PreprintPDF Available

"DUNIA DALAM ANCAMAN PANDEMI: KAJIAN TRANSISI KESEHATAN DAN MORTALITAS AKIBAT COVID-19"

Authors:
Preprints and early-stage research may not have been peer reviewed yet.

Abstract

Makalah ini hendak mengulas pola penyebaran, dampak, dan cara penanganan pandemi COVID-19 di dunia dan Indonesia. Selain itu, makalah ini akan menganalisis fenomena merebaknya COVID-19 sebagai transisi baru sejarah kesehatan dan mortalitas manusia.
1
DUNIA DALAM ANCAMAN PANDEMI:
KAJIAN TRANSISI KESEHATAN DAN MORTALITAS AKIBAT COVID-19
Kajian Demografi Sosial
Zainun Nur Hisyam Tahrus (email: zainun.nur@ui.ac.id)
Departemen Sosiologi, FISIP UI
A. Pendahuluan
Sejarah dinamika kependudukan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya tingkat kelahiran atau fertilitas, melainkan juga tingkat kematian atau
mortalitas. Weeks (2008:147) bahkan menyatakan bahwa revolusi pola pertumbuhan
dan ukuran populasi dunia pada dua abad terakhir banyak dipengaruhi oleh semakin
berkurangnya tingkat mortalitas, bukan naiknya tingkat fertilitas. Fenomena
berkurangnya tingkat mortalitas tersebut bukan fenomena tunggal, melainkan selalu
diiringi oleh fenomena lain, yaitu tingkat morbiditas. Jika mortalitas diartikan sebagai
pola kematian, maka morbiditas adalah prevalensi penyakit
1
(Weeks, 2008:147).
Morbiditas dan mortalitas merupakan dua sisi mata koin yang sama (Weeks,
2008:147). Dalam sejarah peradaban manusia, pengaruh penyakit terhadap kematian
kiranya menjadi signifikan tatkala manusia mulai memasuki peradaban agraris. Pada
masa berburu dan meramu, kematian lebih banyak disebabkan oleh kurangnya nutrisi,
intaficide atau pembunuhan bayi, dan geronticide atau pembunuhan orang usia tua
(Weeks, 2008: 148). Namun, setelah memasuki era revolusi agraris, faktor yang
menyebabkan kematian berubah. Meskipun manusia sudah memiliki nutrisi yang
lebih baik, tetapi kontak satu sama lain yang semakin dekat, baik sesama manusia
atau manusia dengan hewan, telah menjadikan penyakit semakin mudah menular dan
menjadi ancaman baru bagi kehidupan (Week, 2008: 148).
Kontak terhadap hewan ini pula yang belakangan diketahui sebagai penyebab
virus yang sedang menjangkit dunia akhir-akhir ini, yaitu coronaviruses. Weeks
(2008:170) menyebutkan bahwa pola makan manusia yang semakin gemar
mengonsumsi protein hewani menjadi peluang bagi virus corona menyebar dari
hewan ke manusia.
1
Prevalensi penyakit adalah jumlah keseluruhan penyakit yang terjadi dalam suatu wilayah tertentu
(KBBI). Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/prevalensi
2
Coronavirus sebenarnya sudah mulai diidentifikasi pada pertengahan tahun
1960an (ECDC, Tanpa Tahun)
2
. Namun, Coronavirus saat itu, secara umum, hanya
menyebabkan demam biasa. Coronavirus mulai menjadi infeksi yang mematikan
setelah zoonotic coronaviruses menjangkiti manusia pertama kali pada Februari 2003
yang menyebabkan penyakit SARS (severe acute repiratory syndrome) yang
menyebar melalui kucing (Webby dan Webster, 2003; ECDC, Tanpa Tahun).
Merebaknya SARS sebagai pandemi lalu disusul dengan virus H7N7 dan H5N1
yang dikenal sebagai flu burung pada Maret 2003, H1N1 yang dikenal sebagai flu
babi pada 2009 serta Middle East Repiratory Syndrome (MERS) yang mulai merebak
pada tahun 2012 melalui unta (Webby dan Webster, 2003; Fukuda, 2013; ECDC,
Tanpa Tahun). Hingga pada akhir 2019 sampai sekarang, dunia dikejutkan oleh
merebaknya coronavirus jenis baru (novel coronavirus) yang dibawa oleh virus
SARS-CoV2 dengan nama penyakit COVID-19 (McCloskey dan Heymann, 2020).
Merebaknya berbagai pandemi pada dua dekade terakhir telah menciptakan
sejarah baru kesehatan di dunia mengingat tingkat penyebaran dan tingkat kematian
atau fatality rate-nya yang cukup tinggi. SARS misalnya, memiliki case fatality rate
sebesar 11% (WHO, 2003), atau MERS sebesar 34,4% (WHO, Tanpa Tahun)
3
.
Adapun COVID-19, per 3 Maret 2020, dilaporkan memiliki tingkat fatality rate
sebesar 3,4% (who.it, 3 Maret 2020)
4
. Sekilas, COVID-19 tidak lebih mematikan dari
SARS dan MERS ditinjau dari tingkat fatality rate-nya, tetapi penyebaran COVID-
19 yang jauh di atas SARS dan MERS menjadikan COVID-19 menewaskan lebih
banyak korban daripada SARS dan MERS. Sebagai perbandingan SARS di akhir
penyebarannya menjangkit 8,098 orang dengan 774 orang meninggal, MERS
menjangkit 2949 orang dengan 858 orang meninggal, sedangkan per 25 Maret 2020,
2
Diakses di laman European Centre for Disease Prevention and Control > Factsheets,
https://www.ecdc.europa.eu/en/factsheet-health-professionals-coronaviruses pada 25 Maret 2020
pukul 14.12 WIB.
3
Diakses di laman resmi WHO, https://www.who.int/emergencies/mers-cov/en/, pada 25 Maret 2020
pukul 14.16 WIB.
4
Diakses di laman resmi WHO, WHO Director-General's opening remarks at the media briefing on COVID-
19 - 3 March 2020. https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-
at-the-media-briefing-on-covid-19---3-march-2020 pada 25 Maret 2020 pukul 14.30 WIB
3
COVID-19 telah menjangkit 425.493 orang dengan 18.963 orang meninggal (cdc.gov,
Desember 2003
5
; who.it, Tanpa Tahun
6
; coronavirus.jhu.edu
7
, Tanpa Tahun).
