Available via license: CC BY-SA
Content may be subject to copyright.
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
36
Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal
Dalam Novel Cinta Suci Zahrana
Ridzky Firmansyah Fahmi1), Riskha Arfiyanti2)
zhukhie@gmail.com1), arfiyanti.riskha@gmail.com2)
Universitas Siliwangi1), Universitas Swadaya Gunung Jati2)
Abstrak. Penelitian ini didasarkan atas temuan dalam novel Cinta Suci Zahrana karya
Habiburrahman El-Shirazy yang mengangkat persoalan perempuan. Novel Cinta Suci Zahrana
menarik untuk dikaji dari sudut pandang gender karena bernuansa feminisme. Namun, novel
ini ditulis oleh pengarang laki-laki. Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori
feminisme dan gender. Metode penelitian menggunakan deskriptif analisis dengan studi
dokumentasi. Dari hasil penelitian ditemukan kecenderungan perempuan lajang yang
berpendidikan dan berkarier tinggi acapkali mendapatkan desakan untuk segera menikah. Hal
itu didasarkan masih kuatnya budaya patriarkal yang membentuk konstruksi sosial sehingga
muncul anggapan bahwa setinggi-tingginya perempuan berpendidikan dan berkarier pada
akhirnya akan mengurus hal-hal yang bersifat domestik. Novel Cinta Suci Zahrana
mencerminkan realitas kehidupan masa kini, terutama bagi perempuan yang berkarier dan
berpendidikan tinggi, tetapi belum menikah, seperti yang direpresentasikan tokoh Zahrana.
Konflik yang dialami tokoh Zahrana merupakan representasi dari ketidaksetaraan gender pada
masyarakat patriarkal bahwa pria cenderung bebas melakukan pilihan yang didukung oleh
anggapan mayoritas sebagai sebuah kewajaran bahkan kebenaran.
Kata Kunci : Cinta Suci Zahrana, gender, patriarkal
Pendahuluan
Perempuan selalu menarik untuk dikaji–diperbincangkan. Ia selalu hadir dalam berbagai
suara, warna, dan perspektif. Perempuan selalu mempunyai celah untuk menyelusup ke dalam
ruang-ruang tanpa batas yang mampu ia tembusi. Selain memiliki daya pikat (tersendiri), ia pun
memiliki kekuatan yang sangat khas, entah dari cara bertutur, bersikap, bahkan pemikiran, dan
karya yang bisa menandingi kaum laki-laki. Sebagai seorang makhluk yang unik, ia memiliki
intelegensi untuk merasa, meraba, dan menerjemahkan apa yang ‘disentuhnya’. Namun
persoalan perempuan tidak hanya pada daya tariknya, tidak hanya pada bentuk fisiknya, dan
tidak hanya eksistensinya yang saat ini telah banyak mengungguli para laki-laki. Persoalan
perempuan secara nyatanya memang lebih dekat dengan berbagai bentuk ketidakadilan. Entah
apa yang menyebabkan perempuan identik berada dalam situasi rawan mendapatkan
ketidakadilan dan mesti memperjuangkan haknya secara terbuka, baik dalam lingkup
kehidupan rumah tangga maupun dalam lingkup sosial yang lebih luas.
Ketidakadilan perempuan banyak dijadikan riset. Susanti (2010) melakukan penelitian
pada novel Kupu-kupu Malam karya Achmad Munif. Susanti melakukan penelitian dengan
menggunakan analisis ketidakdilan gender yang didasarkan atas lima cakupan yaitu
marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja. Hasil penelitian Susanti
menyebutkan ketidakdilan gender yang dialami tokoh Sriyati dan Rum berupa kekerasan.
Kekerasan yang dialami tokoh tersebut berupa kekerasan fisik dan seksual. Susanti
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
37
menyimpulkan bahwa kekerasan yang dialami tokoh perempuan dalam novel Kupu-kupu
Malam merupakan bentuk marginalisasi atas tuntutan perempuan terhadap haknya sebagai
pribadi yang bebas dan berhak menentukan pilihan. Perempuan dianggap pribadi/kaum yang
lemah yang tidak dapat diandalkan terlebih menjadi pemimpin. Bahkan tubuh perempuan pun
dan kecantikan perempuan merupakan peluang bagi laki-laki untuk melakukan ketidakdilan
gender dan dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam budaya patriarkal.
