap stay di
rumah atau di daerah nya masing-masing.
Peraturan yang lainnya ialah peliburan anak
sekolah dan tempat kerja, pembatasan
tempat atau fasilitas umum dan juga
pembatasan moda transportasi. Tentu saja
kebijakan ini adalah guna tepat untuk
menanggulangi masalah covid-19 untuk
mengurangi angka penyebaran. Teatpi hal
tersebut manjadi sebuah maslaah baru
dimana orang-orang jadi tidak bisa untuk
pulang kampung atau melaksanakan mudik
untuk bertemu dengan keluarga.
Rumusan Masalah
1. Mengapa Mudik menjadi sebuah
budaya dan penting bagi warga
negara Indonesia?
2. Bagaimana penerapan PSBB pada
praktik nya di lapangan?
3. Bagaimana dampak penerapan PSBB
terhadap tingkat intensitas mobilitas
dan mudik?
Tujuan dan Fungsi Pembahasan
1. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui makna dan
dampak dari mudik itu sendiri
2. Untuk mengetahui seberapa besar
dampak PSBB terhadap intensitas
mobilitas dan mudik di Indonesia
3. Untuk mengetahui dampak positif
dan negatif dari penerapan kebijakan
PSBB
2. Fungsi Pembahasan
1. Sebagai pemenuhan nilai tugas
mata kuliah yang telah diinstruksikan
oleh dosen
2. Untuk menambah wawasan dan
pengetahuan penulis serta pembaca
tentang dampak dari adanya
kebijakan PSBB terhadap tingkat
mobilitas dan mudik di Indonesia
KAJIAN PUSTAKA
Teori Mudik
DEFINISI MUDIK
Mudik dapat diartikan sebagai “pulang
kampung” walau secara harfiah sebenar-nya
berasal dari kata “udik =desa”, sehingga arti
mudik dapat diterjemahkan sebagai “pulang
kampung” yang selalu dilakukan oleh
segenap umat beragama islam yang berada
di perantauan atau bertempat tinggal jauh
dari kampung halaman mereka.
Secara hermeneutis, Mudik adalah proses
mengembalikan diri kearah kebeningan hati,
kedamaian laku, dan kepedulian terhadap
soal kemiskinan. (Maladi Agus). Mudik
adalah kegiatan perantau/pekerja migran
untuk pulang ke kampung
halamannya. Mudik di Indonesia identik
dengan tradisi tahunan yang terjadi
menjelang hari raya besar keagamaan
misalnya menjelang Lebaran. Pada saat
itulah ada kesempatan untuk berkumpul
dengan sanak saudara yang tersebar di
perantauan, selain tentunya juga bersua
dengan orang tua.
MUDIK DI INDONESIA
Fenomena mudik lebaran di Indonesia
mengemuka kembali pada 1970-an. Saat itu,
Jakarta merupakan satu-satunya kota besar
di Indonesia. Orang dari desa beramai-ramai
datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan
dan mengubah nasib. Untuk mereka yang
sudah mendapat pekerjaan, mereka akan
mendapat jatah untuk berlibur Panjang, yang
mana biasa nya libur tersebut bertapatan
dengan perayaan hari besar keagamaan
seperti lubur lebaran. Jadilah momen lebaran
ini digunakan untuk mudik atau pulang
kampung dan bersilaturahmi dengan
keluarga, juga mereka yang selalu
menyempatkan diri untuk berziarah
mengunjungi makam-makam sanak family
nya.
Terdapat empat hal yang mana menjadi
tujuan utama orang menjadi tujuan orang
untuk melakukan mudik dan sulit digantikan
dengan teknologi yang mana pada zaman ini
teknologi komunikasi sudah semakin
canggih. Walaupun dizaman sekarang ini
teknologi komunikasi sudah semakin maju,
namun masyarakat merasa bahwa tradisi
mudik belum dapat tergantikan. Menurut
sosiolog Universitas Gajah Mada, Arie
Sudjito mengatakan ada beberapa hal yang
mana teknologi belum bisa untuk
menggantikan kebiasaan atau tradisi mudik
bagi warga negara Indonesia. Salah satunya
ialah, teknologi belum menjadi bagian dari
budaya yang mendasar bagi masyarakat di
Indonesia, terlebih lagi wilayah Indonesia
yang masih banyak pedesaan. untuk itu
terdapat 4 hal utama yang menjadi alasan
orang melakukan mudik, yaitu :
1. Pertama, mencari berkah dengan
bersilaturahmi kepada orang tua,
kerabat, saudara, dan tetangga.
