Content uploaded by Yudi Wahyudin
Author content
All content in this area was uploaded by Yudi Wahyudin on Feb 22, 2020
Content may be subject to copyright.
37
NILAI EKONOMI KEANEKARAGAMAN HAYATI PESISIR DAN
LAUT INDONESIA (The Economic Value of Coastal and Marine
Biodiversity in Indonesia)
Yudi Wahyudin 1)3)5), Dadan Mulyana 1)4), Agus Ramli 1), Novit Rikardi 1),
Donny Suhartono2), Arif Trihandoyo Kesewo1)
1) Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB University, Bogor - INDONESIA
2) Perkumpulan Peneliti Sistem Sosial Ekologi Kelautan dan Perikanan, Bogor - INDONESIA
3) Jurusan Akuakultur, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda, Bogor - INDONESIA
4) Fakultas Kehutanan, IPB University, Bogor - INDONESIA
5) Dosen Tamu STIT Insan Kamil, Bogor – INDONESIA
Korespondensi: yudi.wahyudin@pksplipb.or.id
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian singkat tentang nilai ekonomi keanekaragaman
hayati pesisir dan laut di Indonesia. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati
pesisir dan laut yang melimpah. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut diantaranya adalah
ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Luas mangrove Indonesia pada tahun tahun
2016 tercatat seluas 3.668.345,60 hektar, sedangkan ekosistem lamun 474.920,93 hektar dan
ekosistem terumbu karang mencapai sebesar 2.424.721,23 hektar. Nilai kekayaan
keanekaragaman hayati Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan mencapai sebesar Rp. 1.353,55
triliun, terdiri atas kekayaan keanekaragaman hayati mangrove sebesar Rp.340,46 triliun,
ekosistem lamun sebesar Rp. 76,29 triliun dan ekosistem terumbu karang sebesar Rp. 935,80
triliun. Nilai ini dapat dikatakan sebagai nilai minimal yang dapat diberikan, dikarenakan
perkembangan teknik dan model penilaian jasa ekosistem masih akan terus berkembang untuk
menjadi lebih detail dalam melakukan penilaian ekonomi jasa ekosistem di masa mendatang.
Kata Kunci: keanekaragaman haya , nilai ekonomi, mangrove, lamun, terumbu karang,
pesisir dan laut
ABSTRACT
The purpose of this study is to conduct a brief study of the economic value of coastal and
marine biodiversity in Indonesia. Indonesia has an abundance of coastal and marine
biodiversity. Coastal and marine biodiversity include mangrove, seagrass and coral reef
ecosystems. The total area of Indonesian mangroves in 2016 was 3,668,345.60 hectares, while
the seagrass ecosystem was 474,920.93 hectares and the coral reef ecosystem reached
2,424,721.23 hectares. The value of Indonesia's biodiversity wealth in 2016 is estimated to
reach IDR 1,353.55 trillion, consisting of a wealth of mangrove biodiversity of IDR 340.46
trillion, seagrass ecosystems of IDR 76.29 trillion and coral reef ecosystems amounting to IDR
935.80 trillion. This value can be said to be the minimum value that can be given, because the
development of techniques and models for valuing ecosystem services will continue to develop
to be even more detailed in conducting economic valuation of ecosystem services in the future.
Keywords: biodiversity, economic value, mangrove, seagrass, coral reefs, coastal and marine
---
Diterima 20 Oktober 2019; Direvisi 27 Oktober 2019; Diterbitkan 30 Oktober 2019
Sitasi:
Wahyudin Y, D Mulyana, A Ramli, N Rikardi, D Suhartono, AT Kesewo . 2019. Nilai Ekonomi
Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Laut Indonesia. Jurnal Cendekia Ihya Vol.2 No.2,
Oktober 2019, ISSN 2623-0453 (media-CD), halaman 37-51.
Jurnal Pendidikan Insan Kamil Al Ihya
Oktober 2019
Volume 2 Nomor 2
Alamat :
Jl. Aria Suryalaga
Kp. Batutapak, Kel. Pasirjaya,
Kec. Bogor Barat, Kota Bogor,
16119
Telepon : 02518632109
Fax : 02517529272
Homepage :
https://www.facebook.com/Jurnal-
Cendekia-Ihya-2292609480811294/
Email :
jurnalcendekiaihya@gmail.com
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
38
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
PENDAHULUAN
Indonesia yang terdiri dari 17.480 pulau dan
merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia, dengan garis pantai 95.000 km dan
merupakan yang terpanjang kedua di dunia
setelah Kanada, dimana 2/3 wilayah negaranya
merupakan lautan, dikenal sebagai negara
dengan “mega biodiversity”. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan bilamana Indonesia
dapat dianggap sebagai jantung
keanekaragaman hayati dunia, termasuk
keanekaraman hayati pesisir dan lautnya
(Wahyudin dan Mahipal, 2013). Salah satu
ekosistem pesisir dan laut utama yang
menandai Indonesia sebagai jantung
keanekaragaman hayati dunia adalah,
keberadaan terumbu karang Indonesia di
jantung terumbu karang dunia, yang dikenal
sebagai “coral triangle”.
Sumberdaya dapat diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) kelas sumberdaya berdasarkan
penggunaannya, yaitu sumberdaya alam
(natural resources), sumberdaya kultural
(cultural resources) dan sumberdaya manusia
(human resources), dimana pembagiannya
didasarkan atas 3 (tiga) faktor produksi yang
umum digunakan dalam bahasa ekonomi,
yaitu lahan (land), kapital (capital) dan tenaga
kerja (labor) (Cariacy-Wantrup, 1968). Pada
prinsipnya, sumberdaya alam, buatan, dan
manusia mempunyai kepentingan yang sama
dalam analisis ekonomi, karena masing-masing
sumberdaya juga memiliki nilai yang dapat
dihitung (tangible). Barang yang diproduksi
oleh produsen dan yang dibutuhkan konsumen
pada suatu periode pemanfaatan berbatas
waktu dan hal ini menyebabkan beberapa
alasan keterbatasan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya semua
sumberdaya (alam, buatan, manusia)
mempunyai keterkaitan dan saling
berhubungan satu sama lainnya (Wahyudin,
2017).
Kapital dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk,
yaitu (i) kapital buatan manusia (man made
capital, Km) seperti misalnya mesin, jalan,
jembatan, kapal laut, pelabuhan, dan
sebagainya; (ii) kapital manusia (human
capital, Kh), seperti misalnya tenaga kerja,
pengetahuan/keahlian, keterampilan, dan
sebagainya; serta (iii) kapital alam (natural
resources, Kn), seperti misalnya sumberdaya
alam pulih (renewable resources) dan
sumberdaya alam tidak pulih (non-renewable
resources), sehingga secara matematis, total
persediaan kapital (total capital stock, K)
merupakan pertambahan dari ketiga kapital
tersebut (Simanjuntak, 2003; Wahyudin,
2017).
Keanekaragaman hayati merupakan bagian
dari keberadaan sumberdaya yang
berdasarkan kategori penggunaannya
merupakan sumberdaya alam (natural
resources). Keanekaragaman hayati dalam
konteks ini mempunyai manfaat yang besar
bagi kesejahteraan manusia, baik dalam
konteks ekologi, sosial maupun ekonomi
(Wahyudin et al., 2016; 2018). Besarnya
hubungan keanekaragaman hayati terhadap
kesejahteraan manusia ini menunjukkan
bahwa keanekaragaman hayati merupakan hal
penting yang harus dikelola secara optimal dan
berkelanjutan agar tetap dapat memberikan
manfaat kesejahteraan manusia secara
berkelanjutan (Adrianto et al., 2007;
Wahyudin, 2017; Wahyudin et al., 2018).
KEANEKARAGAMAN HAYATI PESISIR DAN
LAUT
Keanekaragaman hayati atau biological
diversity (sering disebut dengan biodiversity)
adalah istilah untuk menyatakan tingkat
keanekaragaman sumber daya alam hayati
yang meliputi kelimpahan maupun
penyebaran. Keanekaragaman hayati adalah
variabilitas di antara organisme hidup yang
mencakup keragaman dalam dan antar spesies
dan keragaman dalam dan antar ekosistem
(Mahipal, 2018). Keanekaragaman hayati
adalah sumber dari banyak barang yang dapat
disediakan ekosistem, seperti makanan dan
sumberdaya genetik, dan perubahan dalam
keanekaragaman hayati dapat mempengaruhi
pasokan jasa ekosistem. Ekosistem adalah
suatu unit ekologis yang terdiri dari komponen
biotik dan abiotik yang saling berinteraksi, dan
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
39
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
antara komponen komponen tersebut terjadi
pengambilan dan perpindahan energi, daur
materi, dan produktivitas. Data
keanekaragaman hayati bisa didapatkan
melalui kegiatan eksplorasi.