Novel Cinta Suci Zahrana merupakan novel yang merefleksikan budaya masyarakat pada
komunal tertentu yang berdecak kagum kepada perempuan yang berhasil meraih dan
menyelesaikan pendidikan tinggi. Namun dalam novel ini pun direpresentasikan pandangan
masyarakat yang masih memandang perempuan sebagai makhluk yang mesti tunduk pada
aturan budaya yang mengikatnya. Peneliti tertarik meneliti novel ini sebab novel bernapaskan
feminis ini ditulis pengarang laki-laki yang sebelumnya menulis novel bertema feminis juga.
Dalam tiap karyanya, Habiburrahman El-Shirazy berupaya membangun konstruksi sosial yang
didasarkan atas kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dengan tidak menyalahi
syariat agama. Novel-novelnya bertemakan religius, tetapi selalu ada tokoh perempuan yang
memperjuangkan haknya dan harus bergelut dengan persoalan tafsir agama dan budaya
masyarakatnya yang tinggal di sekitarnya.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk
menjelaskan relasi makna antara novel Cinta Suci Zahrana dan konstruksi gender. Pertama-
tama dilakukan pembacaan novel. Setelah itu dilakukan analisis identitas tokoh nutama dengan
wacana gender yang dominan dalam pengaluran. Selanjutnya dilakukan interpretasi konstruksi
gender yang didasarkan atas bukti teks. Kemudian dilakukan pembahasan dan terakhir
dilakukan simpulan atas pembahasan.
Hasil dan Pembahasan
Karya sastra dapat menjadi representasi budaya masyarakat. Karya sastra merefleksikan
gagasan, sikap, dan bentuk-bentuk berwujud yang merupakan hasil pemikiran masyarakat.
Karya sastra juga dapat menjadi media kritik dan pembangunan wacana yang efektif sebab
pembaca karya sastra akan memiliki pengalaman empiris tanpa merasa diajari. Pembaca karya
sastra akan belajar pada apa yang diapresiasinya. Begitupun dengan novel Cinta Suci Zahrana
yang menyuguhkan konflik batin tokoh Zahrana, seorang perempuan berpendidikan yang
dicecar dan berjuang demi segera mendapatkan status sosial pernikahan dalam kehidupannya
di masyarakat.
a. Feminisme dan Gender
Feminisme lahir awal abad ke-20 dan dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya
yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Merujuk asal katanya, feminis yang berasal dari
kata femme (woman) berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Feminis bertujuan menciptakan keseimbangan,
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
38
interelasi gender antara laki-laki dan perempuan. Feminis dapat diartikan sebagai sebuah upaya
kaum perempuan menolak segala sesuatu yang memarginalkan, menyubordinasikan, dan
merendahkan mereka dalam kehidupan sosial. Feminisme memiliki perhatian yang tinggi atas
pentingnya kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Identitas seks dan gender laki-laki dan perempuan dibentuk konstruksi sosial. Gender
merupakan perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi
konstruksi sosial, dan bukan didasarkan atas perbedaan jenis kelamin. Kesetaraan gender dapat
menjamin partisipasi perempuan untuk lebih aktif dan produktif dalam mengembangkan
pemahaman sekait dengan perbedaan peran gender dalam masyarakat.
Gender terbagi atas dua kategori yakni identitas gender inti dan identitas peran gender.
