Content uploaded by Baikuni Perdana
Author content
All content in this area was uploaded by Baikuni Perdana on Mar 31, 2020
Content may be subject to copyright.
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |1
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia
oleh: Ahmad Baikuni Perdana
Smart City menjadi salah satu konsep yang paling menarik bagi kota-kota di
Indonesia dalam mengarahkan pengembangannya. Permulaan trend penggunaan
konsep ini masih belum dapat dipastikan latar belakangnya. Kemungkinan karena
adanya inisiasi Gerakan Menuju 100 Smart City oleh pemerintah dengan Kominfo
sebagai corong utamanya. Atau bisa jadi karena “Smart City” terdengar keren dan
lebih menjual sebagai merek.
Berbagai kabupaten dan kota di Indonesia sudah menyematkan “Smart City” pada
konsep pengembangan kotanya, baik sebagai pedoman dalam menata kotanya,
branding, maupun hanya sebatas produk dalam kampanye. Namun, hal tersebut
tentunya perlu untuk dikaji lebih lanjut, apakah kota-kota yang menyematkan nama
konsep tersebut memiliki keseriusan dalam memanfaatkannya sebagai basis
pengembangan kota, atau hanya sebatas merek saja.
Terlepas dari hal tersebut, banyaknya daerah yang mempercayai konsep ini untuk
menyelesaikan masalah perkotaan. Namun, tentunya tidak cukup hanya sebatas
gagasan semata. Diperlukan perencanaan yang komprehensif, baik itu dari segi
implementasi teknologinya, maupun kesiapan dari aspek fisik dan sosialnya. Lebih
dalam lagi, sebelum mengukur kesiapannya, apa saja yang perlu diperhatikan dalam
penerapan konsep ini?.
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |2
Pada tulisan ini, penulis akan berusaha untuk mengkaji tantangan-tantangan yang
akan dihadapi oleh daerah-daerah dengan konsep Smart City. Sebagai catatan,
bahwa kajian ini masih memiliki beberapa argumen yang tidak memiliki data-data
representatif yang mendukungnya, namun penulis berusaha untuk mencari referensi
penelitian-penelitian yang sejalan untuk membangun argumen tersebut.
Dinamika dalam Memahami Smart City
Smart City merupakan suatu konsep pengembangan kota, yang intinya adalah
bagaimana implementasi teknologi dapat membantu dalam menyelesaikan masalah
dan mewujudkan visi kotanya. Implementasi teknologi yang dimaksud cenderung
kearah pemanfaatan Big Data dan Internet of Things (IoT). Disatu sisi, Framing konsep
ini terdengar cukup tegas, namun disisi lain Driver dalam penerapannya masih belum
jelas. Jika Resilient City bertujuan untuk meningkatkan ketahanan kotanya dari
bencana, apa tujuan dalam menerapkan Smart City? Efisiensi?. Apakah Resilient City
tidak boleh meningkatkan efisiensinya dalam mewujudkan tujuannya? Jika konsep
tersebut menggunakan teknologi untuk meningkatkan efisiensi, apakah daerah
tersebut menggunakan konsep Resilient City atau Smart City?. Smart City masih
menjadi topik yang dinamis, sehingga definisi dan pembedanya dengan konsep yang
lain masih kurang jelas
1
. Diskusi dalam memahami konsep ini cukup diminati oleh
berbagai ahli, tidak hanya dari bidang perencanaan dan teknologi informasi, ada juga
dari seorang matematikawan seperti Ben Green
2
.
Mengenai model dari Smart City, sudah cukup banyak referensi sebagai acuan dalam
implementasinya, seperti Garuda Smart City Model (GSCM)
3
, Digital Nation
4
, dan lain
1
Malene Freudendal-Pedersen, Sven Kesselring, dan Eriketti Servou. 2019. What is Smart for the
Fututre City? Mobilities and Automation. Jurnal Sustainability Volume 11 Issue 1 Article 221. Hal 3.
https://doi.org/10.3390/su11010221
2
Ben Green menunjukkan minatnya pada Smart City melalui bukunya yang terbit pada tahun 2020,
berjudul “The Smart Enough City”.
