ArticlePDF Available

TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS

Authors:

Abstract

Perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making) menjanjikan kebijakan publik yang lebih andal dengan landasan empiris dan ilmu pengetahuan yang kuat. Namun begitu, sebagai suatu proses politik, perumusan kebijakan publik berbasis bukti tidak akan lepas dari pengaruh kekuasaan yang melingkupinya. Demikian pula halnya yang terjadi dalam produksi kota di Indonesia, terus terbentuk melalui berbagai produksi ruang yang diantaranya melalui proses determinan yaitu perencanaan tata ruang. Lewat lensa ko-produksi pengetahuan dan telaah kekuasaan dalam geografi kritis, tulisan ini mengeksaminasi ketelitian tindakan komunikatif dalam perencanaan tata kota di bawah peraturan perundang-undangan mengenai penataan ruang di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan beberapa kemungkinan dalam trajektori perumusan kebijakan perencanaan tata kota, terutama jika ilmu pengetahuan hendak lebih dalam dilembagakan ke dalam perencanaan yang berbasis bukti dan menguji kecenderungan peran ilmu pengetahuan dalam pluralitas aktor produksi kota sebagai kopula bebas nilai, narasi yang terkonsolidasi kekuasaan atau kemungkinan refleksif lainnya.
88
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH
GEOGRAFI KRITIS
Shafira Anindia Alif Hexagraha
226
Abstrak
Perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making) menjanjikan
kebijakan publik yang lebih andal dengan landasan empiris dan ilmu pengetahuan
yang kuat. Namun begitu, sebagai suatu proses politik, perumusan kebijakan publik
berbasis bukti tidak akan lepas dari pengaruh kekuasaan yang melingkupinya.
Demikian pula halnya yang terjadi dalam produksi kota di Indonesia, terus terbentuk
melalui berbagai produksi ruang yang diantaranya melalui proses determinan yaitu
perencanaan tata ruang. Lewat lensa ko-produksi pengetahuan dan telaah kekuasaan
dalam geografi kritis, tulisan ini mengeksaminasi ketelitian tindakan komunikatif
dalam perencanaan tata kota di bawah peraturan perundang-undangan mengenai
penataan ruang di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan beberapa
kemungkinan dalam trajektori perumusan kebijakan perencanaan tata kota, terutama
jika ilmu pengetahuan hendak lebih dalam dilembagakan ke dalam perencanaan yang
berbasis bukti dan menguji kecenderungan peran ilmu pengetahuan dalam pluralitas
aktor produksi kota sebagai kopula bebas nilai, narasi yang terkonsolidasi kekuasaan
atau kemungkinan refleksif lainnya.
Kata Kunci: kebijakan berbasis bukti, geografi kritis, penataan ruang, produksi ruang
Abstract
Evidence-based policy making promises more reliable policy with fortified empirical and
scientific bases. However, as a political process, evidence-based policy making can never be
entirely separated from the influences of circumventing power. Such manner is also discovered
in production of cities in Indonesia which are perpetually formed through various modes of
production of spaces such as spatial planning as a determining process. Adopting Jasanoff’s co-
production of knowledge and power analytical framework from critical geography studies, this
article examines the rigorousness of communicative action in city planning under Indonesian
laws concerning under Indonesian laws concerning spatial planning and explore several
possibilities within the trajectory if science is to be deeply incorporated into evidence-based city
planning primarily, interrogates inclination of science as value-free copula, consolidated
narratives of power, or other reflexive possibilities within the plurality of actors in production
of space.
Keywords: evidence-based policy, critical geography, spatial planning, production of space
226
Penulis adalah sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia.
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
89
I. Pendahuluan
Perencanaan tata kota merupakan
salah satu manifes kemampuan
manusia mengendalikan masa depan
berikut lingkungan yang ditempatinya
untuk mengonstruksikan masa depan
secara kolektif
227
yang dilakukan
melalui pengandaian dan rekayasa
konstan akan masa depan kehidupan
manusia berikut alam yang saling
mempengaruhi.
228
Pengandaian dan
rekayasa konstan merupakan
rasionalitas-instrumental
229
dalam
perencanaan tata kota yang pada
akhirnya akan melahirkan suatu
tatanan ‘komunitas yang dihendaki’
(intentional communities).
230
Perencanaan tata kota dapat
227
Pier Carlo Palermo and Davide Ponzini, Spatial Planning and Urban Development: Critical
Perspectives, (New York: Springer, 2010), hlm. 69-73.
228
George Chadwick, A Systems View of Planning Theory: Towards a Theory of the Urban and Regional
Planning Process, (Oxford: Pengamon Press, 1981), hlm. 25.
229
John Friedmann dan Carol Kuester, “Planning Education in the Late 20th Century: An Initial
Inquiry Journal of Planning Education and Research Vol. 14.1 (1994), hlm. 55-64 dalam Phillip
Allmendinger, Planning in Post Modern Time (New York: Routledge, 2001), hlm. 95.
230
Michael Elliott, History and Theories of Planning, (disampaikan pada School of City and
Regional Planning, Georgia Technological University, Atlanta, 7 Februari 2014), hlm. 26.
231
Sokongan argumentasi bahwa dalam penciptaan berbagai teks otoritatif seperti peraturan
perundang-undangan maupun kebijakan publik lainnya yang dibentuk baik oleh penguasa, instansi
politik maupun masyarakat yang terlibat lazim terjadi kompromi sebab subjek sebagai pembawa
pengetahuan dan kepentingan menghadirkan aspirasi yang bisa saja merupakan persepsinya untuk
kepentingan khalayak umum, kelompok tertentu maupun dirinya sendiri. Macam-macam derajat
kompromi dalam politik kebijakan publik tersebut dibahas dalam Amy Gutmann dan Dennis
Thompson, “The Mindset of Political Compromise”, Perspectives on Politics 8(4) 2010, pp. 1125-1143, hlm.
1134-1137. Lihat juga Samantha Besson, The Morality of Conflict: Reasonable Disagreement and the Law,
(Oxford and Portland: Hart Publishing, 2005).
dipersepsikan dari berbagai proyek
intelektual terarah yang terjadi pada
dan untuk membentuk suatu konstitusi
spasial yaitu kota yang merupakan
suatu ruang publik. Seharusnya, tidak
sulit dipahami bahwa proyek
intelektual ini merupakan imajinasi
keruangan yang diandaikan oleh
publik dan diputuskan pula secara
kolektif. Namun, distorsi kekuasaan
yang terlampau banal di ruang publik
telah menjadikan skema kolektif
sebagai suatu kerangka kerja yang
terlalu rumit untuk diandaikan
maupun dipraktikkan. Begitu pula
yang sejauh ini dipertahankan di dalam
hukum oleh para subjek yang terlibat
dalam perumusannya.
231
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
90
Lebih lanjut, tantangan yang
diekspos oleh urbanisasi
sesungguhnya turut mengubah tatanan
institusi ekonomi, politik, dan sosial
kota menjadi semakin terpolarisasi.
232
Ekses orientasi terhadap pertumbuhan
yang dibawa urbanisasi meningkatkan
kompetisi ekonomi dalam kota yang
berdampak pada dorongan untuk
mengutamakan strategi pertumbuhan
dalam perencanaan ruangnya dan
membebankan dampak negatif yang
ditimbulkannya pada kepentingan-
kepentingan lain.
233
Kontur akses dan
kesejahteraan yang tidak merata dan
menajamnya kompetisi ekonomi di
perkotaan yang tidak disertai dengan
strategi pengendalian urbanisasi, turut
232
Charles Goldblum, Urban Policies in South-East Asia: Questioning the Right to the City,
(Geneva: UNESCO and UN Habitat, 2006), hlm. 87. Lihat juga Alison Brown dan Annali Kristiansen,
Urban Policies and the Right to the City: Rights, Responsibilities, and Citizenship, (Geneva: UNESCO and UN
Habitat, 2009), hlm. 9.
233
Feinstein dalam Sarah Mina Bassett, The Role of Spatial Justice in The Regeneration of Urban Spaces,
(Illinois: University of Illinois, 2013), hlm. 3.
234
Fran Tonkiss, Space, the City, and Social Theory: Social Relations and Urban Forms, (Cambridge:
Polity, 2005), hlm. 3.
235
Alan Harding and Talja Blokland, Urban Theory: A Critical Introduction to Power, Cities, and
Urbanism in the 21st Century, (London: Sage Publisher, 2014), hlm. 128.
236
Kolektivitas sebagai unsur intrinsik dari perencanaan tata ruang ditemukan dalam berbagai
literatur. Di antaranya sebagai berikut:
1) Edward Soja, Seeking Spatial Justice, (Minneapolis: University of Minnesota Press), hlm. 72.
2) Pier Carlo Palermo and Davide Ponzini, Op. Cit, hlm. 69-73.
