Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 2 (2019): 349-375
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2008
TINJAUAN TERHADAP KONSEP KEADILAN SPASIAL DAN PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG PADA PROGRAM NORMALISASI CILIWUNG DI
PROVINSI DKI JAKARTA
Shafira Anindia Alif Hexagraha *, Savitri Nur Setyorini **
* Co-Director Kolékan – Collective Actions for Sustainable City Initiative.
** Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi: hexafira@gmail.com; ssetyorini704@gmail.com
Naskah dikirim: 22 Februari 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 19 Mei 2019
Abstract
The idea of public interest in spatial planning is a two-sided claim. The government
often uses it to enforce spatial plan program without the consent of the affected
groups. On the other hand, the affected groups also use it as their defense to protect
their damaged rights. The idea of spatial justice is derived from progressive
intellectual tradition that is highly aware of the severeness of injustice in urban spaces
and hence demands radical reconception of spaces, governance, and spatial planning.
Most influential intellectual tradition in spatial justice are Habermas’ Public Sphere,
Harvey’s Right to The City, and Lefebvre’s Production of Space which emphasize on
active public participation in urban policy making especially for the marginalized
groups who experience exacerbated inequality the long standing urban policies have
produced.
Keywords: spatial plan, spatial justice, public sphere, Ciliwung, and critical
geography studies.
Abstrak
Kepentingan publik merupakan klaim dengan dua sisi. Pemerintah kerap
menggunakannya untuk menerapkan program perencanaan ruang tanpa konsen dari
masyarakat terdampak. Di sisi lainnya, masyarakat juga menggunakan dalil
kepentingan publik untuk membela haknya yang terdampak. Gagasan keadilan spasial
lahir dari tradisi intelektual yang memiliki kesadaran tinggi akan parahnya
ketidakadilan di ruang-ruang urban dan demikian menuntut rekonsepsi radikal
terhadap ruang, pemerintahan, dan penataan ruang. Tradisi intelektual yang paling
berpengaruh dalam keadilan spasial adalah Ruang Publik dari Habermas, Hak atas
Kota dari Harvey, dan Produksi Ruang dari Lefebvre yang menekankan pada
partisipasi publik yang aktif dalam pembentukan kebijakan urban khususnya pelibatan
dari kelompok yang termarjinalkan karena mengalami ketidaksetaraan yang diciptakan
oleh kebijakan-kebijakan urban yang tidak berkeadilan.
Kata Kunci: tata ruang, keadilan spasial, ruang publik, Ciliwung, dan studi geografi
kritis.
350 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
I. LATAR BELAKANG
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sentral dalam penataan ruang.
Argumentasi ini diturunkan dari inferensi gagasan bahwa kota merupakan suatu ruang
dinamis yang secara terus menerus diproduksi oleh kebijakan-kebijakan publik dan
perjuangan kolektif. Idealnya, setiap kebijakan publik yang berkenaan dengan penataan
ruang. Idealnya, setiap kebijakan publik tentang penataan ruang tersebut mampu
merepresentasikan dinamika masyarakatnya. Kenyataannya, penataan ruang yang tidak
dilangsungkan secara deliberatif menyisakan kesenjangan antara agenda pembangunan
pemerintah dan kehendak masyarakat itu sendiri.
Kota, sebagai konstitusi spasial atas aglomerasi penduduk berikut kegiatannya,
merupakan kontur yang sensitive terhadap berbagai dimensi dinamika sosial yang
terjadi di dalamnya. Latar belakang ekonomi dan sosial yang beragam meningkatkan
kerentanan kota akan kemiskinan. Saat ini, sekitar 18% penduduk kota di Indonesia
merupakan masyarakat miskin dan near-poor. Berkembanganya tren urbanisasi dapat
meningkatkan angka kemiskinan yang diperkirakan pada tahun 2020 akan melampaui
angka kemiskinan di wilayah pedesaan.1 Beragamnya latar belakang ekonomi
penduduk di perkotaan meningkatkan kemiskinan di perkotaan sebab hak ekonomi dan
sosial menjadi ‘komoditas’ yang secara massal diperebutkan. Dengan demikian,
kontestasi yang terus menerus atas hak ekonomi dan sosial menciptakan hambatan bagi
kelompok-kelompok rentan untuk mengklaim hak wargawi kota (urban citizenship)
secara penuh di samping partisipasi yang terhambat dalam kebijakan penataan ruang
dan inisiatif-inisiatif penciptaan tempat.2
Hambatan yang lebih besar dalam merealisasikan kultur wargawi yang inklusif
dan kependudukan yang utuh memperparah pula ketimpangan di ruang perkotaan
(urban inequalities) oleh karena hak-hak tersebut menjadi eksklusif yang hanya dapat
dinikmati oleh kelompok masyarakat yang memiliki akses terhadapnya. Selain faktor
tersebut, kemiskinan di perkotaan (urban poverty) dilanggengkan oleh terbatasnya
kemampuan pemerintah daerah unruk terlibat dalam kompleksitas penyelesaian isu
kemiskinan di perkotaan. Parnell menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh
neoliberalisme dan individualisasi pemahaman tentang bagaimana hak asasi manusia
diwujudkan dalam konteks urban.3 Keberadaannya mengakar pada infrastruktur fisik
maupun sosial yang telah terbentuk selama puluhan tahun dari proses pembangunan
yang tidak merata.4
Bassett menekankan dorongan bagi pemerintah kota untuk menciptakan
kerangka hukum dan kebijakan yang memungkinkan berkembangnya kesetaraan dan
keadilan sosial.5 Untuk mencapai kemampuan tersebut, Bassett menyatakan bahwa
hal yang esensial untuk dilakukan adalah merancang kerangka partisipasi publik yang
inklusif. Seluruh proses penataan ruang harus mampu menjadi representasi dari
kehendak publik atas ruangnya. Sayangnya, kebanyakan praktik penataan ruang
sejauh ini dilaksanakan sebagai suatu proses preskriptif oleh kelompok-kelompok
1 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, Indonesia: Urban Poverty
and Program Review, (Indonesia: Bank Dunia, 2013), hal. vi.
2 Susan Parnell dan Edgar Pieterse, The ‘Right to the City’: Institutional Imperatives of a
Developmental State, “International Journal of Urban and Regional Research”, Volume 34, Issue 1,
2010, 146-162, 148.
3 Ibid.
4 Sarah Mina Bassett, The Role of Spatial Justice in The Regeneration of Urban Spaces,
(Illinois: University of Illinois, 2013), hal. 1.
5 Ibid, hal. 3.
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 351
berkuasa sebagaimana yang secara formal dilaksanakan dengan pendekatan top-down
oleh pemerintah.
Pendekatan top-down dalam penataan ruang juga tergambar dalam Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007).
Walaupun UU No. 26 Tahun 2007 mengklaim pengakuannya terhadap partisipasi
publik dalam penataan ruang sebagai suatu asa, pengaturan lebih jauh dalam undang-
undang tersebut tidak menyuratkan gagasan demikian. Pasal 65 ayat 91) UU No. 26
Tahun 2007 menyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Secara semantik, dapat dipahami
bahwa narasi dari ayat tersebut mengetengahkan bahwa aktor utama dalam penataan
ruang ialah pemerintah sedangkan partisipasi masyarakat dianggap sebagai sesuatu
yang bersifat komplementer dan inferior.
UU No. 26 Tahun 2007 masih membawa gagasan perencanaan yang sama
sebagaimana diadopsi terlebih dahulu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992). Menurut Moeliono dalam
disertasinya, sistem penataan ruang yang diajukan dalam UU No. 24 Tahun 1992
dikonstruksikan dengan mengacu secara ketat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (UU No. 5 Tahun 1974) yang
kemudian diterjemahkan menjadi sistem penataan ruang yang hierarkis dimana
pemerintah pusat berperan sebagai inisiator perumusan tata ruang.6 Peraturan
pelaksana yang mengatur tentang metode partisipasi masyarakat dalam penataan
ruang yang diundangkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (PP No. 68 Tahun
2010) sebagai konsekuensinya, mengonstruksikan partisipasi masyarakat dengan cara
yang sama hierarkisnya. PP No. 68 Tahun 2010 mengklasifikasikan partisipasi
masyarakat dalam tahap perencanaan ruang ke dalam dua kategori: Pertama,
masukan mengenai persiapan penyusunan rencana tata ruang, penentuan arah
pengembangan wilayah atau kawasan, pengidentifikasian potensi dan masalah
pembangunan wilayah atau kawasan, perumusan konsepsi rencana tata ruang,
dan/atau penetapan rencana tata ruang. Kedua, kerja sama dengan Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.7
Bentuk kerja sama yang dimaksud, antara lain adalah penelitian dan pengembangan,
penyelenggaraan forum konsultasi, penyebarluasan informasi maupun bantuan teknik
dan/atau keahlian.8 Koheren dengan bentuk peran masyarakat yang diatur, pengaturan
tata cara peran masyarakat dalam perencanaan kota juga terbatas pada menyampaikan
masukan melalui media komunikasi maupun forum pertemuan, dan kerjasama sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.9 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,
tergambar bahwa kerangka hukum belum mengakomodasi partisipasi masyarakat
dalam penataan ruang sampai pada tahap yang lebih menjamin diterapkannya suatu
aspirasi, misalnya, sampai ke tahap pengambilan keputusan. Kerangka peraturan
tersebut masih jauh dari mendesain penataan ruang sebagai suatu proses
emansipatoris bagi penduduknya. UU No. 26 Tahun 2007 memang mengakui
partisipasi publik sebagai salah satu asas sebagaimana halnya PP No. 68 Tahun 2010
6 Tristam Pascal Moeliono, “Spatial Management in Indonesia: From Planning to
Implementation cases from West Java and Bandung, A Socio-legal Study” Disertasi Leiden University,
2011, hal. 90.
7 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam
Penataan Ruang, PP Nomor 68 Tahun 2010, LN Nomor 118 Tahun 2010, TLN Nomor 5160, Ps. 6.
8 Ibid., Penjelasan Ps. 6 huruf b.
9 Ibid., Ps. 12 ayat (1).
352 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
yang mencoba menyertakan ‘partisipasi aktif masyarakat’ dalam sejumlah pasal tanpa
elaborasi lebih jauh. Namun, ketentuan-ketentuan tersebut tidak benar-benar
merancang bagaimana asas partisipasi publik diterapkan dalam proses penataan
ruang. Hal ini merupakan isu kritis menginagt kemunculan penataan ruang secara
historis sejatinya berakar pada tindakan kolektif masyarakat.10
Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa pembangunan perkotaan
terlampau dipahami secara monolitik menjadi sebatas pembangunan di perkotaan yang
mengutamakan pembangunan fisik dan abai terhadap pembangunan kapasitas sosial
masyarakatnya. Seharusnya kedua aspek tersebut mampu berjalan secara paralel
dimana pembangunan spasial mampu mengakomodasi kebutuhan manusianya untuk
jangka panjang juga disertai dengan pertimbangan-pertimbangan soal daya dukung
lingkungan. Demikian, tidak perlu lagi menjadi suatu kewajaran bahwa pembangunan
spasial secara logis menimbulkan konsekuensi adanya pelanggaran atas hak asasi
manusia maupun perusakan lingkungan.
Temuan-temuan drastis dalam Program Normalisasi Ciliwung menunjukan
sebaliknya. Pemerintah mengklaim bahwa program tersebut dilangsungkan atas
pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup. Sungai Ciliwung dikenal sebagai
sungai yang sangat tercermar dan selalu diasosiasikan dengan banjir tahunan akut.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Sungai Ciliwung telah mengalami berbagai proyek
rekayasa eksploitatif seperti: 1) Program Normalisasi Ciliwung,11 2) Jakarta Urgent
Flood Mitigation Project/JUFMP12 dan 3) Jakarta Emergency Dredging
Initiative/JEDI.13 Banyak resistensi besar yang muncul merespon proyek-proyek
tersebut karena dianggap menurunkan kualitas lingkungan hidup dan juga
menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia seperti penggusuran paksa yang beberapa
kasusnya telah disidangkan melalui peradilan tata usaha negara maupun peradilan
perdata.