3
Garuda Smart City Model adalah sebuah konsep atau metode awal yang dikembangkan oleh Smart
City & Community Inovation Center (SCCIC) untuk mengukur tingkat kematangan pengembangan
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |3
sebagainya. Setiap model menawarkan bagaimana teknologi dapat mempermudah
hidup orang-orang. Salah satu contohnya adalah Smart Mobility
5
, yang memberikan
efisiensi dalam bertransportasi, sekaligus memperhatikan pengeluaran emisinya, atau
Smart Housing, dimana pemiliknya dapat mengetahui status penggunaan energi
rumahnya. Maka dari itu, wajar jika banyak kota-kota di seluruh dunia menggunakan
konsep ini
6
. Namun demikian, meskipun penggunaannya sangat banyak, sayangnya
sulit untuk menemukan daerah yang telah benar-benar menerapkannya dalam skala
wilayah.
Isu Privasi dalam Pengambilan Data
Smart City dengan segala kemewahan teknologinya, nyatanya sangat sulit untuk
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengimplementasiannya yang
menyentuh privasi setiap individu, merupakan hal yang mengerikan karena seakan-
akan masyarakat diawasi setiap saat. Contohnya adalah jika mengembangkan Smart
Living dengan menginstalasi perangkat sensor untuk keamanan dan penghematan
energi. Dari pemanfaatan teknologi tersebut, dapat dikumpulkan data serial Near
Time untuk penggunaan air, listrik, suhu, dan lain sebagainya
7
. Pengumpulan data
tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk berbagai kebijakan,
seperti distribusi, harga penggunaan, pembatasan, dan perencanaan utilitas bagi
setiap unit rumah. Sementara untuk keamanan, sensor yang digunakan adalah CCTV.
Smart City dengan target penentuan kondisi Existing, pengembangan rekomendasi, Roadmap dan
pemeringkatan.
4
Salah satunya adalah dari Arpan Kumar Kar, dkk. 2019. Moving Beyond Smart Cities: Digital Nations
for Social Innovation and Sustainability. Information Systems Frontiers 21: 495-501
5
Smart Mobility adalah salah satu dari 6 komponen Smart City, dalam Journal Smart Cities: Definition,
Dimensions, Performance, and Initiatives (2015), oleh Vito Albino, Umberto Berardi, dan Rosa Maria
Dangelico.
6
Terdapat 174 kota yang diindikasikan sebagai Smart City dalam Laporan Cities in Motion Index 2019,
yang mengukur peringkat Smart Cities di dunia.
7
M. Mazhar Rathore, Anand Paul, Awai Ahmad, & Suengmin Rho. 2016. Urban Planning and Building
Smart Cities based on the Internet of Things using Big Data Analytics.Computer Network Vol 101. Hal
63-80. https://doi.org/10.1016/j.comnet.2015.12.023
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |4
Penggunaan sensor-sensor tersebut menimbulkan adanya rasa dikekang, seberapa
banyak suatu keluarga boros dalam menggunakan listrik dan air, dan mereka merasa
diawasi gerak geriknya dari kamera CCTV.
Smart City tidak dapat lepas dari isu privasi, karena untuk mengitegrasikan semua
komponen di dalamnya, tentu akan menyentuh data dari setiap unit terkecilnya.
Integrasi tersebut merupakan kunci utuk memahami kotanya secara keseluruhan, dan
berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dalamnya, dengan segala
sumber daya yang tersedia, termasuk kontribusi dari teknologi. Sayangnya,
pengumpulan data yang mungkin bersifat pribadi ini sangat sensitif. Ada beberapa
pertanyaan yang mungkin akan berputar dipikiran masyarakat, seperti
8
:
Data apa saja yang diambil?
Bagaimana pengambilan datanya?
Untuk apa data tersebut?
Tersebar kemana saja data tersebut?
Isu privasi dalam penggunaan data pribadi bukanlah ketakutan kosong belaka.
Sudah ada beberapa kasus dalam penyalahgunaannya. Salah satu skandal dalam
penyelahgunaan data pribadi adalah “kebocoran” data Facebook yang digunakan
oleh pihak-pihak lain untuk menjalankan kepentingannya
9
. Tidak hanya koleksi data
global, data pribadi yang dikumpulkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia juga
diduga kuat disalahgunakan oleh pihak lainnya
10
.
8
Paige M. Boshell. 2019. Smart Cities and Privacy. ISSA Journal: 16-26.
