Content uploaded by Riki Nasrullah
Author content
All content in this area was uploaded by Riki Nasrullah on Mar 04, 2021
Content may be subject to copyright.
Content uploaded by Riki Nasrullah
Author content
All content in this area was uploaded by Riki Nasrullah on Sep 22, 2019
Content may be subject to copyright.
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
79
KOMUNIKASI TERAPEUTIK
DALAM PEMULIHAN KOMPETENSI LINGUISTIK
PASIEN PENYANDANG AFASIA BROCA
Riki Nasrullah1, Dadang Suganda2, Wagiati3, Sugeng Riyanto4
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Surel: rikinasrullah5@gmail.com1
dadang.suganda@unpad.ac.id2
wagiati@unpad.ac.id3
sugeng.riyanto@unpad.ac.id4
Abstrak
Penelitian ini berjudul “Komunikasi Terapeutik dalam Pemulihan Kompetensi
Linguistik Pasien Penyandang Afasia Broca”; bertujuan menjelaskan pola-pola
komunikasi terapeutik antara terapis dengan pasien penyandang afasia broca di
Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Data
penelitian ini berupa ekspresi verbal para penyandang afasia broca berbahasa
Indonesia dan dari proses berlangsungnya terapi wicara antara terapis wicara
dengan penyandang afasia. Secara keseluruhan penelitian ini mengambil lokasi di
Rumah Sakit Pusat Otak Nasional. Sebanyak 3 (tiga) orang responden dijadikan
sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Penyandang afasia broca
memiliki problematika lingual yang begitu memperihatikan. Mereka memiliki
masalah dalam mengungkapkan pikirannya melalui bahasa. Komunikasi terapeutik
antara pasien dan terapis juga menjadi hal yang menarik untuk dikaji.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) penyandang afasia broca memiliki problematika
lingual yang begitu memperihatikan, yakni mereka memiliki masalah dalam
mengungkapkan pikirannya melalui bahasa; (2) dari proses komunikasi terapeutik
yang ada di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional antara terapis wicara dengan klien
penyandang afasia broca, terdapat beberapa gejala lingual yakni adanya alih gaya
(style shifting)) dan adanya pemberian feedback positif dari terapis wicara kepada
klien penyandang afasia broca.
Kata Kunci: komunikasi terapeutik, kompetensi linguistik, afasia broca.
Abstract
This study aims to explain the therapeutic communication patterns between
therapists and patients with broca aphasia at the Jakarta National Brain Center
Hospital (RSPON). This research was conducted using qualitative-descriptive
methods with a case study approach. The research data were in the forms of verbal
expressions of patients with broca aphasia speakers in Indonesia and from the
process of ongoing speech therapy between speech therapists with aphasia speaker.
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
80
Overall, the research was conducted at the National Brain Center Hospital. Three
(3) respondents were involved as the research subjects that met the inclusion
criteria. The results showed that (1) people with Broca Aphasia are fluent in lingual
problems that are so alarming, they have problems expressing their thoughts in
language; (2) from the therapeutic communication process at the National Brain
Center Hospital between speech therapists and Broca aphasia clients, there are
several lingual symptoms, are the style shifting and giving positive feedback from
speech therapists to broca aphasia clients.
Keywords: therapeutic communication, linguistic competence, broca aphasia.
PENDAHULUAN
Linguistik dipahami sebagai
suatu kajian ilmiah yang menjadikan
bahasa sebagai objek kajiannya.
Linguistik menjadi satu di antara
cabang ilmu yang memiliki sifat
empiris. Disebut empiris karena data
yang dibahas dan dianalisis oleh
linguistik adalah suatu fakta lingual
yang dapat diamati di lapangan dan
kebenarannya dapat diverifikasi.
Empirisme bahasa yang dijadikan
objek dalam linguistik itu didapat dari
hasil analisis deskriptif fenomena-
fenomena lingual yang terjadi pada
penutur suatu bahasa tertentu. Bahasa
yang dimaksudkan adalah bahasa
yang diujarkan manusia yang
memiliki sifat alamiah dan apa
adanya, tidak dibuat-buat untuk
memenuhi fungsi-fungsi sosial
penuturnya.
