ArticlePDF Available

RADIKALISME ISLAM VS MODERASI ISLAM: UPAYA MEMBANGUN WAJAH ISLAM INDONESIA YANG DAMAI

Authors:
  • STAI Sunan Pandanaran

Abstract

This article explains that all religions strictly prohibit acts of terror that can threaten harmony, wholeness and diversity of the nation. Terrorism and radicalism are not always ideologically motivated, but non-religious factors are dominant such as social, economic, political and others. Therefore, it is necessary to promote and promote a new discourse and paradigm of inclusive and tolerant Islamic understanding of moderation of Islam (wasathiyah al-Islām). The emergence of radical Islamism must immediately be balanced with the vision of moderate Islam. That is the image of Islam that upholds the valuesof moderation, tolerance and equality of rights.Moderation of Islam is a middle ground in the midst of religious diversity. The image of moderation of Islam appears in harmony between Islam and local wisdom. This Local Value as a cultural heritage of the archipelago, can be juxtaposed parallel so that between the spirit of Islam and cultural wisdom goes hand in hand, not mutually negate. This is where the image of Indonesian Islam is considered very appropriately applied in the context of cultural heterogeneity in the ASEAN region and the world Normal 0 false false false EN-US X-NONE AR-SA /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
33
RADIKALISME ISLAM VS MODERASI ISLAM:
UPAYA MEMBANGUN WAJAH ISLAM INDONESIA YANG DAMAI
1NURUL FAIQAH, 2TONI PRANSISKA
1UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
elnury16@gmail.com, tonyelnoory@ymail.com
Abstract
This article explains that all religions strictly prohibit acts of terror that can
threaten harmony, wholeness and diversity of the nation. Terrorism and
radicalism are not always ideologically motivated, but non-religious factors
are dominant such as social, economic, political and others. Therefore, it is
necessary to promote and promote a new discourse and paradigm of
inclusive and tolerant Islamic understanding of moderation of Islam
(wasathiyah al-Islām). The emergence of radical Islamism must
immediately be balanced with the vision of moderate Islam. That is the
image of Islam that upholds the valuesof moderation, tolerance and
equality of rights.Moderation of Islam is a middle ground in the midst of
religious diversity. The image of moderation of Islam appears in harmony
between Islam and local wisdom. This Local Value as a cultural heritage of
the archipelago, can be juxtaposed parallel so that between the spirit of
Islam and cultural wisdom goes hand in hand, not mutually negate. This is
where the image of Indonesian Islam is considered very appropriately
applied in the context of cultural heterogeneity in the ASEAN region and
the world.
Keyword :
Radicalism, Moderation of Islam, Terrorism, Paradigm
PENDAHULUAN
Fenomena gerakan
radikalisme dan terorisme berbasis
agama akhir-akhir ini menjadi
keprihatinan kita semua. Baik dalam
konteks global maupun indonesia.
Dalam sepekan ini Indonesia
dihadapkan dengan aksi terror yang
simultan. Serangan demi serangan
dilancarkan oleh kelompok teroris
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
34
biadab yang mengancam stabilitas
keamanan nasional dan integrasi
social. Mulai dari aksi Penyerangan
dan Penyanderaan di Mako Brimob
(Kompas.com, 11 Mei 2018) hingga
aksi bom bunuh diri (suicide bomber)
yang terjadi di tiga gereja di
Surabaya (news.idntimes.com, 14
Mei 2018). Hingga kabar yang
terbaru disusul adanya ledakan bom
di rusunawa Sidoarjo (Detik.com, 14
Mei 2018). Aksi teror tersebut
hampir selalu memakan korban, baik
diri pelakunya maupun warga yang
tidak berdosa. Di samping itu,
peristiwa-peristiwa tersebut juga
menimbulkan trauma psikologis bagi
para korban yang masih hidup dan
juga ketakutan di kalangan
masyarakat.
Aksi-aksi teror semacam ini
bukanlah kali pertamanya terjadi,
melainkan aksi tersebut dimulai
sejak tiga dekade terakhir di
penghujung millenium kedua,
tepatnya pertengahan tahun 70-an,
masyarakat internasional dikejutkan
oleh berbagai tindakan kekerasan,
khususnya aksi teror terhadap
kepentingan Amerika Serikat dan
Israel (Harian al-Ahrām Mesir, 2 Mei
1993). Aksi-aksi tersebut terus
meluas seiring dengan datangnya
millenium ketiga yang ditandai
dengan serangan 11 September
2001 terhadap gedung WTC dan
Pentagon. Islam dan umat Islam
menjadi pihak yang tertuduh dalam
aksi tersebut dan yang sebelumnya
dan dianggap sebagai ancaman bagi
kehidupan masyarakat dunia.
Berbagai stigma pun dilekatkan.
Islam identik dengan kekerasan,
terorisme, fundamentalisme,
radikalisme, dan lain sebagainya.
Stigmatisasi ini seakan
membenarkan pandangan beberapa
pemikir Barat yang berpandangan
bahwa Islam merupakan ancaman
pasca runtuhnya Soviet, seperti
Samuel Huntington dengan tesisnya
the clash of civilization.
Dengan mengggalang
kekuatan internasional, Amerika
Serikat melancarkan kampanye anti-
teror. Atas nama itulah, Afganistan
dan Irak diserang. Berbagai
organisasi dan pergerakan
keagamaan juga menjadi sasaran,
terutama jaringan Al-Qaeda
Internasional. Tuduhan tersebut
menemukan relevansinya dengan
pernyataan para pelaku yang
menyebutkan motivasi keagamaan
di balik aksi mereka, sehingga
banyak pengamat mengaitkan
gerakan islam garis keras dengan
terorisme dan kekerasan. Kendati
banyak faktor yang
melatarbelakanginya seperti politik,
ekonomi, sosial, psikologi dan lain
sebagainya. Akan tetapi faktor
keyakinan dan pemahaman
terhadap beberapa doktrin
keagamaan agaknya yang paling
dominan. Seakan perlawanan
menentang hegemoni suatu
kekuatan tertentu, yang notabene
berbeda agama, dalam berbagai
dimensi kehidupan mendapat
legitimasi dari teks-teks keagamaan,
tentunya dengan pemahaman yang
skriptual-literal (nashī), parsial (juz’ī)
dan ekstrem atau berlebihan
(tatharruf/gulwu). Sehingga terkesan
konflik bukan lagi karena akumulasi
berbagai kekecewaan akibat
hegemoni pihak tertentu, tetapi
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
35
seakan meluas kepada konflik
agama.Ibarat tanaman, aksi teror,
kekerasan dan radikalisme agama di
Indonesia telah menjelma sebagai
tanaman yang tumbuh subur. Patah
tumbuh, hilang berganti. Agama
yang seharusnya menjadi drive atau
panduan hidup yang ramah dan
toleran justru menjadi pemicu
timbulnya kekerasan dan teror. Ini
berarti ada kesalahan dalam
pemahaman dan implementasi
ajaran yang sangat fundamental.
Bukankah Islam yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad justru telah
membuktikan sebagai agama yang
menjunjung tinggi kasih sayang dan
sangat menghargai terhadap
perbedaan.
Zuhairi (2009: vii)
mengungkapkan bahwa terorisme
dan radikalisme agama bukan
persoalam pelakunya (subjek) bukan
pula orang-orang yang menjadi
korban dari aksi tersebut (objek).
Terorisme dan radikalisme lebih
terkait kepada keyakinan teologis.
Artinya, pelakunya bisa ditangkap
dan dipenjarakan bahkan dibunuh.
Tetapi keyakinan dan doktrinnya
tidak mudah untuk ditaklukkan. Nah,
oleh karena itu, maka perlu
mewacanakan dan mempromosikan
satu wacana dan paradigma baru
tentang pemahaman keislaman yang
ramah dan toleran yaitu moderasi
islam (wasathiyah al-Islām).
Munculnya paham islam radikal
harus segera diimbangi dengan visi
islam moderat. Yakni Wajah islam
yang menjunjung tinggi nilai-nilai
moderasi, toleransi dan persamaan
hak. Walhasil, kerukunan menjadi
keniscayaan bagi bangsa ini. Karena
kerukunan merupakan perwujudan
kedewasaan berbangsa dan
bernegara yang penuh dengan
perbedaan (unity in diversity).
RADIKALISME AGAMA: KAJIAN
LITERATUR
Kajian dan penelitian
mengenai radikalisme agama
sebenarnya telah banyak ditulis dan
dikaji oleh para pakar dan peneliti di
bidang sosial keagamaan. Sebut
saja misalnya buku dengan judul
Islam dan Radikalisme Islam di
Indonesia yang ditulis oleh Afdhal
dkk (2005: 65) dengan pendekatan
sosio-politik serta penggalian data
yang diambl dari kepustakaan dan
penelitian lapangan melalui metode
wawancara mendalam terhadap
para tokoh baik dari kelompok
radikal maupun kelompok
fundamentalis non-radikal, yang
nisbi maupu yang moderat.
Penulisnya mencoba memotret dan
mengkaji tentang pemahaman dan
pandangan kelompok islam radikal
serta berbagai gerakan politik yang
dilakukan radikalisme islam di
Indonesia kaitannya dalam
memperjuangkan berdirinya syariat
Islam. Dalam karyanya Afdhal
menemukan fakta bahwa munculnya
gerakan radikalisme di Indonesia
terkait erat dengan atau dipicu oleh
persoalan domestik disamping oleh
konstelasi politik internasional yang
dinilai telah memojokkan kehidupan
sosial politik umat Islam. Berbagai
kemelut domestik yang melanda
umat islam seperti pembataian kyai
dengan berkedok dukun santet,
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
36
sampai tragedi Poso (1998), tragedi
Ambon (1999) di mana umat Islam
menjadi korban menurutnya adalah
bukti dari penyebab munculnya
radikalisme di Indonesia.
Sri Yunanto (2003: 124)
dalam bukunya Gerakan Militan
islam di indonesia dan Asia
Tenggara, juga secara fokus
mengkaji tentang gerakan islam
militan. Dibandingkan kajian tentang
gerakan Islam serupa yang lebih
cenderung menekankan kepada
dimensi sosiologis dan teologis,
buku ini lebih memberikan
penekanan pada dimensi politik dan
keamanan. Untuk dimensi politik
yang dikaji dalam buku ini misalkan
dapat dicermati dalam kasus-kasus
seperti penekanan terhadap gerakan
menekan kebijakan implementasi
syariat islam, pemberantasan
kemungkaran, isu-isu tentang
negara islam (al-daulah al-
islāmiyah), keterkaitan dengan politik
militer dan profil organisasi.
Sedangkan dimensi keamanan
dapat dilihat misalnya dalam kasus
keterlibatan kelompok ini dalam
konflik di beberapa daerah di
Indonesia dan Asia Tenggara dan
keterkaitannya dengan isu-isu
terorisme.
Genealogi Islam Radikal di
Indonesia, ditulis oleh M. Zaki
Mubarok (2008: 187) sebuah buku
yang memberikan telaah yang cukup
komprehensif atas beberapa
kelompok yang disebut oleh
penulisnya sebagai “Islam Radikal”
di Indonesia, segala bentuk sepak
terjang dan tujuan yang dikehendaki
oleh kelompok Islam Radikal
tersebut. Buku ini memberikan
gambaran yang cukup gamblang
terkait kelompok-kelompok Islam
Radikal di Indonesia seperti KISDI
(Komite Indonesian untuk Solidaritas
Dunia Islam), Laskar Jihad, Forum
Pembela islam, dan Majelis
Mujahidin.
Benih-benih Islam Radikal di
Masjid: Studi Kasus Jakarta dan
Solo yang ditulis oleh M. Ridwan al-
Makasary dan Ahmad Gaus A.F
(2009:76) memberikan penjelasan
yang sangat “keras” tentang
munculnya fenomena bibit-bibit
radikalisme di masjid-masjid di
Jakarta dan Solo. Penelitian yang
dilakukan tersebut memberikan
fotret dari mana datangnya bibit
radikalisme di mesjid dan dalam
kerangka semacam apa radikalisme
tersebut terformulasikan. Dengan
mengambil beberapa mesjid di
Jakarta dan Solo terdapat benang
merah yang dapat ditarik di sana.
Bahwa radikalisme mesjid tumbuh
karena ealogihendak merespon
masalah kontemporer. Globalisasi di
kalangan masjid yang disinyalir
datang dari Barat, bukan dari Islam.
