ArticlePDF Available

AKTIVITAS WISATA RELIGI DALAM PERUBAHAN PERMUKIMAN DI KAWASAN BERSEJARAH MENARA KUDUS

Authors:

Abstract and Figures

Menara Kudus area is a settlement of urban villages that has own characteristics and urban embryo of Kudus city. Many traditional houses and ancient buildings can be found in there as a historical area. But, Menara Kudus area continues to develop into a religious tourism area that makes the process changes physically and non-physically. The purpose of this study is to find out what changes occur in Menara Kudus area and the underlying factors. A research method is qualitative explorative with informants as the main resource and uses purposive observation to sample selection. The results of this study indicate a public response to new activities by utilizing residential houses and their residential environment as business space in supporting religious tourism activities. The factors behind the change are increasing the number of visitors, the needs of tourist facilities, type of business space, and orientation of buildings following tourist routes. These changes have an impact on changes in the economy of society, lifestyle, and social society in the Menara Kudus area. But tourism activities are able to maintain the culture and traditions community because it is an interest in tourist visits.Keyword: changes, settlement, houses, religious tourism, historical area, Menara Kudus area.Abstrak: Kawasan Menara Kudus merupakan sebuah permukiman masyarakat kampung kota yang memiliki ciri khas tersendiri dan cikal bakal berdirinya kota Kudus. Banyak rumah-rumah tradisional dan bangunan kuno masih dapat ditemukan disana sehingga ditetapkan sebagai kawasan bersejarah. Namun sebagai kawasan permukiman kawasan Menara Kudus terus berkembang menjadi kawasan wisata religi sehingga mengalami proses perubahan secara fisik maupun non fisik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan apa saja yang terjadi di kawasan Menara Kudus dan faktor yang melatarbelakanginya. Metode penelitian ini adalah kualitatif yang digali secara eksploratif dengan informan sebagai narasumber utama dan menggunakan pemilihan sampel amatan secara purposive. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya respon masyarakat terhadap aktivitas baru dengan memanfaatkan ruang rumah tinggal dan lingkungan permukiman mereka sebagai ruang usaha dalam mendukung aktivitas wisata religi. Faktor yang melatarbelakangi perubahan tersebut adalah adanya faktor peningkatan jumlah pengunjung, kebutuhan fasilitas wisata, perubahan jenis usaha yang dimiliki, dan perubahan arah orientasi bangunan mengikuti akses jalur wisata. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan perekonomian masyarakat, gaya hidup, dan sosial kemasyarakatan di kawasan Menara Kudus. Namun aktivitas wisata religi mampu mempertahankan budaya dan tradisi adat istiadat leluhur karena menjadi minat bagi kunjungan wisatawan.Kata Kunci: perubahan, permukiman, rumah tinggal, wisata religi, kawasan bersejarah, kawasan Menara Kudus.
Content may be subject to copyright.
Arlina A, Agung B. S, Titin W. M: [Aktivitas Wisata Religi Dalam Perubahan Permukiman] 161
AKTIVITAS WISATA RELIGI DALAM PERUBAHAN PERMUKIMAN DI
KAWASAN BERSEJARAH MENARA KUDUS
Arlina Adiyati1, Agung Budi Sardjono2, Titin Woro Murtini3
Universitas Diponegoro
E-mail: arlinaadiyati@gmail.com, abskempung@yahoo.co.id, titien_wm@yahoo.com
Abstract: Menara Kudus area is a settlement of urban villages that has own characteristics
and urban embryo of Kudus city. Many traditional houses and ancient buildings can be found
in there as a historical area. But, Menara Kudus area continues to develop into a religious
tourism area that makes the process changes physically and non-physically. The purpose of
this study is to find out what changes occur in Menara Kudus area and the underlying factors.
A research method is qualitative explorative with informants as the main resource and uses
purposive observation to sample selection. The results of this study indicate a public response
to new activities by utilizing residential houses and their residential environment as business
space in supporting religious tourism activities. The factors behind the change are increasing
the number of visitors, the needs of tourist facilities, type of business space, and orientation of
buildings following tourist routes. These changes have an impact on changes in the economy
of society, lifestyle, and social society in the Menara Kudus area. But tourism activities are able
to maintain the culture and traditions community because it is an interest in tourist visits.
Keyword: changes, settlement, houses, religious tourism, historical area, Menara Kudus area.
Abstrak: Kawasan Menara Kudus merupakan sebuah permukiman masyarakat kampung kota
yang memiliki ciri khas tersendiri dan cikal bakal berdirinya kota Kudus. Banyak rumah-rumah
tradisional dan bangunan kuno masih dapat ditemukan disana sehingga ditetapkan sebagai
kawasan bersejarah. Namun sebagai kawasan permukiman kawasan Menara Kudus terus
berkembang menjadi kawasan wisata religi sehingga mengalami proses perubahan secara
fisik maupun non fisik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan apa saja
yang terjadi di kawasan Menara Kudus dan faktor yang melatarbelakanginya. Metode
penelitian ini adalah kualitatif yang digali secara eksploratif dengan informan sebagai
narasumber utama dan menggunakan pemilihan sampel amatan secara purposive. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan adanya respon masyarakat terhadap aktivitas baru dengan
memanfaatkan ruang rumah tinggal dan lingkungan permukiman mereka sebagai ruang usaha
dalam mendukung aktivitas wisata religi. Faktor yang melatarbelakangi perubahan tersebut
adalah adanya faktor peningkatan jumlah pengunjung, kebutuhan fasilitas wisata, perubahan
jenis usaha yang dimiliki, dan perubahan arah orientasi bangunan mengikuti akses jalur wisata.
Perubahan tersebut berdampak pada perubahan perekonomian masyarakat, gaya hidup, dan
sosial kemasyarakatan di kawasan Menara Kudus. Namun aktivitas wisata religi mampu
mempertahankan budaya dan tradisi adat istiadat leluhur karena menjadi minat bagi kunjungan
wisatawan.
Kata Kunci: perubahan, permukiman, rumah tinggal, wisata religi, kawasan bersejarah,
kawasan Menara Kudus.
PENDAHULUAN
Permukiman (settlement) cenderung terus
berkembang sejalan dengan kebutuhan manusia
dimana perkembangannya akan berakibat pada
perubahan. Perubahan yang terjadi tidak terlepas
dari aktivitas kehidupan didalamnya (Rapoport,
1969; Yudohusodo, Siswono., dkk.,1991). Menurut
Doxiadis (1986) hubungan antara manusia
(contents) dan ruang (container) sangat erat dalam
membentuk sebuah permukiman, apabila contents
berubah maka container juga berubah begitu juga
sebaliknya. Salah satu hal yang menyebabkan
perubahan terhadap tata ruang permukiman dan
rumah tinggal adalah adanya wisata (Fajari S. R.,
dkk., 2014; Ernadia L., dkk., 2017) dimana ruang
akan berubah mengikuti dimensi socialekonomi
yang berkembang didalam kehidupan masyarakat
akibat aktivitas wisata. Selain itu adanya aktivitas
wisata memberikan dampak signifikan terhadap
sektor ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan
kemasyarakatan (Pamungkas I.T., dkk., 2015;
Hermawan Hary, 2016).
Informasi Naskah:
Diterima:
2 Juni 2019
Direvisi:
18 Juni 2019
Disetujui terbit:
26 Juni 2019
Diterbitkan:
Cetak:
29 Juli 2019
Online
29 Juli 2019
162 ARCADE: Vol. 3 No. 2, Juli 2019
Menurut World Tourism Organization (WTO, 2017)
minat kunjungan wisata di dunia saat ini terus
mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan
diperkirakan jumlah kunjungan wisatawan di dunia
akan mencapai 1,8 miliar pada tahun 2030 dengan
tingkat pertumbuhan kunjungan per tahun sebesar
3,3 persen. Oleh karena itu pemerintah Indonesia
mulai gencar mengangkat potensi masingmasing
daerah untuk dijadikan destinasi wisata.
Permukiman di daerah Indonesia yang memiliki
keindahan alam dan keberagaman etnik budaya
tidak luput dari incaran pemerintah untuk
dikembangkan menjadi kawasan wisata.
Hal ini juga terjadi pada permukiman di kawasan
Menara Kudus yang memiliki nilai sejarah tinggi dan
kegiatan religi adat istiadat didalamnya. Sehingga
pada tahun 2014 melalui Keputusan Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus
No.556/23.01/043C/2014 kawasan Menara Kudus
dinobatkan sebagai Desa Wisata Religi. Walaupun
pada dasarnya kegiatan religi seperti ziarah Sunan
Kudus, kegiatan Dandhangan, dan Buka Luwur
sudah ada sejak sebelum maupun setelah Sunan
Kudus meninggal. Kenaikan minat wisatawan untuk
berkunjung ke wisata religi di kawasan Menara
Kudus semakin meningkat tiap tahunnya sejak tahun
1980 (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Kudus, 2018). Kemudian dibentuklah Yayasan
Masjid Menara Makam Sunan Kudus (YM3SK) untuk
mengatur dan melestarikan tradaisi di Masjid Makam
Menara Kudus.
Keberadaan kawasan Menara Kudus sebagai
catalyst aktivitas wisata religi yang berdampingan
dengan tempat bermukim masyarakat lokal yang
telah memiliki karakter tersendiri akan berdampak
terhadap perubahan yang terjadi baik secara fisik
maupun non fisik. Pada penelitian sebelumnya yang
memiliki locus amatan yang sama di kawasan
Menara Kudus lebih banyak membahas tentang
rumah-rumah tradisional Pencu, tradisi kehidupan
masyarakat muslim dan pola permukiman
masyarakat Kudus Kulon yang mencerminkan
suasana permukiman kuno serta tatanan/ patternnya
yang telah mencapai maximum-growth (Sardjono,
2009; Nurjayanti, 2011; Nazaruddin Imam, 2012;
Suprapti et. al, 2014). Sedangkan belum ada
penelitian yang membahas tentang perubahan ruang
permukiman di kawasan Menara Kudus terkait
dengan adanya aktivitas baru seperti aktivitas wisata
religi. Oleh karena itu melalui penelitian ini penulis
berusaha mengangkat fenomena perubahan apa
saja yang terjadi di kawasan Menara Kudus dengan
cakupan skala messo (lingkungan permukiman) dan
mikro (rumah tinggal) dan faktor-faktor yang
melatarbelakanginya.
TINJUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka pada penelitian ini diposisikan
sebagai background knowledge atau dasar-dasar
mengeksplorasi kasus di lapangan terkait perubahan
permukiman dengan adanya wisata religi di kawasan
Menara Kudus.
1. Aktivitas Wisata Religi
Wisata religi merupakan jenis wisata yang berkaitan
dengan agama, sejarah, adat-istiadat dan
kepercayaan suatu umat atau kelompok masyarakat
yang dijadikan kegiatan rutin setiap tahunnya untuk
didatangi. Tujuan wisata religi ini dalam rangka
beribadah dan untuk meningkatkan spiritual. Dalam
melaksanakan aktivitas wisata religi terkandung
pesan maupun pelajaran untuk mewujudkan hidup
lebih beradab (Pendit N. S., 2002; Bahammam,
2012). Sedangkan aktivitas wisata religi terdapat
bermacam-macam di Indonesia, menurut Ulung, G.
(2013) yaitu dengan mengunjungi tempat-tempat
peninggalan sejarah keagamaan atau ke tempat-
tempat suci, berziarah ke makam-makan para
pemuka agama (ulama, kyai) ataupun tokoh-tokoh
masyarakat. Trend wisata religi sangat dipengaruhi
oleh daya tarik wisata yang ada, apalagi
perkembangan wisata semakin kompetitif di
kalangan masyarakat, menurut Cooper (2005)
terdapat elemen wisata yang perlu dipenuhi, yaitu 1)
Atraksi (attractions), seperti alam yang menarik,
kebudayaan daerah yang menawan dan seni
pertunjukkan; (2) Aksesibilitas (accessibilities),
seperti transportasi lokal dan adanya terminal; (3)
Amenitas atau fasilitas, seperti tersedianya
akomodasi, rumah makan, penginapan, dan agen
perjalanan; dan (4) Ancillary services yaitu
organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk
pelayanan wisatawan seperti pokdarwis ataupun
organisasi manajemen pemasaran wisata.
Disamping itu pembangunan wisata dapat memiliki
manfaat diberbagai bidang, seperti di bidang
ekonomi, sosial, life style, politik, pendidikan,
teknologi, kebudayaan, dan lingkungan (Archer B.,
et. al, 2005).
2. Perubahan Permukiman dan Rumah Tinggal
Permukiman terdiri dari contents (isi) dan container
(wadah). Yang dimaksud isi adalah manusia beserta
aktivitasnya, sedangkan wadah berarti bentuk fisik
permukiman baik buatan manusia maupun alam
sebagai tempat hidup manusia dengan segala
aktivitasnya. Melalui contents dan container tersebut
Doxiadis (1986) menjelaskan bahwa permukiman
memiliki lima elemen pembentuk, yaitu man, society,
nature, shells, dan network yang saling berkaitan.
Terbentuknya sebuah permukiman merupakan
proses pewadahan fungsional yang dilandasi oleh
pola aktivitas manusia serta adanya pengaruh
setting baik bersifat fisik maupun non fisik (sosial,
budaya, ekonomi) yang secara langsung
mempengaruhi pola aktivitas dan proses
pembentukan pewadahannya (Rapoport, 1969;
Funo, S. Y. N. & Silas, J., 2002; Zahnd, 2006; Yunus,
2000). Selain itu dalam hubungan antara aktivitas
manusia yang membentuk sebuah setting ruang
terjadi melalui proses dimensi waktu yang akan
membentuk perubahan, dimana perubahan tersebut
dipengauhi oleh faktor-faktor lain didalamnya
(Yudohusodo, Siswono., dkk., 1991).
Kellet P., et. al (1993) menjelaskan alasan
seseorang melakukan perubahan pada rumah
tinggal berasal dari hubungan timbal balik antara
penghuni dengan rumahnya. Perubahan rumah
Arlina A, Agung B. S, Titin W. M: [Aktivitas Wisata Religi Dalam Perubahan Permukiman] 163
tinggal yang dikategorikan Silas (dalam Osman &
Amin, 2012) menurut fungsionalnya dibagi menjadi
dua, yaitu rumah yang hanya difungsikan sebagai
rumah tinggal biasa dan rumah produktif dimana
sebagain rumah digunakan sebagai ruang usaha
atau kegiatan ekonomi untuk mendukung kebutuhan
manusia di dalamnya. Sedangkan tipe rumah
produktif/ usaha ini kemudian diketegorikan lagi
menjadi tiga tipe, yaitu;
1. Tipe campuran, fungsi rumah tinggal dan tempat
usaha menjadi satu secara dinamis mewadahi
aktivitas pekerjaan. Rumah dengan tipe
campuran didominasi oleh fungsi rumah daripada
fungsi usaha.
2. Tipe berimbang, pemisahan antara fungsi rumah
dan fungsi usaha terjadi secara jelas dalam
bangunan yang sama dengan dipertegas oleh
keterlibatan akses dari luar.
3. Tipe terpisah, fungsi usaha lebih dominan dimana
rumah tinggal diletakkan terpisah dengan ruang
usaha (dengan batas teritori rumah yang sama).
Sedangkan menurut Habraken (dalam Bukit et al,
2012) jika perubahan dikaitkan dengan site maka
perubahan tersebut dapat berupa penambahan
elemen (addition), pengurangan (elimination), dan
pergerakan (movement).
3. Karakteristik Permukiman di Menara Kudus
Permukiman di sekitar Menara Kudus merupakan
sebuah cikal bakal berkembangnya kota Kudus saat
ini dan awal mula persebaran agama islam oleh
Ja’far Shadiq di kota Kudus sehingga memiliki latar
belakang sejarah dan karakter permukiman yang
khas. Selain kawasan yang menarik dan penuh
dengan tradisi adat-istiadat banyaknya budaya
tangible intangible yang perlu dilindungi membuat
kawasan ini dijadikan sebagai kawasan Cagar
Budaya (Rosyid, M., 2018).
Permukiman di sekitar Menara Kudus yang asli
dikelilingi oleh tembok pagar rumah yang tinggi
(kilungan) dengan jalan gang yang sangat sempit
untuk alasan keamanan dari masa penjajahan
Belanda pada zaman dahulu. Sehingga masyarakat
agak menutup diri terhadap lingkungan luar. Pusat
dari lingkungan permukiman di Menara Kudus
adalah masjid, baik masjid jami’ maupun masjid
lingkungan (Sardjono, B. A., 2009), di desa Kauman,
Kerjasan dan Langgardalem sendiri memiliki jumlah
masjid sebanyak 17 buah dan 1 mushala.
Gambar 1. Orientasi Permukiman di Menara Kudus
(Sardjono B. A., 2009)
Selain memiliki permukiman yang khas, kawasan
Menara Kudus juga memiliki rumah-rumah
tradisional Pencu.
Gambar 2. Rumah Tradisional Pencu Kudus
(Sardjono B. A., 2009)
Ruang-ruang yang ada di dalam rumah tradisional
pencu juga memiliki perbedaan dari rumah
tradisional jawa pada umumnya. Dalam pembagian
rumah Pencu terdapat dua kategori zona, yaitu zona
terbuka dan zona tertutup. Zona terbuka terwujud
dalam ruang sisir, pakiwan dan pelataran.
Sedangkan untuk zona ruang tertutup terwujud dari
ruang jogosatru atau serambi, ruang gedhongan/
dalem (ruang privat) dan pawon (dapur). Serta
bangunan ini tidak simetris dan tidak mengenal
pendopo maupun halaman belakang seperti pola
tata ruang rumah tradisional jawa (Sardjono, B. A.,
1996). Arah hadap rumah Pencu juga harus
mengikuti tradisi untuk menghadap ke arah selatan
yang berarti membelakangi Gunung Muria yang
memiliki arti tidak boleh menyombongkan diri
terhadap alam semesta. Hirarki ruang dan karakter
permukiman di kawasan Menara Kudus menurut
Suprapti, et. al., (2014) menunjukan tradisi
kehidupan komunitas masyarakat muslim yang
tinggal di kawasan Kudus Kulon yaitu adanya
konsep a) pusat orientasi, b). kontrol akses, c).
ruang-ruang bermakna, dan d). tingkat privasi yang
tinggi. Hal lain yang memperkuat konsep hidup
masyarakat muslim di kawasan Menara Kudus
adalah filosofi hidup Sunan Kudus, yaitu Gusjigang
yang memiliki arti Gus berarti bagus, Ji berarti
mengaji, dan Gang berarti berdagang yang masih di
teladani oleh masyarakat kota Kudus (Sardjono, B.
A., 2016).
METODOLOGI PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan dan tujuan pada
penelitian ini, maka metode yang digunakan adalah
metode kualitatif. Hal ini didasari pada hasil yang
diharapkan agar lebih eksploratif dan mampu
menggambarkan/ menjelaskan temuan-temuan di
lapangan secara lebih kompleks (Groat and Wang,
2002; Creswell, J. W., 2014). Lokasi penelitian
berada di kawasan permukiman Menara Kudus.
Area/ locus yang akan dilakukan observasi yaitu
Kauman, Kejaksan dan Langgar Dalem, ketiga
164 ARCADE: Vol. 3 No. 2, Juli 2019
kampung ini bersinggungan dengan aktivitas wisata
religi Menara Kudus.
Gambar 3. Lokasi Penelitian di Kawasan Menara Kudus
(https://maps.google.com/)
Sedangkan untuk obyek (fokus) penelitian
mengamati secara holistik kondisi perubahan
permukiman di kawasan Menara Kudus dari aspek
fisik dan non-fisik dalam skala mikro (rumah tinggal)
dan messo (lingkungan permukiman). Kemudian
untuk unit analisis penelitian ini adalah rumah-rumah
dan lingkungan yang mengakomodir kebutuhan
wisatawan seperti penginapan, rumah usaha, ruko,
jalan, ruang parkir, ruang publik, dsb. Sample dipilih
secara bertujuan (purposive sampling), sehingga
pengambilan data menuntut peneliti untuk lebih
banyak terjun langsung ke lapangan serta
berinteraksi dengan informan (tokoh masyarakat)
yang dilengkapi dengan observasi, dokumentasi,
dan wawancara secara lebih dalam (in depth
interview). Analisis data dilakukan secara induktif
dengan mengkaji dan menginterpretasi data yang
telah diperoleh kedalam tema-tema temuan yang
dapat menjawab tujuan penelitian dan mendapatkan
kesimpulan akhir.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembahasan ini meliputi eksplorasi perubahan
secara fisik dan non fisik pada permukiman di
kawasan Menara Kudus terkait adanya aktivitas
wista religi. Selain perubahan pada permukiman juga
diambil 30 kasus rumah yang mengakomodasi
aktivitas wisata sehingga dapat diketahui perubahan
apa saja yang terjadi.