3) Tore Sager, Collective Action: Balancing Public and Particularistic Interests, pp. 26-41 dalam
Rachel Weber dan Randall Crane, The Oxford Handbook of Urban Planning, hlm. 34.
4) Floyd Hunter, Community Power Structure: A Study of Decision Makers, (Chapel Hill: University
of North Carolina Press, 1953), hlm. 11.
meminggirkan kelompok yang
memiliki penuturan dan pemaknaan
selain materi terhadap kota. Misalnya
dalam hal keseharian dan semantik
berbudaya yang secara esensial
membentuk dan termasuk dalam relasi
sosial dari kota.
234
Modus produksi
kota yang demikian membentuk kota
secara simultan menjadi produk dan
pelaku reproduksi ketidaksetaraan,
sebab para agensi gagal berperan
dalam membentuk representasi yang
utuh dan setara akan kota.
235
Representasi yang tidak sempurna
dalam produksi ruang secara intrinsik
bertentangan dengan perencanaan tata
ruang yang bersifat kolektif.
236
Kelemahan ini juga terkandung dalam
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
91
hukum penataan ruang Indonesia
sebagaimana tercermin dalam Pasal 65
ayat (1) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(UU No. 26 Tahun 2007). Hal ini
dikarenakan pemerintah ditempatkan
sebagai aktor sentral dalam penataan
ruang, sedangkan masyarakat
diposisikan sebagai komplemen
semata tanpa disertai dengan kekuatan
yaqng bersifat determinan dalam
pengambilan keputusan.
237
Padahal, selain dalam aspek
pengambilan keputusan, representasi
yang menyeluruh pada perencanaan
tata ruang idealnya diupayakan
melalui praksis pemberdayaan. Hal ini
dapat dilakukan dengan mulai
mengakui adanya ketidaksetaraan
237
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan
Ruang, PP No. 68 Tahun 2010, LN No. 118 Tahun 2010, TLN No. 5160, mengatur tentang bagaimana
masyarakat dalam berpartisipasi dalam penataan ruang yang penguraiannya dirinci menurut tahapan
penataan ruang yakni pada tahap: 1) perencanaan tata ruang, 2) pemanfaatan ruang, dan 3)
pengendalian pemanfaatan ruang. Akan tetapi, dalam peraturan ini tidak ada pengaturan yang
mengoptimasi peran masyarakat secara lebih aktif pada pengambilan keputusan dalam urusan
penataan ruang melainkan sebatas menjabarkan hak dan kewajiban dalam penataan ruang yang
memiliki konsekuensi berupa insentif maupun disinsentif.
238
Jürgen Habermas, Postmetaphysical Thinking, (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), hlm. 42.
239
Craig Calhoun (Ed.), Habermas and the Public Sphere, (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), hlm. 2.
Lihat juga Jürgen Habermas dalam bukunya yang berjudul Between Facts and Norms: Contributions
to a Discourse Theory of Law and Democracy, (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), hlm. 8 dan hlm. 31,
menuturkan bahwa rasionalitas prosedural yang komunikatif mampu meredam ketegangan antara
faktisitas dan validitas sehingga mampu membentuk legitimasi yang solid dalam suatu tindakan
komunikatif dalam ruang publik.
dalam masyarakat dan membongkar
pusaran-pusaran deliberasi yang
tertutup, untuk kemudian
bertransformasi menjadi ruang-ruang
diskursus publik yang terpluralisasi.
238
Sehingga, rasionalitas prosedural yang
komunikatif digunakan dalam
pengambilan keputusan ke
depannya.
239
Kegagalan agensi
merepresentasikan kota dan distorsi
terhadap kolektivitas dalam ketentuan
hukum perencanaan tata kota
merupakan contoh temuan masalah
hasil telaah geografi kritis. Selayaknya
aliran studi kritis pada berbagai
disiplin, geografi kritis merupakan
suatu studi yang berpancang pada
tanggung jawab teoritis dan etis,
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
92
bersifat tidak bebas nilai, dan memiliki
komitmen dalam progresivitas politik
maupun perubahan sosial.
240
Secara
khusus, geografi kritis menjabarkan
relasi sosio-spasial yang memproduksi
kesenjangan dalam ruang dengan
mengakui adanya ketidaksetaraan,
mengenali berbagai poros kekuasaan,
dan komitmen terhadap politik yang
memberdayakan, serta perubahan
sosial.
241
Eksaminasi geografi kritis
dalam tulisan ini memperdalam
tindakan komunikatif yang mampu
memberikan abstraksi terhadap
kesetaraan dalam diskursus publik
secara normatif, namun secara teknis
tidak menjelaskan bagaimana
pengetahuan terbentuk di dalamnya.
Tulisan ini hendak melengkapi tinjauan
abstrak-normatif Habermas, terutama
mengenai rasionalitas komunikatif,
dengan modus pembentukan
pengetahuan secara intersubjektif yang
dijelaskan oleh Jasanoff melalui ‘co-
production’ (ko-produksi). Untuk itu,
240
Ben Agger, Critical Social Theories: An Introduction, (Boulder: Westview Press, 1998), hlm. 180
dalam Nicholas Blomley, Uncritical Critical Geography? Progress in Human Geography 30, 1 (2006), hlm.
6.
241
Phil Hubbard, et al, Thinking Geographically: Space, Theory and Contemporary Human Geography,
(London: Bloomsbury Publishing, 2002), hlm. 62 dan hlm. 73.
tulisan ini berupaya menjawab
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana telaah geografi
kritis dalam mengurai
diskursus kekuasaan dan
pengetahuan dalam
penataan ruang di
Indonesia?
2. Bagaimana geografi kritis
mengandaikan upaya-upaya
untuk mewujudkan
kesetaraan dalam
perumusan kebijakan
penataan ruang di
Indonesia?
Adapun yang menjadi ruang
lingkup tulisan ini adalah peraturan
perundang-undangan yang berkenaan
dengan perencanaan tata kota di
Indonesia yaitu UU No. 26 Tahun 2007
dan Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten,
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
93
dan Kota (Permen ATR/Ka. BPN No. 1
Tahun 2018), yang mengetengahkan
bahwa perencanaan tata kota menurut
ketentuan tersebut merupakan suatu
perumusan kebijakan yang intensif
bukti. Pada bagian selanjutnya, tulisan
ini menjelaskan telaah pokok yang
menjawab bagaimana perencanaan tata
kota berbasis bukti (evidence-based city
planning) dapat mempertajam distorsi
dalam relasi sosio-spasial perencanaan
tata kota di Indonesia atau sebaliknya,
dan dapat pula menjadi medium yang
memberdayakan.
II. Interaksi Penataan Ruang dan
Perumusan Kebijakan: Senarai
Distorsinya di Indonesia
Dari perspektif hukum
administrasi, penataan ruang
sebagaimana dikenali menurut UU No.
26 Tahun 2007 merupakan suatu tata
cara operasional (administrasi sebagai
242
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indnesia, 1981) dalam
dalam Harsanto Nursadi (ed.), Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Center for Law and Good
Governance Studies dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016), hlm. 11.
243
Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi Negara Sektoral: Tindakan Administrasi Negara Bab dalam
Harsanto Nursadi (ed.), Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Center for Law and Good
Governance Studies dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016), hlm. 11.
244
Indonesia, Undang-Undang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN No. 68 Tahun 2007, TLN
No. 4725, Ps. 1 angka 5.
245
Indonesia, Ibid., Ps. 1 angka 5 juncto angka 13
proses)
242
yang muncul sebab adanya
tujuan berupa kondisi ruang tertentu
yang ditetapkan secara memaksa
(dwingend recht) dan juga berlaku
sebagai pedoman umum bagi
perumusan RTRW dan prinsip-prinsip
yang harus diperhatikan pada
pelaksanaannya.
243
UU No. 26 Tahun
2007 merangkai penataan ruang
sebagai suatu proses yang terdiri dari
tahapan berupa: 1) perencanaan tata
ruang, 2) pemanfaatan ruang, dan 3)
pengendalian pemanfaatan ruang.
244
Secara lebih terperinci,
perencanaan tata ruang merupakan
salah satu tahapan penataan ruang
yang terdiri dari rangkaian proses
penyusunan rencana tata ruang dan
penetapan rencana tata ruang.
245
Perencanaan tata ruang termasuk ke
dalam tindakan hukum publik atau
pernyataan kekuasaan organ
administrasi, dalam hal ini adalah
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
94
pemerintah menyusun rencana tata
ruang dan menimbulkan akibat hukum
tertentu berupa hak, kewenangan, dan
kewajiban dalam bidang penataan
ruang.
246
Hak, kewenangan, dan kewajiban
bagi pemerintah dan masyarakat
sebagaimana diatur dalam UU No. 26
Tahun 2007 merupakan basis bagi
pemetaan aktor dalam penataan
ruang.
