Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
51
PLURALISME AGAMA DALAM KONTEKS KEISLAMAN DI
INDONESIA
(REFLEKSI TEOLOGIS MENUJU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA)
Oleh:
Arafat Noor Abdillah
Abstract
This work focuses on the phenomenon of differences in the understanding of
religious pluralism, especially after the emergence of the MUI fatwa which strongly
refused even to oppose the notion of religious pluralism. Regarding religious
pluralism in Islam is very vulnerable and invites debate from various circles. In
addition, religious pluralism is one of the religious issues related to Islam in relations
between religions and the state, and at the same time coincides with the flow of
democracy after reform. Indeed, Islam recognizes and views religious diversity
critically, but never refuses or considers it wrong. Religious pluralism places more
emphasis on an understanding of religious unity toward the One. Epistemologically,
religious pluralism requires a framework to address natural reality that cannot be
avoided. The term religious pluralism too highlights the pseudo paradigm of religious
unity. Pluralism which only temporarily still uses the approach to the statement that
all religions and all humans will gradually find out the truth of religion, then will
follow the religion which is believed to be the truth. This understanding of pluralism
does not respect the distinctiveness and values of other religions, but subtly seeks to
use global concepts and religious categories. Religious pluralism requires a paradigm
shift from plurality of religions as sunnatullah towards cooperative religions. The
diversity of religions, cultures, races, ethnicities, nationalities, languages requires the
concept of agree in disagreement and an inclusive inclusive attitude, open to
accepting differences, working together to develop human civilizations that progress
without the barriers of religion, ethnicity, race, and so on to realize Islamic mission,
rahmatan li al-'alamin, affection for the universe. This research uses a hermeneutics
approach. The method used in data search is library research.
Keyword: Religious pluralism, Islam and democracy, shift-paradigm
A. Pendahuluan
Keberagaman merupakan realitas yang tidak dapat dinafikan. Banyak
perhatian dari kalangan para ilmuwan agama-agama dihadapkan dengan fenomena
truth claim yang menjadi pangkal tumbuhnya sikap eklusif umat beragama. Realitas
klaim kebenaran selama ini telah menimbulkan sekat-sekat keyakinan dan keimanan
dalam pluralitas agama. Semua pemeluk agama dituntut melakukan sebuah refleksi
dan rekonstruksi pemahaman diri dalam kondisi pluralitas yang semakin kuat dengan
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
52
adanya dinamika progresifitas gerakan keagamaan sebagai upaya memunculkan
sebuah kesadaran menuju kesatuan dalam perbedaan.
Kemajemukan masyarakat Indonesia memiliki potensi bagi munculnya
konflik atas nama suku, ras, dan agama. Sejak tahun 1967 hingga akhir 1970
diidentifikasi bahwa munculnya konflik dikarenakan agama-agama yang diakui secara
resmi, akhirnya terjadilah proses penyebaran dan pendalaman agama yang
mempengaruhi hubungan antar pemeluk agama. Kondisi masyarakat beragama di
Indonesia masih pada fase to have religion bukan to be religion. Di sisi lain konsekuensi
dari hasil pembangunan Orde Baru adalah munculnya kelas-kelas menengah baru
yang mendukung maraknya kegiatan keagamaan – berlanjut dengan kebijakan rezim
Abdurrahman Wahid yang membawakan paham pluralisme agama. Setelah itu
muncul konflik antar paham yang berbeda, di sisi lain konflik di Indonesia juga masih
memunculkan pertumpahan darah seperti Perang Sampang, antara Sunni-Syiah di
Madura, terorisme dan radikalisme, dsb.
1
Kerusuhan-kerusuhan dan disharmonisasi semacam itu selalu dibenturkan
dengan para pegiat dialog antar umat beragama ke dalam sebuah realitas sosial yang
baru. Dalam dialog antar agama terdapat beberapa sikap keagamaan, yaitu inklusif,
eksklusif, dan pluralis. Kerusuhan dan disharmonisasi yang sering terjadi merupakan
sikap eksklusif dari masing-masing kelompok terhadap paham keagamaan maupun
ideologi mereka dalam memandang segala sesuatu yang berujung pada klaim
kebenaran, selain itu inklusivitas pun juga mengalami kebimbangan sikap dalam
mengekspresikan keberagamaannya. Dalam perihal pluralisme agama mengalami
diskursus dengan munculnya dua madzhab; pertama, bahwa pluralisme merupakan
anugerah dari Tuhan sehingga harus diterima dan dilestarikan apa adanya bukan
hanya sebagai hukum kehidupan, tetapi juga sebagai cermin keberaturan kehidupan
masyarakat. Keberaturan sebagai realitas mikrokosmos, pluralisme juga menjadi
pemersatu ketika menghadapi kerusuhan dan disharmonisasi atas nama agama. Kedua,
pluralisme agama menjadi sebuah paham kesejajaran (energi potensial) dan sekaligus
1
Abdul Rozak, Komunikasi Lintas Agama: Modal Sosial Pembentukan Masyarakat Sipil,
Jurnal Dakwah, Vol. IX, No. 1, Juni 2008, hlm. 15.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
53
menjadi “komoditas politik ataupun ideologi”. Agama di anggap sejajar dengan suku,
ras, golongan yang diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat dalam rangka
demokratisasi dan perubahan sosial. Konflik-konflik yang terjadi, apapun motifnya,
telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat,
memperlebar jurang pemisah sosial, melunturkan persaudaraan, meninggalkan
dampak psikologis yang sulit untuk dihilangkan, dan meluluh-lantahkan modal sosial
yang telah ada. Oleh karena itu, sekiranya diperlukan sebuah mekanisme baru agar
konflik yang menimbulkan kekerasan tidak berkelanjutan dan tidak semakin
memakan banyak korban.
Pembahasan mengenai pluralisme agama di Indonesia, pada dasarnya tidak
terlepas dari konteks bagaimana individu dipandang dari perspektif hak-hak sosial
sebagai warga negara tanpa melihat identitas yang melatar-belakangi individu
tersebut. Pluralisme juga bersifat differentif dari konteks pluralisme teologis yang
pada dasarnya identitas teologi yang beragam dalam suatu masyarakat menjadi faktor
pembeda antar individu. Pluralisme menekankan pada pendekatan non-teologis,
sehingga perbedaan-perbedaan identitas yang ada dalam diri individu (agama, suku,
ras dan negara) tidak lagi menjadi identitas pemisah (pembeda), serta setiap individu
dipandang memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.
Gagasan mengenai pluralisme memusatkan perhatian pada bagaimana masyarakat,
yang terdiri dari kelompok-kelompok identitas yang berbeda dapat hidup bersama,
khususnya dalam ikatan konteks suatu negara yang mempersatukan kelompok-
kelompok berbeda. Masyarakat disebut sebagai civil pluralist apabila anggota-anggota
yang ada dalam masyarakat membuang segala upaya atau niat untuk menekan atau
mengurangi keragaman dan menjawab tantangannya dengan cara yang lebih damai
(partisipatoris). Pluralisme tercapai ketika pluralitas pengelompokan terus tumbuh
menjadi sebuah konsep penerimaan dan pengakuan terhadap nilai-nilai keragaman.
