Content uploaded by Hardian wahyu Widianto
Author content
All content in this area was uploaded by Hardian wahyu Widianto on Jul 08, 2019
Content may be subject to copyright.
Gentrifikasi dan Pertarungan Melawan Perampasan Ruang Hidup Perkotaan
Ditulis oleh
Hardian Wahyu Widiantoi
Aku ingin pindah ke Meikarta ! Sekitar dua tahun lalu, khalayak ramai seperti mendapat
teror dari suara anak perempuan kecil yang melafalkan kalimat itu dalam sebuah iklan.
Secara dramatis, iklan itu menggambarkan persoalan kebobrokan ekosistem megapolitan
Jakarta yang berbahaya untuk ditinggali manusia. Sebagai jalan keluarnya, iklan itu
menawarkan sebuah kawasan permukiman baruyang penuh dengan segala kecanggihan
modernitasnya, bernama Meikarta. Ini tidak lain ialah iklan megaproyek hunian baru
berskala super besar di daerah Bekasi yang dikerjakan raksasa kapitalis properti Indonesia:
Grup Lippo. Dikembangkan di atas lahan seluas 500-an hektare, dengan estimasi investasi
mencapai 20 miliar dolar AS atau Rp278 trilliun, Meikarta diyakini akan menjadi kota
terpenting untuk menopang kebobrokan Jakarta. Meikarta membidik para pekerja kerah
putih yang masih belum memilik hunian di Jakarta. Iklan itu terbukti ampuh menciptakan
antusiasme terhadap Meikarta. Di hari pertama penjualan, sekitar 16.800 unit telah ludes
dipesan, sampai-sampai diganjar rekor MURI sebagai penjualan unit apartemen terbanyak
dalam satu hari. Sayangnya, megaproyek itu kini mangkrak terjerat masalah ijin, yang
berujung pada kasus korupsi (Tirto.id).
Tren lahirnya kawasan hunian baru dalam branding kota modern seperti Meikarta, juga
terjadidi kota-kota seluruh dunia. Abu Dhabi, Rio De Janiero, Cairo, Seoul, Karachi, Buinos
Aires, Istanbul, Damacuss atau yang paling terkenal sebut sajadi Shenzen, semua
mengalami fenomena serupa belakangan ini. Bahkan, di kota negara berkembang Afrika
Selatan seperti Cape Town pun, juga mengalami fenomena yang sama(Lees, Slater, & Wyly,
2008). Orang-orang menyebutnya: GENTRIFIKASI! Sebagai konsep yang terus
berkembang dan diperdebatkan hingga sekarang, gentrifikasi memiliki aneka macam
pengertian. Namun tenang saja, ahli perkotaan kontemporer yang bergelut dengan tema ini
telah berbaik hati menyediakan penjelasan yang paling fleksibel dan sederhana.
Gampangnya, gentrfikasi itu mengacu pada proses transformasi dari kawasan dengan
kondisi fisik buruk (baca: kumuh) atau juga lahan bisa kosong di perkotaan, menjadi aneka
macam properti mewah yang hanya dapat dinikmati pekerja kerah putih (atau “kelas
menengah”) atau properti lain untuk fungsi komersil (Lees et al., 2008).
Tidak perlu pendidikan khusus untuk dapat merasakan tanda-tanda kemunculan
gentrifikasi. Ketika dalam kurun waktu yang singkat, properti hunian mewah untuk pekerja
kerah putih seperti, apartemen, condotel, real estate, atau properti lainya seperti mall, hotel
dan pusat pertokoan muncul secara pesat di perkotaan, dapat dipastikan gentrifikasi
melanda wilayah itu. Sayangnya, istilah yang berasal dari bahasa Inggris ini, masih belum
masuk dalam bahasa sehari-hari masyarakat di banyak negara berkembang. Oleh
karenanya, mereka yang di lingkunganya mengalami gentrifikasi, seringkali hanya
memandangnya sebagai pembangunan kota biasa saja (Lees, 2014). Padahal gentrifikasi
bukanlah sesederhana pembangunan kota seperti yang dibayangkan.
Ibarat malapetaka, hadirnya gentrifikasi seolah selalu diikuti munculnya konflik sosial.
Gentrifikasi terlihat menjadi proses mengerikan karena ditolak masyarakat, khususnya kelas
pekerja, dan lebih spesifik yakni pekerja kerah biru. Penolakan gentrfikasi oleh pekerja kerah
biru bahkan marak berlangsung di negara maju. Lewat aksi massa turun ke jalan
menyuarakan protes, membuat vandal di properti-properti gentrifikasi, hingga bentrok
dengan aparat, semua dijalani demi satu tujuan : melawan kehadiran gentrifikasi. Kejatuhan
korban jiwa ketika bentrok tidak lagi dapat dihindari, sudah menjadi ongkos yang diketahui
para demonstran. Barangkali melawan gentrifikasi, sama halnya dianggap jihad bagi
mereka. Di hari sakral kelas pekerja seluruh dunia–may day, gentrifikasi lolos sebagai
agenda utama yang disepakati untuk dilawan bersama. Saking pentingnya, gentrifikasi di
negara maju sudah setara dengan isu upah, pendidikan, kesehatan dan pangan. Lalu
mengapa gentrifikasi begitu mengusik kehidupan pekerja kerah biru ?
Persepektif Arusutama Gentrifikasi dan Keterbatasanya
Mesikpun terdapat definisi yang luas cakupanya, setiap kalangan masih saja memaknai
gentrifiaksi secara berbeda-beda. Arus utama, lebih melihat gentrifikasi sebagai sebuah
fenomena pembaharuan kualitas fisik perkotaan. Rujukanya berawal dari kecenderungan
penggantian istilah gentrifikasi dalam berbagai kebijakan perkotaan di Eropa, menjadi Urban
Development, atau Urban Renewal. Munculnya perubahan dipicu oleh stigma istilah
gentrifikasi pada tahun 80an yang mengganggapnya sebagai gambaran proses buruk: “bad
words”. Kita akan mendiskusikan sifat buruknya nanti. Guna meminimalisir stigma di
masyarakat, maka istilah-istilah “pembangunan” dipilih untuk menggantikanya. Istilah seperti
itu, diharap akan lebih mewakili efek peningkatan kualitas fisik lingkungan perkotaan yang
muncul dari gentrifikasi. Hasilnya cukup memuaskan, sebagian besar kamus dan pengertian
umum menjelaskan gentifikasi memang sebagai pembaharuan ruang fisik kota. Makna baru
gentrifikasi, lebih membuatnya terkenal sebagai simbol proses kemajuan kota (N. Smith,
2007).
Implikasi kemunculan makna baru gentrifikasi dalam bidang akademik cukup besar. Para
penelitiarus utama, seringkali memaknai gentrfikasi dengan cara ini. Riset-riset yang
dihasilkan tidak lagi bersifat mengkritisi, sebaliknya malah menyediakan pembenaran
tentang peremajaan kota yang dihasilkan gentrifikasi. Lantaran dipandang positif, riset
dengan sudut pandang ini semakin banyak jumlahnya dan mendominasi dunia akademis
gentrifikasi sebagai pandangan arus utama (Slater, 2006). Proses melenggangnya
pandangan arusutama, juga besar dipengaruhi oleh tren absenya pandangan kritis dalam
studi gentrifikasi.
