ArticlePDF Available

PENGATURAN KARAKTERISTIK BENEFICIARY OWNER DI INDONESIA

Authors:

Abstract

Tulisan ini dibuat untuk menganalisa ruang lingkup dan jangkauan pengaturan karakteristik Pemilik Manfaat (Beneficiary Owner) serta potensi penggunaan Pengaturan keterbukaan Pemilik Manfaat terhadap Korporasi di sektor pertambangan di Indonesia. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Tulisan ini menunjukkan Keberadaan Beneficial Owner (BO) telah dikenal dalam konstruksi hukum Indonesia. Meskipun pada UU PT dan UU Penanaman Modal tidak secara tegas mengatur mengenai BO, namun pengaturan BO telah nampak pada regulasi yang lebih teknis yaitu dalam bidang perpajakan. Kejelasan BO akan dapat membantu dalam menentukan pertanggungjawaban hukum bila pelanggaran hukum oleh korporasi terjadi. Lahirnya Perpres 13/2018 semakin memperkuat kewajiban membuka dan mengenali BO di Indonesia. Sehingga Perpres 13/2018 dapat menjadi instrumen yang membantu mengenali dan mengidentifikasi pihak yang paling bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi akibat operasi usaha korporasi. Oleh karena itu, perlu adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak menjalankan prinsip pengenalan dan keterbukaan BO. Sehingga sebaiknya kewajiban keterbukaan BO diatur kedalam instrumen hukum Undang-undang sehingga memuat mekanisme sanksi administratif dan pidana.
PENGATURAN KARAKTERISTIK BENEFICIARY OWNER
DI INDONESIA
Kusrini Purwijanti dan Iman Prihandono
kusrinimhunair@gmail.com
Universitas Airlangga
Abstract
The purpose of this research is to analyze the scope and the range of characteristics setting in
benecial owner and also the potential of Mining Corporation in Indonesia. The legal research
methods that have been used were statute approach, conceptual approach, and case approach.
The research shows that the presence of Benecial Owner is recognized in legal construction in
Indonesia. Although Corporate Law (Undang-Undang Perseroan Terbatas) and Investment Law
(Undang-Undang Penanaman modal) did not assertively arrange Benecial Owner, its arrangement
can been seen in more technical regulations -- namely, the eld of taxation. The clarity of Benecial
Owner can help in determining the liability and responsibility should any environmental damage
occur. The enactment of Presidential Regulation (Perpres) 13/2018 strengthens the obligation to
clarify and recognize Benecial Owner especially in mining sector so that when it is combined
with the Mining Minister Regulation (Peraturan Menteri Sumber Daya Mineral) 48/2017, they
can be instruments that can help identify the most responsible person for the damage done by
the corporate’s operation in mining sector. Therefore, there need to be an assertive sanction for
companies who do not undertake the principle of recognition and clarication of Benecial Owner
which should be arranged in a legal instrument that regulates sanctions and criminal mechanisms.
In mining sector, public should be given the opportunity to obtain information regarding Benecial
Owner and shorten the mechanism to obtain the information.
Keywords: Beneciary Owner; BO; transparency principle.
Abstrak
Tulisan ini dibuat untuk menganalisa ruang lingkup dan jangkauan pengaturan karakteristik Pemilik
Manfaat (Beneciary Owner) serta potensi penggunaan Pengaturan keterbukaan Pemilik Manfaat
terhadap Korporasi di sektor pertambangan di Indonesia. Metode penelitian hukum yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach) dan pendekatan kasus (case approach). Tulisan ini menunjukkan Keberadaan Benecial
Owner (BO) telah dikenal dalam konstruksi hukum Indonesia. Meskipun pada UU PT dan UU
Penanaman Modal tidak secara tegas mengatur mengenai BO, namun pengaturan BO telah nampak
pada regulasi yang lebih teknis yaitu dalam bidang perpajakan. Kejelasan BO akan dapat membantu
dalam menentukan pertanggungjawaban hukum bila pelanggaran hukum oleh korporasi terjadi.
Lahirnya Perpres 13/2018 semakin memperkuat kewajiban membuka dan mengenali BO di Indonesia.
Sehingga Perpres 13/2018 dapat menjadi instrumen yang membantu mengenali dan mengidentikasi
pihak yang paling bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi akibat operasi usaha korporasi. Oleh
karena itu, perlu adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak menjalankan prinsip pengenalan
dan keterbukaan BO. Sehingga sebaiknya kewajiban keterbukaan BO diatur kedalam instrumen hukum
Undang-undang sehingga memuat mekanisme sanksi administratif dan pidana.
Kata Kunci: Beneciary Owner; Pemilik Manfaat; Prinsip keterbukaan.
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary 52
Notaire
Article history: Submitted 1 May 2018; Accepted 15 May 2018; Available online 1 Juny 2018.
e-ISSN:
DOI:
Vol. 01 No. 1, Juni 2018
53 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
Pendahuluan
Benecial Ownership (BO) pertama kali muncul dalam perjanjian pajak
tahun 1942 antara Kanada dan Amerika Serikat. Perjanjian ini mengandung konsep
BO, meskipun bukan pengecualian partisipasi penuh atau mengurangi pajak pada
dividen intra-grup ketika dibayarkan oleh anak perusahaan. Anak perusahaan
kemudian didenisikan sebagai perusahaan yang sahamnya dengan hak suara
penuh di mana dimiliki oleh korporasi lain dan bahwa maksimum 25 persen dari
pendapatannya adalah pendapatan pasif dari sumber lain selain, pada gilirannya,
sebagai anak perusahaan. Persyaratan kepemilikan manfaat berfokus pada
bahwa saham harus dipegang oleh pemilik manfaat. Dalam Protokol Perjanjian
tahun 1966 antara Inggris dan Amerika Serikat adalah pertama kalinya doktrin
kepemilikan manfaat berfokus pada bahwa pemilik manfaat harus memiliki hak
atas penghasilan yang berasal dari hak-hak seperti ekuitas, hutang, dan kekayaan
intelektual.1 Negara berkembang kehilangan sekitar US$1 triliun per tahun atau
sekitar Rp10 ribu triliun sebagai hasil tindak pidana ilegal dari deal lintas negara.
Beberapa diantaranya melibatkan perusahaan dengan kepemilikan yang tidak jelas.
Ketidakterbukaan informasi BO dapat menyebabkan hilangnya potensi ekonomi
dan pendapatan negara. Hal tersebut terjadi akibat dari peluang penghindaran
pajak (tax avoidance) oleh wajib pajak.2
Berdasarkan laporan Global Financial Integrity tahun 2014, Indonesia
menempati urutan ke-7 dari 10 negara besar dengan aliran uang haram (illicit
financial flow/IFF) terbesar di dunia. IFF di Indonesia tahun 2003-2012
mencapai US$187.884 juta atau rata-rata Rp169 triliun per tahun. Tahun
2014, IFF Indonesia diperkirakan mencapai Rp227,7 triliun atau setara 11,7
persen APBN-P pada tahun tersebut. Di sektor Pertambangan, diperkirakan
Rp23,89 triliun, sebesar Rp21,33 triliun berasal trade miss-invoicing, dan
1 Fredrik Hagmann, ‘Benecial Ownership - A Concept in Identity Crisis’ (Lund University
2017).[16].
2 Maryati Abdullah, ‘Menguak Benecial Ownership, Membongkar Kamuase Ekonomi’
<https://pwyp-indonesia.org/id/155817/menguak-beneficial-ownership-membongkar-kamu-
ase-ekonomi> accessed 14 March 2018.
54
Rp2,56 triliun dari aliran uang panas/ hot money narrow. Kerugian Indonesia
mencapai US$ 18,071 jt/tahun.3
Sebagai negara anggota G20, Indonesia pada tahun 2014 telah menyepakati
High Level Principle on Benecial Ownership and Transparency.Prinsip ini
menekankan pentingnya transparansi, ketersediaan informasi BO yang akurat dan
dapat diakses oleh lembaga yang berwenang.BOseringkali juga disebut sebagai
“Pemilik Manfaat Sebenarnya” atas suatu korporasi.Keterbukaan BO merupakan
bagian dari kerangka prinsip anti Penggerusan Pendapatan dan Pengalihan
Keuntungan atau yang dikenal dengan Base Erosion and Prot Shifting (BEPS).
Dorongan keterbukaan informasi ini terjadi hampir di seluruh dunia terutama
negara-negara maju untuk mengejar para wajib pajak mereka yang menaruh serta
mengalihkan kewajiban pajaknya di negara-negara suaka pajak (tax haven).
Sayangnya, keterbukaan BO seringkali hanya dikaitkan dengan isu-isu pencucian
uang, penghindaran pajak, korupsi dan pendanaan terorisme.Padahal transparansi BO
sangat terkait dengan upaya penegakan hukum pada umumnya terhadap korporasi.
Keterbukaan BO sebenarnya berpotensi untuk digunakan sebagai instrumen bagi
penegakan hukum lingkungan, hukum ketenagakerjaan dan perlindungan konsumen.
Tulisan ini membahas permasalahan hukum terkait dengan pengaturan
BO di Indonesia. Penulis menganalisa ruang lingkup dan jangkauan pengaturan
karakteristik BO di Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengidentikasi
kelebihan dan kekurangan dari pengaturan keterbukaan BO di Indonesia.Bagian
kedua akan membahas aspek perusahaan dan Perseroan Terbatas. Bagian ketiga
membahas konsep BO dan perkembangannya. Pada Bagian keempat penulis
menganalisa standar internasional yang mengatur BO. Bagian kelima akan
dibahas mengenai pengaturan BO di Indonesia. Bagian ketujuh adalah penutup.
Tulisan ini menemukan meskipun keberadaan BO dalam struktur hukum
Indonesia sudah diperjelas dengan lahirnya Perpres 13/2018, namun Perpres
ini masih mengandung beberapa kelemahan. Salah satu diantara kelemahan ini
3 Global Finance Integrity, Illicit Financial Flows from Developing Countries 2004-2014 (2015).
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
55 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
adalah belum adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak menjalankan
prinsip pengenalan dan keterbukaan BO.
Perusahaan dan Perseroan Terbatas
Sebelum membahas mengenai Beneciary Owner (BO) secara khusus, perlu
ada pemahaman terlebih dahulu pengertian perusahaan secara umum. Perusahaan
adalah suatu pengertian ekonomi yang banyak dipakai dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidak memberikan
penafsiran maupun penjelasan resmi tentang denisi perusahaan. Dengan mengacu
kepada undang-undang wajib daftar perusahaan,4 maka perusahaan didenisikan
sebagai “setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat
tetap, terus-menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah
negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”.5 Dengan
demikian didapatkan pengertian bahwa perusahaan merupakan suatu badan usaha
yang memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Pada taraf ini belum ada
suatu pengaturan terkait badan hukum suatu perseroan.
