Available via license: CC BY-ND 4.0
Content may be subject to copyright.
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
155
HAK DASAR MANUSIA DALAM HUKUM KONTRAK INDONESIA:
ANALISIS KRITIS SYARAT KONTRAK
(The Human Basic Rights Of Contract Law In Indonesia:
Critical Analysis Of Contract Terms)
Zulfirman
Lektor, IIIC, Fakultas Hukum Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia Medan
Jalan Teladan Nomor 13-15 Medan, 20217
HP 081362433541, E-mail: zulfirman13@yahoo.com
Tulisan Diterima: 02-02-2017; Direvisi: 29-05-2017; Disetujui Diterbitkan: 02-06-2017
ABSTRACT
A contract is an interpersonal relationship/human basic right. Has Indonesia Contract Law
protected human basic right? And what distinction ratio of relative void and absolute of a
contract, because there is an opinion in trial practice that distinction is useless. This article
aims to research human basic right that protected by the Contract Law and the distinction
ratio of contract cancellation. It is a literature/library study constituting an analytic
normative juridical study. It uses a law hermeneutic method. Data is secondary data that is
primary, secondary and tertiary law material. Data is analyzed qualitatively. Discussion
covers basic right in law contract and a basic of a relative void distinction and absolute of a
contract. It concludes that Indonesia Contract Law protect rights to life, freedom, and
properties as human basic right. A relative void ratio of a contract to preserve an individual
sovereignty, an absolute invalidated care Individual and public interest. The judges in
finalizing a contract dispute should protect and respect human basic right as law right. A
distinction of contract cancellation needs to be maintained in a renewal of Indonesia contract
law.
Keywords: basic right, contract law, terms of contract
ABSTRAK
Kontrak merupakan hubungan interpersonal hak dasar manusia. Apakah hukum kontrak
Indonesia melindungi hak dasar manusia, dan apa ratio pembedaan batal relatif dan absolut
suatu kontrak, karena ada pendapat dalam praktik pengadilan pembedaan itu tidak ada
gunanya. Tujuan artikel ini mengkaji hak dasar manusia yang dilindungi oleh hukum kontrak
dan ratio pembedaan pembatalan kontrak. Artikel ini suatu studi kepustakaan merupakan
kajian yuridis normatif analitik. Metode yang digunakan hermeneutik hukum, Data yang
digunakan data sekunder yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Data dianalisis
secara kualitatif. Pembahasan meliputi hak dasar dalam hukum kontrak dan dasar
pembedaan batal relatif dan absolut suatu kontrak. Kesimpulannya hukum kontrak Indonesia
melindungi hak hidup, kebebasan dan milik sebagai hak dasar manusia. Ratio batal relatif
suatu kontrak untuk melindungi kedaulatan individu, batal absolut melindungi kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum. Hakim dalam menyelesaikan sengketa kontrak
hendaknya melindungi dan menghormati hak dasar manusia sebagai hak hukum. Pembedaan
pembatalan kontrak yang ada perlu dipertahankan dalam pembaharuan hukum kontrak
Indonesia.
Kata Kunci: Hak Dasar, Hukum Kontrak, Syarat Kontrak
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
156
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk
istimewa di dunia ini. Keistimewaannya
terletak pada bobot, relasi, dan derajat atau
martabatnya. Atas dasar martabat, setiap
manusia memiliki hak-hak dasar yang
diperolehnya secara alamiah. Hak-hak
dasar manusia secara universal ditentukan
dalam Article 3 of The Universal
Declarasion of Human Rights (UDHR)
yang mengatakan everyone has the right to
life, liberty and security of person. Hak-
hak dasar manusia itu meliputi hak hidup,
kebebasan dan keamanan pribadi. Hak-hak
itu tidak dapat dihilangkan dari diri setiap
manusia karena manusia sebagai manusia,
bila salah satu saja dihilangkan manusia
akan kehilangan martabatnya. Tiga hak
dasar tersebut merupakan pilar utama
muncul hak-hak manusia lainnya.
Manusia dengan hak dasarnya selalu
berhubungan dengan manusia lainnya.
Bagaimanapun juga manusia tidak akan
hidup menghindarkan diri dari manusia
lain. Orang-orang bisa makmur dan
menikmati kehidupan yang kaya dan
dipenuhi kebutuhannya hanya dalam
masyarakat manusia dan yang memerlukan
keberadaan kelompok sosial atau
masyarakat dari berbagai jenis (Raz, 2003:
14). Suatu keniscayaan, manusia
berhubungan dengan manusia lainnya
sebagai suatu kebutuhan alamiah, dari
situlah dasar hukum lahir. Motif hubungan
itu adalah untuk mencukupkan
kesejahteraan hidupnya.
Hubungan antar sesama manusia yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada
umumnya melalui kontrak. Kontrak
memiliki posisi penting, bahkan sering kali
kontrak itu dipandang sebagai sarana yang
mampu menggerakkan aktivitas bisnis
(Isnaeni, 2013: 2). Demokrasi dan
pembangunan tidak terlepas darinya,
dengan implikasi langsung mengurangi
kebijakan represi negara, demi pencapaian
pembangunan ekonomi yang berorientasi
pasar dan kesejahteraan umat manusia.
Di Indonesia pengaturan kontrak,
secara umum, di atur dalam Buku III
KUHPerdata termasuk di dalamnya
pengaturan tentang syarat sahnya suatu
kontrak sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal ini
menentukan empat syarat dalam
membangun suatu kontrak yaitu (a)
kesepakatan (b) kecakapan (c) hal tertentu
(d) causa yang halal. Dua syarat yang
disebutkan pertama sebagai syarat
subjektif, sedangkan dua syarat yang
disebutkan terakhir adalah syarat objektif.
Kontrak yang tidak memenuhi salah satu
syarat tersebut alasan untuk dibatalkannya
suatu kontrak.
Dalam KUHPerdata ditentukan
batalnya suatu kontrak ada dua macam:
batal relatif dan batal absolut. Kontrak
batal relatif jika tidak memenuhi syarat
sepakat atau cakap. Pembatalannya dapat
dikelompokkan atas kekuasan sendiri
misalnya kontrak yang diadakan oleh
seseorang yang belum dewasa; dan dapat
pula pembatalan oleh hakim yang dalam
putusannya mengatakan “membatalkan”
misalnya karena kontrak yang diadakan itu
terjadi karena paksaan, kekeliruan, atau
penipuan. Suatu kontrak batal absolut
apabila tidak mengandung hal tertentu atau
causanya bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dalam pratiknya, proses pembatalan
kontrak yang tidak memenuhi syarat
subjektif dan syarat objektif keduanya
tidak ada perbedaan; keduanya sama-sama
dilakukan oleh hakim melalui proses
pengadilan. Prodjodikoro berpendapat
tidak ada rasio atau dasar dari pembedaan
kedua pembatalan tersebut, memang tidak
ada alasan sama sekali untuk mengadakan
pembedaan itu (Prodjodikoro, 2000: 152).
Jika pernyataan ini benar, muncul
persoalan untuk apa undang-undang
mengadakan pembedaan itu? Persoalan
lanjutannya perlukah ketentuan
pembedaan batal relatif dan absolut itu
dipertahankan atau dihilangkan dalam
rangka pembentukan hukum kontrak
Indonesia yang akan datang?
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
157
Dalam literatur hukum kontrak
Indonesia, kajian tentang pembedaan
pembatalan relatif dan absolut suatu
kontrak hampir tidak ditemukan
penjelasan yang cukup memadai apa dasar
dan alasan pembentuk undang-undang
melakukan pembedaannya. Untuk itu,
dalam diskursus ini akan dibahas
argumentasi akademis untuk menemukan
alasan atau dasar dilakukannya pembedaan
pembatalan kontrak yang tidak memenuhi
syarat subjektif dan objektif sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Adapun masalah dalam artikel ini
adalah: Pertama, apakah hukum kontrak
Indonesia memberi perlindungan terhadap
hak dasar manusia? Kedua, apa rasio
ketentuan KUHPerdata membedakan batal
relatif dan absolut dari suatu kontrak jika
idak memenuhi syarat sahnya perjanjian
yang ditentukan oleh Pasal 1320
KUHPerdata.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penulisan artikel ini adalah
menggali dan menjelaskan argumentasi
akademis tentang hak dasar manusia yang
dilindungi dalam hukum kontrak Indonesia
dan rasio atau dasar pembedaan batal
relatif dan batal absolut suatu kontrak yang
tidak memenuhi syarat subjektif atau
syarat objektif yang ditentukan dalam
hukum kontrak Indonesia dalam
hubungannya dengan perlindungan hak
dasar manusia dalam kontrak.
METODOLOGI PENELITIAN
Artikel ini merupakan kajian yuridis
normatif analitis yang menganalisis secara
kritis norma hukum kontrak Indonesia
untuk menggali dan mengungkapkan hak-
hak dasar manusia dan perlindungannya
khususnya terhadap norma hukum
pembatalan kontrak kaitannya dengan
syarat kontrak yang ditentukan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata.
Data yang digunakan adalah data
sekunder meliputi bahan hukum primer
yang terdiri dari instrumen HAM
internasional: Universal Declarasion
Human Rights 1948, International
Covenant on Civil Rights and Political
Rights 1968 (ICCPR). Hukum nasional:
UUD 1945, Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tengang Hak Asasi Manusia
(UUHAM), KUHPerdata Stb Stb 1847-23
dan peraturan perundang-undangan yang
terkait lainnya. Di samping itu, digunakan
juga bahan hukum sekunder yakni
pendapat para ahli hukum kontrak dan
HAM yang termuat dalam literatur, jurnal,
artikel baik dalam bentuk cetakkan
maupun elektronik. Penelitian ini juga
dilengkapi dengan bahan hukum tertier
berupa kamus hukum dan ensiklopedia
hukum terkait tentang istilah-istilah
penting dalam hukum kontrak dan HAM.
Data diperoleh melalui studi
kepustakaan dan studi dokumentasi. Data
yang ada diklasifikasi dan dikelompokan
berdasarkan hak-hak dasar manusia
sebagai hak sipil yang termuat dalam
hukum kontrak dan syarat kontrak.
Kemudian dianalisis secara kualitatif
dengan menggunakan metode hermeneutik
hukum (penafsiran hukum). Penafsiran
yang digunakan adalah penafsiran
normatif yaitu penafsiran yang ditujukan
kepada perbuatan yang ditentukan dalam
undang-undang bukan pada hubungan
hukumnya, untuk menemukan hak-hak
dasar manusia dalam kontrak dan
perlindungannya sehingga diketahui rasio
diadakannya pembedaan pembatalan suatu
kontrak. Interpretasi normatif diterapkan
terhadap norma hukum Pasal 1, Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 1320, Pasal 1337, Pasal
1338 KUHPerdata guna menemukan isi
dan makna yang terkandung didalamnya
terkait sifat hak-hak dasar manusia dan
perlindungnya. Hasilnya akan dijadikan
dasar untuk menemukan argumentasi
pemikiran atau rasio yang terkandung dari
ketentuan yang membedakan suatu
kontrak dikualifikasi sebagai batal relatif
dan batal absolut dari suatu kontrak yang
tidak memenuhi syarat-syarat suatu
kontrak yang ditentukan dalam hukum
kontrak Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Hak-hak Dasar Dalam Hukum
Kontrak Indonesia
Ungkapan “hak-hak dasar" kadang-
kadang digunakan bergantian dengan "hak
asasi manusia (HAM)", tetapi juga dapat
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
156
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk
istimewa di dunia ini. Keistimewaannya
terletak pada bobot, relasi, dan derajat atau
martabatnya. Atas dasar martabat, setiap
manusia memiliki hak-hak dasar yang
diperolehnya secara alamiah. Hak-hak
dasar manusia secara universal ditentukan
dalam Article 3 of The Universal
Declarasion of Human Rights (UDHR)
yang mengatakan everyone has the right to
life, liberty and security of person. Hak-
hak dasar manusia itu meliputi hak hidup,
kebebasan dan keamanan pribadi. Hak-hak
itu tidak dapat dihilangkan dari diri setiap
manusia karena manusia sebagai manusia,
bila salah satu saja dihilangkan manusia
akan kehilangan martabatnya. Tiga hak
dasar tersebut merupakan pilar utama
muncul hak-hak manusia lainnya.
Manusia dengan hak dasarnya selalu
berhubungan dengan manusia lainnya.
Bagaimanapun juga manusia tidak akan
hidup menghindarkan diri dari manusia
lain. Orang-orang bisa makmur dan
menikmati kehidupan yang kaya dan
dipenuhi kebutuhannya hanya dalam
masyarakat manusia dan yang memerlukan
keberadaan kelompok sosial atau
masyarakat dari berbagai jenis (Raz, 2003:
14). Suatu keniscayaan, manusia
berhubungan dengan manusia lainnya
sebagai suatu kebutuhan alamiah, dari
situlah dasar hukum lahir. Motif hubungan
itu adalah untuk mencukupkan
kesejahteraan hidupnya.
Hubungan antar sesama manusia yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada
umumnya melalui kontrak. Kontrak
memiliki posisi penting, bahkan sering kali
kontrak itu dipandang sebagai sarana yang
mampu menggerakkan aktivitas bisnis
(Isnaeni, 2013: 2). Demokrasi dan
pembangunan tidak terlepas darinya,
dengan implikasi langsung mengurangi
kebijakan represi negara, demi pencapaian
pembangunan ekonomi yang berorientasi
pasar dan kesejahteraan umat manusia.
Di Indonesia pengaturan kontrak,
secara umum, di atur dalam Buku III
KUHPerdata termasuk di dalamnya
pengaturan tentang syarat sahnya suatu
kontrak sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal ini
menentukan empat syarat dalam
membangun suatu kontrak yaitu (a)
kesepakatan (b) kecakapan (c) hal tertentu
(d) causa yang halal. Dua syarat yang
disebutkan pertama sebagai syarat
subjektif, sedangkan dua syarat yang
disebutkan terakhir adalah syarat objektif.
Kontrak yang tidak memenuhi salah satu
syarat tersebut alasan untuk dibatalkannya
suatu kontrak.
Dalam KUHPerdata ditentukan
batalnya suatu kontrak ada dua macam:
batal relatif dan batal absolut. Kontrak
batal relatif jika tidak memenuhi syarat
sepakat atau cakap. Pembatalannya dapat
dikelompokkan atas kekuasan sendiri
misalnya kontrak yang diadakan oleh
seseorang yang belum dewasa; dan dapat
pula pembatalan oleh hakim yang dalam
putusannya mengatakan “membatalkan”
misalnya karena kontrak yang diadakan itu
terjadi karena paksaan, kekeliruan, atau
penipuan. Suatu kontrak batal absolut
apabila tidak mengandung hal tertentu atau
causanya bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dalam pratiknya, proses pembatalan
kontrak yang tidak memenuhi syarat
subjektif dan syarat objektif keduanya
tidak ada perbedaan; keduanya sama-sama
dilakukan oleh hakim melalui proses
pengadilan. Prodjodikoro berpendapat
tidak ada rasio atau dasar dari pembedaan
kedua pembatalan tersebut, memang tidak
ada alasan sama sekali untuk mengadakan
pembedaan itu (Prodjodikoro, 2000: 152).
Jika pernyataan ini benar, muncul
persoalan untuk apa undang-undang
mengadakan pembedaan itu? Persoalan
lanjutannya perlukah ketentuan
pembedaan batal relatif dan absolut itu
dipertahankan atau dihilangkan dalam
rangka pembentukan hukum kontrak
Indonesia yang akan datang?
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
157
Dalam literatur hukum kontrak
Indonesia, kajian tentang pembedaan
pembatalan relatif dan absolut suatu
kontrak hampir tidak ditemukan
penjelasan yang cukup memadai apa dasar
dan alasan pembentuk undang-undang
melakukan pembedaannya. Untuk itu,
dalam diskursus ini akan dibahas
argumentasi akademis untuk menemukan
alasan atau dasar dilakukannya pembedaan
pembatalan kontrak yang tidak memenuhi
syarat subjektif dan objektif sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Adapun masalah dalam artikel ini
adalah: Pertama, apakah hukum kontrak
Indonesia memberi perlindungan terhadap
hak dasar manusia? Kedua, apa rasio
ketentuan KUHPerdata membedakan batal
relatif dan absolut dari suatu kontrak jika
idak memenuhi syarat sahnya perjanjian
yang ditentukan oleh Pasal 1320
KUHPerdata.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penulisan artikel ini adalah
menggali dan menjelaskan argumentasi
akademis tentang hak dasar manusia yang
dilindungi dalam hukum kontrak Indonesia
dan rasio atau dasar pembedaan batal
relatif dan batal absolut suatu kontrak yang
tidak memenuhi syarat subjektif atau
syarat objektif yang ditentukan dalam
hukum kontrak Indonesia dalam
hubungannya dengan perlindungan hak
dasar manusia dalam kontrak.
METODOLOGI PENELITIAN
Artikel ini merupakan kajian yuridis
normatif analitis yang menganalisis secara
kritis norma hukum kontrak Indonesia
untuk menggali dan mengungkapkan hak-
hak dasar manusia dan perlindungannya
khususnya terhadap norma hukum
pembatalan kontrak kaitannya dengan
syarat kontrak yang ditentukan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata.
Data yang digunakan adalah data
sekunder meliputi bahan hukum primer
yang terdiri dari instrumen HAM
internasional: Universal Declarasion
Human Rights 1948, International
Covenant on Civil Rights and Political
Rights 1968 (ICCPR). Hukum nasional:
UUD 1945, Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tengang Hak Asasi Manusia
(UUHAM), KUHPerdata Stb Stb 1847-23
dan peraturan perundang-undangan yang
terkait lainnya. Di samping itu, digunakan
juga bahan hukum sekunder yakni
pendapat para ahli hukum kontrak dan
HAM yang termuat dalam literatur, jurnal,
artikel baik dalam bentuk cetakkan
maupun elektronik. Penelitian ini juga
dilengkapi dengan bahan hukum tertier
berupa kamus hukum dan ensiklopedia
hukum terkait tentang istilah-istilah
penting dalam hukum kontrak dan HAM.
Data diperoleh melalui studi
kepustakaan dan studi dokumentasi. Data
yang ada diklasifikasi dan dikelompokan
berdasarkan hak-hak dasar manusia
sebagai hak sipil yang termuat dalam
hukum kontrak dan syarat kontrak.
Kemudian dianalisis secara kualitatif
dengan menggunakan metode hermeneutik
hukum (penafsiran hukum). Penafsiran
yang digunakan adalah penafsiran
normatif yaitu penafsiran yang ditujukan
kepada perbuatan yang ditentukan dalam
undang-undang bukan pada hubungan
hukumnya, untuk menemukan hak-hak
dasar manusia dalam kontrak dan
perlindungannya sehingga diketahui rasio
diadakannya pembedaan pembatalan suatu
kontrak. Interpretasi normatif diterapkan
terhadap norma hukum Pasal 1, Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 1320, Pasal 1337, Pasal
1338 KUHPerdata guna menemukan isi
dan makna yang terkandung didalamnya
terkait sifat hak-hak dasar manusia dan
perlindungnya. Hasilnya akan dijadikan
dasar untuk menemukan argumentasi
pemikiran atau rasio yang terkandung dari
ketentuan yang membedakan suatu
kontrak dikualifikasi sebagai batal relatif
dan batal absolut dari suatu kontrak yang
tidak memenuhi syarat-syarat suatu
kontrak yang ditentukan dalam hukum
kontrak Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Hak-hak Dasar Dalam Hukum
Kontrak Indonesia
Ungkapan “hak-hak dasar" kadang-
kadang digunakan bergantian dengan "hak
asasi manusia (HAM)", tetapi juga dapat
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
158
merujuk secara khusus untuk kebebasan
sipil. Hak-hak tersebut pada hakikatnya
ingin melindungi kehidupan pribadi
manusia atau kedaulatan individu atas
dirinya sendiri.
Istilah HAM umumnya berlaku dalam
tataran internasional sedangkan istilah hak
sipil dalam tataran hukum nasional. Pada
dasarnya, keduanya mengandung arti yang
sama. Pada saat hak-hak itu diatur dalam
hukum internasional hak-hak tersebut
dinyatakan dengan istilah HAM. Ketika
hak-hak tersebut diberlakukan secara
nasional, hak-hak tersebut disebut dengan
istilah hak sipil dan politik (Terre, 2006:
5).
Pemahaman terhadap HAM dapat
didekati melalui definisi formal hak
sebagaimana yang diungkapkan oleh
Joseph Raz yang menerangkan hak adalah
untuk melindungi kepentingan mendasar,
Joel Feinberg mengemukakan hak sebagai
klaim, dan Martha Nassbaum menjelaskan
hak sebagai melindungi kemampuan yang
diperlukan untuk berkembang dan
kesejahteraan manusia (Winstonh, 2012 :
293-294). Cara paling jelas melihat
keberadaan HAM sebagai norma hukum
pada tingkat nasional dan internasional
melalui kebijakan legislasi dan putusan
pengadilan. HAM universal sering
dinyatakan dan dijamin oleh hukum,
dalam bentuk kontrak, hukum kebiasaan
internasional, prinsip-prinsip umum dan
sumber-sumber hukum internasional
lainnya. Instrumen HAM internasional
menetapkan kewajiban Pemerintah untuk
bertindak dengan cara tertentu atau untuk
menahan diri dari tindakan-tindakan
tertentu, dalam rangka untuk
mempromosikan dan melindungi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar individu
atau kelompok. Dari itu perlindungan
HAM haruslah bersaranakan hukum.
Pengaturan HAM sebagai hak sipil di
Indonesia salah satunya adalah Bugerlijk
Wetboek voor Indonesie (KUHPerdata)
yang diumumkan dengan maklumat
tanggal 30 April 1847 Stb 1847-23.
Undang-undang ini adalah produk hukum
pemerintahan Hindia Belanda yang
menjajah Indonesia waktu itu. Undang-
undang ini pada awalnya diberlakukan
bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan dengannya, dan untuk
beberapa bagian tertentu juga berlaku bagi
golongan Tionghoa. Setelah Indonesia
merdeka tanggal 17 Agustus 1945,
undang-undang tersebut tetap dinyatakan
berlaku sepanjang belum diganti oleh
undang-undang yang baru. Undang-
undang tersebut terdiri dari empat buku.
Buku I tentang Orang, Buku II tentang
Benda, Buku III tentang Perikatan dan
Buku IV tentang Kadaluarsa atau
Pembuktian.