1. Perkembangan Kawasan Menara Kudus
Kawasan Menara Kudus sendiri berada di pusat
permukiman kuno di Kota Kudus yang terdiri dari
kampung Kauman, Kerjasan, dan Langgardalem.
Perkembangan permukiman dikawasan Menara
Kudus semakin kompleks dan berkembang, jika
ditelusuri sejarahnya terdapat beberapa tahapan
perkembangan (Hana, M. Y., 2018; Wikantari, 1994;
Salam Solichin, 1977; De Graaf & G. Pigeaud, 1985);
a. Masa masyarakat pra-islam (sebelum abad 15)
dimana daerah permukiman ini diperkirakan
berkembang disepanjang sungai Gelis dengan
dihuni oleh masyarakat Hindu.
b. Masa awal pembentukan masyarakat muslim
terjadi pada awal pertengahan abad 16 dan mulai
berkembang ketika Ja’far Shadiq (dikenal
sebagai Sunan Kudus) yang menyebarkan
agama islam di kawasan Laggardalem dengan
mendirikan masjid dan pesantren (hal ini
diperkuat adanya Masjid Langgardalem sebagai
masjid tertua memuat sengkalan memet 1458 M).
c. Adanya persebaran agama islam dikawasan
Menara Kudus saat itu mulailah perkembangan
masyarakat islam dan sebagai pendirian kota
Kudus pertama kali (1549 M sampai akhir abad
16).
d. Masa pemerintahan Mataram membuat
permukiman penduduk makin berkembang dan
hidup dari perdagangan.
e. Masa kolonial pusat kota dipindahkan ke daerah
timur sungai Gelis yang sekarang menjadi pusat
pemerintahan Kudus dengan fasilitas alun-alun
kota, masjid agung Kudus, penjara, dan pasar
pada saat itu. Sehingga kawasan Menara Kudus
seakan ditinggalkan.
f. Masa puncak perkembangan sosial-ekonomi
diawali pada awal abad 19 dan kemudian mulai
berkembang industri rokok di akhir abad 19
hingga awal abad 20.
g. Masa kemunduran sosial-ekonomi terjadi pada
awal abad 20 hingga tahun 1970-an karena
kondisi politik yang tidak stabil terjadi persaingan
antara pengusaha pribumi dan non pribumi serta
zaman malaise yang melanda dunia. Sehingga
pabrik, gudang bahkan rumah tinggal di kawasan
Menara Kudus banyak diinggalkan dan dijual.
h. Perkembangan kota akhir 1980-an hingga
sekarang mengalami perubahan dimana industri
kecil mulai berkembang kembali dan banyak
perbaikan sarana prasarana kota. Sedangkan
kawasan Menara Kudus tidak banyak mengalami
perubahan namun minat terhadap wisata ke
Sunan Kudus semakin meningkat. Dan hingga
saat ini kawasan Menara Kudus semakin
berkembang dengan wisata religi yang dimiliki.
Gambar 4. Fungsi Permukiman di Menara Kudus
(Analisa Peneliti, 2019)
Adanya fungsi wisata religi yang mendominasi
kegiatan di kawasan Menara Kudus membuat
beberapa fasilitas sarana prasaran dibangun dan
diperbaiki. Sebagaimana menurut Archer, B., et. al,
Arlina A, Agung B. S, Titin W. M: [Aktivitas Wisata Religi Dalam Perubahan Permukiman] 165
(2005) bahwa kegiatan wisata menjadi katalisator
dalam pertumbuhan suatu wilayah yang akan
membuat wilayah tersebut terus berkembang dan
mengalami perubahan. Aktivitas wisata religi di
kawasan Menara Kudus sendiri bermacam-macam,
baik dilakukan harian maupun secara temporal
(eventual dalam waktu tertentu).
Wisata Ziarah, Buka Luwur dan Dhandangan
merupakan wisata religi di Kawasan Menara Kudus
yang banyak menarik minat pengunjung. Antara
aktivitas dan setting ruang sangat erat hubungannya,
dengan adanya aktivitas wisata religi di kawasan
Menara Kudus banyak masyarakat yang
menawarkan ruang-ruang untuk mendukung
aktivitas bagi para pengunjung/ wisatawan. Ruang-
ruang yang disediakan menggunakan ruang
permukiman yang membuat perubahan pada rumah
tinggal, lingkungan permukiman, hingga aspek sosial
budaya.
Tabel 1. Wisata Religi (Hasil Analisa Peneliti, 2019)
Aspek
Harian
Temporal
Wisata
Ziarah
a. Buka Luwur
b. Dandhangan
Aktivitas
Primer
Mendoakan
Buka Luwur :
1. Jamas Pusaka
2. Pelepasan
Luwur
3. Khatmil Quran
4. Terbangan
5. Qurban
6. Pembagian
Berkat
Dandhangan :
1. Kirab Budaya
2. Bazaar
3. Darusan
4. Tilawah
Sirkulasi
Jl. Menara
Buka Luwur :
Jl. Menara
Jl. Madureksan
Jl. Sunan Kudus
Jl. KH Ahmad
Dahlan
Dhandangan :
Sepanjang Jl.
Sunan Kudus
hingga kawasan
Simpang 7
Fasilitas
Ruang
Ruang Parkir
Buka Luwur :
Ruang Parkir
WC/ KM Umum
Toko Oleh-oleh
Warung, Ruko
Penginapan
Hotel Dhandangan :
Parkir
WC/ toilet
Stan, warung
Wahana bermain
Ruang utama yang digunakan dalam aktivitas wisata
religi ada di Masjid, Makam, Menara Kudus dimana
semua kegiatan wisata terfokus pada area tersebut
kemudian fasilitas berkembang keluar area bahkan
hingga permukiman lain di Bakalankrapyak.
Gambar 5. Perkembangan Akibat Wisata Menara Kudus
(Analisa Peneliti, 2019)
Aktivitas religi yang ada secara turun-temurun tetap
dilestarikan oleh masyarakat. Aktivitas religi di
kawasan Menara Kudus dulunya dikelola oleh
Takmir Masjid, kemudian di tahun 1980 dibentuk
YM3SK (Yayasan Masjid Menara Makam Sunan
Kudus) agar dapat dikelola dengan baik karena
semakin banyaknya pengunjung. Kegiatan wisata
Ziarah dan Buka Luwur saat ini masih menjadi
wewenang YM3SK sedangkan tradisi Dandhangan
sudah dialihkan kepada pemerintah daerah
walaupun masih ada kegiatan rutin di kawasan
Menara Kudus untuk menyambut bulan ramadhan.
Gambar 6. Ziarah Makam Sunan Kudus
(Dokumentasi Peneliti, 2019)
Wisata ziarah kubur Sunan Kudus termasuk wisata
religi harian yang tidak pernah sepi pengunjung.
Selama ini telah terjadi lima kali renovasi yang
dilakukan terhadap kawasan Masjid Menara Makam
Sunan Kudus. Adanya wisata utama inilah wilayah
permukiman di sekitar Menara Kudus yang semakin
berkembang hingga mengalami perubahnan.
Perubahan : juru kunci dan marbot masjid dulunya
bekerja dengan sukarela sebagai rasa
pengabdiannya kepada Kanjeng Sunan dan
diberikan imbalan dengan uang iuran pengunjung
(seikhlasnya), tapi sekarang sudah mendapat gaji
secara rutin oleh YM3SK sesuai standar yang ada.
Dulu bisa dibilang kawasan ziarah Sunan Kudus
kurang diperhatikan dengan baik, namun pada tahun
2011 dan 2013 oleh YM3SK dan pemerintah
dilakukan pemugaran sebagai awal penetapan
kawasan wisata religi di tahun 2014. Setelah itu di
tahun 2014 ada perhatian khusus oleh BPCB Jateng
untuk melakukan pemugaran Menara Kudus dan
renovasi Makam Sunan Kudus (Rosyid, M., 2018).
Pemindahan terminal wisata
ke Bakalankrapyak th. 2016
Kawasan
Masjid
Makam
Menara
Kudus
166 ARCADE: Vol. 3 No. 2, Juli 2019
Gambar 7. Tradisi Buka Luwur
(Dokumentasi YM3SK, 2019)
Buka luwur merupakan salah satu wisata religi yang
mendatangkan banyak pengunjung dari berbagai
daerah untuk mengantri mendapatkan nasi jangkrik
sebagai wujud keberkahan. Ketika kegiatan buka
luwur masyarakat yang berjualan di sekitar Menara
dilarang untuk berjualan sementara waktu. Hal ini
dilakukan untuk menghormati dan memperlancar
kegiatan. Buka luwur adalah salah satu acara besar
yang terjadi selama 10 hari (dari tanggal 110
Muharam) dengan jadwal yang telah dibuat oleh
sesepuh sejak dulu.
Perubahan : Dulunya penyembelihan hewan qurban
(rata-rata 11 kerbau dan 84 kambing) serta kegiatan
memasak menggunakan rumah tinggal masyarakat
dan di area taman parkir dekat Menara Kudus hingga
di gang-gang permukiman. Kegiatan besar ini
membutuhkan ruang yang mampu mewadahi semua
aktivitas yang ada sedangkan ruang terbuka di
kawasan Menara Kudus bisa dibilang semakin lama
sudah semakin susah ditemui karena permukiman
yang padat sehingga masyarakat memanfaatkan
ruang publik seperti ruang parkir di YM3SK
digunakan sebagai ruang memasak nasi jangkrik
(berkat) dan sepanjang Jl. Menara digunakan
sebagai ruang untuk mengantri mendapatkan berkat
sedangkan di lain waktu sebelum pembagian nasi
jangkrik digunakan sebagai ruang pengajian
(munadharah, khatmil, qasidah, terbangan). Begitu
pula jalan raya disekitar Menara Kudus untuk
sementara ditutup agar mempermudah sirkulasi
pengunjung dan sebagai ruang parkir.