Sebuah artikel dengan judul
Radikalisme Islam Klasik dan
Komtemporer: Membanding
Khawarij dan Hijbut Tahrir yang
ditulis oleh Syamsul Rizal (2010:
225-226) Secara khusus, penulis
menguji sejauh mana proto-type dan
kemiripan karakteristik antara
radikalisme Islam klasik, yang
diwakili oleh Khawarij, dan
radikalisme Islam kontemporer, yang
diwakili oleh Hizbut Tahrir. Meskipun
tidak ditemukan bukti sejarah yang
kuat tentang pengaruh langsung
ajaran Khawarij terhadap HT, namun
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
37
penulis berargumentasi bahwa
terdapat elemen-elemen Khawarij
dalam gerakan Hizbut Tahrir.
Penelitian tersebut
menemukan bahwa adanya
beberapa kesamaan karakteristik
antara Khawarij dan HT dalam
kaitannya dengan ciri radikalisme.
Pertama, kedua gerakan tersebut
sama-sama muncul sebagai bentuk
perlawanan terhadap tatanan social
disekitarnya yang tidak disetujuinya.
Baik Khawarij maupun HT
menggunakan agama sebagai
sumber justifikasi untuk melakukan
perlawanan. Kedua, Khawarij dan
HT cenderung memahami teks-teks
Islam secara literal tanpa
mengelaborasi konteks, maksud,
dan tujuannya. Terakhir, para
penganut kedua kelompok tesebut
memegang ajarannya masing-
masing secara fanatic tanpa
kompromi dan dinamika. Walhasil,
mereka cenderung menghakimi
‘yang lain’ sebagai kufur atau tidak
faham Islam secara kaffah, serta
mengklaim diri (self-claim) sebagai
pengemban Islam yang paling
benar. Dari eksaminasi singkat ini,
penulis menyimpulkan adanya titik
singgung (family resemblances)
antara radikalisme Islam klasik dan
radikalisme Islam kontemporer.
MEMAHAMI TERM RADIKALISME
DAN TERORISME
Istilah radikalisme berasal
dari bahasa Latin “radix” yang
artinya akar,pangkal, bagian bawah,
atau bisa juga berarti menyeluruh,
habis-habisan danamat keras untuk
menuntut perubahan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) (2008:1151) radikalisme
berarti (1) paham atau aliran yang
radikal dalam politik; (2)paham atau
aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial
danpolitik dengan cara kekerasan
atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam
aliran politik.
Pengertian lain
mengungkapkan bahwa yang
dimaksud dengan radikal atau
radikalisme itu adalah prinsip-prinsip
atau praktik-praktik yang dilakukan
secara radikal. Suatu pilihan
tindakan yang umumnya dilihat
dengan mempertentangkan secara
tajam antara nilai-niali yang
diperjuangkan oleh kelompok
(aliran) agama tertentu dengan
tatanan nilai yang berlaku atau
dipandang mapan pada saat itu
(Kemenag, 2014: 3).
Pada dasarnya, perlu
dibedakan antara radikal,
radikalisme dan radikalisasi.
Menurut KH. Hasyim Muzadi,
mantan Ketua PBNU dan pengasuh
pesantren al-Hikam Malang, pada
dasarnya seseorang yang berfikir
radikal (berfikir mendalam, sampai
ke akar-akarnya) boleh-boleh saja,
dan memang berfikir sudah
seharusnya seperti itu. Katakanlah
misalanya, seseorang yang dalam
hatinya berpandangan bahwa
Indonesia mengalami banyak
masalah (ekonomi, pendidikan,
hokum dan politik) disebabkan
Indonesia tidak menerapkan syariat
Islam, oleh karena itu, misalnya,
dasar Negera Indonesia harus
diganti dengan system pemerintahan
islam (al-khilāfah al-islāmiyah).
Pendapat yang radikal seperti itu
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
38
sah-sah saja. Sekeras apapun
pernyataan diatas jika hanya dalam
wacana atau pemikiran, tidak akan
menjadi persoalan publik. Sebab
pada hakikanya, apa yang muncul
dal;am benak atau pikiran tidak
dapat diadili (kriminalisasi pemikiran)
karena tidak termasuk tindak pidana.
Kejahatan adalah suatu tindakan
(omissi). Dalam pengertian ini,
seseorag tidak dapat dihukum hanya
karena pikirannya, melainkan harus
ada suatu tindakan atau kealpaan
dalam bertindak (Abu Rokhmad,
2012: 82).
Adapun term “radikalisme”,
KH. Hasyim Muzadi
mendefinisikannya “radikal dalam
paham atau ismenya”. Biasanya
mereka akan menjadi radikal secara
permanen. Radikal sebagai isme ini
dapat tumbuh secara demoktratis,
force (kekuatan) masyarakat dan
teror. Dengan kata lain, radikalisme
adalah radikal yang sudah menjadi
ideologi dan mazhab pemikiran.
Dalam pandangan peneliti, setiap
orang berpotensi menjadi radikal
dan penganut paham radikal
(radikalisme), tergantung apakah
lingkungan (habitus) mendukungnya
atau tidak.(Kemenag, 2014: 4).
Sedangkan yang dimaksud dengan
radikalisasi menurut Muzadi adalah
(seseorang yang) tumbuh menjadi
reaktif ketika terjadi ketidakadilan di
masyarakat. Biasanya radikalisasi
tumbuh berkaitan dengan
ketidakadilan ekonomi, politik,
lemahnya penegakan hukum dan
seterusnya. Jadi, jangan
dibayangkan ketika teroris sudah
ditangkap, lalu radikalisme hilang.
Sepanjang keadilan dan
kemakmuran belum terwujud,
radikalisasi akan selalu muncul di
masyarakat. Keadilan itu
menyangkut banyak aspek, baik
aspek hukum, politik, pendidikan,
sosial, hak asasi, maupun budaya.
Hukum itu berbeda dengan keadilan.
Hukum adalah aspek tertentu,
sedangkan keadilan adalah akhlak
dari hukum itu (Rokhmat, 2012: 83).
Setidaknya, radikalisme bisa
dibedakan ke dalam dua level, yaitu
levelpemikiran dan level aksi atau
tindakan. Pada level pemikiran,
radikalisme masihberupa wacana,
konsep dan gagasan yang masih
diperbincangkan, yang
intinyamendukung penggunaan
cara-cara kekerasan untuk
mencapai tujuan. Adapunpada level
aksi atau tindakan, radikalisme bisa
berada pada ranah sosial-politikdan
agama. Pada ranah politik, faham ini
tampak tercermin dari adanya
tindakanmemaksakan pendapatnya
dengan cara-cara yang
inkonstitusional, bahkan bisaberupa
tindakan mobilisasi masa untuk
kepentingan politik tertentu dan
berujungpada konflik sosial.
Dalam bidang keagamaan,
fenomena radikalisme agama
tercermin daritindakan-tindakan
destruktif-anarkis atas nama agama
dari sekelompok orangterhadap
kelompok pemeluk agama lain
(eksternal) atau kelompok
seagama(internal) yang berbeda dan
dianggap sesat. Termasuk dalam
tindakan radikalismeagama adalah
aktifitas untuk memaksakan
pendapat, keinginan, dan cita-
citakeagamaan dengan jalan
kekerasan. Radikalisme agama bisa
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
39
menjangkiti semua pemeluk
agama,tidak terkecuali di kalangan
pemeluk Islam.
Lebih detil, Rubaidi (2010:
63) menguraikan lima ciri gerakan
radikalisme. Pertama, menjadikan
Islam sebagai ideologi final dalam
mengatur kehidupan individual dan
juga politik ketata negaraan. Kedua,
nilai-nilai Islam yang dianut
mengadopsi sumbernya—di Timur
Tengah—secara apa adanya tanpa
mempertimbangkan perkembangan
sosial dan politik ketika Al-Quran
dan hadits hadir di muka bumi ini,
dengan realitas lokal kekinian.
Ketiga, karena perhatian lebih
terfokus pada teks Al-Qur’an dan
hadist, maka purifikasi ini sangat
berhati-hati untuk menerima segala
budaya non asal Islam (budaya
Timur Tengah) termasuk berhati-hati
menerima tradisi lokal karena
khawatir mencampuri Islam dengan
bid’ah. Keempat, menolak ideologi
Non-Timur Tengah termasuk
ideologi Barat, seperti demokrasi,
sekularisme dan liberalisme. Sekali
lagi, segala peraturan yang
ditetapkan harus merujuk pada Al-
Qur’an dan hadist. Kelima, gerakan
kelompok ini sering berseberangan
dengan masyarakat luas termasuk
pemerintah. Oleh karena itu,
terkadang terjadi gesekan ideologis
bahkan fisik dengan kelompok lain,
termasuk pemerintah.
Peningkatan radikalisme
keagamaan banyak berakar pada
kenyataan kian merebaknya
berbagai penafsiran, pemahaman,
aliran, bahkan sekte di dalam (intra)
satu agama tertentu. Menurut
Azyumardi Azra (2011: 25), di
kalangan Islam, radikalisme
keagamaan itu banyak bersumber
dari:
1. Pemahaman keagamaan
yang literal, sepotong-
sepotong terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Pemahaman
seperti itu hampir tidak
memberikan ruang bagi
akomodasi dan kompromi
dengan kelompok-kelompok
muslim lain yang umumnya
moderat, dan karena itu
menjadi arus utama
(mainstream) umat.
Kelompok umat Islam yang
berpaham seperti ini sudah
muncul sejak masa al-
Khulafa’ al-Rasyidun
keempat Ali ibn Abi Thalib
dalam bentuk kaum Khawarij
yang sangat radikal dan
melakukan banyak
pembunuhan terhadap
pemimpin muslim yang telah
mereka nyatakan ‘kafir’.
2. Bacaan yang salah terhadap
sejarah Islam yang
dikombinasikan dengan
idealisasi berlebihan
terhadap Islam pada masa
tertentu. Ini terlihat dalam
pandangan dan gerakan
Salafi, khususnya pada
spektrum sangat radikal
seperti Wahabiyah yang
muncul di Semenanjung
Arabia pada akhir abad 18
awal sampai dengan abad 19
dan terus merebak sampai
sekarang ini. Tema pokok
kelompok dan sel Salafi ini
adalah pemurnian Islam,
yakni membersihkan Islam
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
40
dari pemahaman dan praktek
keagamaan yang mereka
pandang sebagai ‘bid’ah’,
yang tidak jarang mereka
lakukan dengan caracara
kekerasan. Dengan
pemahaman dan praksis
keagamaan seperti itu,
kelompok dan sel radikal ini
‘menyempal’ (splinter) dari
mainstream Islam yang
memegang dominasi dan
hegemoni otoritas teologis
dan hukum agama dan
sekaligus kepemimpinan
agama. Karena itu, respon
dan reaksi keras sering
muncul dari kelompok-
kelompok mainstream’, arus
utama, dalam agama.
Mereka tidak jarang
mengeluarkan ketetapan,
bahkan fatwa, yang
menetapkan kelompok-
kelompok sempalan tersebut
sebagai sesat dan
menyesatkan. Ketetapan
atau fatwa tersebut dalam
prakteknya tidak jarang pula
digunakan kelompok-
kelompok mainstream
tertentu sebagai dasar dan
justifikasi untuk melakukan
tindakan main hakim sendiri.
3. Deprivasi politik, sosial dan
ekonomi yang masih
bertahan dalam masyarakat.
Pada saat yang sama,
disorientasi dan dislokasi
sosial-budaya, dan ekses
globalisasi, dan semacamnya
sekaligus merupakan
tambahan faktor-faktor
penting bagi kemunculan
kelompok-kelompok radikal.
Kelompok-kelompok
sempalan tersebut tidak
jarang mengambil bentuk
kultus (cult), yang sangat
eksklusif, tertutup dan
berpusat pada seseorang
yang dipandang kharismatik.
Kelompok-kelompok ini
dengan dogma eskatologis
tertentu bahkan memandang
dunia sudah menjelang akhir
zaman dan kiamat; sekarang
waktunya bertobat melalui
pemimpin dan kelompok
mereka. Doktrin dan
pandangan teologis-
eskatologis seperti ini, tidak
bisa lain dengan segera
dapat menimbulkan reaksi
dari agama-agama
mainstream, yang dapat
berujung pada konflik sosial.