Identitas gender inti mengacu pada perasaan menjadi laki-laki atau perempuan yang terbentuk
pada usia dua tahun dan didasarkan atas aspek biologis yang membedakan dirinya sebagai laki-
laki atau perempuan. Sementara identitas peran gender mengacu pada perasaan individu atas
gendernya sebagai maskulin atau feminin dan dipengaruhi faktor biologis, sosiologis, dan
psikologis. Dalam rumusan ilmu-ilmu sosial, relasi gender diartikan sebagai aturan-aturan,
tradisi-tradisi, dan hubungan-hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan kebudayaan
yang menentukan batas-batas feminin (dianggap bersifat keperempuanan) dan maskulin
(dianggap bersifat kelelakian). Butler menolak pandangan bahwa seks (laki-laki atau
perempuan) sebagai penentu dari gender (maskulin atau feminin), dan gender sebagai penentu
orientasi seksual. Itu sebabnya, menurut Butler, bila seseorang memiliki identitas maskulin
pada suatu waktu dan memiliki identitas feminis pada waktu yang lain merupakan hal yang
wajar sebab identitas diperoleh dari tindakan performative yang selalu berubah-ubah (Meissner
dalam Parthami, 2009, hlm. 9; Macdonald dalam Rohmaniyah, 2013, hlm. 59).
Ketidakadilan gender meliputi marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban
kerja. Marginalisasi merupakan keyakinan masyarakat terhadap suatu anggapan bahwa
perempuan kurang dapat memiliki keterampilan dalam bidang publik sehingga tidak diberi
kepercayaan untuk berkarier di wilayah publik. Itu sebabnya perempuan menjadi terpinggirkan
dan tidak mendapat akses di wilayah publik. Stereotip merupakan pemberian label atau citra
terhadap suatu objek yang berdampak pada ketidakadilan. Subordinasi merupakan anggapan
bahwa perempuan merupakan makhluk yang lebih mengutamakan perasaan daripada logika.
Kekerasan merupakan bentuk serangan baik berupa fisik maupun mental yang dilakukan salah
satu jenis kelamin atau kelompok terhadap fisik atau mental seseorang lainnya. Beban kerja
merupakan tanggung jawab yang diberikan secara penuh atau dibebankan kepada seseorang
dan dianggap sebagai suatu kewajaran dan sudah menjadi tugasnya (Fakih, 2013, hlm. 12).
Tiga proporsi teori feminisme berbicara mengenai hubungan: a) karya sastra dan dunia
nyata; b) karya sastra dan realitas yang bersifat politis; dan c) politik karya sastra yang berfokus
pada perempuan. Pada proporsi pertama, sebuah teks merupakan bagian dari realitas. Teks
dapat mewakili dan mendeskripsikan realitas, menciptakan realitas, dan menawarkan realitas
lainnya sebagai alternatif. Pada proporsi kedua, hubungan antara kata dan realitas bersifat
politis. Teks dan proses pembacaan yang dilakukan bersifat memaksa sehingga memunculkan
keinginan berpolitik, yakni membaca karya sastra dengan cara tertentu dan menulis tentang apa
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
39
yang telah dibaca dengan motivasi mendapatkan kuasa untuk membuktikan perbedaan. Pada
proporsi ketiga, perempuan kurang menunjukkan representasi riil mereka dan hanya berkutat
dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum seperti pemaksaan atau eksploitasi
fisiologi terhadap tubuh perempuan atau eksploitasi psikologis dan kultural. Dasar pemikiran
dalam penelitian sastra berperspektif gender merupakan upaya pemahaman kedudukan dan
peran perempuan seperti yang direpresentasikan dalam karya sastra (Robbins dalam Musthafa,
2008, hlm. 85; Sugihastuti, 2005, hlm. 15).
b. Takbir Cinta Zahrana
Novel Cinta Suci Zahrana merupakan novel yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy.
Novel ini berkisah mengenai seorang perempuan muda yang memiliki pendidikan tinggi
berjenjang S-2, berkarier baik, tetapi belum juga mendapatkan jodoh. Tiap adegan dalam novel
menampilkan sosok Zahrana sebagai perempuan yang aktif, cerdas, dan religius. Zahrana
dihadirkan sebagai sosok perempuan yang idealis dan memegang teguh ajaran agama. Akhir
cerita novel ini bernasib bahagia (happy ending). Cerita diakhiri dengan pernikahan Zahrana
dengan seorang pemuda yang sempat menjadi mahasiswa bimbingannya untuk tugas akhir
(skripsi). Adegan novel dimulai dengan menampilkan sosok Zahrana sebagai perempuan cerdas
dan tangguh. Hal tersebut tampak pada adegan ketika Zahrana dihadirkan di hadapan
mahasiswa jurusan. Ketika itu, Zahrana dikisahkan baru saja menyelesaikan studi magisternya.