10 Susan Fainstein dan Scott Campbell, The Structure and Debates of Planning Theory,
Chapter dalam Susan Fainstein dan Scott Campbell (ed.), Readings in Planning Theory, (Oxford:
Blackwell Publisher, 1997), hal. 5.
11 Proyek ini diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 163 Tahun 2012 tentang
Penguasaan Perencanaan/Peruntukkan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum Rencana Trace Kali Ciliwung dari Pintu Air Manggarai-Kampung Melayu, dan diperpanjang
dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2181 Tahun 2014 tentang Perpanjangan
Penetapan Lokasi Untuk Pelaksanaan Pembangunan Trace Kali Ciliwung Dari Pintu Air Manggarai
Sampai Dengan Kampung Melayu.
12 Proyek ini merupakan hasil kerja sama dengan Bank Dunia dalam rangka peningkatan
operasi dan pemeliharaan bagian-bagian prioritas dari sistem pengelolaan banjir Jakarta. Terdapat dua
komponen dalam proyek ini, yakni pertama mengenai pengerukan dan rehabilitasi jalur/saluran banjir,
kanal dan waduk, di mana akan dilakukan pengerukan dan rehabilitasi terhadap sebelas saluran/kanal
banjir dan empat waduk. Kegiatan ini merupakan prioritas dalam sistem manajemen banjir di DKI
Jakarta yang membutuhkan rehabilitasi segera dan peningkatan kapasistas aliran. Komponen kedua
meliputi bantuan teknis untuk manajemen proyek, perlindungan sosial, dan pengembangan kapasitas.
Komponen ini akan mendukung manajemen kontrak, tinjauan desain teknik, pengawasan konstruksi
untuk pekerjaan pengerukan dan rehabilitasi dan bantuan teknis untuk implementasi proyek, termasuk
kerangka kerja kebijakan pemukiman kembali, rencana pemukiman kembali dan sistem penanganan
keluhan. Lihat The World Bank, "Jakarta Urgent Flood Mitigation Project,"
http://www.projects.worldbank.org/P111034/jakarta-urgent-flood-mitigation-
project?lang=en&tab=overview diakses pada 28 Januari 2019.
13 JEDI merupakan proyek lanjutan dari JUFMP yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah yang direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar
Negeri yang direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 353
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, tulisan ini bertujuan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kaitan antara partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
pengendalian pemanfaatan ruang dengan konsep keadilan spasial dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan keadilan spasial pada program Normalisasi Sungai
Ciliwung di Provinsi DKI Jakarta (studi kasus Putusan Nomor
59/G/2016/PTUN-JKT dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
267/K/TUN/2016 tentang Penggusuran di Kelurahan Bidara Cina dan Putusan
No. 205/G/2016/PTUN-JKT tentang Penggusuran di Kelurahan Bukit Duri)?
III. METODE PENELITIAN
Studi dalam tulisan ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif
yang cakupan penelitiannya adalah asas-asas hukum terutama yang berkenaan dengan
asas kepentingan umum yang diteliti pertimbangan dan penerapannya dalam penataan
ruang pada program Normalisasi Ciliwung dan penyelesaian sengketa penggusuran
secara deliberatif dalam Pengadilan Tata Usaha Negara. Dari segi pendekatannya,
studi dalam tulisan ini mengeksplorasi tiga pendekatan yaitu pendekatan peraturan
peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual.
IV. KERANGKA ANALISA TEORETIS
1. Kota sebagai Ruang Publik
Kota sebagai suatu keutuhan konsep memiliki penggambaran yang relative
akan latar belakang geohistorisnya. Sebatas penulusuran historis diklaim tidak dapat
memberikan penggambaran yang kongruen terhadap ciri-ciri atau konsep awal kota
dengan kondisi kota yang telah dan sedang berkembang sekarang.14 Konsep kota
yang berkembang secara kontemporer umumnya menggunakan sejumlah identifikasi
kuantitatif dan digunakan untuk kepentingan praktis pembangunan. Hal demikian
menunjukkan bahwa pemahaman mengenai kota terus mengalami modifikasi yang
diikuti berbagai aspek pendukungnya.15
Dari berbagai pendekatan untuk memahami konsep kota, dapat dipahami ada
tiga komponen esensial suatu kota yakni: teritori, aglomerasi populasi, dan
aglomerasi kegiatan. Kota sebagai ruang publik dapat dipahami dari lensa studi
geografi kritis yang mempersepsikan bahwa konteks ruang terus mengalami redefinisi
yang membuatnya tidak lagi sebatas arena bagi ketetapan, stabilitas, maupun keadaan
statis yang dimodifikasi oleh tindakan sosial. Pemahaman dominan tersebut
dipengaruhi oleh pemaparan ilmu sosial yang terlampau menekankan kota sebagai
suatu kenyataan substantial, sementara hakikat lainnya sebagai arena diskursif—
setidak-tidaknya bagi sehimpun kenyataan sosial yang punya andil dalam
mereproduksi maknanya.16
14 Henri Lefebvre, The Urban Revolution, (Minnesota: University of Minnesota Press, 2003),
hal. 11. 15 William H. Frey dan Zachary Zimmer, Defining the City and Levels of Urbanization,
Report No. 98-423, September 1998, (Ann Arbor: Population Studies Center University of Michigan,
1998), hal. 1.
16 Henri Lefebvre, The Production of Space, (Oxford: Blackwell, 1991), hal. 402
354 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Lebih lanjut, pemaknaan konstitusi spasial kota sangat berakitan dengan
reproduksi cara berpikir tentang ruang. Lefebvre menyampaikan bahwa ilmu
pengetahuan yang dominan dipergunakan dalam mendefinisikan ruang kerap abai
dalam menganalisa dualitas konstitutifnya sehingga proses generative berikut segala
disfungsi tentangnya tidak tergambar secara komprehensif.17 Kota sebagai lansekap
merupakan produk dari tindakan sosial masyarakatnya baik yang dapat terwujud
melalui perlawanan, kekerasan, maupun suatu proses formal pembentukan kebijakan
publik, seperti perencanaan ruang. Pertama, tindakan strategis merupakan tindakan
yang bertujuan secara instrumental untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang
ditentukan sendiri bukan berdasarkan suatu pemahaman mutual.18 Kedua, tindakan
komunikatif merupakan suatu interaksi yang dilakukan oleh seluruh subjek secara
terbuka dan mencapai suatu konsensus bersama tanpa ada manipulasi dari masing-
masing pihak.19 Tindakan sosial dapat menjadi suatu alat bantu untuk melakukan
eksaminasi terhadap kota; baik terhadap lanskap spasial, aglomerasi penduduk,
maupun aglomerasi kegiatannya.20 Tindakan sosial Habermas mampu membuat
setiap elemen-elemen tersebut menuangkan narasi soal bagaimana kota tersebut
terbentuk maupun kehidupan yang berlangsung di dalamnya dapat diperiksa melalui
berbagai kebijakan publik yang lahir juga berlaku pada wilayah tersebut.
Dengan menerapkan teori tindakan komunikatif Habermas, kebijakan publik
tersebut, pada tataran idealnya, diandaikan sebagai manifestasi konsensus dari subjek-
subjek yang melangsungkan deliberasi tentang kota seperti apa yang dihendaki para
subjek.21 Sederhananya, jika subjek-subjek dalam kota sebagai suatu ruang dibedakan
menjadi pemerintah dan masyarakat sipil, teori tindakan komunikatif ini selain dapat
digunakan untuk memeriksa perilaku pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik
termasuk sikapnya terhadap keberadaan masyarakat sipil. Menggunakan pengandaian
ideal tindakan komunikatif tersebut, pengakuan terhadap berbagai subjek dilihat
melalui pihak yang ada dalam posisi dominan melibatkan subjek-subjek lain, misalnya
berbagai kelompok penduduk kota mulai dari akademisi, pelaku usaha, penggerak
komunitas, perempuan, penduduk miskin kota, dan lain-lain. Terhadap kelompok yang
terpinggirkan, pelibatan dalam perumusan kebijakan publik merupakan suatu tindakan
yang emansipatoris. Tindakan emansipatoris ini mengukuhkan kota sebagai ruang
publik yakni suatu ruang yang deliberatif.22
17 Ibid, hal. 411
18 Raine Mantysalo, “Approaches to Participation in Urban Planning Theories,” dalam
Rehabilitation of suburban areas–Brozzi and Le Piagge neighbourhoods (2005), hal. 9.
19 Hugh Baxter, System and Life-World in Habermas’s “Theory of Communicative Action”,
Theory and Society, Vol. 16 No. 1., Jan 1987, (Springer: 1987), hal. 41.
20 Henri Lefebvre, The Production of Space, op. cit., hal. 404-405.
21 Judith E. Innes, Planning Through Consensus Building: A New View of the Comprehensive
Planning Ideal, Journal of the American Planning Association, 1996, 62:4, hal. 461:
“Consensus building has emerged parallel to the idea of “communicative rationality,” drawn
largely from Habermas (1984), developed by Dryzek (1990,3-56) for policy making (he also calls it
“discursive democracy”), and applied to planning by Forester (1989); Sager (1994), and Innes
(1995), among others. A decision is “communicatively rational” to the degree that it is reached
consensually through deliberations involving all stakeholder^,^ where all are equally empowered and
fully informed, and where the conditions of ideal speech are met (statements are comprehensible,
scientifically true, and offered by those who can legitimately speak and who speak sincerely).
Communicatively rational decisions, then, are those that come about because there are good reasons
for them rather than because of the political or economic power of particular stakeholders.”
22 Ruang deliberatif yang dimaksud adalah suatu ruang yang memungkinkan berbagai elemen
masyarakat dilibatkan dalam pembentukan kebijakan oleh pihak yang dominan dalam hal ini adalah
pemerintah kota dan masyarakat mampu menjalankan kebijakan yang dibentuk karena telah lebih dulu
dibuat paham dengan rasionalisasinya serta menjalankan consensus yang dibuat bersama pemerintah
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 355
Secara teoretis, ruang publik dan produksi ruang telah melahirkan suatu
tuntutan agar kota dipahami dalam 2 (dua) bentuk, yakni dalam bentuk material dan
dalam bentuk abstrak. Kota dalam wujud materialnya telah lebih akrab dalam
pemahaman dan pengalaman publik. Sebagai kenyataan material, kota diandaikan
sebagai suatu dimensi yang berbatas seperti suatu bejana yang diisi dengan berbagai
muatan ‘sumber daya’ misalnya, manusia, alam maupun faktor produksi lainnya.23
Pemahaman kota sebagai kenyataan material juga nampak dalam Pasal 355 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23
Tahun 2014) yang mendefinisikan kota sebagai wilayah dengan batas-batas tertentu
yang masyarakatnya mempunyai kegiatan utama di bidang industri dan jasa. Bentuk
kedua, kota dalam wujud abstrak mencakup aspek yang lebih luas. Di dalamnya
terdapat pula ruang kekuasaan, ruang integrase, ruang eksklusi, ruang deliberasi, dan
sebagainya. Lefebvre menggambarkan kedua wujud tersebut, dalam hal tertentu dapat
dianalogikan, dengan analogi tubuh dengan bayangan di dalam cermin sebagaimana
yang diadaptasi dari penjelasan sistematika objek oleh Jean Baudrillard. Pada analogi
tersebut digambarkan bahwa untuk mengetahui keberadaannya, seseorang perlu
memisahkan dirinya ke luar dari dirinya sendiri.24 Ilustrasi tersebut merupakan salah
satu proposisi teori kritis yang khususnya dalam studi tentang perkotaan membangun
suatu hubungan antagonistic dengan pengetahuan maupun formasi kota yang ada.25
Dengan demikian, pendekatan teori urban kritis, dalam wujud abstrak kota ini
memberikan kesempatan untuk mengimajinasikan kembali konsep kota yang ideal.26
Ruang publik dapat dikatakan merupakan salah satu imajinasi ideal tentang kota.27
Dalam wujud abstraknya, konstitusi spasial dari ruang publik sebagai arena bagi
hubungan-hubungan diskursif dimana para pelakunya berkumpul bersama untuk
mendiskusikan isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan bersama, dimana opini
publik dan partisipasi politik dilaksanakan melalui bahasa,28 niscaya melampui ruang
itu sendiri. Mengenai rasionalisasi hal ini disampaikan dalam Hugh Baxter, System and Life-World in
Habermas’s “Theory of Communicative Action”, op. cit., hal. 42-43.