Dalam perkembangannya, dalam
suasana Indonesia merdeka, beberapa
ketentuan dalam KUHPerdata diganti
dengan undang-undang yang baru, antara
lain:
a. Ketentuan tentang perkawinan
diganti oleh Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
b. Hipotik sepanjang mengenai tanah
diganti oleh Undang-undang Nomor
4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggugungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah;
c. Ketentuan Buku Kesatu Bab Kedua
Bagian Kedua dan Bab Ketiga
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Undang-undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi
Kependudukan yo Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
Kebijakan legislasi mengganti beberapa
ketentuan KUHPerdata dengan undang-
undang baru dilakukan secara parsial. Hal
ini memperkuat pernyatan ketentuan-
ketentuan yang termuat di dalam
KUHPerdata tetap berlaku dan mengikat
sebagai undang-undang, termasuklah
ketentuan tentang kontrak.
KUHPerdata sebagai induk hukum
kontrak adalah hukum yang mengatur
kepentingan perseorangan (Badrulzaman,
2016: 85). KUHPerdata sebagai hukum
sipil gunanya untuk mengatur hubungan
hukum antara pribadi yang berhadapan
dengan pribadi lain sebagai individu
(Lukito, 2013:104). Masing-masing
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
159
posisi dari individu-individu tuna kuasa
yang dianggap sederajat; ia menunjukkan,
bagaimana subjek-subjek yang tidak
memiliki kekuasaan penguasa harus
bertindak yang satu terhadap yang lainnya
(Suijling, 1985: 1). Konten hukum sipil
mengatur hak dan kewajiban dari
perseorangan atau perusahaan privat
(Cruze, 2010 : 108). Sifat privat memiliki
nilai moral karena privat mendukung
pengembangan martabat dan otonomi
individu. Hal ini juga membangun tujuan
sosial yang lebih luas yang menambah
kesejahteraan umum (Cavoukian, 1999:
5).
Esensi KUHPerdata sebagai hukum
sipil dapat dilihat dari Pasal 1, Pasal 2 dan
Pasal 3 KUHPerdata sebagai pasal inti.
Pasal-pasal inilah yang kemudian
dijabarkan dalam pasal-pasal berikutnya
terkait orang, benda, perikatan dan
kadaluarsa. Pasal 1 KUHPerdata
mengatakan: “Menikmati hak kewargaan
tidak tergantung pada hak-hak
kenegaraan”. Pasal ini mengandung sifat
deklaratif dan normatif. Sifat deklaratifnya
adalah suatu bentuk pengakuan negara
bahwa pada setiap diri manusia melekat
hak alamiah. Artinya negara mengakui
adanya HAM pada diri setiap manusia
yang bukan berasal dan/ atau diberikan
oleh negara. Sedangkan sifat normatifnya,
Pasal 1 KUHPerdata suatu norma hukum
yang menyatakan manusia sebagai subjek
hukum, negara berkewajiban
menghormatinya. Manusia di sini
dimaksudkan sebagai orang alami yang
ditujukan terhadap genetik manusia. Hal
ini diperkuat oleh Pasal 2 KUHPerdata:
“anak dalam kandungan seorang wanita
dianggap telah lahir, setiap kali
kepentingannya menghendakinya. Bila ia
telah mati waktu dilahirkan, dia dianggap
tidak pernah ada”; dan dikukuhkan lagi
oleh Pasal 3 KUHPerdata: “Tiada satu
hukumanpun yang mengakibatkan
kematian perdata”. Terkait pasal yang
disebutkan terakhir, dalam sejarahnya,
pada hukum Prancis ada hukuman yang
dinamakan mort civile (kematian perdata).
Oleh hukuman ini, orang sebagai subjek
hukum tidak ada lagi, sehingga
kekayaannya terbuka sebagai harta
peninggalan. Walaupun KUHPerdata
berasal dari Code Civil Prancis, namun
ketentuan tersebut tidak diambil alih
menjadi ketentuan dalam hukum Perdata
Belanda (Pitlo, 1979: 14), demikian juga
terhadap KUHPerdata yang diberlakukan
di Indonesia.
Manusia sebagai subjek hukum
karena memiliki hak. Ketika ada hak
semua orang yang memilikinya tanpa
didasarkan oleh suku, bangsa, jenis
kelamin dan agama, menjadi hal yang
kemudian melekat pada setiap manusia.
Pada hak terdapat kekuasaan atau
kewenangan manusia untuk menentang
tekanan sebagai jaminan atas kebebasan
manusia (Glenn, 2000: 130). Hak itu
umumnya ditujukan pada manusia sebagai
orang alami.
Istilah orang alami digunakan untuk
menunjuk pada status hukum manusia.
Hak hukum tertentu mengikuti secara
langsung terhadapnya, dan penunjukan
orang perseorangan untuk
mengidentifikasi entitas yang berhak atas
perlindungan hukum yang maksimal.
Meskipun demikian, tidak semua orang
alami memiliki hak hukum yang sama.
Anak misalnya, diberikan hak-hak hukum
yang lebih sedikit daripada orang dewasa.
Berbeda dengan orang alami, penunjukan
badan hukum sebagai subjek hukum
digunakan untuk merujuk pada entitas
yang bukan manusia, tapi sebagai pilihan
kehendak masyarakat untuk memperoleh
beberapa perlindungan hukum dan hak
yang sama diberikan seperti orang alami
(Berg, 2007 : 235). Subjek hukum yang
disebut terakhir ini dalam hukum disebut
orang yuridis.
Ada dua perbedaan penting terhadap
istilah orang alami dan orang yuridis.
Pertama adalah entitas berlabel orang
alami berdasarkan genetik manusia. Badan
hukum mungkin genetik manusia, tetapi
tidak ada orang alami yang bukan
manusia. Kedua, orang alami berhak
memperoleh prioritas di atas badan hukum
dalam hierarki hak. Ini bukan untuk
mengatakan bahwa badan hukum tidak
mungkin diberi hak yang sama dengan
orang alami, tetapi itu alokasi seperti hak
harus dibenarkan oleh kepentingan yang
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
158
merujuk secara khusus untuk kebebasan
sipil. Hak-hak tersebut pada hakikatnya
ingin melindungi kehidupan pribadi
manusia atau kedaulatan individu atas
dirinya sendiri.
Istilah HAM umumnya berlaku dalam
tataran internasional sedangkan istilah hak
sipil dalam tataran hukum nasional. Pada
dasarnya, keduanya mengandung arti yang
sama. Pada saat hak-hak itu diatur dalam
hukum internasional hak-hak tersebut
dinyatakan dengan istilah HAM. Ketika
hak-hak tersebut diberlakukan secara
nasional, hak-hak tersebut disebut dengan
istilah hak sipil dan politik (Terre, 2006:
5).
Pemahaman terhadap HAM dapat
didekati melalui definisi formal hak
sebagaimana yang diungkapkan oleh
Joseph Raz yang menerangkan hak adalah
untuk melindungi kepentingan mendasar,
Joel Feinberg mengemukakan hak sebagai
klaim, dan Martha Nassbaum menjelaskan
hak sebagai melindungi kemampuan yang
diperlukan untuk berkembang dan
kesejahteraan manusia (Winstonh, 2012 :
293-294). Cara paling jelas melihat
keberadaan HAM sebagai norma hukum
pada tingkat nasional dan internasional
melalui kebijakan legislasi dan putusan
pengadilan. HAM universal sering
dinyatakan dan dijamin oleh hukum,
dalam bentuk kontrak, hukum kebiasaan
internasional, prinsip-prinsip umum dan
sumber-sumber hukum internasional
lainnya. Instrumen HAM internasional
menetapkan kewajiban Pemerintah untuk
bertindak dengan cara tertentu atau untuk
menahan diri dari tindakan-tindakan
tertentu, dalam rangka untuk
mempromosikan dan melindungi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar individu
atau kelompok. Dari itu perlindungan
HAM haruslah bersaranakan hukum.
Pengaturan HAM sebagai hak sipil di
Indonesia salah satunya adalah Bugerlijk
Wetboek voor Indonesie (KUHPerdata)
yang diumumkan dengan maklumat
tanggal 30 April 1847 Stb 1847-23.
Undang-undang ini adalah produk hukum
pemerintahan Hindia Belanda yang
menjajah Indonesia waktu itu. Undang-
undang ini pada awalnya diberlakukan
bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan dengannya, dan untuk
beberapa bagian tertentu juga berlaku bagi
golongan Tionghoa. Setelah Indonesia
merdeka tanggal 17 Agustus 1945,
undang-undang tersebut tetap dinyatakan
berlaku sepanjang belum diganti oleh
undang-undang yang baru. Undang-
undang tersebut terdiri dari empat buku.
Buku I tentang Orang, Buku II tentang
Benda, Buku III tentang Perikatan dan
Buku IV tentang Kadaluarsa atau
Pembuktian.
Dalam perkembangannya, dalam
suasana Indonesia merdeka, beberapa
ketentuan dalam KUHPerdata diganti
dengan undang-undang yang baru, antara
lain:
a. Ketentuan tentang perkawinan
diganti oleh Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
b. Hipotik sepanjang mengenai tanah
diganti oleh Undang-undang Nomor
4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggugungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah;
c. Ketentuan Buku Kesatu Bab Kedua
Bagian Kedua dan Bab Ketiga
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Undang-undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi
Kependudukan yo Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
Kebijakan legislasi mengganti beberapa
ketentuan KUHPerdata dengan undang-
undang baru dilakukan secara parsial. Hal
ini memperkuat pernyatan ketentuan-
ketentuan yang termuat di dalam
KUHPerdata tetap berlaku dan mengikat
sebagai undang-undang, termasuklah
ketentuan tentang kontrak.
KUHPerdata sebagai induk hukum
kontrak adalah hukum yang mengatur
kepentingan perseorangan (Badrulzaman,
2016: 85). KUHPerdata sebagai hukum
sipil gunanya untuk mengatur hubungan
hukum antara pribadi yang berhadapan
dengan pribadi lain sebagai individu
(Lukito, 2013:104). Masing-masing
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
159
posisi dari individu-individu tuna kuasa
yang dianggap sederajat; ia menunjukkan,
bagaimana subjek-subjek yang tidak
memiliki kekuasaan penguasa harus
bertindak yang satu terhadap yang lainnya
(Suijling, 1985: 1). Konten hukum sipil
mengatur hak dan kewajiban dari
perseorangan atau perusahaan privat
(Cruze, 2010 : 108). Sifat privat memiliki
nilai moral karena privat mendukung
pengembangan martabat dan otonomi
individu. Hal ini juga membangun tujuan
sosial yang lebih luas yang menambah
kesejahteraan umum (Cavoukian, 1999:
5).
Esensi KUHPerdata sebagai hukum
sipil dapat dilihat dari Pasal 1, Pasal 2 dan
Pasal 3 KUHPerdata sebagai pasal inti.
Pasal-pasal inilah yang kemudian
dijabarkan dalam pasal-pasal berikutnya
terkait orang, benda, perikatan dan
kadaluarsa. Pasal 1 KUHPerdata
mengatakan: “Menikmati hak kewargaan
tidak tergantung pada hak-hak
kenegaraan”. Pasal ini mengandung sifat
deklaratif dan normatif. Sifat deklaratifnya
adalah suatu bentuk pengakuan negara
bahwa pada setiap diri manusia melekat
hak alamiah. Artinya negara mengakui
adanya HAM pada diri setiap manusia
yang bukan berasal dan/ atau diberikan
oleh negara. Sedangkan sifat normatifnya,
Pasal 1 KUHPerdata suatu norma hukum
yang menyatakan manusia sebagai subjek
hukum, negara berkewajiban
menghormatinya. Manusia di sini
dimaksudkan sebagai orang alami yang
ditujukan terhadap genetik manusia. Hal
ini diperkuat oleh Pasal 2 KUHPerdata:
“anak dalam kandungan seorang wanita
dianggap telah lahir, setiap kali
kepentingannya menghendakinya. Bila ia
telah mati waktu dilahirkan, dia dianggap
tidak pernah ada”; dan dikukuhkan lagi
oleh Pasal 3 KUHPerdata: “Tiada satu
hukumanpun yang mengakibatkan
kematian perdata”. Terkait pasal yang
disebutkan terakhir, dalam sejarahnya,
pada hukum Prancis ada hukuman yang
dinamakan mort civile (kematian perdata).
Oleh hukuman ini, orang sebagai subjek
hukum tidak ada lagi, sehingga
kekayaannya terbuka sebagai harta
peninggalan. Walaupun KUHPerdata
berasal dari Code Civil Prancis, namun
ketentuan tersebut tidak diambil alih
menjadi ketentuan dalam hukum Perdata
Belanda (Pitlo, 1979: 14), demikian juga
terhadap KUHPerdata yang diberlakukan
di Indonesia.
Manusia sebagai subjek hukum
karena memiliki hak. Ketika ada hak
semua orang yang memilikinya tanpa
didasarkan oleh suku, bangsa, jenis
kelamin dan agama, menjadi hal yang
kemudian melekat pada setiap manusia.
Pada hak terdapat kekuasaan atau
kewenangan manusia untuk menentang
tekanan sebagai jaminan atas kebebasan
manusia (Glenn, 2000: 130). Hak itu
umumnya ditujukan pada manusia sebagai
orang alami.
Istilah orang alami digunakan untuk
menunjuk pada status hukum manusia.
Hak hukum tertentu mengikuti secara
langsung terhadapnya, dan penunjukan
orang perseorangan untuk
mengidentifikasi entitas yang berhak atas
perlindungan hukum yang maksimal.
Meskipun demikian, tidak semua orang
alami memiliki hak hukum yang sama.
Anak misalnya, diberikan hak-hak hukum
yang lebih sedikit daripada orang dewasa.
Berbeda dengan orang alami, penunjukan
badan hukum sebagai subjek hukum
digunakan untuk merujuk pada entitas
yang bukan manusia, tapi sebagai pilihan
kehendak masyarakat untuk memperoleh
beberapa perlindungan hukum dan hak
yang sama diberikan seperti orang alami
(Berg, 2007 : 235). Subjek hukum yang
disebut terakhir ini dalam hukum disebut
orang yuridis.
Ada dua perbedaan penting terhadap
istilah orang alami dan orang yuridis.
Pertama adalah entitas berlabel orang
alami berdasarkan genetik manusia. Badan
hukum mungkin genetik manusia, tetapi
tidak ada orang alami yang bukan
manusia. Kedua, orang alami berhak
memperoleh prioritas di atas badan hukum
dalam hierarki hak. Ini bukan untuk
mengatakan bahwa badan hukum tidak
mungkin diberi hak yang sama dengan
orang alami, tetapi itu alokasi seperti hak
harus dibenarkan oleh kepentingan yang
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
160
terlibat. Dengan kata lain, orang alami
dinilai berfungsi sebagai dasar terhadap
pengalokasian hak-hak lainnya.
Masyarakat dikembangkan oleh dan untuk
perorangan, dengan demikian fokus hak
hukum pada kelompok ini (Berg, 2007:
240).
Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3
KUHPerdata jika didekati secara
sistematik antara frasa “menikmati hak
kewargaan” dalam Pasal 1 KUHPerdata
dengan frasa “anak dalam kandungan
seorang wanita dianggap telah lahir”
dalam Pasal 2 KUHPerdata, dan
dihubungkan lagi dengan frasa “tiada satu
hukumanpun yang mengakibatkan
kematian perdata” dalam Pasal 3
KUHPerdata terlihat hak sipil sebagai hak
yang esensial melekat pada genetik
manusia terkait martabatnya. Hak yang
terkandung pada pasal-pasal tersebut
merupakan poros dari hak-hak manusia
lainnya, hak-hak itu dikualifikasi sebagai
hak dasar manusia sebagai moralitas
terdalam. Hak dasar menentukan garis
paling bawah, yang tak seorangpun
diperkenankan menenggelamkannya.
Karena itu, martabat melekat pada setiap
manusia, tidak dapat dicabut oleh
kekuasaan negara (Gould, 1993: 204).
Sulitlah dipahami bila manusia tanpa hak
dasar.
Hak dasar manusia yang terkandung
dari Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3
KUHPerdata adalah kebebasan, hak
hidup, dan kemanan pribadi. Kebebasan
terlihat pada Pasal 1 KUHPerdata frasa
“tidak tergantung pada hak-hak
kenegaraan”. Hak hidup pada Pasal 2
KUHPerdata terlihat pada frasa “anak
dalam kandungan seorang wanita dianggap
telah lahir” selain itu juga terkait hak
kesejahteraan hidup manusia sebagaimana
dapat dilihat dari frasa “setiap kali
kepentingannya menghendakinya”. Hak
keamanan pribadi termuat pada Pasal 3
KUHPerdata sebagaimana terlihat dari
frasa “tiada satu hukumanpun yang
mengakibatkan kematian perdata”.
John Locke mengingat kita, hak hidup,
kebebasan dan milik sebagai hak yang
tidak diserahkan kepada factum unionis
dalam teori kontrak sosial. Dalam
perkembangan berikutnya, hak-hak ini
dimodifikasi menjadi hak hidup,
kebebasan dan keamanan pribadi sebagai
HAM sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1 UDHR (Marzuki, 2009: 185). Hak- hak
tersebut tidak dapat dilepaskan dari diri
manusia oleh karenanya hak-hak tersebut
sebagai hak dasar manusia.
Hak dasar pada prinsipnya terpusat
pada manusia (Glenn, 2000: 131).
Konsep hak dasar hanya dapat dipahami
melalui konsep manusia. Ada tiga hal yang
dinisbahkan pada manusia. Pertama,
manusia adalah makhluk yang diciptakan,
dalam hubungannya dengan Tuhan.
Kedua, manusia adalah makhluk sosial
dalam hubungannya sesama manusia.
Ketiga, manusia adalah makhluk posesif
dalam hubungannya dengan benda-benda
di dunia (Poespoprodjo, 1986 : 126).
Ketiga hal yang dinisbahkan pada manusia
tersebut juga dikenal dalam ajaran Islam
dimana manusia disebutkan dengan tiga
istilah. Pertama, al - insan sebagai
makhluk religius. Kedua, an-nas sebagai
makhluk sosial. Ketiga, al-basyar sebagai
makhluk biologis (Armanto, et.al, 2001:
21). Dalam kalimat lain tapi dengan
maksud yang sama dijumpai pada ajaran
Konfusius menyebutkan tiga kodrat
manusia. Pertama, aktivitas yang secara
konstan dilakukan manusia, seperti makan,
minum, tidur, kawin, dan beranak (perlaku
demikian juga dilakukan oleh binatang).
Kedua, aktivitas sosial yang khas manusia,
seperti menghormati orang tua dan sayang
menyanyang kepada sesama manusia.
Ketiga, aktivitas menilai (evaluatif)
seperti menentukan mana yang baik dan
buruk, benar dan salah (Darmodiharjo
dan Shidarta, 1996: 41). Tiga hal yang
dinisbahkan kepada manusia itulah muasal
dari hak dasar manusia. Konsep manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan terkait
dengan hak hidup dan kebebasan. Konsep
manusia sebagai makhluk sosial terkait
dengan hak keamanan pribadi. Konsep
manusia sebagai makhluk posesif terkait
dengan hak milik.
Tiga hal yang dinisbahkan pada
manusia menyebabkan manusia
senantiasa berada dalam hubungan dengan
kenyataan. Manusia bukan eksistensi yang
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
161
berdiri sendiri, ia ada di dunia merupakan
suatu ada bersama dengan eksistensi yang
lain (Kusumohamidjojo, 2004:133).
Hubungan antar sesama manusia adalah
sesuatu yang alamiah.
Hubungan manusia sebagai makhluk
hidup, bukan hanya tengah
mempertahankan keberadaannya tetapi
juga bergerak menuju suatu keadaan
optimum tertentu mencapai tujuan akhir
sebagai kebaikan khusus yang
diinginkannya (Hart, 2010: 292). Dalam
hubungan itulah terlihat hak dasar
dioperasionalisasikan antara manusia yang
satu dengan manusia lainnya. Salah satu
bentuk opersionalisasi hak dasar manusia
itu dilakukan melalui kontrak. Kontrak itu
sendiri adalah bahasa hukum untuk
menerangkan hubungan orang yang satu
dengan dua orang atau lebih lainnya terkait
dengan kekayaan. Kewenangan seseorang
membangun kontrak tidak dilihat sebagai
sesuatu yang yuridis melainkan sesuatu
yang alamiah (Jue, 2004: 20).
Kontrak sebagai bentuk
operasionalisasi hak dasar manusia di
Indonesia diatur melalui hukum di dalam
Buku III KUHPerdata tentang perikatan.
Ada tiga klaim sifat dari hukum yaitu: (a)
hukum sebagai lembaga terakhir yang
dapat digunakan untuk mewujudkan
kegunaan moral (b) hukum merupakan
lembaga dengan tugas moral atas suatu
perbuatan (c) hukum adalah lembaga
moral yang berharga (Raz, 2003: 11). Di
sini fungsi hukum sebagai sarana
perlindungan hak-hak manusia.
Ada dua kriteria untuk menentukan
kontrak mengandung hak dasar. Pertama,
dilihat dari sisi formal. Kedua, dari sisi
substansi. Secara formal, suatu hak dasar
adalah hak yang ditentukan dalam
konstitusi; sedangkan berdasarkan kriteria
substansi, hak dasar adalah norma yang
bertujuan untuk menjamin martabat
manusia atau hak yang mendasar bagi
perlindungan otonomi individu (Mak,
2007: 18). Kriteria yang disebutkan
terakhir itulah yang termuat di dalam Pasal
1338 KUHPerdata sebagai ketentuan yang
mengatur hak dasar manusia dalam hukum
kontrak Indonesia.
Emile Durkheim berpendapat manusia
membangun hubungan kontrak untuk
saling memenuhi kebutuhannya yang
intinya melakukan tukar menukar di antara
mereka sebagai tindakan sosial (Peter dan
Siswosoebroto (ed), 1990: 92). Kontrak
tidak hanya diakui sebagai cara
mendistribusikan kekayaan, dan
membangun kekuatan hubungan, tetapi
yang paling penting memberi kesempatan
untuk merealisasikan makna kehidupan
para pihak sebagai manusia yang berhak
untuk hidup (Howthorne, 2011: 239). Dari
pernyataan ini jelaslah pada kontrak
terkandung kebebasan, milik dan hidup.
Ketiga hak tersebut merupakan hak dasar
manusia yang saling berinteraksi dalam
membangun suatu kontrak.
Realisasi hak dasar manusia dalam
suatu kontrak terlihat dari pernyataan
kehendak bebas, dimana ia lahir dari buah
pikir manusia sebagai konsekuensi dari
akal yang merupakan anugerah yang
penting bagi manusia (Billah, 2010: 171).
Kehendak bebas muncul karena adanya
kebebasan.
Dalam kontrak peranan kebebasan
sebagai hak dasar mempunyai fungsi
penting. Fungsi pentingnya terlihat pada
kebebasan membuat kontrak sekaligus
bersifat negatif dan positif. Sifat negatif
artinya kebebasan diungkapkan secara
merdeka oleh pilihan setiap orang sesuai
dengan takdirnya. Ada bukan karena
ditentukan. Artinya masing-masing harus
tahu sendiri sampai sejauh mana
melaksanakan hal-hal yang semata-mata
menyangkut diri sendiri. Sifat positifnya
berkaitan dengan rasa aman atau tanpa ada
kesewenang-wenangan. Kebebasan
bersifat negatif disebut juga “kebebasan
untuk” atau freedom to, sedangkan
kebebasan positif disebut juga “kebebasan
dari” atau freedom from (Aron, 1993: 5,
Gould, 1993 : 5, Huijbers, 1995: 56-57).
