Available via license: CC BY-NC 4.0
Content may be subject to copyright.
TAFSIR SOSIAL KONTEKSTUAL IBADAH KURBAN DALAM
ISLAM
Oleh:
Choirul Mahfud
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS)
Surabaya
Email: choirul_mahfud@yahoo.com
Abstrak: Dalam studi Islam, kurban merupakan salah satu ajaran mulia. Kurban secara bahasa
dimaknai mendekatkan diri. Secara istilah, kurban diartikan segala upaya mendekatkan diri
kepada Allah dengan cara menjalankan apa saja yang diperintahkan sekaligus menjauhi yang
dilarang. Ibadah kurban termasuk ajaran ideal. Namun begitu, dalam praktiknya masih ada
persoalan yang dijumpai kenapa ada orang yang belum mengamalkan ajaran ibadah kurban
secara maksimal dalam kehidupannya. Hal itu disinyalir, diantaranya, karena adanya pemahaman
yang cenderung tekstual ketimbang kontekstual sosial sepanjang hayatnya. Oleh karena itu,
tulisan ini lebih memfokuskan pada pembahasan apa yang dimaksud ibadah kurban dalam Islam?
Bagaimana tafsir sosial ibadah kurban dalam Islam tersebut? Apa saja manfaat menjalankan
ibadah kurban? Lalu, bagaimana implementasi dan implikasi kurban dalam Islam bagi kehidupan
setiap manusia di dunia dan akhirat.
Kata Kunci: Kurban, Tafsir Sosial Kontekstual, Islam
Pendahuluan
Kurban merupakan ajaran yang hampir menyatu dalam segi waktu pelaksanaannya
dengan ibadah haji. Namun berbeda dari segi tempat dan pelakunya. Ibadah kurban biasa
dilakukan pada saat hari raya idul adha. Dengan lain bahasa, bila kita mendengar Idul Adha,
maka langsung terlintas pada benak kita akan tradisi ber-qurban, yang sangat identik dengan
menyembelih hewan qurban.
Dalam konteks ini, Komaruddin Hidayat dalam buku “Memahami bahasa Agama”
mengurai benang kusut pemahaman bahasa agama yang perlu dimengerti untuk mencari esensi
dalam praktik kehidupan beragama sehari-hari (Komaruddin Hidayat, 1996: 8-38).
Fuad Amsari dalam buku “Islam Kaafah: Tantangan Sosial dan Aplikasinya di
Indonesia”, mengulas pentingnya upaya menjadi muslim yang sempurna dan total dalam
mempraktikkan ajarannya (Fuad Amsari, 1995: 19-89). Dalam hal ini, tentu diantaranya adalah
soal bagaimana mengamalkan ajaran kurban sesuai dengan syariat dan tuntunan agama Islam.
Namun tidak berlebihan, bila kita mau terus menerus kembali berusaha menjawab jujur,
bahwa peringatan hari-hari besar keagamaan atau aktivitas dan praktik ibadah seperti kurban
apakah lebih kita jadikan sebagai kegiatan rutin biasa (ritual) atau memang sebagai ekspresi
iman dan taqwa karena Allah.
Perilaku kita tetap berjalan seperti hari-hari biasanya atau berubah setelah menjalankan
semua ibadah. Kita tidak peduli terhadap sesama, kita tidak takut kepada peringatan-Nya atau
sebaliknya. Lalu tindakan yang merugikan orang banyak tetap saja kita lakukan atau tidak. Pola
hidup yang jor-joran juga semakin surut atau diganti dengan pola hidup suka berbagi.
Realitas kehidupan yang menunjukkan banyak saudara-saudara di sekitar kita yang hidup
dalam kemiskinan, serba kekurangan dan mengalami tekanan hidup yang semakin berat tentu
bagian dari tantangan ibadah yang lebih praktis dan berdampak secara sosial. Dalam konteks
inilah, pembahasan dan penafsiran sosial dalam praktik ibadah kurban penting didiskusikan lebih
lanjut.
Lebih dari itu, di setiap saat perayaan hari raya keagamaan tiba, kita juga selalu
diingatkan mengenai pesan moral yang terkandung di dalamnya. Kita diingatkan untuk selalu
mengagungkan nama-Nya, membagi kasih sayang terhadap sesama, dan kita diingatkan untuk
selalu menjauhi larangan-Nya. Apakah kita kemudian dengan sadar melaksanakan semua itu?
Apakah kita peduli dengan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya?
Pembahasan
Dari dulu hingga sekarang, topik kurban selalu menjadi bahasan penting dan menarik. Di
awal tulisan ini, pembahasan difokuskan pada apa yang dimaksud dengan kurban. Secara
etimologi, qurban yang sering ditulis dalam tulisan ini dengan huruf awal k berarti
mendekat/pendekatan. Sedangkan menurut istilah adalah usaha pendekatan diri seorang hamba
kepada penciptanya dengan jalan menyembelih binatang yang halal dan dilaksanakan sesuai
dengan tuntunan, dalam rangka mencari ridla-Nya. Salah satu ajaran Islam yang penuh dengan
kesakralan (suci) dan juga syarat dengan muatan kemanusiaan adalah ibadah qurban.
