Content uploaded by Ipit Zulfan
Author content
All content in this area was uploaded by Ipit Zulfan on Aug 15, 2019
Content may be subject to copyright.
Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme | 135
Representasi Pergerakan Film Eksploitasi Indonesia
Muhammad Rasyid Baihaqi dan Ipit Zulfan
Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran
E-mail: rasyidbaihaqi@gmail.com
Abstract
This research aims to identify representation of Indonesia’s Exploitation Film Movement
in documentary “Blood, Guts, and Bad Acting: Inside The Indonesia B Movies of 1980s”.
This research uses qualitative research method, spesifically uses Roland Barthes’ semiotics
analysis method to analyze meaning of denotation, connotation, and myths aspects from
the object research. This results showed “Blood, Guts, and Bad Acting: Inside The
Indonesia B Movies of 1980s” is trying to show that Indonesia’s exploitation film
movement is influenced by New Order’s economic and socio-politics condition. Especially
about the strict cencorship rules of the film which then limit the freedom of expression of
filmmakers.
Keywords: Indonesia’s Exploitation Film, Documentary Film, VICE, Qualitative
Research, Semiotics
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi film eksploitasi Indonesia dalam
film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside The Indonesia B Movies of 1980s.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan kajian semiotika Roland
Barthes untuk mengkaji makna denotasi, konotasi, dan mitos, yang terdapat dalam objek
penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan film Blood, Guts, and Bad Acting: Inside The
Indonesia B Movies of 1980s berusaha menampilkan bahwa pergerakan film eksploitasi
Indonesia dilatarbelakangi kondisi ekonomi dan sosial politik Orde Baru. Terutama
mengenai aturan ketat sensor film yang saat itu membatasi kebebasan berekspresi para
pembuat film.
Kata Kunci: Film Eksploitasi Indonesia, Film Dokumenter, VICE, Penelitian Kualitatif,
Semiotika
Pendahuluan
Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s adalah film
dokumenter pendek yang diproduksi oleh media asal Amerika Serikat, VICE. Film yang
berdurasi sekitar 15 menit ini menceritakan tentang pergerakan film eksploitasi Indonesia di
tahun 1980-an yang menandakan kejayaan film Indonesia. Fokus utamanya adalah film-film
yang berisi kekejaman di hampir setiap adegannya, visualiasi imajinatif dengan biaya
seadaanya, serta akting khas film kelas B yang kharismatik. Ketiga ciri-ciri film eksploitasi
Indonesia tersebut dikatakan oleh Charlet Duboc sebagai pemandu film saat membuka film
dokumenter ini.
136 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Dalam deskripsi singkat di kanal Youtube VICE ataupun VICE Indonesia, VICE
menjelaskan tujuan pembuatan film dokumenter pendek ini. Berikut deskripsi singkat yang
sudah diterjemahkan bahasa Indonesia di kanal VICE Indonesia.
“Dalam episode dokumenter VICE Guide to Film kali ini, kami sengaja mengenang
kembali masa-masa keemasan film eksploitatif Indonesia. Untuk mendapat gambaran
utuh mengenai faktor-faktor yang membuat genre tersebut sempat meledak, VICE
mewawancarawai sutradara, produser, penulis skenario, hingga pakar efek visual yang
aktif di industri perfilman Indonesia decade 1970 hingga 1980’an. Selain dengan pelaku
sejarah, VICE juga ngobrol bareng Joko Anwar, sutradara muda yang mengaku tumbuh
besar menonton film-film kelas B tersebut. Beberapa karyanya, semisal Kala dan
Pengabdi Setan yang tayang tahun ini, disebutnya sebagai penghormatan terhadap
sejarah sinema eksploitatif Tanah Air.”
Sinema eksploitasi bukan merupakan suatu genre, melainkan sebuah industri dengan
moda produksi tertentu. Film-film eksploitasi dibuat dengan biaya murah agar mudah
mendapatkan keuntungan. (http://journals.openedition.org/transatlantica/7846, diakses pada 1
Februari 2018). Para pembuat film eksploitasi biasanya membagi tenaga kerja seperti rumah
produksi pada umumnya: ada produser, sutradara, dan sebagainya. Tugas produksi dibagi
dengan cara yang kira-kira sesuai dengan praktik produksi massal. Namun produksi film
eksploitasi sering memaksa pembuatnya mengerjakan dua pekerjaan sekaligus (Bordwell dan
Thompson, 2013: 30). Film eksploitasi adalah film-film yang diproduksi dengan biaya rendah,
film sensasional yang berhubungan dengan seksualitas, ketelanjangan, kejahatan, dan
kekerasan. (https://www.jstor.org/stable/30132001?seq=1#page_scan_tab_contents diakses
pada 1 Februari 2018)
Pergerakan film eksploitasi muncul akibat ketatnya sensor film Indonesia pada
pemerintahan Soeharto (orde baru). Charlet Duboc menjelaskan bahwa saat orde baru
berkuasa, semua kritik terhadap rezim sangat dilarang. Namun pemerintah melonggarkan
aturan sensor untuk film-film eksploitasi. Menurut Joko Anwar dalam Blood, Guts, and Bad
Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s, para pembuat film tahun 1970-1980-an
memilih membuat film genre (eksploitasi) karena film seperti itu sensornya tidak terlalu ketat.
Mereka bisa memasukkan kekerasan, darah yang berlumuran, sensualitas dan seks bahkan
memperlihatkan payudara. Duboc menambahkan, para pembuat film merespon kebebasan ini
dengan melewati batas selera dan akal sehat untuk membantu mereka mengatasi penindasan
yang terjadi di kehidupan sehari-hari mereka.
Di tengah ketatnya urusan sensor, industri perfilman Indonesia tetap mampu
memproduksi film berkualitas hingga mencapai kejayaannya. Salim Said, dkk dalam buku
Layar Perak: 90 tahun Bioskop di Indonesia menuliskan awal tahun 70an muncul nama-nama
sutradara seperti Teguh Karya yang menuai pujian lewat film debutnya Seorang Lelaki (1971),
Wim Umboh yang sukses secara komersil lewat film Pengantin Remadja (1971), dan sutradara
muda lainnya seperti Ismail Subardjo, Slamet Rahardjo, dan Franky Rorempandey. Film-film
populer yang di tahun 70an di antaranya Ratapan Anak Tiri (1973), Bing Slamet Koboi
Cengeng (1974), Karmila (1976), serta Inem Pelayan Sexy (1977).
Kajian Jurnalisme | 137
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Di era orde baru, perfilman Indonesia menghadapi tantangan sensor film yang kian
membatasi gagasan dan sudut pandang para pembuat film. Namun hal tersebut tidak
menghentikan laju perfilman Indonesia yang terus berkembang hingga mencapai masa
kejayaan. Dalam film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies
of the 1980s, film eksploitasi Indonesia merepresentasikan kejayaan film Indonesia. Kejayaan
tersebut dihubungkan dengan kondisi perfilman saat ini yang mulai bangkit. Jika dilihat dari
jumlah penonton dan produksi film dalam negeri yang kian meningkat sejak tahun 2016.