247
Basis dari pemetaan aktor
penataan ruang diatur dalam Pasal 7
ayat (2) juncto ayat (3) UU No. 26 Tahun
2007 yang menetapkan kewajiban
atributif kepada pemerintah baik pusat
maupun daerah untuk
menyelenggarakan perancangan dan
pelaksanaan tata ruang dengan
keharusan untuk tetap menghormati
hak yang dimiliki orang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
248
Telaah semantik terhadap
ketentuan tersebut menunjukan bahwa
246
Ridwan HR, Hukum Administasi Negara (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Rajawali Press, 2013), hlm.
109-111.
247
Hak dan kewajiban masyarakat, secara individual diatur dalam Indonesia, Penataan Ruang,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725), Pasal 60-62. Di dalam undang-undang tersebut juga diatur
kewenangan Pemerintah pusat pada Pasal 8 dan 9 dan kewenangan pemerintah kota dalam Ps 11.
248
Ibid., Ps. 7 ayat (2) juncto ayat (3).
249
Michel de Certau, The Practice of Everyday Life, (Berkeley: University of California Press, 1984),
hlm. 113-116.
pengaturan tersebut menempatkan
pemerintah sebagai pemegang kendali
utama dalam perencanaan tata ruang,
sedangkan masyarakat, yang dalam
ketentuan tersebut dikenali dalam
satuan individual, dibahasakan
menjadi entitas pasif yang haknya tetap
dihormati. Walaupun pada bagian
selanjutnya, yakni Pasal 65 UU No. 26
Tahun 2007 diatur bahwa masyarakat
dapat berpartisipasi dalam
perencanaan tata ruang, semantik
pemetaan aktor penataan ruang dalam
UU No. 26 Tahun 2007 ini problematis
sebab masyarakat ditempatkan sebagai
subordinat dalam proses tersebut.
Padahal, sesungguhnya masyarakat lah
yang mengalami ruang tersebut sehari-
hari.
249
Selain pembahasaan di dalam UU
No. 26 Tahun 2007 yang membuat
pertentangan antara bagaimana
pemerintah yang membentuk ruang
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
95
dan masyarakat yang mengalaminya,
UU No. 26 Tahun 2007 juga tidak
memberikan peran aktif yang setara
antara pemerintah dan masyarakat
dalam penataan ruang, termasuk
bagaimana forum-forum yang terdapat
di dalam proses tersebut mampu
mengaktivasi peran masyarakat agar
lebih kontributif dan dipertimbangkan
sebagai aktor yang membentuk ruang
secara kolektif.
Selain melihat dari aktor yang
terlibat, investigasi terhadap
perencanaan tata kota sebagai suatu
pembentukan kebijakan juga perlu
ditelaah dari substansi yang menjadi
pertimbangan. Dalam hal ini, UU No.
26 Tahun 2007 mensyaratkan sejumlah
aspek yang menjadi perhatian sebagai
berikut:
250
1. kondisi fisik wilayah Indonesia
yang rentan terhadap bencana;
2. potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan; kondisi
ekonomi, sosial, budaya, politik,
hukum, pertahanan keamanan,
250
Ibid., Ps. 6 ayat (1).
lingkungan hidup, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi
sebagai suatu kesatuan; dan
3. geostrategi, geopolitik, dan
geoekonomi.
Lebih rinci lagi, Permen ATR/Ka.
BPN No. 1 Tahun 2018 mensyaratkan
berbagai data, informasi, serta olahan
ilmiah yang berbeda pada setiap
tahapan perencanaan kota. Untuk
tahapan persiapan perencanaan tata
kota, terdapat berbagai data yang
disyaratkan, diantaranya adalah data
dan informasi yang berkaitan dengan:
1) kependudukan; 2) sosial dan budaya
keruangan; 3) kondisi fisik lingkungan
perkotaan; 4) pengunaan lahan
eksisting; 5) peluang ekonomi dan
potensi lestari lingkungan hidup; 6)
sarana dan prasarana kota; 7) ekonomi
wilayah; 8) kemampuan keuangan
pembangunan daerah; 9) kelembagaan
pembangunan daerah; 10) kebijakan
bidang penataan ruang terkait; 11)
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) kota; 12)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
96
kebijakan sektoral; 13) pertanahan; 14)
klimatologi; 15) pasar properti
perkotaan; 16) utilitas perkotaan; 17)
pola mobilitas perkotaan; 18) profil
bangunan bersejarah dan bernilai
pusaka budaya; 19) izin pemanfaatan
ruang eksisting; dan 20) konektivitas
informasi.
251
Setelah tahap persiapan dan
pengumpulan data serta informasi,
dilanjutkan ke tahap pengolahan dan
analisis data. Permen ATR/Ka. BPN
No. 1 Tahun 2018 mensyaratkan
sejumlah analisis data untuk menjadi
bukti validitas perumusan rencana tata
kota yang setidaknya memuat:
252
1. analisis kebijakan spasial dan
sektoral;
2. analisis kedudukan dan
peran kota dalam wilayah
yang lebih luas;
3. analisis fisik wilayah;
251
Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Nomor PM 1 Tahun 2018, Lampiran III, hlm. 98-99.
252
Ibid., hlm. 100-102. Peraturan ini mengarahkan agar pengolahan dan analisis data dengan
kesebelas aspek sebagaimana terperinci pada badan teks untuk menjadi dasar bagi perumusan tujuan,
kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota, rencana struktur ruang, rencana pola ruang,
penetapan kawasan strategis kota, arahan pemanfaatan ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah kota. Ringkasan normatif aspek-aspek ini diatur dalam Ps. 7 ayat (3).
4. analisis sosial
kependudukan;
5. analisis ekonomi wilayah;
6. analisis sebaran ketersediaan
dan kebutuhan sarana dan
prasarana wilayah kota;
7. analisis penguasaan tanah
yang menghasilkan status
penguasaan tanah publik
dan privat;
8. analisis bentuk dan struktur
kota serta arah
pengembangannya dalam
kurun waktu perencanaan;
9. analisis lingkungan hidup;
10. analisis pengurangan resiko
bencana; dan
11. analisis kemampuan
keuangan pembangunan
daerah.
Olahan dan hasil analisis
terhadap kesebelas aspek di atas
beserta data dan informasi yang
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
97
menjadi referensi ini menunjukkan
bahwa perencanaan tata kota, secara
materiel merupakan perumusan
kebijakan yang berbasis bukti. Hal ini
juga dipertegas dengan adanya
ketentuan keahlian subjek yang terlibat
dalam proses perencanaan tata kota,
yakni pemerintah daerah kota beserta
tim ahli yang diketuai oleh profesional
perencana wilayah dan kota yang
bersertifikat dengan pengalaman di
bidang terkait minimal 10 (sepuluh)
tahun dan juga harus memiliki
pengalaman berpraktik di kota yang
rencana tata ruangnya hendak disusun.
Komposisi keahlian dari tim ahli
tersebut juga ditentukan yakni terdiri
dari bidang keahlian: 1) sistem
informasi geografis; survei dan
pemetaan; 3) ekonomi wilayah; 4)
infrastruktur; 5) transportasi; 6)
lingkungan; 7) kebencanaan; 8)
kependudukan; 9) sosial budaya; 10)
pertanahan; 11) hukum; dan bidang
keahlian lainnya yang sesuai dengan
253
Ibid., hlm. 95-96.
254
Nancy Cartwright, Evidence for Policy and Wheresoever Rigor is a Must, (London: The London
School of Economics and Political Science, 2012), hlm. 5 dan hlm. 84.
255
Ibid., hlm. 34-36.
256
Ibid., hlm. 35.
karakteristik wilayah.
253
Ketentuan
keahlian subjek yang terlibat pada
dasarnya memang merupakan salah
satu fitur prominen dari perumusan
kebijakan berbasis bukti.
254
Peran ahli
dalam perumusan kebijakan berbasis
bukti dianggap sebagai suatu
mekanisme yang menentukan validitas
internal dalam suatu perumusan
kebijakan.
255
Namun demikian, keberadaan ahli
dan mekanisme validasi internal
menurut Cartwright tidak menjadikan
suatu perumusan kebijakan berbasis
bukti lengkap. Mekanisme pembuktian
validitas secara eksternal tetap
diperlukan agar suatu proses ilmiah
dalam perumusan kebijakan publik
menjadi sahih ketika diterapkan secara
nyata pada target populasi.
256
Untuk
menguji relevansinya dengan target
populasi terkait, validasi eksternal
dapat dilakukan dengan beberapa
prosedur yang bersifat dialogis, seperti
diskusi dan debat yang dikaitkan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
98
dengan rujukan pada pengetahuan
yang sahih, proyeksi, dan praktik-
praktik lampau serupa pada target
populasi dari suatu kebijakan.
