Available via license: CC BY-NC-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
75
PENGUASAAN PERIBAHASA SUNDA OLEH PENUTUR SUNDA
DI KECAMATAN LURAGUNG, KABUPATEN KUNINGAN,
PROVINSI JAWA BARAT
(The Mastery of Sundanese Proverbs by Sundanese Speakers
in Luragung Sub-district, Kuningan District, West Java Province)
Sugeng Riyanto, Tatang Suparman, Wagiati
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Jalan Ir. Soekarno km 21 Jatinangor Sumedang, Jawa Barat, Indonesia
Pos-el: sugeng.riyanto@unpad.ac.id,
tatang.suparman@unpad.ac.id,
wagiati@unpad.ac.id
(Diterima: 30 Maret 2018; Direvisi: 20 Juni; Disetujui: 22 Juni 2018 )
Abstract
Sundanese proverb is a collection of local wisdom stored neatly in the language, especially containing
advice and examples of good character. This research aims to prove that Sundanese language,
through proverbs, plays an important role in contributing to the wisdom of the nation. This qualitative
research is a field research. The research location is in Luragung District, Kuningan Regency, West
Java Province. The data were collected from twelve first language speakers of Sundanese language
between 13 years and 47 years old. The results show that younger informants fewer master proverbs
than adult informants. All informants considered it is important to know the Sundanese proverb but
regretted that the younger generation lacked the opportunity to learn it and among other things also
pressed by the Indonesian language. All informants are proud of Sundanese as a regional language
and as a cultural store.
Keywords: Proverbs, local wisdom, Sundanese language, culture
Abstrak
Peribahasa Sunda merupakan kumpulan kearifan lokal yang tersimpan rapi dalam bahasa, terutama
berisi nasihat dan contoh pekerti yang baik. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan membuktikan
bahwa bahasa Sunda, melalui peribahasa, berperan penting dalam menyumbang kearifan bangsa.
Penelitian ini berancangan kualitatif dengan data yang dikuantifikasi. Penelitiannya berupa penelitian
lapangan. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat. Data dikumpulkan dari dua belas pembahan yang berbahasa pertama Sunda dan berumur antara
13 tahun dan 47 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan muda jauh lebih sedikit
menguasai peribahasa daripada informan dewasa. Semua informan menganggap penting untuk
mengetahui peribahasa Sunda, tetapi disayangkan bahwa generasi muda kurang memiliki kesempatan
untuk mempelajarinya dan antara lain juga terdesak oleh bahasa Indonesia. Semua informan bangga
pada bahasa Sunda sebagai bahasa daerah dan sebagai penyimpan kebudayaan.
Kata-kata Kunci: peribahasa, kearifan lokal, bahasa Sunda, kebudayaan
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sistem tanda bunyi yang
bersifat arbiter dan digunakan oleh anggota
masyarakat untuk berkomunikasi sesuai
dengan kebudayaan tertentu. Bahasa dapat
dikaji secara internal dengan meneliti
bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat; tanpa
melibatkan faktor di luar bahasa. Pada
pihak lain bahasa dapat pula dikaji secara
Suar Bétang, Vol.13, No.1, Edisi Juni, 2018: 75—84
76
eksternal, yakni melibatkan faktor-faktor
pendukung lain di luar bahasa itu. Bahasa
yang digunakan dalam lingkungan
masyarakat sulit dikaji tanpa melibatkan
faktor lain di luar bahasa.
Bahasa dan kebudayaan saling
melengkapi. Bahasa diperlukan pada saat
paling sedikit dua orang bertemu dan ingin
saling bertukar pikiran, memberitakan
sesuatu, bertanya, meminta, menyuruh, dan
kegiatan komunikatif yang lain. Bahasa
semakin menarik dikaji sebagai alat
perhubungan dalam masyarakat.
Kebudayaan tanpa bahasa kehilangan alat
utamanya untuk melestarikan kebudyaan
itu. Pewarisan budaya akan sangat
terhambat jika tidak ada bahasa.
Bahasa sebagai objek penelitian tidak
pernah habis untuk diselidiki karena, dalam
penelitian bahasa, sudut pandang dapat
menciptakan objek penelitian
(Kridalaksana, 2002). Hal itulah yang
membuat penelitian linguistik beragam dan
marak. Bahasa dapat dikaji dari aspek
struktur belaka, tetapi juga dapat dikaji
dengan melibatkan penggunaannya di alam
nyata sebagai unsur penting dalam
kebudayaan.
Penggunaan bahasa merupakan salah
satu pokok yang diteliti dalam
sosiolinguistik. Penggunaan bahasa itu
berkaitan dengan pemilihan bahasa yang
menurut penutur paling cocok digunakan
dalam ranah tertentu. Masyarakat tutur di
Indonesia sudah terbiasa menggunakan
beberapa bahasa. Para penutur itu
berdwibahasawan atau bahkan
beranekabahasawan. Situasi diglosia
merupakan gejala yang sudah biasa di
Indonesia. Pada situasi kebahasaan seperti
itu penutur tahu betul kapan menggunakan
bahasa yang mana pada ranah yang mana
tanpa menimbulkan kekeliruan.