Peneliti berusaha mengkaji relasi tanda yang merepresentasikan pergerakan film
eksplotasi Indonesia yang ada dalam film Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B
Movies of the 1980s. Tanda-tanda tersebut menunjukkan arti film eksploitasi Indonesia di era
tahun 1980an dan juga kaitannya dengan situasi perfilman Indonesia saat ini. Kemudian
peneliti merelasikan tanda tersebut untuk mengungkap makna denotasi, makna konotasi dan
ideologi tertentu yang dimunculkan oleh VICE sebagai pembuatnya. Oleh karena itu, kajian
semiotika menjadi metode yang tepat untuk mengurai permasalahan penelitian dengan cara
mengungkap makna dari tanda-tanda yang muncul dalam film dokumenter tersebut.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan, peneliti menggunakan kajian
semiotika Roland Barthes. Penelitian ini dimulai dengan merelasikan antara penanda (signifier)
dan petanda (signified) dalam tanda dan antara tanda dengan acuannya. Menurut Barthes,
tataran pertama ini disebut dengan denotasi. Denotasi merujuk kepada ‘makna awam’ dan
‘makna biasa dari tanda (Kurniawan, 2001:17). Atau dengan kata lain kajian pada tataran
pertama dalam tingkat kajian semiotika Roland Barthes, yaitu mengkaji unsur-unsur tanda
visual yang muncul dalam film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia
B Movies of the 1980s.
Selanjutnya peneliti mengkaji pada tataran kedua atau tataran konotasi dan mitos.
Dalam kerangka Barthes, tataran konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
mitos. Mitos berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai
dominan yang belaku dalam suatu periode tertentu. konotasi menjelaskan interaksi yang terjadi
ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi pemakainya dan ketika tanda bertemu
dengan nilai-nilai kebudayaan pemakainya. Sementara Barthes mendefinisikan mitos sebagai
proses berpikir atau membuat konsep sesuatu atau sebuah pengalaman sosial seseorang atau
kolompok masyarakat. Pengkajian tataran kedua ini dilakukan untuk mengungkapkan ideologi
yang ada dalam film Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s.
Dalam penelitian ini, film dokumenter pendek Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the
Indonesia B Movies of the 1980s dikaji melalui relasi tanda-tanda yang ada di dalamnya.
Peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes untuk mengungkapkan makna tanda pada
level denotasi, konotasi, dan mitos yang terkandung di dalam film dokumenter pendek Blood,
Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s terkait dengan pergerakan
film eksploitasi Indonesia.
138 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Metode
Menurut Bogdan dan Bilken (dalam Moleong, 2010:49), paradigma adalah kumpulan longgar
dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara
berpikir dan penelitian. Sementara menurut Pujileksono (2015:26), paradigma sebagai satu set
asumsi, konsep, nilai-nilai dan merupakan cara pandang realitas dalam disiplin ilmu.
Paradigma merupakan cara pandang atau pola pikir komunitas ilmu pengetahuan atas
peristiwa/realitas/ilmu pengetahuan yang dikaji, diteliti, dipelajari, dipersoalkan, dipahami,
dan untuk dicarikan pemecahan persoalannya.
Peneliti menggunakan paradigma kritis yang dipopulerkan Karl Marx, karena kajian
semiotika Roland Barthes yang tergolong dalam paradigma kritis. Paradigma kritis
menganggap bahwa media adalah salah satu medium bagi kalangan dominan untuk dapat
mengontrol dan mempengaruhi kalangan yang tidak dominan. Sesuai dengan yang
disampaikan Karl Marx, paradigma kritis menganggap realitas sebagai realitas semu. Realitas
dianggap sudah tidak apa adanya atau alami lagi karena sudah terpengaruh dan dikonstruksi
oleh kekuatan sosial, politik, dan ekonomi.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi tindakan,
dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong,
2010:6).
Menurut Cresswell (2014: 63), penelitian kualitatif dilakukan karena ada suatu
permasalahan atau isu yang bisa dieksplorasi. Penelitian kualitatif juga dilakukan ketika
peneliti ingin memberdayakan diri untuk dapat menyampaikan cerita dan mendekatkan jarak
antara peneliti dan partisipannya selama proses penelitian. Hasil dari penelitian kualitatif bisa
memberikan suatu pemahaman yang detail dan lengkap tentang topik yang diteliti.
Semiotika dalam lingkup kajian komunikasi memiliki jangkauan luas. Semiotika dapat
diterapkan pada berbagai level dan bentuk komunikasi, dalam konteks penelitian komunikasi
politik hingga ke komunikasi massa. Dalam komunikasi massa, kajian semiotika dapat
diaplkasikan dalam media film, televisi, iklan, lagu, bahkan foto jurnalistik (Vera, 2014:10).
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika. Van Zoest menjelaskan film dibangun dengan tanda-tanda semata. Tanda-tanda itu
termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan. Rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan.
“Film umumnya dibangun dengan banyak tanda, termasuk berbagai sistem tanda yang
bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Sistem
semiotika yang penting dalam film adalah gambar dan suara, serta tanda-tanda ikonis,
atau tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu” (Sobur, 2006:128).
Tanda dan prosedur penelitian semiotika mirip dengan yang dilakukan dalam penelitian
struktural. Penelitian dengan menggunakan kajian semiotika memang tidak mengukur mutu
Kajian Jurnalisme | 139
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
penelitian melalui realibilitas dan validitas, melainkan sejauh mana peneliti mampu
memperhatikan konteks sosial, ekonomi, politik, dan analisis komprehensif yang lain.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda
adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-
tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2006:15). Fiske dalam Cultural and
Communication Studies (2010:60) mengatakan bahwa studi semiotika mempunyai tiga bidang
studi utama:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara
tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna dan cara tanda-tanda itu
terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan
hanya bisa dipahami dalam artian yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai
kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya
untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang terdesain untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Hal ini pada gilirannya bergantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes untuk mengkaji relasi tanda yang ada
dalam film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the
1980s. Roland Barthes menurut Sobur (2006:69) dikenal sebagai salah seorang pemikir
strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes
berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu.
Saussure (dalam Fiske, 2010:117) dalam analisis semiotiknya sangat tertarik pada
rumitnya pembentukan kalimat, dan bagaimana struktur kalimat tersebut dapat memberikan
makna kepada pembaca, tanpa melihat kemungkinan bahwa kalimat yang sama dapat
memberikan makna yang berbeda kepada pembaca yang berbeda. Ia hanya terfokus pada teks,
tanpa memperhatikan bagaimana tanda-tanda yang ada dalam teks berinteraksi dengan
pengalaman personal dan kultural pembaca, yang kemudian dapat memunculkan makna yang
berbeda-beda.