257
Pada rangkaian proses
perencanaan tata kota yang diatur
dalam Permen ATR/Ka. BPN No. 1
Tahun 2018, dalam tahapan
pengumpulan data dan informasi
diarahkan pula untuk melibatkan
masyarakat secara aktif yang
dilaksanakan melalui: 1) permintaan
data dan informasi perorangan
dan/atau kewilayahan yang
diketahui/dimiliki oleh masyarakat; 2)
permintaan masukan, aspirasi, dan
opini awal usulan rencana penataan
ruang; dan 3) penjaringan informasi
terkait potensi dan masalah penataan
ruang, untuk bersama seluruh data dan
informasi yang dipersyaratkan
kemudian didokumentasikan dalam
Buku Fakta dan Analisis.
258
Ketiga
sarana tersebut tidak tampak sebagai
suatu sarana yang cukup dialogis
257
Ibid., hlm. 35-36.
258
Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, op. cit.,
Lampiran III, hlm. 100.
259
Ibid., hlm. 103.
sebagai suatu validasi eksternal oleh
karena ketiga sarana tersebut terjadi
pada tahap pengumpulan data dan
informasi tanpa disertai dengan forum
diskursif dimana para pihak yaitu
pemerintah, tim ahli, dan masyarakat
melakukan suatu komunikasi
intersubjektif dan mengambil
keputusan.
Tampaknya, validasi eksternal
terhadap dokumentasi pengetahuan
dalam perencanaan tata kota baru
terjadi pada tahap penyusunan konsep
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota menurut Permen ATR/Ka. BPN
No. 1 Tahun 2018 dapat dilakukan
antara lain melalui konsultasi publik,
lokakarya, diskusi kelompok
terpumpun, seminar maupun bentuk
komunikasi 2 (dua) arah lainnya.
259
Namun demikian, Permen tersebut
tidak menjelaskan dalam hal apa dan
bagaimana forum tersebut
diselenggarakan.
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
99
Permen ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun
2018 terlalu fokus pada hal-hal apa saja
yang harus dilakukan oleh pemerintah
dan materi yang perlu turut serta
dalam merencanakan tata kota.
Padahal, terdapat hubungan yang
secara efektif saling mempengaruhi
antara organisasi ruang (organization of
space) dengan hubungan-hubungan
sosial. Akibatnya, masyarakat
teralienasi oleh suatu koersi baik dalam
proses penciptaan ruang (creation of
space) maupun dalam ruang yang
tercipta (created space).
260
Demikian,
kota menjadi ruang yang merupakan
produk pengetahuan dan imajinasi
yang dihendaki oleh yang berkuasa
atau pemerintah, berdasarkan Permen
ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun 2018.
Investigasi lebih lanjut mengenai
pembentukan pengetahuan dapat
ditelusuri melalui ko-produksi: suatu
upaya untuk memahami studi tentang
sains dan teknologi melalui dua rute.
Pertama, rute konstitutif yang mencoba
260
David Harvey, Social Justice and the City (Revised Edition), (London: The University of Georgia
Press, 2009), hlm. 310.
261
Sheila Jasanoff, The Idiom of Co-production dalam Sheila Jasanoff (ed.), States of Knowledge: The Co-
Production of Science and Social Order (New York: Routledge, 2004), hlm. 19.
untuk memahami bagaimana orang-
orang mempersepsikan elemen dari
alam dan masyarakat serta
memisahkan sebagian dari
pengalaman dan pengamatannya pada
suatu realitas yang terpisah dari politik
dan budaya. Kedua, rute interaksional
yang bertujuan untuk menjelaskan
keterkaitan antara praktik sosial dan
ilmiah yang terjadi dalam suatu tatanan
sosio-teknis yang ada dengan berfokus
pada konflik di dunia yang telah
terpisahkan ke dalam yang alami dan
sosial.
261
Dapat dipahami juga bahwa ko-
produksi merupakan proposisi
bagaimana manusia mengetahui dan
menampilkan dunia yang tidak
terpisah dengan berbagai cara untuk
hidup di dalamnya. Pengetahuan
berikut perwujudan materielnya secara
bersamaan merupakan produk dari
suatu upaya sosial dan bersifat
konstitutif atas dimensi sosial
kehidupan. Hal tersebut tertanam
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
100
dalam berbagai praktik sosial,
identitas, norma, kebiasaan, wacana,
instrumen, dan lembaga.
262
Sebagai
suatu kerangka analisis, ko-produksi
dapat ditinjau dari pembentukan
berbagai aspek, yakni:
263
1. identitas;
2. institusi;
3. diskursus; dan
4. representasi.
Kontur identitas pada ko-produksi
kota dalam UU No. 26 Tahun 2007 dan
Permen ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun
2018 tidak menunjukkan kepekaan
yang berarti. Permen ATR/Ka. BPN
No. 1 Tahun 2018 hanya menyebutkan
12 kelompok bidang keahlian yang
dibutuhkan dalam Tim Ahli
perencanaan tata kota. Selebihnya,
kedua peraturan perundang-undangan
tersebut tidak memberikan identifikasi
lain yang berkenaan dengan identitas
seperti kebangsaan, agama, gender,
kelas, afiliasi politik, maupun afiliasi
lainnya yang bersifat tunggal maupun
jamak bertindak dan berpengaruh
262
Ibid., hlm. 2-3.
263
Ibid., hlm. 6.
264
Amartya Sen, Identity and Violence, (London: Penguin Books, 2006), hlm. 35-45.
dalam ko-produksi kota.
264
Padahal,
bagaimana hukum menunjukkan
kepekaan maupun persepsi dirinya
terhadap identitas merupakan suatu
poin penting untuk lebih jauh
menerangkan seberapa representatif
suatu kebijakan dirumuskan, serta
bagaimana diskursus dan institusi
dibentuk.
Perlu dipahami bahwa, idealnya,
kerangka normatif tidak membatasi
persepsinya pada identitas tunggal.
Sebab, persepsi yang terbatas ini dapat
menciptakan ilusi yang berujung pada
kekerasan yang ditimbulkan dari
koersi untuk membatasi pengalaman
dan konsekuensi historis yang
ditanggung baik oleh individu maupun
kelompok dengan pembatasan pada
satu dimensi tertentu saja untuk
menjadi identitasnya. Pengenalan
terhadap identitas ini tetap diperlukan,
namun dilakukan dengan pendekatan
yang komprehensif sehingga dengan
jelas dapat diterangkan bagaimana
posisi dan perannya dalam kehidupan
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
101
bermasyarakat, termasuk dalam
aktualisasi kewarganegaraannya
265
seperti partisipasi dalam
merencanakan tata kota.
266
Institusi, dalam pengertiannya
sebagai subjek, yang terdapat dalam
perencanaan tata kota menurut UU No.
26 Tahun 2007 dan Permen ATR/Ka.
BPN No. 1 Tahun 2018 hanya merujuk
pada pemerintah dan masyarakat.
Maka, untuk memetakan distribusi
kekuasaan dalam penataan ruang
cukup dengan mengamati kedua
subjek tersebut. Meski demikian, perlu
diakui pula mengenai adanya berbagai
sistem lain yang mempengaruhi seperti
ekonomi dan politik.
Namun demikian, jika hendak
dikontekstualisasikan dengan
bagaimana skema perumusan
kebijakan berbasis bukti
mempengaruhi penataan ruang
265
Konsep kewarganegaraan dapat dibedah melalui perangkat teoretis (pasca) strukturalisme
yang mengenali kewarganegaraan sebagai salah satu bentuk subjektivisasi yang dibentuk melalui
proses diskursif antara kekuasaan dan pengetahuan. Hal ini dapat didalami lebih lanjut dalam Michel
Foucault, Madness and Civilisation, (London: Tavistock, 1967).
266
Alan Harding dan Talja Blokland, Op.cit, hlm. 37.
267
Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory, (New York:
Oxford University Press, 2007), hlm. 76.
268
Ibid., hlm. 63-86. Jasanoff mengkritik Latour yang pada hal tersebut kurang memperhatikan
konflik-konflik berdimensi moral dan politik yang pada umumnya menyertai pembentukan dan
jalannya suatu sistem pemerintahan.
sebagai suatu proses, actor-network
theory dari Bruno Latour dapat menjadi
suatu perangkat teoretis yang relevan.
Latour menjelaskan bagaimana actor-
network juga dapat memberikan agensi
kepada suatu hal yang non-manusia
(non-human).
267
Skema perumusan
kebijakan berbasis bukti memperkuat
agensi pengetahuan (sebagai agensi
non-manusia) dalam jejaring peran
yang ada pada suatu masyarakat.
Dalam hal itu pun, Latour mengakui
bahwa kekuasaan di sepanjang jejaring
tidak terdistribusi dengan setara
sekalipun di sepanjang jejaring tersebut
kekuasaan dikonfrontasi oleh berbagai
pertentangan. Bagaimanapun,
kekuasaan cenderung terkonsentrasi di
sekitar penguasa yang memegang
kendali terhadap berbagai instrumen-
instrumen sebagai perantaranya.