Munip (2012:165)
menjelaskan bahwa
Radikalisme keagamaan
jelas berujung pada
peningkatan konflik sosial
dan kekerasan bernuansa
intra dan antar agama; juga
bahkan antar umat beragama
dengan negara. Ini terlihat
jelas, misalnya, dengan
meningkatnya aktivitas
penutupan gereja di
beberapa tempat dimana
kaum Muslim mayoritas,
seperti di Bekasi, Bogor dan
Temanggung belum lama ini.
Atau penutupan
masjid/mushala di daerah
mayoritas non-Muslim
diberbagai tempat di tanah
air, seperti di Bali pasca bom
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
41
Bali Oktober 2002; termasuk
pula anarkisme terhadap
berbagai fasilitas dan masjid-
masjid Ahmadiyah serta para
jemaatnya. Berbagai tindak
kekerasan terhadap pengikut
Ahmadiyah juga masih terus
terjadi di sejumlah tempat
mulai dari NTB, Parung,
Cikeusik dan berbagai lokasi
lain. Lalu ada juga kelompok-
kelompok hardliners atau
garis keras di kalangan
muslim, menegakkan
hukumnya sendiri–atas nama
syari’ah (hukum Islam)–
seperti pernah dilakukan
Lasykar Jihad di Ambon
ketika terjadinya konflik
komunal Kristen-Muslim;
atau razia-razia yang
dilakukan Front Pembela
Islam (FPI) dalam beberapa
tahun terakhir ini, khususnya
pada Ramadhan, atas
diskotik, dan tempat-tempat
hiburan lainnya atas nama al-
amr bial-ma’ruf wa al-nahy
‘anal-munkar (menyeru
dengan kebaikan dan
mencegah kemungkaran).
Bagi mereka tidak cukup
hanya amar ma`ruf dengan
lisan, perkataan; harus
dilakukan pencegahan
terhadap kemungkaran
dengan tangan (al-yad), atau
kekuatan. Sekalilagi,
tindakan-tindakan seperti ini
juga dapat memicu terjadinya
konflik sosial. Umat Islam
mainstream–seperti diwakili
NU, Muhammadiyah, dan
banyak organisasi lain—
berulangkali menyatakan,
mereka menolak cara-cara
kekerasan, meski untuk
menegakkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran
sekalipun. Tetapi, seruan
organisasi-organisasi
mainstream ini sering tidak
efektif; apalagi di dalam
organisasi-organisasi ini juga
terdapat kelompok garis
keras yang terus juga
melakukan tekanan internal
terhadap kepemimpinan
organisasi masing-masing.
Fenomena radikalisme Islam
diyakini oleh banyak pihak sebagai
ciptaan abad ke-20 di dunia Muslim,
terutama di Timur Tengah, sebagai
produk dari krisis identitas yang
berujung pada reaksi dan resistensi
terhadap Barat yang melebarkan
kolonialisasi di dunia Muslim.
Terpecahnya dunia Muslim ke dalam
berbagai negara bangsa (nation-
state) dan proyek modernisasi yang
dicanangkan oleh pemerintah baru
berhaluan Barat mengakibatkan
umat Islam merasakan mengikisnya
ikatan agama dan moral yang
selama ini mereka perpegangi
secara kuat (Dekmejian, 1985: 25-
36) Hal ini menyebabkan munculnya
gerakan-gerakan Islam radikal yang
menyerukan kembali ke ajaran Islam
yang murni sebagai jalan keluar.
Tidak sampai disitu, gerakan ini
melakukan perlawanan terhadap
rezim yang dianggap sekuler dan
menyimpang dari agama. Selain
fundamentalisme Islam, ada
berbagai istilah yang dipakai para
pengamat dan sarjana untuk
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
42
mengidentifikasi dan menjelaskan
fenomena kebangkitan Islam di
dunia Muslim, antara lain:
revivalisme, radikalisme, militansi,
Islamisme, Islam politik (political
Islam), skripturalisme, dan
extrimisme. Dari berbagai istilah ini,
fundamentalisme nampaknya lebih
umum dipakai oleh media dan
akademisi. Akan tetapi, tidak semua
sarjana sepakat dengan istilah ini,
karena mengandung makna pejoratif
terhadap Islam.
Istilah lain yang populer dan
penulis gunakan dalam artikel ini
sebagai alat identifikasi ialah ‘Islam
radikal’ atau ‘radikalisme Islam’.
Istilah ini bagi penulis tampak lebih
netral dan kurang pejoratif, serta
secara umum dipakai dalam disiplin
ilmu politik dan sosiologi untuk
menjelaskan fenomena social
tertentu. Mengikuti definisi yang
dibuat oleh Jamhari dan Jahroni
(2004: 2-3), Islam radikal mengacu
kepada “kelompok yang mempunyai
keyakinan ideologis tinggi dan
fanatik yang mereka perjuangkan
untuk menggantikan tatanan nilai
dan system yang sedang
berlangsung.” Dari perspektif ini, ada
tiga kecenderungan umum
radikalisme.Pertama, radikalisme
merupakan respon terhadap kondisi
yang sedang berlangsung. Biasanya
respons tersebut muncul dalam
bentuk evaluasi, penolakan atau
bahkan perlawanan. Kedua,
radikalisme tidak berhenti pada
upaya penolakan, melainkan terus
berupaya mengganti tatanan
tersebut dengan suatu bentuk
tatanan lain. Ketiga, kuatnya
keyakinan kaum radikalis akan
kebenaran program atau ideologi
yang mereka bawa. Sikap ini pada
saat yang sama dibarengi dengan
penafian kebenaran sistem lain yang
akan diganti (Bahtiar Effendy, 1998:
12-13).Istilah terorisme sendiri baru
populer pada tahun 1793 sebagai
akibta revolusi Perancis, tepatnya
ketika Robespierre mengumumkan
era baru yang disebut dengan Reign
of Terror (10 Maret 1793 27 Juli
1794). Teror menjadi agenda
penting para pengawal revolusi dan
menjadi keputusan pemerintah untuk
mengukuhkan stabilitas politik, tetapi
juga tokoh-tokoh moderat,
pedagang, agamawan dan lain
sebagainya. Selama berlangsung
Revolusi Prancis, Robespierre dan
yang sejalan dengannya seperti St.
Just dan Couthon melancarkan
kekerasan politik dengan membunuh
1366 penduduk Perancis, laki-laki
dan perempuan, hanya dalam waktu
6 minggu akhir dari masa teror
(Mihanna, 2003: 122).
Dalam kamus Oxford (1981:
736) kata Terorist diartikan dengan
orang yang melakukan kekerasan
terorganisir untuk mencapai tujuan
politik tertentu. Aksinya disebut
terorisme, yaitu penggunaan
kekerasan dan kengerian atau
ancaman, terutama untuk tujuan-
tujuan politis. Sementara itu, fatwa
MUI (2004: 80) tentang terorisme
menyatakan bahwa Terorisme
adalah tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban yang
menimbulkan ancaman serius
terhadap kedaulatan negara, bahaya
terhadap keamanan, perdamaian
dunia serta merugikan
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
43
kesejahteraan masyarakat.
Terorisme adalah salah satu bentuk
kejahatan yang diorganisasi dengan
baik (wellorganized), bersifat trans-
nasional dan digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa (extra-ordinary
crime) yang tidak membeda-
bedakan sasaran (indiskrimatif).
Organisasi-organisasi
Internasional seperti PBB,
mendefinisikannya dengan salah
satu bentuk kekerasan terorganisir.
Bentuknya seperti disepakati
masyarakat dunia dapat berupa
pembunuhan, penyiksaan,
penculikan, penyanderaan tawanan,
peledakan bom, atau bahan peledak
dan lainnya yang dapat menjadi
pesan pelaku teror. Aksi tersebut
biasanya untuk tujuan politik, yaitu
memaksa kekuatan politik tertentu,
negara atau kelompok agar
mengambil kebijakan atau merubnya
sesuai yang diinginkan pelaku
(Ezzuddin, 1981: 89). Dalam sidang
Umum ke 83, tanggal 8 Desember
1998, PBB mengecam segala
bentuk kekerasan aksi teror dengan
alasan apapun, termasuk yang
bermotifkan politik, filsafat,
akidah/ideologi, ras, agama, dan
lainnya.
Secara umum, terorisme
diartikan sebagai cara atau teknik
intimidasi dengan sasaran
sistematik, demi suatu kepentingan
politik tertentu. Whittaker (2003)
mengutp beberapa pengertian
terorisme antara lain menurut Walter
Reich yang menyatakan bahwa
terorisme adalah a strategy of
violence designed to promote
desired outcomes by instilling fear in
the public at large (suatu strategi
kekerasan yang dirancang untuk
meningkatkan hasil-hasil yang
diinginkan, dengan cara
menanamkan ketakutan di kalangan
masyarakat umum). Sementara
pihak mengartikan terorisme sebagai
...the deliberate, systemic, murder,
maiming, and menacing of the
innocent to inspire fear in order to
gain political ends...terrorism is
politically evil, necessarily evil and
wholly evil (pembunuhan dengan
sengaja yang direncanakan secara
sistematik, sehingga mengakibatkan
cacat dan merenggut atau
mengancam jiwa orang yang tidak
bersalah, sehingga menimbulkan
ketakutan umum, semata-mata demi
mncapai tujuan politik, terorisme
adalah suatu kejahatan politik, yang
dari segi apapun merupakan
kejahatan dan dalam artian secara
keseluruhan adalah merupakan
kejahatan) (Poul Johnson, 2008:
189). Akar terorisme global pada
era ini adalah ideologi universal,
bukan agama yang secara sangat
sinis kerap dikaitkan dengan ideologi
itu. Ideologi yang mendorong
benturan, konflik, dan mempertajam
fragmentasi budaya secara terus-
menerus telah menumbuh-
kembangkan fundamentalisme.
Tujuan para pelaku terorisme dan
motivasinya di masa lalu sangatlah
beragama, yaitu demi keuntungan
ekonomi (gold), memperoleh gensi
sosial (glory), memaksakan ideologi,
penafsiran keyakinan atau
eksploitasi agama, kebudayaan,
hegemoni, kekuasaan, dominasi
kultural, ataupun pemaksaan konsep
falsafati.
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
44
Terorisme tidak mempunyai
nilai, karena nilai dalam aksiologis
terdiri atas etika (baik dan buruk),
norma moral (salah dan benar), dan
nilai estetika (elok dan tidak elok).
Bahasa dalam terorisme adalah
bahasa universal, yang penilaian
terhadapnya juga bersifat universal.
Oleh karena itu, nilai dari terorisme
ternegasikan secara penuh oleh
jatuhnya korban manusia yang tidak
bersalah. Terorisme menggunakan
suatu bahasa dalam mengungkan
pikiran atau keyakinan pihak pelaku
(subyek), yang menimbulkan panik
dan ketakutan di kalangan
masyarakat luas.
GERAKAN ISLAM RADIKAL VS
ISLAM MODERAT
Willian E. Shepard membagi
Islam ke dalam lima tipologi gerakan
Islam, yaitu: sekularisme,
modernisme Islam, Islam radikal,
tradisionalisme, dan neo-
tradisionalisme. Pandangan lain
tentang tipologi gerakan Islam, dapat
digolongkan menjadi: modernisme
Islam, tradisionalisme Islam,
fundamentalisme Islam, neo-
modernisme Islam, neo-
fundamentalisme Islam sampai
kepada yang belakangan ramai
diperbincangkan orang di tanah air,
yakni post tradisionalisme Islam.
Ada empat tipologi kelompok
gerakan Islam yang dielaborasi
Setara Institute. Pertarna, kelompok
Islam moderat yang memiliki tiga ciri
yaitu: (1) tidak menggunakan
kekerasan dalam agenda
perjuangan Islam; (2) akomodatif
terhadap konsep negara-bangsa
modern; (3) organisasi bersifat
terbuka (contohnya NU dan
Muhammadiyah). Kedua, kelompok
Islam radikal transnasional yang
memiliki empat ciri yaitu: (1)
berjuang melakukan perubahan
sistem sosial dan politik; (2) tidak
menggunakan kekerasan dalam
agenda perjuangan Islam; (3)
perjuangannya bersifat ideologis; (4)
organisasi bersifat terbuka dan lintas
batas negara (contohnya HTI).