Zahrana dihadirkan sebagai tokoh inspiratif bagi mahasiswa: meski perempuan dan berhijab,
tetapi tidak menghalangi kemauan untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
Teknik pengungkapan novel ini dimulai dengan kehadiran Zahrana sebagai dosen muda
teladan dan penuh dengan kreativitas serta dedikasi yang tinggi. Hal tersebut terlihat ketika
Zahrana membantu membimbing skripsi mahasiswa tingkat akhir bernama Hasan, meskipun
ketika itu Zahrana termasuk dosen yang baru bekerja di kampus tersebut. Zahrana dihadirkan
sebagai sosok yang baik, idealis, tegas, mau membantu, berani mengambil keputusan, tetapi
bersikap pasrah. Dialog antara Nina dan Hasan yang merupakan mahasiswa Zahrana
menunjukkan bahwa Zahrana termasuk orang yang baik dan mau membantu. Hal tersebut
tampak pada dialog Zahrana dan Hasan, mahasiswa yang dibimbingnya untuk penulisan skripsi.
Hal itu terlihat pada kutipan berikut.
"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun ibu tidak di kampus ini
lagi?"
"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah ibu kapan saja." Kata
Zahrana sambil memandang wajah mahasiswanya satu per satu (El-Shirazy,
2011, hlm. 20).
Sikap idealis Zahrana terlihat pada keputusannya untuk berkarier dan berpendidikan
tinggi. Terbukti dengan banyaknya prestasi dan pujian yang ia peroleh berkat kegigihannya
memperjuangkan pendidikan dan karier, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling
berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai
oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
40
perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa
kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya (El-Shirazy, 2011, hlm. 2).
Sikap idealis Zahrana terlihat dalam keteguhan hati ketika dihadapkan pada lamaran yang
dilakukan oleh atasannya. Zahrana bersikukuh menolak lamaran karena ia memiliki kriteria
tersendiri bagi calon suaminya. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang kepada orangtuanya
untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa
yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti
jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan (El-
Shirazy, 2011, hlm. 4).
Bagi banyak perempuan dan bagi orang tua Zahrana, Zahrana sudah waktunya untuk
menikah. Namun, Zahrana belum memikirkan pernikahan. Zahrana lebih memilih
mengembangkan diri di luar wilayah rumah tangga terlebih dahulu. Pilihannya ini membuat
pada akhirnya ia memiliki konflik batin tersendiri. Bagaimanapun, ia ingin membahagiakan
orang tuanya dengan sebuah pernikahan. Hal ini membuat ibu Zahrana jengkel terhadap sikap
anaknya, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang
Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah.
Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam
keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan
sedihnya dengan sikap tenangnya (El-Shirazy, 2011, hlm. 2).
"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak Karman memang agak
tua, tapi ia berpendidikan dan kaya. Dia juga bisa tampak muda." (El-Shirazy,
2011, hlm. 11).
Sikap pasrah Zahrana terlihat pada saat Zahrana berbincang-bincang dengan ayah ibunya
soal pernikahan. Ayahnya menyarankan agar Zahrana meminta bantuan kepada pimpinan
pondok pesantren untuk membantu mencarikan jodoh untuknya. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut.
Sang ayah berkata sambil terisak, "Saat pindah ke STM Al Fatah kamu bilang
siapa tahu jodohmu di pesantren. Coba datanglah ke Pak Kiai. Coba kamu minta
pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan. Mungkin kamu akan ditemukan
dengan santrinya!"
"Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk menemukan yang saya idamkan
baiklah saya akan sowan ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya." Jawab
Zahrana sambil mengusap air matanya (El-Shirazy, 2011, hlm. 28).
Teknik pengungkapan peristiwa dalam novel cenderung linear. Namun ada pula yang
berupa ingatan peristiwa, hanya saja dihadirkan dalam bentuk dialog. Hal tersebut tampak
ketika Zahrana mengingat peristiwa teror yang dialaminya. Ketika itu, Zahrana sedang dirawat
di rumah sakit karena mengalami guncangan kejiwaan yang dahsyat setelah gagal menikah
karena calon suaminya meninggal dunia disebabkan kecelakaan (yang sesungguhnya
direkayasa). Zahrana berdialog dengan temannya yang menyatakan sepertinya apa yang
menimpa calon suaminya (Rahmad) ialah ulah dekan tempat Zahrana sempat mengajar di
universitas tersebut yang menyimpan dendam karena lamarannya ditolak oleh Zahrana.
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
41
Zahrana beranggapan kejadian yang menimpa Rahmad bukan kecelakaan biasa, tetapi
pembunuhan sebab Zahrana ingat ketika dekan tersebut mengirimi pesan via telepon genggam
dan pos-el yang mengatakan tidak akan berhenti mengganggu hidup Zahrana. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.
Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang
menyengatnya. Kata-kata itu menguatkan keyakinannya bahwa yang
menterornya selama ini adalah Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak Karman
tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo (El-Shirazy, 2011, hlm. 54).
Selain tokoh Zahrana, terdapat tokoh Hasan, mahasiswa Zahrana yang sesungguhnya
menyukai Zahrana. Hasan sempat kecewa karena mengetahui Zahrana akan menikah. Hasan
dihadirkan sebagai tokoh yang rajin dan berkarakter baik. Hal tersebut terlihat dalam dialog
antara Hasan dan Zahrana ketika keduanya berbincang melalui telepon. Dalam percakapan
tersebut, Zahrana memuji Hasan sebagai anak yang rajin dan Zahrana mengungkapkan
kekagumannya karena Hasan sudah pandai berbisnis meskipun usianya masih muda.
Rahmad, laki-laki yang dijodohkan dengan Zahrana dan menjadi calon suami Zahrana,
dihadirkan sebagai sosok yang baik, taat, dan beragama. Rahmad hadir sebagai seorang tukang
kerupuk yang jujur dan religius. Selain itu, ada pula tokoh dekan fakultas tempat Zahrana
bekerja yang memiliki tabiat buruk. Ia mendendam setelah lamarannya ditolak Zahrana.
Bahkan, ia pula yang merancang kematian Rahmad dan mengunjungi Zahrana dengan wajah
yang berbinar ketika Zahrana masih berduka dan dirawat di rumah sakit.
c. Perempuan dan Budaya Patriarkal
Patriarkal merupakan sistem yang mengelompokkan kehidupan sosial masyarakat
berdasarkan garis keturunan laki-laki. Sistem ini secara otomatis menempatkan laki-laki
memiliki posisi dan peran lebih tinggi daripada perempuan dalam bidang sosial, budaya,
ekonomi, dan sebagainya. Hal itulah yang membuat perempuan kurang mendapat posisi dan
peran di wilayah-wilayah tersebut secara otonom. Hal itu didasarkan pada seksualitas
perempuan yang menempatkannya pada posisi yang tidak adil karena perannya dalam wilayah
publik dikonstruksi oleh berbagai mitos, budaya, hukum, nilai sosial, dan agama (Sastriyani,
2007, hlm. 65; Pinem, 2009, hlm. 42; Widianti, 2005, hlm. 10).