Dalam KUHPerdata kebebasan ini
menjadi prinsip hukum kontrak
sebagaimana ditentukan pada Pasal 1338
KUHPerdata. Prinsip kekebasan
berkontrak harus dituangkan dalam
undang-undang, jika tidak diatur maka
akan dapat terjadi distorsi, tetapi
sebaliknya apabila pengaturannya terlalu
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
160
terlibat. Dengan kata lain, orang alami
dinilai berfungsi sebagai dasar terhadap
pengalokasian hak-hak lainnya.
Masyarakat dikembangkan oleh dan untuk
perorangan, dengan demikian fokus hak
hukum pada kelompok ini (Berg, 2007:
240).
Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3
KUHPerdata jika didekati secara
sistematik antara frasa “menikmati hak
kewargaan” dalam Pasal 1 KUHPerdata
dengan frasa “anak dalam kandungan
seorang wanita dianggap telah lahir”
dalam Pasal 2 KUHPerdata, dan
dihubungkan lagi dengan frasa “tiada satu
hukumanpun yang mengakibatkan
kematian perdata” dalam Pasal 3
KUHPerdata terlihat hak sipil sebagai hak
yang esensial melekat pada genetik
manusia terkait martabatnya. Hak yang
terkandung pada pasal-pasal tersebut
merupakan poros dari hak-hak manusia
lainnya, hak-hak itu dikualifikasi sebagai
hak dasar manusia sebagai moralitas
terdalam. Hak dasar menentukan garis
paling bawah, yang tak seorangpun
diperkenankan menenggelamkannya.
Karena itu, martabat melekat pada setiap
manusia, tidak dapat dicabut oleh
kekuasaan negara (Gould, 1993: 204).
Sulitlah dipahami bila manusia tanpa hak
dasar.
Hak dasar manusia yang terkandung
dari Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3
KUHPerdata adalah kebebasan, hak
hidup, dan kemanan pribadi. Kebebasan
terlihat pada Pasal 1 KUHPerdata frasa
“tidak tergantung pada hak-hak
kenegaraan”. Hak hidup pada Pasal 2
KUHPerdata terlihat pada frasa “anak
dalam kandungan seorang wanita dianggap
telah lahir” selain itu juga terkait hak
kesejahteraan hidup manusia sebagaimana
dapat dilihat dari frasa “setiap kali
kepentingannya menghendakinya”. Hak
keamanan pribadi termuat pada Pasal 3
KUHPerdata sebagaimana terlihat dari
frasa “tiada satu hukumanpun yang
mengakibatkan kematian perdata”.
John Locke mengingat kita, hak hidup,
kebebasan dan milik sebagai hak yang
tidak diserahkan kepada factum unionis
dalam teori kontrak sosial. Dalam
perkembangan berikutnya, hak-hak ini
dimodifikasi menjadi hak hidup,
kebebasan dan keamanan pribadi sebagai
HAM sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1 UDHR (Marzuki, 2009: 185). Hak- hak
tersebut tidak dapat dilepaskan dari diri
manusia oleh karenanya hak-hak tersebut
sebagai hak dasar manusia.
Hak dasar pada prinsipnya terpusat
pada manusia (Glenn, 2000: 131).
Konsep hak dasar hanya dapat dipahami
melalui konsep manusia. Ada tiga hal yang
dinisbahkan pada manusia. Pertama,
manusia adalah makhluk yang diciptakan,
dalam hubungannya dengan Tuhan.
Kedua, manusia adalah makhluk sosial
dalam hubungannya sesama manusia.
Ketiga, manusia adalah makhluk posesif
dalam hubungannya dengan benda-benda
di dunia (Poespoprodjo, 1986 : 126).
Ketiga hal yang dinisbahkan pada manusia
tersebut juga dikenal dalam ajaran Islam
dimana manusia disebutkan dengan tiga
istilah. Pertama, al - insan sebagai
makhluk religius. Kedua, an-nas sebagai
makhluk sosial. Ketiga, al-basyar sebagai
makhluk biologis (Armanto, et.al, 2001:
21). Dalam kalimat lain tapi dengan
maksud yang sama dijumpai pada ajaran
Konfusius menyebutkan tiga kodrat
manusia. Pertama, aktivitas yang secara
konstan dilakukan manusia, seperti makan,
minum, tidur, kawin, dan beranak (perlaku
demikian juga dilakukan oleh binatang).
Kedua, aktivitas sosial yang khas manusia,
seperti menghormati orang tua dan sayang
menyanyang kepada sesama manusia.
Ketiga, aktivitas menilai (evaluatif)
seperti menentukan mana yang baik dan
buruk, benar dan salah (Darmodiharjo
dan Shidarta, 1996: 41). Tiga hal yang
dinisbahkan kepada manusia itulah muasal
dari hak dasar manusia. Konsep manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan terkait
dengan hak hidup dan kebebasan. Konsep
manusia sebagai makhluk sosial terkait
dengan hak keamanan pribadi. Konsep
manusia sebagai makhluk posesif terkait
dengan hak milik.
Tiga hal yang dinisbahkan pada
manusia menyebabkan manusia
senantiasa berada dalam hubungan dengan
kenyataan. Manusia bukan eksistensi yang
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
161
berdiri sendiri, ia ada di dunia merupakan
suatu ada bersama dengan eksistensi yang
lain (Kusumohamidjojo, 2004:133).
Hubungan antar sesama manusia adalah
sesuatu yang alamiah.
Hubungan manusia sebagai makhluk
hidup, bukan hanya tengah
mempertahankan keberadaannya tetapi
juga bergerak menuju suatu keadaan
optimum tertentu mencapai tujuan akhir
sebagai kebaikan khusus yang
diinginkannya (Hart, 2010: 292). Dalam
hubungan itulah terlihat hak dasar
dioperasionalisasikan antara manusia yang
satu dengan manusia lainnya. Salah satu
bentuk opersionalisasi hak dasar manusia
itu dilakukan melalui kontrak. Kontrak itu
sendiri adalah bahasa hukum untuk
menerangkan hubungan orang yang satu
dengan dua orang atau lebih lainnya terkait
dengan kekayaan. Kewenangan seseorang
membangun kontrak tidak dilihat sebagai
sesuatu yang yuridis melainkan sesuatu
yang alamiah (Jue, 2004: 20).
Kontrak sebagai bentuk
operasionalisasi hak dasar manusia di
Indonesia diatur melalui hukum di dalam
Buku III KUHPerdata tentang perikatan.
Ada tiga klaim sifat dari hukum yaitu: (a)
hukum sebagai lembaga terakhir yang
dapat digunakan untuk mewujudkan
kegunaan moral (b) hukum merupakan
lembaga dengan tugas moral atas suatu
perbuatan (c) hukum adalah lembaga
moral yang berharga (Raz, 2003: 11). Di
sini fungsi hukum sebagai sarana
perlindungan hak-hak manusia.
Ada dua kriteria untuk menentukan
kontrak mengandung hak dasar. Pertama,
dilihat dari sisi formal. Kedua, dari sisi
substansi. Secara formal, suatu hak dasar
adalah hak yang ditentukan dalam
konstitusi; sedangkan berdasarkan kriteria
substansi, hak dasar adalah norma yang
bertujuan untuk menjamin martabat
manusia atau hak yang mendasar bagi
perlindungan otonomi individu (Mak,
2007: 18). Kriteria yang disebutkan
terakhir itulah yang termuat di dalam Pasal
1338 KUHPerdata sebagai ketentuan yang
mengatur hak dasar manusia dalam hukum
kontrak Indonesia.
Emile Durkheim berpendapat manusia
membangun hubungan kontrak untuk
saling memenuhi kebutuhannya yang
intinya melakukan tukar menukar di antara
mereka sebagai tindakan sosial (Peter dan
Siswosoebroto (ed), 1990: 92). Kontrak
tidak hanya diakui sebagai cara
mendistribusikan kekayaan, dan
membangun kekuatan hubungan, tetapi
yang paling penting memberi kesempatan
untuk merealisasikan makna kehidupan
para pihak sebagai manusia yang berhak
untuk hidup (Howthorne, 2011: 239). Dari
pernyataan ini jelaslah pada kontrak
terkandung kebebasan, milik dan hidup.
Ketiga hak tersebut merupakan hak dasar
manusia yang saling berinteraksi dalam
membangun suatu kontrak.
Realisasi hak dasar manusia dalam
suatu kontrak terlihat dari pernyataan
kehendak bebas, dimana ia lahir dari buah
pikir manusia sebagai konsekuensi dari
akal yang merupakan anugerah yang
penting bagi manusia (Billah, 2010: 171).
Kehendak bebas muncul karena adanya
kebebasan.
Dalam kontrak peranan kebebasan
sebagai hak dasar mempunyai fungsi
penting. Fungsi pentingnya terlihat pada
kebebasan membuat kontrak sekaligus
bersifat negatif dan positif. Sifat negatif
artinya kebebasan diungkapkan secara
merdeka oleh pilihan setiap orang sesuai
dengan takdirnya. Ada bukan karena
ditentukan. Artinya masing-masing harus
tahu sendiri sampai sejauh mana
melaksanakan hal-hal yang semata-mata
menyangkut diri sendiri. Sifat positifnya
berkaitan dengan rasa aman atau tanpa ada
kesewenang-wenangan. Kebebasan
bersifat negatif disebut juga “kebebasan
untuk” atau freedom to, sedangkan
kebebasan positif disebut juga “kebebasan
dari” atau freedom from (Aron, 1993: 5,
Gould, 1993 : 5, Huijbers, 1995: 56-57).
Dalam KUHPerdata kebebasan ini
menjadi prinsip hukum kontrak
sebagaimana ditentukan pada Pasal 1338
KUHPerdata. Prinsip kekebasan
berkontrak harus dituangkan dalam
undang-undang, jika tidak diatur maka
akan dapat terjadi distorsi, tetapi
sebaliknya apabila pengaturannya terlalu
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
162
ketat, maka akan hilang makna dari
kebebasan berkontrak itu sendiri
(Soenandar, 2016 : 155). Pernyataan ini
mengandung makna bahwa undang-
undang sebagai sarana perlindungan hak
dasar manusia melalui hukum.
Pasal 1338 KUHPerdata menentukan
suatu kontrak yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya. Kontrak tidak dapat
dibatalkan tanpa persetujuan keduabelah
pihak. Dan kontrak itu harus dilaksanakan
dengan iktikad baik. Pasal ini
mengandung tiga prinsip fundamental
hukum kontrak, yaitu prinsip kebebasan
membuat kontrak, prinsip mengikatnya
suatu kontrak dan prinsip konsensualisme
(Badrulzaman, 2016 : 82-83,
Dirdjosisworo, 2002: 14, Khairandy,
2003: 27). Inti pasal ini mengandung dua
hal utama yaitu: (a) kebebasan kehendak
dan tindakan (b) kebebasan membuat
aturan bagi lingkungan sendiri.
Dari apa yang diuraikan di atas terlihat
hukum kontrak Indonesia tujuan normatif
sesungguhnya adalah untuk melindungi
hak dasar manusia yaitu hak hidup,
kebebasan dan milik.
B. Rasio Batal Relatif dan Absolut
suatu Kontrak
Hukum kontrak adalah satu pilar dan
institusi yang tidak dapat dihindari dalam
masyarakat yang dominasinya sangat luas
dan kompleks meliputi segala bidang
(Sharma, 1999: 95). Ia menentukan
bagaimana manusia
mengoperasionalisasikan kebebasannya
untuk melakukan tindakan dan pilihan
mengenai kesejahteraan hidupnya. G.M.
Fuchta berpendapat konsep abstrak
mengenai kebebasan adalah adanya
peluang penentuan nasib sendiri. Manusia
dikonsepkan menjadi subjek hukum
karena ia memiliki peluang menentukan
nasib sendiri yang berarti dia memiliki
kehendak bebas (Kelsen, 2007 : 192).
Kebebasan sebagai kehendak bebas dan
peluang menentukan nasib sendiri terasa
kuat nuansanya dalam membangun
kontrak. Dalam pandangan Thomas
Hobbes kontrak adalah metode di mana
hak-hak dasar dari manusia dapat
dialihkan (Sjahdeini, 1993: 21). Kontrak
itu sendiri pada dasarnya menyangkut
kehendak manusia atas keinginannya
memenuhi kebutuhan hidup (Dunne, 1987:
67). Bagaimana dan tujuan apa yang ingin
diraih dari suatu kontrak menjadi hal
penting berhubungan dengan bagaimana
hak dasar manusia saling berinteraksi satu
sama lainnya. Jadi kontrak pada dasarnya
adalah relasi antar manusia individu
(Lukito, 2013 : 23).
Suatu kontrak mengatur kinerja yang
mengarahkan bukan saja pada gerakan
atau perbuatan fisik, melainkan juga pada
penciptaan atau perubahan kewajiban dan
tugas (Hart, 2010: 27). Pada prinsipnya,
kontrak adalah bentuk pertukaran
(Atiyah, 1981: 12, Asser-Rutten II, 1987
:12, Peter dan Siswosoebroto (ed), 1990:
92, Isnaeni, 2013: 28,). Rasionya beranjak
dari tujuan terjadinya tukar menukar harta
kekayaan yang adil (Hernoko, 2013: 49).
Keadilan dalam suatu kontrak meliputi
proses membuatnya dan tujuan atau isinya.
Apa yang disebutkan terakhir berbicara
tentang keadilan substansial sedang yang
disebutkan lebih awal berbicara keadilan
prosedural dari kontrak. Keadilan
prosedural dan keadilan substansial terkait
dengan fairness yang mengandung arti
harus berproses sekaligus terefleksikan
melalui suatu prosedur yang adil untuk
menjamin hasil yang adil (Rawls, 1999:
58).
Undang-undang menentukan untuk
membangun suatu kontrak haruslah
memenuhi syarat-syarat tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320
KUHPerdata: (a) sepakat (b) cakap (c) hal
tertentu (e) causa yang halal. Dua syarat
yang disebutkan lebih awal mengenai
syarat subjektif, dan dua syarat yang
disebutkan terakhir mengenai syarat
objektif. Syarat subjektif mengandung asas
formal membangun kontrak yang
didalamnya terkandung kebebasan sebagai
hak dasar manusia; sedangkan syarat
objektif mengandung asas materil dari
kontrak mengenai hak milik sebagai jenis
hak dasar manusia lainnya. Ketentuan
syarat kontrak itu pada dasarnya mengatur
prosedur lahirnya kontrak yaitu prosedur
terjadinya kewajiban hukum pada satu sisi
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
163
dan dan perubahan kewajiban hukum pada
sisi lainnya. Dari sini terlihatlah sifat
normatifnya kontrak yang mempunyai
sifat layaknya suatu undang-undang. Hal
ini tegas disebutkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata. Jadi, kontrak sesungguhnya
undang-undang yang dibuat oleh tuna
kuasa yang daya lakunya hanya berlaku
pada lingkaran para pembuatnya.
Kaedah hukum yang termuat pada
Pasal 1320 KUHPerdata adalah perintah
dan larangan. Bentuk perintahnya, untuk
membuat kontrak yang sah harus
memenuhi keempat syarat yang
ditentukan. Larangannya, keempat syarat
tidak boleh dilakukan dengan cara-cara
tidak patut, tidak benar, tidak fair dan
tidak sah. Suatu perintah dan larangan dari
hukum berakar pada kaidah-kaidah yang
menetapkan nilai, yang secara sederhana
disebut mendasarkan diri pada penilaian,
pada keadilan dan ketidakadilan. Dalam
keadilan itulah cita-cita hukum ditemukan
(Syamsudin, 2012: 46).
Penilaian terhadap adil tidaknya suatu
kontrak dibedakan dalam dua sisi.
Pertama, dari sisi bentuk formalnya yaitu
cara melahirkan kontrak atau prosedurnya.
Penilaian atas syarat ini berbicara keadilan
prosedural. Bagaimana cara melahirkan
kontrak yang adil merupakan tuntutan etis
dan hukum dalam membangun suatu
kontrak. Para pihak yang akan
membangun kontrak dituntut untuk
menghormati harkat dan martabat
pasangan kontraknya secara timbal balik.
Bentuk penghormatan itu ditujukan pada
cara penyampaian kehendak (kesepakatan)
dan kondisi kemampuan akal (kecakapan)
dari pelakunya. Penyampaian kehendak
dan kematangan pemikiran merupakan
domain “kebebasan dari” (freedom from).
Artinya pelaku kontrak bebas dari tekanan
dan intervensi pihak lawannya dalam
menyampaikan kehendaknya.
Kedua, dari bentuk materilnya yaitu
sisi substansi (isi) kontrak. Penilaian atas
syarat ini berhubungan merupakan domain
keadilan substansial. Suatu kontrak isinya
haruslah adil dalam hal apa yang
dilakukan dan untuk apa dilakukan. Hal ini
tercermin pada syarat hal tertentu dan
causa yang halal sebagai syarat objektif
dari suatu kontrak. Isi tentang apa yang
dilakukan dan untuk apa dilakukan
merupakan domain “kebebasan untuk”
(freedom to). Artinya kontrak yang
dibangun isinya tidak boleh bertentangan
dengan keadilan hukum, keadilan moral
dan keadilan masyarakat.
“Kebebasan dari” dan “kebebasan
untuk” dari suatu kontrak sebagaimana
yang disebutkan di atas secara normatif
tertuang pada Pasal 1338 KUHPerdata
sebagai asas kebebasan berkontrak yang
mengandung inti setiap orang bebas
membuat kontrak terhadap siapa saja dan
bebas menentukan isinya sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Dari sini
dapat dipahami kebebasan itu bukanlah
kesewenang-wenangan, kebebasan itu
terikat pada asasnya (Scholten, 1992 :
207).
Syarat kesepakatan merupakan jiwa
dari suatu kontrak. Ia dipahami sebagai
kehendak yang akan dilaksanakan,
ditambah dengan menghormati apa yang
diucapkan (Tuduce, 2001: 89). Ia
terjelma pada konsep penawaran (offer)
dan pada konsep penerimaan (acceptance).
Penawaran dapat diterima sebagai suatu
tindakan persetujuan karena mengandung
isi kontrak. Secara tradisional penawaran
memberi dasar hukum untuk membuat
kontrak (O’Gorman, 2013: 1995).
Kontrak lahir dan mengikat dapat
diketahui setelah dinyatakan dalam bentuk
tindakan penerimaan (Mik, 2007: 67).
Suatu kontrak melibatkan kehendak
atau komitmen. Sesuatu baru dianggap
kesepakatan jika dilakukan dengan sengaja
dan penuh pertimbangan. Idealnya, suatu
perbuatan baru dikatakan sebagai
perbuatan kesepakatan apabila wujud
penyampaian niat yang dilakukan dengan
sengaja dan efektif untuk membawa
perubahan dalam situasi normatif orang
tersebut (yaitu hak dan kewajiban).
Perbuatan itu harus dilakukan secara
sukarela, atau dengan dilandasi banyak
informasi. Kesepakatan bisa tegas
(langsung), bisa juga dengan diam-diam
atau tersirat (tak langsung). Kedua-duanya
sama-sama merupakan bentuk kesepakatan
aktual ( Moris, 2004: 467).
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
162
ketat, maka akan hilang makna dari
kebebasan berkontrak itu sendiri
(Soenandar, 2016 : 155). Pernyataan ini
mengandung makna bahwa undang-
undang sebagai sarana perlindungan hak
dasar manusia melalui hukum.
Pasal 1338 KUHPerdata menentukan
suatu kontrak yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya. Kontrak tidak dapat
dibatalkan tanpa persetujuan keduabelah
pihak. Dan kontrak itu harus dilaksanakan
dengan iktikad baik. Pasal ini
mengandung tiga prinsip fundamental
hukum kontrak, yaitu prinsip kebebasan
membuat kontrak, prinsip mengikatnya
suatu kontrak dan prinsip konsensualisme
(Badrulzaman, 2016 : 82-83,
Dirdjosisworo, 2002: 14, Khairandy,
2003: 27). Inti pasal ini mengandung dua
hal utama yaitu: (a) kebebasan kehendak
dan tindakan (b) kebebasan membuat
aturan bagi lingkungan sendiri.
Dari apa yang diuraikan di atas terlihat
hukum kontrak Indonesia tujuan normatif
sesungguhnya adalah untuk melindungi
hak dasar manusia yaitu hak hidup,
kebebasan dan milik.
B. Rasio Batal Relatif dan Absolut
suatu Kontrak
Hukum kontrak adalah satu pilar dan
institusi yang tidak dapat dihindari dalam
masyarakat yang dominasinya sangat luas
dan kompleks meliputi segala bidang
(Sharma, 1999: 95). Ia menentukan
bagaimana manusia
mengoperasionalisasikan kebebasannya
untuk melakukan tindakan dan pilihan
mengenai kesejahteraan hidupnya. G.M.
Fuchta berpendapat konsep abstrak
mengenai kebebasan adalah adanya
peluang penentuan nasib sendiri. Manusia
dikonsepkan menjadi subjek hukum
karena ia memiliki peluang menentukan
nasib sendiri yang berarti dia memiliki
kehendak bebas (Kelsen, 2007 : 192).
Kebebasan sebagai kehendak bebas dan
peluang menentukan nasib sendiri terasa
kuat nuansanya dalam membangun
kontrak. Dalam pandangan Thomas
Hobbes kontrak adalah metode di mana
hak-hak dasar dari manusia dapat
dialihkan (Sjahdeini, 1993: 21). Kontrak
itu sendiri pada dasarnya menyangkut
kehendak manusia atas keinginannya
memenuhi kebutuhan hidup (Dunne, 1987:
67). Bagaimana dan tujuan apa yang ingin
diraih dari suatu kontrak menjadi hal
penting berhubungan dengan bagaimana
hak dasar manusia saling berinteraksi satu
sama lainnya. Jadi kontrak pada dasarnya
adalah relasi antar manusia individu
(Lukito, 2013 : 23).
Suatu kontrak mengatur kinerja yang
mengarahkan bukan saja pada gerakan
atau perbuatan fisik, melainkan juga pada
penciptaan atau perubahan kewajiban dan
tugas (Hart, 2010: 27). Pada prinsipnya,
kontrak adalah bentuk pertukaran
(Atiyah, 1981: 12, Asser-Rutten II, 1987
:12, Peter dan Siswosoebroto (ed), 1990:
92, Isnaeni, 2013: 28,). Rasionya beranjak
dari tujuan terjadinya tukar menukar harta
kekayaan yang adil (Hernoko, 2013: 49).