2. Kedua, mudik dapat menjadi terapi
Psikologis bagi para perantau. Yang
mana dalam hal ini dengan kembali
ke kampung halaman melapas
kerinduan, bertemu dengan orang-
orang yang kita kenal dekat itu
menjadi sebuah refreshing bagi para
pekerja di kota yang pulang
kampung. Dimana terdapat banyak
kebahagiaan setelah berpenat-penat
ria bekerja mencari harta di kota.
Sehingga Ketika kembali dari
perantauan para perantau sudah
kembali fresh.
3. Ketiga, untuk mengingat asal-usul.
Umum nya banyak perantau yang
sudah memiliki keturunan, dan
tinggal di kota membesarkan
anaknya. Pulang kampung atau
mudik menjadi momentum yang pas
untuk mengenalkan keturunan atau
anak kepada sanak saudara, orang
tua dan kampung halaman nya
dimana leluhurnya berasal. Dan juga
untuk mengajarkan kepada anak-
anak nya mengenai kehidupan.
4. Keempat, adalah sebagai ajang unjuk
diri. Tidak jarang yang kebanyakan
perantau menjadikan momenteum
menjadikan mudik untuk ajang unjuk
diri sebagai pembuktian bahwa
sudah berhasil di tanah rantau. (Arie
Sudjito :2012)
MUDIK DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
Walaupun dalam ajaran agama islam mudik
tidak ada kaitannya, namun mudik tidak
pernah terhapus sebagai tradisi. Mudik
merupakan suatu hal yang nyata yang tidak
bisa di pungkiri lagi keberadaan nya bagi
warga negara di Indonesia. Mudik
ditempatkan sebagai bahasa budaya
sementara Idul Fitri adalah bahasa agama.
Mudik adalah gabungan antara ajaran agama
dengan budaya kebiasaan masyarakan di
Indonesia. Mudik dianggap sebagai sebuah
budaya karena dianggap telah mengakar
kuat. Sementara itu dalam pandangan agama
ada beberapa hal yang melatarbelakangi ada
nya mudik itu sendiri. Dengan demikian
makna mudik sebenarnya tak hanya sebagai
kebiasaan pulang kampung saja melainkan
erat kaitannya dengan berbagai sifat dan
dimensi kehidupan manusia.
Secara budaya atau kultural mudik
merupakan sebuah warisan atau mungkin
sebuah keharusan. Tapi secara moral dan
secara spiritual mudik merupakan wujud
bakti nya seorang anak kepada orang tuanya.
Dengan ada nya kebiasaan sungkeman,
meminta maaf hingga berziarah ke makam
keluarga yang sudah wafat, mengisyaratkan
bahwa mudik bukan hanya perjalanan fisik
melainkan juga perjalanan rohani. Maka
timbulah persepsi yang melekat kuat di
benak masyarakat Indonesia, yang mana
mereka takut jika tidak melaksanakan mudik
nantinya dianggap sebagai anak yang
durhaka yang tidak punya kepedulian
kepada keluarga. Melihat dari adanya
budaya-budaya seperti sungkeman atau cium
tangan orang tua, hal tersebut bujan hanya
kontak fisik saja melainkan memiliki makna
secara spiritual karena orang tua dapat
dianggap sebagai perantara bagi seorang
anak dalam mengenal Tuhan nya. Yang pada
akhirnya ikatan batin dengan orang tua serta
kewajiban mendoakan anggota keluarga
seperti ini yang menjadikan tradisi mudik ini
tetap lestari.
Dengan mudik juga dapat mengukuhkan
sifat manusia sebagai makhluk sosial.