Makalah ini, dengan begitu, hendak mengulas pola penyebaran, dampak, dan cara
penanganan pandemi COVID-19 di dunia dan Indonesia. Selain itu, makalah ini akan
menganalisis fenomena merebaknya COVID-19 sebagai transisi baru sejarah
kesehatan dan mortalitas manusia.
B. Pertanyaan Studi
Berdasarkan pemaparan fenomena pandemik COVID-19 sebelumnya, makalah
ini merumuskan pertanyaan studi sebagai berikut.
1) Bagaimana pola persebaran COVID-19 di dunia dan di Indonesia?
2) Bagaimana dampak COVID-19 terhadap transisi kesehatan, tingkat morbiditas,
dan tingkat mortalitas di dunia dan khususnya di Indonesia?
3) Bagaimana cara penanggulangan yang tepat untuk meminimalisir risiko COVID-
19?
C. Kerangka Konseptual
1) Communicable Diseases
Meneliti tentang COVID-19 berarti meneliti tentang salah satu penyebab besar
kematian manusia, yaitu communicable diseases atau penyakit menular. Penyakit
menular ini merupakan bahkan menyumbang 31,4% kematian di seluruh dunia (Weeks,
2008:168). Penyakit menular bisa disebabkan oleh bakteri, seperti TBC dan Pneunomia,
oleh virus, seperti influenza, atau oleh protozoa, seperti diare (Weeks, 2008:168). Dari
berbagai penyebab tersebut COVID-19 digolongkan sebagai penyakit akibat virus,
khususnya virus hewan. Seperti penyakit akibat virus pada umumnya, penyebarannya
melalui medium droplets.
5
Diakses di laman resmi CDC, Revised U.S. Surveillance Case Definition for Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) and Update on SARS Cases --- United States and Worldwide, December 2003.
https://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm5249a2.htm pada 25 Maret 2020 pukul 14.37 WIB
6
Diakses di laman resmi WHO, https://www.who.int/emergencies/mers-cov/en/ pada 25 Maret 2020
pukul 14.42 WIB.
7
Diakses di laman resmi John Hopkins University & Meidicine|Coronavirus Resource Center,
https://coronavirus.jhu.edu/map.html pada 25 Maret 2020 pukul 16.39 WIB.
4
2) Health and Mortality Transition
Health and Mortality Transition atau dapat diartikan sebagai transisi kesehatan dan
mortalitas adalah konsep yang ditawarkan Weeks (2008) untuk menggantikan konsep
epidemiological transition yang dicetuskan oleh Abdel Omran pada tahun 1971. Namun,
meskipun sudah banyak dikritik, penjabaran konsep epidemiological transition penulis
kira penting untuk dijadikan dasar dalam memahami konsep transisi kesehatan dan
mortalitas yang dicetuskan oleh Weeks.
Epidemiological transition, secara ringkas, adalah konsep yang menjelaskan
perubahan pola distribusi populasi kaitannya dengan perubahan pola mortalitas,
fertilitas, harapan hidup, dan penyebab-penyebab kematian (McKeown, 2009).
Dalam merumuskan epidemiological transition, Omran membagi sejarah manusia mejadi
tiga era, yaitu 1) era wabah dan kelaparan, 2) era surutnya pandemi dan 3) era
degeneratif dan penyakit buatan manusia (man-made disease) (Kahn, 2006:8).
Masing-masing dari era tersebut memiliki pola mortalitas dan harapan hidup yang
berbeda-beda. Era wabah dan kelaparan didominasi oleh tingginya tingkat mortalitas
pada usia anak-anak dan balita, era surutnya pandemi ditandai dengan mulai naiknya
tangkat harapan hidup dan pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan, sedangkan era
degenartif dan penyakit buatan manusia ditandai dengan semakin tingginya angka
harapan hidup hingga di usia tertua (older ages) (Kahn, 2006:8).
Dari pemaparan tersebut, konsep epidemiological transition digunakan untuk
menganalisis dua komponen utama, yaitu 1) perubahan dalam jejak pertumbuhan
populasi, komposisinya, terkhusus distribusi usia dari lebih muda ke lebih tua, 2)
perubahanan dalam pola mortalitas, termasuk bertambahnya angka harapan hidup dan
menata kembali tingkatan relatif penyebab-penyebab kematian (McKeown, 2009).
Konsep epidemiological transition ini merupakan terobosan yang besar dalam kajian
demografik, tetapi para ilmuwan demografi berpikir bahwa konsep epidemiological
transition tidak cukup. Oleh karena itu, Lerner pada tahun 1973 mengeluarkan konsep
baru yang lebih luas, yaitu Health Transition (Frenk, et al, 1991:22).
Health transition merupakan konsep yang lebih luas dari epidemiological transition.
Jika epidemiological transition hanya menganalisis penyebab-penyebab kematian, maka
Health transition memasukkan elemen konsepsi sosial dan perubahan perilaku kaitannya
5
dengan penentu-penentu kesehatan (Frenk, et al, 1991:22; Kahn, 2006:10). Dengan
begitu, analisis terhadap perubahan pola kelahiran, kematian, penyakit dan disabilitas
juga perlu dikaji dari faktor-faktor sosial (social disruption) serta perilaku kesehatan
penduduk.
3) Age, Sex, and Gender Differentials in Mortality
Selama beberapa masa, ilmuwan demografi selalu berfokus pada perbedaan umur,
jenis kelamin, serta gender dalam melihat pola kematian (Zao dan Kinfu, 2005:9). Dalam
hal umur, transisi kesehatan dan mortalitas dapat digambarkan dalam kalimat ringkas
jika dahulu orang tua mengubur anaknya, maka sekarang anak yang mengubur orang
tuanya” (Weeks, 2008:162). Artinya, di era modern, khususnya setelah tahun 1950an,
telah terjadi perubahan pola mortalitas dari kematian menjadi pola rectangularizaton,
yaitu pola yang menunjukkan kematian drastic pada usia-usia tertua (di atas 100 tahun)
sehingga menunjukkan bentuk persegi panjang pada grafik.