Sumber hukum perusahaan adalah setiap pihak yang menciptakan kaidah atau
ketentuan hukum perusahaan. Pihak-pihak tersebut dapat berupa badan legislatif
yang menciptakan undang-undang, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
yang menciptakan kontrak, hakim yang memutus perkara yang menciptakan
yurisprudensi, masyarakat pengusaha yang menciptakan kebiasaan mengenai
perusahaan. Dengan demikian, hukum perusahaan itu terdiri dari kaidah atau
ketentuan yang tersebar dalam perundang-undangan, kontrak, yurisprudensi, dan
kebiasaan mengenai perusahaan.6
Untuk menggali pengertian perusahaan dengan mendasarkan pada KUHD
sebagai sumber utama hukum perusahaan,dapat ditelusuri melalui sejarah
terbentuknya undang-undang tersebut. Rumusan tentang perusahaan sebagaimana
4 Pasal 1 huruf (b), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
5 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia (Citra Aditya Bakti 1999).[1].
6 ibid.
56
dijabarkan dalam Memorie van Toelichting atau penjelasan undang-undang
menjelaskan sebagai berikut:
Pemerintah Belanda (Menteri Kehakiman Belanda) yang pada waktu itu
membacakan memorie van toelichting dari Rencana Undang-undang Wetboek
van Koophandel di depan parlemen, menjelaskan bahwa yang disebut dengan
perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara tidak
terputus-putus dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk
mencari laba (bagi dirinya sendiri).7
Perusahaan juga dapat dilihat dari denisinya yang diartikan ke dalam bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Indonesia makna kata perusahaan mempunyai dua arti,
yaitu onderneming dan bedrijf yang dapat dijelaskan sebagai berikut8 :
a. Onderneming, yang berarti suatu bentuk hukum (rechtsvorm) dari seuatu
perusahaan seperti misalnya Perseroan Terbatas, Firma, Persekutuan
Komanditer.
Jadi jika dikatakan onderneming, maka yang dimaksudkan adalah menunjuk
pada bentuk hukumnya dan ini dapat berbentuk dua macam, yaitu:
1) Badan hukum; atau
2) Bukan badan hukum.
b. Bedrijf, yang berarti kesatuan teknik untuk produksi seperti misalnya Huisvlijt
(home industry atau industri rumah tangga atau rumahan), nijverheid (kerajinan
atau suatu keterampilan khusus), fabriek (pabrik).
Sedangkan Perseroan Terbatas memiliki pengertian yang khusus.Kata
“perseroan“ menunjuk kepada modalnya yang terdiri atas sero (saham). Sedangkan
kata “terbatas“ menunjuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak
melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian dan dimilikinya.9 Jadi suatu
perseroan terbatas adalah salah satu bentuk badan usaha yang ada dan diakui dalam
sistem hukum dagang Indonesia dimana pemegang saham bertanggung
jawab sebatas nilai nominal saham yang dimilikinya.
7 R.T. Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan:
Bentuk-Bentuk Perusahaan Yang Berlaku Di Indonesia (1 ed, Raja Grando Persada).[4].
8 ibid.[3].
9 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia (Citra Aditya Bakti
1991).[68].
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
57 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
Terhadap Perseroan Terbatas ini, dikenal beberapa penyebutan dalam bahasa yang
berbeda, antara lain:Dalam bahasa Inggris disebut dengan Limited (Ltd.) Company,
atau Limited Liability Company, ataupun Limited (Ltd.) Corporation. Dalam bahasa
Belanda disebut dengan Naamlooze Vennootschap atau yang biasa sering disebut NV.
Dalam bahasa Jerman disebut dengan Gesselschaft mit Beschrankter Haftung. Dalam
bahasa Spanyol disebut dengan Sociedad De Responsabilidad Limitada. Di Malaysia
disebut dengan Sendirian Berhad (SDN BHD). Di Singapura disebut Private Limited
(Pte Ltd). Di Jepang disebut dengan Kabushiki Kaisa.10
Perseroan Terbatas sendiri di Indonesia yang aslinya bernama Naamloze
Venootschap (Company Limited by Shares) atau biasa disingkat N.V secara khusus
telah diatur pada Bagian III dari Buku I KUHD dari Pasal 36 dan 56, namun dikarenakan
sedikitnya peraturan yang diatur dalam KUHD itu sendiri maka KUHD menyatakan
bahwa peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetbook)
berlaku atas hal yang tidak diatur dalam KUHD, hal ini dapat dijumpai dalam Pasal
1 KUHD yang berbunyi: “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seberapa jauh
daripadanya dalam Kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan,
berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini”.11
Kemudian pada tahun 1995 akhirnya diterbitkanlah undang-undang yang
secara khusus mengatur mengenai Perseroan Terbatas yaitu UU no. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT 1995). Dengan
diterbitkannya undang-undang ini maka peraturan di dalam KUHD yang mengatur
tentang perseroan berikut dengan seluruh perubahan yang ada terhadapnya, terakhir
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang Perubahan Dan Penambahan Atas
Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (STBL. 1847:23),
dinyatakan tidak lagi berlaku.12 Sampai pada yang terakhir adalah penerbitan
Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut
UUPT) yang menggantikan UUPT 1995.
10 Ahmad Yani dan GunawanWidjaja, Loc.Cit.
11 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas (Citra Aditya Bakti 1996).[1].
12 Pasal 128 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
58
Pada Pasal 1 angka 1 UUPT memberi pengertian bahwa Perseroan Terbatas
yang biasa disingkat PT, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasar perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang. Dalam pengertian yang telah disebutkan mengenai Perseroan
Terbatas, dapat temukan unsur-unsur dari Perseroan Terbatas, yaitu:
1. Merupakan badan hukum
Kelahiran Perseroan sebagai badan hukum (rechtpersoon, legal entity) , karena
dicipta atau diwujudkan melalui proses hukum (created by legal pricess)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.13 Beberapa teori yang
dikemukakan oleh para ahli mengenai badan hukum adalah sebagai berikut14:
a. Teori ksi dari Von Savigny
Von Savigny berpendapat bahwa badan hukum itu semata-mata buatan
negara saja. Sebetulnya menurut alam, hanya manusia saja sebagai
subyek hukum. Badan hukum hanya suatu ksi saja, yaitu sesuatu yang
sesungguhnya tidak ada. Namun orang menciptakan dalam bayangannya
sebagai suatu pelaku hukum (badan hukum), sehingga sebagai subyek
hukum diperhitungkan sama dengan manusia.
b. Teori harta kekayaan bertujuan dari Brinz
Brinz berpendapat bahwa hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek
hukum. Tetapi juga tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu
kekayaan, sedangkan tidak ada satu manusiapun yang menjadi pendukung
hak-hak itu. Sebenarnya yang dinamakan hak-hak dari suatu badan
hukum adalah hak-hak yang tidak ada yang mempunyainya dan sebagai
penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan
atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan.
c. Teori organ dari Otto von Gierke
13 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Sinar Graka 2015).[36].
14 Ali Rido, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf (Alumni 1986).[9-10].
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
59 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
Menurutnya badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama
seperti sifat kepribadian alam manusia yang ada di dalam pergaulan hukum.
Ia tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu
juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui
alat-alat perlengkapannya (pengurus atau anggota-anggotanya). Dan apa
yang mereka putuskan adalah kehendak atau kemauan dari badan hukum.
Teori ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda
dengan manusia.
d. Teori propriete cellective dari Planiol
Menurut teori ini, hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakekatnya
adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Orang-orang yang
berhimpun itu semuanya merupakan satu kesatuan dan membentuk
suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Maka dari itu badan hukum
adalah suatu konstruksi yuridis saja. Dalam transaksi bisnis, PT sendiri
dimungkinkan menjadi pihak debitur ataupun kreditur, dan lebih jauh lagi
dalam perkembangannya, PT sudah bisa dikenai sanksi pidana, seperti
contohnya pidana denda.15
2. Merupakan Perkumpulan Modal
Sebenarnya di dalam Perseroan itu sendiri terdapat 2 perkumpulan, yaitu
perkumpulan pemegang saham (aandeelhouder, shareholder) dan juga
perkumpulan modal. Akan tetapi yang lebih dititikberatkan dalam undang-
undang adalah tentang perkumpulan modalnya bukan perkumpulan orang
ataupun anggotanya yang terdapat dalam perkumpulan tersebut seperti yang
diatur dalam Pasal 1618 KUH Perdata.16 Umumnya yang dimaksud dengan
perkumpulan (association) adalah suatu wadah untuk kerjasama yang relatif
lama dan terus menerus antara dua orang atau lebih dengan maksud agar dapat
dipermudah dicapainya suatu tujuan yang dikehendaki.17
15 Nindyo Pramono, ‘Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara’ (2012).[1].
16 M. Yahya Harahap (n 13).Op.Cit.[36].
17 Rudhi Prasetya (n 11).Op.Cit.[30-31].
60
3. Didirikan berdasarkan perjanjian
Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, artinya harus ada sekurang-
kurangnya dua orang yang bersepakat mendirikan perseroan, hal ini harus
dibuktikan dengan secara tertulis yang mana telah tersusun dalam Akta
Pendirian yang wajib dibuat dalam bentuk Akta Notaris yang di dalamnya
berisi Anggaran Dasar yang wajib memperoleh pengesahan dari Menteri
Hukum dan HAM serta wajib diumumkan di Tambahan Berita Negara RI
untuk kepentingan publikasi.18
4. Melakukan kegiatan usaha
Dapat dipahami bahwa melakukan kegiatan ini dapat diartikan jika Perseroan
melakukan usaha berupa penyediaan barang ataupun jasa.
5. Modal dasar yang terbagi atas saham
Setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan sebagai badan
hukum, yang terpisah dari harta kekayaan pribadi dari pendiri atau promotor,
organ perseroan, dan pemegang saham.19
6. Memenuhi persyaratan Undang-Undang
Hal ini menegaskan bahwa perseroan sebagai badan hukum haruslah memenuhi
tata aturan perundang-undangan yang telah ada dimulai dari awal pendirian,
kegiatan perusahaan, organ, serta administrasi hingga tanggung jawab
sosialnya pada masyarakat seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dengan beberapa komponen
peraturan pelaksanannya yaitu:
a. Peraturan Pemerintah (disingkat PP) tentang tata cara pengajuan dan
pemakaian nama Perseroan (Pasal 9 ayat 14);
b. Peraturan Menteri tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Keputusan
Pengesahan Perseroan memperoleh status badan hukum (Pasal 5 ayat 1);
c. Peraturan Menteri tentang aturan Daftar Perseroan (Pasal 29 ayat 5);
d. PP tentang Perubahan Besarnya Modal Dasar (Pasal 32 ayat 3);
e. PP tentang besarnya jumlah nilai keuangan Perseroan yang wajib diserahkan
18 Nindyo Pramono (n 15).Op.Cit.[5].
19 ibid.
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
61 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
laporannya oleh Direksi kepada akuntan publik (Pasal 68 ayat 6);
f. PP tentang Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 4);
g. PP tentang Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalilan (Pasal 134);
h. PP tentang Pemisahan (Pasal 136).
Sebagai suatu badan (legal entity), yaitu badan hukum yang mandiri (persona
standi in judicio), Perseroan Terbatas tentunya memiliki sifat dan karakteristik yang
berbeda dari bentuk usaha yang lain. Karakteristik suatu PT yaitu sebagai berikut:20
1) Sebagai asosiasi modal;
2) Kekayaan dan utang PT adalah terpisah dari kekayaan dan utang Pemegang
Saham;
3) Pemegang Saham:
a. Bertanggung jawab hanya pada apa yang disetorkan, atau tanggung jawab
terbatas (limited liability);
b. Tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan (PT) melebihi nilai
saham yang telah diambilnya;
c. Tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas
nama perseroan.