Dalam konteks ini, ibadah kurban adalah kesempatan bagi si miskin untuk merasakan
kenikmatan dari si kaya. Mengalirnya darah-darah suci dari hewan qurban akan menghanyutkan
noktah-noktah hitam di hati manusia, memercikkan aroma harum jalinan kasih antara sesama
sembari menyemaikan rona ceria di wajah masing-masing.
Lewat ibadah kurban, akan tumbuh rasa kepedulian sosial terhadap sesama. Terlebih saat
ini bangsa Indonesia sedang berduka, di mana saudara-saudara kita yang tertimpa musibah
bencana alam yang telah merenggut ratusan ribu nyawa, keluarga dan harta. Melalui ibadah
kurban ini, kita ketuk pintu hati kemanusiaan, rasa kepedulian sosial serta merasa senasib
sepenanggungan terhadap apa yang menimpa saudara-saudara kita di negeri tersebut.
Dari sinilah, M. Quraish Shihab menyatakan ibadah kurban merupakan ibadah yang
sempurna sepanjang hayat manusia. Pasalnya, ibadah kurban merupakan ajaran tertua sepanjang
sejarah kehidupan manusia yang terus berlangsung hingga saat ini (M. Quraish Shihab, 2008: 38-
40).
Tafsir Sosial Kontekstual Ibadah Kurban
Memahami ibadah kurban perlu banyak pendekatan, salah satunya adalah pendekatan
sosial kontekstual. Ahmad Izzan dalam buku “Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan
Kontekstualitas Al-Qur’an” menjelaskan bahwa memahami dan menafsirkan al-Qur’an bisa
dilakukan dengan cara mengaitkan antara teks al-Qur’an dengan konteksnya untuk
kesempurnaan pemahaman (Ahmad Izzan, 2011: 8-19).
Dengan nada yang berbeda tapi sama maksudnya, Syafrudin dalam buku “Paradigma
Tafsir Tekstual & Kontekstual”, juga mengungkap kelebihan pendekatan kontekstual ketimbang
hanya dengan memakai paradigma tekstual (Syafrudin, 2009: 19-29). Menurutnya, pendekatan
kontekstual bisa menjembatani pemahaman teks yang kadang terputus dan terhenti pada bacaan
dan tulisan. Di sini, pendekatan konteks dianggap bisa mengarahkan pembaca pada tujuan dan
tindakan nyata.
Pradana Boy dalam buku “Fikih Jalan Tengah: Dialektika Hukum Islam dan Masalah-
masalah Masyarakat Modern” menengarai bahwa problem krusial penafsiran al-Qur’an memang
selalu berujung pada ranah fikih sebagai kunci praktis dalam ajaran Islam. Di sinilah, ungkap
Boy, perlunya jalan tengah yang lebih arif, bijak, adil dan fleksibel sebagai respons keunikan
tradisi, budaya dan khazanah Islam yang tersebar di segala penjuru alam dan zaman (Pradana
Boy, 2008: 4-14).
Secara epistemologis, Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.) dalam buku
“Epistemologi Tafsir Kontemporer”, memberikan dasar-dasar pengetahuan tentang tafsir
kontemporer yang sesuai dengan konteks tetapi tetap tidak melupakan teks aslinya (Abdul
Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), 2011: 23-48).
Namun dalam konteks ini kita diingatkan oleh Islah Gusmian dalam buku “Khazanah
Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi”, terkait tafsir menafsir kita perlu
memahami dan menghayati apakah penafsiran yang dimaksud mengarah pada kepentingan
tertentu dan ideologi-ideologi ataukah murni pada penafsiran yang membawa ke arah keadilan
dan kesejahteraan sosial (Islah Gusmian, 2003: 8-29).
Hal itu semua merupakan cakrawala dan wawasan baru yang menarik untuk dijadikan
referensi pemahaman dalam studi tafsir sosial kontekstual dalam suatu masalah dan bahasan
keislaman. Nashruddin Baidan dalam buku “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”, mengungkap
pentingnya penafsir dan pembaca untuk memupuk wawasan baru dalam semua bidang keilmuan,
tidak terkecuali dalam ilmu tafsir itu sendiri (Nashruddin Baidan, 2011: 5-18).
Dari sini, memahami ibadah kurban bukan semata-mata ibadah individual. Ibadah kurban
sebagai ibadah yang secara khusus dilaksanakan sekali dalam setahun dalam hitungan bulan
Qamariyah, tepatnya pada hari besar Islam yaitu Idul Adha, merupakan ibadah sosial yang
luarbiasa manfaatnya. Ibadah kurban termasuk hari raya besar dalam agama Islam. Penyebutan
hari besar Islam untuk idul adha ini disebabkan beberapa hal. Pertama, pada hari itu kaum
muslim melakukan shalat sunat Idul Adha. Kedua, adanya perhelatan agung yaitu ibadah haji di
Makkah. Ketiga, dalam momentum ini pula, ada peristiwa penyembelihan hewan kurban.
Pada masa Rasulullah, konon katanya, peringatan hari raya Idul Adha sangat semarak
melebihi semaraknya hari raya Idul Fitri. Namun, hal itu berbeda dengan sekarang, justru
sebaliknya Hari Raya Idul Fitri jauh lebih semarak dibanding Idul Adha. Memang banyak faktor
yang melatari kenapa saat ini berbeda dengan kehidupan di masa rasulullah. Terlepas dari
perdebatan atas persoalan ini, fenomena kurban menjadi penting untuk dicari hikmahnya (M.