Ekosistem Mangrove
Istilah mangrove merupakan perpaduan
bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa
Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya
sama-sama berarti Avicennia (api-api),
pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab
yang banyak mengidentifikasi manfaat obat
tumbuhan mangrove (Jayatissa et al., 2002).
Sedang menurut MacNae (1968) kata
mangrove merupakan perpaduan bahasa
Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa
Inggris grove (belukar), yakni belukar yang
tumbuh di tepi laut. Kata ini dapat ditujukan
untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan
atau komunitas (Wibowo dan Suyanto, 1997).
Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah
komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-
tropis yang didominasi tumbuhan bunga
terestrial berhabitus pohon dan semak yang
dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan
pasang surut dengan salinitas tinggi (MacNae,
1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986;
Nybakken, 1993; Kitamura et al., 1997). Dalam
bahasa Indonesia hutan mangrove disebut
juga hutan pasang surut, hutan payau,
rawarawa payau atau hutan bakau. Istilah yang
sering digunakan adalah hutan mangrove atau
hutan bakau (Kartawinata, 1979). Namun
untuk menghindari kesalahan literasi
dianjurkan penggunaan istilah mangrove
karena bakau adalah nama generik anggota
genus Rhizophora (Widodo, 1987).
Komunitas mangrove tersusun atas tumbuhan,
hewan dan mikroba, namun tanpa hadirnya
tumbuhan mangrove komunitas ini tidak dapat
disebut ekosistem mangrove (Jayatissa et al.,
2002). Vegetasi mangrove berperan besar
dalam ekologi ekosistem ini, dimana
tumbuhan mangrove mayor merupakan
penyusun utamanya (Lugo dan Snedaker,
1974; Hamilton dan Snedaker, 1984;
Tomlinson, 1986). Identifikasi komposisi
vegetasi mangrove merupakan prasyarat
untuk memahami semua aspek struktur dan
fungsi mangrove, sebagaimana kondisi
biogeografi, konservasi dan manajemennya
(Jayatissa et al., 2002)
Ekosistem mangrove di Indonesia umumnya
terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok
kecil, sebagian besar terletak di Irian (Papua)
Mangrove di Jawa, Sumatra, Sulawesi,
Kalimantan dan Irian sudah terpengaruh
kegiatan pembangunan, sedangkan di Maluku
dan Nusa Tenggara relatif masih alami. Di
Indonesia mangrove tumbuh pada berbagai
substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang
dan kadang-kadang pada batuan, namun
paling baik tumbuh di pantai berlumpur yang
terlindung dari gelombang dan mendapat
masukan air sungai.
Tumbuhan mangrove di Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi dapat mencapai tinggi 50 m
dengan diameter 50 cm, meski umumnya
hanya setinggi 25 m dengan diameter 18 cm
(Soemodihardjo dan Ishemat, 1989).
Keragaman spesies pada setiap lokasi berbeda-
beda, di seluruh Indonesia jumlah tumbuhan
mangrove sekitar 47 spesies (Anonim, 1997).
Informasi lain menyatakan jumlahnya lebih
dari 37 spesies (Soemodihardjo dan Ishemat,
1989) atau 45 spesies (Spalding et al., 1997).
Spesies utama berasal dari genera Avicennia,
Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops,
Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera, Nypa,
Xylocarpus, dan Aegiceras (Soemodihardjo dan
Sumardjani, 1994).
Ekosistem Lamun
Lamun (seagrass) adalah satu-satunya
kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang
terdapat di lingkungan laut. Lamun (seagraas)
adalah satu– satunya tumbuhan berbunga
yang hidup secara tetap di lingkungan perairan
pantai dan merupakan kunci dalam peranan
ekologis (den Hartog, 1970).
Padang lamun merupakan suatu ekosistem
yang sangat penting dalam wilayah pesisir
karena memiliki keanekaragaman hayati
tinggi, sebagai habitat yang baik bagi beberapa
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
40
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
biota laut (spawning, nursery dan feeding
ground) dan merupakan ekosistem yang tinggi
produktivitas organiknya (Nontji, 2002).
Ekosistem lamun (seagrass) adalah salah satu
komponen penting sebagai penyusun kesatuan
ekosistem pesisir bersama dengan mangrove
dan terumbu karang (de la Torre-Castro, 2006).
Di perairan Indonesia lamun umumnya
tumbuh di daerah pasang surut dan sekitar
pulau-pulau karang (Nienhuis et al., 1989).
Tumbuh pada substrat dengan dasar lumpur,
pasir berlumpur, pasir dan pecahan karang .
Terdapat 15 jenis lamun di perairan Indonesia,
yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Jenis
lamun yang dapat dijumpai adalah 12 jenis,
yaitu: Enhalus acoroides,Cymodocea
rotundata,C. serrulata,Halophila decipiens,H.
ovalis,H. minor,H. spinulosa,Haludole
pinifolia,Halodule uninervis,Syringodium
isoetifolium,Thalassia hemprichii, dan
Thalassodendron ciliatum (Wahyudin, 2017).
Tiga jenis lainnya, yaitu Halophila sulawesii
merupakan jenis lamun baru yang ditemukan
oleh Kuo (2007).
Lamun merupakan salah satu ekosistem yang
paling produktif di suatu perairan dan dikenal
sebagai ekosistem laut yang penting (den
Hartog, 1970; Philips & Menez, 1988; Fortes,
1990; Wahyudin, 2017) antara lain sebagai
penyedia makanan, tempat berlindung
beberapa jenis ikan dan krustasea komersial
penting (Pioneer et al., 1989; Gray et al., 1996;
Dahuri et al., 1996; Wahyudin et al., 2016,
Wahyudin, 2017). Selain itu, lamun juga
mempunyai fungsi ekologi sebagai perangkap
sedimen (sediment trap), mengurangi erosi
pantai (abration), melestarikan produksi
perikanan, menyokong tingginya
keanekaragaman dan jenis-jenis biota laut
(Dahuri et al., 1996; Wahyudin et al., 2016,
Wahyudin, 2017).
Beberapa ancaman kerusakan terhadap lamun
yang terjadi di Indonesia, menurut (Cullen,
2007) diantaranya karena pemanfaatan dan
pemasangan jaring tancap ikan yang permancn
dan alat tangkap perikanan yang bersifat
merusak (Marba & Duarte, 1997; Seddon et al.,
2000). Ancaman yang bersifat merusak juga
bisa berasal dari aktivitas pembangunan di
wilayah pesisir yaitu reklamasi pantai,
pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti,
pemukiman penduduk, aliran permukaan,
industri dan perubahan garis pantai
(Duarte,2002; Wahyudin, 2017).
Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem
laut dangkal yang dibangun oleh biota
penghasil kapur (terutama karang). Karang
merupakan hewan dari Filum Coelenterata,
Kelas Anthozoa (Scleractinia). Terdapat dua
jenis karang, yaitu karang keras dan karang
lunak. Karang keras bersimbiosis dengan alga
Zooxanthellae, suatu organisme ber-sel satu
yang membutuhkan sinar matahari untuk
fotosintesis dan mentransfer 95% makanan
yang diproduksi untuk karang, sementara
zooxanthellae mendapatkan perlindungan dan
nutrient dari karang (Miththapala, 2008).
Simbiosis mutualisme ini menghasilkan
endapan kapur (CaCO3) yang dalam waktu
lama kemudian membentuk terumbu.
Sehingga karang keras disebut juga sebagai
karang pembuat terumbu.
Terumbu karang hanya seluas 0,02% (250.000
km2) dari permukaan laut dunia (Moritz et al.,
2018). Terumbu karang di dunia dapat
ditemukan di daerah tropis (30° Utara - 30°
Selatan), pada kedalaman kurang dari 100 m
dan perairan yang hangat (25 - 29°C)
(Miththapala, 2008). Di Indonesia yang
merupakan negara tropis, terumbu karang
dapat ditemukan hampir di semua daerah.
Diperkirakan Indonesia memiliki luas terumbu
karang sebesar 2,5 juta hektar. Total kekayaan
jenis karang keras Indonesia mencapai 569
jenis atau 67% dari 845 total spesies karang
dunia (Giyanto et al., 2017).