Silaturahmi yang terbentuk selama mudik
merupakan sebuah interaksi yang harmonis
antara manusia dengan manusia lainnya.
dengan melaui silaturahmi dapat
mengingatkan dan menyadarkan kembali
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
tidak dapat mempertahankan hidup dan
kehidupannya tanpa bantuan dan interaksi
dari manusia lainnya. Pada akhirnya
silaturahmi sebagai bagian dari mudik
menjadi sarana yang sangat humanis dan
interaktif untuk membangun toleransi karena
mudik dan silaturahmi juga dijalankan dan
dijalin oleh banyak masyarakat dari berbagai
latar perbedaan termasuk agama.
TEORI MOBILITAS
Mobilitas penduduk secara umum
dipandang sebagai akibat tidak dapat
terpenuhin nya Sebagian kebutuhan
penduduk di suatu daerah, Mobilitas
penduduk antar daerah terjadi karena
terdapat perbedaan tingkat antara daerah asal
dengan daerah tujuan. Salah satu model
yang sering digunakan untuk menganalisis
mobilitas penduduk di suatu wilayah adalah
model daya dorong dan daya tarik yang
dikemukakan oleh Colby (dalam Yunus ,
1994). Diantara daya dorong dan daya tarik
tersebut, ternyata alasan ekonomi
merupakan alasan yang paling kuat untuk
mengambil keputusan dalam melakukan
mobilitas. Hal yang sama juga dikatakan
oleh Todaro (1980) dalam teori migrasi nya
tersebut. Menurut kedua ahli diatas, jika
suatu daerah yang tidak dapat memenuhi
sebagian kebutuhan nya, mereka akan
melakukan mobilitas ke daerah lain yang
mana mereka menganggap dengan
melakukan perpindahan tersebut mereka
bisa memenuhui kebutuhannya tersebut. Hal
ini dapat terjadi akibat adanya perbedaan
antara daerah asal dan daerah tujuan, yaitu
perbedaan nilai kefaedahan tempat (place
utility) seperti yang dikemukakan oleh
Wolpert (1966). Menurut Mantra (1989)
juga mendukung teori ini, dan menyatakan
bahwa daerah tujuan mempunyai nilai
kefaedahan tempat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah asal.
Penduduk umum nya melakukan mobilitas
karena pendapatan yang diperoleh di daerah
tujuan lebih tinggu dari pada pendapatan
yang diperoleh adri daerah asal. Tekanan
ekonomi dan meningkatnya kebutuhan
didaerah asal akan menjadi faktor pendorong
penduduk untuk mencari pekerjaan di
tempat lain yang menghasilkan pendapatan
yang lebih tinggi dari pada pendapatan yang
diperoleh dari daerah asalnya (Mantra dan
Kasto, 1983)
Menurut Suharso (1978) dan Todaro (1980),
banyak faktor yang mempengaruhi
penduduk untuk pergi meninggalkan
desanya. Faktor ekonomi cenderung
memegang peranan penting. Hugo (1978)
mengemukakan adanya daya dorong dan
daya tarik yang menghasilkan keputusan
bagis seseorang untuk melakukan
perpindahan atau tidak. Kebanyakan alasan
orang melakukan pindah ialah tekanan
ekonomi, tanpa memperhatikan jarak
perpindaha. Dalam hal ini sarana dan
prasarana transportasi ataupun komunikasi
memegang peranan yang sangat penting
yang mana lancarnya sarana dan prasarana
komunikasi atau transportasi semakin
memperkuat keputusan seseorang untuk
melakukan mobilitas.
Berdasarkan bentuk dan pengertian nya
mobilitas penduduk dapat dibedakan
menjadi dua yaitu, mobilitas penduduk
vertical dan horizontal. Mobilitas penduduk
vertical umumnya sering disebut dengan
perubahan status, dan salah satu contohnya
adalah perubahan status pekerjaan.
Mobilitas penduduk horizontal, atau sering
disebut dengan mobilitas penduduk
geografis adalah, gerak (movement)
penduduk yang melintas batas wilayah
menuju ke wilayah yang lainnya dalam
waktu periode tertentu (Mantra, 1978).
Dimana penggunaan batas wilayah dan
waktu untuk indicator mobilitas penduduk
horizontal ini mengikuti paradigma ilmu
geografi yang mendasrkan konsepnya atas
wilayah dan waktu (space and time
concept).