Quraish Shihab, 1997: 46).
Dalam momen kurban, hampir setiap muslim yang berkemampuan melaksanakan
penyembelihan hewan kurban, entah secara perorangan ataupun berkelompok. Di sekolah-
sekolah pun diadakan penyembelihan hewan qurban sebagai suatu sarana untuk mendidik siswa.
Secara etimologis, qurban diartikan mendekat/ pendekatan. Dalam pengertian terminologisnya
qurban adalah usaha pendekatan diri seorang hamba kepada penciptanya dengan jalan
menyembelih binatang yang halal dan dilaksanakan dengan tuntunan, dalam rangka mencari
ridla-Nya (QS Al Maidah, 5: 27).
Bila dilacak historisitasnya, ibadah qurban sudah ada sejak Nabi Adam. Menurut M.
Quraish Shihab, dalam tafsir al-Misbah, qurban pertama kali yang terjadi di muka bumi ini
adalah qurban yang diselenggarakan oleh dua putera Nabi Adam (Habil dan Qabil) kepada Allah
(M. Quraish Shihab, 2002: 30). Secara formalistik, ungkap Quraish Shihab, sejarah ibadah
qurban bermula dari Nabi Ibrhaim As. Yakni, tatkala ia bermimpi disuruh Tuhan-nya untuk
menyembelih Nabi Ismail As, seorang putra yang sangat dicintainya (Q.S Ash-Shaffat, 37: 102-
110). Singkat alkisah, dari persitiwa kenabian Ibrahim inilah ibadah qurban muncul dan menjadi
tradisi umat Islam hingga saat ini. Apa makna sosial ibadah qurban?
Sebetulnya, banyak makna yang dapat dipetik dari ibadah qurban ini, baik secara ruhiyah
maupun secara sosial-kemasyarakatan. Secara ruhiyah, ibadah ini bisa menumbuhkan dan
meningkatkan kesadaran ritual dari para pelakunya. Secara sosial-kemasyarakatan, ibadah
qurban akan bermakna apabila kerelaan dan keikhlasan orang-orang yang melaksanakan qurban
berimbas pada perilaku keseharian dan perhatiannya pada sesama, utamanya kaum miskin dan
mustadzafiin.
Secara esensial, tentu saja, tujuan ibadah qurban bagi umat Islam adalah semata-mata
mencari ridla Allah SWT. Ibadah qurban ini dimaksudkan untuk memperkuat dan mempertebal
ketaqwaan kepada Allah. Allah akan menilai ibadah ini sebagai wujud ketaqwaan hamba
kepada-Nya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: "Daging-daging unta dan darahnya
itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya." (QS Al Hajj, 22: 37). Hal ini pulalah yang menjadi sebab tertolaknya qurban
salah seorang dari kedua putera Nabi Adam A.S dan diterima-Nya qurban yang lain. Bukanlah
suatu nilai yang tinggi dan banyak di mata Allah, qurban yang banyak tetapi tanpa keikhlasan
dan ketakwaan orang yang berqurban hal itu sama saja tak ternilai di mata Allah SWT.
Kebanyakan kita menilai ibadah qurban, mungkin cenderung melihat sesuatu dari lahirnya yang
tampak, padahal Tuhan melihat sebaliknya yaitu keikhlasan.
Mungkin tatkala kita melihat seseorang berqurban hanya dengan seekor kambing, kita
menganggapnya remeh. Kita lebih memandang besar dan hormat kepada orang yang berqurban
dengan seekor sapi yang gemuk. Padahal belum tentu penilaian kita benar. Sebenar-benar penilai
hanyalah Allah. Mungkin saja di mata Allah lebih tinggi nilai seekor kambing tadi karena taqwa
di hati orang yang berqurban. Jadi tak ada yang menghalangi seseorang untuk berqurban sedikit
jika disertai hati yang suci, taqwa dan ikhlas. Dan tidak ada kepastian diterimanya qurban yang
banyak dari seseorang tanpa ketaqwaan dan keikhlasan. Namun di sini bukan berarti tidak
diperbolehkan berqurban dengan jumlah banyak, saya kira, berqurban banyak pun boleh asal
disertai dengan taqwa dan ikhlas. Taqwa dan ikhlas menjadi inti amal, mengapa? Sebab, banyak
sebagian dari kita tatkala beramal hanya untuk mencari muka, dan pujian semata.
Selain makna sosial di atas, Ibadah qurban juga bisa menjadi sarana untuk membentuk
kepribadian yang penuh toleransi, media menebar kasih sayang, serasi dan jauh dari keegoisan.
Hubungan yang baik akan terjalin antara yang kaya dan miskin. Setidaknya selama beberapa hari
tersebut orang-orang yang miskin akan merasakan kesenangan. Kalau saja hal itu bisa
berlangsung terus–setidaknya untuk kebutuhan pokok-tentu tingkat kemiskinan di masyarakat
kita akan menurun. Di dalam masyarakat akan tercipta ketenangan dan ketentraman. Sebab, tidak
ada lagi perbedaan status/ keadaan hidup yang mencolok. Pengorbanan yang tumbuh dalam
pelaksanaan ibadah qurban itu akan mengikis sikap egois dan kikir. Berkurangnya–atau bahkan
hilangnya-sikap egois dan kikir itu akan berpengaruh baik bagi kehidupan dan penghidupan
orang itu sendiri dan masyarakat luas.