Dari segi jenis kelamin dan umur, data demografi menunjukkan bahwa perempuan
selalu memiliki harapan hidup lebih tinggi daripada laki-laki (Weeks, 2008:164).
Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh faktor biologis ataupun masyarakat. Secara
biologis, beberapa ilmuwan berargumen bahwa tingginya harapan hidup perempuan
disebabkan oleh imun yang lebih kuat yang dipengaruhi oleh hormone estrogen (Waldron,
1986 dalam Weeks, 2008:165). Adapun secara sosial, beberapa ilmuwan menaganlisis
kebiasan rokok sebagai penyebab laki-laki mati lebih cepat daripada perempuan dan lebih
rentan terhadap penyakit (Weeks, 2008:165).
D. Pembahasan dan Analisis
1) Penyebaran COVID-19 Sebagai Pandemi
Akhir 2019, tepatnya 29 Desember 2019, dokter-dokter di Wuhan tersadarkan
oleh penyakit pneumonia yang tidak wajar. 31 Desember 2019, otoritas kedokteran di
Wuhan lalu melaporkan temuan tersebut ke WHO. Baru empat minggu kemudian,
tepatnya 26 Januari 2020, coronavirus jenis baru (novel coronavirus) diidentifikasi
dan diumumkan ke publik (McCloskey dan Heymann, 2020). Dari Wuhan, COVID-
19 terus merebak menjangkiti seluruh dunia, hingga pada 11 Maret 2020, WHO
6
secara resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemi (kompas.com, 12 Maret 2020)
8
.
Apa itu pandemi?
Pandemi merupakan salah satu level penyakit berdasarkan penyebarannya. Secara
umum, ada tiga level penyakit yang dikenal dalam dunia epidemiologi, yaitu endemi,
epidemi, dan pandemi. Centre for Disease Control and Prevention (CDC)
memberikan definisi masing-masing pada tiga level penyakit tersebut: endemi adalah
kehadiran konstan suatu penyakit menular pada suatu populasi dalam cakupan
wilayah tertentu, epidemi adalah pertambahan angka kasus penyakit, seringkali
secara tiba-tiba, di atas batas normal yang diprediksi pada populasi di suatu area,
sedangkan pandemi adalah epidemi yang sudah menyebar ke beberapa negara dan
benua dengan jumlah penularan yang masif (cdc.gov, Tanpa Tahun)
9
.
Diumumkannya COVID-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 menandakan
bahwa penyakit tersebut sudah menjangkiti begitu banyak populasi di berbagai negara.
Data dari John Hopkins University & Meidicine Coronavirus Resource Center per 25
Maret 2020 menunjukkan penularan COVID-19 sudah menjangkiti 175 negara
dengan angka penularan sebanyak 425.493 kasus
10
.
Indonesia sendiri tidak luput dari penyebaran COVID-19 ini. Terhitung pada 2
Maret 2020, dua kasus pertama COVID-19 masuk ke Indonesia (kompas.com, 3
Maret 2020)
11
. Hanya dalam tiga minggu, sampai pada 25 Maret 2020, telah ada 790
kasus di Indonesia (John Hopkins University, Tanpa Tahun). Angka tersebut
menunjukkan bahwa COVID-19 menyebar begitu cepat di Indonesia. Grafik 1 berikut
dapat menggambarkan pertambahan kasus COVID-19 di Indonesia perhari sampai 25
Maret 2020.
8
Dilansir dari laman kompas.com, https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/12/064800265/virus-
corona-jadi-pandemi-global-apa-dampak-dan-langkah-selanjutnya- pada 25 Maret 2020 pukul 17.12 WIB.
9
Diakses dari laman cdc.gov, Principles of Epidemiology in Public Health Practice, Third Edition
An Introduction to Applied Epidemiology and Biostatistics,
https://www.cdc.gov/csels/dsepd/ss1978/lesson1/section11.html pada 25 Maret 2020 pukul 17.17 WIB.
10
Diakses dari laman resmi John Hopkins University & Meidicine Coronavirus Resource Center,
https://coronavirus.jhu.edu/map.html , pada 25 Maret 2020 pukul 16.39 WIB.
11
Dilansir dari laman kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-
lengkap-kasus-pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all pada 26 Maret 2020, pukul 19.39 WIB.
7
Grafik 1
Pertambahan Kasus Per Hari (Daily Increase) di Indonesia
Sumber: John Hopkins University & Medicine Coronavirus Resource Center
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa mulai dari pertengahan Maret,
pertambahan kasus COVID-19 di Indonesia semakin masif. Studi dari tim Pusat
Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB menyebutkan penambahan kasus COVID-
19 akan terus meningkat sampai pada puncaknya akhir Maret, dengan kasus maksimal
> 8000 kasus dan pertambahan perhari maksimal 600 kasus (itb.ac.id, Tanpa Tahun)
12
.
Namun, benarkah perhitungan tersebut? Lalu bagaimana perbandingan Indonesia
dengan negara lainnya?
2) Perbandingan Penyebaran, Sebab, Dampak, dan Penanganan COVID-19
Pada bagian ini, penulis hendak membandingkan penyebaran COVID-19 di 10
negara teratas dengan Indonesia serta sebab dan dampak-dampak yang dihasilkannya.
Diambil dari data John Hopkins University & Medicine Coronavirus Resource Centre,
berikut adalah tabel perbandingan kasus COVID-19 di 10 negara teratas dan
Indonesia.
12
Diakses dari laman resmi ITB, http://eprints.itb.ac.id/119/1/COVID19%20Corona-
NN%20KKS%20MA%20Final.pdf pada 26 Maret 2020, pukul 19.50 WIB,
8
Tabel 1
Perbandingan Kasus COVID-19
No.