Terumbu karang di Indonesia tersebar dari
Sabang sampai Merauke namun dalam
kelimpahan yang tidak merata. Daerah timur
Indonesia memiliki jenis karang paling banyak
dibandingkan dengan daerah Indonesia bagian
barat. Hal ini karena daerah timur Indonesia
perairannya relatif lebih jernih. Hal ini berbeda
dengan daerah indonesia bagian barat yang
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
41
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
memiliki banyak sungai sehingga perairannya
lebih keruh dan salinitas yang tidak stabil.
Sebagai ekosistem yang sangat bernilai,
terumbu karang juga merupakan ekosistem
yang sangat rentan terhadap perubahan
lingkungan. Tekanan yang dialami ekosistem
terkumbu karang semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk dan
aktivitias masyarakat di wilayah pesisir.
Umumnya 76% terumbu karang dunia sudah
terancam akibat akumulasi tekanan baik dari
lokal maupun global (Kaufman et al., 2011).
Tekanan lokal antara lain overfishing,
penebangan hutan, pembangunan wilayah
pesisir dan polusi lainnya yang bersumber dari
daratan. Sedangkan tekanan global seperti
perubahan iklim, pangasaman laut, naiknya
permukaan air laut dan meningkatnya
variabilitas badai yang dapat merukan
terumbu karang (Kaufman et al., 2011).
Terumbu karang Indonesia pun tidak luput dari
tekanan ini, penangkapan ikan yang
berlebihan, praktek penangkapan ikan yang
merusak, sedimentasi dan pencemaran yang
berasal dari daratan telah merusak terumbu
karang. Hasil penelitian dari LIPI dapat
diketahui bahwa kondisi terumbu karang di
Indonesia didominasi oleh kategori jelek
(36,18%). Terumbu kategori cukup sebesar
34,3%, terumbu kategori baik 22,96% dan
terumbu kategori sangat baik 6,56% (Hadi et
al., 2018).
Ekosistem terumbu karang merupakan
ekosistem yang sangat penting karena paling
produktif dan paling kaya akan
keanekaragaman hayati (Burke et al., 2011)
serta menyediakan berbagai macam jasa
(Miththapala, 2008). Ekosistem terumbu
karang merupakan rumah bagi hampir 30%
biota laut. (Moritz et al., 2018). Wilkinson
tahun 2004 (dalam Miththapala, 2008)
menyatakan hampir 500 juta penduduk, baik
langsung maupun tidak langsung bergantung
pada terumbu karang untuk kehidupan, mata
pencaharian dan sumberdaya lainnya.
Disebutkan bahwa, 1 km2terumbu karang yang
baik, dapat menghasilkan 15 ton ikan dan hasil
laut lainnya setiap tahun (Dahuri et al., 1996).
DISTRIBUSI KEANEKARAGAMAN HAYATI
PESISIR DAN LAUT DI INDONESIA
Metode dan referensi dalam menghitung luas
mangrove sangat beragam, sehingga luasan
yang dihasilkan juga berbeda. Spalding et al.
(1997) menggunakan metode remote sensing
menyatakan luas mangrove dunia adalah 18,1
juta hektar. Hal yang berbeda dinyatakan oleh
Saenger et al. (1983), luas mangrove di dunia
adalah sekitar 16,9 hektar. Menurut FAO
(1982), mangrove yang dimiliki Indonesia
adalah yang terluas di dunia, dimana dari 15,9
juta hektar sekitar 27 persen atau 4,25 juta
hektar ada di Indonesia (Dahuri et al., 1996).
Lamun merupakan tumbuhan berbunga
(angiospermae) yang terdiri dari daun dan
seludang, batang menjalar yang biasanya
disebut rimpang (rhizome), dan akar yang
tumbuh pada bagian rimpang yang hidup
terendam baik di perairan laut dangkal dan
estuari. Terdapat 13 jenis lamun yang tersebar
di hampir seluruh perairan Indonesia, dengan
perkiraan luas 30.000 km2(Nienhuis, 1993) dan
Kuo (2007) dalam Rahmawati et al. (2014).
Indonesia dengan iklim tropisnya merupakan
ekosistem yang sangat baik bagi pertumbuhan
terumbu karang. Hal ini menjadikan Indonesia
sebagai negara yang memiliki terumbu karang
terluas dan terbanyak jenisnya di dunia. Luas
terumbu karang di perairan laut Indonesia
lebih dari 75.000 km2atau sebesar 14 persen
dari luas total terumbu karang dunia (Dahuri,
1996).
Proses terbentuknya terumbu karang
membutuhkan waktu jutaan tahun. Terumbu
karang di Indonesia diperkirakan terbentuk
sejak 450 tahun yang lalu. Keragaman jenis
terumbu karang di Indonesia cukup tinggi. Dari
total 800 jenis terumbu karang di dunia, 60
persen berada di Indonesia. Namun sampai
saat ini baru teridentifikasi 480 jenis terumbu
karang. Dari jenis terumbu karang tersebut
tersebut, 60 persen berada di bagian timur
Indonesia (Arini, 2013).
Berdasarkan data yang ada pada buku Statistik
Sumberdaya Pesisir dan Laut di Indonesia
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
42
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
Tahun 2016, tercatat bahwa luas masing-
masing ekosistem mangrove, lamun dan
terumbu karang di Indonesia berturut-turut
seluas 3,67 juta hektar, 0,47 juta hektar dan
2,42 juta hektar. Sebaran dan distribusi
lengkap dari masing-masing ekosistem pesisir
dan laut di masing-masing provinsi di Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Sebaran ekosistem mangrove, lamun dan
terumbu karang selengkapnya dapat dilihat
pada peta yang dapat dilihat pada Gambar 1.
JASA EKOSISTEM DAN NILAI EKONOMI
KEANEKARAGAMAN HAYATI PESISIR DAN
LAUT
Jasa Ekosistem
Mulai tahun 1970, para ekonom dunia sedikit
tersentak dan baru menyadari akan
pentingnya memasukkan
komponen sumberdaya alam
dan lingkungan dalam
perhitungan ekonomi
(Wahyudin, 2017). Terlebih
bilamana perhitungan
tersebut menjadi dasar acuan
pembuatan kebijakan publik
yang berkenaan dengan upaya
menginternalisasi
eskternalitas produksi barang
dan jasa untuk pemenuhan
keinginan dan kebutuhan
manusia. Tahun 1970 ini juga
menjadi titik tolak
perkembangan ilmu ekonomi
menuju suatu paradigma
ekonomi baru melalui apa
yang disebut ekonomi
sumberdaya dan lingkungan.
Adalah seorang bernama
Cirinacy Wantrup (1968) yang
mencetuskan bagaimana
pentingnya melirik komponen
sumberdaya dan lingkungan
sebagai bagian perhitungan
ekonomi.
Wahyudin et al. (2016)
menyebutkan bahwa ekonomi
sumberdaya dan lingkungan
ini telah menjadi salah satu
bagian yang tidak terpisahkan
dengan model pengelolaan
sumberdaya alam dan
lingkungan, misalnya
bagaimana pemerintah
membuat suatu peraturan
untuk melakukan proteksi
sumberdaya dan meminimalisasi dampak
lingkungan melalui apa yang disebut biaya
eksternalitas.
Tabel 1. Sebaran dan distribusi lengkap dari masing-masing
ekosistem pesisir dan laut di masing-masing provinsi di
Indonesia tahun 2016
No
Provinsi
Luas area (ha)
Mangrove
Lamun
Terumbu karang
1
Aceh
58,985.57
223.03
14,689.70
2
Sumatera Utara
175,428.04
172.20
111,899.80
3
Sumatera Barat
43,186.71
598.85
36,693.27
4
Riau
175,607.64
1.20
5
Jambi
12,255.62
-
6
Sumatera Selatan
394,163.72
13.00
7
Bengkulu
2,269.45
252.83
6,138.52
8
Lampung
17,110.00
710.00
2,189.50
9
Kep. Bangka Belitung
93,330.32
13,055.24
81,551.14
10
Kepulauan Riau
21,375.00
11,489.60
278,815.41
11
DKI Jakarta
207.29
5,000.00
12
Jawa Barat
27,218.36
802.00
7,533.70
13
Jawa Tengah
21,119.01
120.18
761.56
14
DI Yogyakarta
40.10
5,100.00
15
Jawa Timur
84,624.56
3,405.72
649,973.36
16
Banten
928.90
1,039.50
2,034.00
17
Bali
2,225.75
1,316.00
8,836.71
18
Nusa Tenggara Barat
19,149.00
32,224.00
19,399.00
19
Nusa Tenggara Timur
16,579.85
15,933.34
142,479.63
20
Kalimantan Barat
149,344.19
29,345.50
72,559.82
21
Kalimantan Tengah
33,844.08
210.00
35,586.00
22
Kalimantan Selatan
105,038.98
204.22
13,179.18
23
Kalimantan Timur
360,819.26
782.78
84,518.57
24
Kalimantan Utara
90.67
25
Sulawesi Utara
12,306.29
7,691.40
28,938.80
26
Sulawesi Tengah
24,733.59
34,821.26
87,018.69
27
Sulawesi Selatan
40,226.30
6,264.70
116,437.80
28
Sulawesi Tenggara
67,111.40
10,615.14
32,625.30
29
Gorontalo
17,304.84
1,195.00
30,243.75
30
Sulawesi Barat
725.42
3,242.39
7,783.72
31
Maluku
53,301.85
9,698.25
58,917.18
32
Maluku Utara
35,441.00
6,609.00
111,724.05
33
Papua Barat
453,395.00
281,589.00
139,096.00
34
Papua
1,148,948.51
1,309.80
232,892.20
Indonesia
3,668,345.60
474,920.93
2,424,721.23
Sumber: Statistik Sumberdaya Pesisir dan Laut, KKP (2016); Wahyudin
(2017).