Berdasarkan tujuan, pola mobilitas
penduduk dapat dibedakan menjadi dua
yakni mobilitas penduduk yang permanen
(migrasi) dan mobilitas penduduk yang non
permanen (sirkuler). Mobilitas penduduk
yang permanen yaitu perpindahan penduduk
dari satu satu wilayah ke wilayah lainnya
dengan berniat untuk menetap di daerah
tujuan. Sedangkan mobilitas yang non
permanen yaitu sebuah gerakan suatu
penduduk dari satu wilayah ke wilayah
lainnya dengan tidak ada niatan untuk
menetap didaerah tujuan. Jadi pada dasar
nya perbedaan dari mobilitas permanen
dengan yang tidak adalah menetap dan
tidaknya penduduk yang melakukan satu
perpindahan.
Beberapa studi, khusus nya di negara-negara
berkembang, terminologi migrasi, yang
lebih difokuskan pada urbanisasi, adalah
perpindahan penduduk dari desa ke kota
yang dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi.
Salah satu aspek utama yang banyak dikaji
oleh sebagian besar studi tentang migrasi
adalah niat bermigrasi. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa keputusan individu
untuk melakukan mobilitas sangat bervariasi
dan kompleks. Keputusan bermigrasi bukan
hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi
namun juga non ekonomi. Faktor-faktor
tersebut diantaranya : faktor sosial, fisik,
demografi, budaya dan komunikasi. Faktor-
faktor, baik ekonomi maupun non ekonomi,
yang mempengaruhi individu melakukan
mobilitas.
Dengan demikian tujuan kedatangan migran
ke kota sangat bervariasi dan disebabkan
oleh faktor-faktor yang sangat bervariasi
pula. Hal ini yang mendasari munculnya
model model mobilitas yang mengkaji niat
individu melakukan mobilitas (Keban,
1994).
1. Human Capital Model
Model human Capital pada prinsipnya
didasarkan atas teori pembuatan keputusan
individu, dengan menekankan aspek
investasi dalam rangka peningkatan
produktivitas manusia. Dalam model
tersebut keputusan individu ditentukan oleh
usaha mencari kesempatan kerja yang lebih
baik dan pendapatan yang lebih tinggi.
Migrasi dianggap sebagai bentuk investasi
individu yang keputusannya ditentukan
dengan memperhitungkan biaya dan
manfaat. Teori ini semula dibangun oleh
Sjaastad (1962) yang selanjutnya
dikembangkan oleh Todaro dan dikenal
sebagai model Todaro.
2. Place Utility Model
Individu dipandang merupakan makhluk
rasional yang mampu memilih alternatif
terbaik dengan membandingkan tempat
tinggal yang ada dengan yang diharapkan
berdasarkan pertimbangan untung dan rugi.
Kalau tempat tinggal yang sekarang kurang
menguntungkan maka individu berniat untuk
mencari tempat tinggal yang baru dengan
melakukan migrasi. Proses migrasi
dinyatakan melalui dua tahap. Tahap
pertama individu mengalami ketidakpuasan
atau stress dan tahap kedua individu
mengevaluasi utilitas tempat untuk
melakukan pindah. Oleh karenanya teori
migrasi ini disebut juga sebagai stress-
threshold model. Faktor-faktor struktural
seperti karakteristik sosio demografi,
karakteristik daerah asal dan tempat tujuan
serta ikatan sosial dipandang mempengaruhi
kepuasan terhadap tempat tinggal seseorang
dan berpengaruh terhadap niat bermigrasi
(Speare, 1975).
3. Contextual Analysis
Analisis konteksual menekankan pada
pengaruh faktor latar belakang struktural.
Faktor struktural tersebut bisa berupa situasi
eksternal makro atau faktor kemasyarakatan,
seperti misalnya karakteristik daerah asal
dan tujuan, tingkat upah , pemilikan tanah
dan sistem pemilikannya, , ikatan keluarga
dan aksesibilitas terhadap fasilitas publik
dan pelayanan dan sebagainya. Niat migrasi
dalam konteks ini dipandang sebagai hasil
proses ekologis. Pentingnya analisis
konteksual ini dapat dibaca pada studi yang
dilakukan oleh Hugo (1977, 1978)
4. Value Expectancy Model
Value expectancy model menekankan pada
teori psikologi, dimana fokus utama adalah
mempelajari hubungan antara nilai , persepsi
dan sikap individu dengan niat bermigrasi.