2
Isu keragaman dan keberagamaan di ruang publik bukan hanya sekedar fakta
beragamnya komunitas agama secara bersama-sama di suatu tempat. Identitas
2
Zaenal Abidin Baqir, dkk, Pluralisme Kewargaan Arah Baru Budaya Politik Keragaman di
Indonesia (Bandung, Mizan, 2011), hlm. 30.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
54
keagamaan baru menjadi masalah ketika ia berperan aktif di ruang publik, ketika ia
dimobilisasi dan dijadikan dasar klaim untuk politik identitas, terlebih untuk
menafikan identitas lainnya, baik identitas kelompok, ataupun identitas dalam diri
seseorang. Dapat dilihat dalam Fatwa MUI yang melarang adanya paham SIPILIS,
terutama terkait paham pluralisme agama yang dianggapnya sebagai paham
menyamakan semua agama. Hal ini diupayakan untuk menolak pengikisan keyakinan
umat Islam yang meyakini adanya kebenaran mutlak di dalam agamanya. Persoalan
pluralisme agama bukanlah perihal yang sederhana, ada beragam interpretasi serta
“kecurigaan”. Ketika pluralisme masuk ke ranah keagamaan, terdapat implikasi yang
begitu luas. Dalam konteks semacam ini, ada tiga kemungkinan yang terjadi, pertama,
agama melakukan penetrasi terhadap kehidupan sosial dan kultur masyarakat. Kedua,
agama dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal. Dan ketiga, terjadi dialektika antara
keduanya yang mengakibatkan munculnya sebuah konflik. Keragaman dan
kemajemukan menjadi hal yang sudah pasti ketika agama telah direkonstruksi oleh
pemeluknya.
3
B. Hubungan Islam Dan Demokrasi Pasca Reformasi
Pada awal kemerdekaan negara Indonesia, syariat Islam sempat menjadi
acuan dalam kehidupan bernegara yang terletak pada 7 kalimat sila pertama. Umat
Islam harus rela mengorbankandan menerima penghapusan 7 kalimat, kemudian
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana pandangan para tokoh Islam
bahwa rumusan tersebut telah mencerminkan ketauhidan umat Islam. Namun, tetap
saja muncul rasa ketidakpuasan dari sebagian kalangan umat Islam yang terus-
menerus harus memperjuangkannya dengan cara memasukkan nilai-nilai Islam dalam
rumusan konstitusi.
4
Pasca perumusan Pancasila dan kemerdekaan Indonesia terjadi pergulatan
ideologi antara Islam, komunis, dan nasionalis. Perdebatan antara tiga ideologi
tersebut menghasilkan pembubaran Konstituante yang dilakukan oleh Soekarno.
3
Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama : Dinamika Perebutan Makna (Yogyakarta:
Aura Pustaka, 2014), hlm. 15.
4
Muhammad Iqbal dan Amien Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Media Group, 2010), hlm. 56.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
55
Namun, perdebatan tidak berhenti cukup di situ saja. Sampai pada zaman Orde Baru,
Soeharto berusaha untuk mengantisipasi perdebatan yang berkepanjangan dengan
cara mengambil kebijakan penyederhaan partai. Perihal ini merupakan alat yang
efektif untuk mengontrol partai dan memusatkan kekuasaan di tangan penguasa.
Penyedehanaan ini menurut Din Syamsuddin, ada tiga implikasi dari kebijakan
tersebut. Pertama, penyederhaan ini melahirkan dikotomi antara politik Islam dan
politik non-Islam. Kedua, penyederhaan ini jelas memecah belah partai politik
dengan berbagai kepentingan dan latar belakang yang berbeda. Ketiga,
penyederhanaan ini juga berarti domestikasi politik Islam.
5
Islam dalam hubungan antar agama dan negara di era reformasi merupakan
sebuah konsensus untuk mengadakan demokratisasi dalam segala bidang kehidupan,
diantaranya bidang politik, ekonomi, dan hukum. Menurut Huntington, reformasi
berarti perubahan yang mengarah pada persamaan politik negara, dan ekonomi yang
lebih merata, termasuk perluasan basis partisipasi politik rakyat. Seiring dengan
jatuhnya Orde Baru, umat Islam memanfaatkan momentum euforia reformasi untuk
menyusun kembali format perjuangan dalam menegakkan syariat Islam. Kesadaran
ini dimanfaatkan dengan mendirikan partai-partai Islam dengan berbagai orientasi,
visi, dan misi perjuangan.
Dalam hubungan antar agama dan negara, sebelum gerakan pro-demokrasi
populer yang dikenal sebagai Reformasi pada tahun 1998, yang menandai jeda dengan
rezim sebelumnya, rezim otoriter diakui berhasil dalam meningkatkan pembangunan
ekonomi dan menyusun identitas nasional Indonesia untuk mengatasi maslaah
keragaman agama dan identitas etnis. Setelah tahun 1998, dengan berkembangnya
kelompok agama dan etnis yang menuntut pengakuan akan identitas dan kebangkitan
aktor lokal lainnya karena desentralisasi. Dalam tulisannya Zainal A. Bagir, ia
menjelaskan “Toleransi Kembar” – Alfred Stephen dalam artikelnya – bahwa batas
minimal kebebasan bertindak yang harus dibuat untuk institusi politik berhadap
dengan otoritas keagamaan, dan untuk individu dankelompok agama berhadapan
5
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001), hlm. 42.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
56
dengan insitusi politik. Dalam hal ini, lembaga agama seharusnya tidak memiliki hak
prerogatif yang memiliki hak istimewa yang memungkinkan mereka berwewenang
untuk mengamanatkan kebijakan publik kepada pemerintah yang dipilih secara
demokratis. Namun, mereka memiliki otonomi untuk beribadah secara pribadi dan
bahkan terlibat dalam ranah publik untuk memajukan kepentingan agama mereka
tanpa kekerasan dan tanpa melanggar kebebasan orang lain.
6
Demokrasi pasca reformasi, Alfred Stephen mengajukan tiga argumen utama.
Pertama, demokrasi liberal mensyaratkan jarak tertentu antara agama dan negara.
Kedua, di tempat-tempat di mana agama adalah penanda identitas kunci. Demokrasi
harus melalui sebuah proses politik di mana agama mensyaratkan titik acuan dalam
proses membangun argumentasi dan mobilisasi politik. Ketiga, biasanya reinterpretasi
atau reformasi agama (seperti isu-isu dasar moral otoritas politik dan hak-hak
individu) mendahului perkembangan politik seperti demokratisasi atau sekularisasi.
Selain itu, kenyataannya ada yang lebih menarik, sebelum tahun 1998 rezim otoriter
lebih memilih agama moderat dan menindas kelompok-kelompok atau individu-
individu keagamaan yang dianggap “ekstrem” tentang negara Islam. Kemudian, pasca
1998 demokratisasi telah membuka kebebasan dan telah memberi ruang bagi
kelompok-kelompok agama yang tertindas, termasuk yang anti-demokrasi. Sementara
dalam pemilihan umum partai-partai Islam mengalami „belokan konservatif‟yang
terdapat sebuah indikasi adanya kebangkitan kaum konservatif yang berhasil
mempengaruhi wacana publik Islam.
7
Pluralisme agama dalam konteks keislaman di Indonesia memunculkan dua
kelompok Islam, yaitu Islam konsevatif dan Islam liberal-pluralis. Fatwa MUI tahun
2005 menjadi penanda awal munculnya dua kelompok Islam dengan lebih tegas dan
mencoba memaksakan pandangannya pada kebijakan publik dan pemerintah
terutama pada isu-isu simbolik tertentu yang bertujuan untuk “memperbaiki teologi”
dan otoritas menangani “kesesatan” dalam kelompok-kelompok Islam. Penulis
6
Zainal A. Bagir, Demokrasi, Pluralisme, dan Agama Konservatif dalam Costly Tolerance
Tantangan Baru Dialog Muslim-Kristen di Indonesia dan Belanda (Yogyakarta: CRCS Program Studi
Lintas Agama dan Lintas Budaya, 2018), hlm. 152.
7
Zainal A. Bagir, Demokrasi, Pluralisme, dan Agama Konservatif dalam Costly Tolerance
Tantangan Baru Dialog Muslim-Kristen di Indonesia dan Belanda, hlm. 156.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
57
mendapatkan bahwa hubungan Islam dengan negara dalam demokrasi pasca
reformasi lebih cenderung memunculkan kontestasi ideologi antara Islam konservatif
dan Islam liberal-pluralis.