Sementara itu bahan-bahan pokok yang digunakan
memasak untuk acara peringatan Buka Luwur
merupakan sumbangan dari masyarakat. Dan
selama 10 hari acara berlangsung masyarakat juga
ikut bergotong royong mempersiapkan acara dengan
budaya guyub. Kondisi masyarakat yang cukup
antusias dengan adanya tradisi tersebut
menghasilkan lebih dari 100 relawan dan
masyarakat yang ikut membantu persiapan dan
pelaksanaan acara Buka Luwur.
Gambar 8. Kegiatan Dandhangan
(Dokumentasi YM3SK, 2019)
Kegiatan Dandhangan dilaksanakan satu tahun
sekali dengan durasi waktu + 7 hari menjelang bulan
Ramadhan. Pada awalnya tradisi ini hanya diikuti
oleh masyarakat di sekitar Menara untuk menunggu
pengumuman hari pertama bulan Ramadhan yang
ditandai dengan menabuh bedug (dengan suara
“dhang.... dhang.... sehingga tradisi ini kemudian
dikenal dengan tradisi Dandhangan) karena pada
saat itu belum ada teknologi yang memadai untuk
menyiarkan berita. Dengan adanya antusias
masyarakat membuat masyarakat sekitar berjualan
makanan dengan dipanggul (dapat diangkat
dipindahkan) maksud dari berjualan makanan
adalah sebagai persiapan untuk puasa esok harinya.
Perubahan : Semakin tahun ternyata kegiatan ini
menarik perhatian masyarakat dan hal ini menjadi
acara tahunan yang dikelola oleh pemerintah kota
Kudus. Adanya tradisi Dandhangan yang awalnya
diadakan area depan Menara Kudus (jalan
Madureksan dan jalan Menara), namun karena
kondisi jalan yang semakin semrawut dan dipenuhi
pedagang, membuat pihak Yayasan dan pemerintah
akhirnya mengalihkan acara Dandhangan di
sepanjang jalan Sunan Kudus hingga alun-alun
Simpang Tujuh sehingga tidak mengganggu aktivitas
pedagang di kawasan Menara Kudus yang telah
lama berdiri dan dapat memberikan kesempatan
usaha bagi masyarakat lainnya. Pada awalnya acara
Dandhangan diisi dengan acara keagamaan, namun
adanya kebutuhan ekonomi dan politik membuat
tradisi Dandhangan sekarang lebih seperti pasar
malam. Walaupun begitu masih banyak kegiatan
pengajian dan acara keagamaan tetap dilaksanakan
di Masjid Menara Kudus.
Ketiga aktivitas tersebut sama-sama diminati oleh
wisatawan sebagai tujuan wisata religi, namun
ziarah kubur Sunan Kudus menjadi salah satu wisata
religi yang tingkat kunjungannya tertinggi karena
dapat dikunjungi setiap hari dan menjadi sebuah
tradisi tersendiri bagi kelompok masyarakat muslim.
Dengan adanya wisata yang memiliki siklus waktu
tertentu (temporal) berkontribusi terhadap terjadinya
perubahan fisik ruang-ruang yang digunakan. Baik
akses jalan, ruang terbuka publik, rumah tinggal,
maupun gang-gang permukiman. Perubahan
penggunaaan ruang permukiman memberikan ciri
bagi kawasan Menara Kudus yang awalnya sebagai
kawasan permukiman masayarakat dengan mono
functional cenderung berubah menjadi mixed use
functional (adanya aktivitas wisata religi).
Gambar 9. Perubahan Penggunaan Ruang Permukiman
a). Sebelum Menjadi Kawasan Wisata 1970
b). Sesudah Menjadi Kawasan Wisata 2014
(Analisa Peneliti, 2019)
Arlina A, Agung B. S, Titin W. M: [Aktivitas Wisata Religi Dalam Perubahan Permukiman] 167
Dengan adanya wisata tersebut menjadi daya tarik
(attractions) wisatatawan inilah yang membuat
munculnya fasilitas maupun perbaikan sarana dan
prasarana yang telah ada, seperti aksesibilitas
terhadap perbaikan jalan raya, dibuatnya terminal
wisata, memanfaatkan transportasi lokal untuk
kegiatan wisata seperti becak, andong, dan ojek.
Serta rumah yang dilalui oleh pengunjung wisata
juga tak luput dari perubahan untuk mewadahi
kebutuhan wisatawan seperti memanfaatkan ruang
rumah tinggal sebagai rumah usaha/ jasa. Selain itu
organisasi kepariwisataan juga sangat penting
dalam sebuah kelangsungan suatu obyek wisata,
untuk mendukung wisata di kawasan Menara Kudus
maka dibuatlah Yayasan Masjid Menara Makam
Sunan Kudus (YM3SK), kelompok sadar wisata
(pokdarwis) di Kauman, paguyuban bagi ojek wisata,
serta perkumpulan PKL dikawasan wisata Menara
Kudus.
2. Perubahan Lingkungan Permukiman di
Kawasan Menara Kudus
Kawasan Menara Kudus sendiri berada di pusat
kota, dengan adanya ketiga aktivitas wisata religi
tersebut sangat berpengaruh terhadap perubahan
dan permukimannya, dimana jika content berubah
maka container juga ikut berubah (Doxiadis, 1986).
Hasil dokumentasi time series dibawah ini
menggambarkan perubahan yang terjadi begitu
signifikan akibat adanya aktivitas wisata religi di
kawasan Menara Kudus.
Gambar 10. Perubahan di Sekitar Menara Kudus
a). Kondisi Sekitar Menara Kudus Th. 1900
b). Kondisi Sekitar Menara Kudus Th. 1990
c). Kondisi Sekitar Menara Kudus Th. 2010
(http://seputarkudus.com/)
Melalui analisa perubahan ini aspek-aspek yang
ditinjau dalam pembentukan sebuah permukiman
adalah :
Man, masyarakat di kawasan menara Kudus
memang menganut tradisi gus ji gang yang
menyeimbangkan antara kehidupan sekarang
(dunia) dan nanti (akhirat). Dulunya masyarakat
berprofesi sebagai petani dan pedagang yang
banyak menjual bahan pokok (pertanian), kemudian
batik dan tekstil, serta memiliki masa kejayaan
sebagai pembuat rokok, namun saat ini lebih
condong untuk menjual barang oleh-oleh, seperti
pakaian, makanan, yang dinilai lebih
menguntungkan. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya masyarakat di sepanjang Jl. Menara
Kudus dan Jl. Madurekso yang mengganti jenis
dagangannya untuk memfasilitasi kebutuhan wisata
religi.
Jare wong tuwo nek cerita wong-wong neng kene
ndek kae do mbatik, bordil, ngelinting mergo
akeh gudang rokok kiro-kiro yo taun 70-an nek
rokok mbak ... Omah-omah ndek emben kilungan
tembokan duwur-duwur, pageran. Saiki dibukak
toko kabeh mergo akeh sing moro dalane yo
ndipik mung sempit saiki keno pelebaran ...
(wawancara Siti KK, 2019)
Masyarakat dulunya cukup tertutup dengan tembok-
tembok tinggi (kilungan) pada setiap rumah tinggal.
Dalam satu kilungan biasanya terdiri dari beberapa
rumah yang memiliki tali kekerabatan, bisa dibilang
masyarakat dulunya tidak banyak bersosialisasi
antar tetangga hanya dalam keluarga saja (didalam
kilungan). Tembok kilungan berfungsi sebagai
pelindung dan keamanan ketika zaman penjajahan.
Jika dibandingkan dengan masyarakat pedagang
zaman dulu dikawasan Menara Kudus dulunya
memiliki prinsip tidak menunjukkan kekayaan
mereka (juhud) tertutup dari luar, segala usaha yang
dilakukan didalam rumah dan distribusi
perdagangannya dilakukan keluar daerah.
Saat ini dibandingkan dengan perdagangan
masyarakat zaman dulu yang mampu merambah ke
luar daerah, perdagangan saat ini lebih banyak untuk
kalangan wisatawan yang berkunjung dan beberapa
telah dikelola oleh penyewa toko atau ruko
(penduduk dari luar kawasan Menara Kudus).
Perbedaan toko yang dikelola oleh pendudk asli dan
penduduk dari luar adalah jika toko yang dikelola
penduduk asli mereka lebih tertutup dan memiliki
patokan waktu tersendiri untuk menjalankan
usahanya (ketika waktu-waktu shalat dan event
besar yang berkaitan tentang peringatan bagi
Kanjeng Sunan Kudus), menurut mereka
pendapatan bukan menjadi prioritas utama
sedangkan yang dikelola penduduk dari luar hampir
setiap hari buka tanpa memperhatikan waktu-waktu
ibadah. Selain itu mereka lebih terbuka dan menurut
warga asli pedagang yang dari luar kurang
mengetahui adab berjualan di wilayah kanjeng
Sunan Kudus. Beberapa dari mereka lebih mengejar
keuntungan dan menggunakan ruang semaksimal
mungkin hingga memenuhi area depan kawasan
168 ARCADE: Vol. 3 No. 2, Juli 2019
Masjid Menara Kudus yang sakral. Namun di tahun
2016 PKL sudah mulai ditertibkan oleh pemerintah.
Society, kehidupan sosial masyarakat tentunya
berbeda dibanding dulu, dimana masyarakat dulu
dipertemukan/ melakukan kegiatan sosial ketika
menjalankan ibadah ataupun pertemuan pengajian.
Sekarang dengan adaya aktivitas wisata membuat
masyarakat banyak dilibatkan dalam kegiatan
pokdarwis, perkumpulan paguyuban, event-event
keagamaan, dan penyelenggaran tradisi. Namun
secara sosial mereka masih cukup tertutup karena
sebagian besar rumah tinggal mereka masih
kilungan. Di dalam masyarakat masih dijumpai
masyarakat yang menganut paham “uripmu
uripmu, uripku uripku” hal ini dapat dilihat ketika
masyarakat penghuni di kawasan permukiman
Menara Kudus begitu menjaga jarak terhadap
wisatawan maupun masyarakat yang tidak dikenal.
Walaupun seperti itu masyarakat akan tetap saling
toleransi dan saling membantu ketika kegiatan
keagamaan dan tradisi adat istiadat diadakan. Nilai-
nilai guyub masih mereka pertahankan jika berkaitan
tentang kegiatan tradisi leluhur. Bahkan menurut Pak
Rachmat Hidayat selaku kepala desa Kauman dan
Pak Nadjib Hasan selaku kepala YM3SK, semakin
kesini masyarakat semakin antusias untuk gotong-
royong membantu pelaksanaan tradisi atau event
keagamaan lainnya baik dari masyarakat disekitar
Menara Kudus hingga dari luar permukiman.