4) Adanya pemisahan fungsi antara Pemegang Saham dan Pengurus atau Direksi;
5) Memiliki Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas;
6) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan
dalam Undang undang ini dan/atau anggaran dasar.21
Perkembangan Konsep Beneciary Owner
Negara berkembang kehilangan sekitar US$1 triliun per tahun atau sekitar
Rp10 ribu triliun sebagai hasil tindak pidana ilegal dari deal lintas negara. Beberapa
di antaranya melibatkan perusahaan dengan kepemilikan yang tidak jelas (unclear
ownership). Ketidakterbukaan informasi BO dapat menyebabkan hilangnya
potensi ekonomi dan pendapatan negara.Hal tersebut terjadi akibat dari peluang
penghindaran pajak (tax avoidance) oleh wajib pajak.22
Berdasarkan laporan Global Financial Integrity tahun 2014, Indonesia
menempati urutan ke-7 dari 10 negara besar dengan aliran uang haram (illicit
20 I.G Ray Wijaya, Berbagai Peraturan Dan Pelaksanaan Undang-Undang Di Bidang Usaha
(Megapoin 2003).[142-143].
21 ibid.
22 Maryati Abdullah (n 2).
62
nancial ow/IFF) terbesar di dunia.IFF di Indonesia tahun 2003-2012 mencapai
US$187.884 juta atau rata-rata Rp169 triliun per tahun. Tahun 2014, IFF Indonesia
diperkirakan mencapai Rp227,7 triliun atau setara 11,7 persen APBN-P pada tahun
tersebut. Di sektor Pertambangan, diperkirakan Rp23,89 triliun, sebesar Rp21,33
triliun berasal trade miss-invoicing, dan Rp2,56 triliun dari aliran uang panas.
Kerugian Indonesia mencapai US$ 18,071 jt/tahun.23
Beberapa pihak juga melakukan mekanisme treaty shopping untuk
mendapatkan manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang
dilakukan oleh pihak yang seharusnya tidak berhak. Penghindaran pajak melalui
treaty shopping terjadi karena lemahnya peraturan yang ada dalam P3B, sehingga
menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum yang tidak berhak atas
manfaat-manfaat P3B, misalnya mendapatkan tarif pajak yang lebih rendah dari
tarif yang seharusnya dikenakan oleh negara sumber penghasilan.
Langkah antisipasi yang banyak dilakukan adalah melalui penerapan konsep
benecial ownership.BOdisepakati sebagai satu-satunya pihak yang berhak untuk
mendapatkan manfaat P3B. Pendenisian BO secara global pada awalnya banyak
dikontruksi oleh OECD, terutama melalui beberapa putaran konvensi model
perpajakan (OECD Model Tax Convention). Dalam OECD Working Party 2011, BO
didenisikan sebagai individu penerima manfaat yang sebenarnya. OECD membagi
tiga jenis pemilik dan penerima manfaat sebenarnya: (1) dalam sebuah perusahaan,
BO adalah pemegang saham (shareholder) atau anggota; (2) dalam sebuah kerja
sama (partnership), BO adalah pihak partner baik yang sifatnya terbatas maupun
umum; (3) dalam sebuah trust atau foundation, BO adalah pendiri. BO mengacu
pada orang (natural person) yang pada akhirnya memiliki atau mengendalikan
pelanggan dan /atau orang yang atas nama transaksi sedang dilakukan. Ini juga
termasuk orang-orang yang menjalankan kontrol yang paling efektif atas orang atau
pengaturan hukum. Referensi untuk “pada akhirnya memiliki atau mengendalikan”
dan “kontrol tertinggi yang efektif” mengacu pada situasi dimana kepemilikan/
23 Global Finance Integrity (n 3).
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
63 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
kontrol dilakukan melalui suatu rantai kepemilikan atau dengan cara mengendalikan
pihak lain (kontrol secara tidak langsung).24
BO adalah orang (natural person) yang pada akhirnya mendapat manfaat
yang diperoleh dari kepemilikan efek yang menguntungkan, dan/atau memiliki
kekuatan untuk mengendalikan/pengaruh terhadap hak suara yang melekat pada
saham tersebut (walaupun jika secara hukum saham tersebut secara dokumen atas
nama orang lain/dipegang oleh orang lain). Meski biasanya BO selalu dikaitkan
dengan orang perseorangan/natural person namun harus dicatat bahwa badan
hukum/legal person juga bisa menjadi pemilik tertinggi jika pemilik yang paling
menguntungkan adalah Negara atau BUMN.25
Beberapa Manfaat BO antara lain: Memberikan kepastian hukum atas
pertanggungjawaban pidana karena memudahkan pencarian identitas dalam
membongkar kasus pidana; Memudahkan pencarian dan pembuktian tindak pidana
pencucian uang (TPPU); Melindungi korporasi dan pemilik manfaat yang beritikad
baik; Optimalisasi pemulihan aset dari pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian
uang; Implementasi bisnis yang sehat dan menghindari monopoli pasar; serta
Mencegah konik kepentingan dalam kepemilikan sumber daya publik, misalnya
dalam hal kepemilikan Izin Usaha Pertambangan (IUP).26
Sedangkan beberapa kerugian dengan tidak adanya keterbukaan informasi
BO adalah hilangnya potensi ekonomi dan pendapatan negara karena peluang
penghindaran pajak oleh wajib pajak dan secara spesik dalam bidang pasar
modal dan sektor keuangan dapat terjadi proses jual beli harga yang semu
karena perusahaan penjual memiliki aliasi kepemilikan dengan perusahaan
pembeli. Bursa pasar uang tidak berjalan sempurna karena pembeli maupun
penjual bisa saja dikendalikan oleh BO yang sama, membuat kinerja bursa tidak
24 Financial Action Task Force, ‘FATF Guidance Transparency and Benecial Ownership’ (2014)
<http://www.fatf-ga.org/media/fatf/documents/reports/Guidance-transparency-benecial-ownership.
pdf> accessed 14 March 2018.
25 The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), ‘Disclosure of
Benecial Ownership and Control in Listed Companies in Asia’ (2016) <https://www.oecd.org/daf/
ca/Disclosure-Benecial-Ownership.pdf> accessed 14 March 2018.
26 Maryati Abdullah (n 2).Loc.Cit.
64
mencerminkan kinerja yang sebenarnya. Sehingga terjadi kamuase dalam
pergerakan indeks harga.27
Pengaturan Benecial Owner dalam Standar Internasional
1. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)
OECD pertama kali menggunakan istilah benecial ownership dalam dalam
OECD Model Tax Convention on Income and on Capital tahu 1997 yang diadopsi
dari pengertian BO dalam sistem common law, yaitu pihak yang memenuhi kriteria
sebagai pemilik tanpa adanya keharusan pengakuan kepemilikan dari sudut pandang
hukum. Istilah ini terdapat dalam tiga pasal, Pasal 10 (Dividend), pasal 11 (Interest)
dan Pasal 12 (Royalty), dimana dari tiga pendapatan tersebut didenisikan siapa pihak
yang dapat dianggap sebagai penerima fasilitas tarif pasak yang lebih rendah di negara
sumbernya. Pada tahun 1986, OECD menggunakan istilah BO dalam Commite on
Fiscal Affairs Report dimana terdapat beberapa pengecualian BI misalnya conduit
companies karena perusahaan ini hanya berperan sebagai perantara antara penerima
dan pembayar penghasilan yang membuka kemungkinan adanya kondisi dimana
fasilitas tax treaty diberikan kepada pihak yang sebenarnya tidak berhak. Selain
itu, conduit companies hanya menjalankan fungsi administrative atau dusiari dari
perusahaan induknya dengan diberikannya wewenang untuk membentuk perjanjian
sehingga hanya memiliki wewenang terbatas dari pemilik yang sebenarnya. Pada tahun
2003, OECD mendenisikan BO secara lebih komprehensif dengan mengartikannya
sebagai pihak (individu) penerima manfaat yang sebenarnya. Dalam hal ini, otoritas
pajak harus mengidentikasi pemilik sebenarnya dari suatu entitas. OECD juga
menekankan bahwa BO harus diartikan dalam perspektif yang luas dan disesuaikan
konteksnya dengan melihat tujuan pembentukan tax treaty termasuk dalam upaya
pencegahan pajak berganda dan penggelapan pajak.28
27 ibid.
28 Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, ‘Benecial Owner Dalam OECD Model Tax Conven-
tion (MTC): Sejarah Dan Perkembangan Terkini’ (2012) <https://www.kemenkeu.go.id/sites/defaul
t/les/benecial ownership - aplikasi dalam tax treaty.pdf> accessed 15 March 2018.
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
65 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
Pada tahun 2011, OECD mengusulkan perubahan terhadap interpretasi
BO melalui Discussion Draftdengan menambahkan paragraph baru dalam
Penjelasan Pasal 10 yang menjelaskan bahwa nominee, agent, atau conduit
company bukan merupakan BO sebab penerima penghasilan tidak mempunyai
wewenang penuh untuk menggunakan maupun memanfaatkan penghasilan
yang diterimanya. Selanjutnya dijelaskan bahwa BO adalah pihak yang
menerima penghasilan (dividen, bunga dan royalty) yang memiliki keleluasaan
dan kewenangan dan keputusan penuh untuk menggunakan dan memanfaatkan
penghasilan tersebut tanpa halangan seperti adanya kontrak atau kewajiban
lain secara hukum untuk meneruskan penghasilan tersebut kepada pihak lain.29
Pada tahun 2012, dibuat rancangan penjelasan makna BO dalam Commentaries
OECD Model 2012.Dalam commentaries ini, OECD menghapus kata ‘full
right to use and enjoy’ dan menggantinya dengan limited rights’ sehingga
meskipun tidak terdapat kewajiban secara kontraktual, namun persyaratan
BO dianggap telah terpenuhi.30
2. Financial Action Task Force (FATF)
FATF adalah badan antar pemerintah yang didirikan pada tahun 1989 yang
bertujuan untuk menetapkan standar dan mempromosikan pelaksanaan langkah-
langkah hukum dan operasional yang efektif untuk memberantas praktik pencucian
uang, pembiayaan terorisme dan ancaman terkait lainnya terhadap integritas
sistem keuangan internasional. Dengan bekerjasama dengan badan internasional
lainnya, FATF juga bertujuan untuk mengidentikasi kerentanan di tingkat
nasional dengan tujuan melindungi sistem keuangan internasional dari berbagai
tindakan penyalahgunaan.Rekomendasi FATF menetapkan kerangka tindakan yang
29 The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), ‘Clarication
of the Meaning of Benecial Ownership in the OECD Model Tax Convention Discussion Draft’
<http://www.oecd.org/tax/treaties/47643872.pdf> accessed 21 March 2018.
30 The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), ‘OECD Model
Tax Convention Revised Proposals Concerning The Meaning of Benecial Owner in Articles 10,
11 Dan 12’ (2012) <http://www.oecd.org/ctp/ treaties/ Benecialownership.pdf> accessed 21 March
2018.