Ketiga, kelompok Islam radikal lokal
yang memiliki empat ciri yaitu: (1)
menggunakan kekerasan dalam
agenda perjuangannya jika tidak
terjadi perubahan di masyarakat; (2)
tidak merencanakan pembunuhan;
(3) perjuangannya ada yang bersifat
pragmatis dan ideologis: (4)
organisasi bersifat terbuka dan
hanya ada di Indonesia (conlohnya
FPI). Keempat, kelompok Islam
jihadis yang memiliki empat ciri
yaitu: (1) menggunakan kekerasan
dalam agenda perjuangannya akibat
ketidakadilan penguasa terhadap
umat Islam; (2) mengguna-kan
pengeboman sebagai strategi
penyerangan, bahkan dalam beniuk
bom bunuh diri; (3) organisasi
bersifat tertutup (bawah tanah); (4)
melakukan penyerangan terhadap
aparatur negara (contohnya Jamaah
lslamiyah). Penelitian ini lebih
memfokuskan pada gerakan Islam
radikal yang ada dan berkembang di
Indonesia khususnya di Jawa
Tengah.
Warna keberagamaan Islam
yang “khas” masyarakat di Indonesia
tengah mengalami gugatan dengan
kehadiran fenomena radikalisme
beberapa tahun terakhir ini.
Pemahaman keagamaan
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
45
mainstream yang dianut mayoritas
umat Indonesia dinilai bukan
merupakan pemahaman yang benar,
karena berbeda dengan Islam yang
ideal, Islam yang dicontohkan oleh
salaf als-shalih. Radikalisme adalah
gerakan yang memegang
konservatif dan sering menggunakan
kekerasan untuk mengajar
keyakinan mereka (Harun, 1995:
124). Sementara Islam adalah
agama damai yang mengajarkan
sikap berdamai dan mencari
perdamaian (Madjid, 1992: 260).
Islam tidak membenarkan
penggunaan kekerasan dalam
menyebarkan praktek agama,
afinitas agama dan keyakinan politik.
Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa
dalam perjalanan sejarahnya ada
kelompok Islam tertentu yang
menggunakan kekerasan untuk
mencapai tujuan politik atau
mempertahankan memahami kaku
agama bahwa bahasa peradaban
global yang sering disebut
radikalisme Islam (Bakri, 2004: 2).
Istilah Radikalisme untuk
menggambarkan kelompok militan
dianggap lebih tepat sebagai
fundamentalisme itu sendiri. Dalam
perspektif Barat Fundamentalisme
berarti paham orang-orang kaku
ekstrim serta tidak segan-segan
berperilaku dengan kekerasan
dalam mempertahankan ideologinya.
Sementara dalam perspektif Islam,
fundamentalisme berarti tadjid
berdasarkan pesan moral Al-Qur’an
dan as-Sunnah (Imarah, 1999: 22).
Dalam tradisi pemikiran teologis
fundamentalisme agama adalah
gerakan untuk mengembalikan
seluruh perilaku tatanan kehidupan
umat Islam untuk Al-Quran dan Al-
Hadits (Watt, 1998: 2). Sebutan
fundamentalis memang terkadang
bermaksud untuk menunjuk kepada
kelompok pengembali (revivalis)
Islam (Gibb, 1990: 52). Tapi kadang-
kadang istilah fundamentalis ini juga
dimaksudkan untuk merujuk kepada
radikalisme Islam. Sehingga peneliti
lebih cenderung menggunakan
radikalisme jangka fundamentalisme
karena pemahaman
fundamentalisme dapat memiliki arti
lain kadang-kadang mengkaburkan
dimaksudkan makna menjadi
radikalisme terlihat lebih jelas makna
yang ditunjuk adalah gerakan yang
menggunakan kekerasan untuk
mencapai target politik yang
didukung oleh sentimen atau emosi
keagamaan (Bakri, 2004: 3).
Nama untuk label untuk
radikalisme kelompok militan Islam
juga beragam seperti ekstrem
kanan, fundamentalis, militan dan
sebagainya. M.A. Shaban (1994: 56)
mengacu ekstremisme kekerasan
(radikalisme) sebagai neo-Khawarij.
Sementara itu, Harun Nasution
(1995: 125) sebut sebagai Khawarij
abad kedua puluh (abad 21-pen)
karena itu adalah jalan untuk
mencapai tujuannya adalah untuk
menggunakan kekerasan seperti
yang dilakukan di Khawarij posting
tahkim. Islam sebagai agama damai
sebenarnya tidak membenarkan
praktik kekerasan. cara radikal untuk
mencapai tujuan politik atau
mempertahankan apa yang
dianggap suci tidak cara Islam.
Dalam tradisi peradaban Islam itu
sendiri juga tidak diketahui label
radikalisme (Bakri, 2004: 4).
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
46
Radikalisme Islam berasal
dari pers barat untuk menunjuk
gerakan Islam garis keras (ekstrim,
fundamentalis, militan). Radikalisme
jangka adalah kode yang kadang-
kadang tidak dikenali dan kadang-
kadang secara eksplisit untuk Islam.
Masalah di Barat, dan Amerika
bukan Islam itu sendiri tetapi praktik
kekerasan yang dilakukan oleh
sekelompok komunitas Muslim
dalam proses pembentukan identitas
(jati diri) kelompok (Madjid, 1995:
270). Istilah fundamentalisme dan
radikalisme dalam perspektif Barat
sering dikaitkan dengan sikap
ekstrim, kolot, stagnasi, konservatid,
anti-Barat, dan sulit untuk
berpendapat dan bahkan kekerasan
fisik. Penggunaan radikalisme istilah
atau fundamentalisme untuk Muslim
tidak benar-benar tepat untuk
radikalisme itu tidak terjadi di setiap
negara Muslim dan tidak bisa
disalahkan pada Islam. Radikalisme
adalah gerakan yang dilakukan oleh
individu atau kelompok yang
dirugikan oleh fenomena sosial-
politik dan sosio-historis (Bakri,
2004: 4).
Gejala berlatih kekerasan
oleh sekelompok Muslim yang,
secara historis-sosiologis, lebih
tepatnya sebagai gejala dari
fenomena sosial-politik daripada
agama meskipun dengan menaikkan
bendera agama. Fenomena
radikalisme yang dilakukan oleh
beberapa Muslim, oleh pers Barat
berlebihan, sehingga menjadi
wacana internasional dan
menciptakan opini publik bahwa
Islam itu mengerikan dan penuh
dengan kekerasan. Akibatnya tidak
jarang image negatif banyak
ditujukan kepada Islam sehingga
umat Islam telah terpinggirkan
sebagai orang yang perlu dicurigai.
Hal seperti itu terjadi karena
masyarakat Barat mampu
menguasai pers yang digunakan
sebagai alat yang kuat untuk
memproyeksikan budaya dominan
peradaban global. Label Islam
menyebutkan gerakan fundamentalis
sangat menarik untuk pers Barat dari
label Tamil di Sri Lanka, militan
Hindu di India, IRA (kelompok
bersenjata Irlandia Utara), militan
sayap kanan psikoterapi sekte
Yahudi, komunis-Marxis yang tidak
jarang menggunakan kekerasan
sebagai solusi pemecahan masalah
(Bakri,2004: 5)
Realitas historis-sosiologis ini
adalah bukti bagaimana Barat
menggunakan standar ganda dan
tidak adil untuk Islam. Masyarakat
Barat memiliki klaim atas peradaban
Islam sedangkan peradaban Islam
dibentuk identitas. Dengan demikian
tidak berarti membenarkan perilaku
radikalisme Muslim dilakukan untuk
alasan apa pun praktek kekerasan
adalah pelanggaran norma agama
serta pelecehan kemanusiaan.
Islam moderat lebih dikenal
sebagai bentuk lawan dari Islam
radikal atau dikenal dengan Islam
garis tengah. Alasan utama
dilahirkannya istilah Islam moderat
oleh para pendirinya adalah karena
adanya Islam garis keras tersebut.
Maka Islam moderat ingin menjadi
solusi atas hal-hal yang dipandang
oleh sebagian orang sebagai bentuk
dari garis keras tersebut. Istilah
moderat (moderate) berasal dari
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
47
bahasa Latin moderare yang artinya
mengurangi atau mengontrol.
Kamus The American Heritage
Dictionary of the English Language
mendefinisikan moderate sebagai:
not excessive or extreme (tidak
berlebihan dalam hal tertentu).
Kesimpulan awal dari makna
etimologi ini bahwa moderat
mengandung makna obyektif dan
tidak ekstrim, sehingga definisi
akurat Islam Moderat adalah Nilai-
nilai islam yang dibangun atas dasar
pola pikir yang lurus dan
pertengahan (I’tidal dan wasath).
Sebagai satu sistem ajaran
dan nilai, sepanjang sejarahnya,
Islam tidak menafikan kemungkinan
mengambil istilah-istilah asing untuk
diadopsi menjadi istilah baru dalam
khazanah Islam. Tetapi, istilah baru
itu harus benar-benar diberi makna
baru, yang sesuai dengan Islam.
Istilah itu tidak dibiarkan liar, seperti
maknanya yang asli dalam agama
atau peradaban lain. Kita sudah
banyak mengambil istilah baru
dalam Islam, seperti istilah “agama”,
“pahala”, “dosa”, “sorga”, “neraka”,
yang berasal dari tradisi Hindu,
tetapi kita berikan makna baru yang
sesuai dengan konsep Islam. Dari
peradaban Barat saat ini, kita
mengambil banyak istilah, seperti
istilah worldview”, “ideologi”, dan
sebagainya. Semua istilah bisa
diadopsi, asalkan sudah mengalami
proses adapsi (penyesuaian makna)
dengan makna di dalam Islam,
sehingga tidak menimbulkan
kekacauan makna.
Menurut Dr Muhammad
Imarah (2004: 145), Istilah
wasathiyah termasuk yang sering
disalah-artikan. Dalam bukunya,
Ma’rakah al Mushthalahat bayna al-
Gharb wa al-Islam (Perang
Terminologi Islam versus Barat),
Beliau menjelaskan dengan cukup
panjang lebar makna konsep al-
wasathiyah di dalam Islam. Istilah al-
wasathiyah dalam pengertian Islam
mencerminkan karakter dan jati diri
yang khusus dimiliki oleh manhaj
Islam dalam pemikiran dan
kehidupan, dalam pandangan,
pelaksanaan, dan penerapannya.
Islam moderat atau moderasi
Islam adalah satu di antara banyak
terminologi yang muncul dalam
dunia pemikiran Islam terutama
dalam dua dasawarsa belakangan
ini, bahkan dapat dikatakan bahwa
moderasi Islam merupakan isu abad
ini. Term ini muncul ditengarai
sebagai antitesis dari munculnya
pemahaman radikal dalam
memahami dan mengeksekusi
ajaran atau pesan-pesan agama.
Dengan demikian,
memperbincangkan wacana
moderasi Islam tidak pernah luput
dari pembicaraan mengenai
Radikalisme dalam Islam. Kalau kita
merujuk kepada Alquran sebagai
acuan ekspresi keberagamaan baik
pada level pemahaman maupun
penerapan, maka secara eksplisit ia
menegaskan eksistensi umat
moderat (Ummatan
Wasathan)sebagai induk bagi
pemahaman Islam atau seorang
muslim moderat. Dengan demikian,
semestinya eksistensi Islam moderat
sebagai sebuah term tidak menjadi
bahan perdebatan bagi kalangan
muslim, namun nampaknya term ini
tidak sedikit dari kelompok Islam
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
48
menolaknya, karena alasan-alasan
tertentu, termasuk alasan bahwa
term itu adalah produk negatif yang
tendensius Barat dan karenanya
harus ditolak. Islam moderat bagi
kelompok ini harus ditolak karena
pihak Barat memiliki pemaknaaan
khusus tentangnya dan Barat
kemudian memiliki ciri-ciri khusus
bagi seseorang untuk layak dijuluki
sebagai seorang muslim moderat.
Moderasi Islam adalah
sebuah pandangan atau sikap yang
selalu berusaha mengambil posisi
tengah dari dua sikap yang
berseberangan dan berlebihan
sehingga salah satu dari kedua
sikap yang dimaksud tidak
mendominasi dalam pikiran dan
sikap seseorang. Dengan kata lain
seorang muslim moderat adalah
muslim yang memberi setiap nilai
atau aspek yang berseberangan
bagian tertentu tidak lebih dari hak
yang semestinya. Karena manusia—
siapa pun ia—tidak mampu
melepaskan dirinya dari pengaruh
dan bias baik pengaruh tradisi,
pikiran, keluarga, zaman dan
tempatnya, maka ia tidak mungkin
merepresentasikan atau
mempersembahkan moderasi penuh
dalam dunia nyata. Yang mampu
melakukan hal itu adalah hanya
Allah (al-Qaradhawi, 2007: 56).