Bagi ilmuwan arus utama, kemunculan gentrifikasi dianggap lahir dari preferensi (selera
konsumsi) pekerja kerah putih untuk memilih hunian. Selera konsumsi individu dianggap
secara efektif menaikan permintaan barang. Dalam kasus ini barang yang mereka minta
ialah hunian modern, hasil renovasi bekas hunian pekerja kerah biru di perkotaan. Tingginya
minat hunian seperti ini, sebab: harganya lebih murah jika dibanding membangun hunian
baru, letaknya strategis di tengah kota dekat fasilitas hiburan, dan akhirnya dapat
menghemat biaya transportasi dari tempat asal. Karena pekerja kerah putih pemicu
gentrifikasi ini berasal dari keturunan kelas yang sama dengan yang sebelumnya memilih
pergi dan tinggal kawasan sub-urban, maka gentrifikasi kadang disebut juga “gerakan
kembalinya pekerja kerah putih dari kawasan sub-urban”. (N. Smith, 1979).
Dimaknai sebagai pembaharuan kota, membuat dampak gentrifikasi begitu ditunggu-
tunggu kehadiranya oleh pemerintah kota. Arus utama menganggap gentrifikasi akan
menciptakan kawasan lingkungan modern perkotaan. Bersamanya, kawasan kumuh akan
hilang digantikan permukiman modern kerah putih, atau pusat komersil. Properti semacam
ini, diyakini memicu dibangunya berbagai fasilitas perkotaan: bioskop, supermarket, toko
modern, restoran, hingga sekolah swasta (Atkinson, 2004). Inilah yang menyilapkan
pandangan umum, dan melahirkan mitos bahwa gentrifikasi akan membawa pembaruan dan
mengantarkan menuju kota impian.
Pemerintah kota, khususnya di negara berkembang memang sangat membenci
keberadaan kawasan kumuh. Pemerintah seringkali bersungut-sungut menganggap jika
kawasan kumuh beserta penghuninya ialah masalah yang lebih besar, dibanding masalah
terbesar perkotaan: banjir (Voorst, 2018). Mengacu padat target-target “Suistenable
Development Goals (SDGs)”, kawasan kumuh ditetapkan sebagai masalah yang harus
ditangani pemerintah kota “entah bagaimanapun caranya”. Menyelesaikan masalah
kekumuhan, merupakan hal yang rumit dan begitu melelahkan bagi mereka. Kehadiran
gentrifikasi tentu menjadi berkah luar biasa bagi pemerintah kota. Gentrifikasi dapat
menggantikan peran pemerintah untuk membereskan masalah kekumuhan secara “cuma-
cuma”, sehingga pemerintah tidak perlu menyediakan alokasi anggaran besar untuk
progam-program penataan kawasan kumuh. Sayangnya tuntutan target “SDGs” membuat
pemerintah lupa bila wilayah kumuh merupakan satu-satunya tempat yang menyediakan
hunian terjangkau bagi masyarakat miskin perkotaan dengan pekerjaan rentannya:
pengamen, penjual gorengan, buruh serabutan di pasar, buruh cuci, atau cleaning service.
Lagi-lagi mereka juga lupa bahwa penyediaan hunian terjangkau bagi masyarakat miskin,
tidak lain adalah tanggungjawab pemerintah (Kusno, 2012).
Bagi mereka yang tinggal di kawasan kumuh, gentrifikasi-pun dianggap akan
mendatangkan banyak manfaat positif. Anggapan ini sekaligus untuk menampik tudingan,
jika gentrifikasi hanya menguntungkan pekerja kerah putih saja. Tidak tanggung-tanggung,
gentrifikasi diyakini akan memberi manfaat dari aspek ekonomi, politik, hingga sosial (Byrne,
2003). Secara ekonomi, gentrifikasi diyakini akan menciptakan lapangan pekerjaan ketika
pekerja kerah putih dengan gaya hidup sibuknya membutuhkan bantuan “jasa” domestik.
Nah pekerja kerah biru-lah dianggap sebagai pihak yang tepat menempati lowongan ini:
mereka dapat bekerja sebagai pekerja rumah tangga, buruh cuci, penjual makanan, tukang
kebun, pelayan toko atau restoran yang nantinya juga akan muncul. Tetapi apakah
pekerjaan ini, sudah pantas dengan resiko hilangnya hunian murah mereka ? Tentu sangat
meragukan. Naifnya lagi, gentrifikasi dinilai akan meningkatkan kualitas demokrasi ketika
pekerja kerah biru dan pekerja kerah putih dapat duduk bersama dalam komunitas barunya,
untuk menyelesaikan kepentingan-kepentingan mereka. Tapi, bukankah relasi diantara
keduanya tidak seimbang, sehingga yang lebih logis terjadi hanyalah pemaksaan
kepentingan pekerja kerah putih. Status ekonomi masih berpengaruh besar membentuk
stratifikasi sosial. Lalu secara sosial, akan tercipta kemajemukan dalam masyarakat bila
terjadi percampuran dua lapisan ini, sehingga ancaman marginalisasi kelas sosial tertentu
dapat terhindar. Benarkah semikian ? Praktiknya, gentrfikasi yang terus berjalan tetap akan
membuat pekerja kerah biru terpaksa pindah, dan ujung-ujungnya lingkungan juga menjadi
ekskluif.
Layakanya panacea, gentriikasi bahkan dianggap ampuh menyelesaikan problematika
kemiskinan perkotaan. Konon katanya, proses ini akan menciptakan “social mix”-
percampuran penduduk antara pekerja kerah putih dengan pekerja kerah biru- , yang
sungguh mempan memecah konsentrasi kemiskinan di sebuah wilayah. Logikanya memang
masuk akal: gentrifikasi akan “membawa” pekerja kerah putih untuk ikut tinggal di tengah-
tengah permukiman kerah biru, dan membawa berbagai efek yang sebelumnya dibahas,
sehingga pekerja kerah biru meningkat perekonomianya. “Social mix” juga menjadi trik yang
dapat mengeluarkan kawasan tersebut dari kawasan miskin. Tentu sebuah prestasi
menganggumkan bagi pemerintah yang dapat menyelsaikan masalah kemiskinan, meskipun
dengan trik ngawur seperti itu. Logika “social mix” yang berjalan searah cukup menggelitik.
Mengapa “social mix” justru tidak berjalan sebaliknya : membawa pekerja kerah biru untuk
tinggal bersama dengan pekerja kerah putih di kawasan ekslusifnya (Slater, 2006).
Sebenarnya mudah saja diketahui bahwa “social mix” tidak lebih dari akal-akalan untuk
menyediakan legitimasi moral dan memperoleh dukungan bagi kedatangan gentrifikasi.
Lebih lagi keberadaan bukti konkrit dampak positif gentrifikasi, sukar ditemukan dalam
berbagai riset. Jauh dari impian manfaat positif, seperti yang sejak awal dicurigai gentrifikasi
secara empiris malah membawa masalah sangat serius bagi pekerja kerah biru:
displacement (Atkinson, 2004). Masalah serius ini, akan dibahas secara kusus nanti.