23 Henri Lefebvre, The Production of Space, op. cit., hal. 111.
24 Ibid, hal. 185-6.
25 Neil Brenner, What is Critical Urban Theory?, dalam Neil Brenner, Peter Marcuse &
Margit Mayer (ed.), Cities for People, Not For Profit, (New York: Routledge, 2012), hal. 22.
26 Brenner dalam menyimpulkan impian teori urban kritis yang disampaikan diantaranya oleh
Henri Lefebvre, David Harvey, Manuel Castells, dan Peter Marcuse agar narasi tentang kota tidak
begitu saja tunduk akan dikte kapitalisme, imajinasi antagonistik itu pada intinya adalah, “It insists that
another, more democratic, socially just, and sustainable form of urbanization is possible, even if such
possibilities are currently being suppressed through dominant institutional arrangements, practices,
and ideologies. In short, critical urban theory involves the critique of ideology (including social-
scientific ideologies) and the critique of power, inequality, injustice, and exploitatopm, at once within
and among cities.” Ibid.
27 Menurut Netto, “There is a decidedly urban dimension in the exercise of politics, which
makes it akin to the idea of the urban sphere as an immersion in otherness realized in the production
of linguistic exchange.” Lihat: Vinicius M Netto, The (Re)conquest of the City: Polis and Public
Sphere,
http://www.proarq.fau.ufrj.br/revista/public/docs/Proarq19_The(Re)conquestCity_VinicioNetto.pdf,
hal. 270. Ditinjau dari aspek spasial juga, sistem politik demokratis mengandaikan gagasan ideal ruang
publik tunggal yang terbuka. Pada prakteknya, bagaimanapun, ruang publik memiliki kecenderungan
untuk melembagakan bentuk-bentuk dari stratifikasi sosial yang berdasarkan pada pengalaman sosial,
budaya, dan ekonomi. Lihat juga: John A. Guidry, The Struggle to Be Seen: Social Movements and the
Public Sphere in Brazil, dalam International Journal of Politics, Culture, and Society, Vol. 16, No. 4
(Summer, 2003), hal. 499.
28 Lebih lanjut, Netto merujuk pada Nancy Fraser, Rethinking the Public Sphere: A
Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy, Social Text, 25 (26), pp. 56–80, 1990.
356 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
terbuka publik dan termasuk pula di dalamnya ruang yang dibangun dengan
peruntukkan sebagai lokus dari tindakan dan interaksi.29
Pembentukkan kembali teori tentang kota beserta imajinasi kritis tentangnya
menumbuhkan harapan sebab pada medium ini subjek-subjek yang dapat saja
mengalami opresi relasi kuasa atau mengalami peminggiran baik dengan cara formal
maupun non-formal mendapatkan suatu ruang dimana aspirasinya turut
dipertimbangkan. Narasi alternatif pada tataran teoritis tersebut berjalan beriringan
dengan perjuangan yang lebih praktis seperti tuntutan-tuntutan mengenai hak atas kota.
Perjuangan masyarakat terhadap hak atas kota merupakan medium dan ekspresi yang
penting terhadap perubahan signifikan atas konfigurasi pengaturan di tataran lokal,
regional, dan nasional.30 Di tengah-tengah berbagai kekuatan yang telah maupun
sedang berpengaruh, ruang publik dan teori urban kritis menegaskan bahwa kota
memiliki posisi yang sentral dalam menentukan arah transformasi interaksi masyarakat
maupun bentuk kenegaraan.31 Hal ini penting oleh karena esensi dari pembangunan
adalah ekspansi kebebasan manusia secara substantif.32
29 Netto lebih lanjut menjelaskan: “I use concepts of mutual interest found in Hauser (1998)
and political participation through speech in Fraser (1990).” Lihat: Vinicius M. Netto, The
(Re)conquest of the City: Polis and Public Sphere, op. cit., hal. 285.
Selanjutnya, tentang aspek spasial, Lefebvre menulis, “Space does not eliminate the other
materials or resources that play a part in the socio-political arena, be they raw materials or most
finished of products, be they business or ‘culture’. Rather, it brings them all together and then in as
sense substitutes itself for each factor separately by enveloping it. The outcome is a vast movement in
terms of which space can no longer be looked upon as an ‘essence’ , as an object distinct from the
point of view of (or as compared with) ‘subjecrs’, as answering to a logic of its own. Nor can it be
treated as a result or a resultant, as an empirically verifiable effect of a past, a history or a society”.
Lihat: Henri Lefebvre, The Production of Space, op. cit., hal. 110-111.
30 Neil Brenner, New State Spaces Urban Governance and the Rescaling of Statehood, (New
York: Oxford University Press, 2004), hal. vi.
31 Lefebvre berpendapat bahwa neo-capitalism kemudian melahirkan transformasi ruang
pemerintahan yang bernama ithe explosion of space. Transformasi tersebut kemudian dijelaskan oleh
Brenner sebagai suatu fenomena kualitatif politik ekonomi yang melahirkan pula berbagai terminologi
baru dalam merujuk bentuk negara sebagai berikut, “The new forms of statehood that are resulting
from these wide-ranging transformations have been variously characterized as competition states,
workfare states, internationalized states, catalytic states, network states, post-Fordist states, post-
national states or, more generically, as post Keynesian states.” Kemudian, Brenner juga menjelaskan
bahwa yang menjadi faktor determinan terjadinya transformasi kenegaraan adalah kota melalui
kebijakan-kebijakan yang terbentuk di dalamnya (urban policy), sebagaimana dijelaskannya berikut, “I
argue first that city regions have become key institutional sites in which a major rescaling of national
state power has been unfolding.” Ibid., hal. 1 dan 3.
32 Preposisi mengenai esensi pembangunan merupakan pernyataan Beall dan Fox yang
mendasarkan pada penalaran historis sebagaimana yang dimuat dalam Jo Beall dan Sean Fox, Cities
and Development, (New York: Routledge, 2009), hal. 34.
Tentang konteks kebebasan yang dimaksud di sini adalah suatu kebebasan manusia yang tidak
menjustifikasi konotasi antroposentris atau disebut dengan kebebasan substantif. Sen menyebutkan
bahwa, “The recognition that freedom is important can also broaden the concerns and commitments
we have. We could choose to use our freedom to enhance many objectives that are not part of our own
lives in a narrow sense (for example, the preservation of animal species that are threatened with
extinction). This is an important issue in addressing such questions as the demands of sustainable
development.” Lihat: Amartya Sen, The Idea of Justice, (London: Penguin Books, 2010), hal. 227
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 357
2. Keadilan Spasial
Proponen konsep ini, Edward Soja menolak memberikan definisi sederhana
mengenai apa yang dimaksudnya sebagai keadilan spasial.33 Pada pembahasan
mengenai keadilan spasial, terminologi ruang maupun spasial tidak semata-mata
merujuk pada suatu kualitas fisik atau atribut filosofis yang sekedar memiliki dimensi
absolut, relatif, maupun relasional. Dalam pengamatan Soja, penggambaran fisik dan
filosofis ruang ini telah mendominasi wacana historis tentang ruang angkasa selama
abad terdahulu, terutama di kalangan ahli geografi. Penggambaran demikian tetap
memiliki relevansi dengan pemahaman kontemporer tentang aspek spasial kehidupan
manusia, namun dengan memusatkan perhatian secara eksklusif pada hal-hal tersebut
dapat membawa kita menjauh dari pemahaman yang meyakinkan, aktif, dan kritis
tentang geografi manusia.34 Ruang adalah proses yang dinamis, bukan wadah kosong,
apa yang oleh Soja disebut dialektika sosio-spasial. Artinya, penataan ruang dunia
material, di mana segala sesuatu berada dalam hubungan satu sama lain, lebih dari
sekadar mencerminkan kekuatan dan politik, oleh karena ruang itu sendiri termasuk
kedalam varian kekuasaan dan politik. Hubungan spasial menghasilkan hubungan
sosial, dan karenanya hubungan keadilan antara aspek spasial dan aspek sosial.35
Tradisi pemikiran keadilan spasial terhadap geografi maupun konsep spasial
lainnya adalah cara pandang yang menganggap ruang tidak sebagai latar pasif dalam
kehidupan manusia. Menurut Soja, dengan menghidupkan perspektif spasial yang
strategis ini dan memperluas jangkauannya dari teori ke dalam praktik sekaligus
memberikan pengakuan yang lebih signifikan bahwa geografi sebagai tempat
manusia bertempat tinggal dapat memiliki efek positif maupun negatif pada
kehidupan manusianya. Pada tradisi pemikiran geografi kritis yang dipromosikan oleh
Soja, ruang bukan hanya latar belakang mati atau panggung fisik netral untuk drama
manusia namun dipenuhi dengan kekuatan materi dan imajiner yang mempengaruhi
kejadian, pengalaman, dan kekuatan yang dapat menyakiti kita atau membantu kita
dalam hampir semua hal yang kita lakukan baik secara individu dan kolektif. Hal
tersebut merupakan bagian vital dari kesadaran spasial yang baru, membuat kita sadar
bahwa geografi tempat kita tinggal dapat mengintensifkan dan mempertahankan
eksploitasi kita sebagai pekerja, mendukung bentuk dominasi budaya dan politik yang
menindas berdasarkan ras, jenis kelamin, dan kewarganegaraan, dan memperparah
segala bentuk diskriminasi juga ketidakadilan.36
Soja sebagai proponen dari keadilan spasial menegaskan bahwa keadilan
spasial merupakan suatu teori kritis. Maka, pemahaman terhadap keadilan spasial
tidak bisa dilakukan sebatas terhadap muatan teoritisnya melainkan juga harus turut
memahami apa yang Soja sebut sebagai ekstensi dari teori. Gerakan untuk
membangun teori keadilan spasial melalui penerapan empiris ke praktek aktual dan
tindakan sosial merupakan hal yang utamanya harus dipahami dalam pemaknaan dari
keadilan spasial.37 Teori kritis yang Soja adopsi dari perspektif ruang kritis, berfokus
pada kegunaan di tataran praksis terutama dalam hal ini yang berkenaan dengan
mencapai kebebasan dari opresi dan dominasi.38
33 Hal ini dikemukakan oleh Soja dalam Justin Williams, Toward a Theory of Spatial Justice.
Annual Meeting of the Western Political Association, (Los Angeles: University of Michigan, 2013),
hal. 4 . 34 Edward Soja, Seeking Spatial Justice, (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010),
hal. 17. 35 Justin Williams, Toward a Theory of Spatial Justice, op. cit, hal. 5.