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
43
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
Biaya eksternalitas ini dapat dibebankan
kepada siapa saja yang melakukan aktivitas
(individu, kelompok, perusahaan, dsb) yang
berpotensi mensuplai dampak negatif
terhadap kelestarian sumberdaya dan daya
dukung lingkungan. Dalam hal ini, biaya
eksternalitas bukan semata dijadikan sebagai
suatu syarat yang harus dipenuhi untuk
melegalkan suatu aktivitas, melainkan harus
benar-benar diturunkan untuk meminimalisasi
dampak lingkungan yang ditimbulkan dari
pelaksanaan suatu aktivitas.
Eksternalitas memang akan selalu menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
aktivitas, mulai dari lingkungan yang terkecil
seperti rumah tangga sampai kepada skala
aktivitas nasional, seperti industri global dan
sebagainya. Persoalan eksternalitas baru-baru
ini menelan korban jiwa dan menangguk
kerugian ekonomi dan sosial yang cukup besar,
seperti misalnya kebakaran hutan, longsor,
dan banjir, merupakan salah satu dampak
turunan dari adanya eksternalitas yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia yang
menjadi pemicunya.
Fenomena eksternalitas juga terjadi di sekitar
wilayah pesisir dan laut, seperti misalnya
kematian massal ikan di sekitar teluk dan
perairan laut artisanal yang merupakan
dampak dari banyaknya limbah domestik dan
industri yang kemudian menjadi pemicu
blooming algae yang pada gilirannya
”meracuni” kualitas perairan dan membuat
biota yang berada di sekitarnya menjadi
terdegradasi. Selain itu, munculnya beberapa
kegiatan reklamasi pantai yang dilakukan oleh
berbagai pengembang dengan menggunakan
material urugan dari pasir laut yang kemudian
berdampak terhadap timbulnya abrasi yang
mengancam kehidupan dan penghidupan
masyarakat pesisir dan pulau kecil di beberapa
wilayah di Indonesia.
Selain itu, kasus-kasus tumpahan minyak juga
telah memberikan dampak yang relatif negatif
bagi ekosistem pesisir dan laut yang pada
gilirannya juga akan berdampak pada
Gambar 1. Peta sebaran ekosostem mangrove, lamun, dan terumbu karang di Indonesia
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
44
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang menjadikan wilayah pesisir dan laut
sebagai sumber kehidupan dan penghidupan
masyarakat, terutama penangkapan dan
budidaya laut. Kerusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh kasus tumpahan minyak
menyebabkan kemampuan ekosistem untuk
menyediakan jasa ekosistem yang bermanfaat
bagi manusia juga terganggu dan tentu saja
pada gilirannya akan menggangu
kesejahteraan manusia.
Oleh karena itu, penting kiranya menjadikan
penilaian sumberdaya alam dan lingkungan
menjadi bagian yang seharusnya tidak
dipisahkan dari suatu upaya pengelolaan
wilayah untuk pembagunan berkelanjutan.
Salah satunya adalah dengan menghitung nilai
kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus
diantisipasi dan diminimalisasi agar
pembangunan yang dilakukan tidak menjadi
aktivitas yang di satu sisi “membangun” suatu
wilayah dan di sisi lain “menghancurkan”
wilayah lainnya.
Penilaian sumberdaya oleh agen perencanaan
yang lebih cenderung berfokus pada kegunaan
yang diharapkan (expected use), dimana
sumberdaya diterjemahkan berdasarkan
pertimbangan teknologi dan kelembagaan
sosial sesuai latar belakang masing-masing
agen, maka dapatlah disebut bahwa
sumberdaya “Ex Ante” sedang
dipertimbangkan dan untuk analisis ekonomi
konservasi, maka hal ini menjadi sangat
signifikan (Cariacy-Wantrup, 1968).
UNEP mendefinisikan jasa ekosistem sebagai
manfaat yang diperoleh manusia dari
ekosistem, termasuk didalamnya penyediaan
layanan seperti makanan dan air, jasa
pengaturan banjir dan pengendalian penyakit,
layanan budaya seperti spiritual, rekreasi, dan
manfaat budaya, dan jasa penunjang seperti
siklus hara, yang menjaga kondisi lahan untuk
kehidupan di bumi (United Nations
Environment Programme, 1993). Earth
Economics mendefinisikan jasa ekosistem
sebagai manfaat yang dapat diperoleh
manusia dari suatu ekosistem, termasuk
diantaranya manfaat air, makanan, bahan
baku, stabilisasi tepi pantai, perlindungan dari
banjir dan badai, pengaturan aliran air, kualitas
air, pengendali penyakit manusia, pengolahan
limbah, stok karbon, regulasi dan siklus
nutrien, habitat, produksi primer, pendidikan
dan ilmu pengetahuan, wisata, estetika dan
rekreasi (Tabel 2).
Tabel 2. Definisi dan manfaat jasa ekosistem
No
Jasa
Ekosistem
Definisi
1
Air
Air yang diberikan oleh siklus air,
iklim, topografi, ekologi dan
geologi dari sistem alam.
2
Makanan
Biomassa untuk dikonsumsi oleh
manusia yang disediakan oleh
jejaring suatu organisme laut dan
fungsi dari suatu ekosistem laut.
3
Bahan
Bahan biologis yang digunakan
untuk obat-obatan, bahan bakar,
dan bangunan.
4
Stabilisasi
Tepian Pantai
Menjaga keseimbangan garis
pantai.
5
Perlindungan
Banjir dan
Badai
Mitigasi atau redaman efek
angin, gelombang, dan air banjir
bagi masyarakat di wilayah hilir.
6
Pengaturan
Aliran Air
Retensi dan penyimpanan air
tawar.
7
Kualitas air
Menyaring dan melakukan
pemurnian air.
8
Pengendalian
Penyakit
Manusia
Ekosistem yang tidak terganggu
tetap dapat mengontrol dan
mengendalikan organisme yang
dapat menyebabkan penyakit
pada manusia.
9
Pengolahan
Limbah
Detoksifikasi atau penyerapan
kontaminan alami atau buatan
manusia.
10
Stok Karbon
Penangkapan dan penyimpanan
jangka panjang karbon
merupakan bagian dari siklus
karbon global. Daerah aliran
sungai memainkan peran penting
dalam stabilisasi iklim.
11
Regulasi dan
Siklus
Nutrien
Pengaturan transfer nutrisi dari
satu tempat ke tempat lain.
Transformasi nutrisi sangat
penting, terutama agar nutrisi
yang tidak dapat digunakan
dapat ditransformasi menjadi
bentuk nutrisi yang dapat
digunakan.
12
Habitat
Menyediakan kebutuhan siklus
dan tempat kehidupan
tumbuhan dan hewan.
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
45
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
No
Jasa
Ekosistem
Definisi
13
Produktivitas
primer
Memperbaiki produktivitas
karbon oleh tanaman serta
memberikan dasar bagi semua
rantai makanan darat dan laut.
14
Pendidikan
dan Ilmu
Pengetahuan
Ekosistem adalah subjek bagi
banyak penelitian ilmiah dan
pendidikan publik, baik sebagai
pengetahuan dasar maupun
untuk memahami kontribusi
fungsi ekosistem untuk
kesejahteraan manusia.
15
Pariwisata
Peran eksplisit dari ekosistem
pada pariwisata adalah bahwa
dengan ketersediaan tanah utuh
dan tidak terganggu serta
bentang laut yang panjang dapat
menjadi tempat unruk bermain
dan menarik wisatawan untuk
datang berlibur.