Pandangan Marxis menyoal Gentrifikasi
Pandangan arus utama yang memaknai gentrifikasi sebagai kemajuan kota, telah
menutupi proses kelam kekerasan sosial yang terjadi di baliknya. Secara historis, gentrifikasi
berasal dari fenomena permukiman di daerah perkotaan London, paska Perang Dunia ke II
(Lees et al., 2008). Ketika perekonomian kota mulai bangkit, terjadi fenomena unik dan baru
di permukiman distrik Islington, London. Fenomenanya berupa suksesi permukiman pekerja
kerah biru dan tidak terampil (unskilled worker), oleh pekerja kerah putih yang mulai banyak
datang untuk bekerja di kota.
Dari segi etimologis gentrifikasi berasal dari kata “gentry”: sebutan kelas sosial yang
memiliki posisi “berbeda” dalam stratifikasi aktor pertanian pedesaan Inggris abad 18.
Meskipun punya tanah dalam jumlah yang cukup, tapi kaum gentry tidak memperoleh
kedudukan sejajar sebagai tuan tanah karena tidak punya gelar bangsawan. Tetapi mereka
juga enggan disamakan sebagai kelas pekerja pertanian, karena merasa memiliki posisi
sosial terpandang dengan kesejahteraan ekonomi yang cukup. Kelas ini biasanya diisi oleh
mereka memiliki profesi cukup berpengaruh sepertihalnya, pemuka agama atau aristokrat
pegawai kerajaan. Eksistensi mereka di masyarakat cukup mencolok, karena gaya hidupnya
yang cenderung berkelas walaupun bukan golongan bangsawan. Di era kapitalisme industri,
kelas ini diisi oleh pekerja kerah putih yang biasa bekerja di sektor jasa keuangan. Sampai
sekarang semakin banyak profesi masuk dalam kategori ini, seperti akademisi, manajer
perusahaan, pegawai negeri, pegawai bank dll. Tren sekarang -yang didominasi pandangan
kelas ala Weber- secara gampangnya menyebut mereka sebagai “kelas menengah”.
Lantaran banyaknya masalah konseptual dari istilah “kelas menengah” (Gubbay, 1997),
kiranya lebih baik membuang jauh-jauh istilah ini, dan menggantikan dengan pekerja kerah
putih saja.
Istilah gentry dipinjam untuk menunjukan bahwa datangnya orang-orang dari golongan
inilah, yang menggantikan keberadaan pekerja kerah biru (Lees et al., 2008). Di perkotaan
negara maju jumlah mereka membengkak signifikan bersama dengan proses
deindustrialisasi. Penutupan pabrik-pabrik selama deindustrialisasi, membuat jasa keuangan
lahir sebagai sektor unggulan di perkotaan yang menggantikan industri. Kebutuhan pekerja
kerah putih akhirnya meningkat, dan menarik kalangan terdidik yang awalnya tinggal di
daerah sub-urban untuk bekerja di kota. Namun dengan kondisi lahan kota yang sudah
penuh sesak, lalu dimana mereka akan tinggal ?
“Bekas” permukiman pekerja kerah biru, muncul sebagai jawaban pertanyaan itu.
Deindustrialisasi juga berarti hilangnya pekerjaan kerah biru, pasalnya mayoritas dari
mereka ialah pekerja manual di pabrik. Hilangnya pekerjaan yang berkolaborasi dengan
meningkatnya sewa hunian secara “tiba-tiba”, tak ayal membuat mereka terpaksa
meninggalkan hunianya. Bekas permukiman ini lalu direnovasi sesuai gaya hidup pekerja
kerah putih yang modern, agar mereka tertarik untuk ganti menyewanya. Kebanyakan dari
mereka ialah keluarga-keluarga muda, dengan satu sampai dua anak.
Suksesi kelas, menjadi makna yang lebih ditekankan dari proses gentrifikasi dari sudut
pandang ini. Inilah yang kemudian menjadi makna kritis gentrifiaksi, serta dikategori sebagai
“bad words”. Lantaran dapat mengekspos suksesi, analisis kelas dianggap sebagai tulang
punggung yang menjaga makna kritis dari gentrifikasi (Slater, 2006). Memang gentrifikasi
akan membawa perubahan kualitas fisik lingkungan perkotaan, namun hunian pekerja kerah
biru perlu dikorbankan lebih dulu untuk menciptakanya. Tanpa analisis kelas, suksesi dalam
gentrifikasi tidak dapat dilihat, sehingga yang muncul hanyalah sebatas proses
pembaharuan ruang.
Berbicara mengenai penyebab gentrifikasi, asumsi arus utama tentang selera individu
tidak terbukti secara empiris. Kurang memadai kiranya menjelaskan sebuah proses
kompleks, hanya dengan dasar asumsi rasionalitas individu seperti selera konsumsi.
Buktinya, di Philadelphia, kota di Amerika Utara yang mengalami gentrifikasi pada awal
kemunculanya, tidak terbukti banyak pekerja kerah putih yang kembali dari sub-urban. Data
empiris malah menunjukan, lebih banyak pekerja kerah putih dari kota lain yang menempati
hunian gentrifikasi dibanding mereka yang dari sub-urban. Tindakan satu pihak saja masih
belum kuat memberikan efek signifikan untuk membentuk kerja pasar perumahan.
Pandangan itu sejak awal memang naif, pasalnya mengabaikan pihak-pihak lain dalam
pasar properti yang berperan memproduksi komoditas: pengembang, tuan tanah, pemberi
pinjaman, broker real estate, hingga pemerintah. Ketimbang selera pihak konsumen,
sesungguhnya merekalah yang lebih besar peranya (N. Smith, 1979).
Dalam perspektif ini, kemunculan gentrifikasi tidak bisa dilihat semata sebagai respon
bisnis terhadap perubahan selera konsumen. Pandangan arus utama keliru ketika
mengandaikan selera konsumsi pembeli semata-mata turun dari langit begitu saja.
Konsumsi tidak bisa dilepaskan dari sisi produksi. Orang kadang menganggap alasan-
alasan, dekat dengan kota atau murahnya harga rumah gentrifikasi mempengaruhi selera
pekerja kerah putih untuk menentukan pilihan hunian. Padahal, terdapat faktor lain yang
sebenarnya memiliki peran lebih besar ketimbang keduanya yakni: iklan. Iklan merupakan
cara paling efektif untuk membentuk selera konsumen (N. Smith, 1979). Tentunya sudah
tidak asing melihat berbagai iklan produk yang begitu menghipnotis pilihan, entah karena
artis yang membintangi iklanya, slogan iklan, atau standar-standar yang dibuat iklan. Cantik
itu kulit putih mulus seperti artis Korea, maka belilah krim pemutih asli Korea! Hal ini pun
juga berlaku di hunian gentirikasi. Hunian bagi pekerja kerah putih dikonstruksikan memiliki
gaya modern, dekat dengan pusat kota, dan dipenuhi segudang fasilitas canggih:
makanya...Ayo pindah ke Meikarta ! Sebenarnya, selera individu ialah hal yang dapat
dikonstruksikan melalui iklan, sementara produknya telah diproduksi.