Dalam ranah personal dan
individual, bahasa menjadi fungsi inti
bagi manusia dalam kaitannya dengan
komunikasi, selain fungsi daya
mengingat, persepsi, kognisi, dan
emosi. Kerusakan yang terjadi pada
bagian-bagian otak manusia akan
menimbulkan gangguan pada
kemampuan berbahasa seseorang.
Ada setidaknya empat kerusakan
pada bagian otak yang menimbulkan
gangguan pada kemampuan bahasa
seseorang, yaitu afasia, agnosia,
apraksia, dan disartria (Sastra,
2011:42).
AIA (2011) telah menyebutkan
bahwa para penyandang afasia akan
mengalami kesulitan dalam banyak
hal. Hal-hal yang dimaksud
merupakan sesuatu yang biasa terjadi
di kehidupannya sehari-hari, khusus-
nya dalam hal komunikasi, seperti
melakukan percakapan; berbicara
dalam grup atau lingkungan yang
gaduh; membaca buku, koran,
majalah atau papan petunjuk di jalan
raya; pemahaman akan lelucon atau
menceritakan lelucon; mengikuti
program di televisi atau radio;
menulis surat atau mengisi formulir,
bertelepon, berhitung, mengingat
angka, atau berurusan dengan uang;
juga menyebutkan namanya sendiri
atau nama-nama anggota keluarga.
Penyandang afasia mengalami
kesulitan dalam menggunakan
bahasa, tetapi mereka bukanlah orang
yang tidak waras.
Dalam hubungannya dengan
kompetensi berbahasa, afasia dipa-
hami sebagai gejala atau gangguan
yang terjadi pada kemampuan berba-
hasa seseorang yang diakibatkan oleh
kerusakan pada korteks (Sastra,
2011:42). Afasia tidak terjadi pada
seseorang yang sebelumnya tidak
memiliki sistem bahasa tertentu.
Maksudnya adalah afasia hanya akan
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
81
terjadi pada seseorang yang
sebelumnya sudah memiliki sistem
bahasa tertentu. Senada dengan apa
yang diungkapkan Sastra, Kus-
moputro (1999:22) juga menyatakan
bahwa afasia sebagai salah satu
gangguan kebahasaan seseorang (baik
lisan maupun tulis) yang disebabkan
oleh gangguan atau kerusakan pada
bagian otak. Dari kedua definisi di
atas, jelaslah bahwa afasia merupakan
gejala patologi bahasa pada diri
seseorang yang diakibatkan oleh
adanya kerusakan pada satu di antara
bagian-bagian otak. Kerusakan otak
itu sendiri dapat disebabkan oleh
berbagai macam penyakit, tetapi yang
paling sering diakibatkan oleh
penyakit gangguan peredaran darah di
otak dan cedera otak (strok dan
trauma) (Yunus, 1999:3).
Dalam hubungannya dengan
ranah psikologis, para penyandang
afasia kerap memandang dirinya
berbeda dengan orang lain di
sekitarnya. Kondisi ini semakin
diperparah dengan adanya gejala
kesulitan melakukan hal-hal yang
sebelumnya sangat mudah untuk
dilakukan oleh mereka. Pada
praktiknya, para penyandang afasia
akan bersusah-payah dan sangat
memerlukan banyak waktu untuk
melakukan hal-hal yang sebelumnya
sangat mudah mereka lakukan.
Kondisi ini semakin membuat mereka
merasa kurang percaya diri dalam
menjalani proses komunikasi dan
sosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya.
Selanjutnya, Afasia sebagai
gangguan berbahasa, telah menarik
para ahli linguistik untuk meng-
kajinya. Perhatian para ahli linguistik
terhadap afasiologi ini begitu besar.
Mereka mengharapkan bahwa dengan
mempelajari afasia, dapat ditemukan
keterangan untuk lebih memahami
proses bahasa secara normal, pola-
pola bahasa yang dihasilkan oleh para
penyandang afasia, serta bagaimana
berlang-sungnya proses berbahasa
pada otak.
Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
(RSPON) Jakarta merupakan rumah
sakit yang didirikan oleh pemerintah
yang diharapkan dapat menjadi
tempat pelayanan kesehatan otak dan
saraf yang komprehensif. Kebera-
daannya yang begitu vital dalam
kaitannya dengan permasalahan
medis otak dan saraf, RSPON
menjadi model dan percontohan
dalam penanganan kasus-kasus neu-
rologi di Indonesia.
Kompleksitas permasalahan me-
dis di bidang otak dan saraf
(neurologi) di Indonesia mengalami
peningkatan dalam satu dekade
terakhir. Kasus medis yang memiliki
intensitas kejadian yang tinggi di
bidang neurologi adalah strok. Dalam
hubungannya dengan afasia, strok
menjadi penyebab utama terjadinya
afasia. Pada Riset Kesehatan Dasar
Kementerian Kesehatan (2013),
prevalensi penyandang strok men-
capai 15,4%. Kondisi ini menjadi
penyebab kematian dan kecacatan
utama di hampir seluruh rumah sakit
di Indonesia.
Penyandang afasia broca memi-
liki problematika lingual yang begitu
memperihatikan. Mereka memiliki
masalah dalam meng-ungkapkan
pikirannya melalui bahasa. Pada
praktiknya, mereka tidak dapat
menggunakan medium bahasa seba-
gaimana fungsinya. Dengan demi-
kian, proses komunikasi antara
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
82
penyandang afasia broca dengan
orang-orang di sekitanya akan
mengalami gangguan. Kondisi demi-
kian akan bisa diatasi, salah satunya,
dengan proses terapi wicara untuk
mengembalikan kemampuan berba-
hasa penyandang afasia broca.
Dalam kaitannya dengan kom-
petensi berbahasa, proses terapi
wicara akan menjadi menarik untuk
dikaji, khususnya mengenai pola
komunikasi antara terapis dan pasien.
Oleh karena itu, dalam kajian
linguistik, muncul satu kajian baru
bernama komunikasi terapeutik.
Ada keunikan tersendiri dari pola
komunikasi yang dijalin oleh terapis
wicara dengan pasien penyandang
afasia broca di Rumah Sakit Pusat
Otak Nasional Jakarta. Pada prak-
itnya, penyandang afasia broca
memiliki tata cara tutur yang berbeda
dengan orang biasa dalam konteks
komunikasi dengan terapis wicara.
Satu di antara keunikan yang ada
adalah tentang kompetensi komu-
nikasi (CC) penyandang afasia broca.
Oleh karena itu, melalui
penelitian ini, penulis mencoba untuk
mengkaji komunikasi terapeutik
dalam proses pemulihan kompetensi
linguistic pasien afasia broca di
Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
Jakarta. Hal ini dirasa perlu untuk
segera diungkap sehingga penulis
memformulasikan judul tulisan ini
menjadi “Komunikasi Terapeutik
dalam Proses Pemulihan Kompetensi
Linguistik Pasien Penyandang Afasia
Broca”.
METODE
Penelitian ini merupakan pene-
litian yang mendasarkan diri atas
konsep case study. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif-deskriptif dengan
pendekatan studi kasus. Metode
kualitatif dipilih dengan memper-
timbangkan ciri-ciri dan sifat-sifat
data sebagaimana adanya. Penentuan
metode ini sangat akomodatif dengan
jenis dan varian data yang akan
dianalisis.
Penelitian ini dilakukan dengan
mempertimbangkan dua pendekatan,
yaitu pendekatan teoretis dan
pendekatan metodologis. Secara
teoretis, pendekatan yang digunakan
di dalam penelitian ini adalah
komunikasi terapeutik. Adapun seca-
ra metodologis, penelitian ini
menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan studi kasus.
Secara kualitatif artinya data yang
diteliti dan hasil analisisnya diperoleh
dari rekaman, pengamatan, wawan-
cara, atau bahan tertulis dan data ini
tidak berbentuk angka (Djojosuroto
dan Kinayati, 2001:17). Sementera
pendekatan deskriptif mendasarkan
pada fakta, yang secara empiris dan
penutur-penuturnya, sehingga hasil-
nya berupa perian bahasa seperti apa
adanya. Penggunaan metode
deskriptif ini senada dengan apa yang
dijelaskan Sudaryanto (2015:131-
143) bahwa data yang didapatkan
adalah hasil pengamatan penulis
tanpa menilai salah atau benar suatu
data.