Niat bermigrasi dipengaruhi harapan untuk
memperoleh kekayaan, status, kemandirian
dan moralitas. Secara empiris karakteristik
demografi keluarga, individu dan perbedaan
kesempatan kerja antar daerah berpengaruh
terhadap niat bermigrasi.
TEORI TENTANG PSBB
PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala
Besar merupakan sebuah kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk
mengurangi atau meminimalisir adanya
penyebaran virus covid-19 yang tengah
melanda di Indonesia dan bahkan dunia. Jika
dilihat secara teknis dapat di definisiakn
bahwa PSBB adalah pembatasan kegiatan
tertentu terhadap suatu masyarakat atau
wilayah dimana daerah atau wilayah tersebut
diduga terkontaminasi oleh suatu penyakit,
dan diperuntukan sebagai upaya pencegahan
penyebaran suatu penyakit. Berdasarkan
surat perintah dari Kemenkes 2020,
dikatakan bahwa PSBB merupakan salah
satu jenis penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan wilayah, selain meliputi karantina
rumah, daerah dan rumah sakit.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No.21 tahun 2020 tentang PSBB
memiliki tujuan untuk mencegah meluasnya
penyebaran virus corona, dan juga hal
tersebut masuk kepada kategori kedaruratan
Kesehatan masyarakat.
Pemberlakuan kebijakan PSBB ini
diharapkan mampu memperlambat laju
pertumbhan dan penyebaran covid-19 di
daerah, dan juga diharapkan bisa
menghilangkan virus corona ini dengan
cepat. Tidak hanya itu kebijakan PSBB juga
ditujukan untuk hal-hal berikut diantaranya
ialah :
Menjaga kesehatan masyarakat, yang
mana saat ini wabah corona bisa
diputus penyebarananya sedang
menerapkan social distancing
Jaring pengaman social, yang mana
pemerintah memberikan bantuan
untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat selama wabah corona,
dan juga untuk mempertahankan
daya beli masyarakat
Mejaga dunia usaha, peberian
bantuan untuk UMKM agar tetap
melakukan usahanya dan menjaga
para tenaga kerja mereka
Bantuan masyarakat lapisan bawah,
yang mana juga masyarakat yang
paling terdampak adanya covid-19
ini adalah masyarakat lapisan bawah
karena oleh itu pemerintah
memberikan bantuan-bantuan
Disamping itu terdapat beberapa dilema
yang timbul dimasyarakat yang mana,
dengan PSBB kita yakin bisa mencegah atau
memperlambat penularan virus corona di
berbeagai daerah, tetapi dari adanya PSBB
juga menghambat masyarakat untuk
melakukan aktivitasnya dan juga membuat
masyarakat menjadi terkurung di daerahnya
dan tidak bisa kemana-mana.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif. Menurut Sugiyono (2005),
penelitian kualitatif adalah penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
alamiah, yang mana peneliti merupakan
instrument kunci.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya seperti perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah (Moleong,
2010:6). Dalam penelitian ini, dipergunakan
dua sumber pengumpulan data sekunder.
Data sekunder adalah sumber data yang
tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, tetapi melihat orang lain
atau dengan dokumen (Sugiyono,
2013:225).
Data sekunder merupakan data yang berasal
dan dimuat dari informasi yang telah
dikumpulkan dari suatu sumber yang telah
ada. Sumber data sekunder dapat ditemukan
atau berasal dari catatan atau dokumentasi
koorporasi atau perusahaan, publikasi
pemerintah, analisis industri oleh media,
situs web, dokumen-dokumen yang berbasis
online, dan lain sebagainya.
Pengumpulan data sekunder dalam
penelitian ini dilakukan dengan penelitian
dan pencatatan dokumen antara lain dengan
mencari jurnal-jurnal yang telah
terverivikasi dan terpublish di website-
website yang telah terjamin keaslian nya,
dan juga pada beberapa buku bahan
pelajaran kuliah, serta surat peraturan
pemerintah.