Selanjutnya, berqurban merupakan ibadah wajib menurut sebagian ulama dan sunnat
muakkad menurut ulama yang lain, dengan berqurban pula kita mendidik diri kita dan keluarga
untuk meresapi makna pengorbanan sebagaimana Nabiyullah Ibrahim As memberikan contoh
pengorbanan secara hakiki, dan penyembelihan hewan qurban adalah salah satu ritual dari makna
pengorbanan itu untuk menggapai ketaqwaan kepada Allah SWT. Sehingga banyaknya hewan
qurban yang disembelih menunjukkan respon masyarakat terhadap seruan ibadah qurban makin
meningkat. Daging Qurban, bukan semata pesta sate dan gulai? Tetapi, Ibadah qurban yang kita
tunaikan sudah saatnya berfungsi bukan saja menggugurkan kewajiban tapi lebih dari itu mampu
memberikan manfaat dan menjadi solusi sebagai jawaban atas kondisi riil yang terjadi di
masyarakat. Banyak dari kebiasaan kita dalam berqurban hanyalah identik dengan pesta sate dan
gulai dalam 2 sampai 3 hari setelah Idul Adha, sementara dalam waktu 12 bulan ke depan
kembali masyarakat (terutama di daerah-daerah miskin) memakan daging hanyalah menjadi
khayalan, belum lagi kondisi alam Indonesia yang rentan terhadap bencana alam, yang selalu
saja menjadi pemandangan umum ketika bencana alam tiba.
Padahal, dibalik kesadaran kaum muslimin untuk berqurban serta melimpahnya hewan
yang diqurbankan pada hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik, tersimpan potensi yang sangat
besar bahwa daging qurban digunakan sebagai sarana untuk membina masyarakat miskin, serta
daerah-daerah bencana alam. Sebagian yang lain dicadangkan untuk mengantisipasi daerah-
daerah yang rawan bencana alam.
Pelaksanaan qurban yang dilakukan oleh umat terdahulu memang sangat berbeda dengan
syari'at qurban dalam Islam. Dalam Islam, risalah qurban merupakan ibadah yang syarat dengan
makna. Kisah pengurbanan Nabi Ibrahim As. yang hendak mengurbankan anaknya, Ismail As
yang kemudian diganti oleh Allah dengan domba, mengandung pesan bahwa pelaksanaan qurban
selayaknya tidak membawa derita bagi manusia. Patut direnungkan bahwa, pelaksanaan ibadah
qurban dalam Islam tidak hanya mengandung dimensi ibadah kepada Allah, tapi juga dimensi
kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan ini nampak pada distribusi daging hewan qurban kepada
yang berhak (Q.S.al-Hajj, 22: 36). Karenanya, para ulama ada yang membagi daging qurban
menjadi tiga, yaitu: dimakan, diberikan kepada fakir miskin, dan disimpan. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW "Makanlah, simpanlah, dan bersedekahlah." Walaupun demikian, dimensi-
dimensi tersebut tidak akan bermakna apa-apa bila tanpa dilandasi dengan refleksi taqwa kepada
Allah SWT. Dengan kata lain, aplikasi solidaritas sosial yang diwujudkan melalui qurban harus
dilandasi niat yang ikhlas. Bukan niat untuk mencari popularitas, ingin dikenal orang dermawan
atau ingin dipikir orang hebat.
Lebih dari itu, pembagian daging qurban kepada mereka yang barhak merupakan upaya
pendekatan psikologis atas kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya. Ibadah qurban adalah
wahana hubungan kemanusiaan yang dilandasi oleh semangat sense of belonging dan sense of
responsibility yang bisa menyuburkan kasih sayang antar sesama dalam rangka untuk
mendekatkan diri kepada Allah., s.w.t, (taqarrub ilallah). Dengan adanya ibadah qurban,
dimaksudkan pula untuk menjembatani hubungan antara si kaya dan si miskin agar tetap
harmonis. Si kaya tidak menyombongkan dirinya dan si miskin pun merasa bahwa ia tidak
sendiri memikul hidup yang berat ini. Ternyata, masih banyak saudaranya (para aghniya') yang
senantiasa ikhlas memberikan bantuan kepada mereka yang lemah (para dhu'afa).
Wujud kepedulian sesama lewat ibadah qurban ini merupakan satu rangkaian pengabdian
kepada Allah yang memiliki dimensi ibadah murni dan juga dimensi kemanusiaan. Dengan kata
lain, hablun minannas merupakan salah satu faktor terjalinnya hablun minallah secara baik.
Sesuai dengan asal katanya "Qaruba" yang berarti dekat. Dengan demikian ibadah qurban adalah
mendekatkan diri kepada Allah sekaligus ungkapan syukur kepada-Nya atas nikmat yang
diberikan kepada kita. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah., s.w.t, dalam Q.S.al-Hajj, 22: 36.