Keadilan dalam suatu kontrak meliputi
proses membuatnya dan tujuan atau isinya.
Apa yang disebutkan terakhir berbicara
tentang keadilan substansial sedang yang
disebutkan lebih awal berbicara keadilan
prosedural dari kontrak. Keadilan
prosedural dan keadilan substansial terkait
dengan fairness yang mengandung arti
harus berproses sekaligus terefleksikan
melalui suatu prosedur yang adil untuk
menjamin hasil yang adil (Rawls, 1999:
58).
Undang-undang menentukan untuk
membangun suatu kontrak haruslah
memenuhi syarat-syarat tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320
KUHPerdata: (a) sepakat (b) cakap (c) hal
tertentu (e) causa yang halal. Dua syarat
yang disebutkan lebih awal mengenai
syarat subjektif, dan dua syarat yang
disebutkan terakhir mengenai syarat
objektif. Syarat subjektif mengandung asas
formal membangun kontrak yang
didalamnya terkandung kebebasan sebagai
hak dasar manusia; sedangkan syarat
objektif mengandung asas materil dari
kontrak mengenai hak milik sebagai jenis
hak dasar manusia lainnya. Ketentuan
syarat kontrak itu pada dasarnya mengatur
prosedur lahirnya kontrak yaitu prosedur
terjadinya kewajiban hukum pada satu sisi
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
163
dan dan perubahan kewajiban hukum pada
sisi lainnya. Dari sini terlihatlah sifat
normatifnya kontrak yang mempunyai
sifat layaknya suatu undang-undang. Hal
ini tegas disebutkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata. Jadi, kontrak sesungguhnya
undang-undang yang dibuat oleh tuna
kuasa yang daya lakunya hanya berlaku
pada lingkaran para pembuatnya.
Kaedah hukum yang termuat pada
Pasal 1320 KUHPerdata adalah perintah
dan larangan. Bentuk perintahnya, untuk
membuat kontrak yang sah harus
memenuhi keempat syarat yang
ditentukan. Larangannya, keempat syarat
tidak boleh dilakukan dengan cara-cara
tidak patut, tidak benar, tidak fair dan
tidak sah. Suatu perintah dan larangan dari
hukum berakar pada kaidah-kaidah yang
menetapkan nilai, yang secara sederhana
disebut mendasarkan diri pada penilaian,
pada keadilan dan ketidakadilan. Dalam
keadilan itulah cita-cita hukum ditemukan
(Syamsudin, 2012: 46).
Penilaian terhadap adil tidaknya suatu
kontrak dibedakan dalam dua sisi.
Pertama, dari sisi bentuk formalnya yaitu
cara melahirkan kontrak atau prosedurnya.
Penilaian atas syarat ini berbicara keadilan
prosedural. Bagaimana cara melahirkan
kontrak yang adil merupakan tuntutan etis
dan hukum dalam membangun suatu
kontrak. Para pihak yang akan
membangun kontrak dituntut untuk
menghormati harkat dan martabat
pasangan kontraknya secara timbal balik.
Bentuk penghormatan itu ditujukan pada
cara penyampaian kehendak (kesepakatan)
dan kondisi kemampuan akal (kecakapan)
dari pelakunya. Penyampaian kehendak
dan kematangan pemikiran merupakan
domain “kebebasan dari” (freedom from).
Artinya pelaku kontrak bebas dari tekanan
dan intervensi pihak lawannya dalam
menyampaikan kehendaknya.
Kedua, dari bentuk materilnya yaitu
sisi substansi (isi) kontrak. Penilaian atas
syarat ini berhubungan merupakan domain
keadilan substansial. Suatu kontrak isinya
haruslah adil dalam hal apa yang
dilakukan dan untuk apa dilakukan. Hal ini
tercermin pada syarat hal tertentu dan
causa yang halal sebagai syarat objektif
dari suatu kontrak. Isi tentang apa yang
dilakukan dan untuk apa dilakukan
merupakan domain “kebebasan untuk”
(freedom to). Artinya kontrak yang
dibangun isinya tidak boleh bertentangan
dengan keadilan hukum, keadilan moral
dan keadilan masyarakat.
“Kebebasan dari” dan “kebebasan
untuk” dari suatu kontrak sebagaimana
yang disebutkan di atas secara normatif
tertuang pada Pasal 1338 KUHPerdata
sebagai asas kebebasan berkontrak yang
mengandung inti setiap orang bebas
membuat kontrak terhadap siapa saja dan
bebas menentukan isinya sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Dari sini
dapat dipahami kebebasan itu bukanlah
kesewenang-wenangan, kebebasan itu
terikat pada asasnya (Scholten, 1992 :
207).
Syarat kesepakatan merupakan jiwa
dari suatu kontrak. Ia dipahami sebagai
kehendak yang akan dilaksanakan,
ditambah dengan menghormati apa yang
diucapkan (Tuduce, 2001: 89). Ia
terjelma pada konsep penawaran (offer)
dan pada konsep penerimaan (acceptance).
Penawaran dapat diterima sebagai suatu
tindakan persetujuan karena mengandung
isi kontrak. Secara tradisional penawaran
memberi dasar hukum untuk membuat
kontrak (O’Gorman, 2013: 1995).
Kontrak lahir dan mengikat dapat
diketahui setelah dinyatakan dalam bentuk
tindakan penerimaan (Mik, 2007: 67).
Suatu kontrak melibatkan kehendak
atau komitmen. Sesuatu baru dianggap
kesepakatan jika dilakukan dengan sengaja
dan penuh pertimbangan. Idealnya, suatu
perbuatan baru dikatakan sebagai
perbuatan kesepakatan apabila wujud
penyampaian niat yang dilakukan dengan
sengaja dan efektif untuk membawa
perubahan dalam situasi normatif orang
tersebut (yaitu hak dan kewajiban).
Perbuatan itu harus dilakukan secara
sukarela, atau dengan dilandasi banyak
informasi. Kesepakatan bisa tegas
(langsung), bisa juga dengan diam-diam
atau tersirat (tak langsung). Kedua-duanya
sama-sama merupakan bentuk kesepakatan
aktual ( Moris, 2004: 467).
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
164
Kelahiran kesepakatan seyogianya
tidak sekedar adil dan tidak memihak,
tetapi juga harus dilahirkan secara jujur,
sejalan dengan standar-standar prosedur
yang semestinya dan tanpa peduli akan
ras, kelas, agama, politik ataupun status
sosial lainnya. Syarat ini mengatur tentang
bagaimana memperlakukan manusia yang
satu terhadap manusia lainnya dalam
membangun hubungan kontrak. Intinya
kelahiran suatu kontrak haruslah
didasarkan pada kesukarelaan, dan
kesukarelaan itu berhubungan dengan
perbuatan manusiawi (actus humanus).
Johannes Gunawan menerangkan
kesukarelaan hanya mungkin diwujudkan
apabila para pihak memiliki kebebasan
untuk memilih apakah akan mengikatkan
diri ke dalam suatu kontrak atau tidak
(Otoberina dan Savitri, 2008: 261).
Pada kesempatan di atas telah
dinyatakan, para pihak yang membangun
kontrak haruslah menghormati harkat dan
martabat masing-masing pihak secara
timbal balik. Penghormatan itu
diwujudkan pada perbuatan
memperlakukan manusia sebagai manusia,
ia ditampilkan pada saat menyampaikan
kehendak. Undang-undang meminta
kehendak haruslah dinyatakan secara
bebas, sukarela dan melarang kelahirannya
atas dasar paksaan, penipuan dan
kekeliruan. Dalam perkembangan terakhir,
juga tidak boleh dilakukan dengan
menyalahgunaan keadaan (undue
influence, misbruik van omstandigheden)
(Khairandy, 2003: 21).
Kehendak itu sifatnya subjektif, dia
memberi bukti tentang keberadaan
manusia. Manusia hanya dapat bertindak
lepas dari subjektivitasnya apabila ia
melakukan sesuatu di bawah ancaman atau
penyalahgunaan keadaan. Manusia yang
melakukan tindakan atas dasar ancaman, ia
kehilangan kebebasan karena dirampas
oleh ancaman itu dan ini berdampak dia
tidak bebas melakukan pilihan.
Kehendak sebagai bukti keberadaan
manusia dan sifatnya subjektif
berhubungan dengan mengambil
keputusan untuk melakukan pilihan, dan ia
berhubungan dengan akal. Suatu
kesepakatan yang mengandung unsur-
unsur yang disebutkan tadi, kesepakatan
itu dikualifikasi sebagai cacad kehendak.
Perbuatan itu sebagai bentuk serangan
langsung atas kebebasan sebagai hak dasar
manusia tepatnya menyerang harkat dan
martabat manusia. Cacad kehendak juga
dapat terjadi apabila kontrak dilahirkan
oleh orang yang tidak cakap.
Syarat yang melekat pada kesepakatan
adalah kecakapan, tiada sepakat tanpa
kecakapan. Keduanya saling terikat satu
sama lainnya dan pusatnya pada diri
pelaku kontrak. Penetapan tujuan atau isi
kontrak ditentukan oleh kecakapan yang
diungkapkan melalui kehendak, di sini
akal berperan penting dalam mengambil
keputusan untuk melakukan pilihan.
Kehendak adalah kemampuan yang buta
bukan kemampuan untuk mengerti, dan
tidak dapat berbuat kecuali bila diterangi
oleh akal (Poespoprodjo, 1987: 73). Akal
mengusulkan sesuatu yang baik, dan
kehendak mengarah ke hal tersebut.
Pelaku kontrak haruslah benar-benar
memiliki kematangan akal dan kesadaran
yang cukup untuk dapat membedakan
akibat dan manfaat dari dibangunnya
kontrak demi kepentingan dirinya sendiri
dan pihak lawan kontraknya.
Kematangan akal diterjemahkan ke
dalam bahasa tehnis yuridis dengan istilah
kecakapan. Ia sesuatu yang melekat erat
tak terpisahkan dari diri pribadi manusia
dan menunjukkan eksistensi manusia.
Akallah yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Akal sesuatu
yang melekat pada diri manusia dan
berhubungan langsung dengan keberadaan
manusia yaitu kesadaran diri bahwa
dirinya ada, cogito ergo sum demikianlah
Rene Descartes mengatakannya. Akal hal
yang paling penting, yang menjadikan
manusia hidup, bukan hanya tumbuh
secara otomatis seperti sebuah pohon,
namun dapat memenuhi potensinya hanya
bila ia sadar merencanakan dan memilih
(May, 1996: 100). Kemampuan akal itu
hanya ada apabila ada otak. Secara medis,
otak berhubungan dengan hidup manusia.
Janin yang tidak berhasil membentuk otak
dalam dirinya akan mati dengan sendirinya
(Hadiwardoyo, 1990: 25).
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
165
Syarat sepakat dan cakap
sesungguhnya penjabaran dari kebebasan
sebagai hak moral yang
diimplementasikan melalui hukum
menjadi hak hukum. Kebebasan sebagai
hak moral melekat kuat dan tidak dapat
dilepaskan dari diri setiap manusia. Ia
tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
Oleh karena itu, gangguan terhadap
kebebasan seseorang, mutlak menjadi
urusan dan kewenangan pribadi orang
yang bersangkutan, sedangkan hak hukum
dapat dialihkan dan dipertukarkan dari
satu orang kepada orang lainnya.
Sasaran terdalam dari syarat subjektif
kontrak adalah sikap saling hormat
menghormati untuk menghargai sesama
manusia, sikap itu merupakan kewajiban
etis manusia. Kewajiban etis itu
mendorong tindakan manusia kearah suatu
tujuan-tujuan tertentu, yaitu menghormati
dan menghargai sesama manusia sampai
pada memanusiakan manusia sebagai
manusia dalam hidup bersama atau dalam
bahasa lain disebut sebagai humanisasi
hidup. Humanisasi hidup bukan hanya
otoritas moral membicarakannya tetapi
juga merupakan otoritas hukum. Ia
didasarkan pada keberadaan manusia.
Manusia harus diakui dan dihargai
menurut martabat kemanusiaannya
masing-masing, serta harus pula mendapat
kesamaan yang sederajat antara sesamanya
dalam kehidupan bermasyarakat (Santoso,
2012 : 129)
Pembuat undang-undang menentukan
kontrak yang melanggar syarat subjektif
berakibat batal relatif. Syarat tersebut
tujuannya mengakui kedaulatan individu
atau otonomi manusia sebagai makhluk
bebas yang memiliki harkat dan martabat
yang berdaulat atas dirinya sendiri dalam
menikmati hak-haknya. Otonomi individu
tergambar pada kesukarelaannya dalam
mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri. Gangguan terhadap kesukarelaan
sebagai wujud otonomi individu dalam
membuat kontrak mutlak berada pada diri
yang bersangkutan, karena seseorang
memiliki hak atas dirinya sendiri.
Kewenangan atas otonomi individu tidak
dapat diserahkan kepada orang lain, ia
tetap melekat pada setiap orang, pihak lain
harus menghormatinya dan tidak
merusaknya.
Hak otonomi individu perwujudan
bahwa diri adalah milik pribadi individu
bersangkutan terlihat dalam membuat dan
menegakkan kontrak. Dalam kondisi
alamiah, para pihak yang membuat
kontrak harus menetapkan dan
menegakkan sendiri kontrak yang telah
mereka lakukan, yang lebih penting,
mereka tidak tergantung pada jaminan
efektif dari pihak ketiga yang dominan,
Thomas Hobbes mengingatkan, para pihak
yang membuat kontrak tidak tunduk pada
kekuasaan umum (Kronman, 1985: 32).
Dari sini dapat dipahami, kebebasan
sebagai hak dasar manusia tidak dapat
dicampuri oleh negara. Campur tangan
negara, biasanya melalui hakim, dalam
menyelesaikan sengketa kontrak hanya
dapat dibenarkan semata-mata atas
permintaan para pihak yang bersangkutan,
disebabkan yang bersangkutan gagal
menegakannya sendiri kontrak yang telah
mereka bangun.
Perhatian dan penilaian hakim
memeriksa, mengadili dan memutus
sengketa kontrak yang tidak memenuhi
syarat subjektif tertuju pada perlindungan
pada diri pelaku kontraknya dan cara
mereka membangun kontraknya atau
mengenai keadilan proseduralnya. Fokus
perhatiannya terarah pada eksistensi diri
dari pelaku kontrak dari aspek
kemanusiaannya yaitu hak atas diri adalah
milik diri sendiri yang dirusak atau dinodai
oleh pihak lawan kontraknya saat
membangun kontrak. Hakim tidak dapat
melakukan intervensi terlalu jauh dalam
membatalkan kontrak di luar dari apa yang
dimintakan oleh pihak yang bersangkutan,
sebab eksistensi diri adalah hak atas diri
sendiri adalah mutlak pada diri orang
bersangkutan. Manusia berhak penuh atas
dirinya sendiri bukan pada diri orang lain.
Bagaimanapun juga tidak dapat disangkal
kegagalan manusia memenuhi potensi
dirinya (eksitensinya) membuat manusia
itu kehilangan identitas dirinya. Secara
sederhana dapat dikatakan pembatalan
kontrak oleh hakim atas kontrak yang
tidak memenuhi syarat subjektif terpaku
pada faktor diri atau otonomi diri si pelaku
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
164
Kelahiran kesepakatan seyogianya
tidak sekedar adil dan tidak memihak,
tetapi juga harus dilahirkan secara jujur,
sejalan dengan standar-standar prosedur
yang semestinya dan tanpa peduli akan
ras, kelas, agama, politik ataupun status
sosial lainnya. Syarat ini mengatur tentang
bagaimana memperlakukan manusia yang
satu terhadap manusia lainnya dalam
membangun hubungan kontrak. Intinya
kelahiran suatu kontrak haruslah
didasarkan pada kesukarelaan, dan
kesukarelaan itu berhubungan dengan
perbuatan manusiawi (actus humanus).
Johannes Gunawan menerangkan
kesukarelaan hanya mungkin diwujudkan
apabila para pihak memiliki kebebasan
untuk memilih apakah akan mengikatkan
diri ke dalam suatu kontrak atau tidak
(Otoberina dan Savitri, 2008: 261).
Pada kesempatan di atas telah
dinyatakan, para pihak yang membangun
kontrak haruslah menghormati harkat dan
martabat masing-masing pihak secara
timbal balik. Penghormatan itu
diwujudkan pada perbuatan
memperlakukan manusia sebagai manusia,
ia ditampilkan pada saat menyampaikan
kehendak. Undang-undang meminta
kehendak haruslah dinyatakan secara
bebas, sukarela dan melarang kelahirannya
atas dasar paksaan, penipuan dan
kekeliruan. Dalam perkembangan terakhir,
juga tidak boleh dilakukan dengan
menyalahgunaan keadaan (undue
influence, misbruik van omstandigheden)
(Khairandy, 2003: 21).
Kehendak itu sifatnya subjektif, dia
memberi bukti tentang keberadaan
manusia. Manusia hanya dapat bertindak
lepas dari subjektivitasnya apabila ia
melakukan sesuatu di bawah ancaman atau
penyalahgunaan keadaan. Manusia yang
melakukan tindakan atas dasar ancaman, ia
kehilangan kebebasan karena dirampas
oleh ancaman itu dan ini berdampak dia
tidak bebas melakukan pilihan.
Kehendak sebagai bukti keberadaan
manusia dan sifatnya subjektif
berhubungan dengan mengambil
keputusan untuk melakukan pilihan, dan ia
berhubungan dengan akal. Suatu
kesepakatan yang mengandung unsur-
unsur yang disebutkan tadi, kesepakatan
itu dikualifikasi sebagai cacad kehendak.
Perbuatan itu sebagai bentuk serangan
langsung atas kebebasan sebagai hak dasar
manusia tepatnya menyerang harkat dan
martabat manusia. Cacad kehendak juga
dapat terjadi apabila kontrak dilahirkan
oleh orang yang tidak cakap.
Syarat yang melekat pada kesepakatan
adalah kecakapan, tiada sepakat tanpa
kecakapan. Keduanya saling terikat satu
sama lainnya dan pusatnya pada diri
pelaku kontrak. Penetapan tujuan atau isi
kontrak ditentukan oleh kecakapan yang
diungkapkan melalui kehendak, di sini
akal berperan penting dalam mengambil
keputusan untuk melakukan pilihan.
Kehendak adalah kemampuan yang buta
bukan kemampuan untuk mengerti, dan
tidak dapat berbuat kecuali bila diterangi
oleh akal (Poespoprodjo, 1987: 73). Akal
mengusulkan sesuatu yang baik, dan
kehendak mengarah ke hal tersebut.
Pelaku kontrak haruslah benar-benar
memiliki kematangan akal dan kesadaran
yang cukup untuk dapat membedakan
akibat dan manfaat dari dibangunnya
kontrak demi kepentingan dirinya sendiri
dan pihak lawan kontraknya.
Kematangan akal diterjemahkan ke
dalam bahasa tehnis yuridis dengan istilah
kecakapan. Ia sesuatu yang melekat erat
tak terpisahkan dari diri pribadi manusia
dan menunjukkan eksistensi manusia.
Akallah yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Akal sesuatu
yang melekat pada diri manusia dan
berhubungan langsung dengan keberadaan
manusia yaitu kesadaran diri bahwa
dirinya ada, cogito ergo sum demikianlah
Rene Descartes mengatakannya. Akal hal
yang paling penting, yang menjadikan
manusia hidup, bukan hanya tumbuh
secara otomatis seperti sebuah pohon,
namun dapat memenuhi potensinya hanya
bila ia sadar merencanakan dan memilih
(May, 1996: 100). Kemampuan akal itu
hanya ada apabila ada otak. Secara medis,
otak berhubungan dengan hidup manusia.
Janin yang tidak berhasil membentuk otak
dalam dirinya akan mati dengan sendirinya
(Hadiwardoyo, 1990: 25).
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
165
Syarat sepakat dan cakap
sesungguhnya penjabaran dari kebebasan
sebagai hak moral yang
diimplementasikan melalui hukum
menjadi hak hukum. Kebebasan sebagai
hak moral melekat kuat dan tidak dapat
dilepaskan dari diri setiap manusia. Ia
tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
Oleh karena itu, gangguan terhadap
kebebasan seseorang, mutlak menjadi
urusan dan kewenangan pribadi orang
yang bersangkutan, sedangkan hak hukum
dapat dialihkan dan dipertukarkan dari
satu orang kepada orang lainnya.
Sasaran terdalam dari syarat subjektif
kontrak adalah sikap saling hormat
menghormati untuk menghargai sesama
manusia, sikap itu merupakan kewajiban
etis manusia. Kewajiban etis itu
mendorong tindakan manusia kearah suatu
tujuan-tujuan tertentu, yaitu menghormati
dan menghargai sesama manusia sampai
pada memanusiakan manusia sebagai
manusia dalam hidup bersama atau dalam
bahasa lain disebut sebagai humanisasi
hidup. Humanisasi hidup bukan hanya
otoritas moral membicarakannya tetapi
juga merupakan otoritas hukum. Ia
didasarkan pada keberadaan manusia.
Manusia harus diakui dan dihargai
menurut martabat kemanusiaannya
masing-masing, serta harus pula mendapat
kesamaan yang sederajat antara sesamanya
dalam kehidupan bermasyarakat (Santoso,
2012 : 129)
Pembuat undang-undang menentukan
kontrak yang melanggar syarat subjektif
berakibat batal relatif. Syarat tersebut
tujuannya mengakui kedaulatan individu
atau otonomi manusia sebagai makhluk
bebas yang memiliki harkat dan martabat
yang berdaulat atas dirinya sendiri dalam
menikmati hak-haknya. Otonomi individu
tergambar pada kesukarelaannya dalam
mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri. Gangguan terhadap kesukarelaan
sebagai wujud otonomi individu dalam
membuat kontrak mutlak berada pada diri
yang bersangkutan, karena seseorang
memiliki hak atas dirinya sendiri.
Kewenangan atas otonomi individu tidak
dapat diserahkan kepada orang lain, ia
tetap melekat pada setiap orang, pihak lain
harus menghormatinya dan tidak
merusaknya.
Hak otonomi individu perwujudan
bahwa diri adalah milik pribadi individu
bersangkutan terlihat dalam membuat dan
menegakkan kontrak. Dalam kondisi
alamiah, para pihak yang membuat
kontrak harus menetapkan dan
menegakkan sendiri kontrak yang telah
mereka lakukan, yang lebih penting,
mereka tidak tergantung pada jaminan
efektif dari pihak ketiga yang dominan,
Thomas Hobbes mengingatkan, para pihak
yang membuat kontrak tidak tunduk pada
kekuasaan umum (Kronman, 1985: 32).
