ArticlePDF Available

Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin

Authors:

Abstract

This study aims to portray the role of teachers in fostering the framework of Islam rahmatan lil alamin. It is worth noticing to declare that education is one of very pivotal themes in Islam. Millennial era is a digital and online era that illustrates the vast advancement of technology, including the use of social media. There is lot of information provided in the internet. On the other side, students have no ability yet to filter any information that they got. This condition encourages teachers to guide their students in filtering the internet content. This study reveals that teacher responsibilities in the millennial era are very complex. A teacher plays an important role as not only an instructor, but also an educator. It indicates that the role of teachers is not only teaching or transferring knowledge, but the most important thing is creating good behavior of the students. They are encouraged to have not only good academic qualification, but also good moral values such as rahmatan lil alamin values including humanity, cooperation, prophetic social ethic, tolerance and pluralism, balance, good modeling, dialogic pedagogy, and the enhancement of human resources.
172
EDUKASIA ISLAMIKA
Jurnal Pendidikan Islam
Vol. 2, No. 2, Desember 2017, hlm. 172-190
P-ISSN: 2548-723X; E-ISSN: 2548-5822
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
Miftah Mucharomah
MSI 17 Pabean Kota Pekalongan
mmucharomah@yahoo.co.id
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
Received: 12 Juli 2017
Revised:14 September 2017
Approved:20 November 2017
Abstrak
Penelitian ini mendeskripsikan peran guru di era milenial yang dilandasi dengan nilai-
nilai rahmatan lil alamin. Pendidikan merupakan salah satu tema sentral dalam Islam.
Era milenial adalah era digital di mana masyarakat sangat tergantung dengan media
sosial dan derasnya informasi berbasis online, tetapi secara kepribadian mereka belum
memiliki filter untuk memilah dan memilih informasi tersebut. Profesi guru pada masa
ini semakin kompleks, kualifikasi keilmuan dan gelar akademis belum cukup untuk
membentuk watak dan pribadi peserta didik. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, yakni mendeskripsikan permasalahan berdasarkan fakta-fakta tentang
tuntutan guru yang berwawasan rahmatan lil alamin berdasarkan fenomena pada era
milenial. Tanggung jawab guru pada era milenial menuntut guru tidak hanya memiliki
kemampuan profesional tetapi juga harus memiliki nilai-nilai yang mampu membentuk
watak dan pribadi peserta didiknya dalam menghadapi dunianya. Di antara nilai yang
perlu dimiliki oleh guru adalah nilai-nilai rahmatan lil alamin, yang meliputi humanis,
kerja sama, sosial-profetik, toleransi, keteladanan, dialogis, serta peningkatan kualitas
sumber daya manusia.
Kata Kunci: Peran Guru, Era Milenial, Nilia-nilai Islam, Rahmatan Lil Alamin
Abstract
This study aims to portray the role of teachers in fostering the framework of Islam
rahmatan lil alamin. It is worth noticing to declare that education is one of very pivotal
themes in Islam. Millennial era is a digital and online era that illustrates the vast
advancement of technology, including the use of social media. There is lot of
information provided in the internet. On the other side, students have no ability yet to
filter any information that they got. This condition encourages teachers to guide their
students in filtering the internet content. This study reveals that teacher responsibilities
in the millennial era are very complex. A teacher plays an important role as not only an
instructor, but also an educator. It indicates that the role of teachers is not only
teaching or transferring knowledge, but the most important thing is creating good
behavior of the students. They are encouraged to have not only good academic
173
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
qualification, but also good moral values such as rahmatan lil alamin values including
humanity, cooperation, prophetic social ethic, tolerance and pluralism, balance, good
modeling, dialogic pedagogy, and the enhancement of human resources.
Keywords: Teachers’ Roles, Islamic Values, Millennial Era, Rahmatan Lil Alamin
PENDAHULUAN
Guru merupakan figur sentral dalam proses pendidikan yang berlangsung di
sekolah, profesi yang menghasilkan generasi penerus berkualitas karena dari gurulah
seorang individu mampu tumbuh dan berkembang, baik intelektualnya maupun
moralitasnya. Citra dan konsep tentang guru dalam masyarakat milenial sangat jauh
berbeda dengan konsep masa lampau, guru berarti orang yang berilmu, yang arif dan
bijaksana. Pada masa sekarang guru dilihat tidak lebih sebagai fungsionaris pendidikan
yang bertugas mengajar atas dasar kualifikasi keilmuan dan akademis tertentu, yang
untuk tugas tersebut memperoleh imbalan materi dari negara atau pihak pengelola
pendidikan. Dengan demikian, faktor terpenting dalam profesi guru adalah kualifikasi
keilmuan dan akademis. Faktor lain seperti kearifan dan kebijaksanaan yang merupakan
sikap dan tingkah laku moral tidak lagi signifikan, sementara dalam konsep klasik
faktor moral berada di urutan teratas kualifikasi keguruan.
Kondisi demikian mengakibatkan keteladanan guru menjadi tidak begitu penting
dalam proses pendidikan, yang lebih utama adalah kecakapan dan keahlian dalam
mengajarkan ilmu yang menjadi tugasnya sehingga ada seorang guru yang menurut
kaidah-kaidah moral tidak dapat dipertanggungjawabkan, tetap diperbolehkan
memegang jabatan guru. Selanjutnya, bagi peserta didik yang sedang dalam usia remaja
atau diambang dewasa sangat mencari dan merindukan tokoh identifikasi yang akan
ditiru dan diikuti langkahnya, mereka kesulitan mencari dan merumuskan figur
keteladanan dan tokoh identifikasi dari gurunya.