Kekosongan dari konsep tanda Saussure itu yang kemudian dikembangkan oleh Barthes
dalam konsep denotasi, konotasi, dan mitosnya. Ia menggunakan pengembangan konsep
penanda-petanda Saussure untuk menjelaskan bagaimana kita dalam kehidupan bermasyarakat
didominasi oleh konotasi. Konotasi adalah pengembangan segi pertanda sesuai dengan sudut
pandangnya (Hoed, 2014:17).
Denotasi merupakan tatanan pertandaan pertama dalam landasan kerja Saussure.
Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara
tanda dengan referennya dalam realitas eksternal (Fikse, 2010:118). Barthes menyebut tatanan
ini dengan tegas sebagai denotasi yang mengacu pada anggapan umum, bahwa denotasi
140 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
merupakan makna yang sebenar-benarnya, yang disepakati bersama-sama secara sosial, yang
merujuk pada realitas (Vera, 2014:28).
Menurut Fiske (2010:118), konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung
tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya.
Barthes menegaskan, makna yang tercipta dari konotasi adalah makna yang berhubungan
dengan cara menghubungan penanda-penanda dengan aspek kebudyaan yang lebih luas:
keyakinan, sikap, kerangka kerja, ideologi suatu formasi sosial tertentu (Barker, 2011:93).
Budiman menjelaskan bahwa dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi
ideologi, yang disebutkan sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Akan tetapi, mitos
dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos
adalah suatu sistem pemaknaan tataran kedua (Sobur, 2006:71).
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika untuk
mengungkap makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film dokumenter Blood, Guts, and
Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s. Semiotika dalam film dilakukan
melalui unsur-unsur film yang dapat memberikan makna. Bagi Metz (Budiman, 2016:13),
unsur-unsur film itu cukup sederhana, yaitu saluran-saluran informasi atau sarana-sarana
signifikasi tertentu yang menyedot perhatian ketika menonton sebuah film. Ada lima macam
material utama yang merupakan fakta-fakta sinematografis ini, yaitu:
1. Citra-citra fotografis yang bergerak dan berganda (multiple);
2. Jejak-jejak grafis (graphic traces) yang mencakup segenap material yang tertulis
yang terbaca pada layar;
3. Tuturan (speech) yang terakam;
4. Musik (music) yang terekam;
5. Derau (noise) yang terekam atau efek bunyi (sound effect).
Peneliti perlu memperlakukan film dokumenter tersebut sebagai teks yang memiliki
kesatuan narasi yang utuh. Menurut Sumarno (1996:37), sebuah film memiliki struktur yang
terdiri dari shot, scene, sequence, dan film utuh. Setiap shot berhubungan dengan
pembingkaian yang memberikan batas tertentu antara dunia subjek dan dunia nyata.
Pembingkaian tersebut bertujuan memberikan makna harfiah dan makna simbolik tentang apa,
siapa, dan bagaimana maksud cerita yang ingin disampaikan.
Van Zoest (dalam Sobur, 2006: 129) menjelaskan, jika kita hendak mengkaji
penyusunan struktur dan aktivitas semiotika film, konsep-konsepnya dapat dipinjam dari teori
bercerita dan berkisah yang berorientasikan semiotika. Sehubungan dengan hal tersebut,
peneliti perlu memilih unit kajian yang berhubungan dengan film eksploitasi Indonesia dalam
Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s.
Awalnya, peneliti memilih adegan berdasarkan unsur naratif yang berkaitan dengan
pergerakan film eksploitasi Indonesia. Adegan-adegan tersebut dapat diidentifikasi sebagai
Kajian Jurnalisme | 141
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
penanda-petanda denotasi yang menghasilkan makna denotasi pada tataran pertama sekaligus
menjadi penanda pada tataran kedua. Selanjutnya, peneliti mengkaji dengan menggunakan
unsur naratif dan sinematik untuk mengungkap makna konotasi di balik audio dan visual yang
muncul dalam adegan. Pada tahap ini, peneliti merelasikan penanda-petanda konotasi untuk
menghasilkan makna konotasi pada tataran kedua.
Sementara mitos merupakan perkembangan dari aspek konotasi yang sudah terbentuk
lama di masyarakat. Peneliti berusaha melakukan demistifikasi mitos dengan menjelajahi
sejarah sosial-politik dari aspek konotasi yang muncul dalam film dokumenter Blood, Guts,
and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s. Fiske (2010:126) menjelaskan
bahwa konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi dalam tataran kedua
pertandaan, yakni tempat berlangsungnya interaksi antara tanda dan pengguna/budayanya yang
sangat aktif.
Hasil dan Pembahasan
Peneliti akan mengkaji film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the
Indonesia B Movies of the 1980s yang berdurasi 15 menit. Film dokumenter ini menyajikan
cerita kejayaan perfilman Indonesia pada dekade 1980-an. Dalam peneltian ini, peneliti
menggunakan tahap-tahap kajian semiotika Roland Barthes dalam mengkaji film dokumenter
Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s. Adapun tiga tahap
kajian semiotika Roland Barthes, antara lain:
1. Menguraikan makna denotasi film eksploitasi Indonesia pada film dokumenter Blood,
Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s.
2. Menguraikan makna konotasi film eksploitasi Indonesia pada film dokumenter Blood,
Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s.
3. Mengungkap mitos yang muncul mengenai film eksploitasi Indonesia pada film
dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s.
Untuk menguraikan makna denotasi dan konotasi pada film dokumenter tersebut,
peneliti membagi film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies
of the 1980s ke dalam 14 adegan yang nantinya akan digunakan sebagai bentuk (form) saat
mengungkap mitos sebagai konsep (concept).
Adegan merupakan suatu peristiwa yang ada dalam film. Perpindahan antar adegan
secara naratif biasanya ditandai dengan pergantian tokoh atau latar tempat dan waktu. Adapun
secara teknis ditandai dengan penyuntingan (editing) pada visual ataupun audio. Berikut tabel
pembagian adeganny
142 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Tabel 1. Pembagian adegan. Sumber observasi peneliti.
No.
Deskripsi Singkat Adegan
Cuplikan Gambar
Durasi Waktu
1.
Imam Tantowi mengajarkan
Barry Prima untuk berakting.
00:00 – 00:25
2.
Charlet Duboc menjelaskan
perihal kanal Foreign Film Club
dan film dokumenter ini.
00:26 – 01:04
3.
Charlet Duboc menjelaskan latar
belakang munculnya sinema
eksploitasi Indonesia di era Orde
Baru.
01:05 – 01:39
4.
Joko Anwar menceritakan
pengalaman dan pengetahuannya
mengenai film eksploitasi
Indonesia tahun 1980an.
01:40 – 03:21
5.
Gope Samtani menjelaskan
mengenai perusahaan miliknya,
Rapi Films yang memproduksi
film eksploitasi.
03.22 – 05:03
6.
Imam Tantowi menceritakan
kisah hidupnya sebagai sineas
yang terlibat dalam sinema
eksploitasi Indonesia.