268
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
102
Jika skema perumusan kebijakan
berbasis bukti hendak diinkorporasi ke
dalam perencanaan tata kota, maka
hendaknya beberapa hal perlu
diketahui terlebih dahulu: Model
perumusan kebijakan berbasis bukti
apa yang akan digunakan? Bagaimana
status-quo penguasaan terhadap
instrumen-instrumen perencanaan tata
kota dan bagaimana perubahan yang
akan terjadi jika akan lebih
mengandalkan perumusan kebijakan
berbasis bukti? Bagaimana penguasaan
terhadap instrumen tersebut hendak
didistribusikan agar skema perumusan
kebijakan berbasis bukti sedapat
mungkin menghasilkan tata kota
menjadi representasi kehendak yang
paling demokratis?
Dalam hal pembentukan
diskursus, Permen ATR/Ka. BPN No. 1
Tahun 2018 tidak memberikan
gambaran yang jelas mengenai
bagaimana berbagai opsi forum dialog
publik yang disediakan ini dapat
269
Alan Harding and Talja Blokland, Op.cit, hlm. 36.
270
Craig Calhoun, Community without Propinquity Revisited: Communications Technology and
the Transformation of the Urban Public Sphere, Sociological Inquiry, Vol. 68, No. 3 August 1998, pp.
373-397, (Austin: University of Texas), hlm. 377-378.
menjadi suatu arena diskursif.
Peraturan teknis tersebut hanya
memberikan pilihan forum dialog
dengan publik tanpa disertai dengan
pengaturan yang lebih esensial
mengenai representasi yang sangat
berkepentingan dengan legitimasi
suatu kebijakan. Representasi ini
berkaitan dengan bagaimana forum
tersebut diselenggarakan dan hak-hak
setiap pihak yang terlibat di dalamnya
termasuk jika memiliki keberatan
terhadap data dan informasi, analisis,
maupun keputusan yang diambil.
Dengan pendekatan post-positivist¸
relasi antar subjek dan relasi antara
objek telaah dengan penelaah
(researcher and the researched)
269
tidak
terilustrasikan dalam peraturan
tersebut yang seharusnya sudah cukup
merinci kualitas dan basis struktural
dari diskursus.
270
Isu onto-epistemologi
dari subjektivitas penelaah memiliki
implikasi terhadap status dari
kebenaran yang disampaikan dalam
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
103
suatu diskursus publik. Isu metodologi
terletak pada subjektivitas dari objek
telaah yakni mengenai pentingnya
menemukan pengalaman yang terjadi
pada alam life-world dengan
sedemikian representatif terhadap
kenyataan.
271
Hal demikian esensial
untuk dijabarkan karena kondisi
masyarakat tidak setara dengan
berbagai kesenjangannya, terdapat
kelompok minoritas yang perlu
dilindungi dari tirani mayoritas dan
menciptakan kesempatan yang
beragam dalam diskursus publik.
272
III. Persepsi Geografi Kritis atas
Penataan Kota: Trajektori Ideal
Studi geografi kritis merupakan
bagian dari studi kritis yang berupaya
untuk memahami secara rasional
segala karakter penindasan yang
terdapat di masyarakat dan
mendorong pembacanya turut
271
Alan Harding and Talja Blokland, op. cit., hlm. 37.
Bruno Latour dalam Sheila Jasanoff, States of Knowledge, menjelaskan bahwa pemisahan tersebut
(nature-culture divide) adalah mekanisme komunitas barat memilah dari sekian banyak jaringan
hibrida yang melandasi eksistensi kognitif dan material komunitasnya menjadi ‘alam’ dan
‘budaya’.
272
Craig Calhoun, op. cit, hlm. 386.
273
Nicholas Blomley, Uncritical Critical Geography?, Progress in Human Geography 30, 1 (2006),
hlm. 88.
274
Ibid., hlm. 92.
berkomitmen dalam praksis
transformatif yang membebaskan
korban penindasan dari segala bentuk
ketidakadilan.
273
Secara khusus,
geografi kritis membuka disiplin
geografi untuk berinteraksi secara
intelektual dengan berbagai disiplin
lain yang dapat menguraikan
penindasan maupun kesenjangan yang
terjadi sekaligus membentuk kembali
konsep tentang kemungkinan relasi
sosio-spasial. Lebih jauh dari
identifikasi ilmiah dan penjabaran
teoretis, studi geografi kritis
berkomitmen untuk melakukan
transformasi melalui praksis progresif,
di antaranya dengan menjadikan
pengetahuan sebagai katalis
pemberdayaan untuk melawan
penindasan dan mewujudkan imajinasi
ruang yang setara.
274
Salah satu gagasan paling penting
dalam praktik dan teori pengetahuan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
104
dan pemerintahan (knowledge and
governance) adalah ko-produksi yang
diusung oleh Jasanoff. Ko-produksi
sejalan dengan studi geografi kritis
dalam menjadikan pengetahuan
sebagai salah satu modalitas
pemberdayaan untuk mewujudkan
ruang yang setara. Hal ini karena ko-
produksi memiliki suatu persepsi
utama dimana pengetahuan, tindakan,
dan identitas bersifat saling bergantung
dan berpengaruh satu sama lain.
275
Jasanoff menjelaskan, presentasi
dari fakta dan hipotesis ilmiah kerap
diterapkan secara beragam (multifacade)
bergantung dengan identitas sang
penutur dan peserta-kepada siapa
gagasan tersebut disampaikan.
276
Objektivitas pengetahuan ketika
diterapkan dalam perumusan
kebijakan publik, dengan sendirinya
menempatkan pengetahuan itu sendiri
dalam kontestasi. Hal ini karena
perumusan kebijakan publik dalam
49 Sheila Jasanoff, The Idiom of Co-production dalam Sheila Jasanoff (ed.), States of Knowledge: The Co-
Production of Science and Social Order, (New York: Routledge, 2004), hlm. 3-11.
276
Sheila Jasanoff, Contested Boundaries in Policy-Relevant Science, Social Studies of Science, Vol.
17 No. 2 (May 1987), pp. 195-230, hlm. 195-197.
277
Ibid., hlm. 198-209.
278
Henri Lefebvre, op. cit, hlm. 112.
suatu pemerintahan memiliki kerangka
proses yang juga diciptakan oleh
politik dan menjadi manifes suatu
kekuasaan formal dengan
dilembagakannya ke dalam suatu
peraturan perundang-undangan
tertentu yang mengatur siapa saja
aktor-aktor yang dilibatkan, bagaimana
mereka terlibat (hak, kewajiban, alur,
proses), dan sejauh apa dialektika
dimungkinkan di dalamnya.
277
Penataan ruang sebagai salah satu
perumusan kebijakan publik perlu
memikirkan bagaimana elemen-elemen
tersebut hendak dikonstruksikan.
Salah satu pengonsepan ulang
yang merupakan bagian dari tradisi
intelektual kritis ini dilakukan oleh
Henri Lefebvre terhadap ruang.
Menurutnya, ruang bukan semata
kenyataan material pasif yang bebas
nilai terhadap segala yang terjadi di
dalamnya.
278
Pengonsepan ulang yang
dilakukan oleh Lefebvre menghasilkan
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
105
3 (tiga) wujud ruang, yaitu:
279
1) space as
perceived (representation of space)
menjelaskan representasi sebagai
bentuk instrumental dari pengetahuan
yang secara inheren mereduksi
pengalaman empiris untuk
menghadirkan representasi terbatas
dan biasanya narasi ini disampaikan
dalam bentuk tulisan;
280
2) space as
conceived (representational space) yakni
ruang sebagai suatu dimensi empiris
yang menjadi tempat hidupnya
berbagai material substantif sekaligus
simbolis dan biasanya terwujud
melalui seni atau penggambaran
manusia terhadap ruang yang dekat
secara emosional dengan
kesehariannya;
281
dan 3) space as lived
(spatial practice/phenomenological space)
pada pengertian ini ruang dipahami
dalam dimensi proseduralnya yakni
sebagai suatu format sosio-spasial yang
279
Ibid., hlm. 33 bandingkan dengan Alan Harding and Talja Blokland, op. cit, hlm. 176.
280
Henri Lefebvre, op. cit, hlm. 43-47, 163-164. Lefebvre juga menyatakan dalam hlm. 230:
The object of knowledge is, precisely, the fragmented and uncertain connection between elaborated
representations of space on the one hand and representational spaces (along with their underpinnings)
on the other; and this object implies (and explains) a subjectthat subject in whom lived, perceived and
conceived (known) come together within a spatial practice. ‘Our’ space thus remais qualified (and
qualifying) beneath the sediments left behind by history, by accumulation and by quantification.
281
Ibid., hlm. 33 dan hlm. 41-42.
282
Ibid., hlm. 33, 42-45, 64, dan 298.
283
Neil Brenner and Christian Schmid, Towards a New Epistemology of the Urban?, City:
Analysis of Urban Trends, Culture, Theory, Policy, and Action, 19:2-3 (2015), pp. 151-182, hlm. 155.
secara dialektis memproduksi,
diproduksi, dan direproduksi. Sebagai
suatu kenyataan fenomenologis,
menurut Lefebvre, ruang terlebih
dahulu dialami sebelum dikonsepsikan
dengan perpaduan ideologi dan
pengetahuan dalam suatu praksis
sosial.