Gambar 11. Kegiatan Guyub Masyarakat
(https://www.pewartanusantara.com)
Lebih dari 100 orang dari beberapa kalangan
masyarakat juga turut membantu dalam persiapan
dan pelaksanaan kegiatan. Toleransi antar agama
dapat dilihat ketika kegiatan tradisi dan keagamaan
dilakukan. Masyarakat dari non muslim banyak yang
ikut menyumbang dan datang mengikuti jalannya
acara.
Nature, adanya aktivitas wisata religi tentunya
membawa dampak buruk terhadap lingkungan hidup
di kawasan Menara Kudus dan sekitarnya. Jika
dulunya kawasan tersebut sangat bergantung pada
lahan pertanian sebagai komoditi utama sumber
perdagangan masyarakat menjelang abad ke-XIX.
Kini lahan-lahan hijau sudah padat dengan
bangunan dan rumah tinggal yang berdiri diatasnya
sehingga kurangnya ruang terbuka hijau dan ruang
penyerapan air. Dengan adanya aktivitas wisata
sebagai aktivitas perhatian utama bagi masyarakat
maupun wisatawan membuat banyaknya sampah
yang dibuang, berkurangnya ketersediaan air akibat
kebutuhan wisatawan dan masyarakat yang
digunakan untuk minum, wudhu, mandi, buang
hajad, dsb. Pada tahun 2016, persoalan ini mulai
menjadi program penataan oleh pemerintah dengan
pengelolaan sampah dan beberapa penataan ruang
dan memfungsikan kembali fungsi alun-alun lama
menjadi ruang terbuka hijau sebagai Taman Kota.
Hal ini dilatarbelakangi struktur ruang yang mulai
tidak seimbang. Revitalisasi alun-alun lama akhirnya
dilakukan, berikut tahap perubahan yang dilakukan;
Gambar 12. Perubahan Kawasan Alun-Alun Lama
(Analisa Peneliti, 2019)
Peralihan ruang alun-alun lama dan perbaikan
terhadap sarana prasarana di Kawasan Menara
Kudus sebagai wujud penataan ruang terhadap
aktivitas baru (aktivitas wisata) mampu merubah
gaya hidup dan lingkungan hidup masyarakat. Dari
sistem pengelolaan sampah (sekarang setiap
harinya dilakukan kebersihan secara periodik),
sistem penggunaan air, dan penggunaan ruang
lingkungan sudah ditata dan ditingkatkan sedemikian
rupa untuk menunjang aktivitas wisata religi.
Network, jalan-jalan di kawasan Menara Kudus
memiliki gang-gang sempit dan bercabang seperti
labirin. Jalan di kawasan Menara Kudus dibentuk
sempit dan diapit oleh tembok-tembok tinggi
difungsikan sebagai pelindung dari para penjajah
pada zamannya dan saat ini jalan-jalan mulai
diperbaiki dan diperluas agar mempermudah
aksesibilitas wisatawan. Berdasarkan fungsi dan
jenisnya terdapat perbedaan kelas jalan di kawasan
Menara Kudus, yaitu ;
a. Jalan utama publik, seperti Jl. Sunan Kudus
yang dilalui oleh semua masyarakat dengan
tujuan bermacam-macam.
Arlina A, Agung B. S, Titin W. M: [Aktivitas Wisata Religi Dalam Perubahan Permukiman] 169
Gambar 13. Perubahan Fungsi & Dimensi Jalan
(Analisa Peneliti, 2019)
Selain itu secara temporal sepanjang jalan
Sunan Kudus juga digunakan sebagai ruang
usaha bagi pedagang ketika tradisi
Dandhangan berlangsung. Dulunya tradisi ini
dilakukan di kawasan Menara Kudus dan di
sepanjang Jl. Madurekso. Namun karena
minat dan kebutuhan ruang yang semakin
berkembang, membuat kawasan semakin
semrawut, akhirnya pemerintah memutuskan
untuk mengalihkannya ke Jl. Sunan Kudus
dan berakhir di alun-alun Simpang 7.
b. Jalan semi publik, seperti Jl. Madurekso dan
Jl. Menara Kudus yang dilalui oleh masyarakat
setempat dan wisatawan yang berkunjung ke
kawasan Menara Kudus (biasanya dengan
tujuan untuk wisata religi).
Gambar 14. Perubahan Fungsi & Dimensi Jalan
(Analisa Peneliti, 2019)
c. Jalan sempit semi privat, jalan ini berupa
gang-gang sempit yang berada di bagian
selatan dan utara komplek Masjid Menara
Makam Sunan Kudus, gang ini digunakan
sebagai akses yang memudahkan
masyarakat dari tempat parkir menuju ke
obyek wisata religi.
Gambar 15. Perubahan Fungsi & Dimensi Jalan
(Analisa Peneliti, 2019)
d. Jalan sempit privat, berupa gang-gang
rumah yang hanya dilalui oleh masyarakat
setempat. Apabila orang asing melewati gang-
gang tersebut masyarakat akan menghindar
dan akses dari gang-gang ini ujungnya hanya
diketahui oleh masyarakat setempat seperti
halnya labirin.
Pada tahun 2016 jalan Madurekso telah mengalami
pelebaran dulunya antara toko dan jalan masih ada
ruang perantara seperti jalur pedestrian atau
pekarangan, tapi sekarang digunakan untuk jalan
sebagai akses wisatawan. Jalan Menara, jalan
Madurekso maupun gang-gang sempit disekitar
kawasan Menara Kudus telah dilakukan perbaikan
dan pergantian material menjadi granit. Selain itu
juga di bangun gorong-gorong untuk memperbiki
saluran drainase permukiman. Lampu-lampu jalan
sebagai street furniture untuk penerangan ketika
malam hari. Berikut adalah dokumentasi yang
memperlihatkan perubahan yang terjadi, yaitu;
Gambar 16. Perubahan Dimensi dan Material Jalan
(Google Images, 2019)
Shell, rumah tinggal sebagai tempat berlindung yang
ada di kawasan Menara Kudus terdiri dari dua gaya
arsitektur utama, yaitu tradisional pencu dan gaya
kolonial-indisch. Sebelum adanya wisata rumah-
rumah berorientasi kedalam rumah dengan tembok
tinggi mengelilingi rumah. Setelah adanya kegiatan
wisata rumah-rumah berorientasi keluar yang
terbuka ke arah jalan. Indikasi yang ada di lapangan
mengisyaratkan adanya proses perubahan rumah
TH.1880
TH.1922
TH.2016
170 ARCADE: Vol. 3 No. 2, Juli 2019
tinggal yang terjadi akibat adanya wisata adalah
adanya perubahan terhadap fungsi ruang,
perubahan jenis usaha yang dimiliki, dan perubahan
arah orientasi bangunan mengikuti akses jalur
wisatawan.
Gambar 17. Studi Kasus Rumah Tinggal
(Analisa Peneliti, 2019)
Setelah dilakukan grand tour” pada permukiman
sekitar kawasan Menara Kudus (Kauman, Kerjasan,
dan Langgardalem) sebagai unit amatan untuk
memahami berbagai fenomena yang ada, kemudian
dilakukan fokus pengamatan (“mini tour”) pada
rumah tinggal yang mengakomodasi aktivitas wisata
religi dengan amatan pada pemanfaatan rumah
tinggal sekaligus sebagai tempat usaha. Telah
didapatkan 30 sampel rumah usaha untuk dibahas
lebih lanjut. Dari hasil yang didapatkan beberapa
perubahan rumah tinggal di kawasan Menara Kudus
berdasarkan tipe bangunannya, yaitu;
1. Tipe Bangunan Tradisional Pencu
Perubahan rumah tradisional pencu yang merespon
adanya aktivitas wisata religi adalah dengan
menggunakan ruang-ruang service-nya untuk
digunakan sebagai ruang usaha. Ruang service
pada rumah tradisional disebut sebagai bangunan
sisir dan pawon. Bangunan sisir sendiri terletak
terpisah disisi selatan pada rumah tinggal.
Pada karakter rumah tradisional, bangunan sisir
menghadap ke arah utara dan rumah tinggal
menghadap ke arah selatan dalam satu kilungan
dengan regol sebagai akses keluar-masuk (sisi
timur atau barat rumah). Rumah-rumah tradisional
ini pun menganut pedoman hidup Kanjeng Sunan
Kudus “gusjigang” sehingga memang secara
generasi ke generasi tiap rumah memiliki usaha
tersendiri dan orientasi hidup kepada syariat-syariat
islam. Namun secara berangsur-angsur bangunan
rumah tradisional mengalami perubahan. Rumah
tradisional yang mengadopsi ruang usaha akan
merubah orientasi bangunan dari tertutup kedalam
dengan tembok pemisah antara ruang luar dan
ruang dalam kini sudah menjadi lebih terbuka
dengan mengubah orientasi bangunan usaha
menghadap ke arah jalan. Namun karakter
masyarakat yang tertutup masih dapat ditemui pada
studi kasus rumah-rumah tradisional tersebut.
Beberapa rumah yang menyewakan rumah
penginapan seperti pada kasus rumah pak Sya’roni
(K1) hanya ditujukan bagi keluarga dan kerabatnya
saja.
... tapi sing saged nginep kangge kerabat mawon
mbak boten dibuka kangge wong njobo (tidak
dibuka untuk orang lain/ asing) ...
Kasus : K1, K2, K3, K4, K8, K12.
Gambar 18. Tipe Perubahan Rumah Tradisional Pencu
(Analisa Peneliti, 2019)
2. Tipe Bangunan Gedong (Kolonial Indisch)
Selain bangunan tradisional pencu yang masih
dapat ditemukan di kawasan Menara Kudus, tipe
bangunan kuno seperti bangunan gedong juga
masih dapat ditemukan dengan gaya arsitektur
indisch (campuran antara Jawa dan Kolonial).
Bangunan dengan tipe gedong di kawasan Menara
Kudus letaknya selalu dekat dengan jalan dan
dulunya memiliki fungsi sebagai bangunan pabrik
rokok ataupun sebagai gudang penyimpanan.