Fuchran (1990) menjelaskan
bahwa subjek dalam penelitian
kualitatif, baik individu maupun
kelompok, tidak dipersempit menjadi
variabel yang terpisah, melainkan
dipandang sebagai bagian utuh dari
suatu kesatuan. Dalam penelitian
jenis ini, subjek diamati secara
mendalam – dalam pendekatan klinik
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
83
genetik biasa disebut dengan
pendekatan studi kasus. Dengan
demikian, bisa kita pahami bahwa
studi kasus merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari metode
kualitatif yang menjadikan objek
penelitian diamati secara mendalam
sehingga menghasilkan data empiris
yang bersifat deskriptif.
Data penelitian ini berupa eks-
presi verbal para penyandang afasia
broca berbahasa Indonesia. Hal-hal
yang akan dilakukan adalah pertama,
studi pustaka, yaitu penelusuran
terhadap penelitian terdahulu yang
bersinggungan dengan topik ini. Hal
ini perlu dilakukan, mengingat
kajian-kajian tentang topik ini –
dengan berbagai sudut pandang –
telah dilakukan meskipun kuan-
titasnya masih relatif terbatas agar
tidak terjadi tumpang tindih antara
penelitian ini dengan penelitian-
penelitian terdahulu, serta untuk
memetakan posisi penelitian ini di
antara penelitian-penelitian terdahulu.
Setelah ditemukan beberapa pene-
litian terdahulu yang bersinggungan
dengan penelitian ini, selanjutnya
akan dilakukan pengkajian terhadap
konsep yang mendukung konsep ini
yang memfokuskan kepada
permasalahan yang berhubungan
dengan data lingual dan tujuan
penelitian ini. Kedua, penyediaan
data, yaitu menggunakan kombinasi
metode simak dan cakap dengan
teknik dasar berupa teknik sadap dan
teknik lanjutan berupa teknik catat
dan rekam. Selanjutnya, penggunaan
teknik interview (wawancara) tak
terstruktur dan instrumen menjadi
teknik lainnya dalam pengumpulan
data di samping teknik elisitasi
(pemancingan) (Sudaryanto, 2015).
Selain itu, teknik perekaman akan
sering digunakan secara bersamaan
dengan tujuan agar pada saat
pengolahan, datanya masih dapat
didengar kembali tuturan mereka.
Secara keseluruhan penelitian ini
mengambil lokasi di Rumah Sakit
Pusat Otak Nasional Jakarta.
Sebanyak 3 (tiga) orang responden
dijadikan sampel penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi (positif
afasia broca berbahasa Indonesia,
berjenis kelamin lelaki dan/atau
perempuan, berusia 35 s.d. 75 tahun,
menyatakan tidak berkeberatan diser-
takan dalam penelitian, dan dapat
berbahasa Indonesia). Penentuan
sampel dilakukan dengan teknik
purposif atau emergent ‘mencuat’
(Alwasilah, 2003:72) dengan rasio
yang cukup proposional.
Pemerolehan data dilakukan di
lokasi penelitian dengan dua cara,
yaitu wawancara yang terpandu
dengan menggunakan instrumen
penelitian dan pengamatan proses
terapi wicara yang sedang berlang-
sung antara terapis wicara dengan
penyandang afasia broca. Konversasi
yang dihasilakna dari wawancara dan
proses terapi wicara tersebut, direkam
menggunakan alat perekam dengan
durasi perekaman kurang lebih 50 s.d.
60 menit.