16
Estetika
Peran yang dimainkan adalah
keindahan alam dan digunakan
untuk menarik perhatian orang
agar dapat hidup, bekerja dan
menciptakan sesuatu di suatu
daerah.
17
Rekreasi
Kontribusi fitur ekosistem seperti
keanekaragaman hayati dan
mengendalikan air bersih dapat
menarik perhatian orang untuk
terlibat dalam kegiatan rekreasi
tersebut.
Sumber: Batker (2003); Costanza et al. (1997,
2014); de Groot et al. (2002, 2012);
Wahyudin et al. (2016).
Nilai Ekonomi Keanekaragaman Hayati
Pesisir dan Laut
Wilayah pesisir dan laut umumnya mempunyai
tiga ekosistem utama yang saling berinteraksi,
yaitu ekosistem terumbu karang, padang
lamun dan hutan mangrove (Wahyudin, 2011).
Ketiga ekosistem tersebut masing-masing
memberikan manfaat ekonomi dan ekologi
(Wahyudin, 2016). Manfaat ekonomi yang
dapat diperoleh merupakan manfaat yang
secara langsung ternilai (direct use value),
sedangkan manfaat ekologi merupakan
manfaat yang dapat diperoleh akan tetapi
nilainya bersifat tidak langsung (non use value)
(Adrianto et al., 2007). Tabel 3 menunjukkan
tentang definisi nilai sumberdaya sesuai
dengan tipologi nilai ekonomi total (TEV), yang
terdiri atas nilai kegunaan (use value) dan nilai
non kegunaan (non use value). Nilai kegunaan
terdiri atas nilai kegunaan langsung (direct use
value), nilai kegunaan tidak langsung (indirect
use value), dan nilai pilihan (option value),
sedangkan nilai non kegunaan terdiri atas nilai
pewarisan (bequest value) dan nilai
keberadaan (existence value).
Tabel 3. Definisi nilai sumberdaya sesuai
tipologi nilai ekonomi total
No
Tipologi Nilai
Definisi
I.
Use Value (UV)
1.
Direct
use value
(DUV)
Nilai ekonomi yang diperoleh dari
pemanfaatan langsung dari
sebuah ekosistem/sumberdaya
2.
Indirect
use value
(IUV)
Nilai ekonomi yang diperoleh dari
pemanfaatan tidak langsung dari
sebuah ekosistem/sumberdaya
3.
Option
value
(OV)
Nilai ekonomi yang diperoleh dari
potensi pemanfaatan langsung
maupun tidak langsung dari
sebuah ekosistem/sumberdaya di
masa mendatang
II.
Non Use Value (NUV)
1.
Bequest
value
(BV)
Nilai ekonomi yang diperoleh dari
manfaat pelestarian
ekosistem/sumberdaya untuk
kepentingan generasi masa depan
2.
Existence
value
(XV)
Nilai ekonomi yang diperoleh dari
sebuah persepsi bahwa
keberadaan (existence) dari
sebuah ekosistem/sumberdaya
itu ada, terlepas dari apakah
ekosistem/sumberdaya tersebut
dimanfaatkan atau tidak
Sumber: Barton (1994); Adrianto (2006); Adrianto
et al. (2007); Wahyudin (2017).
Costanza et al. (1997) menyatakan bahwa jasa
ekosistem adalah layanan dari sistem ekologi
dan stok modal alam yang menghasilkan
barang dan jasa yang sangat penting untuk
fungsi sistem pendukung kehidupan bumi.
Jasa ekosistem berkontribusi terhadap
kesejahteraan manusia, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dan karena itu
merupakan bagian dari nilai ekonomi total
bumi. Nilai ekonomi dari 17 jasa ekosistem
untuk 16 bioma yang dilakukan Costanza et al.
(1997) didasarkan atas penelitian yang telah
diterbitkan dan dari beberapa perhitungan asli
yang dilakukan sendiri. Untuk seluruh biosfer,
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
46
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
nilai (yang sebagian besar berada di luar pasar)
diperkirakan berada di kisaran US $ 16-54
triliun per tahun, dengan rata-rata US $ 33
triliun per tahun. Karena sifat ketidakpastian,
maka nilai ini harus dianggap sebagai estimasi
minimum (Costanza et al., 1997; 2014).
Mayoritas nilai jasa ekosistem diidentifikasi
dengan menggunakan pendekatan non pasar.
Jasa pengaturan gas diperkirakan mencapai
sebesar US $ 1.3 triliun per tahun, jasa
pengaturan gangguan/tekanan mencapai US $
1.8 triliun per tahun, jasa pengolahan limbah
mencapai US $ 2.3 triliun per tahun dan jasa
siklus nutrisi mencapai sebesar US $ 1.7 triliun
per tahun. 63% dari nilai estimasi
disumbangkan oleh sistem laut dan pesisir,
dimana sistem laut menyumbang nilai
ekonomi sebesar US $ 20.9 triliun per tahun
dan sistem pesisir menyumbang sebesar US $
10.6 triliun per tahun. Adapun sisanya sebesar
38% berasal dari nilai taksiran dari sistem
terestrial, terutama dari hutan, yaitu mencapai
sebesar US $ 4.7 triliun per tahun dan lahan
basah mencapai sebesar US $ 4.9 triliun per
tahun.
Nilai ekonomi keanekaragaman hayati pesisir
dan laut berdasarkan hasil iteratif dari
berbagai literatur cukup memberikan
gambaran seberapa besar nilai potensi jasa
ekosistem yang ada di sekitar wilayah pesisir
dan laut Indonesia. Tabel 4 berikut ini adalah
hasil estimasi nilai ekonomi ekosistem
menurut jenisnya berdasarkan hasil olahan
nilai dari berbagai literatur.
Tabel 4. Hasil estimasi nilai ekonomi
sumberdaya menurut jenisnya
No
Jenis
Ekosistem
Nilai
Ekonomi
Rata-rata
(Rp juta/
ha/tahun)
Sumber
1
Ladang
garam
2.68
Wahyudin &
Adrianto (2012)
2
Lamun
160.64
PKSPL-IPB (2000); Al
Hadad (2012);
PKSPL-IPB (2012);
Adrianto et al.
(2013); Adrianto et
al. (2014)
No
Jenis
Ekosistem
Nilai
Ekonomi
Rata-rata
(Rp juta/
ha/tahun)
Sumber
3
Mangrove
92.81
Fitrawati (2001);
Alfian (2004); PKSPL-
IPB (2005); Ariyanto
(2007);
BBPSE KKP (2009);
PKSPL-IPB (2012);
Siregar (2012);
Wahyudin &
Adrianto (2012);
Wahyuni (2013);
PKSPL-IPB (2013);
Osmaleli (2014)
4
Mutiara
13.52
Wahyudin &
Adrianto (2012)
5
Pantai
12,758.26
Wahyudin &
Adrianto (2012)
6
Perairan
7.39
PKSPL-IPB (2005);
PKSPL-IPB (2012);
Wahyudin &
Adrianto (2012);
Adrianto et al.
(2015)
7
Rumput
laut
21.90
PKSPL-IPB (2005);
PKSPL-IPB (2012);
Wahyudin &
Adrianto (2012);
Wahyudin (2013)
8
Terumbu
karang
385.94
Situmorang (2004);
PKSPL-IPB (2005);
Andalita (2006);
Leslahulu (2008);
Putrantomo (2010);
PKSPL-IPB (2012);
Wahyudin &
Adrianto (2012)
Sumber: Wahyudin (2017).
NILAI KEKAYAAN KEANEKARAGAMAN
HAYATI PESISIR DAN LAUT INDONESIA
DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
PENGELOLAAN YANG DIPERLUKAN
Tabel 4 menyebutkan bahwa nilai ekonomi
rata-rata ekosistem mangrove, lamun dan
terumbu karang berturut-turut sebesar Rp.
98,81 juta per hektar per tahun, Rp. 160,64
juta per hektar per tahun dan sebesar Rp.
385,94 juta per hektar per tahun, maka dengan
luas ekosistem mangrove Indonesia pada
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
47
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
tahun tahun 2016 tercatat seluas 3.668.345,60
hektar, ekosistem lamun mencapai 474.920,93
hektar dan ekosistem terumbu karang seluas
2.424.721,23 hektar, kekayaan
keanekaragaman hayati pesisir dan laut
Indonesia pada tahun 2016 dapat diestimasi
mencapai sebesar Rp. 1.353,55 triliun, terdiri
atas kekayaan keanekaragaman hayati
mangrove sebesar Rp. 340,46 triliun,
ekosistem lamun sebesar Rp. 76,29 triliun dan
ekosistem terumbu karang sebesar Rp. 935,80
triliun. Nilai ini dapat dikatakan sebagai nilai
minimal yang dapat diberikan, dikarenakan
perkembangan teknik dan model penilaian jasa
ekosistem masih akan terus berkembang
untuk menjadi lebih detail dalam melakukan
penilaian ekonomi jasa ekosistem di masa
mendatang (Costanza et al., 1997; 2014).