Produksi properti memang lebih memadai dan masuk akal bila berperan besar
menyebabkan gentrifikasi dibanding konsumsi. Terlebih, produksi properti dimotori oleh
kebutuhan mengeruk keuntungan. Keuntungan luar biasa diperoleh dari kesenjangan sewa
yang tercipta di permukiman kumuh milik pekerja kerah biru selama gentrifkasi. Teori
keberadaan kesenjangan sewa di permukiman kumuh, digunakan Geografer Marxis untuk
membantah asumsi arus utama tadi (N. Smith, 1979). Permukiman kumuh yang telah
berumur dan kualitas fisiknya menurun, mengalami penurunan nilai hunian atau depresiasi.
Selama depresiasi, harga sewa lahan yang dapat dikapitalisasikan (dikeruk seketika itu
juga) hanya sedikit dan terus mengalami penurunan: dapat diketahui dari harga sewa aktual
hunian. Sementara itu, tingkat sewa lahan potensial yang letaknya berada di kawasan
perkotaan terus meningkat, akibat laju pembangunan fasilitas kota dan spekulasi broker
properti. Akhirnya terciptalah sebuah “kesenjangan”: antara sewa lahan yang dapat
dikapitalisasi dengan sewa lahan potensial. Kesenjangan sewa bagi aktor produksi
perumahan memiliki arti sebagai kemunculan ceruk keuntungan yang memanggil-manggil
untuk dieksploitasi. Satu-satunya jalan untuk mengeksploitasi ceruk ini, ialah mengganti
properti lapuk sebelumnya, dengan properti baru bercirikan “higest and best use” (Slater,
2017). Properti inilah yang lalu dijual menjadi produk akhir dari proses gentrifikasi.
“Higest and best use” sebenarnya merujuk pada kegemaran para ekonom neoklasik,
untuk mem-bahasa ilmiah-kan produk properti paling menguntungkan bagi investasi.
Perbedaan karakteristik ekonomi suatu wilayah, menentukan jenis properti yang paling
menguntungkan. Karena tujuanya membuat properti “highest and best use”, gentrifikasi hari
ini memiliki produk yang beraneka ragam, tidak selalu persis seperti yang sebelumnya.
Struktur ekonomi kota negara maju bergesar dari industri menuju sektor jasa hingga tahun
1960an diikuti melubernya jumlah pekerja kerah putih. Kondisi ini lalu membuat permukiman
pekerja kerah putih menjadi paling menguntungkan –“higest and best use”, lantaran
banyaknya target konsumen. Di perkotaan Inggris yang banyak Universitas terkemuka,
produk gentrfikasi banyak berupa hunian untuk mahasiswa: flat atau apartemen mahasiswa
(D. P. Smith, 2007). Produk gentrifikasi bahkan juga dapat berwujud pertokoan modern
seperti yang terjadi di Chile (Schlack & Turnbull, 2018). Tren yang paling jamak sekarang,
ialah munculnya gentrifikasi di kawasan wisata. Properti akomodasi -hotel, villa, resort,
restoran, atau pusat hiburan- yang terus bermunculan pada akhirnya menciptakan enclave
mewah di banyak kota wisata (Gotham, 2005).
Selain dari kesenjangan sewa, keuntungan lain gentrifikasi berkaitan dengan peran
properti dalam sirkulasi kapital. Di dalamnya, properti memiliki peranan sebagai penyerap
investasi dari sirkuit primer (industri manufaktur). Ketika terjadi overakumulasi dan
pertumbuhan ekonomi di sektor industri terhambat, surplus modal perlu dialihkan ke tempat
paling aman, tetapi juga terus dapat mengakumulasi kapital. Pembangunan properti menjadi
jawaban terbaik. Investasi dalam kapital tetap seperti lahan dan properti, memiliki ancaman
resiko yang lebih minim jika dibandingkan yang primer. Kapitalis tidak perlu aktif melakukan
produksi untuk meningkatkan akumulasi, karena sifat nilai lahan yang walaupun dibiarkan
tetap akan meningkat. Geografer Marxis lainya, menyebutnya sebagai spasial temporal fix
(Harvey, 2003b).
Peluang kesenjangan sewa dan alternatif pengaman kapital, dimanfaatkan aktor-aktor
yang bekerja kolektif memproduksi gentrifikasi. Sebagai lakon utamanya, pengembang
memperoleh bermacam-macam dukungan dari rekan lainya, yang juga mendapatkan
keuntungan dari kerjasama. Pengembang memulai produksinya ketika kesenjangan sewa
menganga lebar, sehingga dapat membeli hunian bekas pekerja kerah biru dengan harga
murah, membayar ongkos pembangunan, dapat mengangsur pinjaman dari bank, namun
tetap dapat menjual produknya dengan keuntungan yang tinggi (N. Smith, 1979). Mereka
tidak perlu khawatir soal modal pinjaman, intsitusi finansial (bank) siap sedia menyediakan
bunga lunak kepada para pengembang properti. Keuntungan pengembang semakin
bertambah, ketika ongkos konstruksi menjadi begitu murah akibat minimnya upah buruh
konstruksi (Curran, 2004). Relasi informal menjadi rahasia murahnya upah di sektor
konstruksi. Ironisnya, terkadang mereka berasal dari pekerja kerah biru yang hunianya raib
akibat gentrifikasi. Celakanya, pemerintah turut serta menjadi pelayan pengembang
menjalankan agenda akumulasinya. Tingkah aktor yang belakangan ini, perlu dipahami
secara khusus nanti.
Sepenuhnya hanya menyalahkan selera konsumsi pekerja kerah putih bisa jadi keliru.
Mereka hanya sekedar konsumen produk, yang “kebetulan” memiliki tingkat kesejahteraan
lebih dibanding pekerja kerah biru. Melawan selera konsumsi individu dalam memilih lokasi
seperti di banyak gerakan penolakan terhadap pekerja kerah putih, bisa jadi termasuk
tindakan konyol. Selera konsumsi merupakan hak pribadi yang secara tidak sadar
dikonstruksi oleh produsen komoditas. Oleh karenanya, Geografer Marxis generasi muda
bersusah payah kembali membedah teori kesenjangan sewa, untuk mengetahui musuh asli
yang harus dilawan dalam gentrifikasi (Slater, 2017). Mendapat kesimpulan sama seperti
yang dalam bahasan sebelumnya, kolaborasi antar aktor produksilah yang memang paling
bertanggungjawab terhadap kedatangan gentrifikasi. Relasi sosial saling menguntungkan
diantara mereka, digunakan untuk memanfaatkan kesenjangan sewa yang tengah
menganga lebar.
Jauh dari yang digembar-gemborkan arus utama, dampak yang paling nyata dari
gentrifikasi bukan sekedar pembaharuan ruang, tetapi kekerasan sosial berbasis kelas
bernama displacement. Jika diterjemahkan dalam istilah Indonesia, displacement (meskipun
sedkit berbeda) dapat disamakan dengan pengusiran. Bedanya, displacement hanya terjadi
jika perpindahan terpaksa yang dialami oleh pekerja kerah biru erat berhubungan dengan
kemunculan gentrifikasi di arealnya (Slater, 2009). Hunian yang sebelumnya mereka tinggali
akan dijual dan berubah fungsi maupun harga sewa akibat gentrifikasi. Hampir seluruh
proses displacement selalu mengenai pekerja kerah biru, yang karena keterbatasan
ekonominya memaksa mereka mencari hunian ter-murah di kota.