PEMBAHASAN
Seperti yang telah kita ketahui bahwa saat
ini kita sedang menagalami masa pandemi
akibat adanya virus corona atau biasa yang
disebut dengan Covid-19. Beberapa upaya
pencegahan telah dilakukan mulai dari work
from home (wfh) dan juga selalu
menggunakan handsanitizer dan masker saat
bebeprgian. Tentunya hal tersebut tidak
meberikan pengaruh yang signifikan,
terhadap peredaan pneyebaran virus ini,
Dan oleh karena itu pertanggal 1 april 2020,
presiden Jokowi membuat suatu kebijakan
yaitu PSBB atau yang biasa kita kenal
dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Dengan tujuan diharapkan agar virus ini
cepat meredapenyebarannya.
Disamping itu kebijakan ini menerapkan
pembatasan-pembatasan yang mana
diantaranya ialah, meliburkan anak sekolah,
meliburkan sebagian pekerja, dan juga
membatasi akses transportasi umum dan
juga fasilitas-fasilitas umum dan juga
kebijakan ini melarang kita untuk berkumpul
dan senantiasa untuk selalu menggunakan
masker.
Dari kebijakan ini pula timbul beberapa
effect atau dampak yang mana menghambat
mobilitas penduduk di berbagai daerah.
Yang mana kita ketahui bahwa beberapa
kases jalan dijaga ketat oleh aparat
kepolisian. Hal tersebut diperuntukan untuk
pengefektifan kebijakan ini dalam
mengurangi penyebaran virus corona yang
memberikan banyak kerugian.
Ini menjadi dilemma besar bagi masyarakat,
yang mana kita tidak bisa melakukan
mobilisasi yang mana dengan mobilisasi
bisa meningkatkan perekonomian keluarga
dan juga kita harus tetap stay dirumah untuk
mencegah terjadi nya penyebaran dari virus
corona ini.
Dan juga dengan berjalan nya waktu PSBB
ini mendekati bulan Ramadhan yang mana
orang-orang beriringan ingin melaksanakan
mudik atau pulang kampung, dimana hal
tersebut tertahan dengan adanya kebijakan
dari pemerintah tersebut.
Beberapa hal jadi tidak bisa dilakukan oleh
para perantau dengan adanya kebijakan ini,
yang mana pemerintah mengurangi
penggunaan transportasi umum didalam
masa pandemic ini. Ini tentunya
menimbulkan masalah baru bagi para
perantau mereka menjadi tidak bisa
berkumpul bersama keluarga dan juga
melaksanakan ibadah puasa di rumah tempat
asal mereka tinggal, dari faktor-faktor
pendorong alasan orang melakukan mudik
dan lainnya. hal tersebut terbantah karena
ada nya virus ini dan juga kebijakan
pemerintah. Para pemudik jadi tidak bisa
untuk pulang bertemu dengan keluarga, dan
berziarah ke makam-makam keluarga.
Mudik yang merupakan suatu aktifitas dari
mobilitas horizontal yang mana mereka
pergi bukan untuk menetap melainkan untuk
bertemu dengan keluarga nya kini menjadi
terhambat. Mereka para perantau menjadi
tidak bisa kembali ke kampung halamannya.
Dan jika kembali pun di takutkan mereka
membawa virus tersebut dan membuat
angota keluarga mereka yang berada
dirumah menjadi terpapar oleh virus
tersebut.
Ada beberapa kasus yang mana pemudik
dipulangkan, walaupun mayoritas tetap
bertahan didaerah tinggal, namun ada saja
yang memberanikan diri untuk tetap
berangkat ke kampung halaman. Jika kasus
nya seperti ini mereka diharapkan untuk
menjadi orang dalam pengawasan atau biasa
disebut dengan (ODP), namun sekarang
banyak nya pemudik tidak mau melakukan
karantina selama 2 minggu di kampung
halaman nya. Untuk itu beberapa kasus
terjadi beberapa pemudik di pulangkan.