Lewat ibadah qurban, akan tumbuh rasa kepedulian sosial terhadap sesama. Melalui
ibadah qurban ini kita ketuk pintu hati kemanusiaan, rasa kepedulian sosial serta merasa senasib
sepenanggungan terhadap apa yang menimpa saudara-saudara kita tersebut.
Manfaat Ibadah Kurban
Mau merasakan manfaat ibadah kurban? Jawabannya adalah cobalah, maka akan tahu
manfaatnya langsung. Kalimat pernyataan dari pertanyaan tersebut bukan pertama kali saya
tujukan untuk orang lain, tetapi saya tujukan terlebih dahulu untuk saya pribadi. Bagi saya,
mengajak diri sendiri itu bagian awal yang penting. Hal ini juga bagian dari bentuk pelaksanaan
ajaran hadits nabi Muhammad, yaitu: Ibda’ bi Nafsi artinya mulailah dari diri sendiri.
Awalnya, memulai belajar berkurban memang cukup berat. Perasaan cinta harta hasil
kerja keras membuat setiap manusia kadangkala berpikir ulang untuk mau melakukan
pengurbanan. Hal ini wajar dan inilah ujian awal yang biasa dirasakan dan dialami oleh setiap
manusia. Apalagi bagi sebagian dari kita yang berpenghasilan pas-pasan. Tentu kebanyakan
orang semakin berpikir lebih dari biasanya. Oleh karena itu, niat awal untuk segera ikut serta
dalam ibadah kurban menjadi penting. Niat baik adalah awal yang baik.
Perasaan senang untuk melakukan setiap ibadah, termasuk kurban, adalah bagian dari
kebutuhan manusia dari hati nurani yang patut diperhatikan. Bila awalnya senang, akhirnya juga
senang. Ada istilah dalam bahasa Arab “Man Jadda Wajada” atau dalam Bahasa Inggris “There
is Will, There is Way”. Maksudnya barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti ada jalan. Di
sinilah, perasaan senang itu bisa diciptakan dan diupayakan bila kita mau.
Secara psikologi, Monty Satiadarma menyatakan bahwa perasaan senang dan suasana
kebahagiaan seseorang ditentukan oleh kemampuan menerima keadaan, melihat situasi dari
sudut pandang positif, menghayati makna pengalaman hidup, merelakan pengalamannya sebagai
perubahan dalam hidup, dan bisa melepaskan diri dari belenggu pengalaman emosional.
Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa upaya untuk membuat senang dalam melakukan
setiap kebaikan dan ibadah ternyata ada banyak cara dan bisa melalui banyak media. Salah satu
caranya adalah mencari tahu apa manfaat bagi kita dalam melakukan ibadah dan kebaikan
tersebut. Mengkaji dan membahas manfaat ibadah kurban bisa membuat kita semakin tahu. Bila
kita sudah tahu manfaatnya, biasanya kita mau melakukan segala bentuk pengurbanan dan amal
kebaikan lainnya. Bahkan, kita seringkali semakin lebih bersemangat untuk berbuat kebaikan
tersebut. Pertanyaannya, apa saja manfaat kurban bagi hidup kita di dunia dan akhirat nanti?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, di sini perlu dipahami bahwa kurban yang
dimaksud di sini utamanya adalah ibadah kurban hewan pada hari raya Idhul Adha yang
dilakukan oleh setiap orang muslim. Namun begitu, kurban di sini juga boleh dimaknai pada
aktivitas-aktivitas lainnya yang memiliki unsur pengurbanan dan perbuatan kebaikan.
Bila kita mau dan ingin mengetahui sungguh-sungguh apa saja manfaat dari kurban yaitu
Allah telah menjanjikan beberapa keutamaan bagi umat muslim yang menunaikan ibadah
kurban, diantaranya: Pertama, dihapuskan dosa dan salahnya. Rasulullah., s.a.w, bersabda
kepada anaknya, Fatimah, ketika beliau ingin menyembelih hewan qurban. ”Fatimah, berdirilah
dan saksikan hewan sembelihanmu itu. Sesungguhnya kamu diampuni pada saat awal tetesan
darah itu dari dosa-dosa yang kamu lakukan. Dan bacalah: Sesungguhnya shalatku,
sembelihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah., s.w.t, Tuhan Alam Semesta.” (HR. Abu
Daud dan At-Tirmizi).
Kedua, hewan kurbannya akan menjadi saksi amal ibadah di hari kiamat nanti. Dari
Aisyah, Rasulullah., s.a.w, bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban
yang lebih dicintai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban),
sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-
tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah
(sebagai qurban) di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka
ikhlaskanlah menyembelihnya.” (HR. Ibn Majah dan Tirmidzi). Ketiga, orang yang berkurban
dicintai Allah. Bersumber dari hadist pada poin tersebut di atas, berkurban termasuk amalan
yang dicintai Allah. Itu berarti bahwa setiap hamba yang melaksanakannya akan memperoleh
kecintaan dari-Nya.
Keempat, orang berkurban dikuatkan keimanannya. Dengan berkurban, setiap mukmin
dapat mengingat kembali bagaimana kecintaan Nabi Ibrahim dan kesabaran Nabi Ismail dalam
memenuhi perintah Allah. Kisah ini dijadikan sebagai teladan bagi mereka untuk memperkuat
imannya kepada Allah.