Di perkotaan negara maju, mereka tinggal di hunian formal berwujud flat reot atau
apartemen lapuk di inner cities (kawasan di pusat kota di negara maju yang dihuni
masyarakat minoritas dengan pendapatan rendah). Sedang di negara berkembang, mereka
menghuni hunian informal gubuk-gubuk kayu kumuh, yang berdiri secara ilegal di atas tanah
milik orang lain (atas seijinya ataupun tidak), negara, atau juga bantaran kali (Ascensão,
2015). Ketika gelompang gentrifikasi muncul, pemilik lahan tentu lebih memilih menjual
lahanya demi memperoleh keuntungan besar ketimbang hanya menyewakannya dengan
murah kepada pekerja kerah biru. Cara pengusiranya beragam, yang paling sering dengan
meningkatkan harga sewa secara mendadak, dan atau yang ekstrim langsung memaksa
mereka pergi (Marcuse, 1985).
Kendati seolah-olah terbiasa dengan usiran, beraneka masalah tetap saja tidak dapat
dihindari korban displacement. Contoh paling sepele, mereka akan kehilangan banyak
rutinitas sehari-hari, rasa keamanan, dan ikatan sosial yang kadung terbentuk (Helbrecht,
2018). Di negara berkembang yang kental budaya kebersamaanya, ikatan sosial antara
pekerja kerah biru dalam sebuah komunitas permukiman memiliki arti penting layaknya
keluarga inti : penyelamat ketika ada masalah. Masalah lain dan yang paling menggangu,
ialah meningkatnya pengeluaran untuk menyewa hunian (Atkinson, Wulff, Reynolds, &
Spinney, 2011). Hunian murah menjadi barang langka yang sukar ditemukan, karena telah
berubah menjadi hunian mahal untuk pekerja kerah putih. Hunian di pinggiran kota yang
harganya lebih murah, menjadi alternatif rasional bagi mereka. Bukanya tanpa masalah,
hunian pinggiran kota memaksa mereka terpaksa mengencangkan ikat pinggang lebih erat.
Pasalnya, dengan jarak yang jauh biaya transportasi ke tempat kerja akan meningkat.
Beruntung jika mereka memiliki kerabat yang dapat ditumpangi. Alternatif paling akhir, atau
sebenarnya bukan termasuk pilihan, ialah berakhir menjadi gelandangan (homeless). Pada
musim dingin tahun lalu, puluhan gelandangan -yang sangat mungkin termasuk korban
displacement, mati membeku di jalanan kota London. Segala ancaman permasalahan ini
tidak dapat disangkal juga akan membuat kesehatan sosio-psikis korban displacement
memburuk: depresi ialah hal lumrah yang dialami korban displacement (Atkinson, 2015).
Sebagai sebuah komponen vital yang menunjukan sifat asli gentrifikasi, displacement
memiliki berbagai tantangan untuk diteliti. Dari segi metodologis, proses displacement susah
disajikan dalam jumlah angka yang akurat (Atkinson, 2000). Korban yang akan didata
tentunya sudah terusir dari kawasan yang mengalami gentrifikasi, ketika riset lapangan
dilakukan. Menemukan keberadaan mereka merupakan sebuah tantangan besar yang
cukup menguras waktu, biaya dan tenaga. Di sisi lain, masyarakat luas yang terkontaminasi
paradigma positivis hari ini, lebih mempercayai riset ala ilmu eksak yang diimbuhi tabel-tabel
dan angkadari data kuantitatif. Pasalnya data kuantitatif yang secara spesifik menghimpun
data korban displacement, memang sukar ditemukan : atau tidak ada. Mengharapkan data
ini kepada instansi statistik negara, dipastikan akan memperoleh kekecewaan. Keberadaan
data korban displacement sama halnya dengan mengekspose kegagalan pemerintah
perkotaan untuk melayani masyarakatnya (Herrera, Smith, & Vera, 2007). Tentu tidak ada
instansi yang ingin menunjukan kebobrokanya sendiri.
Meskipun begitu, masih banyak peneliti yang tetap memegang teguh perspektif kritis
gentrifikasi demi membela perkerja kerah biru. Justru umumnya mereka merupakan ilmuan
profesional yang mempelajari gentrifikasi sejak lama. Kekritisan riset gentrifikasi terletak
pada digunakanya analisis kelas –kelas mana yang terusir, dan kelas mana yang mengusir-,
dan menunjukan efek terburuk dari displacement. Keduanya lebih dari cukup menjadi bukti
otentik bahwa gentrifkasi tidak akan berubah maknanya, selain sebagai kekerasan sosial
kepada pekerja kerah biru (Slater, 2006).
Gentrifikasi di Negeri Kapitalis Pinggiran
Peran negara atau pemerintah kota di balik gentrifikasi menjadi fenomena paling
menarik. Bukan hal yang baru memang ketika pemerintah kota juga terlibat dalam
kerjasama dengan para komprador penguasa kapital (baca: menjadi pelayan kepentingan)
di era kapitalisme maju seperti sekarang. Peningkatan keterlibatan pemerintah, sangat
mencolok terlihat ketika gentrifikasi menyebar ke berbagai negara berkembang. Awalnya
gentrifikasi dikira hanya sebuah kasus tertentu yang terjadi di kota-kota negara maju Eropa
dan Amerika Utara. Dugaan itu jauh meleset setelah ditemukanya kemunculan gentrifikasi di
banyak negara berkembang usai tahun 1990an. Penyebab utama menularnya fenomena
gentrifikasi berkaitan erat dengan fenomena terintegrasinya sistem perdagangan dunia atau
dikenal sebagai “globalisasi”. Namun, bukan hanya integrasi seperti itu yang dimaksud di
sini. Melainkan, sebuah pergeseran sistem ekonomi-politik dunia paska 1980an, dari yang
awalnya Keynesian menuju dengan sistem malapetaka bernama Neoliberal (N. Smith,
2006).
Neoliberalisme digunakan untuk menggambarkan pemaksaan kebijakan penyesuaian
struktural yang dilakukan oleh agensi keuangan internasional negara maju –Dana Moneter
Internasional & Bank Bunia- kepada negara dan kota di negara berkembang. Negara dan
kota berkembang di dikte untuk memangkas belanja sosial dan regulasi pemerintah,
sekaligus dipaksa untuk mendukung terciptanya perdagangan bebas hambatan dan tidak
mengekang hak dari investasi luar negeri yang mengeruk sebanyak mungkin keuntungan
dari wilayahnya. Dalam bahasa lain, neoliberal seringkali juga menjadi perwakilan dari
pemberlakuan tren “reformasi pemerintahan” agar lebih terbuka kepada modal: deregulasi,
komersialisasi, privatisasi, fleksibilitas pasar tenaga kerja, kerjasama pemerintah-swasta,
dan pemangkasan subsidi pemerintah terhadap kelompok rentan (Lees et al., 2008).
Singkatnya, injeksi neoliberalisme memaksa negara agar menciptakan “iklim investasi” yang
mendukung akumulasi kapital. Dalam level global, kedaulatan negara harus diletakan
dibawah dan tunduk kepada mekanisme pasar (Habibi, 2016).