ISLAM DAN MISI RAHMATAN LIL
‘ALAMIN
Islam hadir di tanah Arab
dengan misi memperbaiki tata
kehidupan manusia menuju arah
yang lebih baik, menegakkan hukum
secara adil, memberangus segala
bentuk penindasan dan menjamin
kehidupan yang sejajar bagi seluruh
umat manusia, apapun warna kulit
dan latar belakang statusnya.
Dalam kata lain, Islam adalah
moralitas terbaik bagi umat manusia
menuju kehidupan yang aman,
damai dan sejahtera.
Moralitas Islam begitu
nampak dalam berbagai ajaran, nilai,
dan hukum yang tersurat dalam al-
Qur;an dan hadits. Pada keduanya
kita bisa menemukan berbagai
kemuliaan Islam, keagungan hukum
Allah sebagai satu-satunya aturan
yang harus kita taati dan patuhi.
Islam adalah berkah bagi seluruh
manusia tanpa terkecuali. Kita
mengetahui bahwa peran utama
Nabi Muhammad Saw adalah
pembawa perdamaian. Dengan
demikian maka logikanya adalah
bahwa pengikut Nabi Muhammad
pun harus menjadi pelopor
perdamaian. Hal itu perlu
diungkapkan mengingat keberadaan
sejumlah masyarakat kita, bangsa
Indonesia ini bahkan di luar
Indonesia yang mengaku dirinya
sebagai pengikut Nabi Muhammad
Saw, namun nyatanya telah terseret
baik sadar maupun tidak ke dalam
kancah yang merusak prinsip dan
suasana damai. Diantara kegiatan
tersebut adalah kekacuan,
kerusuhan, anarkisme, pemboman
di tempat umum dan rumah ibadah,
unjuk rasa yang merusak dan
bahkan menghilangkan nyawa,
pungli, korupsi, kolusi, sogok,
kronisme, dan nepotisme. Semua
perilaku negatif ini telah menjadi
akar penderitaan dan sangat
merugikan bangsa kita. Lebih dari
itu, ia telah merusak kehidupan
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
49
damai yang kita semua cita-citakan
dan perjuangkan. (Kemenag, 2014:
33).
Islam Agama Damai
Pesan Allah Swt, sebagai
ajaran pokok yang diemban oleh
Nabi Muhammad Saw untuk
disampaikan kepada umat manusia
adalah perdamaian (salām). Ini
dibuktikan oleh kenyataan bahwa
ajaran yang dibawakan beliau
bukanlah dinamakan dengan
Muhammadisme, Arabisme,
Quraisyme atau isme-isme lainnya
yang biasa disebarkan oleh
pembesar-pembesar kaliber dunia.
Ajaran yang beliau bawakan kepada
umat manusia yang juga sampai
kepada kita ini adalah islam, yang
berarti selamat, sejahtera, tentram
dan damai. Ini bermakna bahwa
ajaran yang dibawakan beliau intinya
damai. Dengan demikian siapapun
yang mengatakan bahwa dirinya
sedangkan mengembangkan ajaran
Nabi Muhammad Saw yaitu Islam
harus mengutamakan prinsip damai
bukan sebaliknya. Prinsip damai ini
harus tertuang dalam setiap
langkah, mulai dari perencanaan
sampai kepada pelaksanaan, dari
sikap individu sampai kepada
kebijakan negara, baik antara
sesama atau antar bangsa yang lain.
Secara kelembagaan Nabi
telah merumuskan beberapa fakta
sejarah tentang membuat
perdamaian dalam kebijakannya.
Diantara yang terkenal adalah
Perjanjian Hudaibiyah (bahkan dua
termin), sampai kepada Piagam
Madinah yang mencakup seluruh
elemen masyarakat, dan kemudian
menjalankannya dengan setia.
Sejumlah ayat dan hadits telah
mengungkapkannya dengan jelas
dan gamblang. Oleh karena itu,
kalau ada kegiatan yang nyata-nyata
merusak kedamaian, siapapun yang
melakukannya atau apapun
alasannya sudah pasti itu bukan
bersumber dari ajaran islam. Sangat
mungkin itu adalah ekspresi emosi
seseorang atau kelompok yang
mengatasnamakan Islam, karena ia
bertentangan dengan misi Nabi
Muhammad Saw yang sebenarnya
membawa perdamaian dan
kesejahteraan.
Oleh karean itu, sejumlah
prinsip dan kegiatan lain yang beliau
lakukan ditujukan untuk mendukung
damai, mendukung Islam antara lain
pemaaf, kerja keras, toleransi, jujur,
tidak ada diskriminasi, setia kawan,
tidak putus asa, berorientasi ke
depan (futuristik), penuh
perhitungan, tegas, tata aturan dan
sistem, patuh hukum, sayang
kepada yang lebih muda, hormat
kepada yang lebih tua, dan
sebagainya. Semua itu, adalah
prinsip dan kebijakan yang
dimaksudkan untuk menunjang
tercipta dan terpeliharanya
kedamaian untuk seluruh umat
manusia sebagai inti misi kerasulan
yang beliau emban.
Islam Mengajarkan Toleransi
Toleransi atau tasāmuh
adalah di antara perilaku dan misi
Nabi Muhammad Saw kepada umat
manusia. Toleransi ini telah
dipraktikkan dan kemudian
dipromosikan dimana dan kapan
saja. Sikap toleransi berarti juga
tanpa memaksakan kehendak
pribadi atas orang lain. Toleransi ini
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
50
dianjurkan dalam segala bidang
kehidupan, terutama sekali dalam
bidang kehidupan keagamaan.
Toleransi bukanlah tukar menukar
atau jual beli antara satu dengan
yang lainnya. Tetapi ia sebagai sikap
menghormati dan memberi peluang
kepada orang lain untuk
berpendapat, bersikap, dan bahkan
berbuat yang mungkin tidak sesuai
dengan apa yang kita pahami atau
anut, sejauh tidak menyalahi hukum
yang berlaku. Allah berfirman;
“Untukmu agamamu, dan untukku
agamaku” (Q.S. al-Kafirun: 6).
Ayat tersebut memberi
pelajaran kepada kita bahwa betapa
toleransi Nabi kepada orang di luar
kelompoknya telah menjadi modal
bagi perdamaian dunia. Bahwa
toleransi adalah modal dalam
melaksanakan dan memelihara
suasana damai dalam skala yang
lebih luas. Alangkah bahagianya kita
sebagai sebuah bangsa besar
Indonesia yang terdiri dari berbagai
suku, bahasa, budaya, adat-isitiadat
dan agama kalau dapat
mengamalkan perilaku toleransi
sebagaimana yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad Saw. Kita
mengetahui ketik Nabi dan
pengikutnya kembali ke Mekkah
ketika segala kewenangan berada di
tangannya, beliau tidak melakukan
paksaan atas tradisi dan agama
masyarakat, bahkan sikap toleransi
lah yang ditunjukkan ketika itu.
Masing-masing jamaah hidup
berdampingan dan dalam naungan
saling menghormati dan menghargai
satu sama lainnya.
MODEL MODERASI ISLAM ALA
INDONESIA: PARADIGMA DAN
AKSI Keragaman bahasa, budaya,
dan agama yang menjadi identitas
bangsa Indonesia, memiliki nilai
strategis dalam kancah
internasional. Sebagai bangsa yang
multikutlur, multietnis dan multireligi
ini adalah sebuah pertaruhan. Jika
keragaman tersebut menjadi aspek
penguat relasi sosial antar elemen
bangsa, maka dunia akan melihat
Indonesia sebagai rujukan utama
sebagai ideal type (contoh ideal)
dalam pengelolan keragaman.
Dalam skala internasional,
posisi Indonesia sangat strategi
dalam membangun perdamaian. Hal
ini misalnya bisa kita lihat dari peran
Indonesia dalam menengahi
berbagai konflik di beberapa negara
di Timur Tengah. Sejak dahulu
Indonesia telah mengirimkan
beberapa kontingen Garuda untuk
menjadi penjaga perdamaian.
Seperti di Bosnia, Sudan, dan
Lebanon. Banyaknya harapan dunia
akan peran serta Indonesia dalam
menengahi berbagai konflik, tidak
lain disebabkan keberhasilan
Indonesia dalam mengelola
keragaman tersebut, baik dari aspek
budaya, bahasa, dan bahkan
agama. Indonesia dipandang
berhasil membangun moderasi islam
(wasathiyah al-islam).
Fakta moderasi Islam itu
dibentuk oleh pergulatan sejarah
Islam Indonesia yang cukup
panjang. Muhammadiyah dan NU
adalah dua organisasi Islam yang
sudah malang-melintang dalam
memperjuangkan bentuk-bentuk
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
51
moderasi Islam, baik lewat institusi
pendidikan yang mereka kelola
maupun kiprah sosial-politik-
keagamaan yang dimainkan. Oleh
karena itu, kedua organisasi ini patut
disebut sebagai dua institusi civil
society yang amat penting bagi
proses moderasi negeri ini.
Muhammadiyah dan NU merupakan
dua organisasi sosial-keagamaan
yang berperan aktif dalam merawat
dan menguatkan jaringan dan
institusi-insitusi penyangga moderasi
Islam, bahkan menjadikan Indonesia
sebagai proyek percontohan
toleransi bagi dunia luar (Kahar t.t.).
Dikatakan pula, sebagai organisasi
Islam terbesar di Indonesia, NU
selama ini memainkan peran yang
signifikan dalam mengusung ide-ide
keislaman yang toleran dan damai
(Hamid 2007, 28).
Muhammadiyah, misalnya,
adalah suatu pergerakan sosial-
keagamaan modern yang bertujuan
untuk mengadaptasikan ajaran-
ajaran Islam yang murni ke dalam
kehidupan dunia modern Indonesia.
Dalam usaha mencapai tujuan
tersebut, gerakan ini secara luas
telah mendapatkan inspirasi dari ide-
ide pembaruan Syaikh Muhammad
Abduh, yang mengobarkan
semangat pembaruan pembersihan
Islam dari daki-daki sejarah yang
selama ini dianggap bagian tak
terpisahkan dari Islam (A. Shihab
1997, 303-304).
Dalam sejarah kolonialisme
di Indonesia, Muhammadiyah dapat
disebut moderat, karena lebih
menggunakan pendekatan
pendidikan dan transformasi budaya.
Karakter gerakan Muhammadiyah
terlihat sangat moderat, terlebih jika
dibandingkan dengan gerakan Islam
yang menggunakan kekerasan
dalam perjuangan mengusir
penjajah, sebagaimana ditunjukkan
oleh gerakan-gerakan kelompok
tarekat yang melakukan
pemberontakan dengan kekerasan.
Dalam perjalanan sejarah
selanjutnya, NU dan Muhammadiyah
adalah organisasi Islam yang paling
produktif membangun dialog di
kalangan internal masyarakat Islam,
dengan tujuan membendung
gelombang radikalisme. Dengan
demikian, agenda Islam moderat
tidak bisa dilepas dari upaya
membangun kesalingpahaman
(mutual understanding)
antarperadaban (Basya 2013).
Sikap moderasi
Muhammadiyah sebenarnya sejak
awal telah dibangun oleh pendiri
organisasi ini, yaitu K.H. Ahmad
Dahlan. Dikatakan, salah satu
pelajaran yang paling penting dari
kepemimpinan Ahmad Dahlan
adalah komitmen kuatnya kepada
sikap moderat dan toleransi
beragama. Selama
kepemimpinannya dapat terlihat
adanya kerja sama kreatif dan
harmonis dengan hampir semua
kelompok masyarakat. Bahkan,
dengan rekan Kristennya, beliau
mampu mengilhami rasa hormat dan
kekaguman. Contoh yang paling
menarik dari kemampuan K.H.