Semua keadaan di atas berujung pada memburuknya interaksi yang terjadi di
lingkungan pendidikan. Interaksi yang terjadi kering dari nilai-nilai manusiawi.
Hubungan emosional nyaris tidak ada antara guru dengan peserta didiknya sehingga
sekolah hanya sekedar tempat memperoleh ilmu, bukan pendidikan. Sekolah hanya
tempat mengisi otak dan penalaran, bukan pembentukan watak dan kepribadian (Azra,
1998: 165-167).
174
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
Sementara itu, di era milenial di mana teknologi digital dapat diakses oleh
hampir semua kalangan, informasi berkembang dengan pesat dan penyebarannya
semakin cepat. Berdasarkan penelitian bahwa mayoritas millennial mendapatkan berita
bersumber dari media sosial seperti facebook dan twitter (Millennials, 2015), dimana
kredibilitas sumber berita sangat sulit untuk diukur. Penelitian menunjukkan bahwa
generasi millennial cenderung malas untuk memvalidasi kebenaran berita yang mereka
terima dan cenderung menerima informasi hanya dari satu sumber, yaitu media sosial,
inilah kondisi peserta didik saat ini, yang lebih memanfaatkan dan percaya dengan
media sosial dalam kegiatannya sehari-hari.
Era milenial di mana peserta didik dapat dengan cepat mengakses informasi,
menjadikan guru bukan lagi satu-satunya orang yang paling well-informed terhadap
berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi di
jagad raya ini. Sementara itu, dengan mudahnya informasi diterima peserta didik
mengakibatkan mereka memiliki sikap permissif, mereka belum mampu memilah
aktivitas internet yang bermanfaat, dan cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan
sosial tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu efek positif atau negatif ketika
berinteraksi di internet sehingga terjadi kecenderungan yang sering mengenyampingkan
nilai-nilai moral dan etika.
Kondisi demikian tentunya diperlukan guru yang benar-benar mampu untuk
membimbing, mengarahkan dan mampu memfilter hal-hal yang kurang sesuai. Dengan
demikian, tanggung jawab guru pada era milenial semakin kompleks sehingga menuntut
guru tidak hanya kemampuan profesional guru yang melek teknologi yang dipersiapkan
tetapi juga harus memiliki nilai-nilai yang mampu membentuk watak dan pribadi
peserta didiknya dalam menghadapi dunianya. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba
memotret peran guru di era milenial yang berlandaskan pada nilai-nilai rahmatan lil
alamin.
KARAKTERISTIK GENERASI MILENIAL
Studi tentang generasi milenial, terutama di Amerika, sudah banyak dilakukan,
antara lain studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama
University of Berkley tahun 2011 dengan mengambil tema American Millennials:
Deciphering the Enigma Generation. Pada tahun sebelumnya, Pew Research Center
175
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next.
Berdasarkan penelitian-penelitian itu, inilah karakteristik generasi millenial tersebut.
Pertama, generasi milenial lebih percaya User Generated Content (UGC)
daripada informasi searah. Bisa dibilang milenial tidak percaya lagi pada distribusi
informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih percaya kepada UGC atau konten dan
informasi yang dibuat oleh perorangan. Mereka tidak terlalu percaya pada perusahaan
besar dan iklan sebab lebih mementingkan pengalaman pribadi ketimbang iklan atau
review konvensional. Dalam hal pola konsumsi, banyak dari mereka memutuskan untuk
membeli produk setelah melihat review atau testimoni yang dilakukan oleh orang lain di
internet. Mereka juga tak segan-segan membagikan pengalaman buruk mereka terhadap
suatu merek.
Kedua, milenial lebih memilih ponsel dibanding televisi. Generasi ini lahir di era
perkembangan teknologi informasi 4.0, di mana internet berperan besar dalam
keberlangsungan hidup mereka. Hal ini menunjukkan bahwa televisi bukanlah prioritas
generasi millennial untuk mendapatkan informasi atau melihat iklan. Bagi kaum
millennial, iklan pada televisi biasanya dihindari. Generasi millennial lebih suka
mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google atau perbincangan
pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya tetap up-to-date.
Ketiga, para milenial wajib punya media sosial. Komunikasi di antara generasi
milenial sangatlah lancar. Namun, bukan berarti komunikasi itu selalu terjadi dengan
tatap muka, tapi justru sebaliknya. Banyak dari kalangan milenial melakukan semua
komunikasinya melalui text messaging atau juga chatting di dunia maya, dengan
membuat akun yang berisikan profil dirinya, seperti Twitter, Facebook, hingga Line.
Akun media sosial juga dapat dijadikan tempat untuk aktualisasi diri dan ekspresi
karena apa yang ditulis tentang dirinya adalah apa yang akan semua orang baca. Jadi,
hampir semua generasi milenial dipastikan memiliki akun media sosial sebagai tempat
berkomunikasi dan berekspresi.