05:04 – 06:12
7.
Joko Anwar mengatakan bahwa
film eksploitasi Indonesia
menggunakan spesial efek.
06:13 – 06:38
Kajian Jurnalisme | 143
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
8.
El Badrun menceritakan kisah
hidupnya sebagai sineas yang
terlibat dalam sinema eksploitasi
Indonesia.
06:39 – 08:53
9.
Joko Anwar mengatakan bahwa
film eksploitasi Indonesia
memiliki keunikan tersendiri.
08:54 – 09:18
10.
Barry Prima merupakan salah
satu artis yang sering bermain
dalam film eksploitasi Indonesia.
09:19 – 10:21
11.
Suzanna merupakan salah satu
artis yang sering bermain dalam
film eksploitasi Indonesia.
10:22 – 11:48
12.
Film eksploitasi Indonesia
mencapai kejayaannya hingga
diekspor ke luar negeri.
11:49 – 12:59
13.
Krisis moneter mengubah
industri perfilman Indonesia.
Selain itu, tayangan gratis
televisi juga membuat perfilman
Indonesia semakin menurun.
13:00 – 14:18
14.
Setelah 20 tahun, perfilman
Indonesia mulai menuju bangkit
dan kembali bergairah.
14:19 – 15:27
(Sumber: Analisis hasil penelitian)
144 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Pada tahap awal peneliti mengungkap makna denotasi dan konotasi tiap adegan.
Selanjutnya peneliti baru bisa membongkar mitos yang ada dalam objek penelitian. Berikut
makna denotasi yang terkandung dalam tiap adegan film Blood, Guts, and Bad Acting: Inside
the Indonesia B Movies of the 1980s:
1. Imam Tantowi sedang bercerita mengenai pengalamannya melatih akting Barry
Prima pada sebuah adegan.
2. Charlet Duboc menjelaskan kanal Foreign Film Club dari VICE dan episode pertama
kanal ini mengenai film eksploitasi Indonesia tahun 1980an.
3. Charlet Duboc menjelaskan era Orde Baru pada 1966-1998 yang mengekan
kebebasan berpendapat rakyatnya. Hal tersebut melatarbelakangi kemunculan film
eksploitasi Indonesia.
4. Joko Anwar menceritakan pengalaman dan pengetahuannya mengenai film
eksploitasi Indonesia tahun 1980an.
5. Gope Samtani menceritakan ketertarikannya pada film, awal mula berdirinya Rapi
Films dan kisah di balik film-film yang diproduksinya.
6. Imam Tantowi menceritakan pengalamannya membuat film genre bersama Rapi
Films.
7. Joko Anwar mengatakan bahwa para pembuat film eksploitasi menggunakan barang
aneh untuk dijadikan spesial efek.
8. El Badrun menceritakan pengalamannya terlibat dalam pembuatan film eksploitasi
Indonesia 1980an dan pendapatnya mengenai penonton saat itu.
9. Joko Anwar menjelaskan kehebatan film Jaka Sembung yang menampilkan
kesadisan yang menarik.
10. Selain Barry Prima, Suzanna juga merupakan salah satu tokoh ikonik film
eksploitasi Indonesia 1980an.
11. Suzanna selalu dilekatkan dengan berbagai hal gaib dan mistik.
12. Film eksploitasi Indonesia mencapai puncak kejayaannya lewat film Final Score dan
film-film lain yang berhasil menembus pasar internasional.
13. Krisis moneter dan tayangan gratis televisi di Indonesia membuat industri perfilman
menurun tajam.
14. Tahun 2017 menjadi penanda kebangkitan perfilman Indonesia.
Peneliti hendak mengungkap mitos yang bekerja dalam film dokumenter Blood, Guts,
and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s. Barthes (dalam Sunardi,
2004:104) menjelaskan bahwa mitos terbentuk ke dalam tiga unsur, yaitu bentuk (form) dan
konsep (concept), dan hubungan kedua unsur tersebut (signification) yang memunculkan
makna yang menjadi mitos. Peneliti mengambil unsur bentuk (form) yang bersumber dari hasil
pemaknaan konotasi pada tingkat pertama untuk dijadikan penanda (signifier) pada sistem
semiologis tingkat kedua. Berikut makna konotasi yang terkandung dalam film Blood, Guts,
and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s:
Kajian Jurnalisme | 145
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
1. Imam Tantowi melatih akting Barry Prima dengan cara yang kreatif untuk
memaksimalkan kualitas aktingnya pada sebuah adegan film.
2. Film eksploitasi Indonesia tahun 1980an memiliki keunikan tersendiri dengan ciri
khasnya yang menonjol.
3. Para pembuat film melakukan perlawanan terhadap pemerintah Soeharto dengan
membuat film eksploitasi untuk bisa berekspresi dengan bebas.
4. Para pembuat film membuat film eksploitasi atas dasar kecintaannya terhadap film.
5. Orang Indonesia suka menonton film-film eksploitasi Indonesia tahun 1980an.
6. Film eksploitasi Indonesia tahun 1980an dibuat dengan tujuan menggaet penonton
sebanyak-banyaknya.
7. Para pembuat film eksploitasi adalah orang-orang kreatif yang bisa menghibur
penontonnya.
8. Para penonton film memandang film eksploitasi Indonesia sebagai tontonan yang
menghibur.
9. Kesadisan merupakan salah satu ciri khas film eksploitasi Indonesia 1980an.
10. Barry Prima menikmati kehidupannya sebagai aktor film eksploitasi Indonesia
1980an.
11. Suzanna selalu dilekatkan dengan berbagai hal gaib dan mistik.
12. Film eksploitasi Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga bisa menembus
pasar internasional.
13. Film Indonesia kalah bersaing dengan tayangan televisi hingga menyebabkan
penonton film berkurang drastis.
14. Sejarah kejayaan film eksploitasi Indonesia 1980an perlu diingat lagi sekarang.
Makna konotasi dari adegan-adegan yang telah disebutkan di atas, peneliti membagi
adegan tersebut ke dalam bagian-bagian secara paradigmatik. Paradigmatik yaitu hubungan-
hubungan tanda dalam semiotik yang merupakan hubungan eksternal atau hubungan tanda satu
dengan tanda lainnya (Sunardi, 2004:63). Hubungan antartanda tersebut seakan-akan tidak ada,
tetapi ada. Berikut merupakan unsur bentuk (form) mengenai film eksploitasi Indonesia dalam
film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s:
1. Latar belakang sejarah film eksploitasi Indonesia. Muncul pada adegan 3, 13, dan 14
2. Ciri khas film eksploitasi Indonesia. Muncul pada adegan 2, 9, dan 12
3. Film eksploitasi Indonesia sebagai barang dagangan. Muncul pada adegan 5, 6, dan
8
4. Di balik layar pembuatan film eksploitasi Indonesia. Muncul pada adegan 1, 4, 7,
10, dan 11.