9
James Sanders & Dan Patterson. 2019. Facebook Data Privacy Scandal: A Cheat Sheet.
https://www.techrepublic.com/article/facebook-data-privacy-scandal-a-cheat-sheet/
10
Murti Ali Rangga. 2019. Penyalahgunaan Data Pribadi Konsumen Sudah Masuk Kategori Gawat
Darurat. https://money.kompas.com/read/2019/07/27/201200426/penyalahgunaan-data-pribadi-
konsumen-sudah-masuk-katagori-gawat-darurat?page=all
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |5
Pemerintah Indonesia telah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang
Perlindungan Data Pribadi
11
untuk menjamin perlindungan dalam memberikan data.
Hal tersebut penting untuk dilakukan agar masyarakat merasa lebih terjamin dalam
memberikan datanya. Namun disisi lain, jika rancangan peraturan tersebut disahkan
dan diterapkan, maka akan memberikan tantangan untuk pengumpulan data bagi
penyelenggara data pribadi dalam rangka mengimplementasikan Smart City, terlebih
untuk pihak-pihak swasta. Berdasarkan rancangan tersebut, penyelenggara data
pribadi harus memberitahukan bagaimana data tersebut digunakan dan kapan data
tersebut dimusnahkan.
Pengambilan data pribadi untuk kepentingan pengembangan kota memerlukan
keterbukaan dan kejujuran agar tercipta kepercayaan antara masyarakat sebagai
subjek data dan pihak-pihak yang mengumpulkannya. Maka dari itu, setidaknya
keempat pertanyaan tersebut perlu untuk dijawab dalam rangka menciptakan
keterbukaan dan kejujuran.
Penerimaan Masyarakat Atas Hal yang Baru
Smart City mungkin bukanlah merupakan istilah yang asing bagi sebagian orang,
namun untuk sebagiannya lagi bisa jadi belum pernah mendengarnya sama sekali.
Penerapannya tentu menjadi hal yang baru bagi daerah-daerah yang ingin
mewujudkannya. Secara umum, Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan
Smartphone, Media Sosial, dan Internet, namun,penggunaan sensor, IoT, dan lain
sebagainya masih jarang ditemukan publik dan butuh proses untuk mewajarkannya.
Bagi orang-orang yang masih merasa asing akan Gadget pendukung dalam Smart
City, mungkin akan merasa tidak nyaman dan cenderung menolak. Maka dari itu,
seberapa besar tingkat penerimaan masyarakat perlu menjadi perhatian.
11
Draft Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. https://aptika.kominfo.go.id/wp-
content/uploads/2019/09/RUU-PDP.pdf
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |6
Penerimaan yang dimaksud pada tulisan ini adalah ukuran subjektif kesiapan
masyarakat untuk menerima hal-hal baru (Acceptance)
12
. Seberapa besar kesiapan
bagi masyarakat sebaiknya diukur sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun
Rencana Smart City. Jika masyarakat sulit untuk menerimanya, maka hal tersebut
akan menjadi penghalang dalam mewujudkan rencana yang telah disusun. Secara
teori, penerimaan publik dapat diwujudkan jika adanya kesadaran (Awarensess),
keadilan (Fairness), transparansi (Transparency), Local Context, dan kepercayaan
(Trust)
13
.
Masyarakat butuh untuk memahami urgensi penggunaan teknologi dalam
mewujudkan Smart City, atau pentingnya perwujudan konsep tersebut bagi
kehidupan mereka. Keterlibatan masyarakat juga dibutuhkan untuk meningkatkan
penerimaan. Selain itu, Local Context juga perlu diperhatikan, yang artinya apakah
masyarakat merasa masalah yang mereka rasakan langsung dapat dibantu oleh
teknologi yang ditanamkan dilingkungannya.
Keterbukaan Masyarakat dalam Menerima Kolaborasi dari Luar
Indonesia pada tahun 2017 terhitung masih lebih tertinggal dari sebagian besar
negara lain di Asia Pasifik dalam hal keaktifan ekonomi digital
14
. Ketertinggalan
tersebut dapat didongkrak dengan adanya kolaborasi dari negara-negara lain yang
lebih maju dan Multi National Enterprise (MNE). Kebutuhan kolaborasi tersebut
dihadapkan dengan isu rasisme yang ada di Indonesia.
12
Valentin Bertsch, Margaret Hall, Christof Weinhardt, & Wolf Fitchner. 2016. Public Acceptance and
Preferences Related to Renewable Energy and Grid Expansion Policy: Empirical Insights fo Germany.