Cinta Suci Zahrana berbicara perjuangan perempuan dalam sudut pandang budaya
patriarkal sebab dalam novel dideskripsikan Zahrana sebagai perempuan yang dapat mengakses
wilayah publik yang selama ini didominasi laki-laki, tetapi harus “terjebak” dalam stigma
budaya patriarkal sekait dengan pernikahan. Novel ini lebih mengedepankan sisi religius atas
percintaan yang dianut oleh Zahrana. Zahrana ialah sosok perempuan yang berpendidikan
tinggi dan tidak mengenal istilah berpacaran. Itu sebabnya, selain fokus pada karier dan
pendidikan, Zahrana pun memilih tidak berpacaran sebab Zahrana terkategori sebagai
perempuan muslim yang memegang teguh syariat untuk tidak berpacaran.
Novel ini menunjukkan perspektif gender yang kuat ketika sosok Zahrana dihadirkan
sebagai perempuan cerdas, berpendidikan tinggi, dan memiliki kemampuan berkarier yang
baik. Meskipun dalam penceritaan selanjutnya, kesetaraan gender yang diperjuangkan Zahrana
pada akhirnya harus dinegosiasikan dengan kultur perempuan dewasa dan cukup mapan untuk
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
42
segera berumah tangga. Pada persoalan ini, Zahrana tampak seakan “menyerah” dengan
meminta bantuan untuk dijodohkan oleh orang tuanya bahkan Zahrana sendiri meminta bantuan
untuk dicarikan pasangan melalui pimpinan pondok pesantren. Di luar kuatnya budaya
patriarkal memengaruhi alur novel, terlihat jelas bahwa novel ini berupaya memberikan warna
yang berbeda sekait perjuangan perempuan dalam menyetarakan dirinya agar juga dapat
mengakses pendidikan tinggi, karier yang cemerlang, dan pekerjaan di wilayah publik bukan di
ranah domestik. Hal ini sekait dengan yang dikemukakan Djajanegara (2000, hlm 4) bahwa inti
tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau
sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk
mencapai tujuan ini salah satu caranya ialah dengan memperoleh hak dan peluang yang sama
dengan yang dimiliki laki-laki dalam bidang yang berkaitan dengan sosial dan wilayah publik.
Selain ditulis menggunakan perspektif feminis, novel ini sangat kuat dengan nuansa
agama. Selain dari prinsip Zahrana yang tidak mau berpacaran, nuansa religius tampak pada
syarat yang diberikan Zahrana kepada calon suaminya yang dipilihkan oleh ayahnya. Zahrana
meminta pelamar yang datang untuk mengaji. Jika pelamar yang datang bisa mengaji dengan
baik, maka Zahrana akan menikah dengan pelamar tersebut. Namun, tidak ada satu pun pelamar
yang mampu mengaji. Itu sebabnya Zahrana akhirnya meminta bantuan kepada pemimpin
pondok pesantren. Kehadiran pondok pesantren pun menjadi isu kuat dalam novel ini yang
sangat menonjolkan sisi religiusitas dalam tiap adegannya. Pun ketika Zahrana keluar dari
kampus tempatnya bekerja, Zahrana mengajar di sekolah agama (MA) setingkat SMA. Hal
tersebut menunjukkan bahwa novel ini syarat dengan unsur religius. Selain itu, ketika Zahrana
mengemukakan syarat calon suami yang diinginkan, Zahrana mengemukakan bahwa ia tidak
mencari calon suami dengan pendidikan dan ekonomi yang tinggi. Bagi Zahrana, memiliki
calon suami yang paham ajaran agama sudah menjadi syarat utama. Ia tidak menginginkan
calon suami yang berpendidikan tinggi atau memiliki penghasilan yang tinggi pula, cukup
hanya dengan paham ajaran agama dan bisa membimbing Zahrana, itu sudah merupakan hal
yang ideal bagi Zahrana. Prinsip Zahrana ini ditunjukkan melalui dialog Zahrana kepada
ibunya, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
"Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu. Saya menunggu lelaki
saleh yang pas di hati saya. Itu saja." Jawab Zahrana (El-Shirazy, 2011, hlm.
11).
Prinsip ini tampak juga pada dialog antara Zahrana dan Bu Nyai seperti dalam kutipan
berikut.
"Saat ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak
jadi pertimbangan saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik agamanya.
Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Itu saja." (El-Shirazy,
2011, hlm. 29).
Novel Cinta Suci Zahrana memberikan pengetahuan secara utuh mengenai nilai-nilai
agama yang menjadi dasar kehidupan keseharian. Mulai dari memegang prinsip tidak
berpacaran, sampai syarat pasangan yang harus memahami agama dengan baik. Novel ini
memberikan amanat bahwa agama tidak boleh dilupakan meski kita mengejar dunia. Agama
menjadi pilar dalam berperilaku sehari-hari.
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
43
Budaya patriarkal tampak kuat dalam novel ini. Hal tersebut terlihat dalam beberapa
adegan, terlebih ketika orang tua Zahrana menginginkan anaknya segera menikah dan
mencarikan jodoh untuknya. Pada adegan tersebut tampak bahwa perempuan yang belum
menikah akan menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Banyak sebutan disematkan untuk
perempuan dalam kondisi ini. Seolah-olah begitu sulit bagi perempuan ketika harus hidup di
masyarakat. Hal ini pula yang membatasi gerak langkah perempuan dalam posisi seperti ini di
tengah kehidupan masyarakat. Dalam pandangan budaya patriarkal, perempuan tidaklah pantas
menikah di usia terlalu matang. Di samping itu, perempuan pun dianggap pantas jika menikah
dengan laki-laki yang usianya lebih tua. Jika perempuan lebih tua daripada laki-laki, hal itu
akan terlihat agak janggal karena perempuan lazimnya mengikuti laki-laki dan laki-laki
memiliki kuasa atas rumah tangga sebagai pemimpin atau kepala keluarga. Peran sosial itulah
yang membentuk konstruksi sosial jika perempuan harus ‘dinikahi’ bukan ‘menikahi’ sebab
dalam sebuah pernikahan laki-laki yang memiliki peran besar untuk menentukan. Pun
perempuan mesti memiliki pasangan yang lebih tua sebab dianggap akan dapat mengayominya.
Kuatnya representasi budaya patriarkal pun terlihat ketika Zahrana yang berpendidikan
tinggi harus menurunkan syarat untuk calon suaminya yaitu yang tidak berpendidikan tinggi,
cukup saja dengan pemahaman agama yang baik. Dalam hal ini terlihat bahwa perempuan yang
memiliki karier yang bagus dan jenjang pendidikan tinggi, cenderung susah mendapat pasangan
karena laki-laki akan merasa minder sebab perempuannya lebih tinggi daripada laki-laki (dari
segi pendidikan, penghasilan, jabatan, dan pemikiran). Budaya patriarkal dalam novel
ditunjukkan pada dialog Ibu Nyai dalam kutipan berikut.
"Saya yakin tidak mudah mencari yang selevel denganmu, anakku. Jujur saja
kalau misalnya ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan memilih
yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya punya ego, tidak mau isterinya
lebih pinter dan lebih tua darinya. Tapi ya tidak semua lelaki lho. Sekali lagi tidak
mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya harus tinggi seperti kamu juga
saleh. Kalau boleh tahu, kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu
bagaimana?" (El-Shirazy, 2011, hlm. 30).
Laki-laki dianggap memiliki nilai kepantasan dalam memimpin dan mempunyai kuasa
atas pengaturan kehidupan sosial (bermasyarakat) dan rumah tangga (berkeluarga). Berbagai
persoalan ketidakadilan yang dialami perempuan muncul karena adanya anggapan dalam
konstruksi sosial di masyarakat bahwa laki-laki memiliki kuasa lebih terhadap perempuan
(Darwin, 2001, hlm. 3). Meski dalam hal pendidikan dan karier saat ini perempuan sudah
mendapatkan porsi yang sangat terbuka, namun ketidakdilan dalam konteks budaya patriarkal
masih mengakar kuat. Pandangan ini memicu anggapan bahwa setinggi-tingginya pendidikan
dan karier perempuan, tugas utamanya adalah mengurus rumah tangga atau ‘kembali ke dapur’.