Makna konotasi yang telah dibagi tersebut menjadi unsur bentuk (form) pada sistem
semiologis tingkat kedua. Unsur bentuk (form) tersebut dihubungkan dengan unsur konsep
(concept) yang membentuk signification. Hubungan kedua unsur tersebut dibentuk
berdasarkan sejarah dan kebudayaan yang terkadung dalam film dokumenter Blood, Guts, and
146 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s. Dalam menjelaskan unsur konsep
(concept), peneliti menjelaskan sejarah film eksploitasi Indonesia dari awal hingga akhir.
Latar Belakang Sejarah Pergerakan Film Eksploitasi Indonesia.
Sejarah film eksploitasi Indonesia muncul pada adegan 3, 13, dan 14. Film eksploitasi
Indonesia lahir di tengah ketatnya aturan sensor film yang berlaku di rezim Orde Baru yang
dipimpin Presiden Soeharto. Saat itu, semua kritik terhadap rezim sangat dilarang. Namun,
pemerintah melonggarkan aturan sensor film untuk film eksploitasi. Oleh karena itu, para
pembuat film merespon kebebasan itu dengan membuat film-film yang melewati batas selera
dan akal sehat sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah.
Dalam berbagai dokumen negara tentang sensor, dari Pedoman Sensor tahun 1977
hingga Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, ada empat
kriteria yang terus jadi perhatian: keagamaan, ideologi dan politik, sosial-budaya, dan
ketertiban umum. Kriteria keagamaan berfokus pada isu-isu anti-agama, anti-ketuhanan, dan
perpecahan antara umat beragama. Kriteria ideologi dan politik melarang pembahasan ideologi
yang berlawanan dengan nilai pancasila dan rezim penguasa; spesifiknya ‘komunisme,
marxisme/leninisme, maoisme, kolonialisme, imperialisme, dan fasisme’. Kriteria sosial-
budaya dan ketertiban umum menyaring gambaran perilaku atau peristiwa yang dianggap bisa
berpengaruh negatif terhadap kestabilan tatanan sosial, seperti pembunuhan yang terlampau
sadis, kegiatan seksual, kesenjangan sosial, citra buruk terhadap aparat negara, dan sebagainya.
(https://cinemapoetica.com/perfilman-indonesia-sebagai-indikator-demokrasi/#_edn7 diakses
pada 3 Februari 2018).
Sinema eksploitasi Indonesia muncul sebagai siasat para pembuat film terhadap
ketatnya sensor yang berlaku di era Orde. Pemerintah memberlakukan sensor film yang
mengatur mulai dari tahap pembuatan naskah hingga tahap penyuntingan gambar. Pemerintah
ingin mengontrol seluruh film agar sesuai dengan konsep film nasional sebagai film kultural
edukatif yang merepresentasikan wajah Indonesia sebenarnya. Berbanding terbalik dengan
pemerintah, para peneliti atau penggemar film eksploitasi menganggap film yang penuh
dengan adegan sensual dan sadis ini sebagai masa kejayaan sinema eksploitasi (The Golden
Age of Exploitation Cinema).
Menurut Salim Said dkk dalam buku Layar Perak Layar Perak: 90 tahun Bioskop di
Indonesia, awal mula film eksploitasi Indonesia dimulai dari Djambang Mentjari Naga Hitam
(1968), dan Bernafas dalam Lumpur (1970). Kedua film tersebut memasukkan unsur erotisme
untuk menghindari aturan ketat sensor yang berlaku. Sementara menurut Thomas Barker dalam
artikel Exploiting Indonesia, From Primitives to Outraged Fugitives, film eksploitasi Indonesia
berawal dari film Primitif (1978) sampai terakhir Pemburu Teroris (1995). Kebanyakan film-
film eksploitasi diproduksi oleh Parkit Film dan Rapi Film yang keduanya dimiliki oleh orang
Indonesia keturunan India. Barker (2014:4) mencatat produksi film eksploitasi Indonesia
berjumlah 46 film termasuk Ratu Ilmu Hitam (1980), Jaka Sembung (1980), Pengabdi Setan
(1980), Golok Setan (1984), Dendam Membara (1986), dll.
Kajian Jurnalisme | 147
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Ciri Khas Film Eksploitasi Indonesia.
Film eksploitasi Indonesia memiliki ciri khasnya sendiri yang menjadi daya tarik utama
penonton Indonesia maupun mancanegara. Ciri khas tersebut sempat disinggung pada adegan
2, 9, dan 12. Dalam film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B
Movies of the 1980s, narator mengatakan bahwa film eksploitasi Indonesia bercirikan:
memasukkan kekerasan di setiap adegannya, visualiasi imajinatif dengan biaya seadanya, dan
pemeranan khas kelas dua yang kharismatik. Joko Anwar lebih menekankan pada aspek
kesadisan film eksploitasi Indonesia yang menghibur penonton sekaligus memberikan
pengalaman sinematik.
Film eksploitasi dapat dikategorikan sebagai film yang dibuat dengan biaya murah,
bukan arus utama, balik modal, dan yang terpenting penuh dengan elemen seks, kekerasan, dan
keseraman. Istilah “eksploitasi” berasal dari fakta bahwa para pembuat film semacam itu
mengeksploitasi isinya dengan mengiklankan aspek seksual dan kekerasan dalam film. Film
eksploitasi memanfaatkan kesuksesan film lain dengan tema-tema seperti stereotip bintang,
hidup mewah, dan meningkatnya produksi pasar. Mereka membuat film eksploitasi dengan
pasar yang spesifik. Oleh karena itu muncul pengembangan kategori seperti sexploitation dan
blaxploitation yang dibuat untuk penonton semi-pornografi dan penonton muda berkulit hitam
(Barker, 2014:11).
Film eksploitasi Indonesia sebagai barang dagangan.
Sejak awal film eksploitasi Indonesia memang lahir sebagai barang dagangan yang
bertujuan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan ongkos produksi semurah-
murahnya. Pada adegan 5, Gope Samtani sebagai produser Rapi Films mengatakan bahwa
kebanyakan orang Indonesia percaya hal-hal gaib dan mistik, jadi mereka tetap nonton walau
mereka ketakutan. Secara tidak langsung, Gope Samtani memproduksi film horor untukk
mendapatkan banyak penonton yang berarti mendapatkan uang. Imam Tantowi pada adegan 6
pun menjelaskan lebih spesifik sasaran penonton film eksploitasi adalah masyarakat menengah
ke bawah.
Sinema eksploitasi bukan merupakan suatu genre, melainkan sebuah industri dengan
moda produksi tertentu. Film-film eksploitasi dibuat dengan biaya murah agar mudah
mendapatkan keuntungan. (http://journals.openedition.org/transatlantica/7846 diakses pada 1
Februari 2018). Para pembuat film eksploitasi biasanya membagi tenaga kerja seperti rumah
produksi pada umumnya: ada produser, sutradara, dan sebagainya. Tugas produksi dibagi
dengan cara yang kira-kira sesuai dengan praktik produksi massal. Namun produksi film
eksploitasi sering memaksa pembuatnya mengerjakan dua pekerjaan sekaligus (Bordwell dan
Thompson, 2013: 30).