Energy, 114: 465-477. https://doi.org/10.1016/j.energy.2016.08.022
13
Erwin Hofman & Wytze van der Gaast, 2014. Acceleration of clean technology deployment within the
EU: The role of social acceptance, POLIMP Policy Brief Series 1. Diunduh di :
http://www.polimp.eu/images/1st%20Policy%20Brief/POLIMP_1st_Policy_Brief_final-
_Public_Acceptance_-_June_2014.pdf
14
Alphabeta Advisory. 2017. Digital Nation:Policy Levers for Investment and Growth. Hal. 11., Indonesia
peringkat 9 dari 11 negara.
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |7
Kajian mengenai rasialisme di Indonesia masih tergolong sedikit, walaupun faktanya
banyak narasi terkait dengan isu tersebut
15
. Beberapa narasi tersebut seperti adanya
prinsip bahwa “Indonesia tidak boleh dijajah lagi oleh negara lain” atau adanya
pemikiran bahwa negara asing yang masuk ke Indonesia adalah untuk
mengeksploitasi kekayaan yang dimilikinya. Narasi ini mungkin akan menjadi
guncangan dan menghalangi kolaborasi dengan MNE atau negara-negara lainnya.
Isu rasialisme akan melahirkan potensi diskriminasi bagi orang-orang asing yang
masuk di Indonesia, khususnya calon kolaborator sebagai pendongkrak kemajuan
teknologi dalam negeri. Contohnya adalah jika investor dari Tiongkok yang ingin
menyuntikkan dana untuk perkembangan Start-Up, kemudian hal tersebut ditolak
karena adanya “kabar burung” bahwa Negara Tiongkok sudah mulai menguasai
daerah tersebut. Salah satu keengganan MNE untuk berinvestasi di Indonesia adalah
adanya diskriminasi, terutama diskriminasi dalam hal kebijakan pajak
16
.
Kemampuan Mengakomodasi Digital Talent
Indonesia pada tahun 2017 dinilai memiliki bakat digital (Digital Talent) yang rendah
di Asia Pasifik
17
. Sejak tahun 2015 hingga tahun 2030, Indonesia mengalami
kesenjangan bakat digital sekitar 9 juta orang
18
. Banyaknya kota dan kabupaten yang
menggunakan konsep Smart City memunculkan tantangan dalam memenuhi SDM
untuk mengembangkan inovasi. Untungnya, Indonesia cukup tanggap akan hal
tersebut, yang diindikasi dengan adanya pelatihan-pelatihan untuk menghasilkan
15
Jenny Munro. 2019. Isu Rasisme perlu Lebih Banyak Dibahas di Indonesia.
16
Alphabeta Advisory, op. cit. Hal 28
17
Alphabeta Advisory, op. cit. Hal 23, Indonesia memiliki performa Digital Talent terendah dengan nilai
<5%, sementara yang tertinggi adalah India, dengan performa lebih dari 70%.
18
Anonim. 2019. Indonesia Butuh 650 Ribu Digital Talent Setiap Tahun. Diterbitkan di
https://techno.okezone.com/read/2019/05/02/207/2050783/indonesia-butuh-650-ribu-digital-talent-
setiap-tahun
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |8
SDM yang berkompeten, khususnya di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK)
19
.
Kesenjangan jumlah tersebut tentunya tidak dapat dikesampingkan oleh daerah yang
ingin menerapkan Smart City. Akomodasi bakat digital perlu untuk dipikirkan, baik
itu menarik SDM dari luar, ataupun mempersiapkan tenaga lokal. Bakat digital
diharapkan dapat memberikan pengembangan inovasi untuk mewujudkan berbagai
komponen di dalam konsep tersebut.
Halangan Kolaborasi antara Pemerintah dan Pihak Swasta
Inovasi bukanlah satu-satunya kunci untuk mewujudkan Smart City. Hal yang tidak
kalah penting juga adalah kolaborasi. Kolaborasi antara pihak pemerintah sebagai
regulator dan pihak swasta sebagai inovator. Perlu disadari bahwa perwujudan
konsep Smart City tidak cukup hanya dengan upaya dari pemerintah saja. Hal
tersebut dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan dari sisi pemerintah, baik dari
segi anggaran, keahlian khusus, dan keberlanjutan untuk menjalankan suatu
teknologi. Maka dari itu, daerah yang ingin mewujudkannya, membutuhkan
komunitas swasta yang kuat. Salah satu upaya dalam menjawab tantangan ini adalah
dengan menginisiasi dan mengembangkan Public-Private Partnership.
Kemitraan tersebut memerlukan kestabilan internal, terutama bagi pihak swasta.