66
komprehensif dan konsisten bagi negara harus dalam rangka memerangi pencucian
uang dan pendanaan terorisme.31
Rekomendasi FATF dibuat pada tahun 1990 sebagai inisiatif untuk memerangi
penyalahgunaan sistem keuangan oleh orang yang melakukan pencucian uang dalam
transaksi narkoba.Pada tahun 1996, rekomendasi tersebut direvisi untuk pertama
kalinya untuk mencerminkan tren dan teknik pencucian uang yang berkembang
dan untuk memperluas cakupannya.Pada bulan Oktober 2001, FATF memperluas
mandat untuk menangani masalah pendanaan aksi teroris dan organisasi teroris,
dan mengambil langkah penting untuk menciptakan Delapan (kemudian diperluas
menjadi Sembilan) Rekomendasi Khusus pada Pembiayaan Teroris. Rekomendasi
FATF direvisi untuk kedua kalinya pada tahun 2003, telah didukung oleh lebih dari
180 negara dan diakui secarauniversal sebagai standar internasional untuk anti
pencucian uang dan melawan pembiayaan terorisme.32
Rekomendasi FATF mensyaratkan negara-negara untuk memastikan dan
menyediakan informasi yang memadai, akurat dan tepat waktu terkait dengan BO suatu
perusahaan serta dapat diakses oleh pihak yang berwenang. Standar yang ditetapkan
oleh FATF mendukung upaya untuk mencegah dan mendeteksi kategori pelanggaran
lain di bidang pajak dan korupsi. Dalam hal ini, tindakan yang dapat dilakukan oleh
negara adalah mengimplementasikan prinsip transparasi sesuai dengan rekomendasi
FATF.Rekomendasi 24 terkait dengan transparansi dan BO dari legal person.Negara-
negara harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah penyalahgunaan legal
person untuk tindakan pencucian uang atau pendanaan teroris.
Negara-negara harus memastikan bahwa terdapat informasi yang cukup,
akurat dan tepat waktu tentang BO dan kontrol dari legal person yang dapat diperoleh
atau diakses secara tepat waktu oleh otoritas yang berwenang. Khususnya, negara-
negara yang memiliki legal personyang dapat mengeluarkan saham atas tunjuk
31 Financial Action Task Force, ‘International Standards on Combating Money Laundering
and The Financing of Terrorism & Proliferation: The FATF Recommendations’ (2016) <http://www.
fatf-ga.org/media/fatf/documents/recommendations/pdfs/FATF_ Recommendations. pdf> ac-
cessed 19 March 2018.
32 ibid.
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
67 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
(bearer shares) atau waran bearer shares, atau yang memungkinkan pemegang
saham nominee atau direktur nominee, harus mengambil langkah-langkah efektif
untuk memastikan bahwa mereka tidak disalahgunakan untuk pencucian uang atau
pendanaan teroris. Negara-negara harus mempertimbangkan langkah-langkah untuk
memfasilitasi akses informasi terkait BO oleh lembaga keuangan dan Designated
Non-Financial Businesses and Professions (DNFBPs) untuk melaksanakan
persyaratan yang ditetapkan dalam Rekomendasi 10 dan 22.
Dalam catatan interpretif terhadap Rekomendasi 24, FATF menjelaskan
bahwa untuk menentukan siapa pemilik manfaat dari suatu perusahaan, otoritas
yang berwenang membutuhkan informasi dasar terkait perusahaan, paling sedikit
informasi tentang kepemilikan hukum dan struktur perusahaan. Hal ini akan
mencakup informasi tentang status dan wewenang perusahaan, pemegang saham
dan direktur. Semua perusahaan yang didirikan di suatu negara harus terdaftar dan
informasi dasar minimum yang harus dicatat adalah: (1) nama perusahaan, bukti
penggabungan, bentuk hukum, status, alamat dari kantor yang terdaftar, pengaturan
dasar (misalnya memorandum dan artikel asosiasi), dan daftar direksi; (2) daftar
pemegang saham dan/atau anggotanya, yang berisi nama-nama pemegang saham
dan anggota serta jumlah saham yang diperoleh masing-masing pemegang saham
serta kategori sahamnya (termasuk sifat hak suara terkait).33
Selanjutnya terkait informasi BO, demi terpenuhinya mekanisme negara
harus memastikan bahwa informasi tentang BO suatu perusahaan diperoleh
dari perusahaan itu dan tersedia di lokasi tertentu di negara mereka atau BO
dapat ditentukan oleh otoritas yang berwenang. Hal ini dapat dipenuhi jika
negara mensyaratkan perusahaan yang terdaftar untuk memberikan informasi
terkini tentang BO perusahaan dan menggunakan informasi yang ada termasuk
informasi yang diperoleh dari lembaga keuangan dan/atau DNFBP, otoritas yang
berwenang lainnya (misalnya terkait pendaftaran perusahaan dan pajak), serta
informasi lain yang tersedia mengenai perusahaan yang terdaftar di bursa efek, di
33 ibid.[86].
68
mana pengungkapan persyaratan (baik dengan aturan bursa saham atau melalui
undang-undang atau sarana yang dapat ditegakkan) memberlakukan persyaratan
untuk menjamin transparansi BO.34
Sedangkan Rekomendasi 25 berisi tentang transparansi dan BO dari
pengaturan hukum.Negara-negara harus mengambil langkah-langkah untuk
mencegah penyalahgunaan pengaturan hukum untuk pencucian uang atau
pendanaan teroris. Secara khusus, negara-negara harus memastikan bahwa terdapat
informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang express trust, termasuk
informasi tentang penyelesai, pihak yang menerima amanat dan pihak penerima
yang dapat diperoleh atau diakses secepatnya oleh otoritas yang berwenang. Negara
harus mempertimbangkan langkah-langkah untuk memfasilitasi akses informasi
terhadap BO oleh lembaga keuangan dan DNFBP untuk melaksanakan persyaratan
yang ditetapkan dalam Rekomendasi 10 dan 22.35
Dalam catatan interpretif terhadap Rekomendasi 25, negara-negara harus
mewajibkan wali amanat untuk menyampaikan informasi dasar tentang agen dan
penyedia jasa bagi perusahaan, termasuk penasihat atau manajer investasi, akuntan,
dan penasihat pajak.Selain itu, negara harus mengambil langkah-langkah untuk
memastikan bahwa para wali amanat mengungkapkan status mereka kepada lembaga
keuangan dan DNFBP ketika dia sebagai wali amanat, membentuk hubungan bisnis
atau melaksanakan suatu transaksi sesekali di atas ambang batas.Wali amanat tidak
boleh dicegah oleh hukum dalam pengungkapan segala informasi tersebut.36
Pada KTT Brisbane November 2014, G20 mengadposi High-Level Principles
on Benecial Ownership Transparency dengan menggambarkan bahwa transparansi
keuangan merupakan isu dengan prioritas yang tinggi. Prinsip G20 dibentuk
berdasarkan Financial Action Task Force (FATF) yang menetapkan standar global
untuk anti pencucian uang.G20 berkomitmen untuk memimpin dengan memberi
contoh dengan mengesahkan serangkaian prinsip inti mengenai transparansi
34 ibid.[87].
35 ibid.[22].
36 ibid.[91].
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
69 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
benecial owner dan pengaturan hukum yang berlaku di seluruh anggota G20.
Prinsip-prinsip ini dibangun berdasarkan instrumen dan standar internasional
yang ada, dan memungkinkan eksibilitas yang memadai juga untuk kerangka
konstitusional dan hukum yang berbeda-beda di tiap negara. Kesepuluh prinsip
tersebut meliputi elemen berikut:37
1. Thedenition of a beneciary owner;
Negara harus memiliki denisi beneciary owner, yaitu natural persons yang
pada akhirnya memiliki atau mengendalikan orang yang berwenang dalam
suatu legal person serta pengaturannya;
2. Riskassessments relating to legal entities and arrangements;
Negara harus menilai risiko yang ada dan yang akan timbul terkait dengan
berbagai jenis legal person dan pengaturan hukum, yang harus ditangani dari
perspektif domestik dan internasional.
3. Benecialownership information of legal entities;
Negara harus memastikan bahwa legal person mengurus informasi terkait BO
yang terdapat di lapangan secara layak, akurat dan tepat waktu.
4. Accessto benecial ownership information of legal entities;
Negara harus memastikan pihak otoritas yang berwenang (termasuk penegak
hukum, badan pengawas, penuntut umum, unit intelejen keuangan) memiliki
akses informasi terkait BO.
5. Benecialownership information of trusts;
Negara harus memastikan bahwa express trust memberikan segala informasi
terkait BO.
6. Accessto benecial ownership information of trusts;
Negara harus memastikan pihak otoritas yang berwenang mendapat akses
informasi berkaitan dengan BO pada sistem wali amanat.
7. Rolesand responsibilities of nancial institutions and businesses and professions;
37 Maira Martini dan Maggie Murphy, ‘Just for Show?Reviewing G20 Promises on Benecial
Ownership’ (2015) <https://transparency.eu/wp-content/uploads/2016/11/TI_G20-Benecial-Own-
ership-Promises_2015.pdf> accessed 19 March 2018.
70
Negara harus mensyaratkan institusi keuangan dan DNFBP untuk memberikan
informasi serta menerapkan sistem sanksi terhadap ketidakpatuhan.
8. Domesticand international cooperation;
Negara harus memastikan bahwa otoritas nasional bekerja sama secara efektif
dengan menerapkan standar internasional yang ada.
9. Benecial ownership information and tax evasion;
Negara harus mendukung upaya G20 untuk memberantas penghindaran
pajak dengan memastikan informasi BO dapat diakses oleh otoritas pajak.
10. Bearer shares and nominees;
Negara harus menyampaikan penyalahgunaan oleh legal person atau
pengaturan hukum yang ada yang dapat menghalangi transparansi, termasuk
melarang adanya saham atas tunjuk serta melaksanakan langkah efektif untuk
memastikan legal person yang menmpraktikan pemilik saham pinjam nama
(nominee shareholders) dan nominee directors untuk tidak disalahgunakan.
Setiap anggota G20 akan menerima skor seberapa kuat mereka menerapkan
setiap prinsip-prinsip yang ada. Inggris adalah negara dengan skor tertinggi dalam
akses terhadap informasi terkait beneciary owner karena telah mengadopsi
undang-undang berisi informasi yang relevan dan diumumkan kepada publik.
Indonesia masuk dalam kategori average framework dengan persyaratan yang
kuat untuk institusi keuangan dengan mensyaratkan kecermatan dan verikasi
dokumen pendukung yang digunakan untuk mengidentikasi pelanggan. Namun,
untuk institusi non-keuangan dibutuhkan identikasi, informasi dan akses lebih
lanjut terkait benecial owner.38
3. Automatic Exchange of Information (AEOI)
Standar global baru pada AEOI dapat mengurangi kemungkinan penggelapan
pajak karena standar ini menyediakan pertukaran informasi akun keuangan non-
residen dengan otoritas pajak di negara tempat tinggal pemegang rekening. Hal
38 ibid.
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
71 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
ini akan memungkinkan pemerintah untuk memulihkan penerimaan pajak yang
hilang kepada pembayar pajak yang tidak patuh, dan akan semakin memperkuat
upaya internasional untuk meningkatkan transparansi, kerjasama, dan akuntabilitas
di antara lembaga keuangan dan administrasi pajak. Selain itu, AEOI akan
menghasilkan keuntungan sekunder dengan meningkatkan pengungkapan sukarela
dari aset tersembunyi dan dengan mendorong pembayar pajak untuk melaporkan
semua informasi yang relevan.