C. Konfrontasi Pluralisme Agama Hanya Terbatas Dalam Kesadaran Ideologi
Realitas keberagaman memiliki makna ganda yang ditandai dengan peranan
pemikiran para tokoh konservatif dan liberal, layaknya pluralisme agama menjadi isu
yang bersifat konfrontatif atau kompromistik. Dalam melihat realitas perbedaan
pemahaman pluralisme agama, hemat penulis bahwa perihal konfrontatif memaknai
inti dari pluralisme agama sebagai paham relativitas kebenaran pada setiap agama di
dunia, sebagai bentuk toleransi untuk memelihara kerukunan hidup antar umat
beragama di tengah-tengah keberagaman yang ada dengan menyatakan semua agama
benar. Dalam Jurnal Tsaqafah karya Harda Armayanto yang berjudul “Problem
Pluralisme Agama” menyatakan bahwa pluralisme agama sebagai bagian dari teologi
liberal yang menawarkan toleransi antar umat beragama. Akan tetapi, paham ini
ternyata malah menimbulkan masalah baru bagi agama-agama. Hal tersebut karena
pluralisme agama mengandung paham relativisme kebenaran teologis. Paham ini
dipandang mengupayakan masing-masing agama tidak boleh mengklaim dirinya
paling benar, karena semua agama adalah benar. Dengan menyatakan bahwa semua
agama benar, para pengusung pluralisme agama berharap tidak ada lagi agama yang
mengklaim sebagai pemilik kebenaran hakiki karena pada hakikatnya, agama itu
merupakan hasil dari berbagai perasaan dan pengalaman keberagamaan manusia,
sehingga setiap agama yang ada di dunia ini mengandung kebenaran Ilahi.
Para agamawan tidak sepakat dengan paham ini dan menganggap paham ini
sebenarnya merupakan agama baru yang ingin menyatukan seluruh agama. Melalui
artikel ini, penulis ingin memaparkan bahwa pluralisme agama sangat berpolemik dan
menimbulkan masalah dalam agama-agama. Meski tujuannya terlihat baik, ternyata
paham ini sangat problematik. Diketahui bahwa agama-agama yang ada ternyata
menolak paham ini. Gerakan penolakan terhadap pluralisme agama dari kalangan
agamawan menunjukkan bahwa paham ini bermasalah, mengandung polemik dan
sangat problematik jika diterapkan dalam agama-agama yang ada – khususnya setelah
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
58
munculnya fatwa MUI terkait paham SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme).
Setiap agama melihat pluralisme agama hanyalah kedok untuk mengikis keyakinan
para pemeluk agama yang pada akhirnya memunculkan orang-orang ateis. Lambat
laun, pemeluk masing-masing agama akan bersikap skeptis terhadap agamanya.
8
Pluralisme agama yang konfrontatif lebih menekankan pada paham adanya
hegemoni liberalisasi pemikiran Barat yakni realitivitas kebenaran teologis. Menurut
Hamid Fahmi Zarkasyi, kesalahan dalam memaknai arti toleransi antar umat
beragama di Indonesia saat ini melahirkan pandangan serta pemikiran-pemikiran baru
yang berlawanan dengan hakikat kebenaran. Tantangan fundamental yang dihadapi
umat muslim sebenarnya terletak dalam ranah pemikiran. Tantangan pemikiran
tersebut bersifat internal dan eksternal. Tantangan internal telah lama kita sadari yaitu
kejumudan, fanatisme, taqlid, bid‟ah, dan khurafat. Sebagai akibatnya adalah
lambatnya proses ijtihad umat Islam dalam merespon berbagai tantangan
kontemporer, lambatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dan pesatnya
perkembangan aktivisme. Sedangkan tantangan eksternal adalah masuknya paham,
konsep, sistem, dan cara pandang asing seperti liberalisme, sekulerisme, pluralisme
agama, relativisme, feminism, gender, dan lain sebagainya ke dalam wacana pemikiran
keagamaan Islam. Sehingga, hegemoni tersebut menjadi framework yang tidak sejalan
dengan Islam yang ditandai dengan banyaknya dari kalangan Islam melihat Islam
dengan kaca mata sekuler, liberal, dan relativistik.
9
Paradigma pluralisme agama memerlukan pemahaman keagamaan yang inhern
terhadap agama-agama orang lain secara komprehensif, salah satunya dengan
memahami agamanya melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-
perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa
semua “harus menjadi satu”. Menurut Raimundo Panikkar, ada tiga macam sikap
keagamaan manusia, eksklusif, inklusif, pluralis. Namun, sikap pluralis masih sering
diterima sebagai pluralisme de facto, yaitu suatu bentuk pengakuan pluralisme yang
8
Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqafah Vol. 10, No. 2,
November 2014.
9
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis, dan Kolonialis, Jurnal TSAQAFAH Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
59
hanya sementara, yang masih menggunakan pendekatan atas pernyataan bahwa
semua agama dan semua manusia secara bertahap akan menemukan kebenaran
agama saya kemudian akan mengikutinya. Pemahaman pluralisme seperti ini masih
inkulisivistis, dalam arti tidak menghargai kekhasan dan nilai-nilai agama lain, tetapi
mencoba menganeksasi (penggabungan) secara halus dengan menggunakan konsep
global dan kategori-kategori agamanya. Pluralisme semacam ini sangat rentan dengan
ketegangan dan konflik, karena konsep itu hanya menangguhkan suatu bentuk
kompetisi dalam masalah superioritas agama, tetapi tidak menyelesaikan masalah,
bahkan akan mendorong untuk mengambil posisi relativistik. Posisi ini membuat
dialog menjadi suatu komunikasi yang semu, karena menganggap bahwa semua
agama benar. Pandangan seperti ini menyembunyikan kenyataan bahwa setiap
pengalaman beragama adalah pengalaman yang ditafsirkan, dan tafsir tersebut
dipengaruhi oleh banyak aspek. Paradigma pluralisme de facto masih rapuh karena
dalam masalah relativisme atau inklusivisasi identitas kurang menghargai kekhasan
agama lain.
10
Pluralisme de jure merupakan paradigma yang lebih mendasar, karena
perdebatan merupakan sarana untuk bisa mengungkapkan secara lebih dengan penuh
kekayaan misteri Tuhan. Pada dasarnya konsepsi semacam ini melakukan penerimaan
kontingensi dengan pembelaan terhadap apa yang sudah menjadi jalan dan ketetapan
bagi Tuhan untuk mewahyukan diri kepada manusia. Masuknya Kebenaran Absolut
di dalam sejarah tidak bisa terlepas dari kontingensi sejarah, ditangkap melalui
kategori-kategori sejarah manusia. Tuhan mewahyukan diri dalam kontingensi
partikularitas sejarah, dan Tuhan tidak memutlakkannya. Dalam artian Tuhan juga
tidak memutlakkan agama tertentu sebagai institusi sosial dalam sejarah manusia.
Dengan bahasa lain, pewahyuan Tuhan sudah penuh dan mutlak, tetapi kemampuan
manusia untuk menangkap dan memahaminya sangat terbatas.
11
10
Haryatmoko, “Paradigma Hubungan Antar Agama : Pluralisme De Jure dan Kritik
Ideologi”, dalam M. Amin Abdullah, dkk., Ontologi Studi Islam, Teori dan Metodologi (Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 36.