Setelah data didapatkan, tahap
selanjutnya adalah transkripsi dan
pengelompokkan data menjadi data
pertama dan data kedua. Yang
dimaksud dengan data pertama
adalah data yang dipilih berdasarkan
respon dan jawaban responden atas
pertanyaan pengarah yang sudah
disiapkan. Adapun data kedua adalah
data yang diambil dari respon dan
jawaban responden atas pertanyaan-
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
84
pertanyaan bebas dan acak yang
diajukan oleh penulis secara langsung
di luar dari data pertanyaan yang
sudah disediakan pada daftar per-
tanyaan pengarah. Data yang
dihasilkan dari bantuan penulis –
dengan menyebutkan huruf, suku
awal kata yang dimaksud, memberi
contoh pengucapan kata/kalimat, dan
pemberitahuan ciri-ciri kata yang
dimaksud – juga akan dimasukkan ke
dalam jenis data kedua. Selain itu,
data yang dihasilkan dari proses
berlangsungnya terapi wicara antara
terapis wicara dengan penyandang
afasia, akan dimasukkan juga ke
dalam jenis data kedua.
Penganalisisan data dilakukan
dengan metode kualitatif, artinya
bahwa kegiatan analisis yang
dilakukan berkaitan dengan pola-pola
yang umum pada wujud dan perilaku
data yang ada yang dipengaruhi dan
yang hadir bersama dengan konteks-
konteksnya (Asher 1994 dalam Arimi
1998:27). Data yang sudah dianalisis
disajikan secara deskriptif, yaitu
perumusan dan pengungkapan hasil
analisis dengan menggunakan kata-
kata atau kalimat-kalimat.
Selanjutnya, data yang terkumpul
juga dianalisis dengan menggunakan
kombinasi metode padan dan
distribusional (Djajasudarma, 2010).
Metode padan diartikan sebagai
metode yang menjadikan unsur luar
bahasa sebagai alat penentunya,
terlepas dan tidak menjadi bagian dari
bahasa yang bersangkutan (Sudar-
yanto, 2015). Pada penelitian ini,
digunakan juga metode distribusional,
yaitu metode yang menganalisis data
dengan cara menghubungkan antar-
gejala bahasa. Teknik bagi unsur
langsung dijadikan sebagai teknik
dasar dengan cara membagi satuan
lingual data menjadi beberapa bagian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti yang sudah dikemukakan
pada bagian-bagian sebelumnya,
penyandang afasia broca memiliki
problematika lingual yang begitu
memperihatikan. Mereka memiliki
masalah dalam mengungkapkan piki-
rannya melalui bahasa. Pada
praktiknya, mereka tidak dapat
menggunakan medium bahasa seba-
gaimana fungsinya. Dengan demi-
kian, proses komunikasi antara
penyandang afasia broca dengan
orang-orang di sekitanya akan
mengalami gangguan. Kondisi demi-
kian akan bisa diatasi, salah satunya,
dengan proses terapi wicara untuk
mengembalikan kemampuan berba-
hasa penyandang afasia broca.
Dalam kaitannya dengan
kompetensi berbahasa, proses terapi
wicara akan menjadi menarik untuk
dikaji, khususnya mengenai pola
komunikasi antara terapis dan pasien.
Oleh karena itu, dalam kajian
linguistik, muncul satu kajian baru
bernama komunikasi terapeutik.
Ada keunikan tersendiri dari pola
komunikasi yang dijalin oleh terapis
wicara dengan pasien penyandang
afasia broca di Rumah Sakit Pusat
Otak Nasional Jakarta. Pada
prakitnya, penyandang afasia broca
memiliki tata cara tutur yang berbeda
dengan orang biasa dalam konteks
komunikasi dengan terapis wicara.
Satu di antara keunikan yang ada
adalah tentang kompetensi komu-
nikasi (CC) penyandang afasia broca.
Kompetensi komunikasi terapis
wicara pada saat komunikasi tera-
peutik dengan penyandang afasia
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
85
broca menjadi aspek penentu bagi
keberlangsungan komunikasi antara
terapis wicara dengan klien afasia
broca. Hal ini disebabkan oleh
kondisi penyandang afasia broca yang
memiliki kendala komunikasi dalam
memproduksi bahawa, tentu akan
mengalami gangguan komunikasi dan
mereka akan merasa kesulitan untuk
memproduksi bahasanya. Terapis
wicara sebagai orang “normal” tentu
memiliki tanggung jawab moral
untuk membantu klien dalam peme-
rolehan bahasanya kembali.