Standar global AEOI untuk informasi akun keuangan telah dibuat: The
Standards for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax
Matters. OECD dan G20 mengembangkan Standar dengan masukan yurisdiksi lain
dan berkonsultasi dengan berbagai industri keuangan. Standar tersebut mewajibkan
lembaga keuangan untuk melaporkan informasi mengenai rekening yang dimiliki oleh
individu dan entitas non-residen (termasuk trust dan yayasan) kepada administrasi
perpajakan mereka.Administrasi perpajakan kemudian mentransmisikan informasi
tersebut dengan aman ke negara-negara tempat tinggal pemegang rekening setiap
tahun.Standar ini juga mencakup model agreement bagi otoritas pemerintah yang
digunakan untuk mengoperasionalkan pertukaran otomatis dan panduan pengguna
teknis untuk memastikan informasi tersebut dilaporkan dalam format standar.39
Indonesia sebagai negara anggota G20 berpartisipasi dalam implementasi
kerjasama pertukaran informasi perpajakan otomatis/AEOI dengan menyediakan
informasi yang diperlukan untuk negara mitra atau yurisdiksi mitra, dimana
Indonesia juga akan mendapat informasi yang diperlukan dari negara mitra atau
yurisdiksi mitra melalui AEOI. Instrumen hukum dari penerapan AEOI dituangkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara
Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian International.
Pasal 5 Ayat 2 Nomor 39/PMK.03/2017 di atas menguraikan bahwa Pertukaran
Informasi secara otomatis dilakukan atas: (a) Informasi terkait pemotongan pajak
39 The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), ‘Automatic Ex-
change of Information’ <http://www.oecd.org/tax/transparency /automaticexchangeonformation.
htm> accessed 20 March 2018.
72
atas penghasilan yang dibayarkan kepada subjek pajak Indonesia atau pemotongan
pajak atas penghasilan, yang dibayarkan kepada subjek pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra; (b) Informasi keuangan Nasabah Asing; (c) Informasi laporan
per negara; dan/ atau (d) Informasi perpajakan lainnya berdasarkan kesepakatan
bersama antara Indonesia dan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Poin (c) dan (d) merupakan tambahan informasi yang belum dilakukan pertukaran
informasi sebagaimana PMK sebelumnya. Dengan adanya AEOI diharapkan dapat
mencegah penghindaran pajak, pengelakan pajak, penyalahgunaan P3B oleh pihak-
pihak yang tidak berhak; dan/atau mendapatkan Informasi terkait kewajiban perpajakan
wajib pajak serta memperkuat upaya internasional untuk meningkatkan kerjasama,
transparansi dan akuntabilitas antar lembaga keuangan dan administrasi pajak.40
Indonesia pertama kali menerapkan perjanjian AEOI dengan Hong Kong pada
16 Juni 2017 dimana Pemerintah Indonesia dan Hong Kong akan mulai bertukar
informasi pada 2018. Dengan mekanisme ini, otoritas pajak Indonesia memiliki lebih
banyak sarana untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar untuk mengumpulkan
pajak dari pembayar pajak Indonesia, terutama pajak atas aset yang berada di bank atau
lembaga keuangan yang berada di Hong Kong yang belum dilaporkan secara benar
kepada otoritas pajak Indonesia. Perjanjian ini juga akan menjadi titik awal Indonesia
untuk mengadakan perjanjian AEOI dengan negara lain.41 Pertukaran informasi ini
dapat dilaksanakan karena Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang menghilangkan kerahasiaan
bank dan lembaga keuangan di Indonesia.
Perppu ini menghapus Pasal 35 Ayat 2 dan Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 40 dan Pasal 41 UU Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta Pasal 47 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
40 Johana Lanjar Wibowo, ‘AEOI Dan Kesiapan Indonesia’ (Juli, 2017).
41 Baker McKenzie, ‘Indonesian Tax Authorities Finally Entered an Automatic Exchange
of Information Agreement with Hong Kong’ (18 Juni, 2017) <https://www.bakermckenzie.com/en/
insight/ publications/2017/06/indonesian-tax-authorities-nally-entered/> accessed 17 March 2018.
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
73 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
Modal. Pasal 2 Ayat 1 Perppu ini memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan
dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar
modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya. Selanjutnya, Pasal 2 Ayat 2
mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk menyampaikan laporan informasi keuangan
sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional
di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentikasikan sebagai
rekening keuangan yang wajib dilaporkan dan laporan infomasi keuangan yang
dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas
lain dimaksud selama satu tahun kalender.
4. BO dalam Putusan Pengadilan
Di antara keputusan pengadilan selama ini terkait BO, mungkin yang paling
menonjol adalah keputusan pengadilan banding Inggris di Indofood International
Finance Ltd (Indonesia) v. JP Morgan Chase Bank NA. Pengadilan mengadopsi
‘makna skal internasional’ yang luas dari kepemilikan yang menguntungkan
dengan memperhatikan substansi materi dan hak penuh penerima untuk
memperoleh manfaat langsung dari pendapatan. Kasus ini bermula ketika Indofood
ingin menggalang pinjaman untuk tujuan bisnis: jika itu dilakukan secara langsung,
akan ada pemotongan pajak 20% pada bunga yang dibayarkannya. Daripada
meningkatkan pinjaman secara langsung, mereka mendirikan anak perusahaan di
Mauritius yang kemudian diterbitkanlah pinjaman, dengan JP Morgan bertindak
sebagai wali untuk pemegang obligasi.Bunga dibayar dari Indonesia ke Mauritius
dan mendapat keuntungan dari Perjanjian Perpajakan Indonesia-Mauritius, dengan
potongan pajak sebesar 10%. Bunga dibayar dari Mauritius untuk kepentingan
para pemegang obligasi tidak dikenakan pajak pemotongan.42
Ketentuan yang tepat dari pengaturan keuangan dengan anak perusahaan
Mauritius itu penting. Ternyata jumlah uang identik dipinjam oleh Perusahaan
42 Philip Baker, ‘Benecial Ownership: After Indofood’ (2007) VI GITC Review.[18].
Mauritian seperti yang kemudian dipinjamkan ke Indonesia sebagai perusahaan
induk: tingkat bunga pinjaman ke dan dari Mauritius identik. Menurut Pengadilan
Tinggi, istilahnya dokumentasi pinjaman menghalangi anak perusahaan dari
memenuhi kewajiban bunga kepada pemegang obligasi dari sumber lain selain
bunga yang dibayarkan oleh perusahaan induk, sehingga Pengadilan Tinggi
tampaknya telah mempertimbangkan bahwa baik dalam praktek maupun menurut
bukti yang ada, anak perusahaan Mauritian secara efektif wajib membayar setiap
uang yang diterima dari induk perusahaan Indonesia kepada pemegang obligasi:
tidak ada bunga yang diterima dapat dipertahankan oleh anak perusahan. Maka
kemudian Perjanjian Perpajakan Indonesia-Mauritius dihentikan.43
Permasalahan inti dari kasus ini adalah Indonesia mengatakan bahwa tidak
ada langkah-langkah wajar yang bisa dilakukan untuk mempertahankan pemotongan
pajak yang rendah, sehingga harus diizinkan untuk membayar kembali pinjaman
awal. Sebaliknya, JP Morgan, bertindak sebagai pemegang obligasi, mengatakan
bahwa ada langkah yang sangat wajar yang bisa diambil; bahwa Indonesia harus
mengambil langkah ini; dan tidak ada alasan untuk membayar kembali pinjaman awal.
JP Morgan menginginkan pinjaman tetap ada.Selain itu, akhirnya pembayaran bunga
ke JP Morgan harus ditingkatkan untuk memenuhi kewajiban dalam kontrak obligasi.
Termasukmdalam hal kredit adalah pilihan bagi obligor sebelum pinjaman akhir
membayar kembali saldo terutang dan mengakhiri pinjaman sebelum waktunya.44
5. Pengaturan Benecial Ownership di Indonesia
5.1. Regulasi Perseroan Terbatas dan Penanaman Modal
Denisi kepemilikan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT)
diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) mengatur bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua)
orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan
Pasal 7 Ayat (2): Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada
saat Perseroan didirikan. Dalam UUPT tidak ada aturan secara eksplisit tentang
43 ibid,[19].
44 ibid.[20].
74
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
75 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
perjanjian nominee kepemilikan saham dalam pendirian PT, sehingga dasar
hukumnya hanya berdasarkan Pasal 1338 BW. UUPT hanya mengatur dalam Pasal
48 Ayat (1) bahwa saham perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya, namun
tidak ada larangan penggunaan pemegang saham nominee. Maka apabila ada
penggunaan pemegang saham nominee dalam suatu PT, secara hukum pihak yang
secara sah memiliki saham adalah pihak yang dipinjang namanya/ pihak nominee.
Namun dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(UU Penanaman Modal), Pasal 33 Ayat (1) mengatur bahwa baik penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing dilarang membuat perjanjian dan atau
pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas
untuk dan atas nama orang lain. Terkait hal ini telah ditetapkan konsekuensi hukum
yang diatur dalam Pasal 33 Ayat (2) dimana perjanjian atau pernyataan tersebut
dinyatakan batal demi hukum.
Terkait Direksi dan Dewan Komisaris nominee tidak diatur secara khusus
dalam UUPT maupun UU Penanaman Modal. Celah hukum inilah yang dijadikan
praktik untuk menunjuk direksi dan Dewan Komisaris nominee dengan tujuan agar
pengurus dan/atau pemegang saham PT akan dapat diarahkan sehingga memiliki
persepsi yang sejalan dengan kebijakan yang dikehendaki oleh BO. Pengangkatan ini
dapat dikategorikan sebagai perjanjian semu karena meskipun secara hukum organ
nominee tersebut mempunyai kewenangan untuk bertindak mewakili kepentingan
perusahaan, namun pada kenyataannya organ nominee tersebut tidaklah mempunyai
kewenangan apapun karena sepenuhnya dikendalikan oleh pihak yang menunjuk
nominee tersebut atau pemilik perusahaan sebenarnya (BO) yang bahkan mungkin
namanya tidak tampak pada anggaran dasar perusahaan.45
5.2. Regulasi Pasar Modal
Dalam bidang pasar modal, berawal dari Prinsip OECD tentang Tata Kelola
Perusahaan yang menyatakan bahwa kerangka tata kelola pada perusahaan terdaftar
45 Denny Salim, ‘Aspek Hukum Pertanggungjawaban Komisaris Nominee Dalam Perseroan
Terbatas Atas Tindak Pidana Yang Dilakukan Perseroan’ (2016) 8 Premise Law Jurnal.[4].
harus memastikan pengungkapan informasi yang tepat waktu dan akurat dilakukan
terhadap semua hal mengenai korporasi, termasuk situasi keuangan, kinerja,
kepemilikan, dan tata kelola perusahaan.