11
Haryatmoko, “Paradigma Hubungan Antar Agama : Pluralisme De Jure dan Kritik
Ideologi”, dalam M. Amin Abdullah, dkk., Ontologi Studi Islam, Teori dan Metodologi, hlm. 37.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
60
Dalam tradisi filsafat, pluralisme agama juga menjadi tema penting yang
menjadi topik dalam filsafat perennial. Ditinjau dari segi bahasa, kata “perennial”
yang menyifati kata “filsafat” berarti kekal, dan abadi. Sementara ditinjau secara
terminologis, sebagaimana dinyatakan oleh Seyyed Hossein Nasr, filsafat perennial
mengandung arti sebagai suatu kebenaran abadi dan kekal di mana semua pusat-pusat
tradisi suci; menyangkut adanya suatu doktrin dan ajaran metafisika yang bersifat
universal dan abadi. Ditinjau dari aspek yang lebih substansial, filsafat perennial selalu
membicarakan tentang adanya Yang Suci. Dialah wujud yang Absolut, sumber dari
segala wujud. Dengan demikian, filsafat ini berusaha untuk menelusuri manifestasi
“Yang Esa” dalam seluruh dimensi alam, agama, filsafat, sains, dan seni. Sebagaimana
pandangan dunia yang memiliki pemahaman khusus tentang Yang Ilahi dan tempat
bagi manusia dalam realitas. Bagi filsafat Perennial, Realitas Ultim Yang Ilahi adalah
tanpa nama, Esa, yang tak terjangkau, tidak ada satu pun yang bisa dikatakan kecuali
dengan penegasan. Misalnya, bahwa Yang Ilahi bukan person.
Berkaitan dengan pandangan Islam terhadap pluralisme agama, pemikiran
Khaled M. Abou El Fadl dalam relasi Muslim dan non-Muslim memiliki akar
problematik. Tidak hanya karena relasi antara muslim dan non-muslim, melainkan
juga karena di dalam kalangan umat Islam sendiri terdapat perbedaan cara pandang
terkait dengan hubungan itu sendiri, keselamatan, dan siksa neraka. Perbedaan ini
terjadi karena persoalan keagamaan yang tidak bisa terlepas dari interpretasi manusia
akan teks suci yang dipercaya sebagai ungkapan langsung dari Tuhan kepada manusia.
Sementara dalam kerangka kerjanya, tidak ada tafsir yang seragam terhadap suatu hal.
Pastilah ada perbedaan yang disebabkan beragam faktor. Persoalan perbedaan tafsir
agama ini menjadi problem yang sangat pelik tatkala ada pihak yang menganggap
bahwa otoritasnya saja yang paling berhak untuk menginterpretasikan teks suci dan
hanya tafsirnya yang paling benar. Kemudian, muncul pemberian stereotipe negatif
secara semena-mena, seperti bid‟ah, kafir,dan sejenisnya. Padahal, kebenaran hakiki
dan kemutlakan hanyalah milik Tuhan.
12
12
M. Amin Abdullah, “Kesadaran Multikultural”, dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan
Multikultural (Yogyakarta: Pilar, 2006), hlm. xiv.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
61
Pandangan Khaled tentang keselamatan cukup radikal dibandingkan dengan
cara pandang umat Islam pada umumnya. Al-Qur‟an tidak membedakan antara
kesucian seorang muslim dengan non-muslim. Khaled menyimpulkan bahwa tidak
seorang pun manusia yang dapat membatasi kepengasihan Tuhan dengan cara
apapun, atau memilih siapa yang berhak menerimanya. Yang menjadi tolak ukur
adalah nilai moral dalam kehidupan dunia saat ini adalah kedekatan seseorang kepada
Tuhan melalui keadilan, bukan melalui label keagamaannya. Tuhan akan
merealisasikan hak-Nya di akhirat kelak dengan cara yang menurut-Nya paling sesuai.
Tetapi, kewajiban moral yang paling penting bagi kita di muka bumi ini adalah
merealisasikan hak sesama. Komitmen untuk menghargai sesama hak-hak manusia
dengan komitmen untuk melindungi ciptaan Tuhan, dan pada akhirnya juga
merupakan komitmen terhadap Tuhan sendiri.
13
Sebuah tantangan baru untuk menyikapi perdebatan ideologi dalam wacana
pluralisme agama, terdapat sebuah pandangan cara bersikap eksoterik dan esoterik.
Eksoterik memiliki makna yang berarti di luar pengetahuan manusia (transenden),
hanya bisa dijangkau dengan konsep imanen. Sedangkan, esoterik berarti sesuatu
yang bersifat intern bisa dikaji dan dianalisa berdasarkan norma. Seperti yang
diungkapkan Nurcholish Madjid, agama dibagi pada level batin „esoterik‟ dan level
lahir eksoterik. Di sisi lain, Amin Abdullah dalam banyak karyanya lebih sering
menggunakan istilah normatif dan historis dari pada eksoteris dan esoteris. Dalam
buku “Normatifitas atau Historisitas Agama” misalnya, dijelaskan bahwa pluralitas
agama termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam
tubuh intern umat beragama merupakan kenyataan historis yang tidak dapat disangkal
oleh siapa pun. Begitu juga dengan masalah dialog dalam agama, Amin Abdullah juga
menggunakan istilah normatif dan historis. Akan tetapi dalam masalah klaim
kebenaran, Amin Abdullah menggunakan istilah eksoteris dan esoteris, karena
13
Khaled Abou Al Fadl, Islam dan Tantangan Demokrasi, erj. Gifta Ayu Rahmani dan
Ruslani (Jakarta: Ufuk Press, 2004), hlm. 41.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
62
menurutnya lebih cocok digunakan untuk melihat keberagamaan seseorang serta
aktualisasinya dalam kehidupan.
14
Berbicara mengenai realitas keagamaan, sesuatu yang harus dibutuhkan oleh
seorang ilmuwan atau ulama adalah bagaimana kita bisa berfikir objektif-rasional,
karena bagi Amin Abdullah hanya dengan cara ini seseorang dapat melakukan
pengembangan keilmuan. Tanpa metode seperti ini realitas zaman dulu hanya akan
berulang kembali dan tidak akan ada yang namanya suatu pengembangan. Inilah
realitas yang terjadi pada kalangan ortodoks, realitas yang hanya terulang kembali di
mana realitas itu sudah ada pada generasi terdahulu. Hal ini seakan-akan telah
membuat kreativitas kaum muslim lenyap dan hilang ditelan waktu. Sedangkan di sisi
lain, zaman selalu menuntut kita agar dapat terus berkreasi dengan pemikiran-
pemikiran yang inovatif dan membangun. Khazanah keilmuan Islam nampaknya
telah mengalami suatu kerancuan berfikir yang amat kuat. Umat muslim sekarang
telah diracuni oleh suatu dogma teologis yang begitu menakutkan, sehingga hal
tersebut membuat kita seperti kehilangan akal untuk berfikir. Derivasi dari kerancuan
seperti ini akan membuat kaburnya esensi dari agama yaitu ekspresi religiusitas yang
berarti makna kemanusiaan menjadi inti agama dan sekarang berubah menjadi
sumber konflik atas nama Tuhan.
15
Demi mendapatkan solusi mengenai masalah-masalah keagamaan manusia,
khususnya mengenai pluralisme agama terdapat dua pendekatan yang saling berkaitan
satu sama lain, apabila hilang salah satunya maka tidak akan berfungsi keduanya.
Pendekatan yang pertama adalah bagaimana kita melihat masalah keagamaan manusia
dari sudut pandang norma-norma wahyu yang ada dalam agama itu sendiri
(pendekatan normatifitas). Adapun normatifitas adalah norma ajaran, acuan,
ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan. Bisa juga diartikan sebagai bentuk tindakan dalam beribadah serta
mendekatkan serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Penulis berusaha menggunakan
14
Amin Abdullah, Normatifitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 6.
15
Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hlm. 25.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
63
pendekatan normatifitas Amin Abdullah sebagai motif untuk merealisasikan adanya
pencapaian transendensi dalam setiap individu umat beragama. Sedangkan
pendekatan historis sebagai motif untuk merealisasikan humanisasi dan liberasi.
Prinsip beragama yang berdasarkan wahyu (agama sebagai motif dan tujuan) akan
menghasilkan pemahaman, penghayatan, dan pengalaman umat beragama yang segar,
serta mewujudkan keharmonisan antar umat beragama.