Kajian penggunaan bahasa dapat
berkitan dengan penggunaan bunyi, kata,
frasa, klausa, dan kalimat. Salah satu unsur
yang penting dalam bahasa adalah
peribahasa. Kemahiran seorang penutur
dalam bertutur dapat dilihat dari
penggunaan peribahasa yang tepat. Penutur
mahirlah yang mampu memahami dan
menggunakannya. Peribahasa terdiri atas
sebuah kalimat yang biasanya berisi petuah
dan nasihat. Dari peribahasa terlihat
kekuatan bahasa sebagai tempat
bersemayam adat, kebiasaan, dan kearifan
lokal. Bahasa Sunda memiliki banyak
peribahasa yang merupakan warisan
kearifan lokal yang tersimpan dalam
bahasa. Mengingat pentingnya posisi
bahasa Sunda dalam menyokong
kebudayaan Indonesia tida dapat dipungkiri
peribahasa Sunda juga menyokong kearifan
bangsa Indonesia. Perlu diteliti apakah
peribahasa Sunda dalam masyarakat Sunda
masih mendapat tempat yang memadai.
Masalah yang diteliti adalah
penggunaan peribahasa Sunda di kalangan
penutur bahasa Sunda di Kecamatan
Luragung, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat. Pertanyaan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut. Pertama,
peribahasa Sunda apa saja dikuasai oleh
penutur. Kedua, sejauh mana peribahasa
Sunda digunakan oleh penutur muda dan
penutur dewasa. Ketiga, apa pendapat
mereka mengenai pentingnya peribahasa
Sunda. Penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan bahwa para penutur
menggunakan peribahasa Sunda dalam
kegiatan komunikasi mereka dan bahwa
dalam peribahasa tersimpan kearifan lokal
warisan leluhur.
Penelitian ini berada di dalam
wilayah keilmuan sosiolinguistik, yakni
bahasa sebagai alat komunikasi dan
khususnya bahasa Sunda sebagai alat
komunikasi. Sosiolingustik merupakan
bidang linguistik yang memusatkan
kajiannya pada penggunaan bahasa dalam
masyarakat (Mesthrie, 2001). Bidang
interdisipliner itu masuk melalui pintu
Sugeng Riyanto, Tatang Suparman, Wagiati: Penguasaan Peribahasa Sunda...
77
gerbang linguistik dan menyertakan faktor-
faktor sosial penggunaan bahasa
(Kridalaksana, 2009). Sebagai alat
komunikasi bahasa sangat tidak lengkap
jika tidak menyertakan faktor sosial. Bahasa
ada karena keperluan yang bersifat sosial.
Jika manusia tidak hidup dengan manusia
lain, bahasa tidak diperlukan
keberadaannya. Tanpa kebudayaan bahasa
sulit tumbuh dan tanpa bahasa kebudayaan
juga tidak memiliki alat untuk mewariskan
kebudayaan itu.
Masyarakat tutur yang berada dalam
era modern nyaris tidak ada yang
ekabahasawan. Para penuturnya dapat
dipastikan menguasai lebih dari satu
bahasa, dwibahasawan, atau bahkan
anekabahasawan (Grosjean, 2001).
Ekabahasawan pada masa kini merupakan
kelangkaan. Di berbagai belahaan dunia,
dwibahasawan merupakan keharusan,
meingingat dunia internasional semakin
maya batasnya dan masyarakat dunia
memerlukan bahasa pengantar yang paling
banyak digunakan, yakni bahasa Inggris.
Jadi, selain bahasa pertama, warga
masyarakat harus menguasai bahasa
Inggris.
Pemilihan bahasa itu berkaitan, baik
faktor sosial maupun psikologis. Dalam
kajian pemilihan bahasa perlu
dideskripsikan hubungan antara gejala
pemilihan bahasa dan faktor-faktor sosial,
budaya, dan situasional dalam masyarakat
dwibahasa atau anekabahasa
(Mardikantoro, 2012). Masalah bahasa
sebagai simbol keetnisan dan loyalitas
bahasa berkaitan erat dengan sikap penutur
terhadap bahasanya (Thomason, 2001).
Bahasa merupakan maujud yang
dinamis. Dalam masyarakat, bahasa dapat
bertahan dan juga dapat bergeser atau
bahkan hilang karena tidak ada penuturnya
(Sumarsono, 2000; Sumarsono dan Partana,
2002). Bahasa Melayu Loloan di Bali
bertahan dari serbuan bahasa Bali tetapi
goyah menghadapi bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu Loloan identik dengan
Islam, sementara masyarakat Bali beragama
Hindu. Bahasa Indonesia tidak dikaitkan
dengan agama tertentu sehingga di masjid
pun bahasa Indonesia mulai digunakan di
Loloan. Pemertahanan bahasa erat
kaitannya dengan ranah yang berkaitan
dengan pilihan bahasa (Rokhman, 2009).