282
Ketiga wujud ruang tersebut
merupakan dukungan argumentatif
dari pandangan yang disampaikan
Lefebvre yang menyatakan bahwa saat
ini ruang perlu dibayangkan dan
dikonsepsi kembali sebagai suatu
prasyarat politik dan epistemologi
untuk memahami masyarakat.
283
Sayangnya, secara akademis sekalipun,
baik studi geografi kritis maupun
urban kritis di Indonesia masih menjadi
titik buta. Padahal, untuk dapat
menentukan modus produksi ruang
yang sesuai dengan konstitusi spasial,
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
106
sejarah, dan perubahan yang
berlangsung, perlu perjuangan kolektif
yang melintasi batasan-batasan disiplin
untuk membedah dan memahami
berbagai hal yang relevan.
Pembedahan ini dilakukan terutama
dengan menghadirkan kelompok
rentan yang teralienasi karena sistem
atau kooptasi dominan tertentu, ke
dalam diskursus publik.
284
Tren perumusan kebijakan berbasis
bukti pada dasarnya membuka potensi
bagi aktivitas ilmu pengetahuan untuk
menjadi alat yang menghadirkan
persepsi lain dan menyetarakan
kekuasaan narasi dominan. Di sisi lain,
perumusan kebijakan berbasis bukti
pada dasarnya juga dapat lebih jauh
mengasingkan kenyataan kelompok
terpinggir karena status quo
penguasaan ilmu pengetahuan pun
berada pada tangan yang sama dengan
multi-nodal superiority dari kapital dan
politik yang memiliki kemampuan
untuk menjaga eksklusivitas sumber
284
David Harvey, Op. Cit, hlm. 261-262.
285
Sheila Jasanoff, op. cit, hlm. 2.
286
Karl Marx, Capital: Critic of Political Economy, (London: Penguin Classics, 2004), hlm. 875
287
Alan Harding dan Talja Blokland, Op. Cit, hlm. 35.
daya untuk kepentingannya, termasuk
ilmu pengetahuan. Hal ini dapat
terlihat misalnya dari cari pandang
yang hanya mengakui metodologi
restriktif dalam perumusan kebijakan
berbasis bukti.
285
Untuk itu, perlu
disadari bahwa ilmu pengetahuan
yang menjadi bahan pokok dalam
perumusan kebijakan berbasis bukti ini
diakui sebagai suatu sumber daya yang
perlu dikuasai secara adil agar dalam
konteks ko-produksi kebijakan berbasis
bukti, publik yang merupakan
produsen tidak terceraikan dari sarana
produksinya.
286
Lebih jauh lagi, kritik-kritik
Marxist soal penguasaan ilmu
pengetahuan juga pada pokoknya
mengetengahkan fungsi pengetahuan
sebagai suatu agensi yang oleh
karenanya tidak hanya semata-mata
berfokus pada penemuan kebenaran
objektif, melainkan perlu juga untuk
memperhatikan aspek-aspek
subjektif.
287
Oleh karenanya, untuk
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
107
menghindarkan dari bencana
“akumulasi dengan perampasan”
(accumulation by dispossesion)
288
sebagaimana yang telah terjadi pada
berbagai sarana produksi lainnya, ilmu
pengetahuantermasuk metodologi
dan riset yang menjadi sarana politis
dalam diskursus publik yang
dilakukan dengan pluralisasi pusat-
pusat deliberasi politik itu sendiri.
289
Kota sebagai suatu ruang,
merupakan kenyataan substansial
sekaligus arena diskursif yang terus
memproduksi dan mereproduksi
maknanya secara kolektif.
290
Dengan
demikian, pendekatan teori urban
kritis, dalam wujud abstrak kota ini
memberikan kesempatan untuk
288
David Harvey, Spaces of Capital: Towards a Critical Geography, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 2001), hlm. 281.
289
Myra Marx Ferree, et. al., Four Models of the Public Sphere in Modern Democracies, Theory
and Society 31 (2002), hlm. 300.
290
Henri Lefebvre, Op. Cit, hlm. 402-405.
291
Neil Brenner, What is Critical Urban Theory?, in Neil Brenner (ed.), Cities for People, Not For Profit,
(New York: Routledge, 2012), hlm. 22.
It insists that another, more democratic, socially just, and sustainable form of urbanization is possible,
even if such possibilities are currently being suppressed through dominant institutional arrangements,
practices, and ideologies. In short, critical urban theory involves the critique of ideology (including
social-scientific ideologies) and the critique of power, inequality, injustice, and exploitatopm, at once
within and among cities.
292
David Harvey, Justice, Nature and The Geography of Difference, (Oxford: Blackwell, 1996), hlm. 296
bandingkan dengan. Henri Lefebvre. Op.cit., hlm. 112.
293
Andy Merrifield, The Right to The City and Beyond: Notes on a Lefebvrian
Reconceptualization, City, Vol. 15 Nos. 3-4, June-August (2011), hlm. 472.
294
Benedict Spinoza, Theological-Political Treatise, Ed. Jonathan Israel, Trans. Michael Silverthorne
and Jonathan Israel, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007) hlm. 202.
membayangkan kembali konsep kota
yang ideal.
291
Perencanaan tata kota
merupakan salah satu arena
perumusan kebijakan publik yang
dapat menjadi sarana bagi masyarakat
untuk melakukan perlawanan atau
berpartisipasi dalam pemerintahan.
Peran ini diperlukan untuk
mewujudkan kehendak kolektifnya
dalam membentuk kota sebagai suatu
lanskap politik dan merealisasikan
imajinasi keruangannya.
292
Perencanaan tata kota merupakan
suatu praksis aktif
293
dimana
masyarakat baik secara individual
maupun kolektif berdemokrasi untuk
mewujudkan kesetaraan.
294
Perencanaan tata kota sebagai praksis
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
108
aktif juga disampaikan oleh Fainstein
yang mengutarakan bahwa hal tersebut
merupakan tindakan berkesadaran
dalam menentukan tujuan dan cara
perkembangan suatu kota atau wilayah
urban. Menurut Fainstein, praksis aktif
tersebut mengutamakan pada
mekanisme perumusan kebijakan yang
ditentukan secara kolektif.
295
Menurut telaah teori kritis
296
perencanaan tata kota tidak tidak
hanya dilakukan dengan menentukan
tujuan atau imajinasi tata kota secara
kolektif saja, tetapi juga dengan
menentukan mekanisme perumusan
tujuan itu secara kolektif berdasarkan
nilai kesetaraan, demokrasi,
keberagaman, dan mutualitas.
297
Maka,
penting untuk merumuskan bersama
bagaimana perencanaan tata kota pada
khususnya dapat memastikan bahwa
secara prosedural, masyarakat,
pemerintah, dan berbagai pemangku
295
Susan Fainstein, Can We Make the Cities We Want?, dalam Sophie Body-Gendrot and Robert
Beauregard (eds)., The Urban Moment, (Thousand Oaks: Sage, 1999), hlm. 249-250.
296
Fainstein dalam Susan Fainstein, Justice, Politics and the Creation of Urban Space, pp. 18-44, dalam
Andy Merrifield and Erik Swyngendouw, eds., The Urbanization of Injustice, (New York: New York
University Press, 1997), menguraikan bahwa secara umum pendekatan teori kritis terhadap studi urban
kontemporer mencakup tiga pendekatan yaitu: 1) ekonomi politik, 2) pascastrukturalisme, dan 3)
populisme urban.
297
Susan Fainstein, Can We Make the Cities We Want?, op. cit. hlm. 250
298
Ibid., hlm. 249.
kepentingan dengan setara dapat
menjalani diskursus tersebut. Hal ini
juga penting untuk mendapatkan akses
yang setara ke berbagai sumber daya
yang relevan seperti informasi publik
dan akuntabilitas sumber daya yang
menjadi bahan pertimbangan
pengambilan keputusan dalam
penataan kota. Artinya, peraturan
perundang-undangan yang menjadi
pedoman penataan kota selain
mengatur kewenangan pemerintah
dalam bidang tersebut perlu juga
mengatur hak masyarakat dalam
penataan kota. Hak ini antara lain
mencakup prosedural keterlibatan
pada penataan kota dan juga hak
substantif lainnya yang berkaitan
dengan penataan kota seperti hak atas
tanah, akses terhadap ruang publik,
informasi publik, layanan perkotaan,
dan kualitas lingkungan hidup yang
layak.