D. Pluralitas Agama Sebagai Sunnatullah
Kajian pluralisme agama lebih banyak membahas tentang konsep
kemanusiaan dalam menyikapi keberagaman dalam beragama. Dari berbagai pegiat
wacana pluralisme agama yang telah dijelaskan berusaha mengupayakan paham „Satu
Tuhan Banyak Agama‟. Tuhan Yang Satu dari sudut pandang perennialis bahwa
manusia mencapai kepada Yang Absolut dengan berbagai jalan dan tetap menuju
Yang Satu. Sedangkan realitas keberagamaan bersifat pluralistik dengan berbagai
macam dan bentuk ritual keagamaan. Dalam hal ini, pluralisme agama menemukan
titik ambiguitas secara epistemologis. Ketika pluralisme agama diupayakan untuk
melakukan dialog antar umat beragama dengan pola hidup rukun, damai, dan
berdampingan, selayaknya pluralitas telah muncul sekian lama sejak Tuhan
menciptakan makhluknya. Wacana pluralisme agama perlu melihat kembali wilayah
ontologis dari keragaman agama, budaya, ras, suku, dan bangsa. Keragaman dalam
kehidupan manusia di setiap kehidupannya merupakan hal yang tidak dapat
dihindarkan. Tetapi, bukanlah sebuah alasan yang tepat untuk memunculkan
paradigma pluralisme sebagai paham untuk meyakini keberagaman.
Keberagaman yang telah dikehendaki oleh Tuhan Yang Satu harus dihayati
dan dibumikan tanpa adanya paham baru untuk memperjelas keberagaman sebagai
sunnatullah. Pluralisme agama merupakan old fashion dalam konteks keindonesiaan di
zaman reformasi sebagai obat penghilang nyeri terhadap konflik berbasis SARA bagi
masyarakat yang memendam banyak suara di zaman Orde Baru. Abdurrahman
Wahid menegaskan masalah pluralisme kepada pandangan keterbukaan untuk
menemukan kebenaran di mana pun juga. Ia melihat pluralisme agama dalam konteks
ajaran universalisme dan kosmopolitanisme dalam Islam. Ajaran yang dengan
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
64
sempurna menampilkan sisi universalisme dalam lima jaminan dasar yang diberikan
Islam kepada masyarakat lain: keselamatan fisik warga masayrakat di luar ketentuan
hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan,
keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda, dan keselamatan
profesi. Konteks pluralisme agama yang diwacanakan oleh Abdurrahman Wahid
sesuai dengan genealogi sosial politik di masanya dengan adanya Pancasila sebagai
ideologi terbuka.
16
Pluralisme agama yang banyak dibahas dan menjadi perdebatan intelektual
memerlukan sikap tegas dan hati-hati dalam memilah pengambilan sikap terhadap
paradigma pluralisme agama. Pluralisme yang tampak dalam tulisan Franz Magnis-
Suseno lebih menjelaskan keadaan sosial, tetapi menolak kalau pluralisme sebagai
sikap teologis. Secara sosio-historis pluralitas merupakan suatu keanekaragaman yang
ada dalam suatu masyarakat dan mengakui bahwa hal yang lain ada di luar
kelompoknya. Dokumen Nostra Aetate memetik dari sumber Bibel yang menyebut
bahwa semua manusia diciptakan oleh Tuhan, oleh karena itu semuanya memiliki
misi keselamatan bersama. Gereja tidak menolak apa-apa yang baik dari agama Hindu
dan Buddha, mana kala Islam dan Kristen mempunyai pertalian yang rapat terkait
dengan agama-agama Abrahamik.
17
Paradigma pluralisme agama yang cenderung dengan pemahaman kesatuan
agama menuju Yang Satu sesuai dengan faham relativisme, seperti yang diuraikan
oleh Peter Byrne bahwa semua agama menuju kepada Kebenaran Mutlak; semua
agama menjanjikan keselamatan; dan semua agama mempunyai maklumat yang sama
terhadap Tuhan/Kebenaran Mutlak.
18
Namun, berbeda halnya dengan pluralitas
agama sebagai hukum Tuhan sejak peciptaan manusia bahwa keberagaman menjadi
16
Catur Widiatmoko, Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005) Dalam
Konteks Keindonesiaan, Jurnal Medina-Te, Vol. 16, No. 1, Juni 2017, Program Pascasarjana
UIN Raden Fatah Palembang, hlm. 64.
17
Diterbitkan di Seminar Al-Qur'an Dan Cabaran Pluralisme Agama: Pengajaran
Masa Lalu, Keperihalan Semasa Dan Hala Tuju Masa Depan, 19-20 Juli 2011, Ikim, Jalan
Duta, Kuala Lumpur oleh Haslina Ibrahim yang berjudul “Dari Kepelbagaian Agama Kepada
Pluralisme Agama: Sejarah Perkembangan”, Jurnal Ilmu Wahyu Dan Perbandingan Agama,
Universitas Islam Antarbangsa Malaysia, hlm. 10.
18
Peter Bryne, Prolegomena to Religious Pluralism, London: Macmillan Press Ltd., 1995,
m.s. vii.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
65
sebuah keniscayaan yang mutlak. Artinya, keberadaan sebuah keberagaman dalam
ranah religiusitas umat beragama tidak dapat dinafikan. Secara sosio-historis masing-
masing agama juga memiliki perjalanan sejarahnya masing-masing, terlebih adanya
beranekaragam interpretasi umat beragama dalam merepresentasikan keyakinannya
sesuai dengan ajaran agamanya.
E. Teologi Kerukunan Umat Beragama (Inklusivis-Pluralis)
Jika kita kembali mengenang peradaban Islam, di mana pada masa itu Islam
sedang berkembang melakukan perluasan wilayah, dan bahkan Islam melakukan
ekspansi daerah sampai ke Spanyol di masa khalifah Umawiyah. Dan jika kembali
mengenang peristiwa Piagam Madinah, pada masa tersebut Rasulullah merangkap
dua peran, yakni sebagai pimpinan agama dan negara. Masa tersebut masyarakat
Madinah dengan berbagai suku dan agama. Meskipun umat Islam sebagai pimpinan,
tetapi Nabi Muhammad sudah memberikan contoh bahwa pluralitas merupakan
sunnatullah atau perihal yang tidak dapat dihindarkan. Yang terpenting umat Islam,
Nasrani, Yahudi melakukan ajaran agamanya masing-masing tanpa mengganggu hak
agama yang lain. Hal ini dikarenakan setiap ajaran agama yang diamalkan untuk
mencapai kebenaran Ilahi. Itulah yang dikatakan esoterik, inti dari setiap ajaran
agama, yang sama-sama menuju yang satu.
19
Dalam makalah Hendrick Vroom yang berjudul “Do All Religious Traditions
Worship The Same God?” disajikan beberapa pandangan yang mengkaji secara
sistematis persoalan „Tuhan Yang Sama‟ di setiap tradisi agama, seperti Karl Barth
dengan teologi dialektikanya. Ia mengatakan bahwa dalam diri Yesus terdapat teologi
dialektika “Kematiannya sekaligus hidup, disalib sekaligus dibangkitkan”. Karyanya
yang terdiri dari 12 volume berjudul “Church Dogmatics”, ia menekankan pada sisi
keilahian Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia. Titik beratnya pada transendensi,
kebebasan Allah dalam menyebarkan cinta dan rahmat kepada semua manusia.