Nama Negara
Total
Terjangkit
Total Sembuh
Total
Meninggal
1
China
81.637
73.770
3.285
2
Italia
69.176
8.326
6.820
3
US
55.225
354
802
4
Spanyol
42.058
3.794
2.991
5
Jerman
32.991
3.290
164
6
Iran
24.811
8.913
1.934
7
Prancis
22.635
3.281
1.102
8
Swiss
9.891
131
133
9
Korea Selatan
9.137
3.730
126
10
United Kingdom
8.164
140
423
11
Indonesia
790
58
31
12
Global
425.493
109.191
18.963
Sumber: John Hopkins University & Meidicine|Coronavirus Resource Center
(https://coronavirus.jhu.edu/map.html) Per 25 Maret 2020, Pukul 16.39 WIB
Grafik 2
Perbandingan Kasus COVID-19
Sumber: Olahan Penulis
Dihitung dari keseluruhan kasus, China masih menempati posisi tertinggi, yaitu
81.637 kasus, tetapi kasus kesembuhan di China juga tinggi, yaitu 73.770 kasus sehingga
kasus COVID-19 di China sudah cukup terkendali. Bahkan, sejak 19 Maret 2020 lalu,
9
China sudah mengumumkan tidak ada lagi kasus COVID-19 baru akibat transmisi lokal
(cnn.com, 19 Maret 2020)
13
. Sebaliknya, Italia sekarang justru mengalami kasus COVID-
19 yang semakin memuncak, bahkan lebih parah dari China. Dengan total kasus mencapai
69.176, kasus pasien sembuh di Italia baru 8.326, sedangkan kasus meninggal sudah
mencapai 6.820, lebih dari China. Tingginya angka kematian di Italia tersebut disinyalir
karena banyaknya warga berusia lebih dari 81 tahun yang sebagian besar mengalami
penyakit bawaan seperti diabetes, penyakit kardiovaskular, kanker, dan juga memiliki
kebiasaan merokok (Remuzzi dan Remuzzi, 2020).
Bagaimana dengan Indonesia? Secara jumlah kasus COVID-19 di Indonesia
memang tidak seberapa dibandingkan negara sepuluh teratas lainnya. Akan tetapi, tingkat
case fatality rate di Indonesia cukup tinggi. Sebagai perbandingan fatality rate di tingkat
global sebesar 3,4% (who.int, Tanpa Tahun), di China sebesar 3,8% (worldometers.info,
Tanpa Tahun)
14
, di Italia sangat tinggi, yaitu sebesar 9% (aljazeera.com, 24 Maret 2020)
15
,
sedangkan Indonesia hampir setinggi Italia, yaitu sekitar 8,73% (covid19.go.id, Tanpa
Tahun)
16
.
Tingginya fatality rate di Indonesia tersebut tentu meresahkan, mengingat
Indonesia merupakan negara yang bahkan belum semaju Italia. Oleh karena itu,
sebaiknya Indonesia segera melakukan langkah-langkah strategis. Cara yang dilakukan
China dan Korea Selatan kiranya bisa menjadi contoh untuk Indonesia. Sebab dua negara
tersebut telah terbukti berhasil mengurangi peningkatan kasus COVID-19. Perbandingan
berikut kiranya bisa menggambarkan signifikansi kebijakan yang diterapkan China dan
Korea Selatan.
13
Dilansir dari laman CNN, The coronavirus pandemic began in China. Today, it reported no new local
infections for the first time, https://edition.cnn.com/2020/03/19/asia/coronavirus-covid-19-update-
china-intl-hnk/index.html pada 26 Maret 2020 pukul 20.11 WIB.
14
Diakses dari worldometers.info, https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-death-
rate/#who-report-02-20 pada 26 Maret 2020 pukul 21.10 WIB.
15
Dilansir dari laman Aljazeera.com, Why is Italy's coronavirus fatality rate so high?,
https://www.aljazeera.com/news/2020/03/italy-coronavirus-fatality-rate-high-200323114405536.html ,
pada 26 Maret 2020 pukul 21.15 WIB
16
Diakses dari laman resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pemerintah Pusat,
https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/ Pada 26 Maret 2020 pukul 21.20 WIB.
10
Grafik 3 Grafik 4
Tren Kasus COVID-19 di China Tren Kasus COVID-19 di Korea Selatan
Grafik 5
Tren Kasus COVID-19 di Indonesia
Sumber: John Hopkins University & Medicine Coronavirus Resource Centre
Ketiga grafik tersebut memperlihatkan perbedaan tren yang cukup signifikan
antara China, Korea Selatan dan Indonesia. Baik pada China maupun Korea Selatan,
grafik perkembangan kasus COVID-19 terlihat mulai melandai, berbeda dengan
Indonesia yang terus menanjak sampai akhir Maret 2020. Melandainya grafik kasus
COVID-19 di China dan Korea Selatan tentu bukan tanpa alasan. China sebagaimana
umum diketahui, melakukan lockdown besar-besaran saat COVID-19 sudah mulai
merebak (outbreak). The Guardian bahkan menyebut kebijakan China tersebut sebagai
kebijakan yang “brutal, tetapi efektif” (theguardian.com, 19 Maret 2020)
17
.
17
Dilansir dari laman theguardian.com, China's coronavirus lockdown strategy: brutal but effective,
https://www.theguardian.com/world/2020/mar/19/chinas-coronavirus-lockdown-strategy-brutal-but-
effective pada 26 Maret 2020 pukul 21.45 WIB.
11
Korea Selatan mengambil penanganan berbeda dengan China, yaitu dengan tes
COVID-19 secara massal. Mulai sejak 20 Januari 2020, Korea Selatan mulai melakukan
tes massal COVID-19 tidak kurang dari 15.000 jiwa (npr.org, 13 Maret 2020)
18
. Cara
tersebut dianggap efektif karena dengan segera pemerintah Korea Selatan dapat
melakukan karantina terhadap penduduk yang terbukti positif. Langkah tersebut kiranya
yang hendak ditiru oleh pemerintah Indonesia. Pada 19 Maret 2020 kemarin Presiden
Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah telah memesan alat-alat tes COVID-19 untuk
didistribusikan ke berbagai rumah sakit rujukan (kompas.com, 19 Maret 2020)
19
. Namun,
bentuk tes massal tersebut hanya diperuntukkan bagi pasien-pasien dengan kriteria
tertentu dan hanya diadakan di rumah sakit tertentu sehingga hasil pemetaan kasus positif
COVID-19 tidak bisa seefektif dan seakurat Korea Selatan.
Dari pemaparan di atas, tampak bahwa kebijakan pemerintah Indonesia belum
maksimal dalam menangani pandemi COVID-19. Lalu apa yang hendaknya dilakukan
oleh masyarakat? Langkah-langkah strategis seperti apa yang seharusnya diterapkan?