Keempat, milenial kurang suka membaca secara konvensional. Populasi orang
yang suka membaca buku turun drastis pada generasi milenial. Bagi generasi ini, tulisan
dinilai memusingkan dan membosankan. Generasi milenial bisa dibilang lebih
menyukai melihat gambar, apalagi jika menarik dan berwarna. Walaupun begitu,
milenial yang hobi membaca buku masih tetap ada. Namun, mereka sudah tidak
176
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
membeli buku di toko buku lagi. Mereka lebih memilih membaca buku online (e-book)
sebagai salah satu solusi yang mempermudah generasi ini, untuk tidak perlu repot
membawa buku. Sekarang ini, sudah banyak penerbit yang menyediakan format e-book
untuk dijual agar pembaca dapat membaca dalam ponsel pintarnya.
Kelima, milenial lebih tahu teknologi dibanding orang tua mereka.
Kini semua serba digital dan online, tak heran generasi milenial juga menghabiskan
hidupnya hampir senantiasa online. Generasi ini melihat dunia tidak secara langsung,
tetapi dengan cara yang berbeda, yaitu dengan berselancar di dunia maya sehingga
mereka jadi tahu segalanya. Mulai dari berkomunikasi, berbelanja, mendapatkan
informasi dan kegiatan lainnya, generasi milenial adalah generasi yang sangat modern,
lebih daripada orang tua mereka sehingga tak jarang merekalah yang mengajarkan
teknologi pada kalangan orang tua.
Keenam, milenial cenderung tidak loyal tetapi bekerja efektif.
Diperkirakan pada tahun 2025 mendatang, milenial akan menduduki porsi tenaga kerja
di seluruh dunia sebanyak 75 %. Kini, tak sedikit posisi pemimpin dan manajer yang
telah diduduki oleh milenial. Seperti diungkap oleh riset Sociolab, kebanyakan dari
milenial cenderung meminta gaji tinggi, meminta jam kerja fleksibel, dan meminta
promosi dalam waktu setahun. Mereka juga tidak loyal terhadap suatu pekerjaan atau
perusahaan, tetapi lebih loyal terhadap merek. Milenial biasanya hanya bertahan di
sebuah pekerjaan kurang dari tiga tahun. Namun demikian, sebab kaum milenial hidup
di era informasi yang menjadikan mereka tumbuh cerdas, tak sedikit perusahaan yang
mengalami kenaikan pendapatan karena memperkerjakan kaum milenial.
Ketujuh, milenial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless.
Semuanya semakin mudah dengan kecanggihan teknologi yang semakin maju ini maka
pada generasi millennial pun mulai banyak ditemui perilaku transaksi pembelian yang
sudah tidak menggunakan uang tunai lagi alias cashless. Generasi ini lebih suka tidak
repot membawa uang, karena sekarang hampir semua pembelian bisa dibayar
menggunakan kartu sehingga lebih praktis, hanya perlu gesek atau tapping. Mulai dari
transportasi umum, hingga berbelanja baju dengan kartu kredit dan kegiatan jual beli
lainnya.
177
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
KONSEP RAHMATAN LIL ALAMIN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Perbincangan tentang Islam rahmatan lil alamin merupakan tema yang sudah
sangat familiar, tetapi ketika dikaji memiliki sejumlah cakupan yang luas. Konsep Islam
rahmatan lil alamin merupakan tafsir dari ayat 107 surat al-Anbiya (21) yang artinya;
“Tidaklah aku diutus melainkan untuk membawa rahmat bagi seluruh alam”.
Tafsir al-Mishbah menafsirkan ayat 107 surat al Anbiya bahwa Rasul adalah
rahmat, bukan saja kedatangan beliau membawa ajaran, tetapi juga sosok dan
kepribadian beliau adalah rahmat yang dianugerahkan Allah swt kepada Nabi
Muhammad saw. Ayat ini tidak menyatakan bahwa Allah swt tidak mengurus Nabi
Muhammad saw untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau agar beliau
menjadi rahmat bagi seluruh alam (Shihab, 2009: 159). Kepribadian Nabi Muhammad
saw yang mulia itu tentu saja menjadi rahmat bagi orang yang meneladaninya,
memahami, menghayatinya dalam kehidupannya sehari-hari, yaitu bagi orang yang
berakhlak dengan akhlak rasulullah. Berkaitan dengan ini terdapat beragam perilaku
yangditampilkan pengikutnya guna meneladani nabi Muhammad saw.
Selanjutnya, arti rahmatan lil alamin dijelaskan adalah memahami al-Qur’an
dan Hadis untuk kebaikan semua manusia, alam dan lingkungan. Islam yang dibawa
oleh Nabi adalah Islam untuk semua. Islam mengajarkan kasih sayang pada semua
makhluk: manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, air, tanah, api, udara dan sebagainya
(Jabali dkk., 2011: 42). Islam memandang bahwa yang memiliki jiwa bukan hanya
manusia, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan binatang sehingga mereka itu harus
dikasihani.
Islam sebagai rahmatan lil alamin ini secara normatif dapat dipahami dari ajaran
Islam yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan akhlak. Akidah atau keimanan yang
dimiliki manusia harus melahirkan tata rabbaniy (sebuah kehidupan yang sesuai dengan
aturan Tuhan), tujuan hidup yang mulia, taqwa, tawakkal, ikhlas, ibadah. Aspek akidah
ini harus menumbuhkan sikap emansipasi, mengangkat harkat dan martabat manusia,
penyadaran masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, harmoni dalam pluralisme
(Madjid, 1992: 38). Lebih lanjut, bukti Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam adalah
dengan diutusnya seorang Rasul dan diturunkannya al-Qur’an yang dapat membantu
manusia dalam menjawab berbagai masalah yang tidak dapat dijawab oleh akal pikiran
(Gulen, 2011: 89).