Strukturasi argumennya, tidak ada pertimbangan ketika tradisi Kristen bertemu
dengan tradisi lainnya. Selain itu, radikalisasi argumen „Roh‟-nya Barth memberikan
19
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, cet. IV,
1999), hlm. IXXVII
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
66
kesimpulan dengan teologi liberal sebagai upaya dasar untuk memerlukan
pengetahuan dan wawasan dari tradisi agama lainnya. Karl Rahner pun demikian,
bahasa „Kristen Anonim‟ menjadi pintu gerbang bagi teologi agama. Rahmat Tuhan
menjangkau orang-orang di luar kekristenan resmi, karena Tuhan ingin manusia
menemukan keselamatan. Titik beratnya terletak pada pengalaman transendensi
(metaforis bahasa agama) yang memiliki dua kriteria; oraang-orang memberikan
deskripsi berbeda tentang pelatihan transendensi yang menunjuk pada pengalaman
yang sama, dan orang-orang mungkin juga memiliki pengalaman yang berbeda. Maka,
dalam penyusunan strukturasi argumen dalam makalah ini ditujukan kepada sebuah
upaya studi perbandingan agama dalam berbagai ekspresi agama dan dialog.
Jawaban positif antara eksklusif dan inklusif diberikan oleh W.C. Smith, ia
mengatakan bahwa agama tidak menyembah Tuhan, melainkan manusia yang
melakukannya. Iman adalah sifat manusia generik. Artinya, semua tradisi agama
meraih Tuhan dan mengatakan „ya‟ kepada Tuhan, kebenaran. Argumen tersebut
berlandaskan pada keyakinan kepada Tuhan Yang Satu, argumen manusia
berdasarkan pertemuan praktis, bahwa iman adalah sifat manusia yang generik, dan
perlunya studi dialogis agama dengan sebuah konsep filsafat agama atau teologi
sistematis. Akan tetapi, seperti John Hick sebuah acuan dasar untuk melakukan
reinterpretasi agama dalam „hipotesis pluralistik‟ ia mencoba melakukannya dengan
pendekatan kepada manusia secara kontekstual ketika berbicara tentang Tuhan.
Sedangkan Immanuel Kant menggunakan perbedaan antara „nomena‟ dan „fenomena‟
(mitos, ide, Real).
Ada hubungan antara Yang Nyata itu sendiri dan citra manusia yang bersifat
parsial tentang tuhan. Oleh karena itu, kita dapat membicarakannya dalam mitos.
Perbedaan antara tradisi agama dijelaskan sebagai kontekstual dan budaya. Dapat
dikatakan, gambar pribadi yang berbeda dari Yang Nyata harus dipahami dalam
drama sejarah interaksi manusia dengan ilahi. Sekiranya juga perlu dikhawatirkan
tentang apa yang dikatakan W.C. Smith, semua tradisi agama memiliki Real yang
sama. Namun, yang terjadi mereka menyembah citra pribadi mereka, bukan Yang
Real. Dengan muncul penjelasan tentang hipotesis pluralis dalam makalah ini,
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
67
sederhana penulis menyimpulkan memang perlu adanya reinterpretasi radikal
terhadap evaluasi pribadi dan impersonal dalam hubungan manusia dengan Tuhan,
yaitu dengan gagasan pribadi dan impersonal yang bercampur secara historis dan
realitanya bercampur dalam konteks budaya yang sama. Sehingga, pertanyaan di awal
sekiranya lebih tepat dijawab dengan menggunakan argument metafisik. Karena,
justru keberadaan Tuhan yang diyakini oleh masing-masing tradisi agama inilah titik
tolak persamaan terhadap Yang Nyata, Real, Yang Maha Tinggi.
20
Agama yang satu tidak dapat diperbandingkan dengan yang lain. Setiap agama
itu partikular tidak singular. Setiap agama itu mempunyai keunikan, tetapi tidak
eksklusif. Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, artinya setiap
agama mempunyai partikulasi dan kekhasan sendiri-sendiri dan tidak dapat begitu
saja disamaratakan dengan yang lain. Namun itu tidak berarti tidak ada agama yang
begitu singular dan unik, sehingga tidak ada bandinganya. Dengan tetap menghormati
kekhasan masing-masing agama, kita seharusnya mengatakan bahwa semua agama
pada dataran yang sama. Ada perbedaan namun they are different in degree, but not in kind.
Berbeda dalam banyak hal tetapi tidak dalam hakikat.
Umat beragama harus menyadari bahwa sumber terjadinya konflik antar
agama sebenarnya bukan dari ajaran atau norma-norma agama, melainkan dari sikap
keberagaman yang kurang dewasa dan tidak sanggup merespon kondisi zaman yang
semakin plural. Tidak satu agama pun yang yang melegitimasi tindak kekerasan dan
kekejaman terhadap umat beragama lain. Semua agama mengajarkan agar manusia
bersedia menolong sesama dan mencintainya sebagai wujud dari kecintaan pada
tuhan. Setidaknya ada dua hal penting yang seharusnya dilakukan umat beragama
untuk melakukan dialog konstruktifis.
21
1. Melakukan pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang agama
dan masyarakat untuk menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan
solidaritas historis dan integrasi sosial.
20
Hendrik M. Vroom, Do All Religious Traditions Worship The Same God? Religious
Studies, Vol. 26, No. 1, (March, 1990), hlm. 73-90.
21
Nurcholish Madjid. Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Beragama, (Jakarta: Buku
kompas. 2001), hlm. 56.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
68
2. Melakukan reformasi dari pemikiran teologis yang eksklusif menuju kritisme
radikal dan pemikiran teologis yang inklusif, terbuka, dan pluralis dan
bersedia menerima umat beragama lain sebagai teman dialog untuk
memperluas wawasan dan pengalaman keagamaan kita.
Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis adalah
terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan
bangsa serta mewujudkanya sebagai suatu keniscayaan. Masyarakat yang majemuk
tentu mempunyai budaya dan aspirasi yang beranekagam, tetapi seharusnya mereka
memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau
kelompok sosial dengan lainya. Akan tetapi kadang-kadang perbedaan ini
menimbulkan konflik antar mereka. Maka sebagai upaya untuk mengatasi masalah ini
dimunculkan konsep hidup berdampingan dalam paradigma pluralisme.
F. Menuju Kesadaran Beragama Dalam Pluralitas Agama
Islam terkenal dengan konsep tauhid yang dimaknai secara tunggal.
Sedangkan, konsep tauhid memiliki suatu sifat dari dzat nur illah, yakni emanasi.
Dalam pemikiran Ibnu Arabi, tauhid berarti wahdat al wujud, Yang Ada hanyalah
Wujud Yang Satu, semua alam semesta ini adalah manifestasi dari Yang Satu itu.
Wujud Yang Satu itu adalah Allah. Yang Satu itu mencakup atas semua fenomena
yang ada dan merupakan sumber daya akal yang memancar keseluruhan alam
semesta. Dalam konteks ini Dia disebut al Hakekat al Muhammadiah. Yang Satu itu
adalah sumber dari kosmos yang mengatur alam semesta, maka Dia disebut Jiwa
Universal. Yang Satu itu menampakkan perbuatannya pada masing-masing wujud
(mikro) yang ada di alam semesta, maka dia disebut dengan Tubuh Universal. Yang
Satu itu bila dilihat dari keberadaanya sebagai satu jauhar yang menghadap pada
seluruh bentuk-bentuk kejadian, maka Dia berada dalam bentuk al haba‟ (konsep
rahmah).
22
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar yang
merupakan al ard dan khalq yang merupakan sifat kemakhlukan dan aspek dalam yang
22
Abd. Halim Rofi‟ie, Wahdatul Wujud Dalam Pemikiran Ibnu Arabi, dipublikasikan
pada tanggal 2 Februari 2016, hlm. 6.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
69
merupakan jawhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Filsafat wahdat al wujud
ini timbul dari paham bahwa Allah ingin menunjukkan diri-Nya di luar diri-Nya dan
oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini (sesuai dengan hadist “kuntu kanzan makhfiyan
faahbabtu an u‟rafa fa khalaqtu al-khalqa fihi arofuni”), maka alam ini merupakan cermin
bagi Allah. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat kepada alam, pada benda-
benda yang ada di alam. Karena dalam tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, Tuhan
melihat diri-Nya. Dari sini timbul paham kesatuan. Yang ada dalam alam ini
kelihatannya banyak, tetapi sebenarnya itu hanya satu. Tak ubahnya hal ini sebagai
orang yang melihat dirinya, dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
Di dalam tiap cermin ia melihat dirinya, dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak,
tetapi dirinya sebenarnya dirinya hanya satu.