Ahmad Dahlan adalah mengikat
persahabatan erat dengan banyak
pemuka agama Kristen. Kenyataan
bahwa beliau dikenal sebagai orang
yang toleran terhadap kaum
misionaris Kristen akan tetapi tidak
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
52
berarti lantas beliau
mengkompromikan prinsip-
prinsipnya. Dia adalah seorang
praktisi dialog antaragama yang
sejati, dalam pengertian dia
mendengar apa yang dikatakan dan
memerhatikan apa yang tersirat di
balik kata yang diucapkan (A.
Shihab 1997, 311-312). Dalam
perkembangan lebih lanjut, Syafi’i
mencatat, bahwa:
“Gerakan modernis itu,
terutama Muhammadiyah
semakin mempertimbangkan
dimensi kultural dalam gerak
dakwahnya sehingga terasa
menjadi lebih lentur tanpa
kehilangan prinsip dan misi
utamanya. Persis dan Al-
Irsyad tetap bertahan, tetapi
tidak pernah mengikuti
mitranya Muhammadiyah
yang terus berekspansi”
(Ma’arif 2009, 62).
Sementara itu, sikap
moderasi NU pada dasarnya tidak
terlepas dari akidah Ahlusunnah
waljama’ah (Aswaja) yang dapat
digolongkan paham moderat. Dalam
Anggaran Dasar NU dikatakan,
bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah
Islamiyah berakidah Islam menurut
paham Ahlussunah waljamaah
dengan mengakui mazhab empat,
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali. Penjabaran secara
terperinci, bahwa dalam bidang
akidah, NU mengikuti paham
Ahlussunah waljamaah yang
dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-
Asy’ari, dan Imam Abu Mansyur al-
Maturidi. Dalam bidang fikih, NU
mengikuti jalan pendekatan (al-
mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah
al-Nu’man, Imam Malik ibn Anas,
Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i,
dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam
bidang tasawuf mengikuti antara lain
Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam
Ghazali, serta imam-imam yang lain
(Qomar 2002, 62).
Perkataan Ahlusunnah
waljama’ah dapat diartikan sebagai
“para pengikut tradisi Nabi
Muhammad dan ijmak
(kesepakatan) ulama”. Sementara
itu, watak moderat (tawassuth)
merupakan ciri Ahlussunah
waljamaah yang paling menonjol, di
samping juga i’tidal (bersikap adil),
tawazun (bersikap seimbang), dan
tasamuh (bersikap toleran),
sehingga ia menolak segala bentuk
tindakan dan pemikiran yag ekstrem
(tatharruf) yang dapat melahirkan
penyimpangan dan penyelewengan
dari ajaran Islam. Dalam pemikiran
keagamaan, juga dikembangkan
keseimbangan (jalan tengah) antara
penggunaan wahyu (naqliyah) dan
rasio (‘aqliyah) sehingga
dimungkinkan dapat terjadi
akomodatif terhadap perubahan-
perubahan di masyarakat sepanjang
tidak melawan doktrin-doktrin yang
dogmatis. Masih sebagai
konsekuensinya terhadap sikap
moderat, Ahlussunah waljamaah
juga memiliki sikap-sikap yang lebih
toleran terhadap tradisi dibanding
dengan paham kelompok-kelompok
Islam lainnya. Bagi Ahlussunah,
mempertahankan tradisi memiliki
makna penting dalam kehidupan
keagamaan. Suatu tradisi tidak
langsung dihapus seluruhnya, juga
tidak diterima seluruhnya, tetapi
berusaha secara bertahap di-
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
53
Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai
Islam) (Dhofier 1994, 148).
Pemikiran Aswaja sangat
toleransi terhadap pluralisme
pemikiran. Berbagai pikiran yang
tumbuh dalam masyarakat muslim
mendapatkan pengakuan yang
apresiatif. Dalam hal ini Aswaja
sangat responsif terhadap hasil
pemikiran berbagai mazhab, bukan
saja yang masih eksis di tengah-
tengah masyarakat (Mazhab Hanafi,
Malik, Syafi’i, dan Hambali),
melainkan juga terhadap mazhab-
mazhab yang lain seperti imam
Daud al-Zhahiri, Imam Abdurrahman
al-Auza’i, Imam Sufyan al- Tsauri,
dan lain-lain (Muhammad 1999).
Model keberagamaan NU,
sebagaimana disebutkan, mungkin
tepat apabila dikatakan sebagai
pewaris para wali di Indonesia.
Diketahui, usaha para wali untuk
menggunakan berbagai unsur non-
Islam merupakan suatu pendekatan
yang bijak. Bukankah Alquran
menganjurkan sebuah metode yang
bijaksana, yaitu serulah manusia
pada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan nasihat yag baik (16:125)
(Mas’ud 2004, 9). Dalam
mendinamiskan perkembangan
masyarakat, kalangan NU selalu
menghargai budaya dan tradisi lokal.
Metode mereka sesuai dengan
ajaran Islam yang lebih toleran pada
budaya lokal. Hal yang sama
merupakan cara-cara persuasif yang
dikembangkan Walisongo dalam
mengislamkan pulau Jawa dan
menggantikan kekuatan Hindu-
Budha pada abad XVI dan XVII. Apa
yang terjadi bukanlah sebuah
intervensi, tetapi lebih merupakan
sebuah akulturasi hidup
berdampingan secara damai. Ini
merupakan sebuah ekspresi dari
“Islam kultural” atau “Islam moderat”
yang di dalamnya ulama berperan
sebagai agen perubahan sosial yang
dipahami secara luas telah
memelihara dan menghargai tradisi
lokal dengan cara mensubordinasi
budaya tersebut ke dalam nilai-nilai
Islam (Mas’ud 2004, 10).
Moderasi Islam adalah jalan
tengah di tengah keberagaman
beragama. Wajah moderasi Islam
nampak dalam hubungan harmoni
antara islam dan kearifan lokal (local
value). Local Value ini sebagai
warisan budaya Nusantara, mampu
disandingkan secara sejajar
sehingga antara spirit islam dan
kearifan budaya berjalan seiring,
tidak saling menegasikan. Di sinilah
wajah Islam Indonesia dipandang
sangat tepat diterapkan dalam
konteks heterogenitas budaya di
kawasan ASEAN maupun dunia
(Kemenag, 2014: 65)
Moderasi Islam juga
berperan besar dalam mendialogkan
Islam dan modernitas. Terhadap
modernitas, Islam tidak dalam posisi
menolak atau menerima secara
menyeluruh, melainkan tetap
mengedepankan sikap kritis
sehingga modernitas tumbuh
menjadi nilai positif ketimbang
negatiI. Di saat negara-negara
muslim begitu kaku dan konservatif
terhadap perubahan dan produk-
produk modernitas, Indonesia justru
menjadikannya media dakwah
dengan memasukan spirit Islam di
dalamnya (Zarkasyi, 2017).
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
54
Kini, di saat dunia terus
berada dalam bayang-bayang
benturan sosial, seperti yang terjadi
di Afghanistan, lrak, Suriah, hingga
Irlandia, Indonesia tampil dengan
kebersamaan dalam keragaman.
Sungguh sangat indah menyaksikan
berbagai agama, budaya, dan suku
hidup berdampingan, saling
menghormati. Masing-masing
daerah tidak lagi mengusung aura
kedaerahan atau kesukuan,
melainkan hidup rukun di bawah
payung Pancasila dalam bingkai
NKRl. KH. Hasyim Muzadi memiliki
pandangan tersendiri tentang
moderasi muslim Indonesia.
Menurutnya, umat Islam Indonesia
patut bangga karena memiliki cara
berfikir keagamaan yang mengikuti
ahlussunah yang diaplikasikan
dalam kehidupan keindonesiaan
yang menggabungkan antara
ibadah, fikih, dan tasawuf secara
bersamaan. Bangsa ini memiliki
karakter keberagamaan yang taat,
tanpa menghapus nilai kebangsaan.
Umat Islam mampu hidup
berdampingan dengan berbagai
kelompok umat dan budaya lain,
tanpa menanggalkan identitas
keislamannya sesuai dengan
ketentuan wahyu,
Umat Islam Indonesia
memiliki seting pemikiran paradigma
berfikir yang menempatkan nilai
agama dan Negara hidup
berdampingan, tidak saling
menegasikan, serta tidak merusak
kemajemukan. Bangsa Indonesia
tidak tertarik untuk mendirikan
negara sekuler, begitu pula dengan
negara agama (daulah islamiyah).
Sekulerisme telah gagal
membangun bangsa-bangsa di
dunia, sebagaimana Negara agama
juga tidak mampu membangun
dalam kemajermukan. Tetapi
Indonesia yang sangat majemuk
dengan beragam budaya dan agama
mampu hidup damai dan
berdampingan. Ini adalah sebuah
prestasi bahwa bangsa Indonesia
berhasil membangun negara di atas
prinsip agama dan budaya bangsa,
tidak menegasikan satu atas yang
lainnya. KH. Hasyim
menggarisbawahi bahwa kondisi ini
terbentuk bukan tanpa usaha. Para
pendahulu telah membangun
fondasi yang kokoh tentang
keberagaman dan kebangsaan
sebagai tonggak moderasi Islam,
kita tinggal merumuskan saja dalam
moderasi Islam.
Moderasi pemikiran yang
dibangun para ulama dapat
dimengerti oleh berbagai aliran, baik
yang ekstrem maupun liberal.
Moderasi pemikiran Islam
menemukan tempatnya di Indonesia.
Bahkan sekte-sekte sangat
menghargai moderasi kita, sekalipun
belum tentu mengikuti. Di dunia
Islam pun garis moderasi ini bisa
mengatasi modernisasi dan
globalisasi, Ketika arus globalisasi
dan informasi deras memasuki
kehidupan masyarakat, moderasi
Islam mampu menyikapinya dengan
baik (Abdul A’la, 2008)
Di sinilah, agama harus
dilepaskan dari politik kekuasaan,
dan dijadikan alat justifikasi. Agama
perlu dikembalikan kepada
eksistensinya sebagai sumber
moralitas luhur yang selalu
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
55
membimbing umatnya dan umat
manusia secara keseluruhan dalam
seluruh aspek kehidupan mereka.
Melalui, pendekatan moral, langit
harapan akan tampak lebih cerah,
Kekerasan tidak dihadapkan dengan
kekerasan yang lain. justru, masing-
masing pihak diharapkan akan
kembali kepada eksistensinya
sebagai manusia yang mengemban
moralitas luhur dalam bentuk
pembumian kedamaian, keadilan,
kesetaraan dan sejenisnya, serta
pengendallan diri dan lain
seabagainya. Terlepas dari semua
itu, bangsa Indonesia tetap harus
berhati-hati, karena potensi konflik
akan terus bermunculan, Dengan
arus inforrnasi yang semakin deras
dengan beragam informasi, tentunya
ini harus kita waspadai. Namun di
sisi lain, arus informasi juga bisa
rnenjadi kekuatan yang akan
menjadi unsur penting dalam
menjaga keharmonisan kehidupan
umat beragama. Di sinilah peran
komunikasi publik menjadi sangat
vital dalam mewujudkan
keharmonisan dimaksud.
MENGAWAL DAN MEMBUMIKAN
VISI MODERASI ISLAM
INDONESIA
Indonesia merupakan negara
yang berpenduduk mayoritas
Muslim. Tetapi kondisi ini tidak
menjadikan Indonesia sebagai
negara agama. Konsensus yang
telah terbangun adalah republik.
Dengan demikian, negara dan
masyarakat harus mengayomi dan
melindungi keragaman agama.
Perbedaan harus disikapi dan
diterima sebagai sunnatullah.
Keragaman harus dijadikan sebagai
ladang ibadah untuk berlomba-
lomba dalam kebaikan. Sebagai
umat Islam, kita memiliki
tanggungjawab untuk turut serta
menciptakan kondisi tentram dan
damai. Dengan kondisi yang damai,
sangat dimudahkan untuk
mewujudkan kemaslahatan umat
manusia. Di sisi lain, Islam dengan
tegas menolak sikap terorisme,
radikalisme, anarkisme,
keberingasan, dan pengrusakan
yang mengatasnamakan agama.
Tidak lain, karena hal tersebut
sangat bertentangan dengan nilai-
nilai dan watak dasar Islam.