178
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
Islam rahmatan lil alamin selanjutnya dapat dilihat dalam praktik ajaran Islam
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan para pengikutnya
generasi pertama. Nabi Muhammad saw senantiasa berfihak kepada kaum mushtad’afin,
kepedulian sosial, fakir, miskin dan orang-orang yang terkena musibah. Guna menjamin
terpeliharanya hak-hak asasi manusia, lebih lanjut dapat dibaca dalam Piagam Madinah
yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw semasa di Madinah dan disepakati oleh seluruh
perwakilan komunitas penduduk Madinah. Isi Piagam Madinah yang sebanyak 47 pasal
itu mengandung visi etis, solidaritas, persatuan, kebebasan, pengakuan supremasi
hukum, keadilan, serta kontrol sosial untuk mengajak kepada kebaikan dalam mencegah
kemungkaran (Pulungan, 2002: 183-184).
Untuk itu, pelaksanaan Islam rahmatan lil alamin membutuhkan sebuah sikap
yang bijaksana dalam mengelolanya, yaitu: sikap yang profesional, tidak mudah
terpancing, tidak emosional, tetapi tetap sabar sambil memberikan pemahaman yang
lengkap tentang Islam. Pelaksanaan Islam rahmatan lil alamin membutuhkan
rasionalitas, penguasaan diri, sabar, terus mencari jalan keluar, persuasi, pemaaf, kasing
sayang, husn al-dzann (berbaik sangka), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), adil,
demokratis, serta take and give.
Islam rahmatan lil alamin merupakan salah satu ciri keagungan agama Islam.
Penjabaran secara kongkret bahwa Islam pembawa rahmat bagi seluruh. Pertama, orang
lain ikut menikmatinya. Penyebaran Islam yang orang lain atau golongan lain ikut
menikmatinya kebenaran dan kebaikan walaupun mereka bukan Muslim atau golongan
lain tersebut tidak memeluk Islam. Mereka merasakan Islam itu benar dan baik dari
aspek ajaran dan juga dari sikap atau perilaku pengikutnya yang santun, simpatik,
hormat, saling tolong-menolong, toleran, saling bela, saling melindungi dan sebagainya.
Golongan lain merasakan ketenangan berada di lingkungan Muslim. Mereka juga ikut
menikmati kondisi, situasi, sistem sosial, lingkungan masyarakat yang dibangun dan
diciptakan kaum Muslimin. Lebih lanjut, golongan lain juga ikut menikmati dampak
atau hasil yang dicapai umat Islam yang mendorong kemajuan, menegakkan kebenaran,
memerangi kejahatan, membenci keburukan dan menumpas kebatilan.
Kedua, orang lain merasakan faedahnya. Selain menikmati kebenaran ajaran dan
kebaikan umatnya, golongan lain juga merasakan faedahnya dari kebenaran, kebaikan
dan kemajuan Islam. Kemajuan yang diraih umat Islam dalam lapangan atau aspek apa
179
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
saja terasa faedahnya oleh golongan non-Islam. Misalnya, dunia ilmu pengetahuan kini
memakai angkat 0,1 sampai 9. Angka yang digunakan oleh dunia internasional ini
disebut angka Arab, yang notabene adalah Islam, dan manusia seluruh dunia kini
menggunakannya. Umat manusia merasakan faidahnya. Inilah bukti dari Islam sebagai
rahmatan lil alamin. Dunia ilmu pengetahuan mengenal ilmu kimiyya (kimia), aljabar,
ilmu falak (ilmu perbintangan atau astronomi), ilmu kedokteran yang dirintis Ibnu Sina,
ilmu kelautan atau navigasi dan sebagainya. Ilmu-ilmu ini, pada awal
perkembangannya, dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim. Inilah bukti dari
Islam sebagai rahmatan lil alamin yang orang lain merasakan faedahnya.
Ketiga, orang lain terangkat martabatnya. Bukti lain yang harus terwujud dari
konsep Islam sebagai rahmatan lil alamin adalah orang lain terangkat martabatnya.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi dan memperjuangkan kebenaran,
menyuguhkan kebaikan dan mendorong kemajuan harus turut mengangkat martabat
orang-orang yang berada di lingkungannya, yaitu lingkungan pengaruh dan
kekuasaannya. Misalnya, kisah Bilal bin Rabbah, budak hitam yang diperjualbelikan
oleh kafir Quraisy kemudian menjadi orang penting Rasulullah saw setelah dia masuk
Islam. Kisah Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang kalah di pengadilan oleh seorang
Yahudi biasa yang mencuri baju besi dan kisah seorang Yahudi yang melapor pada
Khalifah Umar dan khalifah memecat Gubernur Syam karena menggusur rumah si
Yahudi tersebut. Kisah ini mengangkat derajat kemanusiaan nonmuslim karena hukum
yang adil melindunginya dari ketidakadilan.