Dan kelompok mana saja yang paling rentan terhadap pandemic COVID-19 ini? Bagian
berikutnya akan memuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
3) Transisi Kesehatan dan Mortalitas Akibat COVID-19
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, analisis transisi kesehatan dan mortalitas
adalah analisis yang membahas perubahan pola mortalitas dan morbiditas dari segi
perbedaan usia (age differentials) serta perbedaan jenis kelamin dan gender (sex and
gender differentials) yang disebabkan oleh komponen sosial dan perilaku penduduk
terhadap penentu-penetu kesehatan (health determinants).
Dalam kasus COVID-19, peneliti berpijak pada studi Remuzzi dan Remuzzi (2020)
di Italia yang menyatakan bahwa besarnya kematian akibat COVID-19 di Italia paling
banyak mengenai penduduk di usia 81 ke atas. Fenomena tersebut sebenarnya bukan
hanya terjadi di Italia, tetapi juga China. Chinese Center for Disease Control and
18
Dilansir dari laman npr.org, South Korea's Drive-Through Testing For Coronavirus Is Fast And Free,
https://www.npr.org/sections/goatsandsoda/2020/03/13/815441078/south-koreas-drive-through-
testing-for-coronavirus-is-fast-and-free pada 26 Maret 2020 pukul 22.00 WIB.
19
Dilansir dari laman kompas.com, Jokowi Perintahkan Tes Massal Corona Segera Dilakukan,
https://www.kompas.tv/article/72095/jokowi-perintahkan-tes-massal-corona-segera-dilakukan pada 26
Maret 2020 pukul 22.30 WIB.
12
Prevention pada publikasi tanggal 17 Februari 2020 mencatat fata;ity rate akibat COVID-
19 tertinggi ada pada kelompok umur 80 tahun ke atas sebesar 14,9% (CCDC, 2020:116).
Selain itu, lapran CCDC tersebut juga mencatat fatality rate pada kelompok jenis kelamin
laki-laki lebih besar, yaitu sebesar 2,8%, sedangkan perempuan sebesar 1,7% (CCDC,
2020:116). Dari kedua data tersebut (Italia dan China), membuktikan tesis Weeks (2008)
bahwa di era modern ini, kematian berdasarkan usia lebih banyak pada usia-usia tertua
(80 tahun ke atas) dan laki-laki yang lebih rentan daripada perempuan. Dari hal tersebut,
tampaknya merebaknya COVID-19 tidak banyak mengubah pola mortalitas di era
modern. Akan tetapi, bagaimana dengan transisi kesehatan?
Peneliti dalam hal ini menyoroti perilaku merokok sebagai salah satu faktor sosial
yang dapat memicu penyebaran COVID-19 sekaligus meningkatkan risiko kematiannya.
Meskipun belum ada data kuantitatif yang menyatakan hal itu, tetapi WHO sudah
menyatakan dalam laman Q&Anya bahwa perokok memiliki risiko tertular COVID-19
karena rokok yang langsung menyambung ke mulut saat dihisap serta meningkatkan
risiko kematian mengingat rokok berpengaruh pada kesehatan paru-paru yang dapat
memperparah efek COVID-19 (who.int, 24 Maret 2020)
20
. Risiko merokok ini penting
diperhatikan oleh pemerintah sekaligus masyarakat Indonesia karena berdasarkan riset
kesehatan dasar (riskesdas) pada tahun 2018, Indonesia adalah negara dengan pengguna
rokok terbesar di dunia (thejakartapost.com, 14 Maret 2020)
21
.
4) Langkah-Langkah Strategis Penanganan COVID-19
Di bagian akhir makalah ini, penulis hendak merumuskan langkah-langkah
strategis secara umum yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia dari publikasi
WHO, Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease 2019
(COVID-19) (WHO, 2020). Tentu langkah-langkah rumusan WHO tersebut masih
sangat umum dan perlu diturunkan ke penerapan yang lebih konkrit, tetapi setidaknya
rumusan itu dapat menjadi garis pandu untuk memahami cara penanganan COVID-
19. Langkah-langkah tersebut adalah:
20
Diakses pada laman resmi WHO, Q&A on smoking and COVID-19, https://www.who.int/news-room/q-
a-detail/q-a-on-smoking-and-covid-19 pada 26 Maret 2020 pukul 23.00 WIB.
21
Dilansir dari laman thejakartapost.com, 'Smokers in Indonesia are at high risk for COVID-19': WHO,
https://www.thejakartapost.com/life/2020/03/14/smokers-in-indonesia-are-at-high-risk-for-covid-19-
who.html pada 26 Maret 2020 pukul 23.13 WIB.
13
1. Segera mengaktifkan protocol tanggap darurat tertinggi tingkat nasional utuk
memastikan semua elemen pemerintahan dan masyarakat dapat mengetahui
gejala-gejala COVID-19 cukup dengan pengukuran non-farmatik.
2. Memprioritaskan pelacakan kasus-kasus positif COVID-19 dengan tes
secepat mungkin, dilanjutkan dengan melakukan isolasi dan karantina pada
kontak-kontak dekat terhadap kasus.
3. Memberikan pendidikan publik secara penuh tentang COVID-19, bahayanya
dan peran publik untuk turut membantu mencegahnya.
4. Segera meluaskan pengawasan terhadap rantai penyebaran COVID-19 dengan
memberikan tes kepada semua pasien yang memiliki gejala-gejala semacam
pneumonia.
5. Melakukan perencanaan dan simulasi multi-sektor untuk mencegah rantai
penyebaran, seperti pembatalan kegiatan yang melibatkan banyak orang serta
penutupan sekolah-sekolah dan tempat kerja.
Tidak hanya memberikan panduan terhadap pemerintah, WHO juga
memberikan panduan kepada publik terkait pencegahan penyebaran COVID-19,
yaitu berupa: 1) pentingnya menyadari bahaya COVID-19, 2) melakukan gaya
hidup sehat dan bersih seperti mencuci tangan rutin serta menutupi mulut dan
hidung saat bersin atau batuk, 3) terus memperbarui perkembangan kesehatan
tubuh, dan terakhir 4) melakukan social distancing sebisa mungkin.