Komunikasi Terapeutik dalam
Proses Pemulihan Kompetensi
Linguistik Pasien Afasia Broca
(1) Alih Gaya (Style Shifting)
Dalam konteks kompetensi
berbahasa, terapis wicara memiliki
kemampuan mengetahui beragam
pilihan kata. Kompetensi demikian
tentu menjadi hal yang niscaya ada
pada seorang terapis wicara, khusus-
nya dalam konteks komunikasi
terapeutik dengan klien penyandang
afasia broca. Dengan kompetensi
berbahasa tersebut, seorang terapis
wicara akan dengan mudah memilih
kata yang paling tepat dan paling
mudah dipahami oleh penyandang
afasia broca. Pasalnya, penyandang
afasia broca notabene tidak memiliki
kompetensi berbahasa yang bagus,
tentu akan mengalami kesulitan untuk
memahami kata-kata tertentu. Dengan
memiliki pilihan kata yang berlim-
pah, seorang terapis wicara akan
dengan mudah mengganti kata yang
sulit dipahami dengan kata lain (yang
semakna) yang lebih mudah untuk
dipahami oleh klien penyandang
afasia broca.
Dari proses komunikasi
terapeutik yang ada di Rumah Sakit
Pusat Otak Nasional antara terapis
wicara dengan klien penyandang
afasia broca, terdapat beberapa gejala
lingual yang patut untuk dikemu-
kakan pada bagian ini. Gejala-gejala
tersebut adalah adanya alih gaya
(style shifting)) dan adanya
pemberian feedback positif dari tera-
pis wicara kepada klien penyandang
afasia broca.
Adanya keterbatasan kompetensi
berbahasa penyandang afasia broca,
tentu disadari oleh terapis wicara. Hal
ini tampak dari adanya strategi
komunikasi yang dibangun oleh
terapis wicara dengan memproduksi
kalimat-kalimat sederhana agar dapat
dipahami dengan mudah oleh klien
penyandang afasia broca. Tentu
pemilihan strategi ini diperuntukkan
agar proses komunikasi antara terapis
wicara dengan penyandang afasia
brica tersebut tetap berjalan dengan
lancara.
Alih gaya (style shifting) sering
dilakukan oleh terapis wicara jika
didapai klien penyandang afasia
broca tidak mengerti/memahami apa
yang diucapkan atau diinstruksikan.
Kondisi lainnya adalah ketika klien
penyandang afasia broca tidak
merespon apa-apa yang diinstruk-
sikan oleh terapis wicara, sebagai-
mana yang diharapkan. Untuk
menyiasati hal tersebut, seorang
terapis wicara langsung mengubah
strateginya dengan alih gaya. Alih
gaya di sini dipahami sebagai
perubahan gaya komunikasi lingual,
dari gaya formal ke gaya nonformal.
Perhatikan contoh data berikut ini.
(1) Terapis : Iya, tangan. Tapi
pake alat apa?
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
86
Pasien : Eh… mangkok.
Terapis : Bukan.
Pasien : Ge… gelas.
Terapis : Wiiih… Hebaaat.
Percakapan tersebut seharusnya
seperti berikut, jika tanpa dilakukan
alih gaya.
(1a) Terapis : Iya, tangan. Tetapi,
memakai alat apa?
Pasien : Eh… mangkok.
Terapis : Bukan.
Pasien : Ge… gelas.
Terapis : Hebat, Anda
Berhasil
menyebutkannya!
Alih gaya dilakukan oleh
seorang terapis wicara secara spontan
tanpa dimaksudkan untuk memper-
jelas sesuatu yang tidak dipahami
oleh klien penyandang afasia broca.
Alih gaya semacam ini wajar terjadi
dalam suatu situasi percakapan
seperti yang diungkapkan Saville-
Troike (2003:55) bahwa “Alih kode
bisa saja tidak disadari, dan pada
kenyataannya alih code itu sendiri
mungkin menjadi berarti dalam
mengekspresikan sebuah kedekatan
atau hubungan yang lebih informal
sebagai isi rujukan atau penggunaan
bentuk bahasa yang khusus”.