Tabel 5 berikut ini adalah kekayaan
keanekaragaman hayati pesisir dan laut
menurut provinsi di Indonesia tahun 2016.
Tabel 5. Kekayaan keanekaragaman hayati
pesisir dan laut menurut provinsi di
Indonesia tahun 2016
No
Provinsi
Kekayaan
(Rp. Triliun)
1
Aceh
11.18
2
Sumatera Utara
59.50
3
Sumatera Barat
18.27
4
Riau
16.30
5
Jambi
1.14
6
Sumatera Selatan
36.59
7
Bengkulu
2.62
8
Lampung
2.55
9
Kepulauan Bangka Belitung
42.23
10
Kepulauan Riau
111.44
11
DKI Jakarta
1.95
12
Jawa Barat
5.56
13
Jawa Tengah
2.27
14
DI Yogyakarta
1.97
15
Jawa Timur
259.25
16
Banten
1.04
17
Bali
3.83
18
Nusa Tenggara Barat
14.44
19
Nusa Tenggara Timur
59.09
20
Kalimantan Barat
46.58
21
Kalimantan Tengah
16.91
22
Kalimantan Selatan
14.87
23
Kalimantan Timur
66.23
24
Kalimantan Utara
0.03
25
Sulawesi Utara
13.55
26
Sulawesi Tengah
41.47
No
Provinsi
Kekayaan
(Rp. Triliun)
27
Sulawesi Selatan
49.68
28
Sulawesi Tenggara
20.53
29
Gorontalo
13.47
30
Sulawesi Barat
3.59
31
Maluku
29.24
32
Maluku Utara
47.47
33
Papua Barat
141.00
34
Papua
196.73
Indonesia
1,352.55
Tabel 5 menunjukkan bahwa Jawa Timur pada
tahun 2016 merupakan provinsi yang memiliki
kekayaan keanekaragaman hayati pesisir dan
laut tertinggi (Rp. 259,25 triliun) di Indonesia,
diikuti Papua (Rp. 196,73 triliun) dan Papua
Barat (Rp. 141,00 triliun). Nilai ini tentu saja
dapat berubah seiring perubahan luasan dan
karakteristik keanekaragaman hayati yang
terdapat di dalamnya. Oleh karena itu,
diperlukan suatu kebijakan komprehensif,
integratif, adaptif dan akomodatif agar
kekayaan keanekaragaman hayati ini dapat
dipertahankan serta tetap dapat memberikan
manfaat bagi kesejahteraan masyarakat pesisir
dan pulau kecil khususnya dan rakyat
Indonesia pada umumnya.
Tantangan dan ancaman bagi keanekaragaman
hayati pesisir dan laut merupakan hal yang
harus diperhatikan dan dimitigasi agar
kekayaan alam Indonesia tetap terjaga dan
memberikan manfaat bagi kesejahteraan
masyarakat pesisir dan pulau kecil khususnya
dan rakyat Indonesia pada umumnya.
Beberapa ancaman dan tantangan
pengelolaan yang perlu diperhatikan
diantaranya dibagi menjadi dua, yaitu akibat
bencana alam (natural hazard) yang memang
merupakan faktor eksternal dan sangat sulit
dihindari, kendatipun dapat dimitigasi,
terutama dalam konteks minimalisasi dampak
kerugian yang dapat ditimbulkan. Adapun
ancaman dan tantangan yang memungkinkan
untuk dilakukan mitigasi penuh adalah yang
diakibatkan oleh ulah manusia (human
hazards), diantaranya adalah pencemaran,
reklamasi pantai, penggunaan alat tangkap
yang merusak (bom, racun, dll), alih fungsi
lahan, kerusakan lahan dan sumberdaya, serta
berbagai hal yang berkaitan dengan kesalahan
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
48
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
manajemen dan atau kesalahan teknologi
penanganan lingkungan hidup yang tidak tepat
serta lemahnya penegakan hukum lingkungan
hidup, kendati beberapa kasus lingkungan
hidup telah banyak diselesaikan, baik melalui
pengadilan maupun di luar pengadilan
(Mahipal dan Wahyudin, 2019).
Rekomendasi kebijakan pengelolaan
keanekaragaman hayati yang perlu
dirumuskan diantaranya adalah penegakan
hukum lingkungan hidup yang bersifat
sistematis, terstruktur dan masif dengan
melibatkan berbagai kalangan yang terkait
dengan kasus yang ditangani. Saat ini, yang
perlu dikedepankan adalah bagaimana
lingkungan hidup (termasuk keanekaragaman
hayati pesisir dan laut) dapat
direstorasi/dipulihkan dengan segera tanpa
menunggu penyelesaian sengketa terlebih
dahulu. Artinya bahwa pemerintah dapat
menyiapkan dana restorasi yang nantinya akan
diklaimkan kepada pihak yang melakukan
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
hidup.
Rekomendasi berikutnya adalah diperlukan
pedoman baku yang dapat dijadikan sandaran
hukum akan pentingnya penanggulangan
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
hidup secara responsif dan antisipatif. Artinya
bahwa kejadian yang dianggap dapat
menimbulkan dampak negatif yang masif dan
irreversible harus segera ditangani agar tidak
menimbulkan dampak turunan yang mungkin
akan jauh lebih besar kerugiannya.
Perlu dilakukan perhitungan nilai kekayaan
sumberdaya alam dan lingkungan yang
menyeluruh sebagai bagian upaya pencegahan
munculnya kebijakan yang kontra produktif
dengan keanekaragaman hayati. Bilamana
setiap daerah di Indonesia memiliki nilai
kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan
yang selalu dimutakhirkan setiap tiga tahun
sekali, sehingga akan dapat ditentukan sistem
akuntansi sumberdaya alamdan lingkungan
sebagai salah satu alat ukur keberhasilan
kepala daerah di dalam mengelola asset dan
kekayaan alam dan lingkungannya. Seorang
kepala daerah pada setiap periode dapat
ditentukan apakah dia berhasil mengelola
kekayaannya dengan baik dan benar melalui
perbandingan nilai aset sumberdaya alam dan
lingkungan yang di awal periode menjabat
kepala daerah hingga di akhir periode jabatan
yang diembannya. Dengan model seperti ini,
maka kebijakan yang kontra produktif dengan
keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan
diharapkan dapat dimitigasi, terlebih bilamana
model seperti ini dijadikan ukuran ada
tidaknya potensi kerugian negara dan atau
daerah dalam kurun waktu tertentu.
PENUTUP
Indonesia memiliki kekayaan alam dan
lingkungan yang besar dan melimpah.
Keanekaragaman hayati pesisir dan laut
merupakan salah satu aset kekayaan negara
yang perlu dikelola secara optimal dan
berkelanjutan. Nilai kekayaan
keanekaragaman hayati pesisir dan laut
Indonesia dapat diestimasi minimal mencapai
sebesar Rp. 1.353,55 triliun. Nilai ini tentu saja
memberikan konsekuensi akan pentingnya
upaya untuk dapat dipertahankan. Oleh
karena itu, diperlukan rekomendasi kebijakan
pengelolaan keanekaragaman hayati yang
dilakukan secara responsif, antisipatif dan
adaptif.
Beberapa kebijakan yang direkomendasikan
diantaranya adalah (i) penegakan hukum
lingkungan hidup yang dilakukan secara
sistematis, terstruktur dan masif; (ii) adanya
pedoman baku penanggulangan pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup yang
responsive dan antisipatif; dan (iii) menjadikan
nilai aset sumberdaya alam dan lingkungan
sebagai instrumen keberhasilan tata kelola
kepala daerah di dalam mengelola
keanekaragaman hayati.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L, T Kusumastanto, A Pratomo, Dhewani, Y
Wahyudin. 2014. Valuasi Keterkaitan Sistem Sosial
Ekologi Ekosistem Lamun dan Perikanan di
Kabupaten Bintan. Unpublished. Bogor Agricultural
University.
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
49
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
Adrianto L, T Kusumastanto, A Samosir, Y Wahyudin, H
Malikusworo. 2013. Pemodelan Valuasi Keterkaitan
Ekosistem Lamun di Pulau Bintan. Laporan Hasil
Penelitian BOPTN. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Adrianto L. 2006. Pengenalan Konsep dan Metodologi
Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut.