298
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
109
Pentingnya pelibatan masyarakat
secara aktif dalam berbagai bidang
pemerintahan termasuk tata ruang
memiliki urgensi dari aspek peran
keaktoran dalam kewarganegaraan
(citizenship). Peran masyarakat perlu
lebih jauh dilembagakan dalam
penataan kelembagaan serta dimensi
normatif dari reformasi hukum dan
politik yang tuntutannya saat ini
semakin meningkat. Kelestarian dan
kualitas demokrasi kontemporer
sangat mengandalkan desain
institusional dan kultur wargawi
299
yang aktif.
300
Hal ini selain perlu
dilembagakan dengan kokoh juga
perlu dipertahankan termasuk dengan
cara yang memungkinkan masyarakat
untuk terlibat dalam membentuk dan
menguji institusi beserta keputusan
yang dibuatnya.
299
Wargawi adalah kultur yang terbangun secara dinamis oleh komunitas yang menjadi warga.
300
Robertus Robet dan Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx Sampai
Agamben, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017), hlm. 16.
301
Andy Merrifield, The Right to The City and Beyond: Notes on a Lefebvrian
Reconceptualization, City, Vol. 15 No. 3-4, June-August 2011, hlm. 469-473.
IV. Penutup: Ko-produksi Ruang
dalam Trajektori Hukum
Penataan Kota Indonesia
Ko-produksi yang dituturkan oleh
Jasanoff mengetengahkan poin penting
mengenai perumusan kebijakan yang
dalam hal ini adalah penataan kota
berbasis bukti (evidence-based city
planning) untuk mengarah ke
peningkatan diskursus dan
representasi. Sebagaimana Jasanoff
mengutip Sartre, kegagalan untuk
menghadirkan representasi dan
diskursus hanya akan menjadikan
perumusan kebijakan publik yang
practico-inert dimana penataan kota
menjadi sarana kebijakan publik yang
dilakukan oleh penguasa untuk
meminggirkan masyarakat. Lebih
spesifik lagi, sebagaimana yang
dituturkan oleh Merrifield, kegagalan
membentuk kultur penataan kota
sebagai suatu praksis aktif hanya akan
mewujudkan kota sebagai suatu
totalitas pasif.
301
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
110
Jasanoff dan jejak pemikiran
geografi kritis menyimpulkan bahwa
pengetahuan, sebagai salah satu
modalitas penataan kota, dapat
dikelola menjadi suatu kekuatan yang
refleksif dan mengkonsolidasi
kekuasaan. Gagasan ideal ini juga telah
disinggung oleh Lefebvre yaitu
penataan ruang sebagai suatu praksis
yang dapat membaurkan berbagai
dimensi praksis secara bersamaan,
terutama untuk menjadi tindakan
afirmatif terhadap kelompok yang
secara representatif dan empiris
mengalami diskriminasi.
302
Terakhir, kedua ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam
bidang penataan kota yang berlaku di
Indonesia sebagaimana diulas dalam
tulisan ini belum mengakomodasi
syarat institusional diskursus ideal
tersebut. Sebagian besar ketentuan
perundang-undangan masih sebatas
mengatur tentang kewenangan yang
dimiliki pemerintah dalam penataan
ruang dan mengakui adanya hak
masyarakat untuk terlibat. Sehingga,
302
Henri Lefebvre, Metaphilosophy, (London: Verso, 2016), hlm. 77.
untuk berkomitmen dalam penataan
ruang sebagai suatu praksis aktif,
pengaturan mengenai dimensi hak
prosedural dalam penataan ruang
penting untuk diatur dan diterapkan
agar medium prosedural tersebut
dapat berperan efektif pula sebagai
suatu ruang demokrasi produksi ruang
yang memberdayakan.
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
111
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Penataan
Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN
No.68 Tahun 2007, TLN No. 4725.
Indonesia, Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional, Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional tentang
Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi, Kabupaten dan
Kota, Nomor PM 1 Tahun 2018.
Buku
Agger, Ben. Critical Social Theories: An
Introduction. Boulder: Westview
Press. 1998.
Allmendinger, Phillip. Planning in Post
Modern Time. New York:
Routledge. 2001.
Bassett, Sarah Mina. The Role of Spatial
Justice in The Regeneration of
Urban Spaces. Illinois: University
of Illinois. 2013.
Brenner, Neil. Cities for People, Not for
Profit: Critical Urban Theory and
the Right to the City. Edited by
Margit Mayer, Neil Brenner and
Peter Marcuse. New York:
Routledge. 2012.
Brown, Alison, and Annali Kristiansen.
Urban Policies and the Right to the
City: Rights, Responsibilities, and
Citizenship. Geneva: UNESCO
and UN Habitat. 2009.
Cartwright, Nancy. Evidence for Policy
and Wheresoever Rigor is a Must.
London: The London School of
Economics and Political Science.
2012.
Certau, Michel de. The Practice of
Everyday Life. Berkeley:
University of California Press.
1984.
Chadwick, George. A Systems View of
Planning Theory: Towards a
Theory of the Urban and Regional
Planning Process. Oxford:
Pengamon Press. 1981.
Craig(ed.), Calhoun. Habermas and the
Public Sphere. Cambridge, MA:
MIT Press. 1992.
Goldblum, Charles. Urban Policies in
South-East Asia: Questioning the
Right to the City. Geneva:
UNESCO and UN Habitat. 2006.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
112
Habermas, Jürgen. Between Facts and
Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and
Democracy. Cambridge, MA:
MIT Press. 1996.
_____. Postmetaphysical Thinking.
Cambridge, MA: MIT Press.
1994.
Harding, Alan, and Talja Blokland.
Urban Theory: A Critical
Introduction to Power, Cities, and
Urbanism in the 21st Century.
London: Sage Publisher. 2014.
Harvey, David. Justice, Nature, and the
Geography of Difference. Oxford:
Blackwell. 1996.
_____. Social Justice and the City. Revised
Edition. London: The University
of Georgia Press. 2009.
_____. Spaces of Capital: Towards a
Critical Geography. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
2001.
Hubbard, Phil. et. al. Thinking
Geographically: Space, Theory and
Contemporary Human Geography.
London: Bloomsbury
Publishing. 2002.
Hunter, Floyd. Community Power
Structure: A Study of Decision
Makers. Chapel Hill: University
of North Carolina Press. 1953.
Jasanoff, Sheila. States of Knowledge: The
Co-Production of Science and Social
Order. New York: Routledge.
2004.
Jasanoff, Sheila. "The Idiom of Co-
Production ." In States of
Knowledge: The Co-Production of
Science and Social Order, by Sheila
Jasanoff (ed.). New York:
Routlegde. 2004.
Latour, Bruno. Reassembling the Social:
An Introduction to Actor-Network-
Theory. New York: Oxford
University Press. 2007.
Lefebvre, Henri. Metaphilosophy.
London: Verso. 2016.
_____. The Production of Space.
Massachusetts: Blackwell. 1991.
Marx, Karl. Capital: Critic of Political
Economy. London: Penguin
Classics. 2004.
Merrifield, Andy, and Erik
Swyngendouw (eds.). The
Urbanization of Injustice. New
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
113
York: New York University
Press. 1997.
Nursadi, Harsanto. Hukum Administrasi
Negara Sektoral, Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2016.
Palermo, Pier Carlo, dan David
Ponzini. Spatial Planning and
Urban Development: Critical
Perspectives. New York:
Springer. 2010.
Robet, Robertus, and Hendrik Boli
Tobi. Pengantar Sosiologi
Kewarganegaraan: Dari Marx
sampai Agamben. Tangerang
Selatan: Marjin Kiri. 2017.
Sager, Tore. Collective Action: Balancing
Public and Particularistic Interests.
dalam The Oxford Handbook of
Urban Planning, by Rachel
Weber and Randall Crane, 26-41.
New York: Oxford University
Press. 2012.
Sen, Amartya. Identity and Violence.
London: Penguin Books. 2006.
Soja, Edward. Seeking Spatial Justice.
Minneapolis: University of
Minnesota Press. 2010.
Spinoza, Benedict. Theological-Political
Treatise. Edited by Jonathan
Israel. Translated by Michael
Silverthorne and Jonathan Israel.
Cambridge: Cambridge
University Press. 2007.
Tonkiss, Fran. Space, the City and Social
Theory: Social Relations and Urban
Forms. Cambridge: Polity. 2005.
Weber, Rachel, and Randall Crane. The
Oxford Handbook of Urban
Planning. New York: Oxford
University Press. 2012.
Artikel
Agger, B. (1998). Critical Social Theories:
An Introduction. Boulder:
Westview Press.
Allmendinger, P. (2001). Planning in
Post Modern Time. New York:
Routledge.
Bassett, S. M. (2013). The Role of Spatial
Justice in The Regeneration of
Urban Spaces. Illinois: University
of Illinois.
Blomley, N. (2006). Uncritical Critical
Geography? Progress in Human
Geography, 30, 87-94.
Brenner, N., & Schmid, C. (2015).
Towards a New Epistemology
of the Urban? City: Analysis of
Urban Trends, Culture, Theory,
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
114
Policy, and Action, 19(2-3), 151-
182.