Ciri keempat Islam sebagai rahmatan lil alamin adalah siapapun sangat
membutuhkannya. Islam tidak eksklusif hanya diperuntukkan untuk umat Islam sendiri,
tetapi untuk seluruh manusia di muka bumi. Muhammad pun diutus sebagai nabi dan
rasul terakhir (khatamun nabiyyin) untuk umat manusia sampai akhir zaman. Ajaran
Islam yang luhur dan agung harus dirasakan dan dibutuhkan oleh siapapun di muka
bumi ini, oleh orang Islam sendiri dan oleh golongan lain bahkan oleh orang yang tidak
beragama sekalipun. Islam belum menjadi rahmat bagi lingkungan bila golongan lain
tidak membutuhkannya.
Terakhir, bukti rahmat bagi sekalian alam adalah semua orang harus merasa
terbantu oleh Islam. Keagungan Islam harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, dalam
akhlak dan prestasi sehari-hari, membawa kebaikan dan kemajuan sehingga golongan
180
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
lain, siapapun, merasa terbantu oleh kemajuan Islam tersebut. Bukti ini misalnya pernah
dibuktikan oleh Islam pada masa The Golden Age. Perkembangan ilmu pengetahuan
seperti matematika, fisika, kimia, kedokteran, astronomi dan lain-lain yang kini lebih
maju di Barat berasal dari kemajuan yang dicapai oleh dunia Islam yaitu oleh para
ilmuwan seperti oleh Khawarizmi, al-Kindi, Kimiyya, Ibnu Sina dan lain-lain. Kini,
semua orang di muka bumi ini, merasakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan itu,
seperti kemudahan, kepraktisan, kecepatan dan seterusnya.
Selanjutnya, Nata (2016) mengatakan jika konsep Islam rahmatan lil alamin
dihubungkan dengan berbagai tantangan dan peluang, serta kelemahan dan kekuatan
yang dimiliki bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya pada kondisi objektif pendidikan
Islam yang masih membutuhkan revitalisasi. Dengan demikian, model pendidikan Islam
yang diperlukan adalah model pendidikan yang berbasis rahmatan lil alamin yang
ditandai oleh ciri-ciri program sebagai berikut.
Pertama, mengembangkan pendidikan Islam damai yaitu pendidikan yang
diarahkan kepada pengembangan pribadi manusia untuk memperkuat rasa hormat
kepada hak asasi manusia dan kebebasan mendasar serta perlunya kemajuan
pemahaman, toleransi, dan persahabatan antara bangsa, ras, atau kelompok agama, dan
akan memajukan aktivitas Perserikatan Bangsa-bangsa untuk memelihara perdamaian.
(Saleh, 2012: 38). Hal ini menunjukkan bahwa visi pendidikan damai harus tercermin
dalam seluruh komponen pendidikan: tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar,
tenaga pendidik, pelayanan administrasi, lingkungan dan sebagainya. Tujuan
pendidikan harus memanusiakan manusia, kurikulum dirancang bersama guru dan
peserta didik, proses belajar mengajar berlangsung secara manusiawi dan
menyenangkan; tenaga pendidik yang profesional, hangat, menarik, inspiratif, humoris
dan menyenangkan; pelayanan yang adil, manusiawi dan menyenangkan, serta
lingkungan yang bersih, tertib, aman, nyaman, dan inspiratif.
Kedua, mengembangkan pendidikan kewirausahaan serta membangun
kemitraanantara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri. Sebagaimana pada
pada pendidikan Islam damai, maka pada pengembangan pendidikan kewirausahaan
inipun harus tercermin pada semua komponen pendidikan. Tujuan pendidikan harus
mencakup mempersiapkan lulusan agar bisa hidup di masyakat; dalam kurikulum harus
181
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
dimuat mata pelajaran teori dan praktek membuka usaha produk barang dan jasa; pada
tenaga pendidiknya juga harus melibatkan kalangan pengusaha yang sukses.
Ketiga, mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang profetik. Hal ini perlu dilakukan
karena ilmu sosial yang ada sekarang mengalami kemandekan, tidak hanya menjelaskan
fenomena sosial, tetapi seharusnya berupaya mentransformasikannya. Ilmu sosial
profetik adalah ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena
sosial, tetapi juga memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan. Tidak
hanya mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan
profetik tertentu. Yaitu cita-cita humanisasi/ emansipasi, liberasi, dan transendensi yang
diderivasi dari misi historis Islam sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Qur’an surat
Ali Imran (3) ayat 110 (Kuntowijoyo, 1991: 87).
Keempat, memasukkan materi atau mata kuliah tentang toleransi beragama dan
pluralisme sebagaimana yang terdapat dalam ilmu perbandingan agama. Dengan
catatan, tujuan ilmu perbandingan agama ini bukan untuk memojokkan suatu agama,
melainkan dengan menunjukan kelebihan dan kekurangan dari agama masing-masing
terutama dari segi pengamalannya, kemudian saling berbagi pengalaman dalam
kesuksesan menjalankan ajaran agamanya untuk dibagikan kepada orang lain.
Melalui ilmu perbandingan agama ini, ditegaskan bahwa perbedaan agama harus
dilihat sebagai sebuah keniscayaan atau sunnatullah, yakni atas kehendak Allah swt.
Tuhan mempersilakan masing-masing umat menjalankan agamanya dengan baik, dan
jangan bertengkar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, perbedaan agama itu tidak
boleh menghalangi orang untuk saling menolong, menyayangi, berbagi, bersahabat, dan
lainnya atas dasar kasih sayang dan kemanusiaan. Dengan kata lain, kasih sayang dan
kemanusiaan harus berada di atas semua penganut agama.
Hal yang demikian perlu ditegaskan bahwa tujuan utama agama adalah untuk
memanusiakan, memuliakan, mengasihi, dan mensejahterakan manusia. Untuk berbagai
faktor yang bisa memicu terjadi konflik antara penganut agama, seperti perbedaan
doktrin, kegiatan dakwah, pendirian rumah ibadah, dan sikap-sikap abad pertengahan,
yaitu tertutup, sektarian, dendam, benci, dan rasa permusuhan harus dibuang dan diganti
dengan sikap yang senantiasa mencari titik temu dengan mengedepankan sikap yang
inklusif, toleran, moderat, pemaaf, saling menghormati, berbaik sangka, dan tolong
menolong.
182
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
Kelima, mengajarkan Islam yang moderat sebagaimana yang telah menjadi main
streaming Islam yang dianut mayoritas muslim di Indonesia sebagaimana yang
dirumuskan kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan organisasi
keislaman lainnya. Di kalangan NU, terdapat Islam yang akrab dengan budaya lokal
(Islam Nusantara), tanpa mengganggu hal-hal yang fundamental dalam Islam, yakni
akidah, ibadah dan akhlak. Paham Islam ini antara lain dijumpai dalam Paham Ahli
Sunnah wa al- Jama’ah yang bertumpu pada teologi Asy’ariyah, Fikih Syafi’i, dan
tasawuf al-Ghazali serta Abu Junaid al-Baghdadi. Di dalam paham Islam aswaja ini,
perbedaan pendapat sangat dihormati, tidak ada klaim kebenaran mutlak, yang memiliki
kebenaran mutlak hanya Tuhan, dan tidak saling mengkafirkan (Sukma & Joewono,
2007: 11).
Keenam, mengembangan pendidikan yang seimbang antara kekuatan penalaran
dan pengembangan wawasan intelektual, yang meliputi penguasaan sains dan teknologi
(head), pengembangan spiritualitas dan akhlak mulia (heart), dan keterampilan bekerja
vokasional (hand), yang antara satu dan lainnya saling menopang. Akal pikiran
berperan memberikan landasan rasional, pendidikan keterampilan berperan untuk
membantu memasuki dunia kerja, sedangkan pendidikan spiritual dan akhlak berfungsi
sebagai jiwa atas asas.
Ketujuh, mencetak ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Ulama yang
intelek adalah seseorang yang selain memiliki ilmu keagamaan yang luas dan mendalam
disertai sikap dan kepribadian yang mulia: taat beribadah, tawadlu, peduli pada masalah
sosial kemasyarakatan, juga memiliki wawasan pengetahuan umum, seperti sosiologi,
antropologi, sejarah, ekonomi dan sebagainya sebagai alat untuk menjabarkan,
mengkontekstuliasasikan dan mengaktualisasikan ajaran Islam dengan kehidupan
masyarakat, sehingga ia mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi di
masyarakat.
Ide mencetak ulama yang intelek inilah yang sesungguhnya menjadi dasar
pemikiran dan gagasan berdirinya Perguruan Tinggi Islam (PTI) yang dimajukan oleh
para tokoh pendirinya, seperti Mohammad Natsir, Satiman Wirjosandjoyo dan
Mohammad Hatta. Mohammad Natsir, misalnya, mengatakan bahwa pondok pesantren
dan madrasah memang dapat menghasilkan orang-orang yang beriman dan berperilaku
baik, tetapi acuh terhadap perkembangan dunia (Nata, 2014: 197-216). Sementara itu,
183
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
Hatta menjelaskan bahwa pendidikan masjid memiliki kelebihan dalam mengajarkan
nilai-nilai agama, namun lemah dalam pengembangan ilmu umum. Sebaliknya sekolah
umum mengkonsentrasikan dirinya dalam pengembangan kemampuan rasio dan ilmu-
ilmu umum (sains), namun mengacuhkan pendidikan agama, padahal agama
memainkan peranan penting dalam “memanusiakan” manusia (Jabali & Jamhari, 2003:
3-5).
Cita-cita mencetak ulama yang intelek ini sempat mengalami penyimpangan
(deviasi), yaitu ketika pada tahun 70-an terdapat sekitar 113 IAIN, namun hanya
mencetak ulama, sebagaimana yang dilakukan dunia pesantren salafiyah pada
umumnya. Penyimpangan ini segera diselesaikan oleh Mukti Ali, pada saat ia menjabat
Menteri Agama RI pada tahun 75-an. Ia membubarkan ratusan IAIN dan menyisakan
sekitar 13 IAIN dengan visi mencetak ulama yang intelek. Berkenaan dengan penguatan
dalam bidang pengetahuan umum, Mukti Ali mengirim sejumlah dosen agama Islam
untuk belajar Islam bukan hanya di Perguruan Tinggi di Timur Tengah, tetapi juga di
Eropa dan Barat, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Kanada
dan lain- lain. Ulama yang intelek inilah yang dapat mengawal pendidikan Islam agar
tidak kehilangan ruh tauhid, ibadah dan akhlak mulianya.
Sedangkan yang dimaksud dengan intelek yang ulama adalah seseorang yang
memiliki bidang ilmu umum atau memilih kuliah pada program studi umum, seperti
ekonomi, sains, teknologi, fisika, matematika, kedokteran, farmasi, keperawatan,
pertambangan, kelautan, dan sebagainya namun dilandai oleh nilai- nilai keagamaan,
khususnya akidah, ibadah dan akhlak mulia, sehingga ia menjadi seorang ilmuwan yang
Islami, yaitu ilmuwan yang ahli dalam bidang ilmunya, tetapi ia seorang yang kokoh
akidahnya, taat menjalankan ibadah wajib dan sunnah, dan mulia akhlaknya. Ulama
yang intelek dan intelek yang ulama inilah yang pada gilirannya dapat mendukung
terwujudnya integrasi ilmu agama dan ilmu umum, serta dapat mengawal dan
mengarahkan masyarakat.
Kedelapan, dengan cara menghilangkan berbagai kendala pendidikan Islam yang
hinggasaat ini belum sepenuhnya dapat diatasi. Fazlur Rahman, misalnya menyebutkan
sejumlah problema pendidikan Islam yang dihadapi dunia Islam, yaitu problema
ideologis, dualisme dalam sistem pendidikan, bahasa dan problem metode pembelajaran
(Sutrisno & Rahman, 2006 : 172). Orang- orang Islam mempunyai problem ideologis,
184
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
yakni tidak dapat mengaitkan secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orientasi
ideologinya. Akibatnya mereka tidak terdorong untuk belajar, membaca, dan meneliti.
Mereka merasa berdosa kalau tidak shalat, tetapi tidak merasa berdosa kalau tidak
membaca. Sedangkan problema sistem pendidikan yang dualistik terlihat antara lain
pada satu sisi terdapat sistem pendidikan “ulama” yang dilaksanakan di
pesantren/madrasah yang tidak dapat hidup di dunia modern dan tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman; pada sisi lain terdapat sistem pendidikan “umum yang
dilaksanakan di sekolah yang tidak memiliki jiwa agama: akidah, ibadah dan akhlak
mulia.
Sedangkan problema bahasa terlihat pada sikap ummat Islam yang hanya meniru
dan pengulang apa yang dikatakan orang (Barat) tanpa mampu melahirkan gagasan dan
pemikiran yang orisinal. Sedangkan problema yang berkaitan dengan metode
pembelajaran nampak dalam pembelajaran yang hanya mengandalkan hafalan dan
mengulang- ulang, tanpa disertai kemampuan melakukan pemahaman dan pendalaman
secara kritis dan dialektik serta menarik kesimpulan yang komprehensif, dan
memajukan gagasan yang baru dan orisinal. Metode hafalan dan pengulangan ini
menyebabkan umat Islam bersifat defensif (mempertahankan pendapat lama) dan
repetitif (mengulang-ulang), serta tidak mau menggunakan anugerah Tuhan berupa akal
pikiran yang sangan dianjurkan oleh Islam untuk dipergunakan secara maksimal
(Nasution, 1986: 13).
Kesembilan, dengan cara meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif;
merubahparadigma pembelajaran yang memadukan antara pendekatan yang berpusat
pada dosen (teacher-centred approach) dengan pendekatan yang berpusat pada
mahasiswa (student-centred approach) dengan memadukan metode ceramah,
eksplorasi, keteladanan dan bimbingan dengan metode pemecahan masalah (problem
solving), penemuan ilmiah (descovery learning), contextual teaching learning (CTL),
dan interactive learning (Nata, 2014: 243-279) yang diarahkan pada kesadaran
intelektual dan spiritual serta berbasis pada memuaskan pelanggan: berbasis teknologi
canggih (high technology), kerja sama (networking) dengan berbagai perguruan tinggi
terkemuka dan lembaga lainnya yang relevan, serta memberikan penguatan pada
pembinaan karakter yang efektif. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka merubah
tantangan globalisasi menjadi peluang.
185
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
Tantangan tersebut antara lain integrasi ekonomi yang melahirkan pasar bebas
yang bertumpu pada persaingan adu mutu; fragmentasi politik yang melahirkan tuntutan
masyarakat untuk mendapatkan perlakuan yang lebih adil, demokratis, bijaksana, dan
manusia; kesaling tergantungan (interdependensi) yang mengharuskan membangun
kerja sama; penggunaan high technology dan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan
(new colonization in culture) (Buchori, 2005 : 27-32).
Adanya tantangan tersebut harus dirubah dengan menyesuaikan paradigma yang
terdapat pada berbagai komponen pendidikan secara seimbang. Dalam aspek visi, perlu
memadukan keunggulan penguasaan sain, teknologi, bahasa asing dan juga moralitas;
dalam bidang kurikulum harus memiliki kesimbangan antara penguasaan bidang
keislaman, akademik-keilmuan, kearifan lokal, dan kebutuhan lapangan kerja,dalam
bidang pembelajaran harus bermutu dan memuaskan pelanggan; dalam bidang
pelayanan jasa dan informasi; harus berbasis teknologi canggih sehingga jangkauannya
meluas; dalam lingkungan pendidikan harus bersih, tertib, indah, aman, nyaman,
inspiratif, kondusif dan imajinatif. Untuk itu, diperlukan sebuah team penelitian dan
pengembangan (research anddevelopment) atau lembaga penjaminan mutu yang terus
meneliti dan mengembangkan pendidikan agar bermutu sesuai tuntutan globalisasi.