Dari sini dapat dipahami, kebebasan
sebagai hak dasar manusia tidak dapat
dicampuri oleh negara. Campur tangan
negara, biasanya melalui hakim, dalam
menyelesaikan sengketa kontrak hanya
dapat dibenarkan semata-mata atas
permintaan para pihak yang bersangkutan,
disebabkan yang bersangkutan gagal
menegakannya sendiri kontrak yang telah
mereka bangun.
Perhatian dan penilaian hakim
memeriksa, mengadili dan memutus
sengketa kontrak yang tidak memenuhi
syarat subjektif tertuju pada perlindungan
pada diri pelaku kontraknya dan cara
mereka membangun kontraknya atau
mengenai keadilan proseduralnya. Fokus
perhatiannya terarah pada eksistensi diri
dari pelaku kontrak dari aspek
kemanusiaannya yaitu hak atas diri adalah
milik diri sendiri yang dirusak atau dinodai
oleh pihak lawan kontraknya saat
membangun kontrak. Hakim tidak dapat
melakukan intervensi terlalu jauh dalam
membatalkan kontrak di luar dari apa yang
dimintakan oleh pihak yang bersangkutan,
sebab eksistensi diri adalah hak atas diri
sendiri adalah mutlak pada diri orang
bersangkutan. Manusia berhak penuh atas
dirinya sendiri bukan pada diri orang lain.
Bagaimanapun juga tidak dapat disangkal
kegagalan manusia memenuhi potensi
dirinya (eksitensinya) membuat manusia
itu kehilangan identitas dirinya. Secara
sederhana dapat dikatakan pembatalan
kontrak oleh hakim atas kontrak yang
tidak memenuhi syarat subjektif terpaku
pada faktor diri atau otonomi diri si pelaku
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
166
kontrak. Hakim tidak mempunyai
kewenangan keluar dari lingkaran itu
dalam membatalkan suatu kontrak.
Titik poin hakim membatalkan suatu
kontrak yang tidak memenuhi syarat
subjektif diarahkan perlindungan
“kebebasan dari” si pelaku kontrak. Makna
“kebebasan dari” ialah orang bebas
melakukan tindakan dan pilihan tanpa ada
gangguan, hambatan dan kesesatan yang
dibuat oleh pihak lain. Dalam hal ini yang
dipertaruhkan adalah eksistensi harkat dan
martabat atau kedaulatan individu
seseorang. Penyerangan terhadap
kebebasan itu adalah bentuk eksploitasi
manusia atas manusia. Contoh yang
paling mudah untuk memahaminya
mengenai sepakat yang lahir karena
paksaan. Suatu paksaan menjadikan
seseorang tidak dapat menikmati
kebebasannya dan dirinya dijadikan objek
oleh pihak lain. Di sini kesepakatan yang
lahir atau ia bertindak terlepas dari
subjektivitasnya atau eksistensinya.
Manusia hanya dapat bertindak lepas dari
subjektivitasnya apabila ia melakukan
sesuatu di bawah ancaman
(Hadiwardoyo, 1990; 99). Oleh karena
itu, hakim dalam memberikan putusan
terhadap sengketa kontrak yang tidak
memenuhi syarat subjektif sepenuhnya
terikat pada kehendak dan putusan dari
pelaku kontrak yang ternodai eksistensi
dirinya, dan itu merupakan syarat mutlak
bagi hakim untuk membatalkan kontrak
yang dipersengketakan itu. Seandainyapun
hakim mengetahui ada pelanggaran
terhadap syarat subjektif, ia tidak dapat
memutuskan berdasarkan apa yang
diketahuinya itu tanpa ada permintaan dari
pihak yang merasa terancam atau
terganggu kebebasannya. Jelasnya, hakim
hanya alat membantu bagi pihak untuk
melindungi otonominya yang dirusak oleh
lawan kontraknya dalam suatu kerjasama.
Dalam kerjasama di antara umat
manusialah yang dapat memahami
kemanusiaan (Leback, 2012: 6).
Dalam menyelesaikan sengketa kontrak
yang tidak memenuhi syarat subjektif,
hakim sebagai representasi negara
memiliki hak negatif. Maksudnya hakim
harus menahan diri untuk tidak melakukan
tindakan tertentu terhadap hak-hak sipil
dari pelaku kontrak. Hakim diberi beban
tugas atau kewajiban menghormati hak-
hak sipil dari pelaku kontrak sebagaimana
ditegaskan oleh Pasal 1 KUHPerdata.
Pasal ini berisikan ukuran bagi
keterlibatan negara melalui hakim
terhadap hak sipil sebagai hak kodrati
manusia.
Dari penjelasan di atas dapatlah
diketahui, rasio ditentukannya batal relatif
suatu kontrak tujuannya untuk melindungi
otonomi atau kedaulatan diri dari si pelaku
kontrak, yaitu perlindungan atas
“kebebasan dari” pelaku kontrak dalam
mengekspresikan dirinya dalam suatu
kerjasama yang diserang atau dinodai oleh
pihak lawan kontraknya. Jadi, kontrak
yang dibangun tidak berdasarkan sukarela.
Intinya, ketentuan batal relatif dari kontrak
adalah bentuk proteksi bagi diri pelaku
kontrak.
Inisiatif mempertahankan,
memperjuangkan dan memulihkan
otonomi individu yang diserang atau
diganggu oleh pihak lain dalam suatu
kontrak sepenuhnya tergantung pada yang
bersangkutan bila perlu hakim sebagai
representasi negara. Dalam sengketa
kontrak yang tidak memenuhi syarat
subjektif, keterlibatan hakim mencampuri
hak sipil bersifat pasif. Ia terikat secara
ketat pada kehendak dan apa yang diminta
pihak bersangkutan. Singkatnya, hakim
dalam menyelesaikan sengketa kontrak
yang tidak memenuhi syarat subjektif
memandang kasus yang dihadapinya
sebagai perkara tentang persaingan hak
antara para pelaku kontrak, dimana para
pihak seharusnya pada posisi yang
sederajat dan seimbang; Hakim dalam
memulihkan gangguan tersebut diarahkan
penciptaan kembali kesetaraan para pihak
dalam membangun kontrak yang dirusak
tersebut dengan menerapkan keadilan
protektif.
Bagaimana dengan syarat objektif tidak
dipenuhi? Hal ini terkait dengan
pembahasan syarat hal tertentu dan causa
yang halal dari suatu kontrak. Dua syarat
ini berbicara tentang apa yang
dikerjakannya dan akibat yang diharapkan
dari keberadaan suatu kontrak,
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
167
perbincangannya dalam lingkup kebebasan
manusia yaitu bentuk “kebebasan untuk”.
Kebebasan ini lebih mengarah pada
kehidupan sosial dari pelaku kontrak
sebagai makhluk sosial dan makhluk
posesif. Lingkup penilaiannya berada pada
wilayah keadilan substansial.
Suatu kontrak tidak mempunyai arti
tanpa ada maksud dan tujuan dibangunnya
kontrak oleh para pihak. Maksud dari
suatu kontrak terlihat dari apa yang harus
dilakukan oleh pembuat kontrak dari
dibangunnya suatu kontrak, sedangkan
tujuan suatu kontrak terlihat sasaran yang
dituju dari kontrak. Ada tiga tujuan
kontrak. Pertama, kontrak wajib untuk
dilaksanakan serta memberi perlindungan
terhadap suatu harapan yang wajar. Kedua,
kontrak berupaya mencegah terjadinya
suatu penambahan kekayaan secara tidak
adil. Ketiga, kontrak bertujuan untuk
mencegah terjadinya kerugian tertentu
dalam hubungan kontraktual (Hernoko,
2013 : 44). Dari tiga tujuan kontrak
tersebut dapat diketahui rasio kontrak
adalah pertukaran hak dan kewajiban.
Maksud dan tujuan kontrak
perbincangannya mengenai kejelasan
terhadap “ hal sesuatu” dan terhadap
“pencapaian” kontrak. Perbincangan
kejelasan mengenai hal sesuatu dari
kontrak berbicara objek perjanjian yang
diterjemahkan ke dalam bahasa tehnis
yuridis dengan istilah “hal tertentu” yang
merupakan salah satu syarat objektif
kontrak. Perbincangan kejelasan mengenai
pencapaian kontrak diterjemahkan
kedalam bahasa tehnis yuridis dengan
istilah “causa yang halal”.
Hal tertentu sebagai syarat kontrak
berkenaan dengan “apa yang dilakukan
terhadap apa” yang diterjemahkan
kedalam bahasa teknis yuridis dengan
istilah prestasi. Prestasi itu sendiri adalah
realisasi atas bertemu persesuaian antara
penawaran dan permintaan mengenai
sesuatu hal tertentu atau sekurang-
kurangnya dapat ditentukan. Di situlah
dapat dilihat inti maksud dari kontrak, itu
sesungguhnya berkenaan dengan
mengambil manfaat dari adanya kontrak.
Manfaat yang akan diambil dari kontrak
berhubungan dengan kekayaan (property)
atau masalah ekonomi dalam lingkup
upaya mencapai kesejahteraan hidup baik
pribadi maupun kolektif. Dilihat dari
bentuk prestasi yang ditentukan di dalam
Pasal 1234 KUHPerdata dihubungkan
dengan Pasal 1332 KUHPerdata tentang
barang yang dapat diperdagangkan
menjadi objek kontrak, maka prestasi itu
menyangkut nilai ekonomi.
Semua kegiatan manusia ditujukan
untuk memperoleh hak-hak kekayaan dan
hak-hak pribadi. Hak-hak ini sebagai
poros, pada poros mana berputar seluruh
kehidupan masyarakat (Sujling,1985: 3).
Masalah prestasi berhubungan erat dengan
kepemilikan dan hak milik. Kepemilikan
manusia terkait dengan penciptaan
kemaslahatan umum dan usaha untuk
menghalangi terjadinya kemudaratan
(Abbas, 2008: 12). Hak milik terkait
eksistensi manusia tidak saja sebagai
manusia pribadi tetapi juga bagian dari
masyarakat. Dari aspek kemasyarakatan
hak, hak milik tidaklah mutlak punya
individu tetapi terkandung juga hak
masyarakat atau sosial, dalam hal inilah
hak milik dipahami berfungsi sosial
(Kusuma, 2004: 434).
Hak milik pribadi mempunyai nilai
tambah bila berhubungan dengan
kehidupan orang banyak. Perlindungan
dan pengaturan kepemilikan dan hak milik
oleh negara menjadi penting dalam
menjaga tatanan kehidupan manusia dan
sosial dalam mencapai kesejahteraannya.
Kewajiban negara dalam rangka
melindungi hak ekonomi adalah memberi
pelindungan terhadap kebebasan bertindak
terhadap penggunaan sumber daya dari
subjek-subjek hukum yang lebih agresif,
atau terhadap kepentingan-kepentingan
ekonomi yang lebih berkuasa, dan
menuntut perlindungan hubungan kontrak
yang tidak etis atas produk-produk
berbahaya dan risiko kecurangan pasar
(Kasim dan Arus, 2001: 37).
Dari perbincangan ini dapatlah
dipahami, hal tertentu sebagai salah satu
syarat objektif dari kontrak haruslah
sesuatu berwujud dan mungkin
diwujudkan atau sekurang-kurangnya
dapat ditentukan. Ia haruslah kepunyaan
atau mungkin dipunyai oleh pelaku
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
166
kontrak. Hakim tidak mempunyai
kewenangan keluar dari lingkaran itu
dalam membatalkan suatu kontrak.
Titik poin hakim membatalkan suatu
kontrak yang tidak memenuhi syarat
subjektif diarahkan perlindungan
“kebebasan dari” si pelaku kontrak. Makna
“kebebasan dari” ialah orang bebas
melakukan tindakan dan pilihan tanpa ada
gangguan, hambatan dan kesesatan yang
dibuat oleh pihak lain. Dalam hal ini yang
dipertaruhkan adalah eksistensi harkat dan
martabat atau kedaulatan individu
seseorang. Penyerangan terhadap
kebebasan itu adalah bentuk eksploitasi
manusia atas manusia. Contoh yang
paling mudah untuk memahaminya
mengenai sepakat yang lahir karena
paksaan. Suatu paksaan menjadikan
seseorang tidak dapat menikmati
kebebasannya dan dirinya dijadikan objek
oleh pihak lain. Di sini kesepakatan yang
lahir atau ia bertindak terlepas dari
subjektivitasnya atau eksistensinya.
Manusia hanya dapat bertindak lepas dari
subjektivitasnya apabila ia melakukan
sesuatu di bawah ancaman
(Hadiwardoyo, 1990; 99). Oleh karena
itu, hakim dalam memberikan putusan
terhadap sengketa kontrak yang tidak
memenuhi syarat subjektif sepenuhnya
terikat pada kehendak dan putusan dari
pelaku kontrak yang ternodai eksistensi
dirinya, dan itu merupakan syarat mutlak
bagi hakim untuk membatalkan kontrak
yang dipersengketakan itu. Seandainyapun
hakim mengetahui ada pelanggaran
terhadap syarat subjektif, ia tidak dapat
memutuskan berdasarkan apa yang
diketahuinya itu tanpa ada permintaan dari
pihak yang merasa terancam atau
terganggu kebebasannya. Jelasnya, hakim
hanya alat membantu bagi pihak untuk
melindungi otonominya yang dirusak oleh
lawan kontraknya dalam suatu kerjasama.
Dalam kerjasama di antara umat
manusialah yang dapat memahami
kemanusiaan (Leback, 2012: 6).
Dalam menyelesaikan sengketa kontrak
yang tidak memenuhi syarat subjektif,
hakim sebagai representasi negara
memiliki hak negatif. Maksudnya hakim
harus menahan diri untuk tidak melakukan
tindakan tertentu terhadap hak-hak sipil
dari pelaku kontrak. Hakim diberi beban
tugas atau kewajiban menghormati hak-
hak sipil dari pelaku kontrak sebagaimana
ditegaskan oleh Pasal 1 KUHPerdata.
Pasal ini berisikan ukuran bagi
keterlibatan negara melalui hakim
terhadap hak sipil sebagai hak kodrati
manusia.
Dari penjelasan di atas dapatlah
diketahui, rasio ditentukannya batal relatif
suatu kontrak tujuannya untuk melindungi
otonomi atau kedaulatan diri dari si pelaku
kontrak, yaitu perlindungan atas
“kebebasan dari” pelaku kontrak dalam
mengekspresikan dirinya dalam suatu
kerjasama yang diserang atau dinodai oleh
pihak lawan kontraknya. Jadi, kontrak
yang dibangun tidak berdasarkan sukarela.
Intinya, ketentuan batal relatif dari kontrak
adalah bentuk proteksi bagi diri pelaku
kontrak.
Inisiatif mempertahankan,
memperjuangkan dan memulihkan
otonomi individu yang diserang atau
diganggu oleh pihak lain dalam suatu
kontrak sepenuhnya tergantung pada yang
bersangkutan bila perlu hakim sebagai
representasi negara. Dalam sengketa
kontrak yang tidak memenuhi syarat
subjektif, keterlibatan hakim mencampuri
hak sipil bersifat pasif. Ia terikat secara
ketat pada kehendak dan apa yang diminta
pihak bersangkutan. Singkatnya, hakim
dalam menyelesaikan sengketa kontrak
yang tidak memenuhi syarat subjektif
memandang kasus yang dihadapinya
sebagai perkara tentang persaingan hak
antara para pelaku kontrak, dimana para
pihak seharusnya pada posisi yang
sederajat dan seimbang; Hakim dalam
memulihkan gangguan tersebut diarahkan
penciptaan kembali kesetaraan para pihak
dalam membangun kontrak yang dirusak
tersebut dengan menerapkan keadilan
protektif.
Bagaimana dengan syarat objektif tidak
dipenuhi? Hal ini terkait dengan
pembahasan syarat hal tertentu dan causa
yang halal dari suatu kontrak. Dua syarat
ini berbicara tentang apa yang
dikerjakannya dan akibat yang diharapkan
dari keberadaan suatu kontrak,
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
167
perbincangannya dalam lingkup kebebasan
manusia yaitu bentuk “kebebasan untuk”.
Kebebasan ini lebih mengarah pada
kehidupan sosial dari pelaku kontrak
sebagai makhluk sosial dan makhluk
posesif. Lingkup penilaiannya berada pada
wilayah keadilan substansial.
Suatu kontrak tidak mempunyai arti
tanpa ada maksud dan tujuan dibangunnya
kontrak oleh para pihak. Maksud dari
suatu kontrak terlihat dari apa yang harus
dilakukan oleh pembuat kontrak dari
dibangunnya suatu kontrak, sedangkan
tujuan suatu kontrak terlihat sasaran yang
dituju dari kontrak. Ada tiga tujuan
kontrak. Pertama, kontrak wajib untuk
dilaksanakan serta memberi perlindungan
terhadap suatu harapan yang wajar. Kedua,
kontrak berupaya mencegah terjadinya
suatu penambahan kekayaan secara tidak
adil. Ketiga, kontrak bertujuan untuk
mencegah terjadinya kerugian tertentu
dalam hubungan kontraktual (Hernoko,
2013 : 44). Dari tiga tujuan kontrak
tersebut dapat diketahui rasio kontrak
adalah pertukaran hak dan kewajiban.
Maksud dan tujuan kontrak
perbincangannya mengenai kejelasan
terhadap “ hal sesuatu” dan terhadap
“pencapaian” kontrak. Perbincangan
kejelasan mengenai hal sesuatu dari
kontrak berbicara objek perjanjian yang
diterjemahkan ke dalam bahasa tehnis
yuridis dengan istilah “hal tertentu” yang
merupakan salah satu syarat objektif
kontrak. Perbincangan kejelasan mengenai
pencapaian kontrak diterjemahkan
kedalam bahasa tehnis yuridis dengan
istilah “causa yang halal”.
Hal tertentu sebagai syarat kontrak
berkenaan dengan “apa yang dilakukan
terhadap apa” yang diterjemahkan
kedalam bahasa teknis yuridis dengan
istilah prestasi. Prestasi itu sendiri adalah
realisasi atas bertemu persesuaian antara
penawaran dan permintaan mengenai
sesuatu hal tertentu atau sekurang-
kurangnya dapat ditentukan. Di situlah
dapat dilihat inti maksud dari kontrak, itu
sesungguhnya berkenaan dengan
mengambil manfaat dari adanya kontrak.
Manfaat yang akan diambil dari kontrak
berhubungan dengan kekayaan (property)
atau masalah ekonomi dalam lingkup
upaya mencapai kesejahteraan hidup baik
pribadi maupun kolektif. Dilihat dari
bentuk prestasi yang ditentukan di dalam
Pasal 1234 KUHPerdata dihubungkan
dengan Pasal 1332 KUHPerdata tentang
barang yang dapat diperdagangkan
menjadi objek kontrak, maka prestasi itu
menyangkut nilai ekonomi.
Semua kegiatan manusia ditujukan
untuk memperoleh hak-hak kekayaan dan
hak-hak pribadi. Hak-hak ini sebagai
poros, pada poros mana berputar seluruh
kehidupan masyarakat (Sujling,1985: 3).
Masalah prestasi berhubungan erat dengan
kepemilikan dan hak milik. Kepemilikan
manusia terkait dengan penciptaan
kemaslahatan umum dan usaha untuk
menghalangi terjadinya kemudaratan
(Abbas, 2008: 12). Hak milik terkait
eksistensi manusia tidak saja sebagai
manusia pribadi tetapi juga bagian dari
masyarakat. Dari aspek kemasyarakatan
hak, hak milik tidaklah mutlak punya
individu tetapi terkandung juga hak
masyarakat atau sosial, dalam hal inilah
hak milik dipahami berfungsi sosial
(Kusuma, 2004: 434).
Hak milik pribadi mempunyai nilai
tambah bila berhubungan dengan
kehidupan orang banyak. Perlindungan
dan pengaturan kepemilikan dan hak milik
oleh negara menjadi penting dalam
menjaga tatanan kehidupan manusia dan
sosial dalam mencapai kesejahteraannya.
Kewajiban negara dalam rangka
melindungi hak ekonomi adalah memberi
pelindungan terhadap kebebasan bertindak
terhadap penggunaan sumber daya dari
subjek-subjek hukum yang lebih agresif,
atau terhadap kepentingan-kepentingan
ekonomi yang lebih berkuasa, dan
menuntut perlindungan hubungan kontrak
yang tidak etis atas produk-produk
berbahaya dan risiko kecurangan pasar
(Kasim dan Arus, 2001: 37).
Dari perbincangan ini dapatlah
dipahami, hal tertentu sebagai salah satu
syarat objektif dari kontrak haruslah
sesuatu berwujud dan mungkin
diwujudkan atau sekurang-kurangnya
dapat ditentukan. Ia haruslah kepunyaan
atau mungkin dipunyai oleh pelaku
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
168
kontrak. Artinya hal tertentu itu sesuatu
yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan dan kesejahteraan diri
dari pelaku kontrak, dan ia harus memiliki
hak terhadapnya; jika hal itu tidak
terpenuhi maka kontrak yang dibangun
batal demi hukum, karena kontrak tersebut
sia-sia dan tidak ada manfaatnya bagi
pelaku kontrak. Perlu dipahami tentang
sesuatu berwujud, mungkin diwujudkan
atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan
sebagai objek kontrak hal itu ditujukan
pada konsep benda. Pasal 499
KUHPerdata menegaskan benda adalah
barang atau hak yang dapat dijadikan
objek hak milik. Oleh karena itu, dalam
hukum benda dikenal benda berwujud dan
benda tidak berwujud. Kedua bentuk
benda tersebut dapat dijadikan objek dari
kontrak.
Syarat objektif kontrak lainya adalah
causa yang halal. Syarat ini berisikan
akibat yang disengaja dari ditimbulkan dan
tindakan merealisasikan suatu kontrak,
yaitu apa yang menjadi tujuan mereka,
untuk membedakannya dengan tujuan
subjektif yang dianggap sebagai motif.
Tujuan tersebut adalah causa dalam arti
tehnis yuridis (Satrio, 2001: 60). Van
Brakel menerangkan causa suatu kontrak
ada tujuannya, tetapi karena khawatir,
bahwa ia tergelincir dalam masalah motif
para pihak, maka tujuannya adalah sama
dengan isinya (Satrio, 2001: 61).
Syarat causa yang halal dari suatu
kontrak sesungguhnya berbicara tentang
kepatutan. Kepatutan itu sendiri
merupakan keadilan invidu yang bersifat
kreatif dan fleksibel yang bersifat
menyeluruh terhadap setiap sistem hukum
tertulis. Kepatutan adalah definisi hukum
berdasarkan nilai-nilai absolut atau cita-
cita ukuran didasarkan pada definisi
kekuasaan hukum sebagai ciri hukum
positif. Ia dapat terwujud dalam undang-
undang tetapi juga dapat terwujud dalam
kehidupan masyarakat itu sendiri yakni
dalam norma susila dan ketertiban umum
(Friedmann, 1990: 13). Patut adalah
suatu pengertian yang merujuk kepada
alam kesusilaan dan seketika pula
ditujukan kepada penilaian atas suatu
kejadian baik dalam bentuknya sebagai
perbuatan maupun keadaan (Patrik, 1986:
27, Koesnoe, 1979: 50). Tujuan kepatutan
adalah bagaimana kebebasan individu
diselaraskan pada kehidupan bersama
masyarakat manusia.