(2) Pemberian Feedback Positif
Gejala lainnya yang tampak pada
komunikasi terapeutik di Rumah
Sakit Pusat Otak Nasional antara
terapis wicara dengan klien
penyandang afasia broca adalah
dalam konteks keterampilan
berinteraksi. Seorang terapis wicara
untuk klien afasia broca ini memiliki
keterampilan dalam memberikan
feedback positif. Feedback positif
tersebut terejawantahkan dalam
bentuk apresiasi terhadap keber-
hasilan pasien dalam menyebutkan
sesuatu. Terapis wicara mengetahui
bagaimana memotivasi dan membe-
rikan nilai positif kepada klien
dengan memberikan respon-respon
positif di setiap keberhasilan klien
menyebutkan sesuatu.
Bentuk-bentuk feedback positif
yang dimaksud adalah salah satunya
dengan sering menyebutkan kata-kata
seru, seperti Oke, bagus!, Hebaat, He
eh bener, Ini langsung bisa pak.
Hebat, dan sebagainya. Ekspresi
nonlinguistik juga sering digunakan
terapis wicara untuk memberikan
feedback positif kepada klien
penyandang afasia broca, seperti
tepuk tangan, dan gesture yang positif
lainnya.
Selain dengan memberikan pujian
kepada klien penyandang afasia
broca, terapis wicara juga kerap kali
memberikan motivasi dengan berupa
memunculkan modalitas yang telah
dikuasai oleh klien, di antaranya
dengan memohon kepada klien untuk
menyebutkan ulang, menyebutkan
sesuatu yang sudah dilihat, mengu-
capkan sesuatu yang berurutan, yang
notabene sudah familiar dengan
klien. Pola komunikasi tersebut dapat
dilihat pada percakapan berikut ini.
(2) Terapis : Yang di udara?
Pasien : Bentang keluar…
eh, pelayang.
Terapis : Pesa?
Pasien : Pesayang, eh…
Terapis : Pe-sa-wat!
Pasien : Pesayang, eh,
pesawat.
Terapis : Diulang!
Pasien : Pesayang, eh…
pesayap!
Terapis : Pesawat!
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
87
Pasien : Pesawat… ya,
terbang!
(3) Terapis : Kita sekarang
sebutkan buah-
buahan. Lebih
gampang nih. Apa
ini? (jeruk)
Pasien : Jeruk
Terapis : Ini? (manggis)
Pasien : Mangga… eh,
manga.
Terapis : A nya diganti -is
jadi?
Pasien : Mangga! Eh,
mangga! Aduuuh…
iya, itu tuh… hitam
Terapis : Mang?
Pasien : Mangga, ya
mangga.
Eh…
Terapis : Manggis!
Pasien : Iya… manggis!
(4) Terapis : Oke. Bagus pak.
Coba disebutkan
alat-alat
transportasi
tadi pak!
Pasien : Becak, eh… bis…
aduuuh. Be…
becak, becak…
astaghfirullah…
Pola komunikasi yang dilakukan
terapis wicara tersebut mesti terus
dijaga dan dikembangkan, khususnya
dalam konteks komunikasi dengan
klien penyandang afasia broca, yang
notabebe sering mudah frustasi dalam
memproduksi ujaran. Dengan dija-
ganya strategi-stratefi tersebut, akan
tumbuh dan terpeliharan hubungan
kerja sama antara terapis wicara
dengan klien penyandang afasia
broca. Pada hakikanya, kondisi inilah
yang dikehendaki dalam proses
komunikasi terapeutik, yaitu terja-
ganya kerja sama dan komunikasi
yang baik antara terapis wicara
dengan klien penyandang afasia
broca.
Secara keseluruhan, pola komu-
nikasi yang terjadi antara terapis
wicara dengan klien penyandang
afasia broca di Rumah Sakit Pusat
Otak Nasional Jakarta, tergambar
pada bagan berikut ini.