Pihak swasta yang dimaksud disini adalah perusahaan-perusahaan, komunitas
developer, dan individu-individu yang memiliki bakat digital. Mewujudkan kemitraan
Public-Private Partnership juga memiliki tantangannya tersendiri. Skenario
perwujudan Smart City tidak semata-mata berasal dari keinginan pemerintah saja,
namun ada juga pengaruh yang berasal dari kekuatan suatu pasar. Contohnya di
Munich, yang merupakan tempat perusahaan mobil terkenal, yaitu BMW. Perusahaan
19
Salah satu contohnya adalah program beasiswa untuk Digital Talent oleh Kominfo,
https://digitalent.kominfo.go.id/.
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |9
besar tersebut pada tahun 1980, bereksperimen untuk mengembangkan Automated
Driving. Inovasi produk tersebut dapat menguntungkan Munich, dari segi ekonomi,
maupun mobilitas. Hingga pada tahun 2018, pemerintah berkolaborasi dengan BMW
untuk menjalankan suatu proyek Perencanaan Implementasi Automated Driving,
yaitu EASY RIDE
20
.
Pihak swasta perlu untuk menunjukkan kemampuannya sehingga pemerintah dapat
menaruh kepercayaan kepada mereka untuk mengembangkan inovasi dan
memberikan Supply. Selain itu, pemerintah sebagai pengambil keputusan sebaiknya
juga tidak memandang teknologi sebagai solusi dari setiap masalah. Pemaksaan
penerapan teknologi untuk menyelesaikan suatu masalah mungkin akan
menimbulkan masalah baru.
Mismatch antara Kebutuhan dan Teknologi
Smart City cenderung diasosiasikan dengan penggunaan teknologi mutakhir yang
dapat menyelesaikan suatu masalah. Diskursus Smart City tersebut seakan-akan
menarasikan bahwa teknologi adalah solusi dari segala masalah
21
. Padahal, belum
tentu suatu teknologi cocok untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Meskipun
cocok, belum tentu juga teknologi tersebut dapat diterima oleh lingkungannya.
Sayangnya, penggunaan teknologi dalam konsep Smart City tidak semata-mata
dapat langsung menyelesaikan masalah. Tantangan yang dihadapi dalam
mewujudkan Smart City adalah ketidakcocokan perangkat atau produk atau solusi
yang diimplementasikan dengan masalah atau kebutuhan masyarakat. Ada tiga
sebab mengapa terjadinya ketidakcocokan dalam implementasinya, yaitu: Kurang
sensitif terhadap masalah; Penyempitan perspektif; dan Kurangnya pemahaman
perangkat.
20
Freudendal-Pedersen, Kesselring, dan Servou, op. cit. Hal 6-7
21
Freudendal-Pedersen, Kesselring, dan Servou, op. cit. Hal 4
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |10
Meskipun suatu daerah menggunakan konsep Smart City, penyelesaian masalah
perkotaan tentunya membutuhkan proses yang panjang, bahkan yang berulang-
ulang. Kunci dari konsep Smart City adalah untuk mendapatkan data yang tepat di
tempat yang tepat dan dengan alat yang tepat untuk kebutuhan perencanaan dan
pelayanan yang menyeluruh dan cepat
22
. Proses panjang ini mungkin akan
menyebabkan kegagalan dalam memahami akar dari suatu masalah. Menempatkan
suatu solusi sebagai solusi utama dalam suatu masalah turunan tidak akan
menyelesaikan masalah tersebut. Seperti dalam memahami masalah kemacetan.
Padatnya beberapa titik jalan merupakan penyebab masalahnya. Jika solusinya
adalah mengembangkan aplikasi sistem informasi lalu lintas agar orang-orang dapat
memilih jalur alternatif dalam rangka mengurangi kemacetan, mungkin akan
membantu. Namun, jika solusi tersebut dijadikan sebagai penyelesaian masalah
kemacetan, belum tentu masalahnya terselesaikan
23
.
Sebab berikutnya adalah penyempitan perspektif dalam memandang suatu masalah.
Penyempitan tersebut dikarenakan oleh seseorang percaya bahwa solusi dari
masalah tersebut dapat diselesaikan dengan suatu inovasi dari teknologi. Seseorang
yang melihat dengan kacamata teknologi (Tech Goggle), selalu mengarahkan suatu
masalah untuk mendapatkan solusi yang berteknologi mutakhir
24
. Sayangnya, hingga
saat ini, tidak semua masalah dapat dihubungkan dengan teknologi. Ada juga unsur-
unsur yang rumit jika diasosiasikan dengan teknologi. Contohnya adalah
menggunakan aplikasi chatting atau Video Conference untuk melakukan rapat.