Dan juga salah satu hal yang mendorong
para pemudik tetap melakukan mudik adalah
mereka tidak mendapatkan uang didaerah
tempat mereka bekerja, mereka kehilangan
pekerjaan nya. Hal ini selaras dengan teori
mobilitas dimana alasan utama orang
melakukan mobilitas adalah karena merak
pergi ke suatu daerah yang dituju untuk
memenuhi kebutuhannya. Dan sekarang
ditempat mereka merantau mereka tidak
dapat lagi uang atau pekerjaan yang mana
diakibatkan dari adanya virus tersebut dan
kebijakan pemerintah tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar, yang mana menuntut
mereka untuk stay dirumah tidak kemana-
mana dan bekerja dirumah. Mungkin hal
tersebut lah yang menyulitkan mereka,
dimana tidak semua pekerjaan bisa
dilakukan di rumah. Melainkan banyak
pekerjaan yang memang berada diluar.
Dan juga faktor lain mengapa masih tetap
saja ada perantau yang nekat mudik ialah
karenapada dasar nya orang Asian itu suka
collective. Dalam artia orang Asian sangat
suka untuk berkumpul bersama keluarga
nya, melakukan aktifitas bersama dengan
keluarganya. Dan hal-hal tersebut lah yang
mengakar menjadi suatu budaya di
Indonesia dimana orang Indonesia juga
menganggap jika tidak pulang kampung atau
tidak bertemu dengan keluarga, maka
mereka dianggap berdosa atau telah menjadi
anak yang “durhaka” terhadap orang tua.
Persepsi ini lah yang menimbulkan mengapa
mudik itu menjadi hal yang sangat wajib
bagi bangsa Indonesia, selain banyak faktor
lainnya dimana tradisi sungkeman juga
sudah mandarah daging di warga negara
Indonesia.
Selain itu pola masyarakat pun mejadi
berubah setelah adanya kebijakan PSBB ini,
dulu sebelum adanya kebijakan ini orang
dengan mudah nya bisa bepergian kesana-
kemari untuk melakukan segala aktifitas
nya. Dan sekarang pun tidak, masyarakat
dihimbau untuk tetap dirumah saja, bersama
keluarga, untuk melindungi diri dari
penyebaran virus corona ini.
Dan juga dampak psikologis, yang melanda
para perantau yang tidak bisa melakukan
mudik, karena pada dasar nya teknologi
bukan bagian dari budaya kita sehingga
mudik tak tergantikan dengan melakukan
secara virtual. Hal tersebut menjadi masalah
psikologis dimana mereka menjadi tidak
bisa nertemu keluarga secara langsung dan
merasakan kebahagiaan secara langsung.
Jadi pada intinya kebijakan PSBB ini
membuat masyarakat menjadi dilemma.
Disatu sisi mereka harus mematuhi aturan
pemerintah guna memperlambat penyebaran
virus corona ini, dan di satu sisi pula mereka
dituntut untuk bekerja mendapatkan uang
yang mana hal tersebut hanya bisa mereka
dapatkan jika mereka berada diluar dari
rumah mereka. Karena merasa tidak
terpenuhi segala kebutuhannya, masyarakat
merasa lebih baik saya pulang kampung dan
bertemu dengan keluarga, di kampung
halaman para perantau juga bisa
mendapatkan kebahagiaan lain yaitu
berkumpul bersama keluarga.
Dapat dikatakan bahwa kebijakan PSBB ini
memiliki pengaruh terhadap intensitas
mobilitas dan juga jumlah pemudik saat
lebaran, ini terlihat sekali dengan adanya
pengurangan jumlah transportasi umum,
pelarangan bepergian, peraturan dalam
jumlah penumpang terhadap suatu
kendaraan dan jugapenjagaan ketat setiap
titik mobilitas. Yang mana tentunya hal
tersbut mengurangi jumlah atau intensitas
mobilitas dan jumlah pemudik pada masa
PSBB ini.
KESIMPULAN
Mudik merupakan salah satu hal yang sudah
menjadi budaya dan melekat erat bagi warga
negara Indonesia, dimana berbagai alasan
menyertai nya diantaranya ialah bertemu
keluarga, kerabat, dan saudara, juga menjadi
sebuah keharusan karena adanya persepsi
yang melekat dalam masyarakat Indonesia
yaitu “merasa berdosa” jika tidak
mengunjungi keluarga.
Mudik yang juga merupakan kegiatan
mobilitas, yang mana mobilitas horizontal
yang tidak memiliki tujuan untuk menetap
atau tinggal didaerah tersebut, akan menjadi
terhambat di tahun 2020 ini.