Dalam budaya patriarkal, perempuan mempunyai tugas melayani laki-laki dengan sepenuh hati.
Tugas semacam itu tidak memerlukan pendidikan yang tinggi. Anggapan perempuan hanya
berkutat pada wilayah domestik membuat perempuan tidak dapat memilih dan hanya harus
menerima pada keputusan yang sudah menjadi kebiasaan.
Novel ini merepresentasikan realitas kehidupan masyarakat saat ini. Dalam budaya
patriarkal perempuan yang berpendidikan tinggi, berkarier cemerlang, dan belum menikah di
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
44
usia yang matang dianggap sesuatu yang tidak lazim dalam pandangan masyarakat.
Ketidakdilan gender dalam bentuk stereotip bahwa perempuan selayaknya segera menikah di
usia yang tak terlalu matang atau tua masih cukup melekat di masyarakat dan dianggap sebagai
suatu ketidakwajaran. Berbeda halnya dengan laki-laki yang berpendidikan tinggi, berkarier,
dan berusia matang kemudian belum menikah menjadi sesuatu yang dianggap wajar, lazim.
Budaya patriarkal yang membentuk konstruksi sosial mengharuskan perempuan untuk menikah
dan mengurus keluarga dalam batas usia yang sudah sewajarnya.
Simpulan
Problematik gender tokoh perempuan dalam Cinta Suci Zahrana yakni dihadapkan pada
situasi yang harus menerima kenyataan bahwa sepintar apa pun perempuan pada akhirnya harus
mengalah pada budaya patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang “perlu”
laki-laki dan status pernikahan. Bentuk ketidakadilan gender tokoh perempuan dalam Cinta
Suci Zahrana yaitu status pernikahan menjadi indikator kesuksesan perempuan dalam konteks
kehidupan bermasyarakat. Bentuk perjuangan gender tokoh perempuan dalam Cinta Suci
Zahrana yaitu dengan menerima kondisi yang dialami sebagai bentuk pengorbanan untuk cita-
citanya dan kebahagiaan orang tuanya.
Daftar Pustaka
Darwin, M. (2001). Menggugat budaya patriarki. Yogyakarta: Ford Foundation &
Pusat Penelitian Kependudukan.
Djajanegara, S. (2000). Kritik sastra feminis: sebuah pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
El-Shirazy, H. (2011). Cinta suci Zahrana. Jakarta: Ihwan Publishing House.
Fakih, M. (2013). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musthafa, B. (2008). Teori dan praktik sastra dalam penelitian dan pengajaran. Bandung:
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Parthami, P.W. (2009). Konstruksi identitas jender. Depok: FPsi UI.
Pinem, S. (2009). Kesehatan reproduksi & kontrasepsi. Jakarta: Trans Media.
Rohmaniyah, I. (2013). “Gender, androsentrisme, dan sexisme dalam tafsir agama”. Welfare,
Vol.2 No.1, pp. Januari - Juni 2013.
Sastriyani, S.S.H. (2007). Glosarium, seks, dan gender. Yogyakarta: Carasuati Books.
Sugihastuti. (2002). Kritik sastra feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susanti, E. (2010). “Analisis ketidakadilan gender pada tokoh perempuan dalam novel “kupu-
kupu malam” karya Achmad Munif”. Artikulasi, Vol.10 No.2 Agustus. Daring. Tersedia
di:
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&
uact=8&ved=0ahUKEwiUlp7E9PvUAhWBqo8KHXKJAeIQFggpMAA&url=http%3
A%2F%2Fejournal.umm.ac.id (Diakses pada 30 Juni 2017)
Teeuw, A. (1984). Sastra dan ilmu sastra pengantar teori sastra. Jakarta Pusat: PT Dunia
Pustaka Jaya.
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 7 (1) Januari 2020
DOI: 10.33603/deiksis.v7i1.3203 (p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Ridzky Firmansyah Fahmi, Riskha Arfiyanti| Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Zahrana
|
45
Widianti, A. (2005). Hukum berkeadilan gender. Jakarta: Kompas.