Jika transparansi dalam kepemilikan dan kontrol suatu perusahaan terdaftar
dilaksanakan dapat menambah daya tarik dalam bursa efek, terutama dalam hal
pelaporan langsung kepemilikan saham melalui kewajiban pengungkapan infromasi
perusahaan secara tahunan (Peraturan Bapepam-LK No.X.K.6) dan melaporkan laporan
keuangan perusahaan (Peraturan Bapepam-LK No.VIII.G.7) mengenai pemegang
saham langsung yang signikan yang memiliki 5% atau lebih dari saham perusahaan.46
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 /POJK.04/2017 tentang
Laporan Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan
Terbuka, penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan
pihak yang memiliki saham secara tidak langsung adalah pihak yang memiliki
saham Perusahaan Terbuka melalui pihak lain. Pihak tersebut merupakan pemilik
manfaat sebenarnya (ultimate benecial owner) dari saham tersebut dan/atau
bagian dari mata rantai pemilikan sampai dengan pemilik sebenarnya. Maka dalam
rangka meningkatkan iklim investasi dan perlindungan terhadap investor minoritas,
dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai keterbukaan informasi atas
kepemilikan saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5% (lima persen).
5.3. Regulasi Perpajakan
Dalam konteks pajak, BO diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, secara spesik diatur dalam Pasal 26 Ayat (1a):
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau
46 Fianna Jurdant, ‘OECD Corporate Governance Working Papers No. 9 Disclosure of Bene-
cial Ownership and Control in Indonesia: Legislative and Regulatory Policy Options for Sustainable
Capital Markets’ (2013) <http://www.oecd-ilibrary.org/docserver/download/5k43m4pdrj36-en.pd-
f?expires=1521619894&id=id&accname=guest&checksum=EFB79BC230212C5BBF06A911CE-
A9B6CE> accessed 21 March 2018.
76
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
77 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima
manfaat dari penghasilan tersebut (benecial owner)”.
Selanjutnya pengaturan BO secara teknis dituangkan dalam Surat Edaran
DJP No.SE-04/PJ.34/2005 tentang Petunjuk Penerapan Benecial Ownership
sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
antara Indonesia dengan Negara Lain. SE ini mengalami beberapa kali revisi
melalui SE-03/PJ.03/2008 tentang penentuan status benecial owner sebagaimana
dimaksudkan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia
dengan negara Mitra dan Peraturan Dirjen Pajak PER 25/PJ/2010 tentang Perubahan
Peraturan Nomor Per-62/Pj/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda Direktur Jenderal Pajak.
Dalam PER-62/PJ./2009, yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya
atas manfaat ekonomis (benecial owner) adalah penerima penghasilan yang: (1)
Bertindak tidak sebagai agen, orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai
perantara dan melakukan tindakan untuk dan atas nama pihak lain; (2) Bertindak
tidak sebagai Nominee, orang atau badan yang secara hukum memiliki (legal
owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan
amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta atau pihak yang sebenarnya
menikmati manfaat atas penghasilan; dan (3) Bukan Perusahaan Conduit, suatu
perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan
penghasilan yang timbul di Negara lain, sementara manfaat ekonomis dari
penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di Negara lain yang tidak akan
dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima
langsung. Sedangkan dalam Peraturan Dirjen Pajak PER 25/PJ/2010 tentang
Perubahan Peraturan Nomor Per-62/Pj/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Direktur Jenderal Pajak, Pasal 3 huruf
c mendenisikan BO sebagai penerima penghasilan bukan merupakan pemilik
yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan dan Pasal 4 menjelaskan
lebih detil bahwa yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat
ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c adalah
penerima penghasilan yang: (1) bertindak tidak sebagai Agen; (2) bertindak tidak
sebagai Nominee; dan (3) bukan Perusahaan Conduit.
Maka berdasarkan peraturan-peraturan diatas, terdapat tiga parameter aktor/
pihak yang dapat didenisikan sebagai BO: (1) Ultimate Power, adalah penerima
manfaat langsung dari perusahaan tidak sekedar individu yang terdaftar di dalam
legalitas perusahaan karena selama ini belum tentu nama yang tercantum di
dalam legalitas perusahaan merupakan pemilik atau penerima manfaat langsung;
(2) Economic Benet, adalah penerima manfaat langsung dari perusahaan tidak
sekedar pemegang saham di perusahaan tapi juga yang mempunyai akses terhadap
cashow keuangan perusahaan; dan (3) Control, adalah penerima manfaat langsung
dari perusahaan tidak sekedar pemegang saham di perusahaan tapi juga mempunyai
kekuatan melakukan kontrol pengendalian terhadap perusahaan.47
Secara umum, pengaturan BO dalam hukum Indonesia belum nampak jelas
di atur dalam peraturan perundang-undangan bidang Perseroan Terbatas (korporasi),
bidang Penanaman Modal dan bidang Pasar Modal. Pengaturan BO baru nampak
pada peraturan perundang-undangan dibidang Perpajakan. Pengaturan di bidang
perpajakan inipun dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tax evasion (pengurangan
pembayaran pajak) dan tax avoidance (penghindaran pembayaran pajak). Oleh karena
itu denisi BO dalam peraturan perpajakan ini belum secara jelas didenisikan, karena
ditujukan untuk BO yang berada di luar wilayah hukum Indonesia.
5.4. Pengaturan BO dalam Perpres 13 Tahun 2018
Perpres ini dibentuk atas dasar bahwakorporasi dapat dijadikan sarana baik
langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan
pemilik manfaat dari hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pendanaan
terorisme selama ini belum ada pengaturannya, pemerintah memandang perlu
47 Publish What You Pay Indonesia, ‘Transparansi Benecial Ownership, Penerimaan Neg-
ara, Dan EITI’ (25 November 2016) <https://pwyp-indonesia.org/id/193225/transparansi-bene-
cial-ownership-penerimaan-negara-dan-eiti/> accessed 21 March 2018.
78
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
79 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
mengatur penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi.48 Pasal 1
angka 2 mendenisikan pemilik manfaat sebagai: “orang perseorangan yang dapat
menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina,
atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan
Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung
maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham
Korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Presiden ini”. Perpres ini membatasi lingkup pengertian korporasi yang meliputi
perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer,
persekutuan rma dan bentuk korporasi lainnya.49
Kewajiban korporasi dalam menetapkan pemilik manfat diatur dalam Pasal
3 Ayat (1). Dalam konteks perusahaan, selanjutnya ketentuan yang relevan adalah
korporasi dalam lingkup perseroan terbatas. Pasal 4 Perpres ini mengatur tentang
kriteria pemilik manfaat dari perseroan terbatas.50 Informasi tentang pemilik
manfaat dari sebuah perseroan terbatas dapat diperoleh melalui beberapa sumber,
diantaranya: anggaran dasar termasuk dokumen perubahan anggaran dasar dan/
atau akta pendirian korporasi, dokumen keputusan rapat umum pemegang saham
(RUPS), informasi instansi berwenang, informasi lembaga swasta yang menerima
penempatan atau pentransferan dana dalam rangka pembelian saham perseroan
terbatas, informasi lembaga swasta yang memberikan atau menyediakan manfaat
dari Korporasi bagi Pemilik Manfaat, pernyataan dari anggota direksi dan anggota
dewan komisaris yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dokumen
yang dimiliki oleh Korporasi atau pihak lain yang menunjukkan bahwa orang
perseorangan dimaksud merupakan pemilik sebenarnya dari danaatas kepemilikan
saham perseroan terbatas, dokumen yang dimiliki oleh Korporasi atau pihak lain
48 Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, ‘Cegah Pencucian Uang, Inilah Perpres Penera-
pan Prinsip Mengenali Pemilik Bermanfaat Dari Korporasi’ (12 Maret 2018) <http://setkab.go.id/
cegah-pencucian-uang-inilah-perpres-penerapan-prinsip-mengenali-pemilik-manfaat-dari-korpora-
si/> accessed 21 March 2018.
49 Pasal 2 Ayat (2) Perpres 13/2018.
50 Pasal 4 Ayat 2 Perpres 13/2018.
yang menunjukkan bahwa orang perseorangan dimaksud merupakan pemilik
sebenarnya dari danaatas kekayaan lain atau penyertaan pada Korporasi, serta
informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.51
Penetapan tentang siapa pemilik manfaat dari suatu korporasi juga
dapat dilakukan oleh instansi yang berwenang misalnya kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum untuk perseroan terbatas52
yang bersumber dari hasil audit berdasarkan ketentuan yang ada dalam perpres dan
informasi instansi pemerintah atau lembaga swasta yang mengelola data/informasi
tentang pemilik manfaat serta menerima laporan dari profesi tertentu yang
memuat informasi tentang pemilik manfaat.53
Dalam menerapkan prinsip mengenali pemilik manfaat, korporasi
berkewajiban menunjuk pejabat atau pegawai untuk menyediakan informasi
mengenai korporasi dan pemilik manfaat dari korporasi atas dasar perminyaan
instansi berwenang dan instansi penegak hukum.54 Mekanisme penerapan prinsip
pemilik manfaat dapat dilakukan pada saat permohonan pendirian, pendaftaran
pengesahan, persetujuan, atau perizinan usaha korporasi dan/atau ketika korporasi
menjalankan usaha atau kegiatannya.55 Dalam melaksanakan indentikasi pemilik
manfaat, dilakukan pengumpulan informasi pemilik manfaat yang paling tidak
mencakup nama lengkap; nomor identitas kependudukan, surat izin mengemudi,
atau paspor; tempat dan tanggal lahir; kewarganegaraan; alamat tempat tinggal
yang tercantum dalam kartu identitas; alamat di negara asal dalam hal warga negara
asing; Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor identitas perpajakan yang sejenis; dan
hubungan antara Korporasi dengan Pemilik Manfaat.56
Dikarenakan korporasi memiliki kewajiban menyampaikan informasi pemilik
manfaat kepada instansi berwenang, maka hal tersebut dapat dilakukan oleh pendiri
51 Pasal 11 Perpres 13/2018.
52 Pasal 13 Ayat 3 Perpres 13/2018.
53 Pasal 13 Ayat 2 Perpres 13/2018.
54 Pasal 14 Ayat 2 Perpres 13/2018.
55 Pasal 15 Ayat 2 Perpres 13/2018.
56 Pasal 16 Ayat 1 dan Ayat 2 Perpres 13/2018.
80
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
81 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
atau pengurus Korporasi; notaris; atau pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri
atau pengurus Korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat dari
Korporasi57 disertai dengan surat pernyataan mengenai kebenaran informasi.58
Selain itu, korporasi dibebankan untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat
dalam hal Korporasi telah menetapkan Pemilik Manfaat atau menyampaikan surat
pernyataan kesediaan Korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat
kepada Instansi Berwenang dalam hal Korporasi belum menetapkan Pemilik
Manfaat pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, pengesahan, persetujuan,
atau perizinan usaha Korporasi.59 Jika belum, maka terdapat jangka waktu 7 hari
kerja bagi korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat setelah
Korporasi mendapat izin usaha/tanda terdaftar dari instansi/lembaga berwenang.60
Lebih lanjut, penyampaian informasi Pemilik Manfaat dilaksanakan melalui Sistem
Pelayanan Administrasi Korporasi.61
Jika korporasi telah menjalankan usaha dan kegiatannya, maka prinsip
mengenali Pemilik Manfaat dilaksanakan dengan cara menyampaikan setiap
perubahan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang melalui Sistem
Pelayanan Administrasi Korporasi yang wajib disampaikan paling lama 3 (tiga) hari
kerja sejak terjadinya perubahan informasi Pemilik Manfaat.62 Dalam hal pengkinian
informasi, korporasi wajib melakukannya secara berkala setiap satu tahun.63
Mekanisme mengenali Pemilik Manfaat dijalankan dengan mendapatkan
pengawasan oleh instansi berwenang, bekerjasama dengan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan dan jika dibutuhkan dapat berkoordinasi dengan
lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya64 dengan menetapkan regulasi atau
pedoman sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden sesuai dengan kewenangannya;
