Content uploaded by Al Fauzi Rahmat
Author content
All content in this area was uploaded by Al Fauzi Rahmat on Oct 07, 2019
Content may be subject to copyright.
Kompetisi Inovasi Kebijakan Publik “National Governance Days” 2018 | Kategori Pemuda Berwawasan Lingkungan
Penyelenggara: Ilmu Pemerintahan, Universitas Padjajaran, Jatinangor, Jawa Barat, Indonesia.
SUBTEMA: PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM MENGELOLA DAN
MELINDUNGI KELESTARIAN EKOSISTEM LAUT
CO-PLAYING SPACE: RUANG EDUKASI LINGKUNGAN RAMAH ANAK DAN
PENGUATAN BUDAYA LITERASI
Ruli Desianti, Al Fauzi Rahmat, Hendy Setiawan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
A. Latar Belakang
Buruknya budaya lingkungan masyarakat khususnya terkait permasalahan sampah
sejatinya sudah lama menjadi sorotan publik. Di mana budaya lingkungan yang buruk berimplikasi
terhadap kerusakan lingkungan baik di darat, di udara, bahkan di laut, yang pada akhirnya
berdampak negatif terhadap keberlangsungan hidup manusia berupa kerugian fisik maupun non
fisik. Budaya lingkungan yang buruk kaitannya dengan masalah sampah, khususnya sampah
plastik di laut kini tidak hanya menjadi isu lokal, namun hangat juga diperbincangkan di dunia
internasional. Di darat, keberadaan sampah plastik dengan zat kimia yang terkandung di dalamnya
akan berdampak terhadap berkurangnya tingkat kesuburan tanah. Sementara, jika sampah plastik
ini dibakar, zat kimia yang dihasilkan akan mencemari udara dan berkontribusi terhadap perubahan
iklim. Sedangkan di laut, sampah plastik ini telah menyebabkan kematian bagi biota laut seperti
terumbu karang, ikan, penyu yang memakan sampah plastik, dan lain-lain.
Menyikapi fenomena tersebut, pemerintah di berbagai negara dituntut untuk ambil andil
terutama dalam pembuatan kebijakan persampahan. Hal inilah yang terus diupayakan oleh
pemerintah Indonesia, yaitu mulai dari menetapkan Undang-Undang Pengelolaan Sampah, aturan
plastik berbayar, Bank Sampah, ecobrick, penggunaan plastik sebagai bahan baku tambahan
pembuatan aspal, penjaringan sampah di laut, pemasangan perangkap sampah di mulut sungai, dan
lain-lain. Akan tetapi, hingga kini kebijakan-kebijkan tersebut belum berhasil memecahkan
permasalahan sampah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah sampah yang terus mengalami
peningkatan, bahkan Indonesia dibesut-sebut sebagai negara penyumbang sampak plastik di laut
nomor dua terbesar di dunia setelah China, yang jumlahnya mencapai angka 187,2 juta ton
(www.cnnindonesia.com, diakses 02 Mei 2018). Di mana 80% sampah ini berasal dari darat, seperti
Kompetisi Inovasi Kebijakan Publik “National Governance Days” 2018 | Kategori Pemuda Berwawasan Lingkungan
Penyelenggara: Ilmu Pemerintahan, Universitas Padjajaran, Jatinangor, Jawa Barat, Indonesia.
yang disampaikan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dalam
republika.co.id (26/10/2017).
B. Identifikasi Masalah
Urgensi permasalahan sampah plastik dewasa ini bukan lagi bicara soal bagaimana
mengelola atau mendaur ulang sampah plastik, tetapi bicara tentang cara menekan atau
meminimalisasi jumlahnya yang kian hari terus meningkat. Adapun peningkatan jumlah sampah
plastik ini menurut penulis disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, rendahnya minat dan daya
beli masyarakat terhadap produk hijau. Hal ini dikarenakan harga proudk hijau yang terbilang
mahal. Ini artinya bahwa di tengah ketergantungan masyarakat terhadap plastik yang semakin
tinggi dan tak terkendali, ketika mereka ingin berperilaku ramah lingkungan, yaitu dengan
menggunakan produk hijau, persoalan harga menjadi suatu hambatan.