Kajian tentang kepatutan merupakan
diskusi mengenai keadilan substansial. Dia
merupakan tolokukurnya keadilan
substansial (Atmadja, 2013: 77).
Keadilan substansial tidak hanya berisi apa
yang benar untuk dilakukan atau tidak
benar untuk dilakukan, namun juga suatu
yang memperbolehkan orang lain
mengklaim dari kita sesuatu sebagai hak
moralnya (Leback, 2012: 21).
Pembicaraan kontrak dari segi keadilan
substansial objek bahasannya adalah syarat
causa yang halal dari kontrak.
Pasal 1337 KUHPerdata ditegaskan
causa yang halal adalah yang tidak
bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Bila
suatu kontrak mengandung causa yang
bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Undang-
undang mementukan kontrak tersebut batal
demi hukum (null and void). Parameter
pertama yang digunakan untuk menilai
suatu causa yang halal dari kontrak adalah
undang-undang, yang disebutkan lebih
awal daripada kesusilaan dan ketertiban
umum.
Penempatan undang-undang pada
urutan pertama dapat dimaklumi, karena
undang-undang dianggap sebagai sumber
utama hukum, di mana semua sumber-
sumber hukum lainnya menjadi
subordinatnya, dan dalam masalah tertentu
sering sekali menjadi satu-satunya sumber
hukum (Cruz, 2010: 63). Ia adalah
pelindung kemanusiaan yang melembaga
dan penganyom yang institusional (Peter
dan Siswosoebroto, 1988: 34). Lebih
khusus John Locke berpendapat hukum
atau undang-undang adalah sarana
terpenting untuk mencapai tujuan mulia
manusia masuk kedalam masyarakat
adalah agar diperoleh jaminan keamanan
untuk menikmati kehidupan dan
kepemilikannya (Leyh, 2014: 19).
Undang-undang di dalamnya mengandung
keadilan hukum, merupakan suasana
objektif yang diciptakan negara. Thomas
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
169
Hobbes dan Jean Jacques Rousseau
mengemukakan ada perbuatan-perbuatan
yang diperintahkan dan yang harus
dilarang oleh negara, karena kehidupan
manusia itu sendiri menuntut hal itu
(Poespoprodjo, 1986: 115). Tuntutan itu
diperlukan dalam hubungan kerjasama
antar sesama manusia.
Dalam undang-undang tersembunyi
ideologi. Ideologi dimaksudkan adalah
keseluruhan nilai-nilai dan kaidah-kaidah
yang membentuk wawasan orang atas
manusia dan masyarakat (Gijssel dan
Hocke, 2001: 110). Nilai sebagai
hubungan antara sesuatu yang khususnya
perilaku manusia, sebagai sarana mencapai
tujuan atas cita-cita tertentu. Nilai-nilai
hidup yang ditanggapi secara rasional,
harus diterima sebagai norma. Tujuannya
boleh objektif atau subjektif. Tujuan
objektif adalah tujuan yang seharusnya
dicapai, yang berarti suatu tujuan yang
telah ditetapkan oleh suatu norma yang
dianggap berlaku objektif, sebuah tujuan
yang ditetapkan bagi alam pada umumnya
dan bagi manusia pada khususnya oleh
kuasa gaib atau kuasa Tuhan. Tujuan
subjektif suatu tujuan yang ditetapkan oleh
manusia itu sendiri sebuah tujuan yang
hendak dicapai. Karena itu nilai yang
selaras dengan tujuan adalah identik
dengan nilai yang selaras dengan sebuah
norma atau dengan nilai yang selaras
dengan suatu keinginan (Kelsen, 2007 :
26). Tujuan-tujuan itu menimbulkan
kewajiban. Orang taat pada undang-
undang atas dasar tuntutan moralnya, bila
tuntutan moral itu tidak dilaksanakannya
negara berhak memaksakannya demi
terciptanya ketertiban dalam pergaulan
hidup masyarakat yang dicita-citakan.
Parameter kedua yang menjadi dasar
menilai keabsahaan causa kontrak adalah
kesusilaan dan ketertiban umum.
Kesusilaan dan ketertiban umum sebagai
kondisi objektif dapat dilihat dari sifat-
sifat yang hidup dalam suatu masyakat
negara, yang juga mempunyai karakter
mewajibkan sebagaimana kewajiban yang
termaut dalam undang-undang. Kesusilaan
merupakan suatu kewajiban moral dalam
bentuk “kau harus”. (Friedmann, 1990:
13). Ia tidak dapat dibentuk oleh negara,
sebaliknya negara mengunakan nilai-nilai
itu yang siap pakai semata-mata dengan
kehidupan masyarakat warganya
(Djojodirdjo, 1979: 44). Kewajiban
manusia yang didasarkan pada nilai
kesusilaan dan nilai ketertiban umum
adalah suatu keharusan alami manusia.
Imanuel Kant menyebutnya imperatif
kategoris, artinya mutlak yakni kewajiban
ini merupakan suatu kewajiban sungguh-
sungguh, bila tidak diikuti orang-orang itu
bersalah. Kewajiban itu dirumuskan
sebagai kau harus! Kata ini mengandung
nilai (Kelsen, 2007 : 60-61).
Kesusilaan dan ketertiban umum
sebagai dasar menilai kepatutan perbuatan
manusia di luar undang-undang dalam
membangun suatu kontrak. Van der
Heijden berpendapat ketertiban umum,
adat istiadat yang baik, kesetiaan dan
kelayakan yang baik, kewajaran moral,
sopan santun sedikit banyaknya selalu
merupakan pedoman dalam pembentukan
hukum perdata (Scheltens, 1984:102).
Kesusilaan dan ketertiban umum sebagai
dasar menilai causa suatu kontrak adalah
bentuk menghidupkan kembali asas-asas
yang dikenal pada abad pertengahan yaitu
aequitas prestationis, ajaran justum
pretium, justum contrapassum (pada
waktu menutup kontrak harus diingat
keadilan yang berlaku (Patrik, 1986: 8).
Dari sini dapatlah dipahami, hukum
kontrak pada dasarnya tidak hanya
bertujuan untuk melindungi perseorangan
saja, tetapi juga bertujuan melindungi
masyarakat pada umumnya.
Ketertiban umum dan kesusilaan
digunakan sebagai asas kerja dalam
perlindungan hak manusia oleh penguasa
atau negara sebagai parameter menilai
hubungan kontrak yang dibuat oleh
warganya manakala terjadi sengketa di
antara mereka. Ketertiban umum dan
kesusilaan sebagai alat kontrol dalam
hubungan kontrak terjadi karena proses
pemasyarakatan, keinginan adanya
keseimbangan antara individu dan
masyarakat tertuju pada kesejahteraan
sosial. Pada tataran itu arti adil dan tidak
adil menjadi penting. Lawrence M.
Friedman berpendapat apa yang adil dan
tidak adil, sangat tergantung pada konsep
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
168
kontrak. Artinya hal tertentu itu sesuatu
yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan dan kesejahteraan diri
dari pelaku kontrak, dan ia harus memiliki
hak terhadapnya; jika hal itu tidak
terpenuhi maka kontrak yang dibangun
batal demi hukum, karena kontrak tersebut
sia-sia dan tidak ada manfaatnya bagi
pelaku kontrak. Perlu dipahami tentang
sesuatu berwujud, mungkin diwujudkan
atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan
sebagai objek kontrak hal itu ditujukan
pada konsep benda. Pasal 499
KUHPerdata menegaskan benda adalah
barang atau hak yang dapat dijadikan
objek hak milik. Oleh karena itu, dalam
hukum benda dikenal benda berwujud dan
benda tidak berwujud. Kedua bentuk
benda tersebut dapat dijadikan objek dari
kontrak.
Syarat objektif kontrak lainya adalah
causa yang halal. Syarat ini berisikan
akibat yang disengaja dari ditimbulkan dan
tindakan merealisasikan suatu kontrak,
yaitu apa yang menjadi tujuan mereka,
untuk membedakannya dengan tujuan
subjektif yang dianggap sebagai motif.
Tujuan tersebut adalah causa dalam arti
tehnis yuridis (Satrio, 2001: 60). Van
Brakel menerangkan causa suatu kontrak
ada tujuannya, tetapi karena khawatir,
bahwa ia tergelincir dalam masalah motif
para pihak, maka tujuannya adalah sama
dengan isinya (Satrio, 2001: 61).
Syarat causa yang halal dari suatu
kontrak sesungguhnya berbicara tentang
kepatutan. Kepatutan itu sendiri
merupakan keadilan invidu yang bersifat
kreatif dan fleksibel yang bersifat
menyeluruh terhadap setiap sistem hukum
tertulis. Kepatutan adalah definisi hukum
berdasarkan nilai-nilai absolut atau cita-
cita ukuran didasarkan pada definisi
kekuasaan hukum sebagai ciri hukum
positif. Ia dapat terwujud dalam undang-
undang tetapi juga dapat terwujud dalam
kehidupan masyarakat itu sendiri yakni
dalam norma susila dan ketertiban umum
(Friedmann, 1990: 13). Patut adalah
suatu pengertian yang merujuk kepada
alam kesusilaan dan seketika pula
ditujukan kepada penilaian atas suatu
kejadian baik dalam bentuknya sebagai
perbuatan maupun keadaan (Patrik, 1986:
27, Koesnoe, 1979: 50). Tujuan kepatutan
adalah bagaimana kebebasan individu
diselaraskan pada kehidupan bersama
masyarakat manusia.
Kajian tentang kepatutan merupakan
diskusi mengenai keadilan substansial. Dia
merupakan tolokukurnya keadilan
substansial (Atmadja, 2013: 77).
Keadilan substansial tidak hanya berisi apa
yang benar untuk dilakukan atau tidak
benar untuk dilakukan, namun juga suatu
yang memperbolehkan orang lain
mengklaim dari kita sesuatu sebagai hak
moralnya (Leback, 2012: 21).
Pembicaraan kontrak dari segi keadilan
substansial objek bahasannya adalah syarat
causa yang halal dari kontrak.
Pasal 1337 KUHPerdata ditegaskan
causa yang halal adalah yang tidak
bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Bila
suatu kontrak mengandung causa yang
bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Undang-
undang mementukan kontrak tersebut batal
demi hukum (null and void). Parameter
pertama yang digunakan untuk menilai
suatu causa yang halal dari kontrak adalah
undang-undang, yang disebutkan lebih
awal daripada kesusilaan dan ketertiban
umum.
Penempatan undang-undang pada
urutan pertama dapat dimaklumi, karena
undang-undang dianggap sebagai sumber
utama hukum, di mana semua sumber-
sumber hukum lainnya menjadi
subordinatnya, dan dalam masalah tertentu
sering sekali menjadi satu-satunya sumber
hukum (Cruz, 2010: 63). Ia adalah
pelindung kemanusiaan yang melembaga
dan penganyom yang institusional (Peter
dan Siswosoebroto, 1988: 34). Lebih
khusus John Locke berpendapat hukum
atau undang-undang adalah sarana
terpenting untuk mencapai tujuan mulia
manusia masuk kedalam masyarakat
adalah agar diperoleh jaminan keamanan
untuk menikmati kehidupan dan
kepemilikannya (Leyh, 2014: 19).
Undang-undang di dalamnya mengandung
keadilan hukum, merupakan suasana
objektif yang diciptakan negara. Thomas
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
169
Hobbes dan Jean Jacques Rousseau
mengemukakan ada perbuatan-perbuatan
yang diperintahkan dan yang harus
dilarang oleh negara, karena kehidupan
manusia itu sendiri menuntut hal itu
(Poespoprodjo, 1986: 115). Tuntutan itu
diperlukan dalam hubungan kerjasama
antar sesama manusia.
Dalam undang-undang tersembunyi
ideologi. Ideologi dimaksudkan adalah
keseluruhan nilai-nilai dan kaidah-kaidah
yang membentuk wawasan orang atas
manusia dan masyarakat (Gijssel dan
Hocke, 2001: 110). Nilai sebagai
hubungan antara sesuatu yang khususnya
perilaku manusia, sebagai sarana mencapai
tujuan atas cita-cita tertentu. Nilai-nilai
hidup yang ditanggapi secara rasional,
harus diterima sebagai norma. Tujuannya
boleh objektif atau subjektif. Tujuan
objektif adalah tujuan yang seharusnya
dicapai, yang berarti suatu tujuan yang
telah ditetapkan oleh suatu norma yang
dianggap berlaku objektif, sebuah tujuan
yang ditetapkan bagi alam pada umumnya
dan bagi manusia pada khususnya oleh
kuasa gaib atau kuasa Tuhan. Tujuan
subjektif suatu tujuan yang ditetapkan oleh
manusia itu sendiri sebuah tujuan yang
hendak dicapai. Karena itu nilai yang
selaras dengan tujuan adalah identik
dengan nilai yang selaras dengan sebuah
norma atau dengan nilai yang selaras
dengan suatu keinginan (Kelsen, 2007 :
26). Tujuan-tujuan itu menimbulkan
kewajiban. Orang taat pada undang-
undang atas dasar tuntutan moralnya, bila
tuntutan moral itu tidak dilaksanakannya
negara berhak memaksakannya demi
terciptanya ketertiban dalam pergaulan
hidup masyarakat yang dicita-citakan.
Parameter kedua yang menjadi dasar
menilai keabsahaan causa kontrak adalah
kesusilaan dan ketertiban umum.
Kesusilaan dan ketertiban umum sebagai
kondisi objektif dapat dilihat dari sifat-
sifat yang hidup dalam suatu masyakat
negara, yang juga mempunyai karakter
mewajibkan sebagaimana kewajiban yang
termaut dalam undang-undang. Kesusilaan
merupakan suatu kewajiban moral dalam
bentuk “kau harus”. (Friedmann, 1990:
13). Ia tidak dapat dibentuk oleh negara,
sebaliknya negara mengunakan nilai-nilai
itu yang siap pakai semata-mata dengan
kehidupan masyarakat warganya
(Djojodirdjo, 1979: 44). Kewajiban
manusia yang didasarkan pada nilai
kesusilaan dan nilai ketertiban umum
adalah suatu keharusan alami manusia.
Imanuel Kant menyebutnya imperatif
kategoris, artinya mutlak yakni kewajiban
ini merupakan suatu kewajiban sungguh-
sungguh, bila tidak diikuti orang-orang itu
bersalah. Kewajiban itu dirumuskan
sebagai kau harus! Kata ini mengandung
nilai (Kelsen, 2007 : 60-61).
Kesusilaan dan ketertiban umum
sebagai dasar menilai kepatutan perbuatan
manusia di luar undang-undang dalam
membangun suatu kontrak. Van der
Heijden berpendapat ketertiban umum,
adat istiadat yang baik, kesetiaan dan
kelayakan yang baik, kewajaran moral,
sopan santun sedikit banyaknya selalu
merupakan pedoman dalam pembentukan
hukum perdata (Scheltens, 1984:102).
Kesusilaan dan ketertiban umum sebagai
dasar menilai causa suatu kontrak adalah
bentuk menghidupkan kembali asas-asas
yang dikenal pada abad pertengahan yaitu
aequitas prestationis, ajaran justum
pretium, justum contrapassum (pada
waktu menutup kontrak harus diingat
keadilan yang berlaku (Patrik, 1986: 8).
Dari sini dapatlah dipahami, hukum
kontrak pada dasarnya tidak hanya
bertujuan untuk melindungi perseorangan
saja, tetapi juga bertujuan melindungi
masyarakat pada umumnya.
Ketertiban umum dan kesusilaan
digunakan sebagai asas kerja dalam
perlindungan hak manusia oleh penguasa
atau negara sebagai parameter menilai
hubungan kontrak yang dibuat oleh
warganya manakala terjadi sengketa di
antara mereka. Ketertiban umum dan
kesusilaan sebagai alat kontrol dalam
hubungan kontrak terjadi karena proses
pemasyarakatan, keinginan adanya
keseimbangan antara individu dan
masyarakat tertuju pada kesejahteraan
sosial. Pada tataran itu arti adil dan tidak
adil menjadi penting. Lawrence M.
Friedman berpendapat apa yang adil dan
tidak adil, sangat tergantung pada konsep
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
170
nilai tertentu dan standar tertentu yang
sifatnya subjektif, baik subjektif
perorangan maupun subjektif kelompok,
suku, umat atau bangsa (Ali, 1996: 233)
Suatu kontrak yang causanya
bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum kesusilaan yang dibuat
oleh pelaku kontrak merupakan perbuatan
mengganggu atau merusak kondisi objektif
kehidupan masyarakat sipil. Keberadaan
kontrak yang mereka buat telah
menggoncangkan tatanan kehidupan
ketertiban masyarakat, dan pelaku kontrak
itu sendiri telah melanggar kewajibannya
menjaga kondisi objektif yang ada di
dalam masyarakat tersebut dimana dia
sendiri terlibat dan merupakan bagian dari
masyarakt itu sendiri. Oleh karenanya,
cukup beralasan kontrak yang dibangun
bertentangan dengan syarat objektif
dikualifikasi batal demi hukum. Batal
absolut suatu kontrak sasarannya tidaklah
semata-mata perlindungan para pihak
tetapi juga demi perlindungan kepentingan
umum dalam rangka kesejahteraan
bersama masyarakat. Maksudnya tidak
lain adalah bagaimana terciptanya
keseimbangan antara individu dan
masyarakat yang teruju pada keadilan
sosial. Prasyarat untuk itu adalah
ketertiban umum. Hak-hak manusia tidak
dapat berkembang dan dinikmati secara
aman tanpa adanya ketertiban umum
(Criddle dan Decent, 2012 : 87).
Undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum sebagai sebab yang
terlarang membuat kontrak berfungsi
sebagai sebagai kontrol bagi seseorang
untuk menikmati dan merealisasikan
kebebasannya dalam hubungan sipil yang
tuna kuasa publik. Pada sisi lain, ketiga hal
tersebut sebagai dasar menentukan hak
negara terhadap pergaulan sipil (swasta)
atau tepatnya dasar keterlibatan negara
mencampuri hak sipil warga
masyarakatnya.
Pelaku kontrak sebagai bagian dan
unsur masyarakat dalam aktivitasnya,
termasuk membuat kontrak, terikat pada
nilai-nilai yang ada dan hidup dalam
masyarakat yang termuat dalam undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Adakalanya kontrak yang dibangun oleh
para pihak, tanpa mereka sadari atau
ketahui, isinya bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan atau
ketertiban umum yang menurut undang-
undang kontrak tersebut batal demi
hukum. Namun kontrak tersebut tetap
diminta dilaksanakan oleh pihak lawan
kontraknya. Pada situasi yang demikian
ini, hakim dalam menangani perkara
tersebut berada pada posisi menyelesaikan
persaingan hak atau konplik hak akibat
dari dilahirkannya kontrak tersebut.
Pada diskursus di atas telah dijelaskan
bahwa undang-undang, kesusilaan dan
keterbiban umum sebagai kondisi objektif
dan dapat dilihat dari sifat-sifat yang hidup
dalam suatu masyarakat negara. Pelaku
kontrak sebagai bagian dari masyarakat
memiliki kewajiban moral dalam bentuk
“kau harus” mentaatinya. Pengingkaran
terhadap kewajibannya itu melalui kontrak
berarti dia telah menggerogoti nilai-nilai
yang hidup sebagai suatu kondisi objektif
yang dibutuhkan oleh suatu tatanan
kehidupan masyarakat. Hal itu tidak dapat
dibiarkan terjadi. Oleh karena itu, hakim
sebagai representasi negara memiliki
kewajiban karena jabatannya dalam
menangani sengketa kontrak yang tidak
memenuhi syarat objektif untuk menjaga
dan melestarikan nilai-nilai masyarakat
tersebut dengan cara memulihkan kembali
goncangan yang ditimbulkan oleh
keberadaan suatu kontrak diberi
kewenangan untuk membatalkan kontrak
meskipun tanpa ada diminta oleh pelaku
kontrak dalam gugatannya. Pada dasarnya
suatu kontrak batal absolut melihat sifat
kemasyarakatan suatu kontrak. Apa yang
disebutkan terakhir ini berhubungan
dengan moral, ekonomis dan budaya
masyarakat di mana kontrak itu diadakan
Pembatalan kontrak yang atas dasar
melanggar syarat objektif, prosesnya
dilakukan dengan mengajukan gugatan
salah satu pihak yang merasa dirugikan,
hal yang sama juga terjadi dalam
melakukan pembatalan kontrak yang tidak
memenuhi syarat subjektif. Namun
pembatalan antara keduanya berbeda dari
sisi perlindungan yang diharapkan dari
kontrak yang mereka bangun. Dalam
sengketa kontrak yang tidak memenuhi
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
171
syarat objektif fungsi gugatan bagi hakim
tidaklah semata-mata memperhatikan
kepentingan para pihak yang bersengketa,
tetapi lebih luas lagi yaitu menjaga dan
memelihara kepentingan hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Jadi, fungsi
gugatan bagi hakim hanya sebagai pintu
masuk untuk menggunakan kewenangan
jabatannya dalam upaya melindungi
kepentingan masyarakat yang telah
dicederai dari keberadaannya suatu
kontrak. Perlindungan ketertiban
masyarakat yang diberikan hakim
sesungguhnya guna pemenuhan hak-hak
warga dalam pembagian resoursis, sumber
daya alam dan ekonomi (Atmadja, 2013:
195).
Hakim dalam menghadapi kasus
sengketa kontrak yang melanggar syarat
objektif memiliki kewajiban hukum untuk
membatalkannya demi terjaganya
ketertiban masyarakat demi kehidupan
hak-hak manusia baik bersifat individu
maupun hak-hak kolektif. Dasar hakim
membatalkan kontrak yang tidak
memenuhi syarat objektif itu tidaklah atas
dasar perlindungan otonomi individu
pelaku kontrak semata-mata melainkan
juga perlindungan warga masyarakat
umum. Artinya dengan keberadaan suatu
kontrak yang dibangun oleh para pihak
yang melanggar syarat objektif, hakim
tidak hanya menilai dan melindungi
kepentingan para pelaku kontrak tetapi
juga kontrak dilihat dari aspek
kemasyarakatannya yakni perlindungan
kepentingan masyarakat. Hakim memiliki
tugas atau kewajiban menjaga dan
melindungi kepentingaan warga
masyarakat agar tidak dirusak atau
diganggu oleh anggota masyarakatnya
melalui kontrak yang mereka buat. Hakim
demi jabatannya berkewajiban untuk
membatalkan suatu kontrak walaupun
seandainya pembatalan itu tidak
dimintakan oleh pelaku kontrak yang
bertikai. Dalam hal ini, hakim tidak
sekedar menerapkan bunyi suatu kontrak
yang merupakan undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya, tetapi hakim
adalah mulut kepatutan, keadilan,
kepentingan umum dan ketertiban umum
(Munif, 2016: 36). Hakim dalam sistem
hukum Indonesia pada dasarnya
mempunyai fungsi membuat hukum baru (
Shidarta, 2013 : 288).