57 Pasal 18 Ayat 3 Perpres 13/2018.
58 Pasal 18 Ayat 2 Perpres 13/2018.
59 Pasal 19 Ayat 1 Perpres 13/2018.
60 Pasal 19 Ayat 2 Perpres 13/2018.
61 Pasal 19 Ayat 3 Perpres 13/2018.
62 Pasal 20 Ayat 1 dan Ayat 2 Perpres 13/2018.
63 Pasal 21 Perpres 13/2018.
64 Pasal 23 Ayat 4 dan Ayat 5 Perpres 13/2018.
melakukan audit terhadap Korporasi; dan mengadakan kegiatan administratif
lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Peraturan
Presiden.65Sedangkan dasar pengawasan instansi berwenang adalah hasil penilaian
risiko tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.66
Dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan tindak pidana pendanaan terorisme oleh Korporasi, instansi berwenang
dapat melaksanakan kerja sama pertukaran informasi Pemilik Manfaat dengan
instansi peminta, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.67 Kerja sama
pertukaran informasi dengan instansi penerima (instansi penegak hukum, instansi
pemerintah dan otoritas berwenang negara lain) dapat dilakukan dengan permintaan
atau pemberian informasi secara elektronik atau non elektronik.68
Pemberian informasi pemilik manfaat secara elektronik dilakukan melalui
pemberian hak akses yang berdasar pada kerja sama antar instansi berwenang dan
instansi peminta.69 Selain instansi penerima, terdapat juga pihak pelapor dalam
pengungkapan pemilik manfaat dapat dilaksanakan dengan menyampaikan laporan
kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.70 Terakhir, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan informasi publik, setiap
orang dapat meminta informasi pemilik manfaat kepada instansi berwenang.71
Kesimpulan
Secara umum keberadaan Benecial Owner (BO) telah dikenal dalam
konstruksi hukum Indonesia. Meskipun pada Undang-Undang Perseroan Terbatas
dan Undang-undang Penanaman Modal tidak secara tegas mengatur mengenai BO,
namun pengaturan BO telah nampak pada regulasi yang lebih teknis. Pengaturan BO
yang paling nampak jelas adalah dalam bidang perpajakan. Namun denisi BO baru
65 Pasal 23 Ayat 2 Perpres 13/2018.
66 Pasal 23 Ayat 3 Perpres 13/2018.
67 Pasal 26 Ayat 1 Perpres 13/2018.
68 Pasal 27 Ayat 1 dan Ayat 2 Perpres 13/2018.
69 Pasal 27 Ayat 3 dan Ayat 4 Perpres 13/2018.
70 Pasal 28 Ayat 2 Perpres 13/2018.
71 Pasal 29 Ayat 1 dan Ayat 2 Perpres 13/2018.
82
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
83 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme.Denisi BO dalam Perpres ini secara umum telah mengadopsi denisi BO
sebagaimana yang direkomendasikan oleh OECD, FATF dan AEOI.
Meskipun keberadaan BO dalam struktur hukum Indonesia sudah diperjelas
dengan lahirnya Perpres 13/2018, namun Perpres ini masih mengandung beberapa
kelemahan. Salah satu diantara kelemahan ini adalah belum adanya sanksi yang tegas
bagi perusahaan yang tidak menjalankan prinsip pengenalan dan keterbukaan BO.
Pasal 24 Perpres 13/2018 yang menyatakan bahwa korporasi yang tidak membuka
informasi BO dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
namun tidak jelas peraturan perundang-undangan mana yang dapat dirujuk.Demikian
juga tidak ada sanksi bagi institusi/lembaga yang diharuskan untuk membantu proses
pengenalan dan membuka BO. Keadaan ini akan memungkinkan perusahaan untuk
tetap menyembunyikan siapa sebenarnya Pemilik Manfaat akhir dari kegiatan usaha
korporasi. Dengan demikian, kewajiban mengenali dan membuka BO sebaiknya
diatur kedalam instrumen hukum Undang-undang yang dapat memuat mekanisme
sanksi administratif dan pidana. Kewajiban membuka BO dapat dimasukkan ke
dalam revisi Undang-undang Perseroan Terbatas.
Daftar Bacaan
Buku
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia (Citra Aditya
Bakti 1991).
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia (Citra Aditya
Bakti 1991).
——, Hukum Perusahaan Indonesia (Citra Aditya Bakti 1999).
Ali Rido, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf (Alumni 1986).
Fredrik Hagmann, ‘Benecial Ownership - A Concept in Identity Crisis’ (Lund
University 2017).
Global Finance Integrity, Illicit Financial Flows from Developing Countries 2004-
2014 (2015).
I.G Ray Wijaya, Berbagai Peraturan Dan Pelaksanaan Undang-Undang Di Bidang
Usaha (Megapoin 2003).
Johana Lanjar Wibowo, ‘AEOI Dan Kesiapan Indonesia’ (Juli, 2017).
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Sinar Graka 2015).
R.T. Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum
Perusahaan: Bentuk-Bentuk Perusahaan Yang Berlaku Di Indonesia (1 ed,
Raja Grando Persada).
Jurnal
Denny Salim, ‘Aspek Hukum Pertanggungjawaban Komisaris Nominee Dalam
Perseroan Terbatas Atas Tindak Pidana Yang Dilakukan Perseroan’ (2016) 8
Premise Law Jurnal.
Philip Baker, ‘Benecial Ownership: After Indofood’ (2007) VI GITC Review.
Nindyo Pramono, ‘Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara’ (2012).
Laman
Baker McKenzie, ‘Indonesian Tax Authorities Finally Entered an Automat-
ic Exchange of Information Agreement with Hong Kong’ (18 Juni, 2017)
<https://www.bakermckenzie.com/en/insight/ publications/2017/06/indone-
sian-tax-authorities-nally-entered/> accessed 17 March 2018.
Fianna Jurdant, ‘OECD Corporate Governance Working Papers No. 9 Disclosure of
Benecial Ownership and Control in Indonesia: Legislative and Regulatory
Policy Options for Sustainable Capital Markets’ (2013) <http://www.oecd-il-
ibrary.org/docserver/download/5k43m4pdrj36-en.pdf?expires=1521619894
&id=id&accname=guest&checksum=EFB79BC230212C5BBF06A911CE-
A9B6CE> accessed 21 March 2018.
Financial Action Task Force, ‘FATF Guidance Transparency and Benecial Own-
ership’ (2014) <http://www.fatf-ga.org/media/fatf/documents/reports/Guid-
ance-transparency-benecial-ownership.pdf> accessed 14 March 2018.
——, ‘International Standards on Combating Money Laundering and The Financing
84
Kusrini Purwijanti: Pengaturan Karakteristik Beneciary
85 Notaire: Vol. 1 No. 1, Juni 2018
of Terrorism & Proliferation: The FATF Recommendations’ (2016) <http://
www.fatf-ga.org/media/fatf/documents/recommendations/pdfs/FATF_ Rec-
ommendations. pdf> accessed 19 March 2018.
Maira Martini dan Maggie Murphy, ‘Just for Show?Reviewing G20 Promises on Bene-
cial Ownership’ (2015) <https://transparency.eu/wp-content/uploads/2016/11/
TI_G20-Benecial-Ownership-Promises_2015.pdf> accessed 19 March 2018.
Maryati Abdullah, ‘Menguak Benecial Ownership, Membongkar Kamuase
Ekonomi’ <https://pwyp-indonesia.org/id/155817/menguak-benecial-own-
ership-membongkar-kamuase-ekonomi> accessed 14 March 2018.
Publish What You Pay Indonesia, ‘Transparansi Benecial Ownership, Peneri-
maan Negara, Dan EITI’ (25 November 2016) <https://pwyp-indonesia.org/
id/193225/transparansi-benecial-ownership-penerimaan-negara-dan-eiti/>
accessed 21 March 2018.
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, ‘Benecial Owner Dalam OECD Model Tax
Convention (MTC): Sejarah Dan Perkembangan Terkini’ (2012) <https://
www.kemenkeu.go.id/sites/defaul t/les/benecial ownership - aplikasi da-
lam tax treaty.pdf> accessed 15 March 2018.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, ‘Cegah Pencucian Uang, Inilah Perpres Pen-
erapan Prinsip Mengenali Pemilik Bermanfaat Dari Korporasi’ (12 Maret 2018)
<http://setkab.go.id/cegah-pencucian-uang-inilah-perpres-penerapan-prin-
sip-mengenali-pemilik-manfaat-dari-korporasi/> accessed 21 March 2018.
The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), ‘Auto-
matic Exchange of Information’ <http://www.oecd.org/tax/transparency /au-
tomaticexchangeonformation.htm> accessed 20 March 2018.
——, ‘Clarication of the Meaning of Benecial Ownership in the OECD Model Tax
Convention Discussion Draft’ <http://www.oecd.org/tax/treaties/47643872.
pdf> accessed 21 March 2018.
——, ‘OECD Model Tax Convention Revised Proposals Concerning The Meaning
of Benecial Owner in Articles 10, 11 Dan 12’ (2012) <http://www.oecd.org/
ctp/ treaties/ Benecialownership.pdf> accessed 21 March 2018.
——, ‘Disclosure of Benecial Ownership and Control in Listed Companies in
Asia’ (2016) <https://www.oecd.org/daf/ca/Disclosure-Benecial-Owner-
ship.pdf> accessed 14 March 2018.
HOW TO CITE: Kusrini Purwijanti dan Iman Prihandono, ‘Pengaturan Karakteristik Beneciary Owner Di Indonesia’ (2018) Vol. 1 No.
1 Notaire.
... The law was amended several times, the latest being Law Number 36 of 2008 (Income Tax Law). Before beneficial owner provisions can become law, the Director General of Taxes, through a circular letter or regulation, tests the beneficial owner economically (Purwijanti, 2018). ...
Article
Full-text available
Introduction: Beneficial ownership is a type of ownership that can refer to an individual who is not legally written as the owner of the company, but has control and receives benefits from the company.Purposes of the Research: The purpose of this study is to find out the function of transparency of beneficial ownership as control by host state in order to find out who is actually beneficial ownership of multinational companies as an effort to prevent and eradicate violations committed by multinational companies.Methods of the Research: This study uses normative law research with an analytical approach to regulations derived from national and international law (statue approach).Results of the Research: First, there is a need to improve the mechanism for regulating the transparency of beneficial ownership in Indonesia to reveal the ultimate beneficial ownership. Second, if the transparency of beneficial ownership is truly enforced, then Indonesia can use the data as control by Indonesia's host state in overcoming risks and violations committed by multinational companies such as restrictions on share ownership, prevention of money laundering crimes, prevention of terrorism financing, business competition, consumer protection, environmental crimes and other violations in accordance with regulations in Indonesia.