Pola penyebaran gentrifikasi ke seluruh penjuru dunia di mulai dari kota New York, ketika
globalisasi juga berarti sebagai perubahan sistem adminsitrasi pemerintahan. Benar, banyak
kota di negara maju yang juga merasakan tekanan untuk melakukan penyesuaian struktural
neoliberal. Di bawah cengkraman paradigmanya, sistem administrasi New York pada tahun
1990an dirombak agar semakin bersahabat dengan modal. Ada berbagai macam cara
melakukan perombakan. Resep yang paling sering dilakukan ialah menghilangkan berbagai
kebijakan yang menghambat laju investasi: deregulasi kebijakan. Tindakan ini memang
sangat tidak asing dikerjakan oleh banyak pemerintahan negara belakangan ini. Tidak hanya
deregulasi, seringkali pemerintah juga malah mensubsidi para pengembang melalui
berbagai bonus pemotongan pajak(N. Smith, 2006).
Upaya pemerintah menjadi pelayan agar datang dan menciptakan gentrifikasi di
kotanya, merupakan salah satu strategi pembangunan ala neoliberal yang diresepkan. Jika
sudah seperti ini, selera konsumsi pekerja kerah putih seolah tidak lagi ada gunanya. Jalan
kedatangan gentrifikasi menjadi lebih sistematis, mencerminkan hasil kerjasama apik antara
pemerintah dan swasta yang ditopang penuh fasilitas negara (N. Smith, 2006). Resep ini
dijalankan pemerintah kota, dengan atas hasil diagnosa dari beberapa dalih permasalahan
(Hackworth & Smith, 2001). Pertama, minimnya transfer anggaran dari pemerintah pusat,
memaksa pemerintah daerah agar menjadi mandiri mencari sumber pendapatan. Potensi
besar pajak properti dalam proses gentrifikasi, menjadi rayuan yang banyak menjerat
mereka untuk memicu kedatanganya. Lalu, sebagai “pelayan” yang telah diberi upah berupa
pajak properti, pemerintah harus menjadi pengawal selama proses gentrifikasi. Secara
spesifik yang dimaksud adalah pengawalan dari perlawanan pekerja kerah biru yang
menolak kedatangan gentrifiaksi. Selanjutnya, resep-resep neoliberal yang kadung diamini
pemerintah perkotaan, memaksa mereka untuk menanggalkan tanggungjawabnya untuk
menyediakan kebutuhan reproduksi sosial pekerja kerah biru: hunian publik. Tugas
menyediakan hunian lalu diserahkan ke menakisme pasar, yang produksinya berlangsung
selama gentrifikasi. Terakhir, kadang mereka masih juga menambahi bahwa, gentrifkasi
akan mendatangkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat atau akan meningkatkan
pertumbuhan pariwisata (N. Smith, 2002).
Jika melihat alur perjalananya, perkembangan gentrifikasi dapat dibagi menjadi tiga
tahapan. Paling awal, merujuk pada momentum ditemukanya gentrifikasi paska perang
dunia ke II. Sporadic gentrification menjadi sebutan tahap pertama ini, lantaran sifat
kemunculanya terkesan insidental dalam perkembangan kota dan juga terpisah dari
fenonema serupa di kota lain. Selanjutnya, ketika Kota New York mengalami krisis finansial
pada tahun 1973-1977 muncul gentrifikasi tahap kedua. Pada tahap ini, modal yang awalnya
mengalir ke pembangunan kawasan sub-urban, kembali ke pembangunan di dalam kota.
Krisis di kota membuat kualitas permukiman mengalami penurunan hingga memunculkan
kesenjangan sewa yang diburu pengembang. Di tahap kedua ini, peran pemerintah
sebenarya sudah mulai bertambah, karena mulai memberikan subsidi bagi pengembang
yang tertarik untuk memulai gentrifikasi di dalam kota. Lalu tahap terakhir, ialah
menyebarnya gentrifikasi bersama globalisasi seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Selang dua dekade semenjak kemunculanya, gentrifikasi telah benar-benar
menyebrang ke negara berkembang (Atkinson & Bridge, 2005). Beramai-ramai pemeritah
kota di negara berkembang meniru pola kota New York, yang menggunakan gentrifikasi
sebagai strategi untuk membangun kota. Menelisik lebih dalam, ternyata penggandaan
strategi ini berkaitan dengan univerasltas nilai sistem administrasi New York ke berbagai
negara berkembang lewat globalisasi. Kota-kota di negara berkembang kemudian juga
menggelar karpet merah untuk menyambut datangnya gentrifikasi. Hasilnya, Investasi Asing
Langsung/Foreign Direct Investmen (FDI) langsung mengalir ke kota-kota negara
berkembang sejak tahun 1992. Sikap pemerintah kota yang begitu mendamba-dambakan
investasi kapital, hingga menggunakan berbagai cara demi memicu kedatanganya,
menggambaran perubahan watak mereka. Dari yang awal dan seharusnya sebagai aktor
manajerial yang mengelola kota untuk menyediakan layanan kepada seluruh warganya,
menjadi sesosok entrepreneur (Harvey, 2003a) yang mengobral daerahnya kepada para
pengembang.
Segala perubahan dan perkembangan pesat dari gentrifikasi hari ini, mengerucut
pada sebuah kesimpulan penting. Gentrifikasi sekarang sangat bersifat global. Seluruh
ruang perkotaan dunia bahkan sampai-sampai pasrah dengan investasi dan re-investasi
global maupun lokal, yang berniat mengubahnya menjadi properti baru sesuai dengan
kebutuhan penduduk yang lebih sejahtera : gentrifikasi(Lees, Shin, & Lopez-Morales, 2015).
Urgensi Pandangan Marxis
Lebih dari sekedar menyediakan analisis akar persoalan gentrifikasi, perspektif Marxis
dalam gentrifikasi memiliki agenda yang jauh lebih penting. Hunian, adalah hak mutlak untuk
bereproduksi sosial, atau gampangnya hak untuk membuat kehidupan. Ketika hak itu
terancam hilang oleh gentrifikasi, maka pertarungan untuk memperebutkanya merupakan
tindakan yang paling relevan. Namun, seringkali jurnalis di berbagai kanal media atau ahli
arus utama, mempertentangkan pekerja kerah biru yang terancam kehilangan haknya,
HANYA dengan pekerja kerah putih yang menggantikan tempatnya. Kondisi yang
sebenarnya terjadi tidak demikian. Pekerja kerah biru nampaknya diadu domba dengan
pekerja kerah putih, yang disudutkan sebagai satu-satunya penyebab gentrifikasi. Ketika
hanya mempersalahkan pekerja kerah putih, aktor utama yang memproduksi gentrifkasi
dapat bersembunyi dan melenggang dengan mudahnya terbebas dari segala macam
kesalahan. Bukan sekedar mencari kambing hitam saja, trik ini berimbas juga pada semakin
terpecah belahnya pekerja kerah putih dengan pekerja kerah biru, yang pada dasarnya
merupakan sama-sama kelas pekerja.
Pandangan Marxis tentang kesenjangan sewa dapat meluruskan pertarungan kelas
yang salah kaprah itu. Kesenjangan sewa menunjukan adanya kekerasan struktural yang
menghantam pekerja kerah biru dibalik “pembangunan urban”, “pembaharuan urban”, (di
negara maju), penataan atau revitalisasi permukiman kumuh (di negara berkembang).