Film eksploitasi Indonesia merupakan film-film yang populer di kalangan penonton
kelas bawah pada tahun 1970-1990an. Film eksplotasi Indonesia telah menjadi pujaan rakyat
148 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
(mass cult) untuk penonton lokal. Istilah pujaan rakyat (mass cult) penting mengingat film
eksploitasi tidak dipinggirkan oleh khalayak arus utama di Indonesia. Di sisi lain, film
eksploitasi justru mendapatkan perilaku diskriminasi dari selera politik elit kebudayaan. Status
cult film eksploitasi Indonesia sebagian dibentuk oleh kebijakan Orde Baru di bawah
pemerintahan totaliter Presiden Soeharto (1966-1998). Film eksploitasi diedarkan secara bebas
dan masif melalui Layar Tancap dan Misbar ke daerah perdesaan dan pinggiran kota, karena
daerah-daerah tersebut relatif jauh dari jangkauan Orde Baru sampai 1993. Cara distribusi dan
eksibisi seperti ini merupakan cara alternatif untuk film-film yang terpinggirkan (Imanjaya,
2014:ii).
Di Balik Layar Pembuatan Film Eksploitasi Indonesia.
Orang di balik pembuatan film eksploitasi dapat dimaknai sebagai orang kreatif yang
didasari kecintaannya terhadap film. Hal tersebut secara tersirat muncul pada adegan 1,4 dan
7. Imam Tantowi dan El Badrun yang muncul dalam film dokumenter Blood, Guts, and Bad
Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s memperlihatkan kecintaannya terhadap
medium audio visual atau film meski saat itu para pembuat film dibatasi aturan sensor film
yang ketat.
Imam Tantowi adalah seorang sutradara dan penulis skenario yang lahir 13 Agustus
1946 di Tegal. Ia sering bekerja sama dengan Rapi Films untuk menyutrdarai atau menulis
skenario film pada dekade ‘80an. Selama aktif berkarya, ia berhasil mendapatkan penghargaan
sebagai penulis skenario terbaik untuk film Si Badung pada Festival Film Indonesia 1989 dan
sebagai sutradara terbaik untuk film Soerabaia ‘45 pada Festival Film Indonesia 1991. Selain
prestasi tersebut, ia juga beberapa kali masuk nominasi sutradara dan penulis skenario terbaik
Festival Film Indonesia. (http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad4f05315_imam-
tantowi#.Wml9q5P1WRt diakses pada 24 Januari 2018).
Bachrun Djamali alias El Badrun adalah seorang penata artistik dan spesial efek yang
lahir 25 Januari 1950 di Tegal. Menurut catatan filmindonesia.or.id., El Badrun pertama kali
menjadi penata artistik untuk film Musuh Bebuyutan (1974) dan terakhir untuk film Cinta Suci
Zahrana (2012). Selama aktif berkarya, ia tercatat sudah 45 kali jadi penata artistik dan
beberapa kali masuk nominasi penata artistik terbaik Festival Film Indonesia dan sekali masuk
nominasi penata artistik terpuji Festival Film Bandung.
(http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad47cbddd_el-badrun#.WmmCtpP1WRs
diakses pada 24 Januari 2018).
Para pemain film eksploitasi Indonesia seperti Barry Prima dan Suzanna juga memilki
rasa cinta yang besar terhadap film. Suara narator mengatakan bahwa Barry Prima mengakui
dirinya tak pernah membuat film bagus, tetapi dia tetap menikmati waktunya sebagai aktor.
Sementara Suzanna selalu melekat dengan hal-hal gaib dan mistik hingga dijuluki ratu horor
Indonesia. Barry Prima dan Suzanna menjadi dua tokoh ikonik dari masa kejayaan film
eksploitasi Indonesia tahun 1980-an.
Kajian Jurnalisme | 149
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Dari penjelasan bentuk dan konsep, peneliti merumuskan sistem mitos yang bekerja
dalam film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the
1980s, yaitu sebagai berikut:
Pergerakan film eksploitasi Indonesia dilatarbelakangi kondisi ekonomi dan sosial
politik Orde Baru. Pemerintah membatasi kebebasan berekspresi para pembuat film dengan
memberlakukan aturan ketat pada sensor film. Namun para pembuat film masih bisa
menyalurkan kreativitasnya dengan membuat film eksploitasi yang penuh dengan unsur seks,
kekerasan, dan keseraman. Para pembuat film yang memiliki kecintaan yang besar terhadap
film mampu menghasilkan film yang menghibur sekaligus memberikan pengalaman sinematik
kepada penontonnya. Film eksploitasi Indonesia pun bisa meraih banyak penonton hingga
berhasil didistribusikan ke mancanegara untuk ditayangkan ataupun dijual dalam bentuk
riilisan fisik.
Tabel 2. Pengkajian sistem semiologis tingkat kedua pada film dokumenter Blood, Guts,
and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s.
Form (signifier)
Concept (signified)
Signification
Latar belakang
sejarah pergerakan
film eksploitasi
Indonesia
Kondisi ekonomi dan
sosial politik Orde Baru
melatarbelakangi
kelahiran dan kematian
pergerakan film
ekspolitasi Indonesia.
Pergerakan film eksploitasi Indonesia
dilatarbelakangi kondisi ekonomi dan
sosial politik Orde Baru. Pemerintah
membatasi kebebasan berekspresi para
pembuat film dengan memberlakukan
aturan ketat pada sensor film. Namun
para pembuat film masih bisa
menyalurkan kreativitasnya dengan
membuat film eksploitasi yang penuh
dengan unsur seks, kekerasan, dan
keseraman. Para pembuat film yang
memiliki kecintaan yang besar terhadap
film mampu menghasilkan film yang
menghibur sekaligus memberikan
pengalaman sinematik kepada
penontonnya. Film eksploitasi Indonesia
meraup banyak penonton hingga berhasil
didistribusikan ke mancanegara untuk
ditayangkan ataupun dijual dalam bentuk
riilisan fisik.
Ciri khas film
eksploitasi
Indonesia
Film eksploitasi
Indonesia dapat
memadukan ciri film
eksploitasi pada
umumnya dengan budaya
lokal Indonesia.
Film eksploitasi
Indonesia sebagai
barang dagangan
Film eksploitasi
Indonesia bertujuan
mendapatkan keuntungan
dari penonton Indonesia
maupun mancanegara.
Di balik pembuatan
film eksploitasi
Indonesia
Para pembuat dan pemain
film eksploitasi Indonesia
didasari rasa cinta yang
besar terhadap film.