Di akhir, penulis ingin menutup makalah ini dengan kalimat Yuval Noah
Harari yang dia tulis pada artikel terbarunya, bahwa badai ini pasti berlalu, tapi
pilihan yang kita putuskan untuk lakukan sekarang akan mengubah tahun-
tahun kehidupan kita selanjutnya (ft.com, 20 Maret 2020).
22
22
Dilansir dari laman Financial Times, Yuval Noah Harari: the world after coronavirus,
https://amp.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75# pada 27 Maret 2020 pukul 10.34
WIB.
14
Referensi
Buku dan Jurnal
Chinese Center for Disease Control and Prevention. 2020. The Epidemiological
Characteristics of an Outbreak of 2019 Novel Coronavirus Diseases (COVID-19)
China, 2020. CCDC Weekly / Vol. 2 / No. 8.
Fukuda, K. 2013. Emergence of novel coronavirus: global context. EMHJ, Vol. 19,
Supplement 1.
Frenk, J., et al. 1991. Elements for a theory of the health transition. HEALTH
TRANSITION REVIEW VOL. 1 NO. 11, P. 21-38.
Kahn, K. 2006. Dying to make a fresh start: Mortality and health transition in a new
South Africa. Disertasi Epidemiology & Public Health Sciences, Department of
Public Health and Clinical Medicine, Umea University: Swedia.
McCloskey, B. dan Heymann, D. L. 2020. SARS to novel coronavirus old lessons and
new lessons. Epidemiology and Infection 148, e22, 14.
McKeown, R. E. 2009. The Epidemiologic Transition: Changing Patterns of Mortality
and Population Dynamics. Am J Lifestyle Med. 2009 July 1; 3(1 Suppl): 19S
26S.
Remuzzi, A. dan Remuzzi, G. 2020. COVID-19 and Italy: whats next?. Health Policy,
Published Online, March 12, 2020 on
https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)30627-9/fulltext
Weeks, J. R. 2008. Population: An Introduction to Concepts and Issues Tenth Edition.
Thomson Wadsworth: Belmont.
Webby, R. J, dan Webster, R. G. Are We Ready for Pandemic Influenza?. Science 302,
1519.
World Health Organization. 2020. Report of the WHO-China Joint Mission on
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Published Online, Februari 2020 on
https://www.who.int/publications-detail/report-of-the-who-china-joint-mission-on-
coronavirus-disease-2019-(covid-19)
Zao, Z., dan Kinfu, Y. 2005. MORTALITY TRANSITION IN EAST ASIA. Asian
Population Studies, Vol. 1, No. 1.
15
Website
CDC, Revised U.S. Surveillance Case Definition for Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS) and Update on SARS Cases --- United States and Worldwide, December
2003. https://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm5249a2.htm pada 25
Maret 2020 pukul 14.37 WIB.
Cdc.gov, Principles of Epidemiology in Public Health Practice, Third Edition An
Introduction to Applied Epidemiology and Biostatistics,
https://www.cdc.gov/csels/dsepd/ss1978/lesson1/section11.html pada 25 Maret
2020 pukul 17.17 WIB.
European Centre for Disease Prevention and Control, Factsheets,
https://www.ecdc.europa.eu/en/factsheet-health-professionals-coronaviruses
pada 25 Maret 2020 pukul 14.12 WIB.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pemerintah Pusat,
https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/ Pada 26 Maret 2020 pukul 21.20
WIB.
John Hopkins University & Meidicine|Coronavirus Resource Center,
https://coronavirus.jhu.edu/map.html pada 25 Maret 2020 pukul 16.39 WIB.
Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB, Data dan Simulasi COVID-19
dipandang dari Pendekatan Model Matematika,
http://eprints.itb.ac.id/119/1/COVID19%20Corona-
NN%20KKS%20MA%20Final.pdf pada 26 Maret 2020, pukul 19.50 WIB.
WHO, https://www.who.int/emergencies/mers-cov/en/, pada 25 Maret 2020 pukul 14.16
WIB.
WHO, WHO Director-General's opening remarks at the media briefing on COVID-19 -
3 March 2020. https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-
opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---3-march-2020 pada 25
Maret 2020 pukul 14.30 WIB.
WHO, https://www.who.int/emergencies/mers-cov/en/ pada 25 Maret 2020 pukul 14.42
WIB.
Worldometers.info, https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-death-
rate/#who-report-02-20 pada 26 Maret 2020 pukul 21.10 WIB
WHO, Q&A on smoking and COVID-19, https://www.who.int/news-room/q-a-detail/q-
a-on-smoking-and-covid-19 pada 26 Maret 2020 pukul 23.00 WIB.
16
Berita
Aljazeera.com, Why is Italy's coronavirus fatality rate so high?, diakses di
https://www.aljazeera.com/news/2020/03/italy-coronavirus-fatality-rate-high-
200323114405536.html , pada 26 Maret 2020 pukul 21.15 WIB.
CNN, The coronavirus pandemic began in China. Today, it reported no new local
infections for the first time, diakses di
https://edition.cnn.com/2020/03/19/asia/coronavirus-covid-19-update-china-intl-
hnk/index.html pada 26 Maret 2020 pukul 20.11 WIB.
Financial Times, Yuval Noah Harari: the world after coronavirus, diakses di
https://amp.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75# pada 27
Maret 2020 pukul 10.34 WIB.
kompas.com, diakses di https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/12/064800265/virus-
corona-jadi-pandemi-global-apa-dampak-dan-langkah-selanjutnya- pada 25
Maret 2020 pukul 17.12 WIB.
kompas.com, diakses di https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-
lengkap-kasus-pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all pada 26 Maret 2020,
pukul 19.39 WIB.
kompas.com, Jokowi Perintahkan Tes Massal Corona Segera Dilakukan, diakses di
https://www.kompas.tv/article/72095/jokowi-perintahkan-tes-massal-corona-
segera-dilakukan pada 26 Maret 2020 pukul 22.30 WIB.
npr.org, South Korea's Drive-Through Testing For Coronavirus Is Fast And Free,
diakses di
https://www.npr.org/sections/goatsandsoda/2020/03/13/815441078/south-
koreas-drive-through-testing-for-coronavirus-is-fast-and-free pada 26 Maret 2020
pukul 22.00 WIB.
theguardian.com, China's coronavirus lockdown strategy: brutal but effective, diakses di
https://www.theguardian.com/world/2020/mar/19/chinas-coronavirus-lockdown-
strategy-brutal-but-effective pada 26 Maret 2020 pukul 21.45 WIB.
thejakartapost.com, 'Smokers in Indonesia are at high risk for COVID-19': WHO, diakses
di https://www.thejakartapost.com/life/2020/03/14/smokers-in-indonesia-are-at-
high-risk-for-covid-19-who.html pada 26 Maret 2020 pukul 23.13 WIB.
17
Lampiran
1.
Tabel 1
Perbandingan Kasus COVID-19
No.
Nama Negara
Total
Terjangkit
Total Sembuh
Total
Meninggal
1
China
81.637
73.770
3.285
2
Italia
69.176
8.326
6.820
3
US
55.225
354
802
4
Spanyol
42.058
3.794
2.991
5
Jerman
32.991
3.290
164
6
Iran
24.811
8.913
1.934
7
Prancis
22.635
3.281
1.102
8
Swiss
9.891
131
133
9
Korea Selatan
9.137
3.730
126
10
United Kingdom
8.164
140
423
11
Indonesia
790
58
31
12
Global
425.493
109.191
18.963
Sumber: John Hopkins University & Meidicine|Coronavirus Resource Center
(https://coronavirus.jhu.edu/map.html) Per 25 Maret 2020, Pukul 16.39 WIB
2.
Grafik 2
Perbandingan Kasus COVID-19
Sumber: Olahan Penulis
18
3.
Grafik 3 Grafik 4
Tren Kasus COVID-19 di China Tren Kasus COVID-19 di Korea Selatan
Grafik 5
Tren Kasus COVID-19 di Indonesia
Sumber: John Hopkins University & Medicine Coronavirus Resource Centre
... Next, the body is disinfectant sprayed and purified. tayammum or bathed depending on the condition of the body to respect the religion of the body (Nur & Tahrus, 2020). ...
Article
Full-text available
Purpose of the study: This study aims to solve the problem of citizens who refuse funerals/bodies of Covid-19 patients. Methodology The method used in this study is a normative juridical method using statutory, conceptual and case approaches. Results This study found that it is necessary to socialize, educate and communicate to the citizens that the Covid-19 bodies have gone through stages in accordance with medical protocol and WHO in the treatment/repatriation of bodies so that there should be no need for excessive fear while if residents refuse funerals Covid-19 patients' bodies there are sanctions including moral sanctions, fines and criminal confinement. Applications of this study This research can be used by academics and practitioners in health law, so that they can create an instrument to socialize the acceptance of Covid-19's bodies in the community. Novelty/ Originality of this study The bodies of Covid-19 patients have been carried out the repatriation (management) of the bodies in accordance with the standards of who's health protocol (World Health Organization), namely the bodies wrapped in three layers of shrouds and linen and two layers of body bags. then the body in Tayyamum using dust, the body and then placed into the coffin that was placed typical and has been sprayed disinfectant liquid, then the coffin closed tightly using silicone glue and then given nails on each side of the coffin.
... Virus tersebut terus menginfeksi banyak Negara dan menjangkit hampir di seluruh dunia. Pada tanggal 11 maret 2020 WHO secara resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemic (Tahrus, 2020). ...
Article
Full-text available
Covid-19 is an infectious disease that is closely related to a person's nutritional status, for the fulfillment of nutrition- a mother in a family has a very important role in fulfilling the nutrition of family members (Ministry of Health of the Republic of Indonesia, 2020). The purpose of this webinar activity is to increase the knowledge of a mother in family welfare program in RW 02 Pulo gebang - Cakung, East Jakarta regarding the importance of fulfilling the nutrition of family members who will be directly related to individual health. A total of 17 respondents participated in the webinar using a qualitative analysis approach using 3 stages of activities, (1) measuring initial knowledge with pre-test, (2) treatment by learning material in the form of a webinar, ending the re-measurement of knowledge after the delivery of material in the form of post- test. The results of the presentation of the material were said to be successful because the final results showed that there were 76.5% of participants having increased knowledge.abstrakCovid-19 merupakan penyakit infeksi yang erat kaitannya dengan status gizi seseorang, untuk pemenuhan gizi dalam keluarga- seorang ibu memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan gizi anggota keluarga (Kementerian Kesehatan RI, 2020). Tujuan kegiatan webinar ini adalah untuk meningkatan pengetahuan ibu-ibu PKK di RW 02 Kelurahan Pulo gebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur mengenai pentingnya pemenuhan gizi anggota keluarga yang akan langsung berhubungan dengan kesehatan individu. Sejumlah 17 ibu PKK mengikuti webinar menggunakan metode pendekatan secara analisis kualitatif menggunakan 3 tahapan kegiatan yaitu (1) mengukur pengetahuan awal dengan pre-test, (2) treatment berupa pembelajaran materi dalam bentuk webinar, diakhiri pengukuran kembali pengetahuan setelah penyampaian materi dalam bentuk post-test. Hasil pemberian materi dikatakan berhasil karena hasil akhir menunjukkan bahwa terdapat 76,5% peserta memiliki peningkatan pengetahuan.
Article
Full-text available
The pandemic caused by Coronavirus 2019 (Covid-19) which originated in Wuhan, China has spread rapidly to all countries around the world including Indonesia. Various methods are used to maintain safety and prevent the spread of virus getting faster, one of methods by implementing the work from home for the civil servant administration. Therefore, this research investigates the impact of working from home to the performance of civil servant administration in Indonesia. The employees who have the possibility to work from home, have a high degree of autonomy in scheduling their work and thus considered to have higher intrinsic motivation. Thereby, the research hypothesis between working from home can positively impact on employee performance of the civil servant administration at Banten Province. This study uses quantitative methods, the data in this study used by an online questionnaire of 72 civil servant administration in Banten Province. The analysis tool using structural equation modeling (SEM) PLS. Research variable divided become three variables, the work from home as predictor for the performance of civil servant administration, while the Covid-19 pandemic as the moderator variable. The empirical results shows that working from home has a significant positive effect on performance of civil servant administration. Meanwhile, Covid-19 Pandemic as a moderating variable will be weakens the relationship between work form home (WFH) on the performance of civil servant administration.
Article
Full-text available
Status of Specific Disasters Emergency Volume 1 and 2, Social distancing, physical distancing to Large Scale Social Restrictions (PSBB) is a series of policies adopted by the Government of Indonesia from the end of January to the end of March 2020 in response to the escalation the Covid-19 pandemic. However, the series of policies have not been able to reduce the number of positive victims of Covid-19. Since the first positive case of two people on March 2, 2020, the number of positive cases of Covid-19 has been increasing day by day. Data as of 30 April 2020 shows the number of 10,118 positive cases. The failure of the Indonesian Government's policy to suppress Covid-19's positive numbers, one of which is that there are still many Indonesians who do not heed the policies implemented by the government and the ineffective digital-based integrated information system that has been made by the government. One of these two factors, rooted in the ability of information literacy that is owned by the community, because the ability of information literacy will determine what people do in the midst of the Covid-19 pandemic. This paper tries to discuss how to build the ability of family-based information literacy so that the community has capital accumulated knowledge about the Covid-19 pandemic so that it can avoid the anxiety, fear, panic and pandemic Covid-19. Selected family-based because the PSBB policy implemented by the Indonesian Government emphasizes activities at home.Keywords: Covid-19, Family, Information Literacy
Article
Full-text available
The response to the novel coronavirus outbreak in China suggests that many of the lessons from the 2003 SARS epidemic have been implemented and the response improved as a consequence. Nevertheless some questions remain and not all lessons have been successful. The national and international response demonstrates the complex link between public health, science and politics when an outbreak threatens to impact on global economies and reputations. The unprecedented measures implemented in China are a bold attempt to control the outbreak – we need to understand their effectiveness to balance costs and benefits for similar events in the future.
Article
The spread of severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) has already taken on pandemic proportions, affecting over 100 countries in a matter of weeks. A global response to prepare health systems worldwide is imperative. Although containment measures in China have reduced new cases by more than 90%, this reduction is not the case elsewhere, and Italy has been particularly affected. There is now grave concern regarding the Italian national health system's capacity to effectively respond to the needs of patients who are infected and require intensive care for SARS-CoV-2 pneumonia. The percentage of patients in intensive care reported daily in Italy between March 1 and March 11, 2020, has consistently been between 9% and 11% of patients who are actively infected. The number of patients infected since Feb 21 in Italy closely follows an exponential trend. If this trend continues for 1 more week, there will be 30 000 infected patients. Intensive care units will then be at maximum capacity; up to 4000 hospital beds will be needed by mid-April, 2020. Our analysis might help political leaders and health authorities to allocate enough resources, including personnel, beds, and intensive care facilities, to manage the situation in the next few days and weeks. If the Italian outbreak follows a similar trend as in Hubei province, China, the number of newly infected patients could start to decrease within 3–4 days, departing from the exponential trend. However, this cannot currently be predicted because of differences between social distancing measures and the capacity to quickly build dedicated facilities in China.
Article
The epidemiologic transition describes changing patterns of population age distributions, mortality, fertility, life expectancy, and causes of death. A number of critiques of the theory have revealed limitations, including an insufficient account of the role of poverty in determining disease risk and mortality, a failure to distinguish adequately the risk of dying from a given cause or set of causes from the relative contributions of various causes of death to overall mortality, and oversimplification of the transition patterns, which do not fit neatly into either historical periods or geographic locations. Recent developments in epidemiologic methods reveal other limitations. A life course perspective prompts examination of changes in causal pathways across the life span when considering shifts in the age distribution of a population as described by the epidemiologic transition theory. The ecological model assumes multiple levels of determinants acting in complex and interrelated ways, with higher level determinants exhibiting emergent properties. Development, testing, and implementation of innovative approaches to reduce the risks associated with the sedentary lifestyle and hyper nutrition in developed countries should not overshadow the continuing threat from infectious diseases, especially resistant strains or newly encountered agents. Interventions must fit populations and the threats to health they experience, while anticipating changes that will emerge with success in some areas. This will require new ways of thinking that go beyond the epidemiologic transition theory.
Article
This article presents the basic elements for developing a theory of the health transition. Such elements include the definition of concepts, the specification of a framework on the determinants of health status, the analysis of the mechanisms through which health change occurs in populations, the characterization of the attributes that allow us to identify different transition models, and the enumeration of the possible consequences of the transition. The propositions are presented with a sufficient level of generality as to make them applicable to different contexts; at the same time, an attempt is made to provide them with the necessary specificity to account for different national experiences, thus opening a space for future comparative research efforts. Through the systematization exercise presented in this article, we hope to contribute to the progress of a topic that has grown in importance during recent years. Such importance is due to the enormous potential that health transition theory has for understanding and transforming the growing complexity of our times.
Article
During the past year, the public has become keenly aware of the threat of emerging infectious diseases with the global spread of severe acute respiratory syndrome (SARS), the continuing threat of bioterrorism, the proliferation of West Nile virus, and the discovery of human cases of monkeypox in the United States. At the same time, an old foe has again raised its head, reminding us that our worst nightmare may not be a new one. In 2003, highly pathogenic strains of avian influenza virus, including the H5N1 and H7N7 subtypes, again crossed from birds to humans and caused fatal disease. Direct avian-to-human influenza transmission was unknown before 1997. Have we responded to these threats by better preparing for emerging disease agents, or are we continuing to act only as crises arise? Here we consider progress to date in preparedness for an influenza pandemic and review what remains to be done. We conclude by prioritizing the remaining needs and exploring the reasons for our current lack of preparedness for an influenza pandemic.
The Epidemiological Characteristics of an Outbreak of 2019 Novel Coronavirus Diseases (COVID-19) -China
Chinese Center for Disease Control and Prevention. 2020. The Epidemiological Characteristics of an Outbreak of 2019 Novel Coronavirus Diseases (COVID-19) -China, 2020. CCDC Weekly / Vol. 2 / No. 8.
  • Z Zao
  • Y Dan Kinfu
Zao, Z., dan Kinfu, Y. 2005. MORTALITY TRANSITION IN EAST ASIA. Asian Population Studies, Vol. 1, No. 1.