Kesenjangan sewa ingin mengekspose pertarungan antara mereka yang tinggal dihunian
rentan dan berisiko terkena displacement, dengan aktor produksi gentrifikasi (pengembang,
lembaga keuangan, agen real estate, dan pemerintah) yang melakukan produksi komoditas
properti profit tinggi lewat eksploitasi ceruk keuntungan dari kesenjangan sewa. Tanpa
menggunakan perspektif ini, pertarungan kelas yang presisi sulit diperoleh, karena
perputaran investasi kapital tersembunyi rapi di balik gentrifikasi (Slater, 2017).
Mengidentifikasi kesenjangan sewa yang muncul, beserta aktor yang menciptakan dan
memanfaatkanya untuk profit, merupakan point vital untuk memformulasikan strategi
perlawanan terhadap gentrifikasi. Para aktivis dan akademisi perlu bersama untuk
mengidentifikasi secara tepat arah perginya pengembang, pemerintah dan agen kapital
lainya, melacak lahan yang potensial untuk gentrifikasi. Lalu mengekspose cara bagaimana
keuntungan kegunaan lahan hanya ditentukan oleh mereka. Ahli dan aktivis juga perlu
meyakinkan masyarakat, bahwa merupakan sebuah kesalahan fatal jika menentukan
kegunaan lahan di perkotaan berdasarkan “higest and best use”: sama halnya dengan
menuruti kebutuhan akumulasi kapital para pengembang dan koalisinya. Mereka juga perlu
membongkar sisi gelap dari investasi yang selalu dipuja-puji kedatanganya atas nama
“pertumbuhan ekonomi” atau “penciptaan lapangan kerja”. Sementara itu, setiap
kemungkinan strategi perlawanan terkoordinir juga perlu dicoba. Semuanya dilakukan demi
tujuan akhir untuk mengembalikan seluruh lanskap perkotaan di bawah kedaulatan
masyarakat, bukan kapital (Slater, 2017).
Cukup disayangkan, berbagai tuntutan penting seperti itu, sama sekali belum terjawab
dalam banyak riset gentrifikasi di Indonesia. Selaras dengan ke-asing-an isunya, jumlah riset
gentrifikasi di Indonesia cukup minim. Tidak hanya minim, beberapa riset masih saja
terjebak dalam perspektif arus utama, yang hanya mementingkan fenomena perubahan
visual fisik kota. Paling banter, hanya ditambahkan analisis tentang perbedaan gaya hidup
antara pendatang sebelum dan sesudahnya (Prayoga, Esariti, & Dewi, 2013). Terlepas dari
kekuranganya, satu diantaranya ada yang menunjukan displacement sebagai akibat
gentrifikasi. Sayangnya, riset yang belakangan ini malah hanya melihat gentrifikasi sebatas
pada fenomena alamiah kota saja, bukan berkaitan dengan proses penciptaan keuntungan
dari lahan di perkotaan (Sholihah, 2016).
Beruntungnya, terdapat riset lain yang menunjukan adanya kerjasama antar aktor yang
menciptakan gentrifikasi. Riset ini menekankan lahirnya gentrifikasi, merupakan hasil dari
kolaborasi antara “Raja Kecil” (Elite politik pemerintahan daerah) dengan para
“Taipan”(Pengembang besar) yang melahirkan kesenjangan institusional. Sebuah
kesenjangan -mirip kesenjangan sewa- yang terlahir dari menurunya kontrol institusi
terhadap masuknya investasi lahan, sehingga membuat modal dapat merubah kawasan
seenak keinginanya. Jauh dari harapan menghasilkan implikasi teoritis yang dapat
bergunasebagai dasar agenda pertarungan kelas, riset yang terakhir ini secara aneh malah
menawarkan agar gentrifikasi perlu dipahami bukan lagi sebagai sebuah suksesi antar
kelas. Baginya telah terjadi sebuah kolaborasi kelas antara Taipan sebagai kelas pemilik
modal, dengan Elit pemerintah daerah sebagai kelas negara (Hudalah, Winarso, & Woltjer,
2016). Cukup aneh memang, jika melihat elit politik sebagai kelas yang berbeda dengan
Taipan. Seperti yang sudah dibahas di bagian sebelumnya, elit politik–yang tindakanya
mencerminkan sikap negara- secara jelas memang berada dalam kelas yang sama dengan
Taipan atau pengembang, yaitu kelas penguasa. Elit politik merupakan rekanan kolaboratif
yang melayani kepentingan kapital pengembang untuk mengeksploitasi lahan bekas hunian
kelas pekerja (Slater, 2017). Lagipula, riset ini juga mengabaikan fakta, bahwa secara
terstruktur peran negara memang semakin mendukung dan memicu kemunculan gentrifikasi
akibat penyesuaian neoliberal (Hackworth & Smith, 2001).
Selain itu, keseluruhan riset gentrifikasi di Indonesia hampir tidak pernah menyinggung
informalitas kondisi hunian dan pekerjaan korban displacement. Status pekerjaan dan
hunian yang informal, padahal menjadi urgensi paling utama dari studi gentrifikasi di banyak
negara kapitalis pinggiran (Lees et al., 2015). Struktur tenaga kerja di negara berkembang
didominasi oleh mereka yang berkerja di sektor informal. Pandangan arus utama
menggambarkan mereka sebagai entrepreneur sukses dengan pendapatanya melimpah
melebihi pekerja formal. Anggapan ini jauh dari fakta lapangan, sebagian besar dari mereka
justru merupakan perkerja yang paling rentan: karena tidak dilindungi dalam undang-undang
ketenaga kerjaan. Absenya perlindungan, membuat upah mereka sangat mungkin berada di
bawah standar upah minimum (Habibi, 2016). Keterbatasan ekonomi membuat mereka
kesulitan untuk mendapatkan hunian. Untungnya, mereka tertolong dengan hunian informal
yang memiliki harga jauh lebih murah dari pasar perumahan formal. Pasalnya, hunian itu
berdiri bukan di lahan milik pihak lain, sehingga peluang penggusuran jauh lebih besar
daripada di negara maju (Alzamil, 2018).
Jadinya, riset-riset gentrifikasi di Indonesia secara kasar dapat dibilang “tidak berguna”
bagi pekerja kerah biru yang setiap saat terancam terusir dari hunianya. Riset seperti ini,
tidak lebih hanya sekedar ikut-ikutan merayakan kedatangan gentrifikasi saja, karena tidak
punya implikasi nyata dan serius. Padahal di banyak tempat, gerakan perlawanan
gentrifikasi mendasari strategi perjuangan menggunakan hasil riset gentrifikasi dengan
perspektif Marxis. Menurut mereka pandangan Marxis lewat teori kesenjangan sewa, mudah
membantu mereka untuk memahami kenapa gentrifikasi terjadi, sekaligus memberikan ide
cara menghentikanya (Slater, 2017). Sebagai proses yang juga mulai muncul di berbagai
kota besar di Indonesia, riset dengan pandangan ini, sangat diperlukan keberadaanya.
Soalnya, masih banyak gerakan yang belum mendasari perlawananya dengan hasil riset.