(Sumber: Analisis Hasil Penelitian)
Graeme Turner (dalam Irawanto, 1999:114) mengatakan bahwa film tidak sekadar
‘memindah’ realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Film sebagai representasi dari realitas
membentuk dan ‘menghadirkan kembali’ realitas masyarakat berdasarkan kode-kode,
konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayannya. Hal tersebut menyatakan bahwa film
sejatinya adalah hasil konstruksi dari pembuat film yang telah memilih realitas apa yang
150 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
tampak di dalam bingkai, termasuk film dokumenter. Menurut Robert Flaherty (dalam
Ardianto, 2012:148), film dokumenter adalah ‘karya ciptaan mengenai kenyataan’ (creative
treatment of actuality). Film dokumenter merupakan hasil interpretasi (pembuatnya) mengenai
kenyataan tersebut. Oleh karena itu, meski film dokumenter itu mencerminkan kenyataan tetapi
kenyataan tersebut merupakan pilihan pembuatnya yang bersifat subjektif.
Peneliti mengkaji film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia
B Movies of the 1980s dengan kajian semiotika Roland Barthes yang memiliki tiga tahapan,
yakni denotasi, konotasi, dan mitos sebagai sistem yang memunculkan makna. Berikut makna
denotasi, makna konotasi, dan mitos yang muncul dalam film dokumenter ini:
Tabel 3. Pengkajian sistem semiologis tingkat kedua pada film dokumenter
Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s
Denotasi
Konotasi
Mitos
Terdiri dari 14
makna yang
terdapat pada
pengkajian
denotasi per
adegan.
Terbagi ke dalam 14 adegan yang
kemudian dibagi secara
paradigmatik ke dalam empat
makna, yakni:
1. Kondisi ekonomi dan sosial
politik Orde Baru
melatarbelakangi kelahiran dan
kematian film ekspolitasi
Indonesia.
2. Film eksploitasi Indonesia dapat
memadukan ciri film eksploitasi
pada umumnya dengan budaya
lokal Indonesia.
3. Film eksploitasi Indonesia
bertujuan mendapatkan
keuntungan dari penonton
Indonesia maupun
mancanegara.
4. Para pembuat dan pemain film
eksploitasi Indonesia didasari
rasa cinta yang besar terhadap
film.
Pergerakan film eksploitasi
Indonesia dilatarbelakangi kondisi
ekonomi dan sosial politik Orde
Baru. Pemerintah membatasi
kebebasan berekspresi para
pembuat film dengan
memberlakukan aturan ketat pada
sensor film. Namun para pembuat
film masih bisa menyalurkan
kreativitasnya dengan membuat
film eksploitasi yang penuh
dengan unsur seks, kekerasan, dan
keseraman. Para pembuat film
yang memiliki kecintaan yang
besar terhadap film mampu
menghasilkan film yang
menghibur sekaligus memberikan
pengalaman sinematik kepada
penontonnya. Film eksploitasi
Indonesia meraup banyak
penonton hingga berhasil
didistribusikan ke mancanegara
untuk ditayangkan ataupun dijual
dalam bentuk riilisan fisik.
(Sumber : Analisis Hasil Penelitian)
Selain kajian Semiotika Roland Barthes, peneliti menggunakan pendekatan kajian
budaya untuk melihat latar belakang pergerakan film eksploitasi Indonesia dari aspek budaya
dan politik. Kajian budaya merupakan bidang interdisipliner yang secara selektif mengambil
berbagai perspektif dari disiplin lain untuk meneliti hubungan-hubungan antara kebudayaan
Kajian Jurnalisme | 151
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
dan politik (Bennet dalam Barker, 2011:8). Kajian budaya memandang bahwa bahasa bukan
sebuah medium netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang suatu dunia objek
independen yang ‘ada’ di luar bahasa (Barker, 2011:10).
Film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the
1980s bercerita mengenai pergerakan film eksploitasi Indonesia tahun 1980-an. Pergerakan
film eksploitasi Indonesia muncul karena adanya aturan ketat sensor film yang diberlakukan
pemerintah Orde Baru saat itu. Film eksploitasi merupakan celah bagi para pembuat film untuk
tetap bisa berekspresi dengan bebas, sedangkan bagi pelaku industri perfilman film eksploitasi
Indonesia adalah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
biaya murah dan seadanya. Film eksploitasi Indonesia tahun 1980-an banyak meraup penonton
Indonesia di kalangan kelas bawah.
Namun bagi kalangan elit politik dan budaya, film eksploitasi Indonesia dipandang
sebelah mata. Sementara itu, film eksploitasi Indonesia diputar di pinggiran kota secara bebas
dan luas melalui layar tancap atau misbar. Pemutaran tersebut merupakan cara film eksploitasi
Indonesia bertemu dengan penontonnya yang kebanyakan dari kalangan kelas bawah. Hal
tersebut disampaikan Imam Tantowi mengenai sasaran penonton film eksploitasi Indonesia,
“Penonton itu selalu menengah bawah. Selalu. Mereka yang mau menonton film-film horor
dan genre. Itu paling mudah dan murah.”
Di sisi lain film eksploitasi Indonesia mengalami paradoks, Pokjatab Prosar (Kelompok
Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Film Indonesia di Luar Negeri) malah menjual film
eksploitasi Indonesia ke luar negeri dalam format VHS hingga hak distribusinya dibeli oleh
Mondo Macabro DVD, the Troma Team, dan Video Asia’s “Tales of Voodoo”. Pihak
distributor ini menambahkan beberapa hal dalam DVD yang mereka jual seperti: mengganti
judul, mengisi suara ulang, menambahkan special features agar membuat penonton asing
tertarik membeli. Dampaknya, sampai saat ini film eksploitasi Indonesia mendapatkan status
cult dari para pemuja film-film eksploitasi dunia.
Peneliti juga menggunakan teori representasi dari Stuart Hall untuk mengetahui
bagaimana VICE sebagai pembuat film merepresentasikan pergerakan film eksploitasi
Indonesia melalui film Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the
1980s. Tujuan menelaah representasi menyangkut dua hal: mengetahui seseorang, kelompok
atau gagasan ditampilkan sebagaimana mestinya dan mengetahui bagaimana representasi
tersebut ditampilkan melalui teks yang digunakan, dalam hal ini film (Eriyanto, 2001:113).
Menurut Stuart Hall (1997:15), representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan
sesuatu yang berarti tentang atau untuk merepresentasikan, dunia secara bermakna, kepada
orang lain.
Stuart Hall membagi dua sistem representasi yaitu representasi mental (mental
representation) dan representasi bahasa (system of representations). Pada penelitian ini,
representasi mental berkaitan dengan pergerakan film eksploitasi Indonesia itu sendiri,
sedangkan representasi bahasa berkaitan makna yang tercipta dari representasi pergerakan film
eksploitasi Indonesia. Berdasarkan Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies
of the 1980s, VICE merpresentasikan pergerakan film eksploitasi Indonesia sebagai bentuk
152 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
perlawanan lewat kritik secara tersirat terhadap kekuasaan totalitarianisme dan otoritarianisme
Orde Baru. Seperti yang disampaikan Sen (1994), film Primitif (1978) bisa dilihat sebagai
bentuk kritik terhadap pembangunan Orde Baru sama seperti film kanibal lain yang melawan
neo imperialisme barat. Suku terpencil yang jauh dari pembangunan ditampilkan lebih seperti
hewan ketimbang manusia.