Article
Full-text available
This research aims to explore the implications of beneficiary ownership in financial services sector conglomerates in Indonesia on financial system stability. Because financial services sector conglomerates can obscure the true beneficiaries within the conglomerate in Indonesia. This can pose risks to the financial system. If one financial institution within the conglomerate fails, it can have cascading effects on other institutions within the conglomerate. This can lead to systemic crises, which can harm the overall economy. Therefore, the problem lies in how to uncover the true beneficiaries within a financial services sector conglomerate in Indonesia. This is a normative legal research, prescriptive in nature, employing a legislative and legal comparison approach. Secondary data used includes legislation such as the Limited Liability Company Law, Banking Law, Financial Sector Development and Strengthening Law, as well as the Financial Services Authority Regulation on Financial Conglomerates. Additionally, international journals and legal dictionaries are used as references, supported by empirical data in the form of interviews with the Financial Services Authority. Data is analyzed qualitatively, with conclusions drawn using deductive-inductive reasoning. An individual or legal entity as a primary entity that can control changes in the Articles of Association, Share Ownership Structure, replacement of directors, board of commissioners, control the company's finances, but the individual/legal entity is not listed in the company's articles, then can be categorized as a beneficial owner of a limited liability company. Similarly, in a financial services sector conglomerate existing in Indonesia, it can be proven by finding out who controls the conglomerate.
Article
Full-text available
Tax is a source of state revenue that plays a major role in financing all state expenditures, including financing national development. The absence of counter-performance that the taxpayer can directly accept is one of the causes of tax crimes committed by corporations through transfer pricing practices, which are difficult to hold accountable, so it is necessary to optimize the application of the principle of Beneficial ownership (BO). The aim of this research is to examine the factors that cause transfer pricing as a form of corporate crime, the application of Beneficial ownership principles in the field of taxation, and the obstacles encountered in implementing Beneficial ownership in the field of taxation along with the solutions. The method is a normative juridical approach, descriptive-analytical research specifications, data types, and sources are derived from secondary data through the support of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, and data analysis is carried out qualitatively. The results of the study explain that transfer pricing is a corporate crime that is supported by the use of earnings management, the use of opportunities for special relationships, the support of political connections, and thin capitalization. The application of the principle of Beneficial ownership in the field of taxation means that owners are entitled to enjoy income in the form of dividends, interest and/or royalties, which both individual and corporate taxpayers receive. The obstacles faced in implementing BO in the field of taxation are the weak update of information on Beneficial owners and their changes and partial and sectoral regulations. Abstrak Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang berperan besar dalam membiayai semua pengeluaran negara termasuk membiayai pembangunan nasional. Tidak adanya kontra prestasi yang langsung dapat diterima wajib pajak menjadi salah satu penyebab terjadinya kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan korporasi melalui praktik transfer pricing, yang sulit untuk dimintai pertanggungjawabannya sehingga perlu dioptimalkan penerapan prinsip Beneficial ownership (BO). Tujuan penelitian untuk mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya transfer pricing sebagai bentuk kejahatan korporasi, penerapan prinsip Beneficial ownership di bidang perpajakan dan kendala yang dihadapi dalam menerapkan Beneficial ownership di bidang perpajakan disertai solusinya. Metode pendekatan yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif analisis, jenis dan sumber data berasal dari data sekunder melalui dukungan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa transfer pricing merupakan kejahatan korporasi yang didukung pemanfaatan manajemen laba, pemanfaatan peluang hubungan istimewa, dukungan political connection dan thin capitalization. Penerapan prinsip Beneficial ownership di bidang perpajakan merupakan pemilik yang berhak menikmati penghasilan berupa deviden,bunga dan atau royalti, yang diterima baik wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan. Kendala-kendala yang dihadapi dalam menerapkan (BO) di bidang perpajakan yaitu lemahnya update informasi Beneficial owner maupun perubahannya, serta regulasi yang bersifat parsial dan bersifat sektoral. Kata kunci: Kejahatan Korporasi, Perpajakan, Transfer Pricing, Beneficial Ownership
Article
Full-text available
This article discusses two main issues, first how the beneficial ownership concept stipulated in the FATF recommendation is adopted in the financial services sector of anti-money laundering regulation. Second, how beneficial ownership transparency regulation can assist efforts in preventing and eradicating money laundering offenses. The research will look at the legal substance or doctrinal aspects of beneficial ownership reporting regulations in the anti-money laundering legal framework and program, then juxtaposed with Presidential Decree 13/2018 and its compliance with the standards set out in the recommendations of the FATF, considering that Indonesia actually adopted the FATF recommendation. The conclusion of this article is first, that the concept of beneficial ownership in the anti-money laundering regime in Indonesia has fully adopted the provisions and standards of the FATF recommendations, but only within the regulatory framework at the regulatory level, whereas at the laws and presidential regulations level regulate only part of it. Second, identification and transparency of beneficial ownership is a key factor in the prevention and eradication of money laundering offenses, both in relation to supervision and law enforcement in the context of recovering assets from proceeds of crime. ABSTRAK Artikel ini membahas, pertama bagaimana konsep beneficial ownership (pemilik manfaat) yang diatur dalam rekomendasi FATF diadopsi dalam regulasi anti pencucian uang di sektor jasa keuangan di Indonesia. Kedua bagaimana pengaturan transparansi beneficial ownership membantu upaya pencegahan, pemberantasan TPPU di sektor jasa keuangan. Metode yang dipergunakan dalam artikel adalah yuridis normatif. Hasil dari artikel ini pertama, konsep beneficial ownership dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia mengadopsi penuh ketentuan dan standar dari rekomendasi FATF namun hanya dalam kerangka regulasi tingkat peraturan regulator. Sementara level undang-undang, peraturan presiden, baru mengatur sebagian ketentuan FATF terkait beneficial ownership korporasi. Kedua, identifikasi dan transparansi beneficial ownership sebagai kunci Pencegahan dan pemberantasan TPPU, baik kaitannya dengan pengawasan maupun penegakan hukum dalam rangka pemulihan aset hasil tindak pidana.
Article
A notary as a public official, in drawing up authentic deeds particularly related to corporation, is also obliged to implement Know Your Beneficial Owner Principle which is not stipulated in the Notarial Act. On one hand, a notary plays an importnant role to reveal the beneficial ownership of a corporation, on the other hand transparency in revealing beneficial ownership has to be based on honest and clear information from delegation of the corporation since the existence of beneficial ownership cannot be fully detected by the notary. The research problems are how the notary’s liability for the drawing up of notarial deeds, why it is necessary to reveal the beneficial ownership of a corporation, and how about the status of a notary in revealing the beneficial ownership in drawing up notarial deeds. This research employs normative juridical method. The data are collected through library research, which materials or data obtained are systematically organized and analyzed by scientific logical procedures that is qualitative. The results are expected to be able to answer the research problems and to solve them.
Article
Full-text available
The historical existence of savings and loans cooperatives (KSP) in Indonesia cannot be separated from the account and development of cooperatives in the country. Savings and loans business has become the main basis for cooperative activities that make cooperatives persist and progress timelessly. Savings and Loans Cooperatives have even become the main goal of micro and small business players in finding welcoming and friendly sources of financing in the sense of low interest rates and a quick/ easy process to reach without conditions and based on family principles. With all forms of developments and changes, this type of savings and loan cooperative has the potential for the practice of money laundering. Suspicious financial transactions, such as payments for voluntary savings in large amounts that do not match the profile of service users and payments for cooperative savings made by other parties that have no relationship with service users. Thus, it should be suspected and followed up by an effort to prevent and combat money laundering. With the existence of Presidential Regulation Number 13 of 2018 concerning the Application of the Principles of Recognizing Beneficial Owners of Corporations in the Context of Prevention and Eradication of Money Laundering and Terrorism Funding Crimes, it is an initial anticipatory step to prevent money laundering in savings and loan cooperatives and savings units with the principle of knowing service users (PMPJ). Article visualizations: </p
Article
Full-text available
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memiliki posisi yang begitu penting dalam mencapai tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah didefinisikan sebagai proses pengadaan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat daerah yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam kegiatan pengadaan barang/jasa, sering terjadi praktik KKN, utamanya dalam bentuk persekongkolan, baik secara horizontal maupun vertikal. Hal ini disebabkan adanya pihak yang menjadi pengendali dari beberapa perusahaan peserta pemilihan penyedia barang/jasa, baik yang berasal dari sesama peserta maupun berasal dari pihak pemerintah sendiri. Belum ada pengaturan khusus untuk menerapkan prinsip mengenal pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner) dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa ruang lingkup pengaturan pemilik manfaat sebenarnya di Indonesia dan menganalisa penerapan Prinsip Mengenal Pemilik Manfaat Sebenarnya dalam Tahapan Pemilihan Penyedia Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia.
Article
Full-text available
Ownership is the right to possess, use, sell, donate or give as a gift any asset (property) belonging to a person known as the “owner.” Ownership (milkiyah)is not the same as possession (qabd), as it is possible to own something without possessing it, or to possess something without owning it. Children may “own” items such as toys. However, from a legal point of view, the parents are the legal owners of their children’s belongings.
Beneficial Ownership - A Concept in Identity Crisis
  • Fredrik Hagmann
Fredrik Hagmann, 'Beneficial Ownership -A Concept in Identity Crisis' (Lund University 2017).
  • Johana Lanjar
Johana Lanjar Wibowo, 'AEOI Dan Kesiapan Indonesia' (Juli, 2017).
Hukum Perseroan Terbatas (Sinar Grafika
  • Yahya Harahap
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Sinar Grafika 2015).
Aspek Hukum Pertanggungjawaban Komisaris Nominee Dalam Perseroan Terbatas Atas Tindak Pidana Yang Dilakukan Perseroan
  • Jurnal Denny Salim
Jurnal Denny Salim, 'Aspek Hukum Pertanggungjawaban Komisaris Nominee Dalam Perseroan Terbatas Atas Tindak Pidana Yang Dilakukan Perseroan' (2016) 8
Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara
  • Nindyo Pramono
Nindyo Pramono, 'Perbandingan Perseroan Terbatas Di Beberapa Negara' (2012).
Indonesian Tax Authorities Finally Entered an Automatic Exchange of Information Agreement with Hong Kong
  • Baker Mckenzie
Laman Baker McKenzie, 'Indonesian Tax Authorities Finally Entered an Automatic Exchange of Information Agreement with Hong Kong' (18 Juni, 2017) <https://www.bakermckenzie.com/en/insight/ publications/2017/06/indonesian-tax-authorities-finally-entered/> accessed 17 March 2018.
OECD Corporate Governance Working Papers No. 9 Disclosure of Beneficial Ownership and Control in Indonesia: Legislative and Regulatory Policy Options for Sustainable Capital Markets
  • Fianna Jurdant
Fianna Jurdant, 'OECD Corporate Governance Working Papers No. 9 Disclosure of Beneficial Ownership and Control in Indonesia: Legislative and Regulatory Policy Options for Sustainable Capital Markets' (2013) <http://www.oecd-ilibrary.org/docserver/download/5k43m4pdrj36-en.pdf?expires=1521619894 &id=id&accname=guest&checksum=EFB79BC230212C5BBF06A911CE-A9B6CE> accessed 21 March 2018.
Just for Show?Reviewing G20 Promises on Beneficial Ownership
  • Maira Martini Dan
  • Maggie Murphy
Maira Martini dan Maggie Murphy, 'Just for Show?Reviewing G20 Promises on Beneficial Ownership' (2015) <https://transparency.eu/wp-content/uploads/2016/11/ TI_G20-Beneficial-Ownership-Promises_2015.pdf> accessed 19 March 2018.