Konsep rahmah dari Ibnu „Arabi yang telah dijelaskan secara normatif-
filosofis, dalam Islam juga terdapat konsep iman dan harkat emansipasi manusia
(humanitarinisme). Sudah merupakan pengetahuan umum dan baku di kalangan
muslim bahwa manusia merupakan makhluk paling sempurna dan „puncak‟ tertinggi
ciptaan Tuhan. Hal ini menunjukkan betapa tingginya harkat dan martabat manusia,
kecuali bagi mereka yang berbuat kejahatan dan tidak beriman kepada-Nya akan
dijadikan derajatnya serendah-rendahnya.Dalam kenyaaan historis, perjuangan
memperoleh dan mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan merupakan ciri
dominan dari deretan pengalam hidup manusia sebagai makhluk sosial. Sebab,
manusia lebih banyak mengalami kehilangan fitrah dan kebahagiaan daripada
sebaliknya. Jatuhnya harkat dan martabat manusia dilambangkan dengan terusirnya
nabi Adam dan Hawa dari sura karena melanggar larangan Tuhan. Adam dan Hawa
terangkat (teremansipasi) hanya setelah menerima pengajaran Tuhan dan bertaubat,
yaitu pengajaran tentang hidup beriman dan beramal shaleh.
23
Pengertian iman sebagai “percaya” tanpa konsekuensi yang nyata tidak bisa
bermakna, absurd. Dalam perkataan “mempercayai Tuhan” atau “menaruh
kepercayaan” kepada-Nya terkandung pengertian sikap atau pandangan hidup yang
23
Nurcholish Madjid, Iman Dan Emansipasi Harkat kemanusiaan, dalam buku “Islam,
Doktrin, dan Peradaban” (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 98.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
70
dengan penuh kepasrahan menyadarkan diri kepada Tuhan dan kembali kepada-Nya.
Sebab, salah satu wujud rasa iman ialah sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai
tempat menyandarkan diri dan menggantungkan harapan. Oleh karena itu konsistensi
iman ialah berprasangka baik terhadap Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Justru rahmah merupakan sifat Tuhan yang paling komprehensif dan serba
meliputi segala hal. Dengan demikian, problem kehidupan manusia yang menjadikan
harkat dan martabatnya menjadi rendah adalah syirik atau dengan istilah dosa
doktrinal akibat dari klaim doktrinal dan dosa sosial akibat dari tidak memanusiakan
manusia.
Islam mengajarkan dan termaktubkan dalam al-Qur‟an maupun sunnah
terkait masalah iman. Manusia akan menemukan kepribadiannya yang utuh dan
integral bukan hanya sikap doktriner terhadap ketauhidan ataupun sikap sosialis
sebagai makhluk sosial. Pertama kali diciptakan, manusia telah melakukan kontrak
dan janji terhadap Tuhan dan setelahnya terdapat kontrak perjanjian identitas sebagai
khalifah fil „ardh berlandaskan al-amru bil ma‟ruf wa nahy „an al-munkar. Perihal tersebut
akan didapatkan hanya jika memusatkan orientasi transendental hidupnya kepada
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Kalimat al-amru bil ma‟ruf wa nahy „an al-munkar
sekiranya memerlukan wajah baru dalam melihat implikasinya terhadap kontrak
perjanjian identitas manusia dengan Tuhan. Muhammad Abduh memahami “ma„ruf”
sebagai apa yang dikenal baik oleh akal sehat dan hati nurani; sedangkan “munkar”
adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani. Pendapat Abduh ini sejalan
dengan Abu al-Baqa‟ al-Kaffawi yang menyarankan bahwa untuk menguji suatu hal
atau perbuatan itu ma„ruf adalah jika jiwa merasa tenang dengannya (sakinat ilayhi al-
nafs) dan menganggap bahwa ia adalah baik, karena kebaikannya – baik secara
intelektual, revelasional, maupun kebiasaan. Ketenangan semacam ini jelas terkait
dengan hati nurani; dan menganggap sesuatu baik karena kebaikannya adalah
pertimbangan akal sehat. Sehingga “kearifan kemanusiaan” adalah budaya yang
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
71
melampaui sekat-sekat tribalistik-jahiliyah, dan merujuk kepada nilai-nilai dasar
kemanusiaan.
24
Sekiranya pluralisme agama memerlukan pergeseran paradigma menuju
kooperatif agama-agama dengan meminjam bahasa Kuntowijoyo “tiga pilar ilmu
sosial profetik” yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi dari misi historis Islam
sebagaimana terkandung di dalam al-Qur‟an. Tiga pilar dari ilmu sosial profetik dalam
pemikirannya, konsep humanisasi merupakan terjemahan dari amar al-maruf yang
makna asalnya menganjurkan menegakkan kebajikan. Secara etimologi berasal dari
“kondisi menjadi manusia”, dan secara terminologi berarti memanusiakan manusia.
Konsep ini berakar pada humanisme-teosentris, maksudnya adalah manusia harus
memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya untuk saling menghargai sesama
manusia atas nama kemanusiaan. Liberasi bertujuan untuk membebaskan bangsa
manusia dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, pemerasan kelimpahan,
khususnya dalam perihal pluralisme berusaha untuk menerobos sekat-sekat tribalistik
yang menjadi akar konflik kepentingan dari masing-masing ideologi keagamaannya.
Pembebasan dilakukan dengan menyatukan kesadaran dan rasa bahwa adanya
kekuatan raksasa yang perlu untuk dihadapi, membebaskan diri dari keterkungkungan
sekat kultural yang dibentuk oleh kesadaran ideologi. Sedangkan transendensi
bertujuan untuk menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Oleh
karena itu, perihal pluralisme agama hemat penulis bukan hanya permasalahan agama,
melainkan perihal yang lebih ditekankan dengan gaya pemikiran Kuntowijoyo yakni
kebudayaan.
Sebagai sebuah ideologi sosial, Islam juga menderivasi terkait pemikiran-
pemikiran atas realitas sosial sesuai dengan paradigmanya untuk transformasi sosial
menuju tatanan masyarakat yang sesuai dengan cita-citanya. Oleh karena itu, Islam
sangat berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tapi juga
diubah dan dikendalikan. Bahwa Islam memiliki dinamika sosial – untuk timbulnya
24
Moch. Nur Ichwan, Rethinking al-Amr bi l-Ma„ruf wa n-Nahy „an al-Munkar: Etika
Politik dalam Bingkai Post-Islamisme, artikel dimuat dalam “Dinamika Kebudayaan dan Problem
Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy„arie”, (ed.) Andy Dermawan, Yogyakarta: LeSFI, 2011,
hlm. 239-97.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
72
desakan dengan adanya transformasi sosial secara terus menerus yang berakar pada
misi ideologisnya, yakni cita-cita untuk menegakkan amar ma‟ruf dan nahiy munkar
dalam masyarakat sesuai dengan kerangka keimanan kepada Tuhan. Sementara amar
al ma‟ruf berarti humanisasi dan emansipasi, nahiy munkar merupakan upaya untuk
liberasi. Dan karena kedua tugas itu berada dalam kerangka keimanan, maka
humanisasi dan liberasi merupakan dua sisi yang tak dapat dipisahkan dari
transendensi.
25
Dalam karya Muhammad Iqbal yang berjudul “Membangun Kembali Pikiran
Agama Dalam Islam”, ia mengungkapkan kembali kata-kata seorang sufi bahwa nabi
Muhammad SAW telah sampai ke tempat yang paling tinggi yang menjadi dambaan
bagi ahli mistik, tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas
kerasulannya. Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda
nabi untuk berhenti. Akan tetapi, dijadikannya sebagai spirit untuk mengubah nasib
bangsa manusia. Dengan kata lain, pengalam religius itu justru menjadi dasar
ketertibannya dalam sejarah, sebuah aktivisme sejarah.