Eugence Ehrlich menerangkan
perlindungan negara melalui alat-alat
pemaksa yang bersifat khusus tidak pernah
esensial walaupun telah ditetapkan.
Lembaga hukum yang esensial adalah
selalu didasarkan pada fakta-fakta hukum
yang menekankan seluruh hukum pada
kebiasaan, kekuasaan, kepemilikan dan
pernyataan-pernyataan kehendak. Karena
iu, ketaatan terhadap hukum adalah bukan
karena adanya norma-norma hukum yang
memaksa, tetapi karena adanya paksaan
sosial (Patrik, 1986: 6). Dalam konteks
hukum kontrak, hakim memiliki
kewenangan untuk mencegah pelanggaran
rasa keadilan masyarakat, keadilan hukum
dan keadilan moral. Hakim harus
mengurangi atau bahkan meniadakan suatu
hak dan kewajiban dari suatu kontrak yang
mengandung ketidakadilan (Munif,
2016: 36). Cicero berpendapat keadilan
merupakan keutamaan moral yang paling
utama atau mahkota kemuliaan semua
moral. Keadilan adalah prinsip yang
memungkinkan masyarakat dan ikatan
bersama dipertahankan. Ketidakadilan
merupakan hal yang fatal bagi kehidupan
sosial dan persahabatan manusia dengan
manusia (Huda, 2016: 30). Disinilah
letak kewenangan hakim dalam
memberikan putusan pembatalan kontrak
yang tidak memenuhi syarat hal tertentu
dan causa yang halal (Badrulzaman,
2016: 81). Kedua syarat tersebut
sesungguhnya memandang pelaku kontrak
adalah bagian dan unsur yang tidak
terlepaskan dari masyarakat itu sendiri
yang memiliki kewajiban untuk menjaga
kehidupan masyarakat dimana dia
merupakan bagiannya. Dalam menikmati
hak-haknya, pelaku kontrak secara
langsung terikat pada nilai-nilai objektif
masyarakat. Artinya, pelaku kontrak dalam
menikmati haknya tidaklah berseberangan
dengan hak-hak masyarakat dimana ia
sendiri adalah bagian dari itu. Tegasnya
keberadaan kontrak dilihat dari sifat
kemasyarakatan dari kontrak itu sendiri.
Dari ketentuan kontrak dibangun tidak
boleh bertentangan dengan undang-
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
170
nilai tertentu dan standar tertentu yang
sifatnya subjektif, baik subjektif
perorangan maupun subjektif kelompok,
suku, umat atau bangsa (Ali, 1996: 233)
Suatu kontrak yang causanya
bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum kesusilaan yang dibuat
oleh pelaku kontrak merupakan perbuatan
mengganggu atau merusak kondisi objektif
kehidupan masyarakat sipil. Keberadaan
kontrak yang mereka buat telah
menggoncangkan tatanan kehidupan
ketertiban masyarakat, dan pelaku kontrak
itu sendiri telah melanggar kewajibannya
menjaga kondisi objektif yang ada di
dalam masyarakat tersebut dimana dia
sendiri terlibat dan merupakan bagian dari
masyarakt itu sendiri. Oleh karenanya,
cukup beralasan kontrak yang dibangun
bertentangan dengan syarat objektif
dikualifikasi batal demi hukum. Batal
absolut suatu kontrak sasarannya tidaklah
semata-mata perlindungan para pihak
tetapi juga demi perlindungan kepentingan
umum dalam rangka kesejahteraan
bersama masyarakat. Maksudnya tidak
lain adalah bagaimana terciptanya
keseimbangan antara individu dan
masyarakat yang teruju pada keadilan
sosial. Prasyarat untuk itu adalah
ketertiban umum. Hak-hak manusia tidak
dapat berkembang dan dinikmati secara
aman tanpa adanya ketertiban umum
(Criddle dan Decent, 2012 : 87).
Undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum sebagai sebab yang
terlarang membuat kontrak berfungsi
sebagai sebagai kontrol bagi seseorang
untuk menikmati dan merealisasikan
kebebasannya dalam hubungan sipil yang
tuna kuasa publik. Pada sisi lain, ketiga hal
tersebut sebagai dasar menentukan hak
negara terhadap pergaulan sipil (swasta)
atau tepatnya dasar keterlibatan negara
mencampuri hak sipil warga
masyarakatnya.
Pelaku kontrak sebagai bagian dan
unsur masyarakat dalam aktivitasnya,
termasuk membuat kontrak, terikat pada
nilai-nilai yang ada dan hidup dalam
masyarakat yang termuat dalam undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Adakalanya kontrak yang dibangun oleh
para pihak, tanpa mereka sadari atau
ketahui, isinya bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan atau
ketertiban umum yang menurut undang-
undang kontrak tersebut batal demi
hukum. Namun kontrak tersebut tetap
diminta dilaksanakan oleh pihak lawan
kontraknya. Pada situasi yang demikian
ini, hakim dalam menangani perkara
tersebut berada pada posisi menyelesaikan
persaingan hak atau konplik hak akibat
dari dilahirkannya kontrak tersebut.
Pada diskursus di atas telah dijelaskan
bahwa undang-undang, kesusilaan dan
keterbiban umum sebagai kondisi objektif
dan dapat dilihat dari sifat-sifat yang hidup
dalam suatu masyarakat negara. Pelaku
kontrak sebagai bagian dari masyarakat
memiliki kewajiban moral dalam bentuk
“kau harus” mentaatinya. Pengingkaran
terhadap kewajibannya itu melalui kontrak
berarti dia telah menggerogoti nilai-nilai
yang hidup sebagai suatu kondisi objektif
yang dibutuhkan oleh suatu tatanan
kehidupan masyarakat. Hal itu tidak dapat
dibiarkan terjadi. Oleh karena itu, hakim
sebagai representasi negara memiliki
kewajiban karena jabatannya dalam
menangani sengketa kontrak yang tidak
memenuhi syarat objektif untuk menjaga
dan melestarikan nilai-nilai masyarakat
tersebut dengan cara memulihkan kembali
goncangan yang ditimbulkan oleh
keberadaan suatu kontrak diberi
kewenangan untuk membatalkan kontrak
meskipun tanpa ada diminta oleh pelaku
kontrak dalam gugatannya. Pada dasarnya
suatu kontrak batal absolut melihat sifat
kemasyarakatan suatu kontrak. Apa yang
disebutkan terakhir ini berhubungan
dengan moral, ekonomis dan budaya
masyarakat di mana kontrak itu diadakan
Pembatalan kontrak yang atas dasar
melanggar syarat objektif, prosesnya
dilakukan dengan mengajukan gugatan
salah satu pihak yang merasa dirugikan,
hal yang sama juga terjadi dalam
melakukan pembatalan kontrak yang tidak
memenuhi syarat subjektif. Namun
pembatalan antara keduanya berbeda dari
sisi perlindungan yang diharapkan dari
kontrak yang mereka bangun. Dalam
sengketa kontrak yang tidak memenuhi
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
171
syarat objektif fungsi gugatan bagi hakim
tidaklah semata-mata memperhatikan
kepentingan para pihak yang bersengketa,
tetapi lebih luas lagi yaitu menjaga dan
memelihara kepentingan hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Jadi, fungsi
gugatan bagi hakim hanya sebagai pintu
masuk untuk menggunakan kewenangan
jabatannya dalam upaya melindungi
kepentingan masyarakat yang telah
dicederai dari keberadaannya suatu
kontrak. Perlindungan ketertiban
masyarakat yang diberikan hakim
sesungguhnya guna pemenuhan hak-hak
warga dalam pembagian resoursis, sumber
daya alam dan ekonomi (Atmadja, 2013:
195).
Hakim dalam menghadapi kasus
sengketa kontrak yang melanggar syarat
objektif memiliki kewajiban hukum untuk
membatalkannya demi terjaganya
ketertiban masyarakat demi kehidupan
hak-hak manusia baik bersifat individu
maupun hak-hak kolektif. Dasar hakim
membatalkan kontrak yang tidak
memenuhi syarat objektif itu tidaklah atas
dasar perlindungan otonomi individu
pelaku kontrak semata-mata melainkan
juga perlindungan warga masyarakat
umum. Artinya dengan keberadaan suatu
kontrak yang dibangun oleh para pihak
yang melanggar syarat objektif, hakim
tidak hanya menilai dan melindungi
kepentingan para pelaku kontrak tetapi
juga kontrak dilihat dari aspek
kemasyarakatannya yakni perlindungan
kepentingan masyarakat. Hakim memiliki
tugas atau kewajiban menjaga dan
melindungi kepentingaan warga
masyarakat agar tidak dirusak atau
diganggu oleh anggota masyarakatnya
melalui kontrak yang mereka buat. Hakim
demi jabatannya berkewajiban untuk
membatalkan suatu kontrak walaupun
seandainya pembatalan itu tidak
dimintakan oleh pelaku kontrak yang
bertikai. Dalam hal ini, hakim tidak
sekedar menerapkan bunyi suatu kontrak
yang merupakan undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya, tetapi hakim
adalah mulut kepatutan, keadilan,
kepentingan umum dan ketertiban umum
(Munif, 2016: 36). Hakim dalam sistem
hukum Indonesia pada dasarnya
mempunyai fungsi membuat hukum baru (
Shidarta, 2013 : 288).
Eugence Ehrlich menerangkan
perlindungan negara melalui alat-alat
pemaksa yang bersifat khusus tidak pernah
esensial walaupun telah ditetapkan.
Lembaga hukum yang esensial adalah
selalu didasarkan pada fakta-fakta hukum
yang menekankan seluruh hukum pada
kebiasaan, kekuasaan, kepemilikan dan
pernyataan-pernyataan kehendak. Karena
iu, ketaatan terhadap hukum adalah bukan
karena adanya norma-norma hukum yang
memaksa, tetapi karena adanya paksaan
sosial (Patrik, 1986: 6). Dalam konteks
hukum kontrak, hakim memiliki
kewenangan untuk mencegah pelanggaran
rasa keadilan masyarakat, keadilan hukum
dan keadilan moral. Hakim harus
mengurangi atau bahkan meniadakan suatu
hak dan kewajiban dari suatu kontrak yang
mengandung ketidakadilan (Munif,
2016: 36). Cicero berpendapat keadilan
merupakan keutamaan moral yang paling
utama atau mahkota kemuliaan semua
moral. Keadilan adalah prinsip yang
memungkinkan masyarakat dan ikatan
bersama dipertahankan. Ketidakadilan
merupakan hal yang fatal bagi kehidupan
sosial dan persahabatan manusia dengan
manusia (Huda, 2016: 30). Disinilah
letak kewenangan hakim dalam
memberikan putusan pembatalan kontrak
yang tidak memenuhi syarat hal tertentu
dan causa yang halal (Badrulzaman,
2016: 81). Kedua syarat tersebut
sesungguhnya memandang pelaku kontrak
adalah bagian dan unsur yang tidak
terlepaskan dari masyarakat itu sendiri
yang memiliki kewajiban untuk menjaga
kehidupan masyarakat dimana dia
merupakan bagiannya. Dalam menikmati
hak-haknya, pelaku kontrak secara
langsung terikat pada nilai-nilai objektif
masyarakat. Artinya, pelaku kontrak dalam
menikmati haknya tidaklah berseberangan
dengan hak-hak masyarakat dimana ia
sendiri adalah bagian dari itu. Tegasnya
keberadaan kontrak dilihat dari sifat
kemasyarakatan dari kontrak itu sendiri.
Dari ketentuan kontrak dibangun tidak
boleh bertentangan dengan undang-
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
172
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum
memberi arti hakim memiliki hak positif
dalam memeriksa sengketa kontrak yang
tidak memenuhi syarat objektif.
Maksudnya berdasarkan jabatannya hakim
dapat mengambil langkah-langkah yang
perlu membatalkan kontrak atas
inisiatifnya sendiri, tanpa harus terikat
pada apa yang diminta oleh para pihak
dalam gugatannya. Hakim dengan hak
positif terhadap hak sipil yang dimilikinya
adalah berperan untuk mengkontrol
pelaksanaan “kebebasan untuk” dari
pelaku kontrak dalam upaya mengambil
manfaat dari kontrak yang mereka bangun
agar tidak merusak tatanan nilai-nilai
objektif kehidupan masyarakat. Keadilan
yang diberikan hakim dalam
menyelesaikan sengketa kontrak ini terkait
dengan keadilan distributif.
Akhirnya dapatlah dikemukakan rasio
dari diadakannya pembatalan absolut dari
suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat
objektif tujuannya menjaga pemanfaatan
resoursis, sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi agar tidak menimbulkan
kemudaratan bagi pelaku kontrak dan
kemudaratan umum atau sosial. Dalam hal
itu, negara melalui hakim mempunyai
kewenangan terhadap pendistribusian yang
adil atas sumber daya alam dan ekonomi
agar tercipta kemaslahatan semua pihak
yang terlibat dalam suatu kontrak pada
satu sisi dan kontrak itu tidak menodai
kemaslahatan umum pada sisi lainnya.
Dalam hal ini, kontrak dipandang dari sifat
kemasyarakatannya tidak semata-mata dari
sifat perorangannya. Bagaimanapun tidak
dapat dielakkan kalau moral umum tidak
ada, maka persekutuan hidup akan binasa;
kalau moral pribadi tidak ada, maka
persekutuan hidup tidak akan ada
harganya.
Dari penjelasan tentang syarat batal
relatif dan absolut dari suatu kontrak yang
termuat di dalam ketentuan undang-
undang sesungguhnya pembuat undang-
undang dalam hukum kontrak
mengimlementasikan hak moral menjadi
hak hukum. Tujuannya agar para pihak
yang terlibat dalam suatu kontrak tidak
bertindak liar melanggar hak-hak atau
martabat orang lain, sekaligus juga
memberikan kepastian agar para pihak
yang membuat kontrak harus memenuhi
kontrak yang dibangunnya sesuai dengan
apa yang dimintkan oleh undang-undang.
KESIMPULAN
Pertama, hukum kontrak Indonesia
secara normatif bertujuan memberi
perlindungan terhadap hak dasar manusia
yaitu hak hidup, kebebasan dan milik
sebagai hak alamiah.
Kedua, rasio diadakannya pembedaan
batal relatif dan batal absolut dari suatu
kontrak dalam hukum kontrak Indonesia
adalah untuk menentukan kewenangan
hakim dalam menyelesaikan sengketa
kontrak dalam rangka melindungi hak
dasar manusia. Dalam sengketa batal
relative suatu kontrak ditujukan untuk
melindungi “kebebasan dari” (freedom
from) sebagai hak dasar manusia dari
pelaku kontrak. Hakim dalam mengadili
sengketa kontrak ditujukan untuk
melindungi, menghormati atau
memproteksi eksistensi diri atau
kedaulatan individu pelaku kontrak
dengan menerapkan keadilan prosedural
yaitu keadilan protektif. Posisi hakim
dalam hal ini bersifat pasif dengan hak
negatif dan tidak dapat keluar
menyimpang dari apa yang dimintakan
atau kehendak dari para pihak yang
bersengketa. Dalam hal ini kontrak
dipandang dari sisi diri (kedaulatan)
pribadi pembuat kontrak dan sengketa
kontrak dipandang sebagai persaingan hak.
Berbeda dengan ratio batal absolut suatu
kontrak bertujuan untuk melindungi
“kebebasan untuk” (freedom to) sebagai
hak dasar manusia dari pelaku kontrak.
Hakim dalam mengadili sengketa kontrak
ditujukan untuk melindungi resoursis,
kekayaan, sumber daya alam atau ekonomi
sebagai kebutuhan semua orang dengan
menerapkan keadilan substansial yaitu
keadilan distributif. Posisi hakim sebagai
represetasi negara dalam menyelesaikan
sengketa batal absolut suatu kontrak
bersifat aktif dengan hak positif terhadap
hak dasar manusia. Hakim diberi
kewenangan untuk menyimpang dari
kehendak para pihak dari pelaku kontrak
dengan memperhatikan keseimbangan
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
173
kepentingan pelaku kontrak dengan
kepentingan masyarakat umum. Dalam hal
ini kontrak dipandang dari sisi
kemasyarakatannya atau dari fungsi
sosialnya kontrak dimana sengketa kontrak
sebagai benturan (konplik) hak.
SARAN
Dalam artikel ini diajukan saran agar
ketentuan batal absolut dan batal relatif
yang diatur di dalam hukum kontrak
Indonesia harus tetap dipertahankan
apabila akan dilakukan pembaharuan
hukum perdata Indonesia oleh lembaga
legislatif. Hakim dalam menyelesaikan
sengkata kontrak hendaknya melihat
sengketa kontrak adalah sengketa terkait
dengan hak dasar manusia yang harus
dihormati dan dilindungi. Dalam
menyelesaikan sengketa kontrak tentang
batal relatif suatu kontrak, hakim harus
memperhatikan eksistensi atau kedaulatan
diri pelaku kontrak tidak boleh dinodai
oleh salah satu pihak dari pelaku kontrak
dengan menerapkan keadilan korektif,
sedangkan terhadap sengketa batal absolut
dari suatu kontrak, hakim sebagai
representasi negara hendaknya menilai
kontrak dari sisi kemasyarakatannya tidak
semata-mata dari sisi kepentingan pelaku
kontrak dengan menerapkan keadilan
distributif.
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
172
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum
memberi arti hakim memiliki hak positif
dalam memeriksa sengketa kontrak yang
tidak memenuhi syarat objektif.
Maksudnya berdasarkan jabatannya hakim
dapat mengambil langkah-langkah yang
perlu membatalkan kontrak atas
inisiatifnya sendiri, tanpa harus terikat
pada apa yang diminta oleh para pihak
dalam gugatannya. Hakim dengan hak
positif terhadap hak sipil yang dimilikinya
adalah berperan untuk mengkontrol
pelaksanaan “kebebasan untuk” dari
pelaku kontrak dalam upaya mengambil
manfaat dari kontrak yang mereka bangun
agar tidak merusak tatanan nilai-nilai
objektif kehidupan masyarakat. Keadilan
yang diberikan hakim dalam
menyelesaikan sengketa kontrak ini terkait
dengan keadilan distributif.
Akhirnya dapatlah dikemukakan rasio
dari diadakannya pembatalan absolut dari
suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat
objektif tujuannya menjaga pemanfaatan
resoursis, sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi agar tidak menimbulkan
kemudaratan bagi pelaku kontrak dan
kemudaratan umum atau sosial. Dalam hal
itu, negara melalui hakim mempunyai
kewenangan terhadap pendistribusian yang
adil atas sumber daya alam dan ekonomi
agar tercipta kemaslahatan semua pihak
yang terlibat dalam suatu kontrak pada
satu sisi dan kontrak itu tidak menodai
kemaslahatan umum pada sisi lainnya.
Dalam hal ini, kontrak dipandang dari sifat
kemasyarakatannya tidak semata-mata dari
sifat perorangannya. Bagaimanapun tidak
dapat dielakkan kalau moral umum tidak
ada, maka persekutuan hidup akan binasa;
kalau moral pribadi tidak ada, maka
persekutuan hidup tidak akan ada
harganya.
Dari penjelasan tentang syarat batal
relatif dan absolut dari suatu kontrak yang
termuat di dalam ketentuan undang-
undang sesungguhnya pembuat undang-
undang dalam hukum kontrak
mengimlementasikan hak moral menjadi
hak hukum. Tujuannya agar para pihak
yang terlibat dalam suatu kontrak tidak
bertindak liar melanggar hak-hak atau
martabat orang lain, sekaligus juga
memberikan kepastian agar para pihak
yang membuat kontrak harus memenuhi
kontrak yang dibangunnya sesuai dengan
apa yang dimintkan oleh undang-undang.
KESIMPULAN
Pertama, hukum kontrak Indonesia
secara normatif bertujuan memberi
perlindungan terhadap hak dasar manusia
yaitu hak hidup, kebebasan dan milik
sebagai hak alamiah.
Kedua, rasio diadakannya pembedaan
batal relatif dan batal absolut dari suatu
kontrak dalam hukum kontrak Indonesia
adalah untuk menentukan kewenangan
hakim dalam menyelesaikan sengketa
kontrak dalam rangka melindungi hak
dasar manusia. Dalam sengketa batal
relative suatu kontrak ditujukan untuk
melindungi “kebebasan dari” (freedom
from) sebagai hak dasar manusia dari
pelaku kontrak. Hakim dalam mengadili
sengketa kontrak ditujukan untuk
melindungi, menghormati atau
memproteksi eksistensi diri atau
kedaulatan individu pelaku kontrak
dengan menerapkan keadilan prosedural
yaitu keadilan protektif. Posisi hakim
dalam hal ini bersifat pasif dengan hak
negatif dan tidak dapat keluar
menyimpang dari apa yang dimintakan
atau kehendak dari para pihak yang
bersengketa. Dalam hal ini kontrak
dipandang dari sisi diri (kedaulatan)
pribadi pembuat kontrak dan sengketa
kontrak dipandang sebagai persaingan hak.
Berbeda dengan ratio batal absolut suatu
kontrak bertujuan untuk melindungi
“kebebasan untuk” (freedom to) sebagai
hak dasar manusia dari pelaku kontrak.
Hakim dalam mengadili sengketa kontrak
ditujukan untuk melindungi resoursis,
kekayaan, sumber daya alam atau ekonomi
sebagai kebutuhan semua orang dengan
menerapkan keadilan substansial yaitu
keadilan distributif. Posisi hakim sebagai
represetasi negara dalam menyelesaikan
sengketa batal absolut suatu kontrak
bersifat aktif dengan hak positif terhadap
hak dasar manusia. Hakim diberi
kewenangan untuk menyimpang dari
kehendak para pihak dari pelaku kontrak
dengan memperhatikan keseimbangan
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
173
kepentingan pelaku kontrak dengan
kepentingan masyarakat umum. Dalam hal
ini kontrak dipandang dari sisi
kemasyarakatannya atau dari fungsi
sosialnya kontrak dimana sengketa kontrak
sebagai benturan (konplik) hak.
