Available via license: CC BY-NC-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
DOI: http://dx.doi.org/10.24014/sjme.v5i1.6769
Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Tipe Kepribadian
Thinking-
Feeling
dalam Menyelesaikan Soal PISA
Ade Miftah Fauzi* , Zainal Abidin
Pendidikan Matematika, STKIP Al Hikmah Surabaya
e-mail: *ademiftahfauzi10@gmail.com
ABSTRAK. Hasil PISA dalam kompetensi matematika Indonesia tahun 2015 berada pada
peringkat 62 dari 70 negara. Soal PISA berhubungan dengan permasalahan konkret, sehingga
mampu meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa untuk memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses berpikir kritis siswa
tipe kepribadian thinking-feeling dalam menyelesaikan soal PISA. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah 1 siswa tipe kepribadian thinking dan
1 siswa tipe kerpibadian Feeling kelas IX SMP swasta di Surabaya. Instrumen penelitian terdiri atas
tes kepribadian MBTI, soal tes kemampuan berpikir kritis berstandar soal PISA dan pedoman
wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa Thinking dan Feeling dapat memahami
masalah dan memiliki kemampuan klarifikasi. Tahap perencanaan siswa kepribadian thinking dapat
memprediksi sedangkan siswa feeling tidak dapat dalam penyelesaian masalah dengan tepat. Pada
tahap membuat kesimpulan siswa thinking dapat memenuhi indikator tersebut, sedangkah siswa
feeling tidak dapat menunjukkan kemampuan membuat kesimpulan. Proses memeriksa kembali
siswa feeling hanya memenuhi keterampilan berpikir kritis asesmen dan inferensi pada indikator
menilai kebenaran langkah pemecahan dan membuat generalisasi. Siswa thinking dapat memenuhi
semua kemampuan inferensi dan asesmen. Siswa tipe kepribadian Thinking telah memenuhi semua
indikator keterampilan berpikir kritis dalam menyelesaikan soal PISA, sedangkan siswa tipe
kepribadian feeling tidak memenuhi semua indikator dalam menyelesaikan soal PISA.
Keywords : Feeling, Kemampuan Berpikir Kritis, Thinking, Tipe Kepribadian, Soal Berstandar
PISA.
PENDAHULUAN
Evaluasi pendidikan sangat dibutuhkan oleh negara berkembang bahkan negara maju. Hasil
evaluasi digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam menentukan kebijakan
pendidikan yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia yang kompetitif.
Pada abad 21 ini, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Faktor
terpenting dalam meningkatkan kualitas SDM adalah pendidikan. Peningkatan kulitas SDM
dimulai dari peningkatakan kualitas pembelajaran dengan menyusun tujuan pembelajaran yang
tepat (Istiyono, Mardapi & Suparno, 2014). Menurut Kurniati, Harimukti & Jamil (2016) SDM
yang berkualitas memiliki pemikiran yang kritis, terstruktur, logis, kreatif dan kemauan untuk
saling bekerja sama secara efektif. Berpikir kritis merupakan keterampilan yang cukup penting
bagi semua sektor pendidikan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Pithers dan Soden
(2000) bahwa:
“National governments and employers have argued that it is important for all sectors of education to
prepare individuals who are able to think well and for themselves.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Zoller, Ben-Chaim & Ron (2000) bahwa
mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran menjadi tujuan utama
Suska Journal of Mathematics Education
(p-ISSN: 2477-4758|e-ISSN: 2540-9670)
Vol. 5, No. 1, 2019, Hal. 1-8
Ade Miftah Fauzi, Zainal Abidin
2 Suska Journal of Mathematics Education, Vol. 5, No. 1, 2019
dalam dunia pendidikan. Untuk itu diperlukan berbagai macam keterampilan, diantaranya adalah
keterampilan berpikir kritis dimana proses belajar diarahkan untuk memperoleh pengetahuan
baru melalui proses pemecahan masalah (Walker, 2005).