Sementara, faktor kedua ialah buruknya budaya literasi di masyarakat khususnya tentang
lingkungan. Di mana hasil penelitian UNESCO tahun 2016 menyebutkan bahwa negara Indonesia
berada di urutan ke 60 dari 61 negara yang memiliki tingkat literasi rendah (www.
student.cnnindonesia.com, 03 Mei 2018). Minimnya tingkat literasi tersebut berimplikasi pada
buruknya budaya lingkungan masyarakat terutama dalam mengelola sampah. Hal ini terbukti
dengan masih adanya masyarakat yang membakar sampah plastik dan tidak sadar akan bahanya
yang ditimbulkan. Selain itu, masyarakat juga masih banyak yang membuang sampah
sembarangan maupun ke sungai. Masyarakat khususnya yang berada di wilayah perkampungan
menganggap bahwa kegiatan membuang sampah ke sungai sebagai perilaku yang wajar-wajar
saja, bahkan untuk wilayah yang sungainya berukuran besar dan lebar, membuang sampah ke
sungai dianggap jalan terbaik karena sampah-sampah mudah hanyut oleh air.
Adapun faktor ketiga ialah minimnya kebijakan persampahan yang fokusnya pada upaya
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat (sumber penghasil sampah) dalam mengelola
lingkungan. Sebagian besar kebijakan persampahan yang ada merupakan kebijakan tentang
mengelola sampah, yang meliputi kegiatan pemilahan, penimbunan, pengangkutan, dan
pemerosesan akhir terhadap sampah. Artinya, kebijakan yang ada sekarang terkesan hanya untuk
mengatasi masalah sampah yang ada, bukan kebijakan yang tujuannya untuk menekan atau
meminimalisasi timbulnya sampah. Meski di sisi lain program sosialisasi baik oleh pemerintah
maupun guru di sekolah adalah upaya yang pernah ditempuh, namun program ini terkesan kegiatan
Kompetisi Inovasi Kebijakan Publik “National Governance Days” 2018 | Kategori Pemuda Berwawasan Lingkungan
Penyelenggara: Ilmu Pemerintahan, Universitas Padjajaran, Jatinangor, Jawa Barat, Indonesia.
yang sifatnya seremonial atau belum masif dilakukan. Dengan kata lain, komitmen pemerintah
dalam memberikan edukasi lingkungan ke masyarakat masih kurang.
Berdasarkan tiga faktor meningkatnya jumlah sampah di atas, penulis menganggap bahwa
faktor pengetahuan dan metode kampanye atau edukasi lingkungan kepada masyarakat menjadi
hal utama yang harus dipertimbangkan dalam memecahkan masalah sampah. Hal ini senada
dengan riset yang dilakuka Gusti (2015) dan Posmaningsih (2016) yang mengungkapkan bahwa
pengetahuan menjadi faktor penentu seseorang untuk berperilaku ramah terhadap lingkungan.
Selain itu, dalam riset terbaru oleh Arifin (2017) juga mengungkapkan bahwa selain pengetahuan,
metode kampanye lingkungan juga berpengaruh terhadap perilaku ramah lingkungan masyarakat.
Dengan demikian, dalam pemecahan masalah sampah ini, kebijakan pereventif melalui pendidikan
merupakan kebijakan yang ideal untuk diterapkan. Dan untuk membudayakan perilaku ramah
lingkungan, penguatan budaya literasi menjadi bagian penting yang harus dimulai sejak usia dini.
C. Inovasi Kebijakan
Co-playing space merupakan ruang bermain anak dengan penerapan konsep ecodesign
yang bertujuan untuk memberikan edukasi lingkungan dan menguatkan budaya literasi anak. Co-
playing space penting untuk dihadirkan di ruang-ruang publik dengan tujuan untuk memasifkan
gerakan edukasi lingkungan dan penguatan budaya literasi sejak usia dini. Adapun langkah
strategis yang dapat ditempuh dalam rangka implementasi program ini ialah sebagai berikut.
a. Penentuan Konsep Co-playing space
Pada tahap awal, pemerintah menentukan program co-playing space akan diadakan dengan
konsep in-door atau out-door. Proses penentuan ini disesuaikan dengan kondisi alam atau potensi
lokasi kawasan yang dipilih menjadi lokasi pembangunan co-playing space. Konsep in-door
dipilih apabila kondisi alam sangat mendukung, sedangkan konsep out-door dipilih jika co-playing
space diadakan di ruang publik yang sudah ada (seperti rumah sakit swasta, pusat perbelanjaan,
stasiun dan lain-lain).
b. Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)
Pada tahap ini, pemerintah bekerja sama dengan para stakeholder seperti masyarakat
setempat, komunitas pemerhati lingkungan, komunitas pemerhati perempuan dan anak, dosen dan
mahasiswa dari Perguruan Tinggi, dan lain-lain. Musrenbang dilakukan dalam rangka sosialisasi
Kompetisi Inovasi Kebijakan Publik “National Governance Days” 2018 | Kategori Pemuda Berwawasan Lingkungan
Penyelenggara: Ilmu Pemerintahan, Universitas Padjajaran, Jatinangor, Jawa Barat, Indonesia.
terhadap rencana pembangunan co-playing space dan menjaring aspirasi para stakeholder sebagai
bentuk ikhtiar dalam mewujudkan pembangunan yang partisipatif.
c. Procurement of Goods and Services
Pemerintah Daerah membentuk Unit Layanan Pengadaan/Petugas Pengadaan Barang dan
Jasa Publik dalam rangka mewujudkan pembangunan co-playing space yang menerapkan konsep
ecodesign. Mulai dari konsep in-door yang dinding ruangan terbuat dari kaca, konsep out-door
dengan memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber cahaya yang akan mengurangi penggunaan
energi listrik, penentuan produk-produk hijau yang boleh ada di dalam ruangan, hingga pada siapa
saja yang akan menjadi pengelola co-playing space.
d. Literacy Tour
Penguatan budaya literasi melalui co-playing space dengan suasana belajar layaknya
sebuah kegiatan wisata menyenangkan. Di mana dalam Co-playing space ini, selain akan
disediakan perpustakaan mini dengan koleksi buku anak, juga diberikan permainan-permainan
yang sekaligus sebagai praktek langsung dalam pengelolaan lingkungan. Dengan demikian,
keberadaan co-playing space dapat meningkatkan intensitas interaksi sosial anak, di mana mereka
dapat bermain dan belajar dengan lebih banyak teman dari berbagai latar belakang.
Gambar 1.1 Co-Playing Space dalam konsep Suistainability Development
Sumber: Analisis Penulis
Co-Playing Space
In-door
Out-door
Procurement of Goods and Services
Civil Society
Privat Sector
Government
SDGs Campaign
Sumber: Analisis Penulis
Kompetisi Inovasi Kebijakan Publik “National Governance Days” 2018 | Kategori Pemuda Berwawasan Lingkungan
Penyelenggara: Ilmu Pemerintahan, Universitas Padjajaran, Jatinangor, Jawa Barat, Indonesia.
D. Aktor-aktor yang Terlibat dalam Kebijakan
Adapun dalam rangka realisasi Co-playing space dibutuhkan peran dari berbagai pihak
mulai dari pemerintah, civil society, dan private sector. Pemerintah daerah berperan dalam
pembuatan peraturan terkait legalitas program dan mewajibkan para investoratau perusahaan
untuk mengadakan Co-playing space di lingkungannya, membentuk Petugas Pengadaan/Unit
Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Publik, hingga pada standar fasilitas yang harus ada di dalam
Co-playing space. Kemudian, Private sector atau investor bekerjasama dengan civil society
(komunitas pemerhati lingkungan, komunitas pemerhati anak, perguruan tinggi, dan lain-lain)
sebagai pengelola sekaligus sebagai upaya pengoptimalan perannya dalam pengabdian kepada
masyarakkat di Co-playing space ini.
E. Sumber Refrensi
Arifin, I.S. dkk 2017, ‘Pemanfaatan Model Tempat Sampah Bervideo terhadap Ketepatan
Memilah Sampah Siswa Sekolah Dasar Negeri di Desa Banyuraden, Gamping, Sleman’,
Jurnal Kesehatan Lingkungan, vol. 8, no. 4, p. 151-157.
Gusti, A., 2015, ‘Faktor Determinan Intensi Perilaku Pengelolaan Sampah Berkelanjutan pada
Siswa Sekolah Dasar’, Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, vol. 9, no. 2, p. 66.
Posmaningsih, D.A.A. 2016, ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam
Pengelolaan Sampah Padat di Denpasar Timur’, vol. 13, no. 1.
Wahyuni, Tri. (23 Februari 2016). Indonesia Penyumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua di
Dunia. Diakses pada https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160222182308-277-
112685/indonesia-penyumbang-sampah-plastik-terbesar-ke-dua-dunia, pada 05 Mei 2018,
pukul 03.07 WIB.