22
M. Mazhar Rathore, dkk. op. cit. Hal 66.
23
Alexis C. Madrigal. 2018. The Perfect Selfishness of Mapping Apps. Diterbitkan di
https://www.theatlantic.com/technology/archive/2018/03/mapping-apps-and-the-price-of-
anarchy/555551/. Mapping Apps menyebabkan The Price of Anarchy, dimana individu yang
menggunakannya diuntungkan untuk mendapatkan rute tercepat, namun dapat memperburuk
kemacetan, salah satunya dengan potensi penambahan simpul kemacetan.
24
Penjelesan Ben Green tentang bukunya, Smart Enough City di AI Now, Institute of NYU, tahun 2020.
Video dapat dilihat di :
https://www.youtube.com/watch?v=RP9SjdmLwhQ&list=LLUUxT1HnOumJRddq6PJs5vg&index=2&t=
0s
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |11
Mungkin penggunaannya dapat menjadi solusi disaat genting, namun akan sulit
untuk membangun suasana rapat jika dilakukan secara daring, terutama untuk rapat-
rapat yang sangat penting.
Penyebab berikutnya adalah kurangnya pemahaman perangkat, terutama bagi pihak
pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Tentunya pemahaman akan teknologi ini
sangat penting, meskipun tidak harus memahami secara rinci. Kurangnya
pemahaman akan hal ini kemungkinan akan menyebabkan penggunaannya yang
tidak optimal, bahkan salah sasaran.
Manajemen Budget dalam Mewujudkan Smart City
Upaya mewujudkan Smart City merupakan sebuah proyek besar yang memerlukan
dana yang besar pula. Namun, pemerintah memiliki urusan yang bermacam-macam
sehingga sulit untuk menganggarkan penerapan konsep tersebut. Pemerintahan,
khususnya pemerintah daerah yang menggunakan konsep Smart City, memiliki
agenda rutin setiap tahunnya. Jadi, sulit untuk memusatkan alokasi anggaran untuk
mewujudkan konsep ini. Hal ini juga mungkin dipengaruhi tentang pandangan
bahwa sebenarnya komponen-komponen Smart City belum dianggap sebagai
elemen yang esensial dalam kebijakan atau strategi pengembangan kotanya
25
.
Pendanaan untuk mewujudkannya merupakan tantangan yang nyata. Alternatif
dalam menanggapi tantangan ini adalah diperlukannya manajemen anggaran, tidak
hanya dari pihak pemerintah, namun dari perusahaan-perusahaan yang ingin
berkontribusi di dalamnya. Artinya, pembiayaan proyek-proyeknya juga terbuka
sejalan dengan peluang untuk berkolaborasi dengan pihak swasta.
25
Freudendal-Pedersen, Kesselring, dan Servou, op. cit. Hal 14
Dipublikasikan 30 Maret 2020
Tantangan Mewujudkan Smart City di Indonesia |12
Seberapa besar Makna Smart City bagi Kota-kota yang
Menggunakannya?
Mungkin masih banyak tantangan lain dalam upaya untuk mewujudkan Smart City,
mengingat bahwa sulit untuk menemukan kota yang sesuai dengan gambaran
sempurna dari konsep ini. Sama seperti konsep-konsep lainnya, perwujudan konsep
ini juga membutuhkan proses yang lama. Namun demikian, bagi kota-kota yang
berkomitmen untuk menggunakannya, perlu untuk serius dalam
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun. Hal tersebut dapat
menunjukkan seberapa bermakna Smart City bagi kota tersebut, apakah hanya
sebatas Brand, atau sebagai mimpi besar yang diupayakan dengan sekuat tenaga,
untuk merealisasikan masa depan yang lebih baik lagi. Jika maknanya sebagai acuan
dalam mewujudkan suatu mimpi, perlu untuk mempertimbangan tantangan-
tantangan dalam mengembangkan konsepnya.
Smart City masih menjadi pembahasan yang dinamis. Begitu juga tantangan yang
akan dihadapinya. Pasti masih banyak tantangan-tantangan lain yang dapat digali
lagi agar konsep ini tidak menjadi konsep yang utopis.