36 Edward Soja, Seeking Spatial Justice, op. cit, hal. 19
37 Ibid., hal. 68.
38 Ibid, hal. 69.
358 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Teori berikut prinsip yang dikonstruksikan dalam keadilan spasial disusun
dengan suatu restrukturisasi ontologis terhadap teori-teori sosial. Soja menjelaskan
bahwa teori-teori sosial umumnya terbentuk dan berdasarkan pada asumsi subliminal
yang utamanya berfokus pada aspek sosial dan temporal atau historis dari suatu
keadaan (being). Rekonstruksi ontologis yang Soja lakukan dalam bangunan teori
keadilan spasial adalah suatu empati terhadap aspek spasialitas yang fundamental
dalam kehidupan.39 Sehingga, untuk menyeimbangkan kembali tiga serangkai
ontologis dalam keadilan spasial (aspek sosial, temporal, dan historis dari teori-teori
sosial) dan untuk melihat semua bentuk dari produksi pengetahuan mulai dari
epistemologi ke pembentukan teori, analisis empiris dan penerapan praktis, dalam teori
sosial selalui secara simultan dan interaktif secara sosial, historis, dan spasial,
walaupun setidak-tidaknya hanya secara a priori.40 Dari permulaan ontologis yang baru
tersebut muncul suatu tesis kritis bahwa manusia merupakan suatu makhluk spasial
(spatial being) sejak lahir oleh karena manusia memiliki okupasi primodial terhadap
ruang (space). Primodialitas manusia terhadap ruang tersebut dijelaskan oleh Soja
bahwa sepanjang hidupnya manusia terjerat dalam upaya-upaya untuk membentuk
ruang-ruang dimana manusia hidup di dalamnya dan secara paralel ruang-ruang yang
telah terbentuk dan terus berevolusi juga membentuk hidup manusia dengan berbagai
macam cara. Dengan demikian, manusia juga terjebak dalam geografi (sebagai suatu
konfigurasi keruangan) di sekitarnya selayaknya manusia merupakan aktor-aktor
integral dalam berbagai konteks sosial dan selalu terlibat dalam narasi pembentukan
biografi individual dirinya sendiri maupun sejarah secara kolektif.41
Keadilan spasial memandang bahwa manusia, walau seringkali terjadi di luar
kesadarannya, memiliki kecenderungan berperilaku yang dinamakan distance
minimizing. Artinya, perilaku tersebut menurut Soja menimbulkan akibat berupa
apapun yang manusia lakukan akan begitu sulit terdistribusi secara sempurna, merata
maupun secara acak pada berbagai ruang. Elaborasi yang Soja berikan terhadap
inferensi tersebut adalah adanya kecenderungan yang timbul sebagai akibat dari
kecenderungan perilaku tersebut yaitu berfokus pada suatu titik atau sekitar suatu pusat
maupun aglomerasi tertentu. Kecenderungan tersebut yang terhimpun sebagai tindakan
kolektif akan melahirkan tatanan ruang manusia yang lebih kompleks dan geografi
yang tidak adil secara empiris.42
Gagasan Aristoteles tentang keadilan sebagai kesetaraan proporsional
mengandung ide yang mendasar. Gagasan tersebut menawarkan kerangka kerja untuk
argumen rasional antara gagasan keadilan egaliter dan non-egaliter.43 Pada tataran
formal, secara abstrak penjelasan konseptual murni gagasan mengenai keadilan dan
kesetaraan dikaitkan melalui prinsip keadilan formal dan proporsional. Keadilan tidak
dapat dijelaskan tanpa prinsip kesetaraan bahwa prinsip kesetaraan hanya menerima
simbol normatifnya dalam perannya sebagai prinsip keadilan.44
Menurut Goldberg, keadilan ditandai oleh peraturan, otonomi dan
ketidakberpihakan universal, sementara ethics of care mengutamakan keberpihakan,
lokalitas, situasionalitas, kontekstualitas dan pembinaan dan pemeliharaan hubungan
39 Ibid, hal. 70.
40 Ibid, hal. 71
41 Ibid.
42 Ibid, hal. 72.
43 Selain itu, dalam gagasan keadilan Aristoteles, titik fokusnya terletak pada pertanyaan
dasar mengenai kesetaraan yang memadai. Lihat: Stefan Gosepath, Equality, The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Spring 2011 Edition),
https://plato.stanford.edu/archives/spr2011/entries/equality/, diakses pada 22 Februari 2019.
44 Ibid
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 359
sebagai asas pemandunya.45 Marcuse berargumentasi bahwa keadilan ditandai oleh
peraturan, otonomi dan ketidakberpihakan universal, sementara ethics of care
mengutamakan keberpihakan, lokalitas, situasionalitas, kontekstualitas dan
pembinaan dan pemeliharaan hubungan sebagai asas pemandunya.46 Konsep keadilan
yang dipahami dalam keadilan spasial merupakan suatu tindakan komunikasi
intersubjektif tentang prinsip-prinsip umum dari keadilan (fairness) dan demokrasi,
begitu juga dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada being yang merupakan
anggota dari suatu kelompok tertentu.47 Keadilan spasial juga menyadari bahwa
terwujudnya kesetaraan dan keadilan secara paripurna tidak dapat dicapai. Realisasi
keadilan yang dihendaki dalam keadilan spasial adalah menggeser perhatian kepada
produksi-produksi ketidakadilan (injustices) dan melekatnya proses-proses tersebut
dalam proses produksi tatanan sosial. Kombinasi pembentukan teori normatif, ilmiah,
dan kritis dari teori ketidakadilan sebagai suatu produk sosial mengarah langsung ke
perdebatan mengenai demokrasi, kewarganegaraan (citizenship) dan hak asasi
manusia yang fundamental.48 Keadilan spasial juga memandang bahwa keadilan,
demokrasi, dan kewarganegaraan dapat diartikan sebagai hak-hak untuk berpartisipasi
dalam politik selayaknya seorang manusia sebagai warga negara memiliki hak, untuk
berkegiatan dan dalam kegiatan keagamaan, ekonomi, sosial maupun budaya.49
Postulat tersebut lahir dari refleksi terhadap kualitas dan kegiatan kewarganegaraan di
Yunani pada era 600 SM yang demokratis.50 Kondisi dan kualitas yang
dikembangkan pada masa itu adalah suatu diskursus filosofis mendalam mengenai
demokrasi partisipatoris, serta pemaknaan dan signifikansi dari keadilan sosial
sebagai suatu prinsip demokratis.51
Keadilan spasial juga merupakan suatu upaya untuk menggemakan kembali
aspek spasial dalam keadilan. Soja menjelaskan bahwa konsep keadilan telah
mengalami despasialisasi yang disebabkan oleh upaya untuk melakukan
universalisasi terhadap keadilan sebagai hak alamiah yang dipertahankan oleh suatu
sistem hukum maupun konstitusi yang bebas bias. Sistem hukum maupun konstitusi
positif, pasca kemerdekaan Amerika Serikat dan Revolusi Perancis, kebanyakan
mendefinisikan kewarganegaraan tidak dalam artinya sebagai hak atas kota
melainkan sebagai hak dan kewajiban yang ditentukan oleh negara-bangsa.52
Keadilan spasial juga memperhatikan pentingnya alokasi dan distribusi secara
berkeadilan. Keadilan spasial memandang bahwa distribusi sumberdaya dalam suatu
wilayah akan semakin adil jika terdapat pemerataan pola keruangan investasi publik-
privat agar manfaat sosial yang diwujudkannya bisa bermanfaat bagi masyarakat
secara merata. Manfaat yang memancar dari aspek ekonomi tersebut dalam keadilan
spasial diutamakan untuk dialokasikan pada isu-isu sosial dan lingkungan.53 Prioritas
ekonomi dalam keadilan spasial terletak pada distribusi dimana hal tersebut juga
45 Peter Marcuse, “Spatial justice: Derivative but Causal of Social Justice,” Bernard Bret, et.
al.. Justice et injustices spatiales, (Nanterre: Presses universitaires de Paris Nanterre, 2010), hal. 77.
46 Ibid.
47 Ibid, hal. 74
48 Ibid.
49 Ibid, hal. 74-75.
50 Ibid., hal. 74. Dalam hal ini, keadaan demokratis tersebut memang tidak sempurna
sebagaimana disampaikan bahwa, “The majority of the population consisting of slaves, nearly all
women, simple artisans, and others who did not qualify as citizens, were excluded from the democratic
order. ” 51 Ibid.
52 Ibid, hal. 75.
53 Edward Soja, Seeking Spatial Justice, op. cit, hal. 86
360 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
dimaksudkan untuk mengintegrasikan hak atas kota dalam kebijakan ekonomi
khususnya pengentasan kemiskinan agar melalui kebijakan ekonomi tersebut
kesetaraan dapat terwujud.54
Rumusan kebijakan publik yang diadvokasikan oleh keadilan spasial baik pada
tataran teoritis maupun praktis dipandang sebagai bagian dari upaya untuk melakukan
intervensi terhadap status quo perkotaan yang menjadi bejana atas berbagai fenomena
ketimpangan. Dalam bukunya yang berjudul Spaces of Hope, Harvey mulai
menunjukkan optimismenya untuk mewujudkan keadilan spasial termasuk untuk
merealisasikan hak asasi manusia dan keadilan lingkungan melalui gerakan-gerakan
akar rumput sebagai bagian dari intervensi terhadap tren kebijakan yang tidak
berkeadilan.55 Soja juga menggunakan pendapat Harvey pada buku tersebut untuk
melakukan rekonsepsi terhadap globalisasi yang awalnya ia dalilkan sebagai salah satu
penyebab tumbuhnya ketidakadilan spasial. Harvey mengatakan bahwa globalisasi
menimbulkan banyak kontradiksi, termasuk perannya dalam membuka kemungkinan
untuk mewujudkan arah politik dan gerakan yang progresif melalui universalisasi akan
hak dan martabat sebagai hak semua manusia.56
Karakter prinsipil terakhir yang Soja identifikasi menunjukkan pengaruh
pemikiran Lefebvre dalam tradisi intelektual keadilan spasial. Pengaruh Lefebvre
terhadap keadilan spasial ditunjukkan oleh ujarannya bahwa keadilan spasial
berkehendak untuk memproduksi ruang yang berkeadilan dengan menggulung
gelombang besar privatisasi yang menjadi mantra neoliberalisme destruktif melalui
dorongan untuk menciptakan ruang publik dengan partisipasi demokratis dan aktif.
Ujaran bernada utopianisme pun tercermin dari konklusinya bahwa keadilan spasial
memiliki misi besar untuk mewujudkan kota yang inklusif dengan strukturisasi hak,
praktik politik dan ekonomi yang setara.57
Kota yang adil melihat keadilan sebagai isu distribusi, dan bertujuan pada
sejumlah perwujudan kesetaraan. Marcuse berpendapat bahwa kota yang baik
seharusnya tidak sekadar kota dengan kesetaraan yang distributif, melainkan juga yang
mampu mendukung perkembangan penuh setiap individu dan semua individu.
Menurut Marcuse, konsep semacam itu harus mengarah pada pengakuan akan
pentingnya pemikiran utopia sekaligus konfrontasi langsung terhadap isu-isu
kekuasaan di masyarakat.58
54 Soja menulis, “The outcomes were not predetermined, but it was no surprise that the
interests aimed most directly at rapidly increasing profitability and restoring social order tended to
prevail. In perhaps the majority of cases, the promoted intentions of urban renewal and poverty
alleviation led instead to bulldozed buildings, radically altered property ownership, and the removal of
the poor for “higher and better” (more profitable) land uses.” Penjelasan tersebut menunjukkan
bahwa Soja melihat formulasi kebijakan yang dirumuskan oleh keadilan spasial merupakan rumusan
kebijakan tandingan terhadap kebijakan ekonomi kontemporer yang justru memperparah ketimpangan
di perkotaan. Ibid., hal. 90.
55 Ibid, hal. 94.
56 Ibid.
57 Soja juga mengutip Harvey, “If our urban world has been imagined and made then it can
be re-imagined and re-made. The inalienable right to the city is worth fighting for. “City air makes
one free” it used to be said.” Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa selain pengaruh intelektual
Lefebvre mengenai energi dari berbagai proposal politik dan gerakan sosial dalam memproduksi
ruang, keadilan spasial juga tidak lepas dari pengandaian ideal utopianisme di antara kalangan urbanis
seperti Castell. Ibid.
58 Peter Marcuse, Spatial Justice Derivative but Causal of Social Injustice, hal. 77.
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 361
Perumusan kebijakan publik yang diadvokasikan oleh keadilan spasial baik
pada tataran teoretis maupun praktis dapat dilihat sebagai upaya intervensi terhadap
status quo perkotaan yang menjadi bejana atas berbagai fenomena ketimpangan.59
V. ANALISA KASUS
1. Gugatan Tata Usaha Negara tentang Penggususran di Bukit Duir (Putusan
No. 205/G/2016/PTUN-JKT dan Putusan No. 95/B/2017/PT.TUN. JKT)
Pada perkara ini, keputusan tata usaha negara yang menjadi objek sengketa
adalah:
1) Surat Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Nomor: 1779/1.758.2 tanggal 30
Agustus 2016 perihal Surat Peringatan I (SP I);
2) Surat Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Nomor: 1837/1.758.2 tanggal 7
September 2016 perihal Surat Peringatan II (SP II); dan
3) Surat Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Nomor: 1916/1.758.2 tanggal 20
September 2016 perihal Surat Peringatan III (SP III).
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Ibu Kota Jakarta Nomor
205/G/2016/PTUN-JKT yang akan dipaparkan pada bagian berikut ditinjau dari
konsep keadilan spasial dan partisipasi publik dalam penataan ruang. Adapun
sistematika analisa disampaikan dengan urutan analisa pada bagian gugatan, eksepsi,
pertimbangan hakim, dan diktum.