Kita sebagai kaum Muslim
Indonesia yang menjadi mayoritas
sangat mafhum bahwa Indonesia
bukanlah negara agama, melainkan
negara yang memiliki banyak agama
serta suku bangsa. Pancasila
sebagai pandangan hidup
berbangsa dan bernegara juga
mengambil intisari dari kitab suci al-
Qur’an. Tokoh-tokoh pendiri bangsa,
dengan berbagai latar belakang
agama yang dianut telah bahu
membahu berperan penting dalam
mendirikan sebuah negara bernama
Indonesia. Oleh karenanya,
Indonesia bukanlah dimiliki oleh satu
agama, tetapi dimiliki oleh semua
agama.Baik umat Islam maupun
penganut agama lain harus
berupaya memahami dan
mengamalkan ajarannya masing-
masing dalam bingkai merawat
kemajemukan dan kemajuan
Indonesia. Hal ini tidaklah
berlebihan, mengingat setiap agama
pasti mengajarkan nilai dan budi
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
56
luhur. Oleh karenanya, hidup damai
dan toleran sudah semestinya
menjadi komitmen bersama.
Al-Qur’an sebagai pedoman
dan pegangan hidup Muslim, banyak
menceritakan perihal sikap toleransi
dan moderasi. Jika kita percaya
pada isi serta kandungan al-Qur’an
sebagai kitab toleransi semestinya
kita memahami dan meresapi
pesan-pesan toleransi yang
terkandung di dalamnya. Selain itu,
kita sebagai Muslim harus secara
sadar dan aktif membumikan pesan-
pesan toleransi al-Qur’an pada
kehidupan nyata. Ajaran cinta kasih
merupakan ajaran yang mendasar
dalam agama-agama samawi
terdahulu. Apa yang disampaikan al-
Qur’an, pada hakikatnya hendak
menyempurnakan dan melanjutkan
ajaran yang mulia tersebut. Karena
itu, meletakkan toleransi sebagai
nilai utama dalam keberagamaan
umat Islam merupakan salah satu
upaya menghadirkan sesuatu yang
fundamental dalam Islam.
Dengan menguatnya
toleransi dan moderasi, masyarakat
dan generasi muda tidak akan
mudah untuk disusupi oleh
doktrinasi gerakan-gerakan
radikalisme, ektrimisme, dan
terorisme. Bahkan sebaliknya,
masyarakat akan menjadi tembok
kokoh untuk menangkal gejala
pendangkalan agama tersebut.
Agama yang menjadi petunjuk
manusia, tidak mungkin bisa
diterima jika di dalamnya
mengajarkan kekerasan dan
kebengisan. Tidak lain karena,
agama adalah cahaya dan petunjuk
bagi keadaban dan peradaban.
Oleh karena itu, Sebagai
kelompok terbesar umat Islam
Indonesia, Muhammadiyah dan NU
memiliki peran yang sangat
menentukan. Sikap organisasi yang
didirikan KH Ahmad Dahlan dan KH
Hasyim Asy’ari –keduanya
bersahabat—ini dinilai sangat
penting bagi kalangan Islam
Indonesia. Sebab, Muhammadiyah
dan NU menjadi acuan sebagian
besar umat Islam Indonesia,
sehingga sikap keduanya ini sangat
berpengaruh terhadap pikiran,
perasaan, tindakan, dan perilaku
sebagian besar umat Islam di
Indonesia ini. Maka, Muhammadiyah
dan NU memiliki kontribusi yang
sangat besar dalam memengaruhi
mereka, bahkan menjadi penentu
mereka dalam menjalani kehidupan
keagamaan sehari-hari.
Dalam menghadapi tindakan-
tindakan radikal yang meresahkan
masyarakat akibat ulah kalangan
Islam fundamentalis, sebenarnya
kita masih memiliki banyak harapan
untuk membendung
keberlangsungan radikalisme itu
sepanjang Muhammadiyah dan NU
solid dan sinergis menolaknya.
Selama keduanya tak mendukung
gagasan dan gerakan radikalisme,
provokasi untuk melakukan teror tak
efektif di Indonesia.
Kedua organisasi Islam
terbesar di Indonesia ini memiliki
cara-cara sendiri yang lebih
persuasif dalam menjalankan misi
perjuangannya dan sangat jauh dari
pola-pola kekerasan. Cara-cara
kekerasan dan radikal tidak akan
pernah mampu menyelesaikan
masalah di masyarakat, mengingat
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
57
akan menimbulkan kekerasan lain
sebagai pembalasan dendam atau
kebencian yang membara di
kalangan pihak-pihak yang
dirugikan.
Penjagaan moderasi yang
dilakukan Muhammadiyah dan NU
tentu tidak akan menghalangi
keduanya organisasi itu untuk
bergerak secara dinamis. Keduanya
tetap menjalankan agendanya
masing-masing dan
mengembangkannya secara aktif,
dinamis, dan saling melengkapi. Jika
peran itu tetap dilakukan kita optimis
Indonesia tak akan menghadapi
situasi buruk seperti di sejumlah
negara-negara di Timur Tengah
yang hari-harinya dipenuhi aksi-aksi
kekerasan.
PENUTUP
Setiap agama-agama tidak
terkecuali Islam tidak membenarkan
bentuk aksi teror, kekerasan, atau
apapun namanya yang mencederai
nilai-nilai kemanusiaan, menyobek
keharmonisan dan kerukunan antara
sesama penganut agama maupun
antar penganut agama. Bangsa ini
dibangun diatas keragaman, dan
kerukunan antar agama, budaya,
bahasa dan lain sebagainya.
Sehingga hal ini merupakan
tantangan tersendiri bagi
masyarakat Indonesia untuk
membangun kedamaian, kerukunan
dan kebersamaan. Realitas
masyarakat Indonesia sekarang
rawan akan terjadinya potensi konflik
horizontal yang disebabkan faktor
agama. Namun sejatinya konflik
agama biasanya tidak murni
disebabkan oleh faktor agama.
Tetapi, lebih non agama seperti
kesenjangn sosial, ekonomi, politik
dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, untuk menjaga potensi konflik di
butuhkan dialog dan rumusan
implementatif terkait teologi
wasatiyyah islam (moderasi islam).
Konsepsi dan implementasi
Wasatiyyah Islam merupakan
konsep utama yang terkait dengan
ajaran islam dan pengalamannya
untuk membentuk pribadi dan
karakter muslim, konsep ini melekat
dengn konsep ummatan wasathan.
Visi moderasi Islam merupakan
tawaran paradigma dan konsepsi
yang ideal. Sebab, moderasi Islam
tidak hanya terhenti dan se batas
wacana dan paradigma semata,
melainkan moderasi dapati
mengejawantah dalam bentuk
gerakan (movement). Nah, pilihan
tujuan dari gerakan wasatiyyah islam
dapat mengambil bentuk berupa
gerakan kesadaran dari kelompok
ekstrim kanan atau kiri Islam, atau
pilihan gerakan alternatif sebagai
counter opini baru dari dua kutub
ekstrimitas islam. Namun yang tidak
kalah penting lagi adalah perlu
diformulasikan secara serius
bagaimana fungsionalisasi
wasatiyyah islam dalam praktek
kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munip, Menangkal
Radikalisme Agama di
Sekolah, Yogyakarta: Jurnal
Pendidikan Islam, Volume I,
Nomor 2, Desember 2012.
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
58
Abdurrahman Mas’ud, (2006), Dari
Haramain ke Nusantara :
Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren”, Jakarta:
Kencana.
Abu Rokhmad, Radikalisme Islam
dan Upaya Deradikalisasi
Paham Radikal, Semarang:
Walisongo, Volume 20,
Nomor 1, Mei 2012.
Afdhal, Islam dan Radikalisme di
Indonesia, Jakarta: LIPI
Press, 2005
Ahmad Rubaidi, Radikalisme Islam,
Nahdhatul Ulama: Masa
Depan Modernisme Islam di
Indonesia, Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2010.
Ahmad Zainul Hamid. NU dalam
Persinggungan Ideologi:
Menimbang Ulng Moderasi
Keislaman Nahdatul Ulama”.
Afkar, Edisi No. 21 Tahun
2007.
Alwi Shihab, Membendung Arus:
Respons Gerakan
Muhammadiyah terhadap
Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia, Jakarta: Mizan,
1998.
Azyumardi Azra, Akar Radikalisme
Keagamaan Perna Aparat
Negara, Pemimpin Agama,
dan Guru untuk Kerukunan
Umat Beragama, Makalah
disampaikan dalam
workshop “Memperkuat
Toleransi Melalui Institusi
Sekolah”, yang
diselenggarakan oleh The
Habibie Center, Tanggal 14
Mei 2011, Bogor.
Bahtiar Effendy dan Prasetyo,
Hendro (eds.). Radikalisme
Islam , Jakarta: PPIMIAIN,
1998.
Dekmejian, R. Hrair. Islam in
Revolution: Fundamentalism
in the Arab World, New York:
Syracuse University Press,
1985.
Ezzuddin, Al-Irhāb wa al-‘Unf al-
Siyāsy, Cairo: Dār al-
Hurriyah li al-Shahāfah wa al-
Thibā’ah wa al-Nasyr, 1986.
Fatwa MUI, Terorisme, Jakarta:
Fatwa MUI, Nomor 3 Tahun
2004.
H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen
Dalam Islam, Terjemahan
Machnun Husein, Jakarta:
Rajawali Press, 1990.
Harun Nasution, Islam Rasional,
Bandung: Mizan, 1995.
Jajang Jahroni dan Jamhari.
Gerakan Salafi Radikal di
Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 2004.
Joyce M. Hawkins, Oxford Universal
Dictionary, Oxford: Oxford
University Press, 1981.
Kementerian Agama, Radikalisme
Agam dan Tantangan
Kebangsaan, Jakarta: Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam,
2014.
M. Hilaly Basya, “Menelusuri
Artikulasi Islam Moderat di
Indonesia”,
http://www.madinask.com/ind
ex.php?option=com, diakses
tanggal 25 Mei 2018.
M. Zaki Mubarok, Genealogi Islam
Radikal di Indonesia, Jakarta:
LP3ES, 2008.
M.A. Shaban, Islamic History,
Cambridge: Cambridge
University Press, 1994
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari Juni, 2018 (33 60)
59
Mambaul Ngadhimah, Potret
Keberagamaan Islam
Indonesia: Studi Pemetaan
Pemikiran dan Gerakan
Islam.lnnovatio, Vol. VII, No.
14, Juli-Desember 2008.
Muhammad Imarah,
Fundamentalisme Dalam
Perspektif Barat dan Islam,
Terjemahan Abdul Hayyie al-
Kattani, Jakarta: Gema
Insani Press, 1999.
,Ma’rakah al
Mushthalahat bayna al-
Gharb wa al-Islam, Cairo:
Nahdah Misr, 2004.
Muhammad Mihanna, Al-Irhāb wa
Azmat al-Qānūn al-Dauly al-
Mu’āshir, dalam Al-Islām fi
Muwājahat al-Irhābi, Cairo:
Rābithah al-Jāmi’at al-
Islāmiyah, 2003.
Mujamil Qomar, NU Liberal; Dari
Tradisionalisme Ahlusunnah
ke Universalisme Islam,
Bandung: Mizan, 2002.
Novriantoni Kahar, Islam Indonesia
Kini: Moderat Keluar,
Ekstrem di Dalam?”, diakses
pada 25 Mei 2018.
Nurcholis Madjid, Islam Agama
Peradaban, Mencari Makna
Dan Relevansi Doktrin Islam
Dalam Sejarah, Jakarta:
Paramadina, 1995.
,Pintu-Pintu
Menuju Tuhan, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Paul Johnson, Heroes: From
Alexander the Great and
Julius Caesar to Churchill
and de Gaulle, tt: Prentice
Hall, 2008.
Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa
Depdiknas, 2008.
R. Hrair Dekmejian. Islam in
Revolution: Fundamentalism
in the Arab World, New York:
Syracuse University Press,
1985.
Ridwan al-Makasari, Masjid: Studi
Kasus Jakarta dan Solo,
Jakarta: UIN Jakarta, 2009.
Sri Yunanto, Gerakan Militan islam
di indonesia dan Asia
Tenggara, Jakarta: Ridep
Institute, 2003.
Syamsul Bakri, Islam dan Wacana
Radikalisme Agama
Kontemporer”, Dinika, Vol 3.
No. 1 Januari 2004.
Syamsul Rizal, Radikalisme Islam
Klasik dan Komtemporer:
Membanding Khawarij dan
Hijbut Tahrir, Surabaya: Al-
FikrVolume 14 Nomor 2
Tahun 2010.