Kelima, orang berkurban dibalas dengan kebaikan dan pahala yang berlimpah. Dari Zaid
ibn Arqam, mereka berkata: “Wahai Rasulullah., s.a.w, apakah kurban itu?” Rasulullah
menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa
keutamaan yang kami akan peroleh dengan kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai
rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah
menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan” (HR. Ahmad dan ibn Majah).
Sungguh luar biasa manfaatnya, bukan? Oleh karena itu, mari kita semakin bersemangat
untuk memulai senang dan ikhlas berkurban karena Allah. Secara ritual, ibadah kurban biasanya
kita lakukan sekali dalam setahun saat hari raya Idul Adha. Rasanya memang baru kemarin bila
kita berkumpul merayakan Idhul Fitri sebagai hari kemenangan melawan hawa nafsu. Saat Idul
Adha tiba, kita berkumpul kembali dalam rangka merayakan Idul Adha yang memiliki hikmah
dan makna yang amat penting untuk ditangkap dalam perspektif ajaran agama Islam yang
substansial. Idul Adha merupakan ritual keagamaan yang syarat makna dan nuansa simbolik-
metaforis yang perlu ditafsiri secara kontekstual dalam pijakan nilai-nilai universalitas Islam.
Adakah pesan dan pelajaran penting yang dapat dipetik dalam perayaan ibadah kurban?
Di setiap merayakan Idhul Adha, kita sesungguhnya diajak berpikir sejenak tapi mendalam
maknanya. Utamanya dalam upaya untuk mengenang keteladanan Nabiullah Ibrahim a.s. dan Siti
Hajar a.s. ketika ingin mendapatkan hingga melahirkan, mendidik dan mengasuh anak sholih.
Putra Nabi Ibrahim yang pada bernama Ismail tersebut pada akhirnya juga menjadi salah satu
nabi Allah., s.w.t. Keberhasilan beliau berdua dalam mendidik putranya adalah sebuah pola asuh
demokratis dan islami, bukan pola asuh penelantar, permisif maupun otoriter. Pola asuh
demokratis ala Nabi Ibrahim As. itulah seperti cermin yang bisa kita jadikan ukuran, contoh dan
teladan dalam kehidupan kita.
Istilah empat tipe pola asuh sebagaimana tersebut di atas, awalnya dikembangkan
pertama kali oleh Diana Baumrind. Dari hasil risetnya, pola asuh anak yang dimaksud adalah:
pola asuh demokratis, otoriter, permisif dan penelantar (Diana Baumrind, 1967: 23-89).
Secara lebih rinci, Diana Baumrind mengurai satu per satu apa yang dimaksud dari semua
pola asuh tersebut. Pertama, pola asuh demokratis dimaknai sebagai pola asuh yang dialogis.
Caranya ada interaksi dua arah yang seimbang. Anak adalah pusat perhatian dan prioritas.
Namun bukan berarti orang tua tidak punya kendali. Di sini, orang tua dan anak saling
berhubungan dan saling berusaha mengerti satu sama lain. Diungkapkan, orang tua dengan pola
asuh ini perlu berperan dan bersikap lebih rasional. Maksudnya, bagaimana orang tua selalu
mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran yang terbaik. Dalam hal ini, orang
tua juga perlu memberikan kebebasan kepada anak untuk memilah-memilih, melakukan suatu
tindakan atau bahkan ikut memberi solusi yang terbaik.
Kedua, pola asuh otoriter diartikan sebagai lawan dari tipe demokratis. Biasanya, orang
tua menjadi satu-satunya pengendali yang harus diikuti tanpa kompromi dan dialog. Bahkan,
terkadang disertai dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa,
memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang
tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini biasanya tidak
memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai situasi dan kondisi anaknya.
Ketiga, pola asuh permisif diartikan sebagai pola asuh pemanja. Peran orang tua biasanya
memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk
melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup. Mereka cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak sedang salah atau melakukan perbuatan seenaknya.
Keempat, tipe penelantar. Orang tua tipe ini biasanya cuek alias kurang memberi
perhatian pada anak. Seringkali orang tua kurang memberikan waktu dan perhatian yang cukup
untuk anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka sendiri,
seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat dan kadang hanya digunakan
untuk kepentingan orang tuanya sendiri. Naudzubillah!
Dalam konteks inilah, ibadah penyembelihan hewan qurban yang menjadi bagian dari
syari’at Islam, yang selalu dilaksanakan setelah shalat ied setiap tahun adalah bentuk penjelmaan
dari keshalihan, ketaqwaan dan keikhlasan nabi Ismail kepada Tuhannya. Lebih dari itu, proses
sejarahnya sejalan dengan pola asuh demokratis bernuansa Islami sebagaimana ditunjukkan Nabi
Ibrahim sebagai orang tua ketika ia bermimpi disuruh oleh Allah., s.w.t, untuk menyembelih
putera kesayangannya, Nabi Ismail as. Nabi Ibrahim tidak lantas menyembelih puteranya begitu
saja, tetapi ia justru mengajak dialog dan memberi tawaran sekaligus meminta masukan dan
bahkan persetujuan anaknya.