26
Penulis meminjam bahasa
paradigma profetik dalam spirit Islam Kuntowijoyo sebagai tindakan dan upaya
untuk melakukan pembebasan yang telah dilakukan oleh nabi. Pembebasan sosial di
mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat.
Sebuah dialog pembebasan sosial berdasarkan gerakan profetik yang merupakan
panggilan iman yang bersumberkan pada perintah Allah yang tidak terbatas pada para
nabi yang diturunkan Allah semata, tetapi juga harus diteruskan sampai saat ini. Misi
gerakan profetik Kuntowijoyo berusaha mengangkat harkat dan martabat
kemanusiaan dari segala bentuk penindasan, diskriminasi, dan memperjuangkan
keadilan menuju egalitarianisme sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi. Gerakan
profetik juga merupakan gerakan moral menuju pencerahan umat manusia,
sebagaimana dapat kita saksikan dalam sejarah peradaban manusia. Allah akan
mengutus para nabi-Nya untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.
25
Kuntowijoyo, “Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi”(Bandung: Mizan, 1993),
hlm. 337.
26
Kuntowijoyo, “Muslim Tanpa Masjid” (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 363-364.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
73
Islam dalam menyikapi pluralitas agama sebagai upaya kompromistik problem
kemanusiaan merupakan transformasi misi keagamaan untuk melakukan sebuah
perubahan arah keberagaman menjadi modal sosial bagi kerukunan umat beragama.
Sekiranya istilah pluralisme agama memerlukan sebuah pergeseran paradigma dengan
menyatakan bahwa mengakui pluralitas agama adalah keniscayaan dan tugas
selanjutnya adalah menjalin kerja sama untuk melakukan mobilitas budaya dan sosial
untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan keadilan sosial
dan demi keharmonisan serta keselarasan hidup tanpa adanya kelas sosial dalam
masyarakat.
Kesimpulan
Pluralisme agama akan menjadi isu yang bersifat konfrontatif pada taraf
otentisitas agama-agama. Hal ini juga mengundang dilema bagi fatwa MUI tentang
pelarangan faham pluralisme agama yang dianggap sebagai paham bahwa semua
agama itu sama. Perlu diketahui sebelumnya, pluralisme dalam ranah epistemologis
hanya akan membawa kita kembali pada romantisisme masa lalu. Tapi kenyataannya
pluralisme agama merupakan sebuah konsep pembangun dasar hidup harmonis
antara pemeluk agama-agama, karena masing-masing agama memiliki ciri khas
tersendiri. Semua agama berbeda dalam bentuk ritual, do‟a, dan konsep
kepercayaannya, tetapi sama secara hakikatnya. Untuk menghadapi realitas
keberagaman agama dan pemeluknya diperlukan sikap saling menerima perbedaan
dan keragaman guna mewujudkan masyarakat berperadaban. Kemudian perlunya
untuk bersinergi membangun kemanusiaan yang adil dan beradab.
Wacana terkait pluralisme agama apabila diperdebatkan hanya akan
memperlihatkan bagaimana sejatinya keadaan masyarakat Indonesia hanya terjerat
dalam tatanan kesadaran ideologis. Perihal tersebut tidak lain hanyalah sebuah
perdebatan ideologi. Sejarah perkembangan agama-agama di Indoensia mengalami
stagnansi keilmuan dalam ranah ideologis. Seperti yang diinginkan oleh Kuntowijoyo
dalam bukunya “Muslim Tanpa Masjid” bahwa umat Islam perlu untuk mencapai
pada titik kesadaran ilmu (baca “Islam sebagai Ilmu”). Karena secara substansialnya
proses dalam melihat keberagamaan segala sesuatu diperlukan sikap inklusivis-
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
74
pluralis. Sikap keterbukaan dalam beragama tidak hanya saling menerima perbedaan
dan keragaman sebagai sunnatullah. Jalan spiritual masing-masing agama yang
bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan inilah yang dikembangkan
dan dipraktekkan. Selain dari pada itu sebagai umat manusia yang beragama
memerlukan kontemplasi, refleksi teologis, serta membangun kerja sama untuk
merepresentasikan merepresentasikan nilai-nilai kemanusian yang beradab dan
menjunjung tinggi perdamaiaan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995
Abdullah, Amin. Normatifitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Abdullah, M. Amin. “Kesadaran Multikultural”, dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan
Multikultural. Yogyakarta: Pilar, 2006.
Al Fadl Khaled Abou. Islam dan Tantangan Demokrasi, erj. Gifta Ayu Rahmani dan
Ruslani. Jakarta: Ufuk Press, 2004.
Armayanto, Harda. Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqafah Vol. 10, No. 2,
November 2014.
Bagir, Zaenal Abidin. dkk, Pluralisme Kewargaan Arah Baru Budaya Politik Keragaman di
Indonesia. Bandung, Mizan, 2011.
Bagir, Zainal A. Demokrasi, Pluralisme, dan Agama Konservatif dalam Costly Tolerance
Tantangan Baru Dialog Muslim-Kristen di Indonesia dan Belanda. Yogyakarta: CRCS
Program Studi Lintas Agama dan Lintas Budaya, 2018.
Bryne, Peter. Prolegomena to Religious Pluralism, London: Macmillan Press Ltd., 1995.
Haryatmoko, “Paradigma Hubungan Antar Agama : Pluralisme De Jure dan Kritik Ideologi”,
dalam M. Amin Abdullah, dkk., Ontologi Studi Islam, Teori dan Metodologi.
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000
Ibrahim, Haslina. Dari Kepelbagaian Agama Kepada Pluralisme Agama: Sejarah
Perkembangan, Jurnal Ilmu Wahyu Dan Perbandingan Agama, Universitas Islam
Antarbangsa Malaysia, Juli 2011.
Ichwan, Moch. Nur. Rethinking al-Amr bi l-Ma„ruf wa n-Nahy „an al-Munkar: Etika
Politik dalam Bingkai Post-Islamisme, artikel dimuat dalam “Dinamika Kebudayaan
dan Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy„arie”, (ed.) Andy Dermawan,
Yogyakarta: LeSFI, 2011.
Iqbal, Muhammad dan Amien Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Media Group, 2010.
Arafat Noor Abdillah: Pluralisme Agama ... Religi, Vol. XV, No. 1, Jan-Juni 2019: 51-75
75
Kuntowijoyo, “Muslim Tanpa Masjid”. Bandung: Mizan, 2001.
Kuntowijoyo, “Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1993.
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, cet. IV, 1999.
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1998.
Naim, Ngainun. Islam dan Pluralisme Agama : Dinamika Perebutan Makna. Yogyakarta:
Aura Pustaka, 2014.
Rofi‟ie, Abd. Halim. Wahdatul Wujud Dalam Pemikiran Ibnu Arabi, dipublikasikan pada
tanggal 2 Februari 2016.
Rozak, Abdul. Komunikasi Lintas Agama: Modal Sosial Pembentukan Masyarakat Sipil,
Jurnal Dakwah, Vol. IX, No. 1, Juni 2008.
Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001.
Vroom, Hendrik M. Do All Religious Traditions Worship The Same God? Religious
Studies, Vol. 26, No. 1, March, 1990.
Widiatmoko, Catur. Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005) Dalam
Konteks Keindonesiaan, Jurnal Medina-Te, Vol. 16, No. 1, Program Pascasarjana
UIN Raden Fatah Palembang, Juni 2017.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. Liberalisasi Pemikiran Islam Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis, dan Kolonialis, Jurnal TSAQAFAH Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430.
Arafat Noor Abdillah, Guru SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta, email:
arafat.aarafat@yahoo.co.id