Teori ideologi Louis Althusser juga turut serta dalam penelitian ini. Althusser dalam
esainya yang berjudul “Ideology and ideological State Apparatus (1971) menjelaskan bahwa
ideologi masuk dan bekerja melalui berbagai sumber yang terkait dengan struktur masyarakat
seperti perangkat hukum, keluarga, agama, pendidikan, dan lainnya. Ia menerangkan adanya
Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA) yang bekerja dengan
cara berbeda. RSA menekan masyarakat secara represif melalui badan negara yang
terlegitimasi seperti polisi, militer, pengadilan atau penjara. Berbeda dengan cara kerja ISA
yang menyusup dengan hal-hal yang sifatnya ideal dan terinternalisasi kepada individu melalui
berbagai format seperti institusi pendidikan, agama, media, industri budaya, dan masyarakat
umum. Dengan teori ideologi Louis Althusser dan kajian budaya, peneliti dapat menelaah
ideologi yang sudah dianggap lumrah di dalam kehidupan bermasyarakat.
VICE sebagai pembuat film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the
Indonesia B Movies of the 1980s bertindak sebagai penyebar ideologi. VICE menggunakan
konsep ISA untuk menyebarkan ideologinya sesuai yang dijelaskan Althusser. Hal ini berarti
VICE menyampaikan ideologinya kepada khalayak secara persuasif dalam bentuk film. Blood,
Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s yang menceritakan awal
mula hingga berakhirnya pergerakan film eksploitasi Indonesia. Pemilihan topik mengenai
pergerakan eksploitasi Indonesia merupakan penerapan visi VICE yang sejak awal berdirinya
bertujuan mengangkat isu yang tidak lazim, subkultur dan kaum marjinal. Seperti yang
disampaikan sebelumnya, film eksploitasi Indonesia juga merupakan jenis film yang
dipinggirkan kaum elit budaya dan politik saat itu.
VICE sebagai media massa memiliki ideologi liberalisme. Hal tersebut bisa dilihat dari
pemilihan topik yang sering diangkatnya sejak awal berdiri hingga sekarang. Topik-topik yang
diangkat seringkali dianggap tabu dan sensitif mengenai sesuatu yang terpinggirkan dari
masyarakat. Miriam Budiarjo (penyunting) dalam buku Simposium Kapitalisme, Sosialisme
Demokrasi (1984) menuliskan bahwa kebebasan ekonomi juga diperlukan untuk mencapai
kebebasan politik. Kebebasan dalam bidang ekonomi yang mencegah campur tangan seseorang
terhadap orang lain membuktikan bahwa kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari
kerangka pemikiran liberal. Dengan kata lain, VICE sebagai bisnis media massa mengangkat
isu tabu dan sensitif memiliki tujuan ekonomi: mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Selain keuntungan, VICE juga berusaha mewujudkan kebebasan politik dengan menyebarkan
konten dengan ideologi yang dianutnya.
Unsur seks, kekerasan, dan keseraman yang merupakan ciri film-film eksploitasi
Indonesia tahun 1980-an merupakan hal yang masih tabu dan sensitif hingga kini. Apalagi saat
ini masih diberlakukan sensor ketat terhadap film yang diatur oleh UU No. 33 tahun 2009
Kajian Jurnalisme | 153
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 01 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film.
Ada beberapa kriteria penyensoran film saat ini, yaitu:
1. Mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
2. Menonjolkan pornografi
3. Memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras,
dan/atau antargolongan;
4. Menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
5. Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
6. Merendahkan harkat dan martabat manusia.
Keenam kriteria ini merupakan acuan dasar dari Lembaga Sensor Film (LSF) untuk
menyensor film yang akan tayang di bioskop Indonesia saat ini. Meski LSF saat ini bekerja
lebih transparan dengan hanya memberikan catatan kepada para pembuat film agar memenuhi
kriteria lulus sensor, tanpa sepihak memotong ataupun menghapus adegan tertentu. Namun,
kriteria penyensoran film tersebut tidak ada ukuran pasti. Setiap poinnya bisa diperdebatkan
dengan subjektif masing-masing. Misalnya poin “Menonjolkan pornografi”, poin ini bisa saja
dimaknai berbeda tiap orang tergantung pemahamannya mengenai pornografi.
Sementara itu, peneliti melihat bahwa film dokumenter Blood, Guts, and Bad Acting:
Inside the Indonesia B Movies of the 1980s juga merupakan upaya VICE mendukung perfilman
Indonesia yang sedang dalam masa kebangkitannya sekarang. Hal tersebut tergambar
bagaimana VICE menyisipkan film-film terbaru yang dianggapnya sebagai penanda
kebangkitan perfilman Indonesia. Di bagian akhir film, VICE menegaskan bahwa pentingnya
mengenal sejarah perfilman Indonesia, terutama mengenai film eksploitasi Indonesia. VICE
menganggap para pembuat film eksploitasi Indonesia adalah contoh yang perlu diketahui.
Sebab kecintaan mereka terhadap film dapat menghasilkan film yang memberikan pengalaman
sinematik bagi penontonnya, meski saat itu ada aturan ketat mengenai penyensoran film.
Daftar Pustaka
Barker, Chris. (2011). Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Barker, Thomas. (2014). Exploiting Indonesia: From Primitives to Outraged Fugitives. Jurnal Plaridel
Vol. 11 No.2.
Bordwell, David dan Kristin Thompson. (2013). Film Art: an Introduction (tenth edition). New York:
McGrawHill.
Budiman, Kris. (2011). Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonositas. Yogyakarta: Jalasutra.
Cresswell, John W., (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKis.
Fiske, John. (2010). Cultural dan Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John. (2010). Cultural dan Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif.
154 | Kajian Jurnalisme
ISSN 2549-0559 (cetak) ISSN 2549-1946 (online)
Volume 02 Nomor 02 Tahun 2019
http://jurnal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme
Yogyakarta: Jalasutra.
Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifiying Practices. Britain:
SAGE Publications.
Imanjaya, Ekky. (2014). A Note From the Editor: The Significance of Indonesian Cult, Exploitation,
and B-Movies. Jurnal Plaridel Vol. 11 No.2.
Kurniawan. (2001). Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesia Tera
Moleong, Lexy J., (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pujileksono, Sugeng. (2015). Metode Penelitian Komunikasi, Kualitatif. Malang: Intrans Publishing.
Sobur, Alex. (2003). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana. Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing.. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2006. Semiotika
Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta:Grasindo.
Sunardi, S. (2004). Semiotika Negativa. Yogyakarta: BukuBaik.
Vera, Nawiroh. (2014). Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.