Apa dan bagaimana respon anaknya nabi Ibrahim? Ternyata nabi Ismail a.s. sebagai anak
Nabi Ibrahim menyambut baik dengan penuh ikhlash menerima tawaran ayahandanya untuk
disembelih sebagai pembuktian cintanya kepada Allah., s.wt. Nabi Ismail telah mampu
mengalahkan keinginan nafsu dan tuntutan dunianya, karena sadar bahwa cinta dan ridhanya
kepada Allah melebihi segalanya. Inilah cerita di balik peristiwa keshalehan, ketaqwaan dan
keta’atan Ismail diabadikan Allah., s.w.t, dalam al-Qur’an dan sejarah hidupnya menjadi napak
tilas pelaksanaan ibadah haji sampai hari ini dan akhir hayat nanti. Subhanallah!
Secara terang-terangn, kisah pola asuh demokratis tersebut diungkap dalam al-Qur’an
surat As-Saffat, 37: 102: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha
bersamanya (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” dia (Ismail) menjawab, “ wahai
ayahku” lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Dari sini, tidak ada kelirunya bila kita semua dan segenap umat Islam yang menyembelih
hewan qurban pada hari raya qurban, mari berusaha berqurban dengan senang dan ikhlas lillahi
ta’ala. Artinya berkurban dengan landasan cinta dan taqwa hanya semat-mata karena Allah.,
s.w.t. Dalam hal ini, tentu kita berusaha menghindarkan diri dari riya’ dan motivasi yang bisa
merusak pahala qurban yang dilakukan. Pasalnya, kita semua diingatkan Allah., s.w.t, agar
senantiasa berkurban dengan penuh ikhlas tanpa batas seperti diurai dalam Q.S. Al-Hajj. 22: 37,
yang berbunyi: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah
telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Tidak hanya itu, selain keteladanan keluarga Nabi Ibrahim., a.s, dan sang putera Nabi
Ismail dalam hal ketaatannya dan keikhlasannya yang luar biasa dalam menjalankan perintah
Allah., s.w.t, dengan menepis berbagai bentuk godaan syaithan, hikmah lain yang bisa dipetik
dan diambil pelajaran untuk kita ikuti dalam merayakan setiap hari raya Idul Adha adalah
perlunya memupuk semangat untuk memiliki dan membagi.
Pesan implisit ini terbaca dari dari dua ibadah yang dilaksanakan umat Islam mengiringi
perayaan Idhul Adha, yakni menyembelih kurban dan melaksanakan haji bagi muslim yang
mampu. Setiap muslim yang ingin menyempurnakan kemuslimannya akan berusaha keras untuk
melaksanakan kedua ibadah tersebut. Mengingat salah satu kemampuan yang dibutuhkan adalah
dari segi finansial, maka dengan sendirinya keinginan kuat itu harus diwujudkan dengan ikhtiar
mengumpulkan sejumlah dana yang diperlukan.
Dari sisi inilah hikmah mesti dipetik umat Islam setiap kali merayakan `Idhul Adha,
bahwa sesungguhnya ajaran Islam mendorong umatnya untuk bisa memiliki atau mampu secara
finansial agar keislamannya bisa disempurnakan.
Tak hanya berhenti pada semangat memiliki, melainkan juga mesti diikuti semangat
untuk mau membagi apa yang dimilikinya. Tanpa semangat itu, seorang muslim belum tentu bisa
melaksanakan kurban atau haji. Hal ini terbukti bahwa banyak orang yang sudah mampu, tapi
enggan berkurban atau melaksanakan haji. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya kemauan
dan semangat untuk membagi. Kurban tidak semata-mata menyembelih kambing atau sapi, tapi
juga membagikan dagingnya kepada mereka yang berhak. Demikian juga haji, tanpa semangat
membagi tentu akan sayang untuk mengeluarkan biaya perjalanan haji yang jumlahnya tidak
sedikit.
Semangat memiliki tidak boleh melahirkan tindakan menghalalkan segala cara yang
bisa menimbulkan kekacauan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu ajaran Islam
memberikan rambu-rambu yang mesti ditaati setiap muslim dalam berusaha untuk memiliki,
yaitu dengan cara yang halal, baik dan wajar.
Dalam Al Qur'an secara tegas dilarang mencari rizki dengan cara yang tidak halal atau
bathil (QS. An-Nisa', 4: 29). Misalnya diperoleh dari hasil berjudi (QS. al-Baqarah, 2: 219) atau
mencuri (QS. Al-Maidah, 5: 38), korupsi dan cara-cara buruk lainnya. Demikian juga ada hadits
yang menyatakan bahwa antara sesama muslim haram darah, harta dan kehormatannya. Jika
mencari rizki dengan berdagang hendaknya secara wajar, tidak curang dalam menakar/
menimbang (QS. Al-Muthaffifin, 83: 1-3), dan mengambil keuntungan secara riba sebagaimana
diterangkan Allah SWT dalam QS. Ali `Imran, 3: 130: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Selain semangat memiliki, Islam juga menyuruh kita untuk mempunyai semangat
membagi. Banyak sekali ayat al-Qur'an maupun hadits yang mendorong setiap muslim untuk
mau berbagi (berinfaq, bershodaqoh atau berzakat dan sebagainya).