Bogor: PKSPL IPB, 74 pp.
Adrianto L., Fahrudin A., Wahyudin Y. 2007. Konsepsi
Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Modul Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Bogor: PKSPL IPB.
Al Haddad MS. 2012. Valuasi Ekonomi Lamun di Pulau
Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi
Maluku Utara. Thesis of Graduated School IPB of
Natural Resources and Environmental Economics.
Bogor Agricultural University.
Allamah, D.D. 2016. Struktur Komunitas Lamun Di
Pantai Sindangkerta Kecamatan Cipatujah
Kabupaten Tasikmalaya. Abstract
Anwar, J. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gajah
Mada Universitu Press. Yogyakarta.
Barbier, E.B., Sathirathai, S., 2001. Valuing Mangrove
Conservation in Southern Thailand. Contemporary
Economic Policy. 19 (2) 109–122.
Barton, D. 1994. Economic Factors and Valuation of
Tropical Coastal Resources. Bergen: Senter fuer
Miljo-Og Ressursstudier, Universiteit I Bergen,
Norway.
Batker, D. 2003. Ecosystem Service Valuation (ESV).
Retrieved February 20, 2014.
http://www.eartheconomics.org/Page24.aspx
Bosire, J.O., Dahdouh-Guebas, F., Jayatissa, L.P.,
Koedam, N., Lo Seen, D., Nitto, Di D. 2005. How
Effective were Mangroves as a Defense Against the
Recent Tsunami? Current Biology Vol. 15 R443-R447.
Bowen, Jennifer L., Valiela, Ivan, York, Joanna K. 2001.
Mangrove Forests: One of the World's Threatened
Major Tropical Environments. Bio Science 51:10,
807–815.
Burke, L., Kathleen R., Mark S., Allison P. 2011. Reef at
Risk Revisited. World Resources Institute.
Washington. DC.
Cariacy-Wantrup, S. 1968. Resource Conservation:
Economic and Policies (3rd Ed. ed.). Berkeley:
Division of Agricultural Sciences, University of
California.
Chapman VJ. 1975. Mangrove Vegetation. Germany:
Cramer and Vaduz
Conservation International. 2008. Economic Value of
Coral Reefs, Mangroves and Seagrass; A Global
Compilation. Center for Applied Biodiversity Science,
Conservation International. Arlington, VA, USA.
Costanza R., dArge R., de Groot R., Farber S., Grasso
M., Hannon B., Limburg K., Naeem S., O’Neill R.V.,
Paruelo J., Raskin R.G., Sutton P., van den Belt M.
1997. The Value of the World's Ecosystem
Services and Natural Capital. Nature, 387, 253-
260.
Costanza R., de Groot R., Sutton P., van der Ploeg S.,
Anderson S.J., Kubiszewski I., Farber S., Turner
R.K. 2014. Changes in the global value of
ecosystem services. Global Environmental
Change, 26, 152–158.
Cullen-Unsworth, L, N Mtwana, J Paddock, S Baker, L
McKenzie, dan R Unsworth. 2014. Seagrass
Meadows Globally as a Coupled Social-Ecological
System: Implications for Human Wellbeing. Marine
Pollution Bulletin, 83, 387-397.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. 1996.
Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu (cetakan pertama). Jakarta:
PT. Pradnya Paramita.
de Groot R.S., Wilson M.A., Boumans, R.M.J. 2002. A
Typology for the Classification, Description and
Valuation of Ecosystem Functions, Goods and
Services. Ecological Economics, 41(2002), 393-408.
PII: S0921-8009(02)00089-7.
de Groot R., Brander L., van der Ploeg S., Costanza R.,
Bernard F., Braat L., Christie M., Crossman N.,
Ghermandi A., Hein L., Hussain S., Kumar P.,
McVittie A., Portela R., Rodriguez L.C., ten Brink P.,
van Beukering P.. 2012. Global Estimates of the
Value of Ecosystems and their Services in Monetary
Units. Ecosystem Services, 1 (2012), 50-61.
Available at
http://dx.doi.org/10.1016/j.ecoser.2012.07.005.
de la Torre-Castro, M. 2006. Humans and Seagrass in
East Africa - A Socialecological System Approach.
Stockholm: Department of Systems Ecology,
Stockholm University.
den Hartog, C. 1970. The Sea-grasses of the World.
Amsterdam, North Holland: Verdhandelingen der
Koninklijke Nederlandse Akademie van
Wetenschappen, afd. Natuurkunde, Reek 2.
Erawan T.S, Kasmara H, Mayawatle B. 2017. Kondisi
terumbu karang dan struktur komonitas karang
perairan kabupaten karawang provinsi Jawa Barat
Fortes, M. 1991. Seagrass-Mangrove Ecosystem
Management - a Key to Marine Coastal
Conservation in the Asian Region. Marine Pollution
Bulletin, 23, 113-116.
Giyanto., Abrar M., Hadi, T.A., Budiyanto, A., Hafizt, M.,
Salatalohy, A., and Iswari, M.Y. 2017. Status
Terumbu Karang Indonesia. Jakarta: Puslit
Oseanografi – LIPI.
Gufronah RR, Cecep K dan Omo R. 2015. Komposisi Jenis
Dan Struktur Hutan Mangrove Di Pulau Sebuku,
Kalimantan Selatan. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor
Hadi, T.A., Giyanto, Prayudha B., Hafizt M., Budiyanto A.,
Suharsono. 2018. Status Terumbu Karang Indonesia.
Jakarta: Puslit Oseanografi – LIPI.
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
50
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
Hamilton, S. 2013. Assessing the Role of Commercial
Aquaculture in Displacing Mangrove Forest. Bulletin
of Marine Science 89(2): 585-601.
Hanley N and White B. 2014. Incentivizing the Provision
of Ecosystem Services. International Review of
Environmental and Resource Economics 7: 299-331.
Hartati S.T dan Rahman A. 2016. Kesehatan terumbu
karang dan struktur komunitas ikan di perairan
pantai pangandaran, jawa Barat. Bawal Widya Riset
Perikanan Tangkap
Hogarth, Peter J. (1999). The Biology of Mangroves.
Oxford University Press, Oxford. ISBN 0-19-850222-
2.
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/beritabaru/118-
tabel-luas-kawasan-konservasi. Diakses 13 Maret
2017.
Jayatissa, L. P., Dahdouh-Guebas, F. & Koedam, N.
(2002). "A review of the floral composition and
distribution of mangroves in Sri Lanka". Botanical
Journal of the Linnean Society 138: 29–43.
Jin-Eong, Ong. 2004. The Ecology of Mangrove
Conservation and Management. Hydrobiologia.
295:1-3, 343–351.
Johnstone IM, dan Frodin DF. 1982. Mangroves of the
papuan subregion. J Bio an Eco of New Gui. 513-528
Kaufman L, Sandin S, Sala E, Obura D, Rohwer F, and
Tschirky T. 2011. Coral Health Index (CHI): measuring
coral community health. Science and Knowledge
Division, Conservation International, Arlington; VA,
USA
Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Vo Quoc, T. &
Dech, S., 2011. Remote Sensing of Mangrove
Ecosystems: A Review. Remote Sensing 3(5): 787-
928.
Kuo, J and A McComb. 1989. Seagrass Taxonomy,
Structure and Development. (A. A.W.D. Larkum, A.
McComb, & S. Shepherd, Eds.) Amsterdam: Elsevier.
Kusmana C, Onrizal dan Sudarmadji. 2003.Mangrove di
Teluk Bintuni, Papua. Indonesia: Fakultas Kehutanan
IPB dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries
Laranisa S. 2016 Struktur terumbu karang di pantai
sindangkerta kecamatan cipatujah kabupaten
tasikmalaya, jawa barat.
LIPI. 2018. Status Padang Lamun Indonesia 2018
Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecology. New
York: John Wiley and Sons.
MacNae W. 1968. A general account of the fauna and
flora of mangrove swamps and forests in the Indo-
West-Pacific Region. J Adv Mar Bio. 6: 73-270
Magurran AE. 1998. Ecological Diversity and Its
Measurement. London: Croom Helm Ltd.
Mahipal, Wahyudin Y. 2019. Kajian Hukum Penerapan
Penilaian Lingkungan Hidup di Wilayah Pesisir
Indonesia. Jurnal Cendekia Ihya, 2 (1), 43-55.
Available at SSRN:
https://ssrn.com/abstract=3432085.
Mangrove Information Center. 2009. Nipah. Bali:
Denpasar
Massó i Alemán, S., C. Bourgeois, W. Appeltans, B.