Dengan masa kejayaan rokok yang berakhir di
tahun 1970-an pada saat itu banyak bangunan
gedong yang tidak digunakan lagi. Bangunan
gedong memiliki ruang yang luas dan memanjang
memiliki potensi untuk digunakan sebagai tempat
usaha. Bangunan gedong dimiliki dari hak waris
yang dibagi kepada keturunannya (anak-anaknya)
kemudian bangunan disekat-sekat untuk ruang
usaha, hal ini ditemui pada kasus rumah Bu Titik-
Kuswati, Bu Faleh dan Bu Aisyah.
Kasus : K7, K17, K30.
Gambar 19. Tipe Perubahan Bangunan Gedong
(Analisa Peneliti, 2019)
Hal itupun mendukung untuk digunakan sebagai
tempat usaha yang menjual oleh-oleh khas wisata
religi Menara Kudus dengan orientasi yang
menghadap jalan sebagai akses utama wisatawan.
3. Tipe Bangunan Kilungan
Rumah-rumah di kawasan Menara Kudus memang
pada dasarnya memiliki karakter dikelilingi oleh
tembok-tembok tinggi (kilungan) sehingga memiliki
kesan tertutup dari lingkungan luar. Namun saat ini
mulai banyak bangunan kilungan yang lebih
terbuka, hal ini dikarenakan aktivitas manusia dalam
merespon aktivitas baru dan kebutuhan yang ada
didalam lingkungan bermukim mereka. Perubahan
generasi juga sangat berperan terhadap perubahan
rumah tinggal. Hal ini dikemukakan oleh pemilik
kasus rumah K18 jika dulu masyarakat sudah
berkecimpung dengan usaha batik, bordir, sampai
Arlina A, Agung B. S, Titin W. M: [Aktivitas Wisata Religi Dalam Perubahan Permukiman] 171
era industri rokok. Namun perubahan generasi
menyebabkan usaha terputus. Selain itu sosial
antar tetangga tidak terlalu dekat bahkan tidak kenal
satu sama lain, hal ini karena satu keluarga kilungan
lebih sering bersosialisasi dalam satu kilungan
keluarga sendiri. Berikut tipe bangunan kilungan
dengan memanfaatkan ruang luar/ halaman
sebagai ruang usaha, yang dibedakan lagi menjad
dua tipe antara rumah kolonial dengan rumah
modern dengan tembok kilungan
Kasus Kolonial Kilungan : K5, K6, K16, K22.
Gambar 20. Tipe Perubahan Rumah Kolonial Kilungan
(Analisa Peneliti, 2019)
Kasus Modern Kilungan : K18, K28, K29.
Gambar 21. Tipe Perubahan Rumah Modern Kilungan
(Analisa Peneliti, 2019)
Rumah dengan tipe kilungan memang memiliki
halaman yang luas dengan rumah tinggal yang
cukup besar. Halaman yang luas dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai ruang usaha baik dibangun
bangunan toko ataupun difungsikan sebagai ruang
parkir karena kebutuhan ruang parkir yang semakin
meningkat. Hal ini dikarenakan permukiman
disekitar Menara Kudus sudah mencapai maximum
growth sehingga kawasan sudah cukup padat.
Perbedaan antara perubahan rumah kolonial
kilungan dengan rumah modern kilungan adalah,
jika rumah kolonial kilungan halaman difungsikan
menjadi ruang usaha (sewa jasa) sedangkan rumah
modern kilungan lebih difungsikan untuk membuat
ruang baru sebagai ruang usaha (toko, kios atau
warung). Rumahrumah di kawasan Menara Kudus
juga sudah terbagi-bagi dalam satu kilungan, hal ini
dikaitkan sebagai pembagian hak waris. Pembagian
hak warisan menganut hukum adat Jawa dengan
istilah sepikulan karo segendongan, yakni anak
laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dari
bagian anak perempuan. Jika halaman bersama
digunakan sebagai usaha maka penghasilan juga
dibagi rata terhadap keluarga (guyub &
kekeluargaan).
4. Tipe Bangunan Lokal Tionghoa
Kehidupan masyarakat di Kawasan Menara Kudus
memang sangat heterogen dengan tingginya rasa
toleransi antar agama. Di area bagian timur
permukiman Menara Kudus tepatnya di Jl.
Madurekso bagian timur memang mayoritas
ditinggali oleh penduduk tionghoa. Hal ini berkaitan
dengan adanya klenteng Hok Ling Bio (Jl.
Madurekso No. 2) yang diyakini sebagai klenteng
tertua (berdiri sebelum masa kolonial Belanda, abad
ke-XV). Dari hasil penggalian data di lapangan
didaptakan informasi bahwa ketika adanya kegiatan
keagamaan mereka akan saling membantu dan
memeriahkan acara. Selain itu rumah-rumah lokal
yang dimiliki oleh penduduk tionghoa setempat
memiliki beberapa karakter tersendiri dengan
bangunan memanjang kebelakang, fasad yang
bermaterial kayu, dan memiliki ruang usaha di area
depan rumah. Rumah-rumah di area tersebut masih
sama dan tidak banyak mengalami perubahan,
bahkan mempertahankan jenis usaha dan rumah
secara turun-temurun. Mereka mempercayai feng
sui dalam keberuntungan jenis usaha dan tata ruang
rumah tinggal sehingga perubahan jenis usaha
kadang bersebrangan dengan aktivitas yang ada
dan baru akan mengalami perubahan ketika
digantikan oleh generasi baru (keturunannya).
Kasus : K13, K14, K20, K21.
Gambar 22. Tipe Perubahan Rumah Lokal Tionghoa
(Analisa Peneliti, 2019)
Ulasan Secara Konsep Temuan Perubahan
Ulasan berikut merupakan hasil dari rangkuman
analisa yang didapat sehingga ditemukan beberapa
point perubahan sebagai berikut ;
Perubahan Aspek Fisik
Lingkungan binaan yang merespon aktivitas
wisata memiliki kecenderungan untuk berubah
pada tampilan, struktur tata ruang, dan fungsi
ruang bangunannya. Dengan karakter
bangunan di kawasan Menara Kudus yang
dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi (kilungan)
dan orientasi rumah kedalam kini semakin
terbuka dengan arah orientasi yang dilalui oleh
wisatawan. Banyak bangunan disepanjang Jl.
Menara Kudus dan Jl. Madurekso berfungsi
sebagai rumah usaha yang direnovasi tampilan
bangunannya. Sepanjang jalan tersebut
digunakan sebagai ruang usaha yang menjual
oleh-oleh khas wisata religi Sunan Kudus
karena sering dilewati oleh wisatawan. Selain
172 ARCADE: Vol. 3 No. 2, Juli 2019
itu kebutuhan akan aksesibilitas bagi wisatawan
yang tinggi menyebabkan terjadi perluasan
dimensi jalan dan perbaikan terhadap material
jalan. Perkembangan wisata religi di komplek
Menara Kudus juga mulai dirasakan diluar
permukiman lain yaitu, dikawasan Terminal
Wisata Bakalankrapyak. Pemindahan terminal
tersebut terjadi pada tahun 2016 ketika terminal
wisata yang dulunya berada di alun-alun lama
Menara Kudus telah menyebabkan kemacetan
dan kesemrawutan. Sedangkan saat ini alun-
alun lama difungsikan kembali sebagai ruang
terbuka publik.
Perubahan Aspek Non Fisik
Kegiatan usaha masyarakat dikawasan Menara
Kudus memang secara turun-temurun
diwariskan dari generasi ke generasi namun
dengan adanya wisata religi mereka mengubah
jenis usaha mereka. Yang awalnya berjualan
sembako, kelontong, dan rokok mulai merespon
wisata dengan berdagang oleh-oleh dan hal-hal
yang berbau souvenir wisata religi. Masyarakat
di kawasan Menara Kudus cukup selektif
terhadap orang luar/ asing dan dengan
berkembangnya wisata religi dapat ditemukan
beberapa pemilik rumah khususnya yang sudah
berdagang untuk kegiatan wisata lebih terbuka
terhadap masyarakat luar dibandingkan yang
tidak. Hal ini berdampak terhadap lifestyle atau
gaya hidup bersosialisasi masyarakat semakin
banyak perkumpulan dan paguyuban yang
dibentuk semenjak adanya aktivitas wisata,
seperti paguyuban kendaraan ojek, PKL,
Pokdarwis, Yayasan Masjid Menara Makam
Sunan Kudus, kelompok terbangan, dll.
Banyaknya relawan yang ikut membantu
pelaksanaan kegiatan tradisi adat istiadat
ataupun acara keagamaan juga membuat
budaya guyub semakin erat antar masyarakat
dan hal tersebut hanya dapat dijumpai secara
eventual ketika acara tradisi akan diadakan.
Aspek Kebertahanan
Menarikanya dengan adanya aktivitas wisata
masyarakat tetap menjunjung tinggi nilai-nilai
paham atau prinsip hidup masyarakat Kudus
Kulon yaitu “gusjigang” dimana masyarakat
tidak melulu mengejar keuntungan saja tapi
kegiatan usaha bukan menjadi hal yang utama
melainkan kehidupan dengan Tuhan YME
(habluminallah) yang lebih diutamakan. Pada
waktu-waktu jam istirahat dan waktu ibadah
kebanyakan ruang usaha akan segera ditutup
dan mereka akan secepatnya melaksanakan
shalat bahkan toko-toko dibiarkan tanpa ada
pemilik/ penjual.
Keberlangsungan acara tradisi budaya seperti,
Buka Luwur, Dandangan merupakan implikasi
dari kehidupan guyub oleh masyarakatnya
(habluminannas). Dimana antar masyarakat
saling membaur menjadi satu ikut membantu
persiapan dan pelaksanaan kegiatan serta
menjalankan tradisi yang telah dijalankan
secara turun-temurun. Rasa toleransi antar
beragama juga dapat ditemukan dalam
kegiatan tersebut. Masyarakat non muslim ikut
membantu dan memberikan sumbangan hingga
ikut dalam kemeriahan acara.
KESIMPULAN
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya respon
masyarakat terhadap aktivitas baru dengan
memanfaatkan ruang rumah tinggal dan lingkungan
permukiman mereka sebagai ruang usaha dalam
mendukung aktivitas wisata religi.
Gambar 23. Kerangka Perubahan Permukiman Dengan
Adanya Aktivitas Wisata Religi
(Analisa Peneliti, 2019)
Secara fisik perubahan terjadi pada tampilan,
struktur tata ruang, dan fungsi ruang bangunannya.