Yang mana pada masa ini masyarakat
Indonesia dan bahkan dunia tengah
mengalami pandemic yang disebabkan oleh
adanya virus corona ini, dimana menuntut
kita untuk terus beraa di rumah, menjauhi
segala interaksi yang ada dna membatasi
kontak fisik dengan orang lain guna
mengurangi penyebaran virus ini. Hal
tersebut sejalan dengan adanya peraturan
dari pemerintah mengenai kebijakan PSBB,
yang membatasi segala akses agar kita tetap
berada dirumah dan tidak melkukan aktifitas
sosial yang melibatkan banyak orang.
Dan tentunya hal tersebut mempengaruhi
pada intensitas mobilitas dan juga pemudik
lebaran. Yang mana hal tersebut terlihat
sekali dengan adanya pengurangan jumlah
transportasi umum, pelarangan bepergian,
peraturan dalam jumlah penumpang
terhadap suatu kendaraan dan jugapenjagaan
ketat setiap titik mobilitas. Yang mana
tentunya hal tersbut mengurangi jumlah atau
intensitas mobilitas dan jumlah pemudik
pada masa PSBB ini.
SARAN
1. Selama pemberlakuan masa PSBB
diharapkan masyarakat bisa memaklumi
untuk tidak menjalankan mudik terlebih
dahulu karena hal tersebut juga
membahayakan diri sendri dan juga orang
rumah yang berada di kampung halaman
2. Walaupun tidak bisa melakukan mudik,
kita bisa menggantinya dengan
menggunakan alat komunikasi, bertemu
secara virtual melalui telepon atau video call
3. Berfikir positif dan mengerjakan segala
sesuatu dengan ikhlas, dan selalu percaya
bahwa pandemic ini akan segera berkahir.
Dan juga senantiasa menjaga kesehatan dan
melakukan hal-hal yang produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Abeyasekere, Susan. (1989). Jakarta: A
History. Oxford: Oxford University
Press
Arribathi, H. A., & Aini, Q. (2016). MUDIK DALAM PERSPEKTIF BUDAYA DAN AGAMA
(Kajian Realistis Perilaku Sumber Daya Manusia ).
Fuad, M. (2011). Makna Hidup Dibalik Mudik Lebaran Vol.5.
Giyarsih, S. R. (1999). Mobilitas Penduduk Daerah Pinggiran Kota Di Dusun Kadipiro dan DI
Dusun Sidorejo Desa Ngastiharjo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. 141-155.
Hugo. (1978). Population Mobility in West Java. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Irianto, A. M. (n.d.). MUDIK DAN KERETAKAN BUDAYA.
Mantra, & Kasto. (1983). Analisa Migrasi Berdasarkan Data Sensus Penduduk Tahun 1971-1980.
Mantra, I. B. (1978). Population Movement in Wet Rice Communities : A case Studies of Two
Dukuh in Yogyakarta Special Region.
Mantra, I. B. (1989). Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Yogyakarta:
PPK Universitas Gadjah Mada.
Mantra, I. B. (2000). Demografi Umum. Pustaka Pelajar.
Prof. Dr H. Abdul Majid, M. (n.d.). Mudik Lebaran.
RI, K. K. (2020). Kawal informasi seputar COVID-19 secara tepat dan akurat. Retrieved from
Kawal Covid 19:. Retrieved from https://kawalcovid19.id/
SOEBYAKTO, B. B. (2011). M U D I K L E B A R A N . Jurnal Ekonomi Pembangunan, 61-67.
Suharso. (1978). Pola Perpindahan Penduduk dan Urbanisasi di Jawa Tahun 1968-1973.
Susilowati, S. H. (n.d.). Dampak Mobilitas Tenaga Kerja Terhadap Pendapatan Rumah Tangga
Pedesaan.
Todaro, M. (1980). Migration as Adjusment to Environmental Stress. Geneva: ILO Offices.
Todaro, M. (1980). Migration In Developing Countries . Geneva: ILO Offices.
Wolpert, & Julian. (1966). Migration as Adjustment to Environmental Stress. journal of Social
Issues, 92-102.