SARAN
Dalam artikel ini diajukan saran agar
ketentuan batal absolut dan batal relatif
yang diatur di dalam hukum kontrak
Indonesia harus tetap dipertahankan
apabila akan dilakukan pembaharuan
hukum perdata Indonesia oleh lembaga
legislatif. Hakim dalam menyelesaikan
sengkata kontrak hendaknya melihat
sengketa kontrak adalah sengketa terkait
dengan hak dasar manusia yang harus
dihormati dan dilindungi. Dalam
menyelesaikan sengketa kontrak tentang
batal relatif suatu kontrak, hakim harus
memperhatikan eksistensi atau kedaulatan
diri pelaku kontrak tidak boleh dinodai
oleh salah satu pihak dari pelaku kontrak
dengan menerapkan keadilan korektif,
sedangkan terhadap sengketa batal absolut
dari suatu kontrak, hakim sebagai
representasi negara hendaknya menilai
kontrak dari sisi kemasyarakatannya tidak
semata-mata dari sisi kepentingan pelaku
kontrak dengan menerapkan keadilan
distributif.
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
174
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BUKU
Abbas. Anwar, Bung Hatta dan Ekonomi
Islam, Pergulatan Menangkap Makna
Keadilan dan Kesejahteraan, Jakarta:
Multi Pressindo berkerjasama dengan
LP3M STRIE Ahmad Dahlan, 2008.
Ali. Achmad, Menguak Tabir Hukum
(Suatu Kajian Filosofi dan Sosiologis),
Jakarta: Chandra Pratama, 1996.
Armanto. Ade, dkk. Ensiklopedi Islam
Untuk Pelajar, Jilid 4, Jakarta: Ichtiar
van Hoeve, 2001.
Aron. Raymond, Kebebasan dan Martabat
Manusia, terjemahan Rahanyu
S.Hidayat, dkk, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993.
Asser-Rutten II, Algemeneleer der
Overeenkomsten, terjemahan Lyly
Niwan, Medan : FH USU, 1987.
Atiyah. P.S, Promises, Moral and Law,
Claredon Press, Oxford, 1981.
Atmaja. I Dewa Gede, Filsafat Hukum
Dimensi Tematis & Historis, Setara
Press, Malang, 2013.
Badrulzaman. Mariam Darus, Kompilasi
Hukum Perikatan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2016.
Billah. Mohd. Ma’sum, Islamic E-
Commerce Terapan Tinjauan Hukum
dan Praktik, terjemahan Ahmad
Dumyathi Bashori, Petaling Jaya,
Selangor, Malaysia: Sweet & Maxwell
Asia, 2010.
Cavoukian. Ann, Privacy as a
Fundamental Human Rights vs an
Economic Rights: An Attempt at
Conciliation, Toronto: Information and
Privacy Commissioner, 1999.
Cruze. Peter de, Perbandingan Sistem
Hukum Common Law, Civil Law dan
Sosialist Law, terjemahan Narulita
Yusron, Bandung: Nusa Media
bekerjasama dengan Jakarta: Diadit
Media, 2010.
Darmodirjo. Darji dan Shidarta,
Penjabaran Nilai-nilai Pancasila,
Jakarta: Radjawali Press, 1996.
Dirdjosisworo. Soedjono, Misteri dibalik
Kontrak Bermasalah, Bandung:
Mandar Maju, 2002.
Djojodirdjo. A.Moegni, Perbuatan
Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1979.
Friedmann .W, Teori & Filsafat Huum
Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum,
Susunan I, terjemahan Muhammad
Arifin, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Glenn. H. Patrick, Legal Traditions of The
World Sustainble Diversity in Law,
Oxpord: Oxpord University Press,
2000.
Gould. Carol C, Demokrasi Ditinjau
Kembali, terjemahan Samodra
Wibowo, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1993.
Hadiwardoyo. Purwa, Moral dan
Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius,
1990.
Hart. H.L, The Concept of Law,
terjemahan M. Kozhim, Bandung:
Nusamedia, 2010.
Hernoko. Agus Yudha, Penyelesaian
Sengketa Kontrak Berdasarkan Asas
Proporsionalitas, Yogyakarta:
Laksbang Grafika, 2013.
Huda. Mokhamad Khoirul, Prinsip Iktikad
Baik Dalam Kontrak Asuransi Jiwa,
Yogyakarta: FH UII Press, 2016.
Huijbers. Theo, Filsafat Hukum,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Isnaeni. Moch, Perkembangan Huum
Perdata di Indonesia, Yogyakarta:
Laksbang Grafika, 2013.
Jue. R.J, Rechtsnormenleer, terjemahan B.
Arief Sidharta, Bandung: Labolatorium
Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, 2004.
Kasim. Ifdal dan Johannes da Masenus
Arus, Hak Ekonomi, Sosial, Budaa dan
Esai-essai Pilihan, terjemahan Elsam,
Jakarta: Elsam, 2001.
Kelsen. Hans, Teori Hukum Murni, Dasar
Dasar Ilmu Hukum Normatif,
terjamahan Raisul Muttaqim, Bandung:
Nusamedia dan Nuansa, 2007.
Khairandy. Ridwan, Iktikad Baik Dalam
Kebebasan Berkontrak, Jakarta:
Universitas Indonesia, Fakultas Hukum
Pascasarjana, 2003.
Koesnoe. Mohd, Catatan-catatan
Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,
Surabaya: Airlangga University Press,
1979.
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
175
Kusuma. A.B, Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945, Memuat Salinan Dokumen
Otentik Badan Oentoek Menyelidiki
Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan,
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004.
Kusumohamidjojo. Budiono, Filsafat
Hukum Problematik Ketertiban Yang
Adil, Jakarta: Gramedia Widiasarana,
2004.
Leback, Karen, Six Theories of Justice,
terjemahan Yudi Santosos, Bandung:
Nusa Media, 2012.
Leyh. Gregory, Hermeneutika Hukum
Sejarah, Teori dan Praktik, terjemahan
M.Khozin, Cetakan III, Bandung: Nusa
Media, 2014.
Lukito. Ratno, Tradisi Hukum Indonesia,
Cianjur: IMR Press, 2013.
Mak. Chantal, Fundamental Rights in
Europen Contract Law, Kluwer Law
Internasional, 2007.
Marzuki. Peter Mahmud, Pengantar Ilmu
Hukum, Jakarta: Kencana Prenada,
2009.
May. Rollo, Manusia Mencari Dirinya,
terjemahan Eunice Santoro, Jakarta:
Mitra Utama, 1996.
Mik. Eliza, Contract Formation in Open
Electronic Networks, Singapore:
Singapore Management University,
2007.
Moris. Christopher W, “Negara Modern”
dalam Gerald E.Gaus dan Chandran
Kukathas, Handbook of Political
Theory, terjemahan Derta Sri
Widowsatie, London : SAGE
Publications, 2004, h. 467.
Munif. Abdul, Perikatan Bersyarat Batal,
Yogyakarta: FH UII Press, 2016.
Patrik. Purwahid, Asas Iktikad Baik dan
Kepatutan Dalam Perjanjian,
Semarang: FH Undip, 1986.
Peters. A.A. G. dan Koesriani
Siswodoebroto (ed), Hukum dan
Perkembangan Sosial Buku Teks
Sosiologi Hukum, Buku III, Jakarta:
Sinar Harapan, 1990.
Peters. A.A. G. dan Koesriani
Siswodoebroto (ed), Hukum dan
Perkembangan Sosial Buku Teks
Sosiologi Hukum, Buku I, Jakarta:
Sinar Harapan, 1988.
Pitlo. A, Hukum Waris Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, jilid
I, terjemahan M. Isa Arief, Jakarta:
Intermasa, 1979.
Poespoprodjo. W, Filsafat Moral,
Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja Karya, 1986.
Prodjodikoro. Wirjono, Asas-asas Hukum
Kontrak, Cetakan VIII, Bandung:
Mandar Maju, 2000.
Rawls. John, A Theory of Justice,
Massachusetts: The Belknap of
Harvard University Press, 1999.
Satrio. J, Hukum Perikatan, Perikatan
Yang Lahir Dari Perjanjian Buku II,
Bandung: Citra Aditya, 2001.
Santoso. H.M. Agus, Moral & Keadilan
Sebuah Kajian Filsafat Hukum,
Jakarta: 2012.
Scheltens. D.F, Pengantar Filsafat
Hukum, terjemahan Bakri Siregar,
Jakarta: Erlangga, 1984.
Scholten. Paul, Mr. C. Accer Penuntun
dalam Mempelajari Hukum Perdata
Belanda, Bagian Umum, terjemahan
Siti Soemarti Hartono, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1993.
Shidarta, Hukum Penalaran dan
Penalaran Hukum, Yogyakarta : Genta
Publishing, 2013.
Suijling. J.PH, Hak-hak Subjektif Dalam
Hukum Perdata dan Hukum Publik
Positif, terjemahan R. Hoesein
Soemadiredja, Bandung: Armico, 1985.
Syahdeini. Sutan Remy, Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak dalam
Kontrak Kredit Bank Indonesia,
Jakarta: Institut Bankir Indonesia,
1993.
Syamsudin. M, Budaya Hukum Hakim
Berbasis Hukum Progresif, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012.
Soenandar. Taryana, Tinjauan Atas
Beberapa Aspek Hukum dari Prinsip-
prinsip UNIDROIT dan CISG,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016.
Otoberina. Sri Rayahu dan Niken Savitri,
Butir-butir Pemikiran dalam Hukum
Memperingati 70 tahun Prof.Dr. Arief
Sidharta, SH, Bandung: Rieka
Aditama, 2008.
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
174
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BUKU
Abbas. Anwar, Bung Hatta dan Ekonomi
Islam, Pergulatan Menangkap Makna
Keadilan dan Kesejahteraan, Jakarta:
Multi Pressindo berkerjasama dengan
LP3M STRIE Ahmad Dahlan, 2008.
Ali. Achmad, Menguak Tabir Hukum
(Suatu Kajian Filosofi dan Sosiologis),
Jakarta: Chandra Pratama, 1996.
Armanto. Ade, dkk. Ensiklopedi Islam
Untuk Pelajar, Jilid 4, Jakarta: Ichtiar
van Hoeve, 2001.
Aron. Raymond, Kebebasan dan Martabat
Manusia, terjemahan Rahanyu
S.Hidayat, dkk, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993.
Asser-Rutten II, Algemeneleer der
Overeenkomsten, terjemahan Lyly
Niwan, Medan : FH USU, 1987.
Atiyah. P.S, Promises, Moral and Law,
Claredon Press, Oxford, 1981.
Atmaja. I Dewa Gede, Filsafat Hukum
Dimensi Tematis & Historis, Setara
Press, Malang, 2013.
Badrulzaman. Mariam Darus, Kompilasi
Hukum Perikatan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2016.
Billah. Mohd. Ma’sum, Islamic E-
Commerce Terapan Tinjauan Hukum
dan Praktik, terjemahan Ahmad
Dumyathi Bashori, Petaling Jaya,
Selangor, Malaysia: Sweet & Maxwell
Asia, 2010.
Cavoukian. Ann, Privacy as a
Fundamental Human Rights vs an
Economic Rights: An Attempt at
Conciliation, Toronto: Information and
Privacy Commissioner, 1999.
Cruze. Peter de, Perbandingan Sistem
Hukum Common Law, Civil Law dan
Sosialist Law, terjemahan Narulita
Yusron, Bandung: Nusa Media
bekerjasama dengan Jakarta: Diadit
Media, 2010.
Darmodirjo. Darji dan Shidarta,
Penjabaran Nilai-nilai Pancasila,
Jakarta: Radjawali Press, 1996.
Dirdjosisworo. Soedjono, Misteri dibalik
Kontrak Bermasalah, Bandung:
Mandar Maju, 2002.
Djojodirdjo. A.Moegni, Perbuatan
Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1979.
Friedmann .W, Teori & Filsafat Huum
Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum,
Susunan I, terjemahan Muhammad
Arifin, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Glenn. H. Patrick, Legal Traditions of The
World Sustainble Diversity in Law,
Oxpord: Oxpord University Press,
2000.
Gould. Carol C, Demokrasi Ditinjau
Kembali, terjemahan Samodra
Wibowo, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1993.
Hadiwardoyo. Purwa, Moral dan
Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius,
1990.
Hart. H.L, The Concept of Law,
terjemahan M. Kozhim, Bandung:
Nusamedia, 2010.
Hernoko. Agus Yudha, Penyelesaian
Sengketa Kontrak Berdasarkan Asas
Proporsionalitas, Yogyakarta:
Laksbang Grafika, 2013.
Huda. Mokhamad Khoirul, Prinsip Iktikad
Baik Dalam Kontrak Asuransi Jiwa,
Yogyakarta: FH UII Press, 2016.
Huijbers. Theo, Filsafat Hukum,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Isnaeni. Moch, Perkembangan Huum
Perdata di Indonesia, Yogyakarta:
Laksbang Grafika, 2013.
Jue. R.J, Rechtsnormenleer, terjemahan B.
Arief Sidharta, Bandung: Labolatorium
Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, 2004.
Kasim. Ifdal dan Johannes da Masenus
Arus, Hak Ekonomi, Sosial, Budaa dan
Esai-essai Pilihan, terjemahan Elsam,
Jakarta: Elsam, 2001.
Kelsen. Hans, Teori Hukum Murni, Dasar
Dasar Ilmu Hukum Normatif,
terjamahan Raisul Muttaqim, Bandung:
Nusamedia dan Nuansa, 2007.
Khairandy. Ridwan, Iktikad Baik Dalam
Kebebasan Berkontrak, Jakarta:
Universitas Indonesia, Fakultas Hukum
Pascasarjana, 2003.
Koesnoe. Mohd, Catatan-catatan
Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,
Surabaya: Airlangga University Press,
1979.
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 155 - 176
175
Kusuma. A.B, Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945, Memuat Salinan Dokumen
Otentik Badan Oentoek Menyelidiki
Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan,
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004.
Kusumohamidjojo. Budiono, Filsafat
Hukum Problematik Ketertiban Yang
Adil, Jakarta: Gramedia Widiasarana,
2004.
Leback, Karen, Six Theories of Justice,
terjemahan Yudi Santosos, Bandung:
Nusa Media, 2012.
Leyh. Gregory, Hermeneutika Hukum
Sejarah, Teori dan Praktik, terjemahan
M.Khozin, Cetakan III, Bandung: Nusa
Media, 2014.
Lukito. Ratno, Tradisi Hukum Indonesia,
Cianjur: IMR Press, 2013.
Mak. Chantal, Fundamental Rights in
Europen Contract Law, Kluwer Law
Internasional, 2007.
Marzuki. Peter Mahmud, Pengantar Ilmu
Hukum, Jakarta: Kencana Prenada,
2009.
May. Rollo, Manusia Mencari Dirinya,
terjemahan Eunice Santoro, Jakarta:
Mitra Utama, 1996.
Mik. Eliza, Contract Formation in Open
Electronic Networks, Singapore:
Singapore Management University,
2007.
Moris. Christopher W, “Negara Modern”
dalam Gerald E.Gaus dan Chandran
Kukathas, Handbook of Political
Theory, terjemahan Derta Sri
Widowsatie, London : SAGE
Publications, 2004, h. 467.
Munif. Abdul, Perikatan Bersyarat Batal,
Yogyakarta: FH UII Press, 2016.
Patrik. Purwahid, Asas Iktikad Baik dan
Kepatutan Dalam Perjanjian,
Semarang: FH Undip, 1986.
Peters. A.A. G. dan Koesriani
Siswodoebroto (ed), Hukum dan
Perkembangan Sosial Buku Teks
Sosiologi Hukum, Buku III, Jakarta:
Sinar Harapan, 1990.
Peters. A.A. G. dan Koesriani
Siswodoebroto (ed), Hukum dan
Perkembangan Sosial Buku Teks
Sosiologi Hukum, Buku I, Jakarta:
Sinar Harapan, 1988.
Pitlo. A, Hukum Waris Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, jilid
I, terjemahan M. Isa Arief, Jakarta:
Intermasa, 1979.
Poespoprodjo. W, Filsafat Moral,
Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja Karya, 1986.
Prodjodikoro. Wirjono, Asas-asas Hukum
Kontrak, Cetakan VIII, Bandung:
Mandar Maju, 2000.
Rawls. John, A Theory of Justice,
Massachusetts: The Belknap of
Harvard University Press, 1999.
Satrio. J, Hukum Perikatan, Perikatan
Yang Lahir Dari Perjanjian Buku II,
Bandung: Citra Aditya, 2001.
Santoso. H.M. Agus, Moral & Keadilan
Sebuah Kajian Filsafat Hukum,
Jakarta: 2012.
Scheltens. D.F, Pengantar Filsafat
Hukum, terjemahan Bakri Siregar,
Jakarta: Erlangga, 1984.
Scholten. Paul, Mr. C. Accer Penuntun
dalam Mempelajari Hukum Perdata
Belanda, Bagian Umum, terjemahan
Siti Soemarti Hartono, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1993.
Shidarta, Hukum Penalaran dan
Penalaran Hukum, Yogyakarta : Genta
Publishing, 2013.
Suijling. J.PH, Hak-hak Subjektif Dalam
Hukum Perdata dan Hukum Publik
Positif, terjemahan R. Hoesein
Soemadiredja, Bandung: Armico, 1985.
Syahdeini. Sutan Remy, Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak dalam
Kontrak Kredit Bank Indonesia,
Jakarta: Institut Bankir Indonesia,
1993.
Syamsudin. M, Budaya Hukum Hakim
Berbasis Hukum Progresif, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012.
Soenandar. Taryana, Tinjauan Atas
Beberapa Aspek Hukum dari Prinsip-
prinsip UNIDROIT dan CISG,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016.
Otoberina. Sri Rayahu dan Niken Savitri,
Butir-butir Pemikiran dalam Hukum
Memperingati 70 tahun Prof.Dr. Arief
Sidharta, SH, Bandung: Rieka
Aditama, 2008.
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Hak Dasar Manusia Dalam Hukum Kontrak Indonesia... (Zulfiman)
176
Van Dunne. J. M, Verbintenissenrecht in
Otnwikkleng, terjemahan Lely Niwan,
Hukum Perikatan Bagian IA Hukum
Kontrak, Dewan Kerjasama Ilmu
Hukum Belanda dan Indonesia, Proyek
Hukum Perdata, Medan: Fakultas
Hukum USU, 1987.
Van Gijssel, Jan dan Mark van Hocke,
What is rechtsteorie? Terjemahan
B.Arief Sidharta, Bandung:
Laboratorium Fakultas Hukum,
Universitas Katholik Parahyangan,
2001.
JURNAL :
Berg, Jessica, A Proposed Framework For
Legal Persoonhood, Hastings Law
Jurnal, 2007.
Criddle, Evan J dan Evan Fox-Decent,
Human Rights, Emergencies and The
Rule of Law, Human Rights Quarterly,
The Johns Hopkins University Press,
Vol. 34, No. 1, 2012.
Howthorne, Luada. Contitution and
Contract : Human Digty, The Theory of
Capabilities and Existenzgrundlege in
South Africa, Journal Studia Law,
Universitas Babes-Bolyai, No. 2, 2011.
Kronman. Anthony T, Contract Law and
the State of Nature, Journal of Law,
Economics & Organitazation,
Published Oxford University Press,
Vol.I, No.1, 1985.
Mak. Chantal, Harmonising of
Fundamental Rights in Eurropean
Contract Law, Erasmus Law Review,
Vol. 01, Issue 01, 2007.
O’Gorman. Daniel P, Redefining Offer in
Contract Law, Missisippi Law Journal,
Vol. 82, No. 6, 2013.
Raz, Joseph. About Morality and The
Nature of Law, The American Journal
of Jurisprudence, Vol. 48, 2003.
Sharma.K.M, From sanctity to fairness: As
Unceasy Transition in the law of
Contracts?, New York Law School
Journal of International and
Comparattively Law, Vol.18, No. 2,
1999.
Tuduce. Anca Monica, Prinsipes Du Droit
Europaen Du Contract, La
Terminologie, Human Rights Law
Review, Journal Law Oxford, Vol. 12,
2011.
Winstonh, Morton. Philosophy of Human
Rights : Theory and Practice (review),
Human Rights Quarterly, The Johns
Hopkins University Press, Vol. 34,
No.1, 2012.
Makalah :
Terre. Eddie Riyadi, Hak Asasi Manusia.
Sebuah Telusuran Geneologis dan
Paradigmatik, makalah disampaikan
pada Training Hak Sipil dan Politik
Berspektif Jender diselenggarakan oleh
Lembaga Damar, Lampung tanggal 18
September 2006.
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 177 - 193
177
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM DALAM
MEMPERKUAT KETAHANAN NASIONAL
(Policy And Strategy Of National Law Development
In Strengthening The National Hardiness)
Danang Risdiarto
Analis Peraturan Perundang-Undangan pada Badan Pembinaan Hukum Nasional
Jl. Mayjen Sutoyo No.10, Cililitan, Jakarta Timur 13640
e-mail: risdiarto@bphn.go.id / risdiarto@yahoo.com
Tulisan Diterima: 31-01-2017; Direvisi: 24-05-2017; Disetujui Diterbitkan: 30-05-2017
ABSTRACT
Policy and strategy of national law development as a system is headed to a reality of law
system that supports a national interest. Law with its elements takes an important role in
order to make a strong national hardiness. Based on that, it is necessary to determine a right
policy and strategy in making of law development planning in order to make a strong national
hardiness. This research uses a normative juridical method by doing literature study/review
(secondary data) that is regulation, researches, scientific journals, and other references. The
result of this research can find out that policy and current law development strategy have not
optimized in creating a forceful national hardiness, yet. There are still various clefts of law,
mainly concerning legislation that rules about territorial and state sovereignty. Therefore, a
discussion some legislation related to regional sovereignty of borders urge to be completed.
Besides, there is overlapping of authority and regulation amongst institutions in law
enforcement concerning waters and air in Indonesia territorial should be found out a
comprehensive solution.
Keywords: policy, strategy, law, national hardiness
ABSTRAK
Kebijakan dan strategi pembangunan hukum nasional sebagai suatu sistem diarahkan pada
terwujudnya sistem hukum yang mendukung kepentingan nasional. Hukum dengan elemen-
elemennya memegang peranan penting dalam memperkuat ketahanan nasional. Atas dasar
itulah maka perlu ditentukan kebijakan serta strategi yang tepat dalam perencanaan
pembangunan hukum guna menciptakan ketahanan nasional yang kuat. Penelitian ini
dilakukan dengan metode yuridis normatif yang dilakukan melalui studi pustaka yang
menelaah data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, jurnal ilmah,
hasil pengkajian dan referensi. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kebijakan serta
strategi pembangunan hukum yang ada saat ini belum optimal dalam menciptakan ketahanan
nasional yang kuat. Masih terdapat berbagai celah hukum terutama mengenai peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah kewilayahan dan kedaulatan negara.
Untuk itu pembahasan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kedaulatan batas wilayah perlu untuk segera diselesaikan. Selain itu tumpang-tindih
kewenangan dan aturan antar instansi dalam penegakan hukum di wilayah perairan dan udara
Indonesia harus pula dicarikan solusinya secara menyeluruh.
Kata Kunci: Kebijakan, Strategi, Hukum, Ketahanan Nasional