Setiap manusia adalah pemikir yang kritis. Johnson (2007) menjelaskan mengenai langkah-
langkah berpikir kritis untuk membantu siswa memahami suatu masalah yaitu (1) menentukan
masalah, (2) menentukan kesalahan dan hasil yang diharapkan, (3) menentukan solusi dan alasan
pendukungnya, (4) menyimpulkan permasalahan tersebut. Keterampilan berpikir kritis
merupakan usaha seseorang dalam mengumpulkan, menafsirkan, menganalisis, mengevaluasi dan
menyimpulkan secara valid (Cukwuyenum, 2013). Menurut Ennis (1996) terdapat 5 indikator
berpikir kritis siswa yaitu basic clarification, the bases of the decision, inference, advance clarification, and
supposition and integration.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dan indikator serupa yang pernah diterapkan
oleh Abid dan Rahaju (2018), maka peneliti memilih indikator keterampilan berpikir kritis sebagai
berikut.
Tabel 1. Indikator Keterampilan Berpikir Kritis
Keterampilan Berpikir Kritis
Indikator
Kemampuan Klarifikasi
Dapat memahami permasalahan dan informasi yang diketahui
Kemampuan Asesmen
Dapat memberikan alasan yang logis terhadap pemilihan informasi yang
relevan untuk penyelesaian masalah pada setiap langkah yang telah
dilakukan serta alasan yang tepat terkait kesimpulannya
Kemampuan Inferensi
Dapat mengeneralisasi sesuai hasil yang diperoleh secara tepat dengan
membuat kesimpulan secara tepat
Kemampuan strategi
Dapat memprediksi hasil dari langkah yang diusulkan dengan alasan
logisnya
Proses kegiatan belajar mengajar di kelas menjadi unik, karena setiap siswa merupakan
individu unik yang memiliki sifat dan kepribadian yang berbeda-beda. Menurut Sardiman dalam
(Ramalisa, 2013) bahwa proses kegiatan belajar siswa dipengaruhi oleh karakteristik siswa, yaitu :
gaya belajar, latar belakang, proses berpikir, kepribadiam, usia, lingkungan, tingkat kematangan
dan lain-lain. Artinya, salah satu karakteristik yang mempengaruhi kegiatan belajar siswa adalah
kerpibadian.
Katharine Briggs dan Isabel Briggs (Cohen, 2008) merumuskan mengenai tipe kepribadian
menjadi 4 skala preferensi tipe kepribadian yaitu (1) extrovert-introvert (EI) merupakan orientasi
pada dunia luar manusia dan benda ataupun dunia-dalam yang berupa konsep dan ide, (2) feeling-
intuition (SN) menerangkan mengenai persepsi sesuatu yang datang dari pancaindra atau bawah
sadar manusia, (3) thinking-feeling (TF) suatu pendekatan dengan melalui proses yang tidak pribadi,
logis dan subjektif, (4) judging-perceiving (JP) memandang dari derajat fleksibilitas seseorang.
Ramalisa, 2013 menyatakan bahwa tipe kepribadian thinking memiliki keterampilan
berpikir kritis, pada praktiknya lebih menggunakan pikiran secara logis dan analisis yang objektif
dalam mengambil keputusan. Sementara feeling adalah mereka yang melibatkan perasaan serta
nilai-nilai yang digunakan dalam mengambil keputusan. Keterampilan berpikir kritis dapat
diketahui dari keberhasilan siswa dalam memenuhi semua tahapan berpikir kritis saat
memecahkan masalah yang diberikan. Hal ini menujukkan bahwa ada keterkaitan antara tipe
kepribadian siswa dengan keterampilan berpikir kritis siswa, sehingga siswa dengan tipe
kepribadian berbeda akan memiliki keterampilan berpikir kritis siswa yang berbeda pula dalam
menyelesaikan suatu permasalahan, termasuk dalam menyelesaikan permasalahan matematika.