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
88
Pelaksanaan Terapi Wicara
Pesan
Tindak
Komunikatif
- Memerintah
- Memohon
- Menyarankan
- Mempersilakan
- Menegaskan
Modus
- Langsung
- Tidak langsung
Bentuk Pesan
- Bahasa lisan:
perintah
Pertanyaan
Penyataan
- Paralinguistik
- Kontak mata
- Gesture
Ganggua
n
Ganggua
n
Terapis
Wicara
Penyanda
ng Afasia
Kompetensi
Komunikasi
- Pengetahuan
Lingustik
- Keterampilan
Interaksi
Kompetensi
Komunikasi
- Pengetahuan
Lingustik
- Keterampilan
Interaksi
Pesan
Feedba
ck
Tindak
Komunikatif
- Memohon
- mengekspresi
kan
Modus
- Langsung
- Tidak langsung
Bentuk Pesan
- Bahasa lisan
pernyataan
- Paralinguistik
- Diam
- Gesture
- Kontak mata
Pesan
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
89
PENUTUP
Simpulan
Penyandang afasia broca memi-
liki problematika lingual yang begitu
memperihatikan. Mereka memiliki
masalah dalam mengung-kapkan
pikirannya melalui bahasa. Pada
praktiknya, mereka tidak dapat
menggunakan medium bahasa seba-
gaimana fungsinya. Dengan demi-
kian, proses komunikasi antara
penyandang afasia broca dengan
orang-orang di sekitanya akan me-
ngalami gangguan. Kondisi demikian
akan bisa diatasi, salah satunya,
dengan proses terapi wicara untuk
mengembalikan kemampuan berba-
hasa penyandang afasia broca.
Ada keunikan tersendiri dari pola
komunikasi yang dijalin oleh terapis
wicara dengan pasien penyandang
afasia broca di Rumah Sakit Pusat
Otak Nasional Jakarta. Pada
prakitnya, penyandang afasia broca
memiliki tata cara tutur yang berbeda
dengan orang biasa dalam konteks
komunikasi dengan terapis wicara.
Satu di antara keunikan yang ada
adalah tentang kompetensi komu-
nikasi (CC) penyandang afasia broca.
Berdasarkan proses komunikasi
terapeutik yang ada di Rumah Sakit
Pusat Otak Nasional antara terapis
wicara dengan klien penyandang
afasia broca, terdapat beberapa gejala
lingual yakni adanya alih gaya (style
shifting)) dan adanya pemberian
feedback positif dari terapis wicara
kepada klien penyandang afasia
broca.
Saran
Penelitian ini menjadi satu di
antara beberapa aspek yang dapat
diangkat dari fenomena lingual para
penutur afasia. Penelitian-penelitian
serupa dengan subjek yang lebih
banyak, perlu dilakukan dengan
memerlukan waktu yang lumayan
lama. Diharapkan dengan keter-
sediaan waktu yang cukup memadai,
dapat menghasilkan output dan
oiutcome penelitian yang kom-
prehensif
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2003.
Pokoknya Kualitatif: Dasar-
dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif. Cet. II.
Pustaka Jaya, Jakarta.
Arimi, Sailal. 1998. “Basa-Basi
dalam Masyarakat Bahasa
Indonesia”. Tesis Program
Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Association Internationale Aphasie.
2011. Afasia Broca. Tersedia:
http://www.afasie.nl/aphasia/pdf/
26/brochure1.pdf. Diakses pada 9
Maret 2019.
Djojosuroto, K. dan M.L.A.
Sumaryati. 2004. Prinsip-Prinsip
Dasar dalam Penelitian Bahasa
dan Sastra. Bandung: Nuansa.
Fuchran, Arief. 1990. Pengantar
Metode Penelitian Kualitatif.
Surabaya: PUN.
Kusumoutro, Sidiarto. 1999.
Asesmen Afasia. Neurona Vol.
16, 1-2, 21-25.
Kridalaksana, Harimurti. 1993.
“Linguistik dan Cacat Bahasa”.
Makalah Seminar Sehari
Neurolinguistik, Kampus FSUI,
Depok, 1 Mei.
Sastra, Gusdi. 2011. Neurolinguistik
Suatu Pengantar. Bandung:
Alfabeta.
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Vol. 9, No. 2, Juli 2019 e-ISSN 2549-2594
90
Sudaryanto. 2015. Metode Linguistik
ke Arah Memahami Metode
Linguistik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Yunus, Syafruddin. 1999. Anatomi
dan Sindromologi Afasia.
Neurona 16 (1-2) 1-10.