Gugatan diajukan oleh 11 orang warga Bukti Duri dan sebuah yayasan
komunitas warga setempat yakni Yayasan Ciliwung Merdeka (Para Penggugat)
melawan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Administrasi Jakarta Selatan
(Tergugat) yang menerbitkan ketiga objek sengketa di atas. Ketiga keputusan tata
usaha negara tersebut oleh Para Penggugat dalam pokok perkaranya digugat agar
dinyatakan batal atau tidak sah dan juga mewajibkan Tergugat untuk mencabutnya.
Hal lain yang dimintakan oleh Para Penggugat dalam penundaan adalah: 1)
mewajibkan Tergugat untuk tidak melanjutkan rencana penerbitan Surat Perintah
Bongkar Paksa untuk Wilayah Bukit Duri RW 09, 10, 11, dan 12, Kecamatan Tebet,
Jakarta Selatan; dan 2) memerintahkan Tergugat untuk tidak melakukan kegiatan
apapun yang terkait dengan pelaksanaan penertiban bangunan yang terletak di
Bantaran Kali Ciliwung, RW. 09, 10, 11, dan 12, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan
Tebet, Kota Administrasi Jakarta Selatan, sampai perkara tersebut memilik kekuatan
hukum tetap.60
Para Penggugat menggugat Tergugat atas penerbitan objek gugatan (SP I, SP
II, dan SP III) dengan dua dasar yaitu bahwa objek gugatan bertentangan dengan
undang-undang dan asas-asas umum pemerintahan baik (AUPB).61 Para Penggugat
mendalilkan bahwa Objek Gugatan bertentangan dengan dua ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pertama, Para Penggugat mendalilkan Objek Gugatan
bertentangan dengan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 2014 yang berbunyi:
“Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan:
a. Asas legalitas;
b. Asas perlindungan terhadap hak asasi manusia; dan
59 Edward Soja, op. cit, hal. 95.
60 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Putusan No.
205/G/2016/PTUN-JKT, hal. 41
61 Ibid, hal. 22-23.
362 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
c. AUPB.”62
Para Penggugat menilai bahwa Objek Gugatan bertentangan dengan asas
legalitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014
oleh karena Tergugat menggunakan Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta (selanjutnya
disingkat dengan Perda DKI Nomor 8 Tahun 2007). Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun
2007 menurut Para Penggugat merupakan dasar hukum di luar ketentuan mengenai
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Rencana Trace Kali Ciliwung
dari Pintu Manggarai-Kampung Melayu yaitu Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor
163 Tahun 2012 dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2181 Tahun 2014 yang
juga tidak memenuhi aspek legalitas karena telah daluarsa.63
Dari dalil Para Penggugat mengenai Objek Gugatan yang tidak memenuhi
aspek legalitas, dua hal yang ditekankan adalah penggunaan dasar hukum yang tidak
relevan. Penggunaan dasar hukum yang tidak relevan tersebut dinilai sebagai
penyelundupan hukum, oleh karena dasar hukum yang relevan yaitu Pergub DKI
Jakarta Nomor 163 Tahun 2012 dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2181
Tahun 2014 telah melampaui batas waktu berlakunya.64 Mengenai penggunaan dasar
hukum yang tidak relevan yaitu Perda DKI Nomor 8 Tahun 2007, hal ini menunjukkan
bahwa Tergugat telah menerapkan hukum yang koersif. Menurut Habermas, penerapan
hukum yang koersif tidak dapat menggantikan hukum yang terbentuk sesuai dengan
prosedur hukum dan kebebasan komunikatif warga negara.65 Habermas berpandangan
bahwa penerapan hukum bertentangan dengan kebebasan komunikatif masyarakat
meluruhkan legitimasi dari hukum itu sendiri oleh karena pembentukan hukum yang
berlegitimasi didasarkan pada faktisitas dan validitas sebagai rasio pembentukan
hukumnya.66
Perceraian aspek faktisitas dan validitas pada dasar hukum yang digunakan oleh
Tergugat dalam menerbitkan Objek Gugatan juga ditegaskan dengan pemaparan
Habermas mengenai legitimasi dalam konstruksi kekuasaan administratif. Habermas
menulis bahwa kekuasaan administratif seharusnya tidak berjalan di atas kakinya
sendiri melainkan mendasarkan dirinya pada kekuasaan yang dihasilkan secara
komunikatif. Absennya pembentukan kekuasaan yang komunikatif dalam hal
menggunakan Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 sebagai dasar hukum
penerbitan Objek Gugatan ini didukung dengan fakta persidangan yang disampaikan
oleh Saksi Ismah Istikamah yang merupakan Saksi ke-1 Para Penggugat. Saksi Isma
Istikamah menyampaikan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah
merupakan sosialisi mengenai Normalisasi Kali Ciliwung.67 Hal tersebut menunjukkan
bahwa dasar hukum yang digunakan Tergugat keluar konteks dan tidak memenuhi asas
demokratis dari legitimasi sehingga dasar hukum tersebut tidak dapat dipergunakan
untuk melandasi tindakan Tergugat menerbitkan Objek Gugatan.68
62 Indonesia, Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 30 Tahun
2014, LN Nomor 292 Tahun 2014, TLN Nomor 5601, Ps. 5.
63 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta Putusan No.
205/G/2016/PTUN-JKT, hal. 24.
64 Ibid, hal. 24-25.
65 Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law
and Democracy, (Cambridge, MA: The Massachussetts Institute Press, 1996), hal. 33-34.
66 Ibid., hal. 8.
67 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Putusan No.
205/G/2016/PTUN-JKT, hlm. 81.
68 Habermas menuliskan mengenai penggunaan dasar hukum yang demokratis sebagai, “Only
those statutes may claim legitimacy that can meet with the assent of all citizens in a discursive process
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 363
Ketertutupan Tergugat mengenai dasar pertimbangan yang digunakannya
dalam membuat keputusan menegaskan kembali bahwa interaksi yang dijalin dengan
warga Bukit Duri selaku kelompok terdampak melalui forum sosialisasi yang
dilakukan oleh pelaksana proyek merupakan partisipasi yang dalam tipologi Arnstein
disebut sebagai manipulation. Dari kacamata urbanis kritis hal tersebut juga
bermakna bahwa kota, yang sedang diproduksi oleh subjek-subjek tersebut melalui
Normalisasi Ciliwung sebagai salah satu program penataan ruang, dalam pengertian
abstraknya dibanding di bawah manipulasi relasi kuasa neoliberal.69 Kuatnya
amplitudo relasi kuasa dalam produksi ruang melalui perencanaan dan pelaksanaan
proyek tersebut juga menunjukkan bahwa kota dalam pengertiannya sebagai
kenyataan material menjadi ruang sengketa antara masyarakat dan pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan yang dominan.70 Padahal, idealnya, kota tidak bisa
dipisahkan dari pengertian abstraknya sebagai ruang publik, yaitu ruang yang
deliberatif. Ruang deliberatif dari pandangan Teori Komunikatif Habermas artinya
harus mampu mewujudkan deliberasi publik sebagai tindakan emansipatoris
khususnya bagi kelompok marjinal seperti masyarakat miskin kota.71
Pertimbangan pertama dari Majelis Hakim yang memiliki keterkaitan dengan
partisipasi masyarakat adalah adanya sosialisasi pada tanggal 21 April 2016 dan 2
Mei 2016. Namun, sosialisasi tersebut membahas mengenai relokasi ke rumah susun
terhadap warga Kelurahan Bukit Duri sekitar kali Ciliwung dan pada forum
sosialisasi tersebut sebagian besar warga menolak penggusuran maupun rencana
relokasi yang ke rumah susun.72 Bagian ini sebagai salah satu pertimbangan hakim
menunjukkan bahwa Majelis Hakim memiliki perspektif mengenai pentingnya
konsen yang diberikan oleh masyarakat terdampak dalam pengambilan suatu
kebijakan pemerintah sekalipun hal tersebut bertujuan untuk kepentingan umum.
Persetujuan yang diberikan oleh masyarakat terdampak merupakan hal yang penting
sebab hal tersebut termasuk ke dalam hak perlindungan hukum yang Habermas
kategorikan sebagai salah satu hak dasar kebebasan.73 Pada bagian pertimbangan
tersebut sebetulnya Majelis Hakim menekankan pada aspek persetujuan dan tidak
membahas lebih jauh mengenai forum antara pemerintah dan masyarakat seperti apa
idealnya yang mampu memastikan suatu forum diskursif dimana para pihak mampu
menyampaikan aspirasinya secara diskursif.
Pertimbangan selanjutnya dari Majelis Hakim berkenaan dengan legitimasi
Para Penggugat atas tanah maupun bangunan yang ditempatinya. Dalam memberikan
petimbangan mengenai hal tersebut, selain memperhatikan alas hak sebagaimana
yang disertakan oleh Para Penggugat, Majelis Hakim juga melakukan pemeriksaan
setempat.74 Alas hak yang disertakan Para Penggugat dalam gugatannya dan
pemeriksaan setempat yang dilakukan, Majelis Hakim memberikan pertimbangan
hukum dengan mendasarkan pada Pasal 23 dan Pasal 25 Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum (yang selanjutnya disingkat dengan Perpres
of legislation that in turn has been legally constituted.” Lihat: Jürgen Habermas, Between Facts and
Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, op. cit., hal. 110.
69 Neil Brenner, What is Critical Urban Theory?, loc. cit.
70 Henri Lefebvre, Production of Space, op. cit., hal. 111.
71 Hugh Baxter, System and Life-World in Habermas’s “Theory of Communicative Action”,
op. cit., hal. 42-43.
72 Pengadilan Tata Usaha Negara, Putusan No. 205/G/2016/PTUN-JKT, hal. 117.
73 F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang
Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hal. 81-82.
74 Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta, Putusan No. 205/G/2016/PTUN-JKT, hal. 119.
364 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Nomor 71 Tahun 2012) yang mengatur bahwa syarat mendapatkan ganti rugi bagi
warga yang menguasai tanah Negara dengan itikad baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf f yang sudah turun temurun menguasai/tinggal di tanah
negara atau memperoleh dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim memandang bahwa
Para Penggugat memiliki alas hak yang sah dan berhak untuk mendapatkan ganti rugi
atas tanah yang dikuasainya.75
Selain Pasal 23 dan Pasal 25 Perpres Nomor 71 Tahun 2012, Majelis Hakim
juga menyertakan dasar hukum yaitu Pasal 27 ayat (2) Perpres Nomor 71 Tahun 2012.
Dasar hukum tersebut Majelis Hakim gunakan sebagai dasar untuk mempertegas
pertimbangannya yang menyatakan bahwa Para Penggugat memiliki alas hak yang sah
dan berhak atas ganti rugi.76 Sebetulnya, secara substansi, Pasal tersebut mengatur
mengenai sejumlah prosedur yang harus ditempuh untuk melaksanakan pengadaan
tanah yang terdiri dari tahap-tahap, yaitu: 1) inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; 2) penilaian ganti kerugian, 3)
musyawarah penetapan ganti kerugian; dan 4) pemberian ganti kerugian.77 Adapun
berkenaan dengan hal ini, Majelis Hakim tepat menggunakan Pasal 27 ayat (2) untuk
menganjurkan pada Tergugat agar menempuh prosedur-prosedur tersebut terlebih
dahulu sebelum menerbitkan Objek Gugatan.78 Ketentuan tersebut sebetulnya dapat
dijabarkan lebih lanjut oleh Majelis Hakim untuk menguraikan dengan jelas sejauh apa
prosedur yang telah maupun belum dijalani oleh Tergugat dan menghubungkannya
dengan hak-hak Para Penggugat. Hal ini berguna mengingat, Tergugat pun mengklaim
telah melakukan prosedur pelepasan yang layak, walau demikian logika Tergugat
dalam mendalilkan pihaknya telah melaksanakan sesuai prosedur dengan cara
menyatakan Para Penggugat tidak memiliki alas hak yang sah dan adanya kepentingan
umum, tidaklah tepat.