Sayangnya perintah tersebut lebih sering dilihat dari sudut pandang berbeda. Indikasinya
paling tidak bisa kita temui, misalnya, masih banyak orang kaya yang enggan berinfaq, bahkan
tidak malu menerima infaq, hibah dan sejenisnya yang mestinya tidak berhak mereka terima,
setidaknya ada orang lain yang lebih berhak.
Islam mengajarkan kita untuk membagi sebagian rizki yang kita terima kepada kerabat,
anak yatim dan orang miskin sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqarah, 2: 177: “Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-
nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”
Secara khusus, perintah berkurban diungkap dalam al-Qur'an yang bisa kita temukan di
berbagai surat/ayat, antara lain dalam surat al-Kautsar, 108: 2; surat al-Hajj, 22: 34-35 dan ayat
36; serta surat ash-Shaffat, 37: 102-107. Selain itu, juga dijelaskan oleh Nabi Muhammad dalam
berbagai haditsnya yang bisa ditemukan dalam kitab shahih al-Bukhari, Muslim.
Allah SWT berfirman di dalam surat al-Kautsar, 108: 1-2: ”Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu ni’mat yang banyak. Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan ber-
kurban-lah”. Ayat ini menegaskan kepada kita semua bahwa ibadah kurban merupkan ibadah
yang perlu dilakukan selain shalat, utamanya bagi yang mampu.
Dalam hal ini, kurban seringkali dipahami juga sebagai hewan yang disembelih setelah
melaksanakan shalat Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena Dia Yang
Maha Suci dan Maha Tinggi sebagaimana diungkap dalam al-Qur’an surat al-An’am, 6: 162:
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku kurbanku hidup dan matiku adalah untuk Allah Rabb
semesta alam tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Bagi seorang muslim, inti hikmah di setiap perayaan Idul Adha yang dapat diambil dan
bisa diaplikasikan dalam kehidupan saat ini hingga akhir hayat nanti adalah marilah berusaha
semaksimalnya dalam bertaqwa dengan memupuk semangat memiliki dan membagi dengan
penuh keikhlasan. Semangat untuk berbagi antar sesama dengan ikhlas merupakan kunci dan
esensi berkorban yang akan menumbuhkan ketentraman, kedamaian dan solidaritas sosial
masyarakat dan lainnya.
Akhirnya, semoga kita semua selalu diberi kemudahan, kebahagiaan, kekuatan,
kesuksesan dalam bersyukur, beriman, bertaqwa kepada Allah., s.w.t, sekaligus kita semua
tergolong menjadi orang yang bersemangat untuk berqurban dengan penuh ikhlas lillahi ta’ala,
sepanjang hayat masih di kandung badan.
Penutup
Ajaran dan ibadah haji dan kurban bisa ditafsirkan selain bersifat transendental dalam
hubungan manusia dengan tuhannya, juga bisa ditafsirkan secara sosial dalam kaitan manusia
dalam hubungannya dengan sesama. Banyak ayat yang menjelaskan bagaimana kesalehan
individual perlu adanya upaya untuk diimbangi dengan kesalehan sosial. Ayat-ayat haji dan
kurban menunjukkan kepada kita semua perlunya pemahaman yang lebih praktis dan bermakna
serta memiliki sumbangan yang besar terhadap sukses dan bahagianya seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di sinilah, tafsir ibadah kurban dan haji
yang lebih sosial kontekstual juga memiliki dimensi kemanfaatan dan kemaslahatan sosial yang
luas. Kunci-kunci pemahaman dan penafsiran yang lebih sosial humanis diharapkan berdampak
positif bagi pengalaman dan pengamalan ibadah kepada Allah yang benar-benar bermula dari
ketulusan hati dan keikhlasan beramal, sehingga bermanfaat dalam kehidupan manusia di dunia
hingga akhiratnya. Penafsiran ini diyakini mendorong praktik keberislaman dalam rangkaian
ibadah seseorang dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.
Daftar Pustaka
Amsari, Fuad. 1995. Islam Kaafah Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia, Jakarta:
Gema Isani Press.
Abdurrahman dkk. 2011. Al-Qur’an dan Isu-isu Kontemporer, Yogyakarta: elSAQ Press.
Al-Qattan, Manna Khalil, 2006. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. Jakarta: PT.
Pusataka Litera Antar Nusa.
Baidan, Nashruddin. 2011. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Boy, Pradana. 2008. Fikih Jalan Tengah: Dialektika Hukum Islam dan Masalah-masalah
Masyarakat Modern. Jakarta: PT Grafindo Media Pratama.
Mustaqim, Abdul. 2003. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode
Klasik Hingga kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: Departemen Agama.
Gusmian, Islah. 2003. Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta:
Teraju.
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami bahasa Agama: Sebuah kajian Hermeneutik, Jakarta:
Paramadina.
Izzan, Ahmad, 2011. Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas AlQur’an,
Bandung: Tafakkur.
Mustaqim, Abdul dan Syamsudin, Sahiron (ed.), 2011. Epistemologi Tafsir Kontemporer,
Yogyakarta: LKiS.
____________________, 2002. Studi Al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran. Jakarta:
Lentera Hati.
___________________, 1997. Wawasan Al Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan.
Syafrudin, 2009. Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijaya, Aksin. 2009. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.