Faktor yang melatarbelakangi perubahan rumah
tinggal dan lingkungan permukiman adalah faktor
peningkatan jumlah pengunjung, adanya kebutuhan
fasilitas wisata, perubahan jenis usaha yang dimiliki,
dan perubahan arah orientasi bangunan mengikuti
akses jalur wisatawan. Faktor-faktor tersebut muncul
setelah adanya aktivitas baru sebagai kawasan
wisata religi Sunan Kudus. Dari adanya perubahan
tersebut berdampak pada perubahan perekonomian
masyarakat, gaya hidup, dan sosial kemasyarakatan
di kawasan Menara Kudus.
Sedangkan adaya aktivitas wisata religi berdampak
pada kebertahanan budaya gusjigang, budaya
guyub, serta toleransi beragama (bentuk
habluminallah & habluminannas) yang menjadi
ajaran Kanjeng Sunan Kudus yang masih terpelihara
hingga kini. Bahkan semakin terkenal dikalangan
wisatawan hingga menjadi minat wisata religi ketika
terjadi pada penyelenggaraan tradisi kebudayaan
dan adat-istiadat yang dilakukan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada masyarakat
kampung Kauman, Kerjasan, dan Langgar Dalem
Arlina A, Agung B. S, Titin W. M: [Aktivitas Wisata Religi Dalam Perubahan Permukiman] 173
yang telah meluangkan waktunya untuk membagi
informasi kepada peneliti. Kemudian kepada Pak,
Nadjib Hasan selaku kepala Yayasan, Mas Wildan,
Mas Denny Nur Hakim, dan Pak Anis selaku staff
YM3SK, serta ucapan terima kasih kepada Aparatur
Sipil Negara (ASN) kabupaten Kudus Bapak Syarif
Hidayat dan Saifuddin Zuhri selaku pegawai Dinas
PKPL, Bapak M. Aflah selaku pegawai Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata, Mbak Irma selaku
pegawai Dinas PUPR. Tidak lupa ucapan terima
kasih kepada kepala & staff kelurahan Kampung
Kauman Bapak Rachmat Hidayat & Ibu Niken yang
selama ini mendampingi observasi peneliti, Bapak
Moh. Maftukhan selaku kepala Kampung Langgar
Dalem, Mas Gatot dan Bu Faida selaku staff
kelurahan Kerjasan serta Bapak Fadhur Rachman
selaku kepala kelurahan Janggalan. Pihak-pihak
yang tidak disebutkan diatas yang telah membantu
memberikan informasi maupun data yang
dibutuhkan untuk penyusunan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bahammam, F. S. (2012). Panduan Wisatawan Muslim.
Jakarta: Pustaka At-Kautsar.
Cooper, et. al. (2005). Tourism Principles and Practice (3rd
ed.). London: Pitman Publishing.
Creswell, J. W., (2014). Research Design: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (3rd ed.).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
De Graaf & G Pigeaud. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di
Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram.
Jakarta : Grafiti Pers.
Doxiadis, C. A. (1968). Ekistic, An Introduction to the
Science of Human Settlements. London:
Hutchinson of London.
Groat, L. and David W. (2002). Architectural Research
Methods (2th ed.). New York: John Wiley & Sons,
Inc.
Pendit, N. S. (2002). Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar.
Jakarta : Pradnya Paramita.
Rapoport, Amos. (1969). House, Forms and Culture. USA:
Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs.
Salam, Solichin. (1977). Purbakala Dalam Perjuangan
Islam. Kudus: Menara Kudus.
Ulung, G. (2013). Wisata Ziarah. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Yudohusodo, Siswono., dkk. (1991). Rumah untuk Seluruh
Rakyat. Jakarta: INKOPOL, Unit Percetakan
Bharakerta.
Yunus, H. S. (2000). Struktur Tata Ruang Kota.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zahnd, Markus. (2006). Perancangan Kota Secara
Terpadu, Teori Perancangan Kota dan
Penanganannya (seri kedua). Yogyakarta:
Kanisius.
Archer, B., et. al. (2005). The Positive and Negative
Impacts of Tourism in Global Tourism. Theobald
W., (Ed.), The Positive and Negative Impacts of
Tourism. (pp. 79-102). Amsterdam: Elsevier.
Bukit, et. al. (2012). Aplikasi Metode N. J. Habraken pada
Studi Transformasi Permukiman Tradisional.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 1 (1). 51-
63.
Ernadia, L., dkk. (2017). Perubahan Lingkungan dan Tata
Ruang Rumah Tinggal di Desa Wisata Kandri.
Jurnal TESA Arsitektur, 15 (1), 41-53. doi:
10.24167/tes.v15i1.1006.
Fajari, S. R., dkk. (2014). Pengaruh Aktivitas Penunjang
Wisata Terhadap Perubahan Tata Ruang Desa
Dan Tata Ruang Rumah Tinggal Studi Kasus:
Desa Wisata Bejiharjo, Yogyakarta. Jurnal TESA
Arsitektur, 12 (2), 114-128. doi:
10.24167/tes.v12i2.391.
Funo, S. Y. N. & Silas, J. (2002). Typology of Kampung
Houses and Their Transformation Process, a
Study on Urban Tissues of an Indonesian City.
Journal of Asian Architecture and Building
Engineering/JAABE, 1 (2). 193-200.
Hana, M. Y. (2018). Dinamika Sosio-Ekonomi Pedagang
Santri dalam Mengembangkan Industri Kretek di
Kudus, 1912-1930. Jurnal Sejarah Peradaban, 2
(1).19-35.
Hermawan, Hary. (2016). Dampak Pengembangan Desa
Wisata Nglanggeran Terhadap Ekonomi
Masyarakat Lokal. Jurnal Pariwisata, 3 (2). 105-
117. doi: 10.31311/par.v3i2.1383.
Kellet, P., et. al. (1993). Dweller Initiated Changes and
Transformations of Social Housing: Theory and
Practice in The Chilean Context. Open House
International, 18 (4). 3-10.
Nazaruddin, Imam. (2012). Rumah Pencu Di Kudus: Kajian
Berdasarkan Tipologi dan Pola Sebaran. Jurnal
Berkala Arkeologi, 32 (1). 51-64. doi :
10.30883/JBA.V32I1.47.
Osman, W. W., & Amin, S. (2012). Rumah Produktif:
Sebagai Tempat Tinggal dan Tempat Bekerja di
Permukiman Komunitas Pengrajin Emas (Pola
Pemanfaatan Ruang pada Usaha Rumah
Tangga). Prosiding Hasil Penelitian Fakultas
Teknik, 6 (12). 1-10.
Pamungkas I. T. & Muktiali M. (2015). Pengaruh
Keberadaan Desa Wisata Karangbanjar
Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan,
Ekonomi Dan Sosial Masyarakat. Jurnal Teknik
PWK, 4 (3). 361-372.
Rosyid, M. (2018). Kawasan Kauman Menara Kudus
Sebagai Cagar Budaya Islam: Catatan Terhadap
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kudus. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, 7 (1).
89-101. doi: 10.24164/pw.v7i1.
Sardjono, AB. (2009). Permukiman Masyarakat Kudus
Kulon. Semarang: Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro. 1-10.
Suprapti, A., et. al. (2014). The Tradition Of Living of
Muslim Community Kudus Kulon. Jurnal of Social
Sciences, 10 (2). 63-73. doi:
10.3844/jsssp.2014.63.73.
Nurjayanti, W & Ronald, A. (2011). Rekayasa Model
Desain Rumah Islami Berdasar Studi Eksplorasi
Pada Permukiman di Komplek Masjid Menara
Kudus. Publikasi Penelitian Hibah Bersaing.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Sardjono, B. A. (1996). Rumah-Rumah di Kota Lama
Kudus. Unpublished Thesis. Yogyakarta:
Magister Teknik Arsitektur, Universitas Gajah
Mada.
Sardjono, B. A. (2016). Makna Tradisi Gusjigang Pada
Rumah Kaum Santri Pedagang Di Kota Lama
Kudus. Semarang: Disertasi Universitas
Diponegeoro.
Wikantari, R. R. (1995). Safe Guarding A Lifing Heritage A
Model for The Architectural Conservation of an
Historic Islamic District of Kudus Indonesia.
Tasmania : Thesis University of Tasmania.
... One of the challenges is changing the function of buildings and changing the layout of residential houses to support religious tourism activities. Through her research Adiyati et al., (2019) mentioned that these changes are manifested physically in changes in appearance, spatial structure, and function of building space. The impact of this change is not only visible physically but also involves changes in the community's economy, lifestyle, and social dynamics in the Menara Kudus area -red dot on figure 2.1. ...
Article
Full-text available
Physical changes to built heritage are usually a major cause for concern when reviewing approaches to conservation and adaptation to the historic built environment. The hictorical area Kudus Kulon has witnessed significant changes in its environmental conditions, not only includes physical transformation, but also involves the social and economic dynamics that develop around it. Physical changes to built heritage are usually a major cause for concern when reviewing approaches to conservation and adaptation to the historic built environment. This study aims to reveal the changes and continuity of the Kudus Kulon historical area in the context of heritage preservation. This qualitative research employs a case study approach, focusing on Kudus Kulon as a single case. Through observations and interviews with key informants, the aim is to present an unbiased perspective on the intangible aspects. The findings in this study will enrich cultural theory through its ability to dialogue value systems, activities, and artefacts in the context of change and continuity in the historic district of Kudus Kulon. The result shows the continuity of fundamental aspects in the value system (belief, norm, and local wisdom) underscores the resilience of the system and its ability to navigate the complexities of time without compromising the integral values that define its cultural identity. This research provides a strong foundation for future studies to explore the intricate dynamics between core values, societal development, and adaptations on heritage site in urban area, with a specific focus on tangible aspects like artefacts and activities.