Brown, A., & Kristiansen, A. (2009).
Urban Policies and the Right to the
City: Rights, Responsibilities, and
Citizenship. Geneva: UNESCO
and UN Habitat.
Calhoun, C. (1998, August).
Community without
Propinquity Revisited:
Communications Technology
and the Transformation of the
Urban Public Sphere.
Sociological Inquiry, 68(3), 373-
397.
Cartwright, N. (2012). Evidence for
Policy and Wheresoever Rigor is a
Must. London: The London
School of Economics and
Political Science.
Certau, M. d. (1984). The Practice of
Everyday Life. Berkeley:
University of California Press.
Chadwick, G. (1981). A Systems View of
Planning Theory: Towards a
Theory of the Urban and Regional
Planning Process. Oxford:
Pengamon Press.
Craig(ed.), C. (1992). Habermas and the
Public Sphere. Cambridge, MA:
MIT Press.
Elliott, M. (2014). History and Theories
of Planning. School of City and
Regional Planning Georgia
Technological University. Atlanta.
Fainstein, S. (1997). Justice, Politics and
the Creation of Urban Space. In
A. Merrifield, & E.
Swyngendouw (eds.), The
Urbanization of Injustice (pp. 18-
44). New York: New York
University Press.
Ferree, M. M., Gamson, W. A.,
Gerhards, J., & Rucht, D. (2002).
Four Models of the Public
Sphere in Modern Democracies.
Theory and Society, 31, 289-324.
Goldblum, C. (2006). Urban Policies in
South-East Asia: Questioning the
Right to the City. Geneva:
UNESCO and UN Habitat.
Habermas, J. (1994). Postmetaphysical
Thinking. Cambridge, MA: MIT
Press.
Habermas, J. (1996). Between Facts and
Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and
Democracy. Cambridge, MA:
MIT Press.
Harding, A., & Blokland, T. (2014).
Urban Theory: A Critical
Introduction to Power, Cities, and
Urbanism in the 21st Century.
London: Sage Publisher.
Harvey, D. (1996). Justice, Nature, and
the Geography of Difference.
Oxford: Blackwell.
Harvey, D. (2001). Spaces of Capital:
Towards a Critical Geography.
Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Shafira Anindita Alif Hexagraha
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
115
Harvey, D. (2009). Social Justice and the
City (Revised Edition ed.).
London: The University of
Georgia Press.
Hubbard, P., Bartley, B., Fuller, D., &
Kitchin, R. (2002). Thinking
Geographically: Space, Theory and
Contemporary Human Geography.
London: Bloomsbury
Publishing.
Hunter, F. (1953). Community Power
Structure: A Study of Decision
Makers. Chapel Hill: University
of North Carolina Press.
Jasanoff, S. (2004). States of Knowledge:
The Co-Production of Science and
Social Order. New York:
Routledge.
Jasanoff, S. (2004). The Idiom of Co-
Production . In S. J. (ed.), States
of Knowledge: The Co-Production
of Science and Social Order. New
York: Routlegde.
Latour, B. (2007). Reassembling the
Social: An Introduction to Actor-
Network-Theory. New York:
Oxford University Press.
Lefebvre, H. (1991). The Production of
Space. Massachusetts: Blackwell.
Lefebvre, H. (2016). Metaphilosophy.
London: Verso.
Marx, K. (2004). Capital: Critic of
Political Economy. London:
Penguin Classics.
Merrifield, A. (2011, June-August). The
Right to the City and Beyond:
Notes on a Lefebvrian
Reconceptualization. City, 15(3-
4), 468-476.
Merrifield, A., & Swyngendouw (eds.),
E. (1997). The Urbanization of
Injustice. New York: New York
University Press.
Nursadi, H. (2016). Hukum
Administrasi Negara Sektoral:
Tindakan Administrasi Negara.
In H. N. (ed.), Hukum
Administrasi Negara Sektoral.
Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Palermo, P. C., & Ponzini, D. (2010).
Spatial Planning and Urban
Development: Critical Perspectives.
New York: Springer.
Robet, R., & Boli Tobi, H. (2017).
Pengantar Sosiologi
Kewarganegaraan: Dari Marx
sampai Agamben. Tangerang
Selatan: Marjin Kiri.
Sager, T. (2012). Collective Action:
Balancing Public and
Particularistic Interests. In R.
Weber, & R. Crane, The Oxford
Handbook of Urban Planning (pp.
26-41). New York: Oxford
University Press.
Sen, A. (2006). Identity and Violence.
London: Penguin Books.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
116
Soja, E. (2010). Seeking Spatial Justice.
Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Spinoza, B. (2007). Theological-Political
Treatise. (J. Israel, Ed., M.
Silverthorne, & J. Israel, Trans.)
Cambridge: Cambridge
University Press.
Tonkiss, F. (2005). Space, the City and
Social Theory: Social Relations and
Urban Forms. Cambridge: Polity.
Weber, R., & Crane, R. (2012). The
Oxford Handbook of Urban
Planning. New York: Oxford
University Press.
Article
Full-text available
Perkembangan penelitian hukum menunjukkan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam menelaah isu hukum. Selain itu, isu hukum juga perlu ditelaah lebih kritis dan tidak melihatnya sebagai produk dari ruang vakum tanpa pengaruh faktor non-hukum. Tulisan ini menjelaskan perkembangan wacana geografi hukum kritis serta teori produksi ruang sosial dan keadilan spasial yang terkait dengan wacana tersebut. Pendekatan interdisipliner dengan berbagai teori kritis tersebut telah dikembangkan dalam kajian hukum tata ruang dengan kerangka geografi hukum kritis. Namun kajian hukum tata ruang di Indonesia belum banyak mengembangkan wacana tersebut dalam menelaah persoalan perkotaan. Hanya sedikit penelitian hukum tata ruang di Indonesia yang menggunakan perspektif geografi hukum kritis berdasarkan penelusuran yang diuraikan di tulisan ini. Padahal sebenarnya persoalan perkotaan di Indonesia serupa dengan fenomena yang menjadi latar belakang dari munculnya wacana geografi hukum kritis. Oleh karena itu, kajian hukum tata ruang di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih filosofis dan kritis. Berbagai pendekatan baru yang berkembang dalam filsafat hukum, salah satunya adalah studi hukum kritis, dapat menjadi metode analisis untuk menganalisis pengaruh ekonomi dan kekuasaan terhadap tata ruang di Indonesia.
Article
Full-text available
This article explores the concept of living law from spatio-temporal and emotional approach. Understood as a dynamic interplay process, living law basically carries a collective emotional-legal landscape aspect in it, in which three aspects of law, emotion, and landscape are shaping and being reproduced. Based on the semantic findings in decency-related court decisions, this article argues that sensing the living law is to be understood as seeing the physical legal landscape, believing the emotional common sense, and anticipating guided by communitarian atmosphere. The (legal) daily experiences captured in the case-laws are essentially assemblages of various meanings and spaces tied up homogeneously in an ideologically manner. Through this examination, living law will look increasingly more complex, unstable, and non-linear, especially in terms of its performativity – which on the one hand law constitutes negative impacts on vulnerable groups, and on the other hand, it has the potential to facilitate social transformation.
Chapter
Full-text available
This article explores important motivations for urban planning, focusing on legitimation, the concept of public interest, and the communicative (collaborative) mode of planning. It offers a brief account of planning as uncertainty reduction, and discusses the contemporary planning debate on the public interest and related themes. The article identifies extensive dialogue as communicative planning theory's solution to the problem of public interest and highlights the role of planning in helping to legitimize political decisions.
Chapter
A vital but often neglected part of the urban restructuring of Los Angeles has been a resurgent activism that has created some of the most innovative urban social movements in the country. The Justice Riots of 1992, as they are now called, stimulated vigorous grassroots and place-based coalitions of labor unions and community-based organizations seeking to deal with the enormous inequalities and injustices brought about by globalization and the formation of the New Economy. Affected to some degree by the critical spatial perspective espoused by the Los Angeles research cluster, these new coalitions were among the earliest in the United States to adopt specifically spatial strategies, and in these cases, thinking spatially about justice made a difference. This spatial turn in the justice movement is traced through three organizations: the Bus Riders Union and its initiating sponsor, the Labor/Community Strategy Center; the Los Angeles Alliance for a New Economy (LAANE); and, most recently, the Right to the City Alliance.
Book
The Oxford Handbook of Urban Planning is an authoritative volume on planning, a long-established professional social science discipline in the U.S. and throughout the world. Edited by Rachel Weber and Randall Crane, professors at two leading planning institutes in the United States, this handbook collects together over 45 noted field experts to discuss three key questions: Why plan? How and what do we plan? Who plans for whom? These three questions are then applied across three major topics in planning: States, Markets, and the Provision of Social Goods; The Methods and Substance of Planning; and Agency, Implementation, and Decision Making. Covering the key components of the discipline, this book is a comprehensive, discipline-defining text suited for students and seasoned planners alike.