Selain kewajiban untuk menaati prosedur pengadaan tanah sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Perpres Nomor 71 Tahun 2012, Majelis Hakim juga
menyatakan bahwa pihak Tergugat memiliki kewajiban untuk menghargai hak asasi
manusia yang dimiliki oleh Para Penggugat yakni hak atas tempat tinggal. Dalam
mendalilkan hak Para Penggugat atas tempat tinggal, Majelis Hakim mendasarkan
pertimbangannya tersebut pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, dan
juga Komentar Umum PBB Nomor 7 tentang Penggusuran Paksa. Dari dasar hukum
tersebut, Majelis Hakim menekankan bahwa musyawarah dengan itikad baik
merupakan salah satu unsur yang wajib dipenuhi pemerintah sebelum melakukan
penggusuran dan dalam hal penggusuran tidak bisa dihindari maka pemerintah harus
memastikan bahwa solusi alternatif telah disediakan.79
Pertimbangan tersebut menunjukan bahwa dalam menerapkan hukum, Majelis
Hakim memiliki sensitifitas yang baik mengenai salah satu aspek dalam keadilan
spasial yakni hak atas tempat tinggal dan pengambilan keputusan yang dilaksanakan
dengan didahului oleh suatu musyawarah dengan itikad baik.80 Pertimbangan hakim
75 Ibid, hal. 121-123.
76 Ibid.
77 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, PP Nomor 71 Tahun 2012, Lembaran Negara Nomor 156 Tahun 2012, Ps. 27
ayat (2). 78 Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta, Putusan No. 205/G/2016/PTUN-JKT, hal. 123.
79 Ibid.
80 Edward Soja, Seeking Spatial Justice, op. cit., hal. 225.
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 365
ini akan menjadi lebih monumental apabila menyertakan pula unsur-unsur dari
‘musyawarah dengan itikad baik’ dengan menggunakan dasar peraturan perundang-
undangan seperti Pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 2014, Pasal 58 UU Nomor 23 Tahun
2014 yang mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Pada pertimbangan selanjutnya, Majelis Hakim memerintahkan Tergugat untuk
menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan. Majelis Hakim
berpandangan bahwa tindakan Tergugat dalam menerbitkan Objek Gugatan dengan
mendasarkan pada Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 yang ditindaklanjuti
dengan Ingub DKI Jakarta Nomor 118 Tahun 2016 dan Instruksi Walikota Kota
Administrasi Jakarta Selatan Nomor 118 Tahun 2016 agar diselaraskan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih lebih tinggi dan relevan yaitu UU Nomor 2
Tahun 2012. Selain memerintahkan agar selaras dengan peraturan perundang-
undangan yang relevan, Majelis Hakim juga memerintahkan Tergugat agar tidak
menyimpangi ketentuan tersebut.81
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan
putusan yaitu:82
1) Menolak Permohonan Penundaan Para Penggugat;
2) Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima untuk seluruhnya;
3) Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
4) Menyatakan batal Surat Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Administrasi
Jakarta Selatan Nomor: 1916/1.758.2 tertanggal 20 September 2016 perihal Surat
Peringatan III (SP III) yang ditujukan kepada Para Pemilik/Penghuni bangunan
yang terletak di Bantaran Kali Ciliwung RW. 09, 10, 11, dan 12, Kelurahan Bukit
Duri, Kecamatan Tebet, Kota Administrasi Jakarta Selatan;
5) Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut RW. 09, 10, 11, dan 12,
Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Kota Administrasi Jakarta Selatan.
6) Menolak gugatan Para Penggugat untuk selebihnya; dan
7) Membebankan kepada Terguat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp.942.600,00.
Putusan yang dijatuhkan koheren dengan pertimbangan-pertimbangan oleh
Majelis Hakim. Putusan dan pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini menunjukkan bahwa dalam menjatuhkan putusannya Majelis
Hakim mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan pentingnya partisipasi
masyarakat yang diskursif dalam pengambilan kebijakan di bidang penataan ruang.
Namun, empat hari setelah putusan tersebut dijatuhkan di Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta, Tergugat mengajukan banding terhadap putusan tersebut. Dalam
pertimbangannya, majelis hakim di tingkat banding menyatakan bahwa seharusnya
yang menjadi objek sengketa dalam kasus tersebut hanya Surat Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor: 1916/1.758.2 tanggal 20
September 2016 perihal Surat Peringatan III (SP III) sebagaimana keputusan tata
usaha negara tersebut merupakan tindak lanjut terhadap kedua surat peringatan yang
telah terbit terlebih dahulu. Dalam pertimbangan pada putusan tersebut yang nampak
adalah betapa terlampau sederhananya pertimbangan majelis hakim di tingkat
banding yang sebatas mempertimbangkan keberadaan undangan pemberitahuan
sosialisasi sebagai bentuk komunikasi antara Para Penggugat yang merupakan warga
dengan Tergugat. Pertimbangan tersebut juga digunakan dalam mempertimbangkan
apakah penerbitan objek sengketa telah sesuai dengan ketentuan peraturan
81 Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta, Putusan No. 205/G/2016/PTUN-JKT, hal. 124.
82 Ibid., hal. 127.
366 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kesimpulannya,
majelis hakim pada tingkat banding memutuskan untuk membatalkan Putusan No.
205/G/2016/PTUN-JKT dan menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.83
Pertimbangan-pertimbangan dan putusan pengadilan yang didiskusikan di atas
memuat diskriminasi akut terhadap Penggugat. Majelis hakim pada tingkat banding
tidak mengakui berbagai bukti kepemilikan tanah dan bangunan yang diajukan oleh
warga sebagai alas hak yang sah warga atas tanah dan bangunan yang ditempatinya
sedangkan Perpres No. 71 Tahun 2012 mengakui beragam dokumen kepemilikan
pertanahan dapat dipertimbangkan dalam proses pengadaan tanah untuk kepengtingan
umum. Berkenaan dengan ini, tinjauan konsep keadilan spasial memandang bahwa
Putusan No. 95/B/2017/PT.TUN. JKT tidak memenuhi aspek keadilan spasial karena
bahkan aspirasi warga terdampak sebagai Para Penggugat pun tidak dilibatkan dalam
pertimbangan putusannya.
2. Gugatan Tata Usaha Negara tentang Penggusuran di Bidara Cina (Putusan
No. 59/G/2016/PTUN-JKT dan Putusan Mahkamah Agung No.
267/K/TUN/2016)
Kasus lain yang menjadi objek telaah penataan ruang berkenaan dengan
program Normalisasi Ciliwung adalah sengketa tata usaha negara antara Radiah, et al
(warga Bidara Cina) melawan Gubernur DKI Jakarta yang dalam hal ini dengan objek
sengketa Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2779 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 81 Tahun 2014 tentang
Penetapan Lokasi untuk Pembangunan Inlet Sodetan Sungai Ciliwung Menuju Kanal
Banjir Timur di Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Kota Administrasi
Jakarta Timur (Kepgub DKI Jakarta No. 2779 Tahun 2015) which was signed by the
then Governor of yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki
Tjahaja Purnama, pada 17 Desember 2015.
Para Penggugat dalam sengketa ini mengajukan gugatan berdasarkan pada dua
hal. Pertama, Para Penggugat mendalilkan bahwa objek sengketa bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Para Penggugat memandang bahwa Gubernur DKI
Jakarta sebagai Tergugat dalam merumuskan keputusan tata usaha negara yang
kemudian pada perkara ini disengketakan melanggar sejumlah ketentuan peraturan
perundang-undangan yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Para Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat dalam merumuskan dan
mengesahkan Kepgub DKI Jakarta Nomor 2779 Tahun 2015 tidak
mempertimbangkan hak asasi manusia Para Penggugat sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), 28G ayat (1) dan 28I ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.84 Pada gugatannya, Para Penggugat
tidak memberikan elaborasi pasal per pasal tentang pelanggaran hak asasi manusia
yang dideritanya. Dalam pemaparan yang Para Penggugat uraikan, pelanggaran hak
asasi manusia yang cukup besar resonansinya dari gugatan tersebut berkenaan dengan
83 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, Putusan No. 95/B/2017/PT.TUN. JKT,
hal. 11. 84 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Putusan No.
59/G/2016/PTUN-JKT, hal. 16. Adapun pasal-pasal yang didalilkan oleh Para Penggugat adalah Pasal
28A, 28D ayat (1), 28G ayat (1), dan 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 367
hak atas tempat tinggal dan keterlibatan dalam pemerintahan yang dalam hal ini
merupakan pengambilan keputusan tentang pembebasan lahan yang mengenai tempat
tinggal Para Penggugat yang ditempati sejak tahun 1950.85 Fenomena pembebasan
lahan tanpa konsensus masyarakat yang terjadi di sejumlah tempat menjadi ketakutan
tersendiri yang membayangi Para Penggugat sebagaimana dituliskannya dalam
gugatan. Hal tersebut memuat dua persoalan relasi yakni relasi Para Penggugat dalam
politik dan relasi Para Penggugat dengan ruang sebagai sumber penghidupannya.
Pembacaan keadilan spasial terhadap isu ini tidak hanya berhenti pada tataran yang
mengeksaminasi pengakuan terhadap adanya pelanggaran hak asasi manusia yang
menyangkut aspek politik dan ekonomi, maupun kepentingan ekonomis Para
Penggugat sebagai warga terdampak dalam kasus ini untuk dengan demikian
menjustifikasi hak politisnya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
tersebut. Sen berpandangan bahwa relasi ekonomi-politik yang menempatkan
kepentingan ekonomi sebagai kausa dari adanya hak politik bukan merupakan konsep
logis yang tepat dalam memahami kepentingan ekonomi itu sendiri. Sen
berpandangan bahwa justru konseptualisasi masyarakat tentang kebutuhan ekonomi
yang bergantung pada deliberasi masyarakat secara terbuka. Ujaran Sen yang
menempatkan deliberasi masyarakat sebagai faktor yang memiliki kualitas
determinan akan konseptualisasi ekonomi menunjukkan kompatibilitasnya dengan
konsep keadilan spasial yang menghendaki agar keadilan diwujudkan dengan
pengusahaan aktif oleh berbagai subjek yang ada di masyarakat itu sendiri.86
Penggunaan norma yang lebih operasional untuk mendukung klaim Para
Penggugat tentang haknya atas tanah dan berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan terlihat dalam dalil Para Penggugat yang didasarkan pada Pasal 1 angka 2,
Pasal 5, dan Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2012.87 Dalam rumusan gugatan yang
didasarkan pada Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan 28I ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Pasal 1963 dan
Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Para Penggugat memposisikan
dirinya sebagai pihak dengan hak-hak yang harus dihornati oleh pihak lain karena
adanya hak-hak tersebut. Pasal 1 angka 2, Pasal 5, dan Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 memiliki rumusan yang menunjukkan adanya hubungan kausal
antara hak dan kewajiban, dalam hal ini adalah pengakuan akan hak dari pihak yang
berhak dalam hal ini Para Penggugat, sejumlah prosedur yang wajib dijalani
keduanya, dan kewajiban dari Para Penggugat untuk melepaskan tanahnya ketika
sudah menerima ganti rugi.
Pemberian ganti rugi bukan merupakan satu-satunya prosedur yang wajib
dijalani untuk membebaskan suatu tanah, untuk sampai pada kesepakatan melakukan
mekanisme ganti rugi, para pihak harus melalui sejumlah tahapan terlebih dahulu,
yaitu: a) perencanaan, b) persiapan, c) pelaksanaan, dan d) penyerahan hasil.88
Konteks perencanaan yang dimaksudkan dalam Pasal 13 UU omor 2 Tahun 2012 juga
perlu dipahami dengan baik, program penataan ruang dan pembebasan lahan
merupakan dua hal yang berbeda. Dalam hal ini, program Normalisasi Ciliwung dan
85 Ibid, hal. 17-18.
86 Amartya Sen, Development as Freedom, (New York: Alfre A. Knopf, Inc., 2000), hal. 148.
87 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Putusan No.
59/G/2016/PTUN-JKT, hal. 20-21.
88 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, UU
Nomor 2 Tahun 2012, LN Nomor 22 Tahun 2012, TLN Nomor 5280, Ps. 13.
368 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
pembebasan lahan yang dilakukan untuk pembangunan inlet sudetan Kali Ciliwung.89
Normalisasi Ciliwung merupakan program Sosialisasi maupun pembangunan
konsensus yang dilakukan untuk masing-masing hal tidak demikian menjadi alasan
yang serta merta membenarkan maupun menandakan persetujuan atas hal lainnya.
Sebagaimana yang diuraikan dari keterangan Saksi Marcus Juli Dwiyanto yang
menyatakan bahwa pada tanggal 2 Februari 2014, diadakan sosialisasi tentang
penetapan lokasi untuk Normalisasi Ciliwung sebelum terbitnya Kepgub DKI Jakarta
Nomor 81 Tahun 2014.90 Dalam sosialisasi tersebut, sebagaimana yang dijelaskan
dari keterangan Saksi Sri Mulyani, warga hanya diberikan informasi teknik dan
penetapan lokasi tanpa adanya konsultasi publik.91
Saksi Marcus Juli Dwiyanto juga menguraikan bahwa setelah terbitnya Kepgub
DKI Jakarta Nomor 81 Tahun 2014, warga tidak pernah menerima bentuk fisik dari
keputusan tersebut maupun peta yang merupakan lampirannya bahkan setelah berkali-
kali diminta sekalipun.92 Di tengah kondisi yang sedemikan simpang siur mengenai
kepastian hukum tempat tinggalnya, Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut Para
Penggugat uraikan bahwa Tergugat telah menentukan harga objek sebelum
mengeluarkan Kepgub DKI Jakarta Nomor 2779 Tahun 2015 tanpa adanya
musyawarah yang dilakukan dengan Para Penggugat.93 Padahal, pada dasarnya
masyarakat Bidara Cina mendukung program Normalisasi Sungai dan bersedia
direlokasi asalkan jelas dan diberikan ganti rugi yang layak. Akan tetapi, bahkan untuk
terbitnya Kepgub DKI Jakarta Nomor 2779 Tahun 2015 yang mengubah luas
penetapan lokasi menjadi ± 10.357 m2 dilakukan tanpa melalui konsultasi sama sekali
dengan masyarakat Bidara Cina. Namun, pendirian masyarakat Bidara Cina berubah
oleh karena ketidakpastian dari pihak pemerintah sehingga masyarakat kemudian
menolak dengan alasan lainnya adalah mengubah luas lokasi penetapan tanpa
konsultasi dan disertai dengan AMDAL baru yang dianggap oleh Para Penggugat
merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas kecermatan dan asas tidak
menyalahgunakan wewenang.94
Berdasarkan gugatan dan fakta persidangan tersebut, partisipasi yang dilakukan
termasuk kategori tokenism khususnya tipe informing dimana pemerintah
menginformasikan kepada masyarakat mengenai hak dan kewajibannya namun dalam
forum yang bersifat satu arah dan tidak ada ruang untuk dilakukannya negosiasi.95 Oleh
karenanya, Para Penggugat juga berpendapat bahwa diterbitkannya Kepgub DKI
Jakarta Nomor 2779 Tahun 2015 tanpa musyawarah mufakat sebagai bentuk
pelanggaran terhadap asas ketidakberpihakan.96
Terhadap gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat, Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut memberikan pertimbangannya sebelum
menjatuhkan putusan. Majelis Hakim memberikan pertimbangan yang menekankan
89 Normalisasi Ciliwung merupakan Program Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat yang dilaksanakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, pembebasan lahan
untuk proyek dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
90 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Putusan No.
59/G/2016/PTUN-JKT, hal. 99.
91 Ibid, hal. 107.
92 Ibid, hal. 100.
93 Ibid, hal. 21-22.
94 Ibid., hal. 27-28.
95 Sherry Arnstein, “A Ladder of Citizen Participation,” JAIP, Vol. 35, No. 4, (July 1969),
hal. 221. 96 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Putusan No.
59/G/2016/PTUN-JKT, loc. cit.
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 369
pada sejumlah aspek prosedural yang harus ditaati oleh para pihak yang mempunyai
kepentingan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Inlet Sudetan Kali Ciliwung
Menuju Kanal Banjir Timur di Kelurahan Bidara Cina yang dalam hal ini duduk
sebagai Para Penggugat dan Tergugat. Pada pertimbangan yang disusunnya, Majelis
Hakim juga menyertakan subjek-subjek yang dirujuk oleh UU Nomor 2 Tahun 2012
dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(selanjutnya disingkat dengan Perpres Nomor 71 Tahun 2012) sebagai Pihak yang
Berhak untuk menerima ganti rugi.
Pasal 17 ayat (2) Perpres Nomor 71 Tahun 2012 mengatur bahwa Pihak yang
Berhak adalah: a) pemegang hak atas tanah; b) pemegang pengelolaan; c) nadzir
untuk tanah wakaf; d) pemilik tanah bekas milik adat; e) masyarakat hukum adat; f)
pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik ; g) pemegang dasar
penguasaan atas tanah; dan/atau h) pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang
berkaitan dengan tanah. Sikap Majelis Hakim dengan menggunakan dasar hukum ini
sebagai salah satu pertimbangannya menunjukkan sikap yang terbuka dan sensitif
akan adanya berbagai relasi antara manusia dengan tanah. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Majelis Hakim tidak hanya memberikan pengakuan terhadap adanya
penguasaan de facto seseorang atas tanah melainkan juga sifat mutualistis antara
ruang dan masyarakat yang ditimbulkan dari adanya penguasaan de facto tersebut.
Relasi mutual tersebut yang juga kemudian menjadi dasar bagi hukum untuk
melekatkan penguasa faktualnya sebagai pihak yang berhak untuk menerima ganti
rugi yang berkeadilan. Namun, adanya ketentuan tersebut kerap tidak diaplikasikan
dengan baik. Seperti halnya yang ditemukan dari keterangan Saksi Marcus Juli
Dwiyanto, dalam sosialisasi maupun pertemuan dengan masyarakat, pemerintah tidak
membedakan berbagai macam subjek dan hak atas tanah yang dapat dimilikinya.
Sehingga, masyarakat beranggapan bahwa adanya hak pemerintah atas tanah dengan
serta merta akan mengeliminasi hak mereka atas tanah maupun ganti rugi yang
berkeadilan.97
Ketidakhadiran dan ketiadaan tanggapan dari Tergugat maupun kuasanya
memang membuat proses persidangan ini tidak dialogis. Terdapat sejumlah klaim
dari pihak Para Penggugat mengenai tindakan maupun ujaran dari Tergugat yang
perlu diklarifikasi kebenarannya, terlebih lagi jika ujaran tersebut merupakan
keterangan saksi di persidangan yang redaksinya tidak selalu lengkap. Sehingga,
persidangan perkara ini tidak begitu mampu menampilkan dua sisi untuk tindakan
komunikatif antara Para Penggugat sebagai sumber legitimasi atas kekuasaan formal
yang dijalankan oleh Tergugat sebagai pemegang kekuasaan administratif.98 Adapun
berdasarkan pemaparan dari pihak Para Penggugat dan pertimbangan yang diberikan
oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini di PTUN Jakarta,
teridentifikasi adanya kecacatan pembentukan legitimasi dalam ruang publik
sebagaimana yang dijabarkan oleh Habermas.
Pertama, pada tahap pertama dasar hukum yang digunakan oleh Para
Penggugat dan diperkuat dalam pertimbangan hakim adalah prosedur pengadaan
tanah untuk kepentingan umum berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres
Nomor 71 Tahun 2012. Prosedur yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 dan
Perpres Nomor 71 Tahun 2012 secara normatif sudah cukup ketat dalam memastikan
bahwa pelaksanaan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilangsungkan
97 Ibid, hal. 101.
98 Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law
and Democracy, op. cit., hal. 8.
370 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
secara demokratis, misalnya kewajiban untuk terlebih dahulu menyusun dokumen
Rencana Pengadaan tanah dengan konten yang komprehensif,99 prosedur wajib
berupa melakukan pemberitahuan, sosialisasi, dan konsultasi yang berlandaskan pada
prinsip konsensualisme.100
Kecacatan penyusunan legitimasi dari perspektif ruang publik pada Penetapan
Lokasi Untuk Pembangunan Inlet Sudetan Kali Ciliwung Menuju Kanal Banjir Timur
di Kelurahan Bidara Cina terjadi pada tahap kedua yaitu pelaksanaan dalam program
pragmatis yang pada kasus ini praktek kekuasaan administratif tidak sepenuhnya
berkesesuaian dengan ketentuan hukum yang diuraikan sebelumnya. Berdasarkan
keterangan Para Penggugat, pihak pemerintah inkonsisten baik dalam bersikap maupun
keterangannya. Artinya, dari kacamata ruang publik, pelaksanaan kekuasaan
administratif Penetapan Lokasi Untuk Pembangunan Inlet Sudetan Kali Ciliwung
Menuju Kanal Banjir Timur di Kelurahan Bidara Cina tidak dapat dianggap sebagai
praktek kekuasaan administratif yang berlegitimasi. Oleh karena pelaksanaan
kekuasaan administratif tersebut tidak berlegitimasi, masyarakat menggugat ke
pengadilan. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini di tingkat
pertama menjatuhkan putusan dengan amar: 1) Mengabulkan gugatan Para Penggugat
untuk seluruhnya, 2) Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor
2779 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 81
Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi Untuk Pembangunan Inlet Sudetan Kali
Ciliwung Menuju Kanal Banjir Timur di Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan
Jatinegara, Kota Administrasi Jakarta Timur, 3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut
tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 81 Tahun 2014
tentang Penetapan Lokasi Untuk Pembangunan Inlet Sudetan Kali Ciliwung Menuju
Kanal Banjir Timur di Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Kota
Administrasi Jakarta Timur, dan 4) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya
perkara.101
Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta terhadap perkara
tersebut ternyata terdapat dissenting opinion dari Hakim Ketua Majelis dengan alasan
bahwa gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat telah melewati batas waktu yang
diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata
Usaha Negara (selanjutnya disingkat dengan Perma Nomor 2 Tahun 2016) mengatur
bahwa batas waktu mengajukan gugatan penetapan lokasi adalah 30 hari sejak
99 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, Perpres Nomor 71 Tahun 2012, Ps. 3 jo. Ps. 5 ayat (1) . dalam pasal ini diatur
bahwa dokumen Rencana Pengadaan Tanah paling sedikit memuat:
a) Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b) Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Prioritas Pembangunan;
c) Letak tanah;
d) Luas tanah yang dibutuhkan;
e) Gambaran umum status tanah;
f) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
g) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
h) Perkiraan nilai tanah; dan
i) Rencana penganggaran.
100 Ibid., Ps. 8, 9, 10, 11 dan 34.
101 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Putusan No.
59/G/2016/PTUN-JKT, op. cit., hal. 153-154.
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 371
diumumkan Penetapan Lokasi.102 Menurut Hakim Ketua Majelis dengan alasan
tersebut, gugatan para Penggugat seharusnya tidak dapat diterima.103 Masalah lampau
waktu mengajukan gugatan ini juga yang kemudian menjadi dalil Tergugat dalam
mengajukan kasasi.104 Tergugat yang kemudian duduk sebagai Pemohon Kasasi
mendalilkan bahwa Perma Nomor 2 Tahun 2016 merupakan lex specialis dari UU
Nomor 5 Tahun 1986 sehingga batas waktu pengajuan gugatan menurut Perma
Nomor 2 Tahun 2016 yang harus diterapkan. Majelis Hakim yang mengadili kasasi
mengafirmasi permohonan kasasi tersebut dengan kemudian menjatuhkan putusan
dengan diktum: 1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Gubernur DKI Jakarta, 2)
Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negeri Jakarta Nomor
59/G/2016/PTUN-JKT, 3) Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima,
dan 4) Menghukum Para Termohon Kasasi (Para Penggugat) untuk membayar biaya
perkara dalam semua tingkat pengadilan.105 Pada putusan kasasi ini, penerapan
hukum dan pertimbangan hakimnya tidak mengindahkan aspek-aspek keadilan
spasial maupun hak asasi manusia dari Para Penggugat. Pertimbangan hakim pada
Putusan MA RI No. 267/K/TUN/2016 benar-benar berfokus pada dalil Gubernur DKI
Jakarta mengenai pengajuan gugatan lewat waktu dengan argumentasi asas lex
specialis derogate legi generalis. Bahkan dalam mempertimbangkan alasan kasasi
dari Pemohon Kasasi cenderung bersifat permisif terhadap kesalahan-kesalahan
prosedural yang menimbulkan akibat bagi Para Penggugat.106
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan penelusuran normatif dan teoretis yang telah diuraikan,
kesimpulan dari studi ini pada pokoknya adalah:
1. Keterkaitan antara partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengendalian
pemanfaatan ruang dengan konsep keadilan spasial tidak semuanya terjabarkan
dengan baik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tertentu.
Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang telah cukup memberikan basis mengenai partisipasi masyarakat yang
dikatakan sebagai salah satu prinsip dalam penataan ruang di Indonesia. Akan
tetapi basis tersebut harus berhadapan dengan kontradiksi yang juga terkandung
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang
menganut sistem perencanaan ruang hierarkis (top-down). Sehingga, aspirasi
yang masyarakat sampaikan tentang penataan ruang dapat selalu tereliminasi
apabila pemerintah berkehendak lain. Hal tersebut terbukti pada kasus dalam
Putusan Nomor 205/G/2016/PTUN-JKT tentang Penggusuran di Kelurahan
Bukit Duri dimana ketiadaan konsensus masyarakat terhadap suatu kegiatan
penataan ruang tidak menghentikan jalannya kegiatan tersebut.
Paradoks lain yang lebih akut ditemukan dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-
2025. Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025, dikatakan bahwa prinsip dan
102 Mahkamah Agung, Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara, Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 2 Tahun 2016, Ps. 4.
103 Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Putusan No.
59/G/2016/PTUN-JKT, op. cit., hlm. 146-152.
104 Mahkamah Agung, Putusan No. 267/K/TUN/2016, hal. 30.
105 Ibid., hal. 35-36.
106 Ibid., hal. 23.
372 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
visinya adalah mewujudkan pembangunan yang berdasarkan pada partisipasi
aktif masyarakat. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025 juga menyebutkan
secara gamblang mengenai eksklusifitas kelompok tertentu yang akan digiatkan
dalam proses pembangunan.
Pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam peraturan perundang-
undangan lain pada tataran daerah yang diteliti dalam tulisan ini yaitu Peraturan
Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Tahun 2030 dan Peraturan
Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun
2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi memiliki
substansi pengaturan yang secara umum sama dengan bentuk, tahap, dan
ketentuan mengenai partisipasi masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Akan tetapi, dengan ketentuan tersebut partisipasi masyarakat terutama pada
tahap perencanaan ruang seolah tidak dimungkinkan oleh karena kedua peraturan
daerah tersebut dalam hukum administrasi negara dikenal sebagai perencanaan
yang mengenal batas waktu. Sehingga, sebenarnya pada saat peraturan daerah
tersebut diundangkan perencanaan ruang secara yuridis telah selesai.
2. Penerapan keadilan spasial pada program Normalisasi Sungai Ciliwung di Provinsi
DKI Jakarta (studi kasus Putusan Nomor 59/G/2016/PTUN-JKT dan Putusan MA
RI No. 267/K/TUN/2016 tentang Penggusuran di Kelurahan Bidara Cina, dan
Putusan Nomor 205/G/2016/PTUN-JKT tentang Penggusuran di Kelurahan Bukit
Duri): Tergugat dalam kasus Putusan Nomor 205/G/2016/PTUN-JKT yaitu
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Administrasi Jakarta Selatan terlihat
tidak memperhatikan kepastian hukum bagi masyarakat terdampak yang
diantaranya berhadapan dengan Tergugat sebagai Para Penggugat. Dari berbagai
dalil dan dasar hukum yang Tergugat gunakan dalam proses pengadilan tersebut,
terlihat bahwa pemerintah sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam
penataan ruang memiliki kecenderungan untuk menerapkan sistem penataan ruang
yang hierarkis (top-down) dan tidak mengutamakan aspirasi yang terbentuk dari
partisipasi masyarakat.
Pada kasus penggusuran di Kelurahan Bidara Cina, Gubernur DKI Jakarta
yang merupakan Tergugat dalam Putusan Nomor 59/G/2016/PTUN-JKT tidak
bersikap konsisten dalam menerapkan hukum. Sebelum terbitnya Kepgub DKI
Jakarta Nomor 2779 Tahun 2015 yang menjadi objek sengketa pada perkara
tersebut, pihak Tergugat tidak melaksanakan konsultasi dan menerbitkan objek
sengketa tersebut tanpa persetujuan warga. Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara pada tingkat pertama sudah cukup berperspektif keadilan spasial dalam
memutus perkara tersebut. Akan tetapi, putusan pada pengadilan tingkat pertama
kemudian dibatalkan oleh Putusan MA RI No. 267/K/TUN/2016 yang
pertimbangannya tidak memperhatikan deliberasi publik sebagai salah satu alasan
hukum dalam memutus permohonan kasasi yang diajukan oleh Gubernur DKI
Jakarta.
VII. REKOMENDASI
Secara konseptual, pemerintah perlu melakukan rekonsepsi reflektif mengenai
masyarakat dan posisinya dalam pemerintahan khususnya penataan ruang. Oleh karena,
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 373
sebagai negara yang mengaku menganut demokrasi maka legitimasi dari hukum dan
berbagai tindakan yang dilakukan haruslah dibentuk berdasarkan kehendak otentik
masyarakat itu sendiri. Pengakuan dan upaya yang konsisten untuk menjadikan
masyarakat subjek dalam kehidupan bernegara (tidak sekedar menjadi normadressaat)
akan membentuk suatu jaringan interaksi positif antara masyarakat dengan pemerintah
dan sebagaimana yang diyakini oleh para utopian urbanists akan membangun
masyarakat dan pemerintah yang berempati.
Pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam penataan ruang di
Indonesia adalah untuk mengatur mengenai konsensus masyarakat dalam penataan
ruang, khususnya pada tahap perencanaan ruang. Sehingga, legitimasi yuridis
pemerintah untuk melakukan berbagai tindakan dalam penataan ruang tidak menjadi
alat opresi terhadap masyarakatnya sendiri. Pengaturan mengenai konsensus
masyarakat sebagai variabel utama dalam berbagai perumusan kebijakan penataan
ruang di Indonesia juga turut membentuk ketaatan masyarakat dalam penataan ruang
dan yang lebih utamanya lagi adalah membentuk masyarakat dan pemerintah sebagai
komunitas yang berkesadaran mengenai tanggungjawab penataan ruang di Indonesia
dan tidak semata-mata berperspektif antroposentris oleh karena rasa tanggungjawab
tersebut meliputi pula kesadaran akan adanya resiprositas antara manusia dengan
ruangnya sebagaimana yang diujarkan oleh Lefebvre.
DAFTAR PUSTAKA
Arnstein, Sherry. “A Ladder of Citizen Participation.” JAIP. Vol. 35. No. 4 (July
1969). Hal. 216-224.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. Indonesia: Urban
Poverty and Program Review. Indonesia: Bank Dunia, 2013.
Bassett, Sarah Mina. The Role of Spatial Justice in The Regeneration of Urban
Spaces. Illinois: University of Illinois, 2013.
Baxter, Hugh. “System and Life-World in Habermas’s “Theory of Communicative
Action”.” Theory and Society. Vol. 16 No. 1. (Jan 1987). Hal. 39-86.
Beall, Jo dan Sean Fox. Cities and Development. New York: Routledge, 2009.
Brenner, Neil. New State Spaces Urban Governance and the Rescaling of Statehood.
New York: Oxford University Press, 2004.
Brenner, Neil, Peter Marcuse & Margit Mayer. Ed. Cities for People, Not For Profit.
New York: Routledge, 2012.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang
Penguasaan Perencanaan/Peruntukkan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum Rencana Trace Kali Ciliwung dari
Pintu Air Manggarai-Kampung Melayu, PerGub Nomor 163 Tahun 2012. BD
Nomor 157 Tahun 2012.
________. Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang Perpanjangan
Penetapan Lokasi Untuk Pelaksanaan Pembangunan Trace Kali Ciliwung
Dari Pintu Air Manggarai Sampai Dengan Kampung Melayu. SK Nomor
2181 Tahun 2014.
Fainstein, Susan dan Scott Campbell. Ed. Readings in Planning Theory. Oxford:
Blackwell Publisher, 1997.
374 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Fraser, Nancy. “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of
Actually Existing Democracy.” Social Text. No. 25/26 (1990). Hal. 56–80.
Frey, William H. dan Zachary Zimmer. Defining the City and Levels of Urbanization,
Report No. 98-423, September 1998. Ann Arbor: Population Studies Center
University of Michigan, 1998.
Gosepath, Stefan. “Equality.” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2011
Edition). https://plato.stanford.edu/archives/spr2011/entries/equality/, Diakses
pada 22 Februari 2019.
Guidry, John A. “The Struggle to Be Seen: Social Movements and the Public Sphere
in Brazil.” International Journal of Politics, Culture, and Society. Vol. 16,
No. 4 (Summer, 2003). Hal. 493-524
Habermas, Jürgen. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory
of Law and Democracy. Cambridge, MA: The Massachussetts Institute Press,
1996.
Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang
Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2009.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUD
NRI Tahun 1945.
________. Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
UU Nomor 2 Tahun 2012. LN Nomor 22 Tahun 2012. TLN Nomor 5280.
________. Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan. UU Nomor 30
Tahun 2014. LN Nomor 292 Tahun 2014. TLN Nomor 5601.
________. Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman Daerah. PP Nomor Nomor 54
Tahun 2005. LN Nomor 136 Tahun 2005, TLN Nomor 4574.
________. Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau
Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
PP Nomor Nomor 2 Tahun 2006.
________. Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar
Negeri dan Penerimaan Hibah. PP Nomor Nomor 10 Tahun 2011.
________. Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman Daerah. PP Nomor 30 Tahun
2011.
________. Peraturan Pemerintah tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat
Dalam Penataan Ruang. PP Nomor 68 Tahun 2010. LN Nomor 118 Tahun
2010. TLN Nomor 5160.
________. Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Perpres Nomor 71 Tahun 2012. LN Nomor 156 Tahun
2012.
Innes, Judith E. “Planning Through Consensus Building: A New View of the
Comprehensive Planning Ideal.” Journal of the American Planning
Association. Vo. 62 No. 4 (1996). Hal. 460-472
Lefebvre, Henri. The Production of Space. Oxford: Blackwell, 1991.
________. The Urban Revolution. Minnesota: University of Minnesota Press, 2003.
Mahkamah Agung. Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha
Negara. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2016.
________. Putusan No. 267/K/TUN/2016.
Mantysalo, Raine. “Approaches to Participation in Urban Planning Theories.”
Rehabilitation of suburban areas–Brozzi and Le Piagge neighbourhoods
(2005). Hal. 1-16.
Tinjauan terhadap Konsep Keadilan Spasial, Shafira Anindia Alif H., Savitri Nur Setyorini 375
Moeliono, Tristam Pascal. Spatial Management in Indonesia: From Planning to
Implementation cases from West Java and Bandung, A Socio-legal Study.
Disertasi Leiden University, 2011.
Parnell, Susan dan Edgar Pieterse, ”The ‘Right to the City’: Institutional Imperatives
of a Developmental State. International Journal of Urban and Regional
Research. Volume 34, Issue 1 (2010). Hal. 146-162.
Pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Putusan No.
59/G/2016/PTUN-JKT.
________. Putusan Nomor 205/G/2016/PTUN-JKT.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Putusan No.
95/B/2017/PT.TUN. JKT.
Sen, Amartya. Development as Freedom. New York: Alfre A. Knopf, Inc., 2000.
________. The Idea of Justice. London: Penguin Books, 2010.
Soja, Edward. Seeking Spatial Justice. Minneapolis: University of Minnesota Press,
2010.
The World Bank. "Jakarta Urgent Flood Mitigation Project."
http://www.projects.worldbank.org/P111034/jakarta-urgent-flood-mitigation-
project?lang=en&tab=overview Diakses pada 28 Januari 2019.
Williams, Justin. Toward a Theory of Spatial Justice. Annual Meeting of the Western
Political Association. Los Angeles: University of Michigan, 2013.