Bahasa Sunda merupakan bahasa
terbesar kedua setelah bahasa Jawa di
Indonesia (Wahya, 2005, 2015; Dienaputra,
2012). Sebagian besar penduduk yang
bermukim di Provinsi Jawa Barat
menguasai bahasa Sunda. Wilayah Priangan
merupakan pusat konsentrasi pengguna
bahasa Sunda. Dengan persebaran yang
sangat luas tentu bahasa Sunda memiliki
variasi geografis (dialek), tetapi tidak
membuat mereka menjadi tidak saling
mengerti. Sebagai bahasa daerah, meskipun
penuturnya terbesar kedua di Indonesia,
keberadaannya semakin terdesak oleh
bahasa Indonesia sehingga pergeseran
bahasa daerah tinggal menunggu waktu
(Gunarwan, 2006). Para penutur bahasa
Sunda di Kecamatan Luragung, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat, yang
berbahasa pertama Sunda, sebagai penerus
pemertahanan bahasa Sunda, berada dalam
posisi yang sangat strategis. Jika mereka
mampu tetap menggunakan bahasa Sunda
pada ranah-ranah yang memang semestinya
ditempati bahasa itu, pergeseran bahasa
dapat dibendung (bandingkan Dienaputra,
2012). Peribahasa merupakan unsur bahasa
yang penting sebagai warisan jatidiri lokal
yang melestarikan kebudayaan Sunda
(Djajasudarma dll., 1997).
Menurut Kridalaksana (2009)
peribahasa (saying, maxim) merupakan
kalimat atau penggalan kalimat yang telah
membeku bentuk, makna, dan fungsinya
dalam masyarakat; bersifat turun-temurun;
dipergunakan untuk penghias karangan atau
percakapan, penguat maksud karangan,
pemberi nasihat, pengajaran, dan pedoman
hidup; mencakup bidal, pepatah,
perumpamaan, ibarat, dan pemeo.
Bidal merupakan peribahasa yang
berupa kalimat tak lengkap dan berisi
nasihat atau pengajaran; misalnya Biar
Suar Bétang, Vol.13, No.1, Edisi Juni, 2018: 75—84
78
lambat, asal selamat. Pepatah adalah
peribahasa yang terbentuk dari kalimat tak
lengkap, berisi hal-hal yang umum, dan
tidak berisi nasihat; misalnya Indah kabar
dari rupa, Alah membeli memang memakai.
Perumpamaan merupakan peribahasa
yang berisi perbandingan; terjadi dari
maksud (yang tidak diungkapkan) dan
perbandingan (yang diungkapkan);
misalnya
(1) Seperti katak di bawah tempurung.
(2) Ibarat bunga: Sedap dipakai layu
dibuang.
Perumpamaan kadang-kadang
memakai kata seperti, ibarat, bagai,
macam, dan sebagainya, kadang-kadang
tidak.
Ibarat adalah perbandingan antara
orang atau benda dan hal-hal yang lain
dengan menggunakan kata seperti dan
sebagainya; misalnya Ahmad dan Anjar
selalu ‘seperti anjing dengan kucing’.
Ibarat juga disebut dengan kiasan. Kiasan
merupakan alat untuk memperluas makna
kata atau kelompok kata untuk memperoleh
efek tertentu dengan membandingkan atau
mengasosiasikan dua hal. Pemeo
merupakan semboyan yang terjadi dari
peribahasa; peribahasa yang dijadikan
semboyan; misalnya Esa hilang, dua
terbilang.
Kearifan lokal adalah seperangkat
pengetahuan yang dimiliki oleh suatu
komunitas yang diperoleh dari generasi ke
generasi maupun dari pengalamannya
berhubungan dengan lingkungan
masyarakatnya untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang dihadapi (Ahimsa-
Putra, 2007; Sibarani, 2012). Kearifan lokal
merupakan lumbung tempat menyimpan
kebudayaan spiritual dari masyarakat.
Bahasa merupakan salah satu unsur
kebudayaan (Koentjaraningrat, 2002).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan
bahasa juga menyimpan kearifan lokal yang
dialihkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Kebudayaan menurut Geertz (1992)
adalah (1) suatu sistem keteraturan dari
makna dan simbol-simbol yang dengan
makna dan simbol-simbol itu individu-
individu mendefinisikan dunia mereka,
mengekspresikan perasaan mereka, dan
membuat penilaian mereka; (2) suatu pola
makna yang ditransmisikan secara historis
yang terkandung dalam bentuk-bentuk
simbolik tersebut manusia berkomunikasi
memantapkan dan mengembangkan
pengetahuan mengenai dan bersikap
terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan
simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-
sumber ekstrasemantik dari informasi; dan
(4) oleh karena kebudayaan adalah suatu
sistem simbol, makna primer kebudayaan
harus dipahami, diterjemahkan, dan
diinterpretasi. Bahasa tercakup utuh dalam
definisi kebudayaan menurut Geertz.
Ada ungkapan dan peribahasa Sunda
yang memiliki padanan makna dengan
ungkapan dan peribahasa Indonesia.
Padanan bentuk memang tidak terjadi.
Dengan demikian, usaha penutur Sunda
perlu dipacu untuk memperkenalkan
ungkapan dan peribahasa Sunda agar dapat
menjadi ungkapan dan peribahasa Indonesia
yang dapat dikenal oleh seluruh bangsa
Indonesia. Hal itu akan memperkaya bahasa
Indonesia.
Kearifan lokal tersirat dari dari
peribahasa, juga dalam bahasa Sunda.
Sebagian besar peribahasa berisi nasihat
yang mengakar turun-temurun. Watak
manusia juga tersirat melalui peribahasa.
Watak itu juga merupakan ciri khas suatu
kebudayaan masyarakat yang turun-
temurun. Dengan peribahasa kearifan lokal
yang turun temurun dipertanhankan.
Sugeng Riyanto, Tatang Suparman, Wagiati: Penguasaan Peribahasa Sunda...
79
METODE PENELITIAN
Ancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif
dengan data yang dikuantifikasi. Penelitian
ini merupakan penelitian lapangan. Lokasi
penelitian adalah Kecamatan Luragung,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Lokasi penelitian itu dipilih karena wilayah
itu mendekati Kabupaten Cirebon yang
bukan merupakan daerah pengunaan bahasa
Sunda.
Pembahan adalah (1) berusia antara
13 dan 16 tahun (muda); antara 40 dan 47
tahun (dewasa); (2) lahir di Luragung; (3)
ayah dan ibu asli penduduk Luragung; (4)
mampu berbahasa Sunda dengan baik; dan
(5) memiliki alat wicara normal.
Data terdiri atas 100 peribahasa yang
dikumpulkan dari Tamsyah dll. (1995)
(Kamus Ungkapan dan Peribahasa Sunda).
Dari kamus itu diambil rata-rata sesuai awal
huruf entri sehingga semua awal huruf entri
terwakili. Semua peribahasa dikumpulkan
dan ditulis ulang. Dengan demikian,
peribahasa itu tersaji dalam bentuk tertulis.
Para pembahan diwawancarai apakah
mereka mengenal arti dari 100 peribahasa
yang disodorkan kepada mereka. Mereka
ditugasi untuk membuat parafrasa atau
mengatakan dalam bentuk kata-kata atau
kalimat lain, termasuk memberi contoh;
menjawab apakah peribahasa itu relevan
untuk masa kini dan mengapa hal itu
terjadi.
PEMBAHASAN
Usia Muda
Untuk kelompok muda diperoleh rata-rata
usia 15,3 tahun (n=6). Usia itu merupakan
rata-rata para peserta didik sekolah
menengah pertama. Usia yang dari segi
kejiwaan masih dalam perkembangan pesat.
Di sekolah praktis sebagian besar bahasa
Indonesia yang digunakan. Di rumah
kemungkinan sebagian besar bahasa Sunda
dan diselingi bahasa Indonesia. Bahasa
Sunda semakin terjepit posisinya.
Penguasaan Peribahasa
Dari 100 peribahasa sebagai percontoh
kelompok usia muda menguasai 5% (lima
peribahasa). Persentase itu hasil dari rata-
rata keseluruhan tetapi tidak dilihat secara
kualitatif. Jika dilihat secara kualitatif tidak
satu pun peribahasa dikuasai oleh semua
pembahan. Satu peribahasa yang sama
dipahami oleh empat pembahan yang
berbeda; tiga peribahasa yang sama
dipahami oleh dua pembahan yang berbeda;
enam peribahasa yang sama dipahami oleh
dua pembahan yang berbeda; dan 10
peribahasa dikuasai oleh seorang pembahan
yang berbeda-beda. Angka hasil
penghitungan statistik harus dipahami
dengan longgar.
Mereka memahami sebagian dari tiga
peribahasa (33,33%) secara kuantitatif.
Secara kualitatif hasilnya sebagai berikut.
Dua peribahasa yang sama dipahami
sebagian oleh empat pembahan yang
berbeda dan sepatah peribahasa dikuasai
sebagian oleh sebelas pembahan yang
berbeda. Sebagian besar (91,67%)
pembahan muda tidak memahami makna
peribahasa yang disodorkan.
Penguasaan Lengkap
Sepatah peribahasa mereka kuasai
maknanya secara lengkap oleh empat
pembahan, yakni peribahasa bernomor data
(86) yang berikut.
(86) Sapu nyere pegat simpay.
sapu lidi putus tali pengikat
Peribahasa yang berupa perumpamaan itu
memang populer melalui lagu Sunda
Pileuleuyan. Disebut perumpamaan karena
peribahasa itu mengandung makna
seperti/bagaikan; ada unsur perbandingan
meskipun tidak dinyatakan dengan kata.
Peribahasa itu menggambarkan peristiwa
perpisahan; asalnya lama bersama-sama,
kemudian berpisah karena pindah tempat
Suar Bétang, Vol.13, No.1, Edisi Juni, 2018: 75—84
80
tinggal, pekerjaan, sekolah, dan sebagainya.
Yang menarik adalah dua pembahan muda
tidak mengerti makna peribahasa itu,
sepatutnya kepada keduanya ditanyakan
juga apakah mereka pernah mendengar lagu
yang sangat popoler itu di tingkat nasional.
Tiga pembahan yang berbeda
menguasai dua peribahasa yang berikut,
yakni peribahasa (36). Jumlah pembahan
itu separoh dari keseluruhan pembahan.
Jadi, peribahasa (36) cukup populer.
(36) Gunung luhur beunang diukur, laut
jero beunang dijugjugan, tapi hate
jelema najan deet moal kakobet.
Gunung tinggi dapat diukur, laut
dalam dapat didatangi (diselami),
tapi hati orang walaupun dangkal
tidak akan terkorek
Peribahasa (36) merupakan pepatah karena
berisi hal-hal yang umum alih-alih nasihat.
Dalam bahasa Sunda peribahasa (36)
bermakna nganyahokeun kahayang atawa
eusi hate jelema anu dirasiahkeun kacida
hesena ‘mengetahui keinginan atau isi hati
orang yang dirahasiakan itu amat sukar’.
Peribahasa itu sebenarnya dapat dengan
mudah dipahami jika seseorang menguasai
bahasa Sunda dengan baik karena
maknanya dapat diselisik dari kata-kata
yang digunakan.
Penguasaan Sebagian
Dalam hal ini pembahan memahami
maksud sebuah peribahasa tetapi tidak
lengkap. Dua peribahasa yang sama
dipahami sebagian oleh empat pembahan
yang berbeda. Sepatah peribahasa dikuasai
sebagian oleh sebelas pembahan yang
berbeda, maksudnya peribahasa X dikuasai
sebagian oleh pembahan A, lalu peribahasa
Y dikuasai sebagian oleh pembahan B, dan
seterusnya. Ada seorang pembahan yang
dapat memahami sebagian banyak
peribahasa.
Peribahasa (3) dikuasai sebagian oleh
pembahan 1 dan pembahan 2.
(3) Adat kakurung ku iga.
Kebiasaan terkurung oleh tulang rusuk
Seseorang yang memiliki kebiasaan atau
tabiat yang sudah mendarah daging
sehingga susah untuk dibuang atau diubah
lagi dilukiskan dengan peribahasa (3).
Peribahasa (11) misalnya dipahami
sebagian oleh Pembahan 4 dan Pembahan
6.
(11) Basa mah teu kudu meuli.
Bahasa tidak harus beli
Maksud peribahasa (11) adalah bahwa tidak
ada jeleknya jika kita menyenangkan hati
orang lain dengan bahasa (ucapan).
Menyatakan sesuatu dengan kata-kata tidak
perlu membayar dan dapat menyenangkan
orang.
Penguasaan Nihil
Ada 68 (68%) peribahasa yang tidak
dikuasai oleh para pembahan muda. Berikut
ini dibahas beberapa dari jumlah itu,
misalnya peribahasa (2).
(2) Adam lali tapel.
Adam lupa tapal batas
Peribahasa (2) menyindir seseorang yang
lupa kepada sanak saudara; orang yang
sudah lupa akan kampung halamannya,
sudah tidak ingat lagi pada saudara-
saudaranya.
Peribahasa (5) juga tidak dikuasai
oleh para pembahan muda.
(5) Adu telu ampar tiga.
Mengadu tiga menghampar tiga
Sugeng Riyanto, Tatang Suparman, Wagiati: Penguasaan Peribahasa Sunda...
81
Pendapat mengenai Pentingnya
Peribahasa
Saat para pembahan diberi pertanyaan
apakah peribahasa-peribahasa itu harus
dipertahankan dan dipelajari oleh generasi
muda dan mengapa perlu, mereka
menjawab bahwa hal itu perlu dan harus.
Alasan mengapa hal itu perlu
dipertahankan:
1. agar generasi muda tahu;
2. supaya generasi muda mengetahui
peribahasa Sunda diperlukan;
3. agar anak muda bisa lebih tahu akan
budaya Sunda;
4. karena merupakan warisan yang
harus dipertahankan;
5. karena jika tidak dipertahankan akan
musnah, harus dilestarikan;
6. karena jika bukan anak muda yang
mempertahankan akan punah.
Pembahan semua menganggap bahwa
peribahasa-peribahasa itu harus
dipertahankan dan dipelajari oleh generasi
muda. Alasan yang mereka ajukan semua
positif, yakni agar generasi muda
mengetahuinya, peribahasa itu diperlukan,
dengan peribahasa generasi muda akan
lebih tahu budaya Sunda, peribahasa
merupakan warisan leluhur (kearifan lokal),
dan jika tidak dipertahankan peribahasa
akan punah atau tidak digunakan lagi.
Bahasa Indonesia tampaknya
dipandang sebagai bahaya bagi
pemertahanan peribahasa Sunda. Selain itu
peribahasa-peribahasa Sunda juga jarang
diajarkan atau dipelajari di sekolah. Pada
pertanyaan pertama mereka menganggap
peribahasa perlu dipertahankan dan
tampaknya bagi generasi muda sekolah
merupakan tempat yang tepat untuk
mempelajari peribahasa, tentu saja melalui
pelajaran bahasa Sunda.
Usia Dewasa
Untuk kelompok dewasa diperolah rata-rata
usia 39,7 tahun (n=6; termuda usia 27
tahun, tertua usia 47 tahun). Seorang
merupakan ibu rumah tangga, seorang
kepala sebuah taman kanak-kanak, dan
empat orang guru TK. Umur itu merupakan
umur produktif. Usia yang dari segi
kejiwaan sudah mapan. Di sekolah praktis
sebagian besar bahasa Indonesia yang
digunakan. Di rumah kemungkinan
sebagian besar bahasa Sunda dan diselingi
bahasa Indonesia. Bahasa Sunda semakin
terjepit posisinya.
Penguasaan Peribahasa
Dari 100 peribahasa sebagai percontoh
kelompok usia muda menguasai 26,7%
(hampir 27 peribahasa). Persentase itu hasil
dari rata-rata keseluruhan tetapi tidak
dilihat secara kualitatif. Jika dilihat secara
kualitatif ada 73% peribahasa yang mereka
kuasai baik secara keseluruhan maupun
sebagian. Ada 27 peribahasa yang sama
sekali tidak dikuasai oleh seorang pun
pembahan dewasa. Ada enam peribahasa
yang dipahami sempurna oleh semua
pembahan; empat peribahasa yang
dipahami oleh lima pembahan; tujuh
peribahasa dipahami oleh empat pembahan
yang berbeda; dan sembilan peribahasa
dikuasai oleh tiga pembahan yang berbeda-
beda.
Mereka memahami sebagian pada
15,33 peribahasa secara kuantitatif. Secara
kualitatif hasilnya dapat berbeda. Pada
pembahan dewasa angka pada pemahaman
sebagian ini tidak menarik dibandingkan
pada kelompok muda. Kelompok dewasa
menguasai atau tidak menguasai
peribahasa, sedangkan kelompok muda
banyak yang hanya menguasai peribahasa
sebagian. Hanya peribahasa (73) yang
dikuasai sebagian oleh banyak pembahan,
yakni empat orang. Pembahan muda tidak
menguasai peribahasa sebanyak 59%.
Sekali lagi, dari segi kualitatif hasilnya
dapat berbeda. Pada bagian yang berikut
hanya akan dibahas dari segi kualitatif.
Penguasaan Lengkap
Ada enam peribahasa yang dipahami
sempurna oleh semua pembahan, yakni
peribahasa (4) dan (25).
Suar Bétang, Vol.13, No.1, Edisi Juni, 2018: 75—84
82
(4) Adean ku kuda beureum.
Menunggang dengan kuda merah
(adean: menunggang kuda yang disuruh
bertingkah)
Peribahasa (4) menyindir orang yang
bergaya, bertingkah, atau bersolek dengan
barang pinjaman. Mungkin perbuatan itu
kini jarang terjadi.
(25) Datang katingali tarang, undur
katingali punduk.
Datang tampak jidat, pergi tampak
tengkuk
Peribahasa (25) menjelaskan sopan santun
orang Sunda saat bertamu, yakni pamitan
lebih dahulu ketika akan pergi seperti ketika
datangnya (bandingkan dengan Datangi
tampak muka pergi tampak punggung).
Saat datang dan pergi selayaknya memberi
tahu.
Penguasaan Sebagian
Secara kuantitatif informan dewasa
menguasai sebagian 15 peribahasa. Secara
kualitatif 53 (dari 100) peribahasa dikuasai
sebagian oleh mereka. Ada peribahasa yang
dikuasai sebagian oleh empat informan.
Ada peribahasa yang dikuasai sebagian oleh
tiga informan, dua infoman, dan satu
informan.
Sepatah peribahasa dikuasai sebagian
oleh empat orang, yakni peribahasa (73).
(73) Neukteuk curuk dina pingping.
Memotong telunjut di atas paha
Secara harfiah jika orang memotong
telunjuk di atas paha sebagai tatakan, pasti
paha juga akan ikut teriris. Peribahasa (73)
bermakna kiasan ‘mencelakakan saudara
atau teman sendiri’.
Lima peribahasa dikuasai sebagian
oleh tiga informan yang berbeda, yakni
peribahasa (10).
(10) Banda sampiran, nyawa gagaduhan.
Harta benda titipan, nyawa bukan
milik kita sesungguhnya
Penguasaan Nihil
Ada 28 peribahasa yang tak satu pun
dikuasai maknanya oleh seluruh informan.
Namun, itu tidak berarti bahwa mareka
tidak pernah mendengar atau membaca
peribahasa-peribahasa itu. Ada peribahasa
yang tidak mereka pahami maknanya, tetapi
pernah mereka dengar atau baca. Beberapa
peribahasa yang tidak mereka kuasai
dibahasa di bagian berikut.
(5) Adu telu ampar tiga.
Mengadu tiga menghampar tiga
Maksud peribahasa (5) adalah bahwa pihak
yang berperkara (di pengadilan) atau
permusyawaratan adalah orang yang berjual
beli.
(13) Batu turun keusik naek.
Batu berguling turun pasir naik
Peribahasa yang tidak dikuasai oleh
para informan memang sulit dimaknai
secara harfiah. Setiap kata yang ada dalam
peribahasa harus dihubungkan ke sifat-sifat
dari sesuatu yang diceritakan; misalnya
kepala gundul itu pasti dingin, jika dikipasi
lagi pasti akan semakin dingin.
Pendapat mengenai Pentingnya
Peribahasa
Saat para pembahan diberi pertanyaan
apakah peribahasa-peribahasa itu harus
dipertahankan dan dipelajari oleh generasi
muda dan mengapa perlu, mereka
Sugeng Riyanto, Tatang Suparman, Wagiati: Penguasaan Peribahasa Sunda...
83
menjawab bahwa hal itu perlu. Alasan
mengapa hal itu perlu dipertahankan:
1. agar generasi muda tahu;
2. karena generasi muda harus
menjaga kebudayaan Sunda;
3. untuk melestarikan bahasa Sunda
sebagai bahasa daerah;
4. agar tradisi dan kebudayaan Sunda
terjaga;
5. demi tradisi dan budaya daerah; dan
6. karena dapat menambah wawasan
terhadap bahasa daerah (Sunda).
Mereka semua menganggap bahwa
peribahasa-peribahasa itu harus
dipertahankan dan dipelajari oleh generasi
muda. Alasan yang mereka ajukan semua
positif yakni agar generasi muda
mengetahuinya, untuk menjaga dan
melestarikan kebudayaan Sunda, dan
peribahasa dapat menambah wawasan
terhadap bahasa Sunda.
Bahasa Indonesia tampaknya
dipandang sebagai bahaya buat
pemertahanan peribahasa Sunda. Selain itu
peribahasa-peribahasa Sunda juga jarang
diajarkan atau dipelajari. Pada pertanyaan
pertama mereka menganggap peribahasa
perlu dipertahankan dan tampaknya buat
generasi muda sekolah merupakan tempat
yang tepat untuk mempelajari peribahasa,
tentu saja melalui pelajaran bahasa Sunda.
Alasan yang diberikan cukup kuat,
yakni karena bahasa Sunda kaya akan
budaya, banyak ragamnya, punya undak-
usuk, dan bahasa daerah sendiri. Bahasa
memang erat dengan kebudayaan dan salah
satu sumber kearifan lokal. Undak-usuk
merupakan hal yang tidak banyak dimiliki
oleh bahasa lain.
PENUTUP
Informan muda menguasai jauh lebih
sedikit peribahasa daripada informan
dewasa. Itu beralasan karena informan
muda memiliki pengalaman menggunakan
bahasa Sunda masih sedikit.
Dari 100 peribahasa sebagai
percontoh kelompok usia muda menguasai
5% (lima peribahasa). Persentase itu hasil
dari rata-rata keseluruhan tetapi tidak
dilihat secara kualitatif. Jika dilihat secara
kualitatif tidak satu pun peribahasa dikuasai
oleh semua pembahan. Satu peribahasa
yang sama dipahami oleh empat pembahan
yang berbeda; tiga peribahasa yang sama
dipahami oleh dua pembahan yang berbeda;
enam peribahasa yang sama dipahami oleh
dua pembahan yang berbeda; dan 10
peribahasa dikuasai oleh seorang pembahan
yang berbeda-beda. Angka hasil
penghitungan statistik harus dipahami
dengan longgar.
Mereka memahami sebagian dari tiga
peribahasa (33,33%). Itu perhitungan
kuantitatif. Secara kualitatif hasilnya
sebagai berikut. Dua peribahasa yang sama
dipahami sebagian oleh empat pembahan
yang berbeda dan sepatah peribahasa
dikuasai sebagian oleh sebelas pembahan
yang berbeda. Sebagian besar (91,67%)
pembahan muda tidak memahami makna
peribahasa yang disodorkan.
Meskipun mereka tidak menguasai
suatu peribahasa mereka pernah mendengar
dan membaca peribahasa di rumah, sekolah,
dan lingkungan. Mereka menganggap
penting bahwa generasi muda memahami
peribahasa karena merupakan bagian dari
bahasa sebagai salah satu sumber kearifan
lokal. Kekurangan yang terjadi disebabkan
karena sedikitnya kesempatan untuk
mempelajari peribahasa di sekolah atau
masyarakat dan juga semakin banyaknya
bahasa Indonesia di kalangan muda.
Sedikitnya penguasaan peribahasa
pada informan usia muda dapat diatasi
dengan sebanyak mungkin
memperkenalkan peribahasa Sunda pada
mereka di sekolah dan juga di keluarga
serta lingkungan sekitar. Peribahasa dapat
diperkenalkan melalui pelajaran bahasa
Sunda di sekolah sejak sekolah dasar
disesuaikan dengan kemampuan nalar
mereka. Pada jenjang SLTA sebagian besar
peribahasa dapat diperkenalkan. Disarankan
keluarga yang berbahasa pertama Sunda
menggunakan bahasa itu sebanyak mungkin
Suar Bétang, Vol.13, No.1, Edisi Juni, 2018: 75—84
84
di rumah karena bahasa Indonesia
digunakan di semakin banyak ranah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H.S. (Peny.) (2007).
Kearifan Tradisional Pedesaan dan
Pemeliharaan Lingkungan Alam
Kabupaten Gunung Kidul Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jakarta: Kemendikbudpar.
Dienaputra, R.D. (2012). Sunda: Sejarah,
Budaya, dan Politik. Cetakan Kedua.
Jatinangor: Sastra Unpad Press.
Djajasudarma, T.F., E. Kalsum, Y.
Setianingsih, dan C. Sobarna (1997).
Nilai Budaya dalam Ungkapan dan
Peribahasa Sunda. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Depdikbud.
Grosjean, F. (2001). Bilingualism,
Individual. Dalam R. Mesthrie (ed.)
Concise Encyclopedia of
Sociolinguistics. Amsterdam, New
York: Elsevier, hlm. 10–15.
Geertz, C. (1992). Tafsir Kebudayaan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Gunarwan, A. (2006). Kasus-Kasus
Pergeseran Bahasa Daerah Akibat
Persaingan dengan Bahasa Indonesia.
Linguistik Indonesia, Jurnal Ilmiah
Masyarakat Lingustik Indonesia, hlm.
106–197.
Koentjaraningrat. (2002). Pengantar
Antropologi. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, H. (2002). Struktur,
Kategori, dan Fungsi dalam Teori
Sintaksis. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Kridalaksana, H. (2009). Kamus Linguistik.
Edisi Keempat, Cetakan Kedua.
Jakarta: Gramedia.
Mardikantoro, H.B. (2012). Bentuk
Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat
Samin dalam Ranah Keluarga,
LITERA, Jurnal Penelitian Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya, Vol. 11,
No. 2, hlm. 204–215.
Mesthrie, R. (2001). Sosiolinguistics:
History and Overview. Dalam R.
Mesthrie (ed.) Concise Encyclopedia
of Sociolinguistics. Amsterdam, New
York: Elsevier, hlm. 1–4.
Rokhman, F. (2009). Pergeseran Bahasa
Indonesia di Era Global dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran.
http://faturrokhmancenter.wordpress.c
om (diunduh tanggal 13 Mei 2013).
Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal:
Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi
Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL).
Sumarsono dan P. Partana. (2002).
Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Sumarsono. (2000). Sikap dan Perilaku
Tutur Penutur Bahasa Melayu Loloan
terhadap Bahasanya dan Bahasa-
Bahasa Lainnya. Dalam Kajian Serba
Linguistik untuk Anton Moeliono
Pereksa Bahasa. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Tamsyah, B.R., T. Purmawati, dan D.
Djuanda. (1995). Kamus Ungkapan
dan Peribahasa Sunda. Bandung:
Pustaka Setia.
Thomason, S.G. (2001). Language Contact,
an Introduction. Edinburg: Edinburg
University Press.
Wahya. (2005). Inovasi dan Difusi
Geografis-Leksikal Bahasa Melayu
dan Bahasa Sunda di Perbatasan
Bogor-Bekasi: Kajian Geolinguistik.
Disetasi Universitas Padjadjaran
bandung.
Wahya. (2015). Bahasa dalam Perspektif
Geografis. Bandung: CV Semiotika.