Matematika adalah salah satu bidang ilmu pengetahuan yang berperan penting dalam dunia
pendidikan. Demikian pentingnya, matematika juga disebut Queen of Sciences, ratunya para ilmu.
Penguasaan matematika memerlukan ketertarikan dan ketekunan dalam mempelajarinya. Belajar
matematika dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir logis dan kritis dalam
memecahkan permasalahan. Menyadari betapa pentingnya matematika, kurikulum pendidikan
Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Tipe Kepribadian Thinking-Feeling dalam Menyelesaikan Soal PISA
Suska Journal of Mathematics Education, Vol. 5, No. 1, 2019 3
Indonesia mengatur porsi pembelajaran matematika lebih banyak dibandingkan mata pelajaran
lainnya.
Objek kajian matematika berupa konsep, operasi, fakta dan prinsip yang bersifat abstrak.
Dalam kegiatan pembelajaran, diperlukan kesesuaian objek yang dipelajari. Keabstrakan
matematika semakin bisa dipahami dengan memperkaya dan menghubungkan konsep-konsep
yang beraneka ragam. Seperti halnya mempelajari diagram statistika yang di interpretasikan
dengan sebuah gambar yang mewakili diagram tersebut. Hudojo (1988) menyatakan bahwa para
siswa akan lebih mudah mempelajari matematika, jika siswa tersebut telah mengetahui konsep-
konsep yang ada dengan baik. Terdapat beberapa cabang ilmu matematika, diantaranya geometri,
analisis, aljabar dan statistika.
Pentingnya peran matematika dalam kehidupan menjadikan banyak lembaga atau organisasi
yang melakukan survei terhadap prestasi matematika. Salah satu organisasi Internasional yang
fokus menilai tentang kemampuan literasi matematika siswa adalah PISA (Programme for
International Student Assesment). PISA menekankan terhadap kompetensi dan keterampilan siswa
yang diperoleh dari sekolah dan dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari (OECD, 2010). Soal-soal PISA menuntut kemampuan pemecahan
masalah dan penalaran. Seorang siswa dikatakan dapat menyelesaikan masalah apabila mampu
menerapkan pengetahuan yang didapat sebelumnya ke dalam kondisi baru yang belum dikenal.
Keterampilan ini yang biasa dikenal sebagai keterampilan berpikir kritis.
Kemampuan matematika siswa dalam menyelesaikan soal PISA dibagi menjadi 6 tingkatan.
Secara rinci akan diuraikan ke dalam tabel berikut.
Tabel 2. Enam tingkatan kemampuan matematika dalam PISA
Level
Kompetensi Matematika
1
Siswa dapat menyelesaikan permasalahan umum serta semua informasi yang
relevan dengan pertanyaan yang jelas. Mereka mampu mengidentifikasi
informasi dan menyelesaikan prosedur rutin menurut instruksi eksplisit.
2
Para siswa dapat mengenali situasi dalam konteks yang memerlukan inferensi
langsung. Mereka dapat memilah informasi yang relevan dari sumber tunggal
dan menggunakan cara representasi tunggal. Para siswa pada tingkatan ini dapat
mengerjakan algoritma dasar, menggunakan rumus, melaksanakan prosedur
atau konvensi sederhana. Mereka mampu memberikan alasan secara langsung
dan melakukan penafsiran harafiah.
3
Para siswa dapat melaksanakan prosedur dengan baik, termasuk prosedur yang
memerlukan keputusan secara berurutan. Mereka dapat memilih dan
menerapkan strategi memecahkan masalah yang sederhana. Para siswa pada
tingkatan ini dapat menginterpretasikan dan menggunakan representasi
berdasarkan sumber informasi yang berbeda dan mengemukakan alasannya.
Mereka dapat mengkomunikaikan hasil interpretasi dan alasan mereka.
4
Para siswa dapat bekerja secara efektif dengan model dalam situasi yang
konkret tetapi kompleks. Mereka dapat memilih dan mengintegrasikan
representasi yang berbeda, dan menghubungkannya dengan situasi nyata. Para
siswa pada tingkatan ini dapat menggunakan keterampilannya dengan baik dan
mengemukakan alasan dan pandangan yang fleksibel sesuai dengan konteks.
Mereka dapat memberikan penjelasan dan mengkomunikasikannya disertai
argumentasi berdasar pada interpretasi dan tindakan mereka.
5
Para siswa dapat bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks,
mengetahui kendala yang dihadapi, dan melakukan dugaan-dugaan. Mereka
dapat memilih, membandingkan, dan mengevaluasi strategi untuk memecahkan
masalah rumit yang berhubungan dengan model ini. Para siswa pada tingkatan
ini dapat bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang luas,
serta secara tepat menguhubungkan pengetahuan dan keterampilan
matematikanya dengan situasi yang dihadapi. Mereka dapat melakukan refleksi
dari apa yang mereka kerjakan dan mengkomunikasikannya.
6
Para siswa dapat melakukan konseptualisasi dan generalisasi dengan
menggunakan informasi berdasarkan modelling dan penelaahan dalam suatu
situasi yang kompleks. Mereka dapat menghubungkan sumber informasi
Ade Miftah Fauzi, Zainal Abidin
4 Suska Journal of Mathematics Education, Vol. 5, No. 1, 2019
berbeda dengan fleksibel dan menerjemahkannya. Para siswa pada tingkatan ini
telah mampu berpikir dan bernalar secara matematika. Mereka dapat
menerapkan pemahamannya secara mendalam disertai dengan penguasaan
teknis operasi matematika, mengembangkan strategi dan pendekatan baru
untuk menghadapi situasi baru. Mereka dapat merumuskan dan
mengkomunikasikan apa yang mereka temukan. Mereka melakukan penafsiran
dan berargumentasi secara dewasa.
Sumber : (R Johar, 2012)
Dari hasil survei PISA 2015 (Programme for International Student Assesment), diketahui bahwa
rata-rata kemampuan matematika siswa Indonesia hanya 386 poin, walaupun mengalami
peningkatan dari 375 poin di tahun 2012 (OECD, 2018), namun Indonesia masih berada di
urutan lima terbawah dibanding negara-negara yang ikut berpartisipasi lainnya. Walaupun
demikian, hal ini tentunya menunjukkan adanya potensi besar bagi pendidikan Indonesia untuk
meningkatkan kualitas pendidikan berdasarkan pada hasil-hasil sebelumnya.
Beberapa peneliti telah melakukan analisis mengenai kemampuan siswa Indonesia dalam
menyelesaikan soal berstandar PISA. Kurniati, Harimukti & Jamil (2016) dalam penelitiannya
membahas mengenai kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTs) siswa dalam menyelesaikan soal
berstandar PISA indikator yang digunakan ialah logika dan penalaran, analisis, evaluasi, dan
kreasi. Penelitian ini juga bertujuan menganalis kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal
PISA, namun dibatasi pada satu aspek kemampuan, yaitu kemampuan berpikir kritis. Penelitian
ini difokuskan kepada identifikasi proses berpikir kritis siswa tipe kepribadian Thinking-Feeling
dalam menyelesaikan soal PISA.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian berupa metode kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif
deskriptif. Dalam penelitian ini tidak memberikan perlakuan pada obyek yang diteliti, melainkan
menggambarkan kejadian atau fakta, fenomena dan kondisi yang ada.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik tes dan wawancara. Terdapat dua
tes yang diberikan, yaitu tes kepribadian Mayers-Briggs Type Indicator (MBTI) dan tes kemampuan
berpikir kritis siswa. Tes kepribadian MBTI digunakan untuk menentukan jenis kepribadian yang
dimiliki oleh siswa. Tes ini diberikan kepada 30 orang siswa kelas IX SMP swasta di Surabaya,
yang kemudian dipilih 2 orang siswa, masing-masing berkepribadian feeling dan thinking yang akan
menjadi subjek penelitian. Soal tes kemampuan berpikir kritis ditulis mengikuti standar soal PISA.
Soal diberikan dalam bentuk uraian sesuai indikator kemampuan berpikir kritis matematis, yaitu
basic clarification, the bases of the decision, inference, advance clarification, and supposition and integration.
Pedoman wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi yang valid dari proses berpikir
mereka serta mengungkap kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal PISA. Sebelum digunakan,
pedoman wawancara telah divalidasi oleh ahli. Kemudian, mengumpulkan dokumen dan data-
data yang diperlukan untuk mendukung serta menambah kepercayaan suatu penelitian. Terakhir,
data direduksi untuk dianalisis agar sesuai dengan tujuan penelitian penelitian.
HASIL
Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan cara mempertimbangkan hasil tes tipe kepribadian
MBTI thinking-feeling yang terdiri atas 15 nomor dengan masing-masing terdapat pilihan “a” dan
“b”. Apabila yang dipilih a, maka subjek bersifat Thinking. Sebaliknya, jika memilih b, maka subjek
bersifat feeling. Berdasarkan hasil tes tersebut diperoleh data 18 siswa berkpribadian feeling dan 12
siswa berkpribadian thinking. Selanjutnya peneliti memilih 2 subjek penelitian yang terdiri dari 1
siswa tipe kepribadian thinking dan 1 siswa tipe kepribadian feeling.
Pada bagian ini dipaparkan hasil penelitian secara jelas dan detail.
Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Tipe Kepribadian Thinking-Feeling dalam Menyelesaikan Soal PISA
Suska Journal of Mathematics Education, Vol. 5, No. 1, 2019 5
Tabel 3. Hasil tes kepribadian MBTI
No.
Nama Siswa
Nilai
Ket.
1.
Agung Firmansyah Djalil
73%
27%
Thinking
Feeling
2.
Wisnu Candra C
40%
60%
Thinking
Feeling
Sumber : Data Olahan Peneliti
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa tipe kepribadian Thinking telah menggunakan
keterampilan berpikir kritis dalam menyelesaikan soal PISA melalui tahapan memahami masalah
dan mendapatkan informasi yang sesuai dengan masalah, menyusun rencana penyelesaian
masalah, menyelesaikan masalah dan mengecek ulang hasilnya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Kief (1999) yang menyatakan bahwa seorang dapat dikatakan mampu berpikir kritis apabila orang
tersebut mengidentifikasi masalah yang dihadapi dan mampu menyusun konsep. Artinya kegiatan
berpikir untuk memperoleh atau menangkap pengertian dari data-data yang telah diketahui. Dari
hasil tersebut terlihat bahwa siswa tipe kepribadian thinking dapat mengidentifikasi hal hal yang
diketahui dari masalah, informasi yang berkaitan dan kecukupan syarat yang diberikan pada tahap
memahmi masalah.
Tabel 4. Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Berstandar PISA Topik Statistika
No.
Nama Siswa
Nilai
Ket.
1.
Agung Firmansyah Djalil
90
Thinking
2.
isnu Candra C
75
Feeling
Sumber : Data Olahan Peneliti
Siswa tipe kepribadian feeling memperhatikan lebih detil dan berpikir linear secara urut.
Hasil penyelesaian soal PISA dari 2 lembar soal yang diberikan pada materi statistika untuk
melihat bagaimana keterampilan berpikir kritis yang digunakan oleh siswa dengan tipe
kepribadian feeling. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa kepribadian feeling
dapat menyelesaikan 2 soal PISA yang diberikan dengan memenuhi indikator berpikir kritis yang
ada. Siswa kepribadian feeling juga dapat mengetahui informasi yang relevan dan tidak relevan
beserta dengan pemberian alasan yang rasional terkait pemilihan informasi tersebut. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ghufron dan Risnawati (2012) bahwa proses menganalisis masalah, siswa tipe
kepribadian feeling akan mengawali dengan mengerjakan fakta sampai mengerti masalahnya
terlebih dahulu.
PEMBAHASAN
Menurut Glaser (Fisher, 2009) critical thinking sebuah upaya untuk memeriksa setiap jawaban atau
pengetahuan yang didapat dari kesimpulan-kesimpulan lanjutan. Dalam penelitian ini, siswa
dengan kepribadian thinking memeriksa setiap jawaban, pendapat dalam penyelesaian
permasalahan. Hal ini terbukti pada setiap langkah penyelesaian masalah berdasarkan Polya dari
tahap memahami masalah sampai mengecek kembali hasil pemecahan masalah tersebut. Siswa
tipe kepribadian thinking dapat memberi alasan-alasan yang logis atas pendapat maupun argumen
dalam pemecahan masalah (Ramalisa 2013).
Berdasarkan hasil analisis penyelesaian soal berpikir kritis berstandar PISA dan wawancara
dengan siswa berpkepribadian thinking, didapatkan bahwa siswa tersebut mampu menggeneralisasi
sesuai hasil yang diperoleh secara tepat dengan membuat kesimpulan secara tepat dan dapat
meprediksi hasil dari langkah yang diusulkan dengan alasan logisnya.Semua indikator
keterampilan berpikir kritis dipenuhi oleh siswa dengan tipe kepribadian thinking. Namun, siswa
Ade Miftah Fauzi, Zainal Abidin
6 Suska Journal of Mathematics Education, Vol. 5, No. 1, 2019
tersebut masih kurang teliti dalam mengerjakan soal. Untuk itu perlu pemberian latihan yang
kontinu dalam melatih ketelitian siswa.
Siswa dengan tipe kepribadian thinking berada di level 4 kemampuan matematika dalam PISA
berdasarkan pada analisis penyelesaian soal, dimana siswa dapat menggunakan keterampilannya
dengan baik dan mengemukakan alasan dan pandangan yang fleksibel sesuai dengan konteks.
Mereka dapat memberikan penjelasan dan mengkomunikasikannya disertai argumentasi berdasar
pada interpretasi dan tindakan mereka.Untuk masalah 1 siswa dengan tipe kepribadian feeling
dapat mengetahui tentang informasi yang terdapat pada grafik kecepatan mobil meliputi jarak dan
waktunya. Kemudian subjek menyelesaikan 3 permasalahan pada nomor 1 dengan benar. Namun
pada indikator prediksi, subjek feeling tidak dapat memberikan jawaban yang sesuai. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa kepribadian feeling cenderung tidak imajinatif, dan lemah dalam
memperkirakan hasil yang akan diperoleh dari langkah yang telah diberikan.
Inferensi sebagai bagian dari pelaksanaan rencana melalui keterampilan berpikir kritis yaitu dapat
menggeneralisasi sesuai hasil yang diperoleh secara tepat dengan membuat kesimpulan secara
tepat. Berdasarkan hasil analisis jawaban siswa. Subjek feeling hanya dapat memenuhi indikator
penyelesaian masalah dengan cara yang tepat dan langkah yang sudah direncakanan. Namun pada
indikator lain subjek feeling belum memenuhi karena tidak didapati keajegan kemampuan
membuat kesimpulan pada masalah yang diberikan.
Siswa dengan tipe kepribadian feeling berada di level 2 kemampuan matematika dalam PISA
berdasarkan pada analisis penyelesaian soal, dimana siswa dapat mengenali situasi dalam konteks
yang memerlukan inferensi langsung dan dapat memilah informasi yang relevan dari sumber
tunggal dan menggunakan cara representasi tunggal. Siswa tersebut mampu memberikan alasan
secara langsung dan melakukan penafsiran harafiah.
Berdasarkan pembahasan dari dua subjek siswa dengan tipe kepribadian thinking dan siswa
tipe kepribadian feeling terdapat persamaan dan perbedaan keterampilan berpikir kritis yaitu
sebagai berikut.
1. Siswa thinking dan feeling dapat memahami masalah. Kedua siswa ini dapat menangkap secara
detail informasi yang relevan pada soal sehingga dapat memunculkan strategi penyelesaian.
2. Pada tahap membuat perencanaan siswa thinking dan feeling dapat memenuhi keterampilan
berpikir kritis inferensi dan strategi di dalam indikator yang telah ditetapkan kecuali pada
indikator membuat prediksi. Kedua siswa ini dapat memberikan alasan disetiap strategi yang
diusulkan, hal ini diperoleh dari hasil wawancara bahwa siswa thinking dan feeling dapat
menentukan serta merepresentasikan dari grafik kecepatan balap mobil terhadap dugaan
jawaban yang benar. Perbedaan yang muncul adalah siswa feeling tidak mampu untuk
membuat prediksi dari langkah yang diusulkan sedangkan subjek thinking mampu
memberikan dugaan tentang strategi yang digunakan dalam membut prediksi terkait
hubungan grafik kecepatan balap mobil terhadap gambar track mobil balap yang terekam
berdasarkan grafiknya.
3. Pada tahap melaksanakan rencana siswa thinking dan feeling dapat memenuhi semua indikator
penyelesaian permasalahan dengan cara yang tepat dan mendapat jawaban yang benar.
Namun, perbedaan yang nampak dari kedua siswa ini adalah siswa feeling tidak dapat
membuat kesimpulan pada masalah 2 dengan tidak memberikan jawaban pada pertanyaan c,
sedangkah siswa thinking dapat memenuhinya. Pada tahap memeriksa kembali kedua siswa
dapat menilai kebenaran dari langkah-langkah yang sudah dilakukan dalam penyelesaian
masalah baik pada masalah 1 maupun masalah 2. Selain itu juga dapat membuat generalisasi
pada langkah yang diusulkan. Namun perbedaan yang nampak pada bagian ini ialah pada
indikator asesmen yaitu dapat memberikan alasan yang logis terhadap pemilihan informasi
yang relevan untuk penyelesaian masalah pada setiap langkah yang telah dilakukan serta
alasan yang tepat terkait kesimpulannya. Siswa Feeling tidak dapat menunjukkan alasan
tentang kesimpulan berdasarkan langkah penyelesaian masalah yang dilakukan. Sedangkan
siswa Thinking mampu memenuhi semua indikator pada tahap ini baik masalah 1 maupun 2
Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Tipe Kepribadian Thinking-Feeling dalam Menyelesaikan Soal PISA
Suska Journal of Mathematics Education, Vol. 5, No. 1, 2019 7
SIMPULAN
Penelitian ini mengidentifikasi kemampuan berpikir kritis siswa thinking dan feeling dalam
menyelesaikan soal berstandar PISA. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah
dipaparkan, maka terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa dengan tipe
kerpibadian thinking dan siswa tipe kepribadian feeling. Siswa thinking dan feeling dapat memahami
masalah dan semua kemampuan klarifikasi. Pada tahap perencanaan siswa kepribadian thinking
dapat menunjukkan kemampuan membuat prediksi sedangkan siswa feeling tidak dapat
menunjukkan kemampuan membuat prediksi dalam penyelesaian masalah dengan cara yang tepat.
Pada tahap membuat kesimpulan siswa thinking dapat memenuhi indikator tersebut, sedangkah
siswa feeling tidak dapat menunjukkan kemampuan membuat kesimpulan. pada tahap memeriksa
kembali siswa feeling hanya memenuhi Keterampilan Berpikir kritis asesmen dan inferensi pada
indikator menilai kebenaran langkah pemcehan dan membuat generalisasi. Sedangkan siswa
thinking dapat memenuhi semua kemampuan inferensi dan asesmen.
Hal ini juga membuktikan bahwa walaupun siswa dengan tipe kepribadian thinking
memenuhi semua indikator keterampilan berpikir kritis dalam menyelesaikan soal PISA pada
topik statistika tetapi tidak menjamin siswa ini dapat menyelesaikan semua soal yang ada dengan
tepat dan benar. Dikarenakan siswa kurang teliti dalam menyelesaikan soal tersebut. Sehingga,
diperlukan pemberian latihan soal secara kontinu untuk melatih ketelitian siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Abid, M.M dan Rahaju, E.B. (2018). Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Sma Dalam
Memecahkan Masalah Turunan Ditinjau dari Tipe Kepribadian Sensing Dan Intuitive.
Mathedunesa, 7(2), 340-349.
Amir, M. F. (2015). Proses Berpikir Kritis Siswa Sekolah Dasar dalam Memecahkan. Jurnal Math
Educator Nusantara, 12, 159–170.
Chukwuyenum, A.N. (2013). Impact of Critical Thinking of Perfomance in Mathematics Among
Senior Secondary School Studnet in Logos State. Journal of Research & Matode in Education,
3(5), 18-25.
Cohen, J.J. (2008). Learning Styles of Myer-Briggs Type Indicators. A Master's Thesis, School of
Graduate Studies. Indiana : Indiana State University Terre Haute.
Ennis, R.H. (1996). Critical Thinking. New Jersey : Printice Hall Inc.
Fisher, A. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga.
Ghufron, N.M. dan Risnawita, R.. (2012). Gaya Belajar Kajian Teoritik. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Hudojo, H. (1988). Teori Dasar Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Depdikbud.
Istiyono, E., Mardapi, D., & Suparno. (2014). Pengembangan Tes Kemampuan Berpikir Tingkat
Tinggi Fisika (PysTHOTS) Peserta Didik SMA. Jurnal Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan,
18(1), 1–12.
Johnson, E.B. (2007). Contextual Teaching and Learning : what It Is And Why It’s Here to Stay.
Diterjemahkan oleh Ibnu Setiawan, Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan
Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung : Mizan Media Utama.
Johar, R. (2012). Domain Soal PISA untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang, 1(1), 30.
Kurniati, D., Harimukti, R. & Jamil, N. A. (2016). Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa
SMP di Kabupaten Jember dalam Menyelesaikan Soal Berstandar PISA. Jurnal Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan, 20(2), 142-155.
Ade Miftah Fauzi, Zainal Abidin
8 Suska Journal of Mathematics Education, Vol. 5, No. 1, 2019
Kief, J. (1999). Berpikir Apa dan Bagaimana. Surabaya Indah Surabaya.
OECD. 2010. Draft PISA 2012 Assessment Framework. (Online). Tersedia :
http//www.oecd.org/dataoecd/61/15/46241909.pdf. Diakses 01 November 2018.
OECD. 2018. PISA 2015 Focus on Result. (Online). Tersedia : http//www.oecd.org
Pithers, R. T dan Soden, R. (2000). Critical Thinking in Education A Review. Educational Research,
42(3), 237-249.
Ramalisa, Y. (2013). Proses Berpikir Kritis Siswa SMA Tipe Kepribadian Thinking dalam
Memecahkan Masalah Matematika. Edumatica, 03(01), 42–47.
Walker, G. H. (2005). Critical Thinking in Asynchronous Discussions. International Journal of
Instructional Technology and Distance Learning, 2(6), 19-21.
Zoller, U., Ben-Chaim, D & Ron, S. (2000). The Disposition toward Critical Thinking of High
School and University Science Students An Inter-Intra Isreaeli-Italian Study. International
Journal of Science Education, 22(6), 571- 582.