Vanhoorne, N. De Hauwere, P. Stoffelen, A.
Heaghebaert & F. Dahdouh-Guebas, 2010. The
‘Mangrove Reference Database and
Herbarium’. Plant Ecology and Evolution 143(2): 225-
232.
MEA (Millenium Ecosystem Assessment). 2003.
Ecosystem and Human Well Being - Framework for
Assessment. World Resources Institute Island
Inpress, Washington.
Miththapala, S (2008). Coral Reefs. Coastal Ecosystems
Series (Vol 1) pp 1-36 + iii. Colombo, Sri Lanka:
Ecosystems and Livelihoods Group Asia, IUCN.
Moritz C, Vii J, Lee Long W, Tamelander J, Thomassin A,
Planes S (editors). (2018) Status and Trends of Coral
Reefs of the Pacific. Global Coral Reef Monitoring
Network.
Munfarida I., 2018. Evaluasi Status dan Konservasi
Padang Lamun di Pesisir Kabupaten Garut, Provinsi
Jawa Barat. Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan
Universitas Hang Tuah
Murray, M.R., Zisman, S.A., Furley, P.A., Munro, D.M.,
Gibson, J., Ratter, J., Bridgewater, S., Mity, C.D., and
C.J. Place. 2003. "The Mangroves of Belize: Part 1.
Distribution, Composition and Classification." Forest
Ecology and Management 174: 265–279
Nienhuis, P. 1993. Structure and Functionning of
Indonesia Seagrass Ecosystem. In M. Moosa, H. de
Iongh, H. Blaauw, & M. Morimarna (Ed.), Proceeding
International Seminar on Coastal Zone
Management of Small Island Ecosystem, April 7-9,
1993. (pp. 82-86). Ambon: LIPI.
Noor YR, Khazali M, dan Suryadiputra INN. 1999.
Panduan Pengenalan Mangrove Indonesia. Bogor:
PKA/WI-IP
Plaziat, J.C., et al. (2001). "History and biogeography of
the mangrove ecosystem, based on a critical
reassessment of the paleontological
record". Wetlands Ecology and Management 9 (3):
pp. 161–179.
Pribadi R. 1998. The Ecology of Mangrove Vegetation in
Bintuni Bay, Irian Jaya, Indonesia [Disertasi].
Skotlandia: University of Stirling
Pribadi, T.D.K., Nurdiana, R., Rosada, K.K. 2017.
Asosiasi Makroalga dengan Gastropoda Pada Zona
Intertidal Pantai Pananjung Pangandaran. Jurnal
Biodjati, 2 (2), Hal 107-114
Richad PW. 1964. The Tropical Rain Forest: An Ecological
Studi. Cambridge University Press. London.
Ridho T.S, Hartoko A., Subiyanto. 2015.
Keanekaragaman Dan Struktur Komunitas Ikan Di
Pantai Sancang Kabupaten Garut. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Biologi 2015
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424
51
SK KPN ISSN Nomor 0005.26230453/JI.3.1/SK.ISSN/2018.09, Tanggal 28 September 2018 (ISSN 2623-0453 - media CD)
Wahyudin et al (2019)
Jurnal Cendekia Ihya, Oktober 2019, Volume 2, Nomor 2
Saenger, Peter (2002). Mangrove Ecology, Silviculture,
and Conservation. Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht. ISBN 1-4020-0686-1.
Sato, Gordon; Riley, Robert; et al. Growing Mangroves
With The Potential For Relieving Regional Poverty
And HungerWETLANDS, Vol. 25, No. 3 – September
2005
Setiawati T., Alifah M., Mutaqin A.Z., Nurzaman M.,
Irawan B., Budiono R. 2018. Studi Morfologi
Beberapa Jenis Lamun di Pantai Timur Dan Pantai
Barat, Cagar Alam Pangandaran. Jurnal Pro-Life
Volume 5 Nomor 1, Maret 2018.
Simanjuntak, SM. 2013. Economic Sustainable
Development. Bogor, West Java, Indonesia:
Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB.
Soerianegara I dan Indrawan A. 2016. Ekologi Hutan.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soerianegara I. 1971. Characteristics and classification of
mangrove soils of Java. J Rim Indones. 16: 141-150
Spalding, Mark; Kainuma, Mami and Collins, Lorna
(2010) World Atlas of Mangroves Earthscan,
London, ISBN 978-1-84407-657-4; 60 maps showing
world-wide mangrove distribution
Teas, H. J. (1983). Biology and Ecology of Mangroves. W.
Junk Publishers, The Hague. ISBN 90-6193-948-8.
Tomlinson, Philip B. (1986). The Botany of Mangroves.
Cambridge University Press, Cambridge, ISBN 0-521-
25567-8.
UNEP (United Nations Environment Programme). 2008.
Ecosystem Services. Retrieved September 9 (2019),
from In: The Economics of Ecosystems and
Biodiversity.
http://www.teebweb.org/resources/ecosystem-
services/.
Van Steenis CGGJ. 1958. Ecology of Mangroves. Dalam:
Van Steenis CGGJ, Flora Malesiana, Series I. 431-441
Vo Quoc, T., Kuenzer, C., Vo Quang, M., Moder, F., and
N. Oppelt, 2012. "Review of Valuation Methods for
Mangrove Ecosystem Services". Journal of Ecological
Indicators, 23: 431-446
Vo Quoc, T., Oppelt, N., Leinenkugel, P. & Kuenzer, C.,
2013. Remote Sensing in Mapping Mangrove
Ecosystems - An Object-based Approach. Remote
Sensing 5(1): 183-201.
Wahyudin Y, Adrianto L. 2012. Analisis Ekonomi
Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Selat Lombok
(Economic Analysis of Natural Resources and
Environment in Lombok Strait). PKSPL-IPB Working
Paper Volume 3, Number 1, January 2012. Available
at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2166187 or
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2166187.
Wahyudin Y, Kusumastanto T, Adrianto L, Wardiatno Y.
2018. A Social Ecological System of Recreational
Fishing in the Seagrass Meadow Conservation Area
on the East Coast of Bintan Island, Indonesia.
Ecological Economics, 148 (2018), 22–35. Available
at https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.01.013.
Wahyudin Y, Mahipal. 2013. Strategi Pembangunan
Negara Kepulauan (Strategic Development for
Archipelago State). Wawasan Tridharma: Majalah
Ilmiah Kopertis Wilayah IV, 25 (6). Available at
SSRN: https://ssrn.com/abstract=2250952.
Wahyudin Y, T Kusumastanto, L Adrianto, dan Y
Wardiatno. 2016. Jasa Ekosistem Lamun untuk
Kesejahteraan Manusia. Purwokerto: Omni-
Akuatika. 12 (3): 29-46, 2016 ISSN: 1858-3873.
http://dx.doi.org/10.20884/1.oa.2016.12 .3.122.
Wahyudin Y. 2007. Nilai Ekonomi Sumberdaya
Rumput Laut Alam (An Economic Value of the
Natural Seaweed Resources). Available at SSRN:
https://ssrn.com/abstract=1678973 or
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1678973.
Wahyudin Y. 2013. Nilai Sosial Ekonomi Rumput Laut:
Studi Kasus Kecamatan Tanimbar Selatan dan
Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi
Maluku. Majalah Ilmiah Globe, 15 (1). Available at
SSRN: http://ssrn.com/abstract=2407287.
Wahyudin Y. 2016. Potensi Bisnis Kelautan di Negara
Maritim Poros Dunia untuk Kesejahteraan Rakyat
Indonesia. Agrimedia, 21 (1), 17-23. Available at
https://www.researchgate.net/publication/316716
862.
Wahyudin Y. 2011. Karakteristik sumberdaya pesisir dan
laut kawasan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat. PKSPL-IPB, Bogor,
Bonorowo Wetlands 1 (1): 19-32.
Wahyudin, Y. 2017. Kajian Keterkaitan Sistem
Sosial-Ekologi Lamun dalam Meningkatkan Nilai
Ekonomi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pesisir
Timur Pulau Bintan. [Disertasi], Bogor : Institut
Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana, Program
Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika.
244 hal.
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/925
06.
Wahyudin, Y. 2017. Kajian Valuasi Ekonomi Sumberdaya
Pesisir dan Laut Akibat Tumpahan Minyak di
Kabupaten Bintan.
Warne, K. (February 2007). "Forests of the
Tide". National Geographic pp. 132–151
Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East.
Ed ke-2. Oxford: Oxford University Press.
Wibowo P dan Suyatno N. 1997. An Overview of
Indonesia Wetland Sites-Included in Wetland
Database. Bogor: Wetland International-PHPA.
Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3527424