Tren seperti demikian membuat banyak gerakan tidak memiliki strategi perlawanan yang
tepat. Daripada melakukan riset untuk sekedar merayakan gentrifikasi, riset dengan
perspektif Marxis amat diperlukan untuk memberi sumbangan nyata bagi pekerja kerah biru
perkotaan yang selalu dihantui ancaman terusir dari hunian sederhananya.
Alzamil, W. S. (2018). Evaluating Urban Status of Informal Settlements in Indonesia: A
Comparative Analysis of Three Case Studies in North Jakarta. Journal of Sustainable
Development, 11(4), 148. https://doi.org/10.5539/jsd.v11n4p148
Ascensão, E. (2015). Slum gentrification in Lisbon, Portugal: displacement and the imagined
futures of an informal settlement. In L. Lees, H. B. Shin, & E. Lopez-Morales (Eds.),
Global Gentrifications. Uneven development and displacement. (pp. 37–58). Policy
Press University of Bristol.
Atkinson, R. (2000). Measuring Gentrification and Displacement in Greater London. Urban
Studies, 37(1), 149–165.
Atkinson, R. (2004). The evidence on the impact of gentrification: New lessons for the urban
renaissance. European Journal of Housing Policy, 4(1), 107–131.
https://doi.org/10.1080/1461671042000215479
Atkinson, R. (2015). Losing One ’ s Place : Narratives of Neighbourhood Change , Market
Injustice and Symbolic Displacement. Housing, Theory and Society, 6096, 1–16.
https://doi.org/10.1080/14036096.2015.1053980
Atkinson, R., & Bridge, G. (2005). Gentrification in a Global Context: The New Urban
Colonialism. Routledge.
Atkinson, R., Wulff, M., Reynolds, M., & Spinney, A. (2011). Gentrification and displacement:
The household impacts of neighbourhood change. In AHURI Final Report.
Byrne, J. . (2003). Two cheers for gentrification. Howard Law Journal, 46(3).
Curran, W. (2004). Gentrification and the nature of work : exploring the links in
Williamsburg , Brooklyn. 36, 1243–1258. https://doi.org/10.1068/a36240
Gotham, K. F. (2005). Tourism gentrification: The case of New Orleans’ Vieux quarter. Urban
Studies, 42(7), 1099–1121. https://doi.org/10.1080
Gubbay, J. (1997). A MARXIST CRITIQUE OF WEBERIAN CLASS ANALYSES. Sociology,
31(1), 73–89.
Habibi, M. (2016). Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran : Relasi Kelas, Akumulasi dan
Proletariat informal di Indonesia sejak 1980aj. Tangerang: Marjin kiri.
Hackworth, J., & Smith, N. (2001). The Changing State of Gentrification. Hydrocarbon
Engineering, 6(9), 71–74. https://doi.org/10.1111/1467-9663.00172
Harvey, D. (2003a). From managerialism to entrepreneurialism: the transformation in urban
governance in late capitalism. In SPACES OF CAPITAL (Vol. 22, pp. 345–368).
https://doi.org/10.1016/S0962-6298(02)00091-4
Harvey, D. (2003b). The New Imperialism. Oxford University Press.
Helbrecht, I. (2018). Gentrification and Displacement. In I. Helbrecht (Ed.), Gentrification and
Resistance : Researching Displacement Processes and Adaption Strategies (pp. 1–8).
Herrera, L. M. G., Smith, N., & Vera, M. Á. M. (2007). Gentrification, Displacement, and
Tourism in Santa Cruz De Tenerife. Urban Geography, 28(3), 276–298.
https://doi.org/10.2747/0272-3638.28.3.276
Hudalah, D., Winarso, H., & Woltjer, J. (2016). Gentrifying the peri-urban: Land use conflicts
and institutional dynamics at the frontier of an Indonesian metropolis. Urban Studies,
53(3), 593–608. https://doi.org/10.1177/0042098014557208
Kusno, A. (2012). Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future Urban Form of
Jakarta. Indonesia, 94(94), 23–56.
Lees, L. (2014). Gentrification in the global south? In S. Parnell & S. Oldfield (Eds.), The
Routledge Handbook on Cities of the Global South (Vol. 26, pp. 503–504).
https://doi.org/10.1007/s12132-015-9261-9
Lees, L., Shin, H. B., & Lopez-Morales, E. (2015). Conclusion: global gentrifications. In L.
Lees, H. B. Shin, & E. Lopez-Morales (Eds.), Global Gentrifications. Uneven
development and displacement. (pp. 441–452).
Lees, L., Slater, T., & Wyly, E. K. (2008). Gentrification. 310.
https://doi.org/10.4324/9780203940877
Marcuse, P. (1985). Gentrification, Abandonment, and Displacement: Connections, Causes,
and Policy responses in New York City. Washington University Journal of Urban and
Contemporary Law, 28(January), 195–240. https://doi.org/10.1525/sp.2007.54.1.23.
Prayoga, I. N. T., Esariti, L., & Dewi, D. I. K. (2013). The Identification of Early Gentrification
in Tembalang Area, Semarang, Indonesia. Environment and Urbanization Asia, 4(1),
57–71. https://doi.org/10.1177/1103308813478606
Schlack, E., & Turnbull, N. (2018). Emerging retail gentrification in Santiago de Chile. In L.
Lees, H. B. Shin, & E. Lopez-Morales (Eds.), Global Gentrification: Uneven
Development and Displacement (pp. 349–373).
Sholihah, A. B. (2016). Traditional Streetscape Adaptability: Urban gentrification and
endurance of business. Environment-Behaviour Proceedings Journal, 1(4), 2398–4287.
https://doi.org/10.21834/e-bpj.v1i4.378
Slater, T. (2006). A response to “The eviction of critical perspectives from gentrification
research.” International Journal of Urban and Regional Research, 32(1), 192–194.
https://doi.org/10.1111/j.1468-2427.2008.00772.x
Slater, T. (2009). Missing marcuse: On gentrification and displacement. City, 13(2–3), 292–
311. https://doi.org/10.1080/13604810902982250
Slater, T. (2017). Planetary Rent Gaps. Antipode. https://doi.org/10.1111/anti.12185
Smith, D. P. (2007). Studentification and `apprentice’ gentrifiers within Britain’s provincial
towns and cities: extending the meaning of gentrification. Environment and Planning A,
39, 142–161.
Smith, N. (1979). Toward a theory of gentrification: A back to the city movement by capital,
not people. Journal of the American Planning Association, 45(4), 538–548.
https://doi.org/10.1080/01944367908977002
Smith, N. (2002). New Globalism, New Urbanism : Gentrification as Global Urban Strategy.
New York, 34(3), 434–457.
Smith, N. (2006). Gentrification Generalized: From Local Anomaly to Urban ‘“Regeneration”’
as Global Urban Strategy. In M. S. Fisher & G. Downey (Eds.), frontiers of capital
ethnographic reflections on the new economy (pp. 191–208). Duke University Press.
Smith, N. (2007). The Evolution of Gentrification. In T. Kaminer & Z. Joost (Eds.), Houses in
transformation: Interventions in European gentrification (pp. 15–26). Rotterdam.
Voorst, R. Van. (2018). Tempat Terbaik di Dunia : Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal
di Kawasan Kumuh Jakarta. Tangerang: Marjin kiri.
i Penulis merupakan Dosen Jurusan Administrasi Publik, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Pegiat klub
diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM