Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
96
http://jurnal.fk.unand.ac.id
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(Supplement 4)
Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS
Yostila D1, Armen A2
Abstrak
Toxoplasmosis cerebri merupakan salah satu infeksi oportunistik yang paling sering pada sistem saraf pusat
pasien HIV. Infeksi toxoplasma Gondii pada pasien HIV terutama terjadi jika pada kondisi CD4 yang rendah, penurunan
produksi sitokin dan interferon gama, dan menurunnya fungsi sel limfosit T sitotoksik sehingga menyebabkan reaktivasi
dari infeksi laten T. Gondii. Telah dilaporkan laki-laki 31 tahun menderita HIV AIDS dengan toxoplasmosis cerebri.
Pasien dirawat dengan penurunan kesadaran dan hemiparese sinistra, riwayat sakit kepala hebat dan sering berulang,
memiliki riwayat menggunakan narkotik suntik dan pemakaian jarum suntik bergantian, tidak ada riwayat hipertensi,
tidak ada riwayat tuberkulosis. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadran apati, pupil isokor, pada mulut terdapat
candidiasis oral, tidak ada kaku kuduk, terdapat lateralisasi tungkai ke kiri serta Babinski yang positif pada tungkai kiri.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Rapid test HIV yang positif, CD4 35sel/ul, dan gambaran CT scan otak yang
sesuai Toxoplasmosis cerebri. Pasien ditatalaksana dengan pemberian Pirimetamin dan klindamisin selama 6 minggu
ditambah steroid sampai pasien sadar.
Kata kunci: HIV AIDS, Toxoplasmosis cerebri
Abstract
Cerebral Toxoplasmosis is one of commonest opportunistic infection of thr nervous system in HIV patient. In
HIV infected patient opportunistic infection by T. Gondii occurs due to depletion of CD4 cells, decreased production of
cytokine and interferon gamma and impaired cytotoxic T-Lymphocyte activity resulting in reactivation of latent infection.
Reported a case, male 31 years old HIV AIDS with cerebral toxoplasmosis. Patient admitted to hospital with decreased
of consciousness and left hemiparese, history of injecting drug used (IDU), no hypertension, no history of tuberculosis.
In physical examination level of consciousness is apathy, pupil was isochor. there is oral candidiasis, absebce of stiffness
of the neck, lateralitation to left lower extremity, and babinsky sign positif in left lower extremity. In laboratory found Rapid
tes HIV testing was positif, CD4 cell count was 35cell/ul, Ig G anti toxoplasma positif dan brain ct scan suitable for
cerebral toxoplasmosis. We treated patient with pyrimethamin, clindamycin for 6 weeks and steroid until conscious level
was compos mentis cooperative.
Keywords: HIV AIDS, Toxoplasmosis Cerebri
Affiliasi penulis: 1. Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam FK Unand/RSUP M Djamil
Padang 2. Subbagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK U nand/RSUP M Djamil Padang
Korespondensi: pibipd@yahoo.com Telp: 0751-37771
PENDAHULUAN
Toxoplasma Gondii merupakan parasit obligat
intraseluler yang tersebar luas di seluruh dunia. Di
Indonesia prevalensi zat anti T gondii positif pada
manusia berkisar antara 2 % dan 63%. Pada pasien
HIV positif didapatkan sekitar 45% telah terinfeksi T.
gondii. Pada pasien dengan infeksi HIV, T. Gondii
menyebabkan infeksi oportunistik yang berat sehingga
diperlukan penatalaksanaan yang tepat dan sesegera
mungkin. Pada individu sehat (immunokompeten)
parasit ini menyebabkan infeksi kronik persisten yang
asimptomatik, namun pada immunocompromised akan
terjadi reaktivasi sehingga menimbulkan gejala
klinis.1,2,3
Penularan terhadap manusia terutama terjadi
apabila tertelan daging babi atau domba yang
mengandung kista jaringan atau apabila menelan
sayuran yang terkontaminasi dan dimasak tidak
matang. Jika kista jaringan yang mengandung bradizoit
atau ookista tertelan pejamu, maka parasit akan
terbebas dari kista dalam proses pencernaan. Bradizoit
ini resisten terhadap efek dari pepsin dan menginvasi
traktus gastrointestinal pejamu. Dalam eritrosit parasit
mengalami transformasi morfologi, akibatnya jumlah
takizoit invasif meningkat. Takizoit ini mencetuskan
respon IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus
gastrointestinal, kemudian parasit menyebar ke
berbagai organ, terutama jaringan limfatik, otot lurik,
miokardium, retina, plasenta dan sistem saraf pusat
(SSP). Di tempat-tempat tersebut, parasit menginfeksi
sel pejamu, bereplikasi, dan menginvasi sel yang
berdekatan. Terjadilah proses yang khas yakni
kematian sel dan nekrosis fokal yang dikelilingi respon
inflamasi akut.3,4,5
Pada pasien immunocompromise seperti pada
pasien HIV/AIDS, terjadi suatu keadaan adanya
defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi
kuantitatif dan kualitatif yang progresif dari limfosit T (T
helper). Subset sel T ini digambarkan secara fenotip
oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang
bekerja sebagai reseptor primer terhadap HIV. Pada
pasien HIV terjadi penurunan CD4 di bawah level kritis
(CD4<200/ul) sehingga pasien menjadi sangat rentan
terhadap infeksi oportunistik.4
Pada HIV, manifestasi klinis terjadi bila jumlah
limfosit CD4 < 100 sel/ml. Manifestasi tersering pada
HIV adalah ensefalitis. Ensefalitis terjadi pada sekitar
80% kasus. Rabaud et al menunjukkan bahwa selain
Laporan Kasus
97
http://jurnal.fk.unand.ac.id
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(Supplement 4)
otak terdapat beberapa lokasi lain yang sering terkena
yaitu mata (50%), paru-paru(26%), darah tepi(3%),
jantung (3%), sumsum tulang(3%) dan kandung kemih
(1%).5
Ensefalitis toksoplasma (ET) dapat terjadi
pada 30 sampai 40% pasien yang tidak mendapat
profilaksis toxoplasmosis pada HIV. Studi di negara
barat melaporkan komplikasi pada sistim saraf terjadi
pada 30-70% penderita HIV, bahkan terdapat laporan
neuropatologik yang mendapat kelainan pada 90%
spesimen post mortem dari penderita HIV yang di
periksa.5
Pada pasien dengan ET gejala-gejala yang
sering terjadi adalah gangguan mental (75%), defisit
neurologik (70%), sakit kepala (50%), demam (45%),
tubuh terasa lemah serta gangguan nervus kranialis.
Gejala lain yang juga sering ditemukan yaitu parkinson,
focal dystonia, rubral tremor, hemikorea-hemibalismus,
dan gangguan batang otak. Medula spinalis juga dapat
terkena dengan gejala seperti gangguan motorik dan
sensorik di daerah tungkai, gangguan berkemih dan
defekasi. Predileksi infeksi terutama pada great white
junction, ganglia basal dan talamus. Onset dari gejala
ini biasanya subakut.2,4
Diagnosis toksoplasmosis dibuat berdasarkan
temuan klinis, laboratoris, dan radioimaging.
Pemeriksaan penunjang laboratorium toksoplasmosis
akut dibuat berdasarkan kultur, pemeriksaan serologis
dan PCR. Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang
spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED dan
peningkatan transaminase. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada meningoensefalitis menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial, pleidositosis
mononuklear (10-50 sel/ml), peningkatan kadar
protein.6
Diagnosis toxoplasmosis akut dapat
dipastikan bila menemukan takizoit dalam biopsi otak
atau sumsum tulang, cairan cerebrospinal dan
ventrikel. Dengan cara pulasan yang biasa takizoit
sukar ditemukan dalam spesimen ini. Isolasi parasit
dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi
hal ini memerlukan waktu yang lama. Isolasi parasit dari
cairan tubuh menunjukkan adanya infeksi akut, tetapi
isolasi dari jaringan hanya menunjukkan adanya kista
dan tidak memastikan adanya infeksi akut.5,6
Tes serologi dapat menunjang diagnosis
toksoplasmosis. Tes yang dapat dipakai adalah tes
warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan tes
hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi
antibodi IgG, tes zat antifluoresen tidak langsung (IFA),
dan tes ELISA untuk deteksi antibodi IgM dan IgG. Ig G
anti toxoplasmosis meningkat setelah 1-2 minggu
infeksi dan meningkat mencapai puncaknya setelah 8-
8 minggu. Ini akan menurun secara perlahan dalam 1-
2 tahun, namun dalam beberapa kasus akan menetap
seumur hidup. Titer Ig G anti toxoplasma yang tinggi
dengan aviditas yang positif menandakan infeksi akut
atau reaktivasi dari infeksi laten atau kronik
toxoplasma.4
Pemeriksaan Brain CT Scan pada pasien
dengan ET menunjukkan gambaran menyerupai cincin
yang multipel pada 70-80% kasus. Pada pasien dengan
AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasma
gondii dan gambaran cincin yang multipel pada CT
scan 85% merupakan ET. Lesi tersebut terutama
berada pada ganglia basal dan corticomedullary
junction.4
Magnetic resonance imaging (MRI)
merupakan prosedur diagnostik yang lebih baik
daripada CT scan dan sering menunjukkan lesi-lesi
yang tidak terdeteksi dengan CT scan. Oleh karena itu
MRI merupakan prosedur baku jika memungkinkan
terutama bila CT scan menunjukkan gambaran lesi
tunggal.7
Toksoplasmosis cerebri merupakan slah satu
kasus emergensi neurologi pada HIV, oleh karena itu
memerlukan penatalaksanaan yang serius. Terapi
meliputi penatalaksanaan infeksi aktif diikuti dengan
terapi maintanance untuk mencegah rekuren pada
pasien dengan CD4 <200 sel/mm3. Terapi standar
diberikan primetamin loading dose 100 mg diikuti 50mg
maintanance dan sulfadiazin 100 mg/hari. Untuk pasien
yang intoleran dengan sulfadiazin dapat diberikan
klindamisin 600 mg setiap 6 jam.Terapi maintanance
diberikan minimal 6 minggu. Untuk mengurangi
toksisitas pirimetamin terhadap sumsum tulang dapat
diberikan asam folat 2 sampai 4 mg/hari.Untuk
mengurangi edem cerebri dapat diberikan steroid
intravena.8
LAPORAN KASUS
Seorang pasien laki-laki usia 31 tahun dirawat
di bangsal Penyakit Dalam RSUP M Djamil Padang
dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 10
hari sebelum masuk rumah sakit, sakit kepala hebat,
adanya bercak putih di mulut, penurunan nafsu makan,
demam hilang timbul, kejang serta adanya faktor resiko
HIV yaitu penggunaan jarum suntik secara bergantian.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran apati,
pada kulit ditemukan adanya bekas suntikan dan tatto,
pupil isokor, tidak ada kaku kuduk, adanya oral trush,
tes lateralisasi yang positif dimana terdapat lateralisasi
ke kiri serta refleks babinsky yang positif pada tungkai
kiri. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan rapid test
HIV yang positif, CD4 35sel/mm3, Ig G anti toxoplasma
yang positf, serta CT scan kepala didapatkan gambaran
multiple abses cerebri yang mendukung adanya
toxoplasmosis cerebri. Pasien ini diberikan terapi
fluconazole, dexametason intravena, pirimetamin,
klindamisin, Hiviral, Tenofovir, dan Neviral.
Dexametason intravena diberikan sampai pasien sadar,
sedangkan klindamisin dan primetamin setelah
diberikan loading dose, terapi dilanjutkan selama 6
minggu. Setelah pemberian terapi 1 minggu pasien
mengalami perbaikan.
98
http://jurnal.fk.unand.ac.id
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(Supplement 4)
Gambar 1. Foto Brain CT Scan
Gambar 2. Foto Rontgen thorax
PEMBAHASAN
Telah dirawat seorang laki-laki 31 tahun di
bangsal Penyakit Dalam RSUP M Djamil Padang
dengan Toxoplasmosis cerebri dengan HIV AIDS.
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Data yang menunjang dalam
anamnesis adalah adanya demam hilang timbul,
bercak-bercak putih di lidah dan rongga mulut. Pada
pasien juga didapatkan adanya faktor risiko tertularnya
HIV dari riwayat pemakaian narkoba suntik. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kandidiasis oral,
bekas suntikan dilipat lengan kiri dan tato. Sedangkan
dari pemeriksaan laboratorium didukung dengan hasil
rapid tes yang positif serta jumlah CD4 yang sangat
rendah yaitu 35 sel/ul.
Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) 2016, di Amerika Serikat tahun 2015 injection
drugs use (IDU) merupakan 10% penyebab penularan
HIV dimana 59% nya adalah laki-laki. Selain pemakaian
jarum suntik bergantian pada IDU, pemakaian jarum
pada pembuatan tato juga merupakan faktor resiko
penularan HIV. Shahri et al, 2016 meneliti 63 pasien
yang memiliki tattoo, didapatkan 7,9% diantaranya HIV
positif. Ini dapat terjadi karena prosedur yang tidak steril
serta pengguanaan jarum secara bergantian tanpa
melalui proses sterilisasi setelah penggunaan
sebelumnya pada pasien terinfeksi HIV.9,10
Yuliawati et al 2015 Pada pasien HIV resiko
infeksi sistem saraf pusat berhubungan dengan kadar
CD4, dimana resiko tinggi terjadi pada
CD4<200sel/mm3. Penelitian oleh Antinori et al (2004)
setiap penurunan CD4 50 sel/mm3 akan meningkatkan
resiko ET 30%.11
Secara klinis pada pasien ini ditemukan
adanya berbagai infeksi opportunistik yang sering
mengikuti infeksi HIV seperti kandidisis oral dan
toksoplasmosis serebri sehingga pasien sudah
termasuk kedalam stadium klinis IV berdasarkan
derajat beratnya infeksi HIV AIDS sesuai ketentuan
WHO. Sedangkan dari hasil CD4+ yang sangat rendah,
hal ini menunjukkan keadaan immuodefisiensi pasien
yang sangat berat.5
Toksoplasmosis serebri pada pasien ini
tergambar dari adanya keluhan penurunan kesadaran
yang bertahap mulai dari gejala sakit kepala,
perubahan perilaku, hingga terjadinya kejang pada
pasien ini. Selain itu, nilai CD4+ yang kecil dari 50
sel/mm3 juga merupakan faktor risiko terjadinya
reaktivasi kembali dari kista jaringan laten yang
mengandung parasit toxoplasma sebagai akibat dari
defiensi sistem imun yang berperan dalam timbulnya
infeksi T. gondii. Pada penderita HIV dengan ET hampir
sama positif dalam hasil serologis IgG anti
toksoplasmosis. IgM anti toksoplasma biasanya
negative.2,12,13
Lebih dari 50% manifestasi klinis
toksoplasmosis melibatkan kelainan intraserebral.
Kelainan ditandai lesi non fokal hingga disfungsi fokal.
Kelaianan pada system saraf pusat termasuk
ensefalopati, meningoensefalitis, dan lesi massa di
otak. Kelaian klinis yang sering terdapat adalah
gangguan status mental (75%), demam (10-72%),
kejang (33%), sakit kepala (56%), gangguan neurologis
fokal (60%). Gangguan neurologis fokal termasuk
deficit motoric, kelumpuhan saraf otak, gangguan
gerak, dismetria, penurunan visus dan afasia. Kondisi
ini bukan saja akibat ensefalitis necrotizing akibat invasi
langsung toksoplasma tetapi juga akibat dampak
sekunder akibat vasculitis, edema, dan perdarahan.6
Luma et al 2013, dari 97 pasien HIV dengan
ET yang diteliti didapatkan sakit kepala merupakan
keluhan tersering (92.8%) diikuti oleh demam (87,6)
dan kejang (57,7%). Penelitian oleh Goita et al (2012)
juga ditemukan hal yang sama yaitu kejang merupakan
gejala yang umum ditemukan pada toksoplasmosis
cerebri.14,15
Dari hasil CT scan didapatkan gambaran lesi
hipodens multiple dengan kesan suatu abses serebri.
Pada pasien HIV, gambaran toksoplasmosis serebri
sering muncul dalam bentuk abses serebri. Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas dari suatu infeksi
toksoplasmosis serebri pada CT scan kepala tersebut
hendaknya dilakukan dengan memakai kontras, karena
dengan kontras pencitraan dapat menunjukkan
99
http://jurnal.fk.unand.ac.id
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(Supplement 4)
gambaran ring enhancement. Pada pasien ODHA yang
telah terdeteksi dengan IgG T. gondii dan gambaran
cincin multiple pada CT scan sekitar 80% merupakan
ET. Pada pasien sudah dapat diberikan terapi
toksoplasmosis karena menurut literatur berdasarkan
diagnosis presumptive, terapi empiris toksoplasmosis
dapat dimulai.5
Toxoplasmosis cerebri menyebabkan lesi
unifokal, jarang lesi yang difus. Gejala klinis tergantung
pada lokasi dan jumlah lesi. Gejala yang paling sering
dikeluhkan meliputi: sakit kepala (49-63%), demam (41-
68%), deficit fokal (22-80%), kejang (19-29%),
kebingungan (15-52%), ataxia (15-25%), letargi (12-
44%), kelemahan saraf kranial (12-19%), dan
gangguan penglihatan (8-15%). Manifestasi lainnya
dapat bjuga berupa disartria, gangguan kognitif,
peningkatan tekanan intrakranial, dan gerakan
involunter.12
Pemberian terapi kombinasi pirimetamin,
klindamisin, steroid dan obat anti retroviral pada pasien
ini memperbaiki kondisi klinis. Pirimetamin merupakan
obat yang spesifik untuk toxoplasma stadium takizoit
dan dapat menembus parenkim otak. Pirimetamin
memiliki efek sinergis jika dikombinasikan dengan
klindamisin dan sulfadiazine. Kombinasi ini
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk
toksoplasmosis cerebri pada pasien HIV.16
Nasronudin 2011, terapi presumtif ensefalitis
toksoplasmosis dengan pirimetamin dan klindamisin
hasilnya cukup baik. Pda lebih dari 50% kasus dalam 3
hari sudah terlihat perbaikan. Bila terapi diberikan 7 hari
persentase yang membaik menjadi lebih tinggi (90%).6
Kematian terkait ET pada pasien HIV hampir
100% apabila terdapat keterlambatan terapi. Apabila
tidak tersedia pilihan terapi lini pertama ini, pemberian
terapi trimethoprim-sulfametoksazol direkomendasikan
sebagai terapi alternatif.16
SIMPULAN
Toxoplasmosis cerebri merupakan infeksi
oportunistik pada system saraf pusat yang paling sering
dijumpai pada pasien HIV. Infeksi ini terjadi akibat
terjadinya reaktivasi T. gondii pada kondisi
immunocompromised. Diagnosis yang cepat dan tepat
dapat memperbaiki outcome pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Swami A, Thakuria R, Kharat S. Cerebral
Toxoplasmosis in a Treatment Naive HIV Patient
with High CD4 Count Responding to Treatment
with a Regime of Cotrimoxazole and
Pyrimethamine: Do We Need to Start Prophylaxis
for Toxoplasmosis at a Higher CD4 Count?
HIV/AIDS Research and Treatment. 2015 August;
2(3):72-5
2. Neki N. Cerebral Toxoplasmosis in HIV/AIDS
Patient- A Case Report. Bangladesh Journal
Medicine. 2014 June; 25;76-7
3. Soleimani A, Bairami A. Cerebral Toxoplasmosis
in A Patient Leads to Diagnosis of AIDS. Asian
Pacific Journal of Tropical Disease. 2015 July;
5(8):667-8
4. Basavaraju A. Toxoplasmosis in HIV Infection: An
Overview. Tropical Parasitology. 2016 Jul-Dec;
6(2):129-135
5. Baratioo A, Hashemi B, Rouhipour A, Haroutunian
P, Mahdlou M. Review of Toxoplasmic
Encephalitis in HIV Infection; a Case Study.
Archives of Neuroscience. 2015 April; 2(2):1-5
6. Nasronudin. Toksoplasmosis. In N, Hadi U,
Vitanata M, Triyoni EA, B, S, et al., editors.
Penyakit infeksi di Indonesia solusi kini dan
mendatang. Surabaya: Pusat penerbitan dan
percetakan UNAIR; 2011.:494-500.
7. Naqi, Azeemuddin, Ahsan. Cerebral
toxoplasmosis in a patient with acquired
immunodeficiency syndrome. J. Pak Med
Association. 2010; 60(4): 316-8.
8. Ronaldo A. Steroids in neuroinfection. Arq. Neuro-
Psiquiatr. 2013; 71(9B): 717-21.
9. CDC. HIV and injection drug used. Diakses dari
https://www.cdc.gov/hiv/risk/idu.html.
10. Hasemi-shahri M, Sharifi-Mood B, Metanat, Salehi
M, Sharifi. Blood-Borne Infections in Tattooed
People. Int J Infect. 2016; 3(2): 1-4.
11. Antinori A, Larussa D, Cingolani A, Lorenzini P,
Bossolasco S, Finazzi M. Prevalence, associated
factors, and prognostic determinants of AIDS
related toxoplasmic encephalitis in the era of
advanced highly active antiretroviral therapy. Clin
infect Dis. 2004; 39:1981-91.
12. Yancheva N, Tsvetcova N, Marinova I, Elenkov I,
Tchervenyakova T, Nikolova M, et al. A Report of
Two Cases with Different Clinical Presentation of
Cerebral Toxoplasmosis in HIV-Infected Bulgarian
Patient. Journal of AIDS and Clinical Research.
2017 February; 8(673):1-3
13. Sriwidyani NP. Cerebral Toxoplasmosis in Aid
Patient A Case Report and Review Literature.
International Journal of Science and Research.
2017 June; 6(6).:1445-7
14. Luma H, Tchaleu BN, Mapoure N, Temfack,
Doualla S, Halle P, et al. Toxoplasma encephalitis
in HIV/AIDS patients admitted to the Douala
general hospital between 2004 and 2009: a cross
sectional study. BMC Research Notes. 2013;
6(146):1-5.
15. Goita D, Karambe M, Dembele J, Sogoba D D,
Sidibe A, Diaby S. Cerebral toxoplasmosis during
AIDS in the infectious diseases department of
point-G teaching hospital, Bamako, Mali. Le Mali
medica. 2012; 27(1): 47-50.
16. Hodgson HA, Taeyong S, Gonzalez H, Aziz M,
Rhee Y, Lewis PO, et al. Successful Treatment of
Cerebral Toxoplasmosis Using Pyrimethamine
Oral Solution Compounded from Inexpensive Bulk
Powder. Open Forum Infect Dis. 2018; 5(4):1-3.