... Pada dasarnya, penelitian yang berkaitan dengan tempattempat bersejarah pada suatu permukiman sudah banyak dikaji dengan berbagai macam konteks yang beranekaragam, baik dalam konteks arsitektur, pengembangan wilayah, dan perencanaan wilayah. Penelitian-penelitian tersebut berkaitan dengan bangunan bersejarah (Masjid) berpengaruh terhadap bentuk permukiman di sekitarnya [12], perubahan aktivitas permukiman di kawasan bersejarah [13], pelestarian kampung sebagai kawasan bersejarah [14], pegembangan permukiman di sekitar situs bersejarah [15], hubungan kawasan bersejarah [16], proses perubahan arsitektural di kawasan bersejarah [17], pemetaan bangunan rumah di kawasan bersejarah (permukiman tradisional) [18], perkembangan struktur ruang kawasan bersejarah [19], konsep penataan kawasan bersejarah [20]. Berdasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya, maka penelitian ini berfokus pada keberadaan tempat-tempat bersejarah di dalam permukiman sebagai inti tata ruang permukiman 3-4 Ulu Laut yang dapat dilihat pada interaksi yang terbentuk melalui aktivitas-aktivitas di dalam permukiman. ...
... After the death of Sunan Giri, many pilgrims who came to visit Sunan Giri's grave, not only from among the students, but also from various walks of life (Elmaningsih, 2017)by visiting places of religious historical heritage or to holy places, making pilgrimages to the graves. -eating religious leaders (ulama, kyai) or community leaders, this is very important to do, according to ulung in (Adiyati, Sardjono, & Murtini, 2019). ...
Article
Full-text available
Religious tourism in Makbaroh Ki Gede Madun Jaya tends to be of little interest, even though there are many during kliwon Friday nights. However, it tends to decline on weekdays and needs development. The purpose of this observation or research is to find out the existing problems and find efforts to overcome the existing problems. The method used in this research is descriptive qualitative with data collection techniques in the form of interviews, observation, and documentation. Interviews were conducted with Kuncen Makbaroh, and visitors or pilgrims. The results found from this study are the findings of joint efforts between the village government and the community in developing religious tourism. Based on the results of the above research, the authors conclude: 1) there is togetherness between the government and the community to jointly develop religious tourism as local wisdom in the village of Guwa Kidul, 2) To commemorate Ki Madun Jaya's services in the early spread and develop Islamic teachings in Guwa village South.
Article
The Formation of a city cannot be sparated from the existence of city-forming elements, one of which is a landmark. Landmark is an identity that is owned by a city. Kudus city has a Menara Kudus Mosque that serves as the city’s identity. This study will find the influence of the Menara Kudus Mosque on the surrounding environtment. The research method used is direct observation in the field and with interviews with informans, namely resident around the Old City of Kudus. From the results of the study, it was found that there were several influences due to the existence of the Menara Kudus Mosque, that a growing economy, crowded and surrounding mosques that were oriented to the Menara Kudus Mosque.Keywords:landmark,menara kudus mosque, old city of kudus ABSTRAK Terbentuknya suatu kota tak lepas dari adanya elemen-elemen pembentuk kota salah satunya adalah Landmark. Landmark merupakan suatu identitas yang dimiliki oleh sebuah kota. Kota Kudus mempunyai Masjid Menara sebagai identitas kota. Penelitian ini bertujuan mencari pengaruh Masjid Menara Kudus terhadap lingkungan sekitarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi secara langsung di lapangan dan dengan wawancara kepada informan yaitu penduduk sekitar Kota Lama Kudus.Dari hasil penelitian ditemukan beberapa pengaruh karena keberadaan Masjid Manara Kudus, yaitu aspek fisik dan aspek non fisik pada lingkungan sekitar Masjid Menara.Katakunci:landmark,masjid menara kudus,kota lama kudus
Article
Full-text available
The settlement in the Menara Kudus Mosque area is a catalyst for religious tourism activities that are adjacent to the residence of the local community. Menara Kudus Mosque with its own characteristics will have an impact on changes that occur both physically and non-physically. This study aims to further identify the formation of the spatial patterns of settlements in the Menara Kudus Mosque area caused by the exposure of religious tourism. The spatial patterns that occur can be seen through observations on the layout, circulation, facing direction, and hierarchy. In this study of the spatial pattern of the Menara Kudus Mosque settlement, the researcher used a messo (residential environment), micro (residential) scale coverage and the factors behind it. The research method for data analysis used in this research is descriptive qualitative with a case study strategy in the residential area of Menara Kudus Mosque. The results of this study indicate that the existing spatial pattern is the result of a response to the new activities of the surrounding community which utilize their residential space and their residential environment as a business space that supports religious tourism activities.
Article
Full-text available
This study discusses about the traditional houses one of the houses contained in the Holy Pencu home. Pencu home has architectural joglo shaped and has a distribution contained in the Holy Ghost and Wetan Kulon. This study aimed to objective is to know the types of Pencu houses resulting from the classification based on arsitectural, and able to explain the difference between Kudus Kulon and Kudus Wetan Pencu house based on distribution patterns. The results of this study produced six classifications based on the architecture of the house spread Pencu contained Kudus, namely types A, B, C, D, E, and F. The presence of the type of Pencu houses indicate levels of hierarchy in the distribution of Pencu house in Kudus. Kudus Kulon, has more types of variation and the density is very high compared with that of the Kudus Wetan. Pencu type of house it shows the pattern of settlement distribution center that has a pattern of getting away from the central location of the lower levels of the type of home Pencu. This condition indicates that the Holy of Kulon is the axis / central of the traditional culture of the Kudus people.
Article
Full-text available
ABSTRAK Penelitian mengenai dampak pengembangan desa wisata terhadap ekonomi masyarakat lokal ini merupakan jenis penelitian diskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Desa Nglanggeran, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogakarta. Hasil penelitian diketahui bahwa aktifitas pengembangan Desa Wisata Nglanggeran dinilai cukup baik, indikatornya utama adalah rata-rata kenaikan kunjungan wisatawan yang cukup besar dari tahun ke tahun. Kesiapan masyarakat lokal yang ditinjau dari tingkat pendidikan, pengetahuan, serta tingkat keterlibatan masyarakat dalam pengembangan desa wisata menunjukan bahwa masyarakat telah cukup siap menghadapi berbagai potensi dampak yang muncul. Tingkat perkembangan pariwisata yang tinggi menghasilkan tingkat frekuensi interaksi yang cukup sering antara masyarakat lokal dan wisatawan, yaitu rata-rata lebih dari 5 kali interaksi per 3 bulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengembagan desa wisata membawa dampak yang positif bagi perkembangan ekonomi masyarakat lokal di Desa Nglanggeran, diantaranya : penghasilan masyarakat meningkat; meningkatkan peluang kerja dan berusaha; meningkatkan kepemilikan dan kontrol masyarakat lokal; meningkatkan pendapatan pemerintah melalui retribusi wisata. Sedangkan indikasi dampak negatif terhadap ekonomi lokal berupa kenaikan harga barang tidak ditemukan Kata kunci : Dampak ekonomi pengembangan desa wisata, pengembangan desa wisata ABSTRACT Research on the effects of economic development of rural tourism to the local community is a kind of descriptive qualitative research. This research was conducted in the village of Nglanggeran, District Pathuk, Gunung Kidul, Yogakarta. The survey results revealed that the development activities of the Tourism Village Nglanggeran considered quite good, the main indicator is the average increase in tourist arrivals sizeable year-on-year. The readiness of local communities in terms of education, knowledge, and level of community involvement in the development of rural tourism shows that the public has been sufficiently prepared to deal with potential impacts that arise. The level of development of tourism which generates high frequency level of interaction between local communities and the frequent travelers, which is an average of more than 5 times the interaction per 3 months. The results showed that developing a tourist village bring a positive impact to the economic development of local communities in the village Nglanggeran, including: increased public income; increase employment and business opportunities; increase ownership and control of local communities; increase government revenues through travel levy. While indications of a negative impact on the local economy in the form of rising prices of goods can not be found. Keywords: The economic impact of the development of rural tourism, rural tourism development Naskah diterima :
Article
Full-text available
The northern coast of Java island Indonesia inherited old cities that hold important role in the spread of Islam. It has a strong correlation with the legend of Walisanga that were acted around the 16th century. The Ancient city of Kudus plays an important role in spreading Islam in the coastal line of Java. Kudushas witnessed the glory of the first Islamic Sultanate in Java. Sunan Kudus was very skillful in transforming Hindu teachings into Islamic teachings. They developed a settlement on the west side of Gelis River, thus the name "Kudus Kulon" (West Kudus). The social-economy independence of Kudus makes it relatively stable to change. The ethnical dynamics of coastal cities have major influence in the Muslim settlement in Kudus Kulon, this is visible from, among them, the building orientations and the spatial arrangement. However, the pressure of modernization-capitalization of the surrounding neighborhood results to several changes. This review is necessary considering the tradition of living of the Muslim community in that city has been here for centuries and has been the identity of the environment. The research will contribute to enrich to the architectural theory especially for a place of local wisdom. The locus of this research is in KampungKauman Kudus Kulon. The research method is historical and ethnographic. The purpose of this research is to understand the theme of tradition of living in the Muslim community of Kudus Kulon. The result of the research is the four concepts include: (1) Center and Orientation, (2) Controlled access; (3) Space of agreements; and (4) High level privacy. The changes that happen in the elements that fill the spaces caused by the shift of idealism as a result of the demanding situation. This result is beneficial to the strengthening of the local identity.
Article
p> This paper explain about study on local history on the economic action of santri trader in kretek industry in Kudus 1912-1930. The early trading system of kretek cigarettes was dominated by santri trader until Chinese began producing kretek cigarettes as well, which causes significant profit decline for santri trader. It raised socio-economic tension between the two ethnic due to economic rivalry relations. In the middle of 1912, Chinese merchants started taking over kretek cigarettes market in Kudus. The rivalry matters turns out to be a competition and reach its peak on October 1918 when santri Kudus commence attacking and destroying homes and shops owned by chinese. The falling economic of Chinese, has made Nitisemito and H.M Muslich (Santri trader figure) motivated to maximize their ability in developing kretek cigarette trading system in Kudus. There are several main points that will be explained furthermore in this study. First, the depict of construction between santri traders and chinese merchants in Kudus, second, the effort of Nitisemito and H.M. Muslich in founding kretek cigarettes factory, third, understanding of sosio-economic patterns and economic action of santri trader in Kudus. The methode that be used in this study is historical research contains heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Keywords: economic action, santri trader, kretek industry</p
Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar
  • N S Pendit
Pendit, N. S. (2002). Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Jakarta : Pradnya Paramita.
Purbakala Dalam Perjuangan Islam
  • Solichin Salam
Salam, Solichin. (1977). Purbakala Dalam Perjuangan Islam. Kudus: Menara Kudus.
Wisata Ziarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  • G Ulung
Ulung, G. (2013). Wisata Ziarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.