William Montgmery Watt, Islamic
Fundamentalism And
Nodernity, London: T.J.
Press, 1998.
Willian E. Shepard, Islam dan
Ideology: Towards a
Typology, in Ab Anthology of
Contemporary Middle
Eastern History, Ed. Syafiq
A. Mughni (Montreal:
Canadian International
Development Agency, 1988.
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-
wasaṭīyah al-Islāmīyah wa-al-
tajdīd : maʻālim wa-manārāt,
Cairo: Dār al-Syurūq, 2010.
Zamakhsyari Dhofier,Tradisi
Pesantren; Studi Tentang
Nurul Faiqah, Toni Pransiska; Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.
60
Pandangan Hidup Kiai,
Jakarta: LP3ES, 1994.
Zuhairi Misrawi, Pandangan Mislim
Moderat, Jakarta: Kompas,
2010.
Zuly Qodir, Radikalisme Agama di
Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014.
... Haedar Nashir, the current Chairman of Muhammadiyah, stated that the radical links of Islam are even identical with extremists, jihadists, and terrorists . Meanwhile, Faiqah and Pransiska (2018) assert that religions strictly prohibit acts of terror and radicalism that can threaten harmony, wholeness, and diversity of the society. Radicalism is not always ideologically motivated; more often nonreligious factors such as social, economic, political, and others are dominant. ...
Article
Full-text available
Moderation is the basic character of Islamic religious teachings that make them adaptable to the context of the times. However, the rise of acts of terrorism and violence in Indonesia is concrete evidence of how low the understanding and appreciation of Islamic moderation values is. For this reason, the presence of educational institutions which are capable to transform and internalize moderate values to young generations' personalities is required. In this case, Islamic boarding-schools (commonly known as pesantren in Indonesia) are considered to have more credits compared to ordinary Islamic schools (madrasa) or non-boarding schools alike. This study is library research analyzing the role of pesantren in instilling moderate characters to their students through education in the mission of realizing moderate religiosity in Indonesian community. The findings show that dissemination and internalization of Islamic teaching values during the education process which are coupled with good examples practiced by figures of eductors in pesantrens become the most effective way in spreading the moderate values and practices of Islamic teachings.
... Gaya hidup yang dianggap sebagai ciri "masyarakat maju" saat ini banyak digunakan oleh masyarakat. Pendidikan lanjutan diperlukan untuk meningkatkan kemajuan (Faiqah & Pransiska, 2018). Mutu yang maju juga mendukung sekolah yang maju. ...
Article
Full-text available
The aim of this research is to find out how to implement integrated quality management in developing religious culture at SMAS Ulumul Islam and the problems it faces. This research was conducted as a qualitative type of research and used a field research approach. The results of the research show that the implementation of integrated quality management in the development of religious culture at SMAS Ulumul Islam produces several results, such as: a) continuous improvement through regular meetings, support from foundations, and support from Islamic boarding schools, b) implementation of standards with full implementation of religious culture in schools and in everyday life, c) cultural change through the application of religious culture in every activity, religious culture schedule, and SMAS Ulumul Islam faces several challenges when implementing integrated quality management to develop religious culture. These include undisciplined students, lack of parental funds, inconsistent interest in learning, and changing boarding school rules.
Article
Full-text available
Indonesia is a country with a lot of diversity, both in terms of culture, natural resources and religion. In Indonesia, there are 6 official religions, namely Islam, Catholic Christianity, Protestant Christianity, Hinduism, Buddhism and Confucianism. Therefore, inter-religious conflicts are prone to occur in Indonesia. Religious moderation is the key to maintaining social harmony and preventing radicalization and intolerance. This study discusses how Islamic education, through the curriculum, teaching methods and values taught, can contribute to instilling an inclusive, tolerant attitude and respect for differences. Through literature review and concept analysis, this article emphasizes that Islamic education, both formal and non-formal, can be the main pillar in strengthening religious moderation in Indonesia.
Article
Full-text available
Tulisan ini membahas gagasan moderasi beragama dalam pemikiran pendidikan Islam Syamsul Kurniawan, yang meliputi empat indikator penting yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. Tujuan penelitian ini adalah memahami gagasan moderasi beragama dalam pemikiran Syamsul Kurniawan dengan menggunakan metode kajian pustaka (literature review). Analisis dalam tulisan ini bertujuan untuk menganalisis gagasan moderasi beragama Syamsul Kurniawan, yang mencakup empat indikator moderasi beragama, yaitu: satu, komitmen kebangsaan; dua, toleransi agama; tiga, anti-kekerasan; dan empat, sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Metode penelitian ini menggunakan sumber primer dari tulisan karya Syamsul Kurniawan dan sumber sekunder dari buku, artikel jurnal ilmiah, dan wawancara eksklusif dengan Syamsul Kurniawan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Syamsul Kurniawan sangat menekankan pentingnya moderasi beragama yang ditunjukkan melalui sikap komitmen kebangsaan, toleransi agama, penolakan kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi untuk mencapai masyarakat harmonis yang menghormati perbedaan dan membangun perdamaian. This paper discusses the concept of religious moderation in the educational thought of Syamsul Kurniawan, encompassing four essential indicators: national commitment, tolerance, anti-violence, and acceptance of tradition. The aim of this research is to understand the idea of religious moderation in Syamsul Kurniawan’s thought by employing a literature review methodology. The analysis in this paper aims to examine Syamsul Kurniawan's concept of religious moderation, which includes four indicators: first, national commitment; second, religious tolerance; third, anti-violence; and fourth, an accommodative attitude towards local culture. This research utilizes primary sources from works authored by Syamsul Kurniawan and secondary sources from books, scholarly journal articles, and exclusive interviews with him. The findings indicate that Syamsul Kurniawan strongly emphasizes the importance of religious moderation, reflected through a commitment to national identity, religious tolerance, rejection of violence, and acceptance of traditions, all of which contribute to creating a harmonious society that respects differences and fosters peace.
Article
Full-text available
The misinterpretation of the concept of jihad in Islam has led to significant negative effects on both the Muslim community and the image of Islam globally. The term jihad is often mistakenly viewed solely as a holy war associated with violence, which has become the root cause of various conflicts between Muslims and other communities. This misunderstanding fails to capture the broader essence of jihad, which encompasses moral, spiritual, and social dimensions. This study aims to reinterpret the meaning of jihad within the framework of national jurisprudence, contextualizing the concept to align with modern challenges. The research method employed is library research, utilizing primary and secondary sources, including religious texts and scholarly articles. The findings indicate that jihad should be understood as efforts directed toward achieving progress and social justice, focusing on combating corruption, social injustice, and defending national sovereignty. Furthermore, jihad in the educational sphere aims to enhance the quality of education, fostering an informed society that contributes to national development. The contribution of this research is to provide a nuanced understanding of jihad that promotes peace and national unity, while countering radical interpretations.
Article
Full-text available
Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu, dan mentransfer serta memberikan hasil bahan ajar bagi kaum umum tentang Pendidikan Moderisasi Beragama Dalam Perspektif islam sendiri sudah menjamur dibagian Pelajaran baik di Sekolah, maupun di luar sekolah. Pada materinya tersebu mengandung beberapa dasar yang berperspektifkan pada Al-Qur’an. Metode Penelitian ini bersifat Kualitatif dengan Pendekatan Library Research (Penelitian Kepustakaan), yang dilakukan dengan berbagai cara, yang diantaranya dengan mencari, membaca,mengumpulkan data, menganalisis penafsiran serta Menyimpulkan ayat-ayat yang tentunya berkaitan dengan Pendidikan lingkungan Hidup dalam Al-Qur’an. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Islam sangat menghargai setiap ilmu, apalagi yang berkaitan dengan Pendidikan Lingkungan hidup, dan ini semestinya diberlakukan di negara kita, mengingat negara kita merupakan negara yang bermayoritaskan Islam, agar supaya memberikan pemahaman kepada kita, serta tidak membunuh fitrah kita manusia, yang diturunkan untuk membentuk pribadi yang bertaqwa.
Article
The study of Islamic moderation in pesantren needs to be considered as an effort to prevent radicalism and extremism, because besides having historical legitimacy as indigenous Indonesian education, pesantren since its inception have affirmed itself as a moderate education. By using a qualitative approach, the research which was carried out in four Islamic boarding schools in Madura resulted in the construction of the kiai's moderation thought is in the neo-modernist type. Islamic moderation is instilled by promoting exemplary and learning from walisongo, as well as being given understanding through studying the turats book. It is manifested in tolerant behavior and openness to ikhtilaf. The implication for the santri's diversity is the growth of respect for religious differences and opinions within their own religion.
Chapter
Full-text available
Tantangan dan hambatan yang berpotensi menjadi gangguan dan ancaman keberhasilan dalam pembangunan di segala bidang atau sektor kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa biasanya ada faktor eksternal dan faktor internal, di dalamnya ada interseksi antara variabel personal/individual, kultural dan struktural; tidak hanya teknisteknologis, namun juga ideologis. Pertanyaannya adalah bagaimana menjadikan platform coop yang mampu mewujudkan demokrasi ekonomi dengan mengurangi bahkan menyelesaikan sekaligus masalah-masalah ekonomi, perkoperasian dan akses teknologi di Indonesia? Gagasan dalam artikel ini adalah (1) Indonesia harus menjadi negara dengan demokrasi ekonomi dan (2) platform coop menjadi sintesis sekaligus basis bagi terwujudnya demokrasi ekonomi yang deliberatif, emansipatoris dan teknologis, hal ini sekaligus menjawab pertanyaan Scholz (2016: 21) tentang bagaimana platform kooperativisme dapat mengatur dirinya sendiri dengan cara yang terdistribusi dan benar-benar demokratis. Hal itu mungkin sesuai dengan cita-cita Indonesia Emas 2045 yaitu menuju 0 % kemiskinan dan berkurangnya ketimpangan, meningkatnya daya saing sumber daya manusia, menurunnya intensitas emisi gas rumah kaca menuju net zero emission, setaranya pendapatan per kapita dengan negara maju, dan meningkatnya kepemimpinan dan pengaruh Indonesia di dunia internasional. Teknologisasi kehidupan sehari-hari dan kooperativitas ekonomi industri yang deliberatif dan emansipatoris terutama di berbagai sektor atau bidang dasar, pokok dan penting seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan adalah model platform coop di Indonesia.
Article
Full-text available
This study aims to reveal Gus Baha’s (hereafter referred to as GB) moderation thoughts in presenting discourse on bank interest. The data sources used are the videos of GB’s Islamic lectures broadcasted by several YouTube channels. The oral text data is sorted, based on relevant theme. The data were then studied, based on Fairclough’s (1,2) discourse analysis framework, focusing on textual analysis, and its interpretation. This study applied a lexicographer tool, Ant.Cont. 3.5.9, to map the lexical choices in the speeches. Based on the analysis, the construction of the discourse is marked by the use of certain words like wong (people) for making many story telling to build a logics, the dominance of declarative structure to convey his views and reasons, the humor register to create a friendly atmosphere, and intertextuality of issue history and opinions of some big NU clerics to support his arguments. The main objective of developing a moderate and balanced discourse of bank interest is to build social control as an effort to create a conducive religious and social climate, by providing comprehensive views/arguments to accommodate the variety of opinions that arise. The function of GB’s discourse is to steer a middle way for the disputes in Muslim society
Article
Full-text available
This article specifically examines the resolution of the core values of wasathiyah Islam as an effort to counter the movement of religious radicalism, both directly in the community and in the digital space. Wasathiyah Islam as a form of rahmatan lil 'alamin is an understanding that needs to be disseminated in order to achieve harmony, security, and peace in religion. This article uses a qualitative method of descriptive analysis with library research steps sourced from books, journals, and other supporting data. The article argues that the nature of the value of wasathiyah Islam that consists of: Rahamutiyah (the flow and outpouring of affection without limitation, without discrimination and without pause), Insaniyah (humanity), 'Adliyyah (fairness), Mubadalah (equality), Maslahah (benefit), Mu'ahadah Wathaniyah (maintaining national ties), Dusturiyah (obeying the rules that have been agreed upon, for example the laws that apply in a country), Tasamuh (tolerance), and 'Urfiyah (not rejecting customs/traditions, and can even make them a component of the source of law) needs to be encouraged in various spaces of life, including on the internet. That way, the future of Indonesian Muslims will be protected from exposure to religious radicalism.
ResearchGate has not been able to resolve any references for this publication.