Kesepuluh, meningkatkan kemampuan dalam menguasai bahasa asing,
khususnya Arab dan Inggris. Bahasa Arab diperlukan untuk menggali khazanah warisan
berbagai bidang ilmu agama Islam abad klasik, pertengahan dan modern, sedangkan
bahasa Inggris diperlukan untuk menggali berbagai konsep dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan modern. Kemampuan bahasa asing ini juga diperlukan untuk
menumbuhkan rasa percaya diri, serta dapat berkomunikasi dan berinteraksi secara
efektif dengan berbagai bangsa di kawasan Asia dan dunia global, sehingga akan dapat
saling tukar menukar informasi, saling memberikan akses dan kemudahan dalam
kerangka Islam rahmatan lil alamin. Kemampuan bahasa asing dalam bidang
pemahaman dapat dilakukan dengan cara sering membaca dengan bantuan kamus.
Kemampuan bahasa asing dalam bidang pendengaran dapat dilakukan dengan sering
berkomunikasi dan mendengarkan orang lain berbicara bahasa asing. Kemampuan
bahasa asing dalam bidang menulis dapat dilakukan dengan cara sering menulis
makalah bahasa asing; dan kemampuan bahasa asing dalam bidang percakapan dapat
186
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
dilakukan dengan cara sering menghadiri dan berbicara dalam forum diskusi, seminar,
kuliah umum dan sebagainya dengan menggunakan bahasa asing.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa model pendidikan Islam
yang berbasis rahmatan lil alamin merupakan salah satu model pendidikan yang paling
tepat dalam menghadapi era milenial. Karena dengan model pendidikan yang demikian,
selain pendidikan Islam dapat menjawab berbagai tantangan yang ditimbulkan
informasi yang bebas dan merubahnya menjadi peluang, juga tidak akan kehilangan
identitasnya sebagai pendidikan yang berdasarkan akidah, ibadah dan akhlakul karimah.
Dalam model pendidikan yang demikian, tentunya guru perlu mempersiapkan diri
dengan memperbaiki sikap dan kompetensinya sehingga menjadi figur yang
menginspirasi peserta didiknya.
NILAI-NILAI RAHMATAN LIL ALAMIN DALAM PENGEMBANGAN
PROFESI GURU DI ERA MILENIAL
Pendidikan Islam harus melakukan perubahan-perubahan untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan dan tantangan yang dihadapinya. Tantangan yang paling nyata
adalah globalisasi sebagai akibat kemajuan IPTEK, terutama kemajuan di bidang
telekomonikasi. Bagaimana rasa keimanan, ketakwaan, dan akhlak yang mulia tidak
dipertentangkan dengan kemodernan. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam,
khususnya di Indonesia mampu menyesuaikan dengan tuntunan-tuntunan itu. Oleh
karena itu guru harus mengusahakan agar anak-anak muslim mendapatkan pendidikan
yang berguna bagi kehidupan mereka di dunia dan akhirat (Furchan, 2004 : 9-10).
Dalam Islam, guru merupakan profesi yang mulia karena pendidikan adalah
salah satu tema sentral Islam. Guru bukan hanya sekedar tenaga pengajar, tetapi
sekaligus pendidik. Seorang guru bukan hanya memiliki kualifikasi keilmuan dan
akademis saja, tetapi yang lebih penting harus terpuji akhlaknya. Dengan demikian,
seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan saja tetapi yang lebih penting
membentuk watak dan pribadi peserta didik dengan akhlak dan ajaran Islam.
Dalam konsep Islam, guru adalah sumber ilmu dan moral. Ia merupakan tokoh
identifikasi dalam hal keluasan ilmu dan keluhuran akhlak sehingga peserta didiknya
selalu berupaya untuk mengikuti langkah-langkahnya. Kesatuan antara kepemimpinan
moral dankeilmuan dalam diri seorang guru akan menghindarkan siswa dari bahaya
187
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
keterpecahan pribadi (split personality). Keyakinan pada ajaran Islam, bahwa ilmu yang
dimilikinya tidak ada apa-apanya dibanding ilmu Allah swt, akan menghindarkan diri
guru dari sikap merasa paling pintar sendiri, otoriter terhadap peserta didiknya, yang
pada akhirnya akan tercipta hubungan-hubungan manusiawi antar orang-orang yang
terlibat interaksi dalam pendidikan (Azra, 1998: 167-168).
Berdasarkan uraian tentang karakteristik generasi era milenial dan konsep
rahmatan lil alamin di atas, nilai-nilai yang perlu dikembangkan oleh guru dalam
menghadapi era milenial, di antaranya yaitu: pertama, humanis, menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan menghargai manusia sebagai manusia. Guru dalam pembelajaran
memperlakukan peserta didik sebagai manusia (diterima apa adanya lengkap dengan
kelebihan dan kekurangannya) dan mengarahkan peserta didiknya untuk menghormati
kebebasan mendasar manusia. Guru mampu menjadi tenaga yang profesional, hangat,
menarik, inspiratif, menyenangkan; pelayanan yang adil, manusiawi dan
menyenangkan, dan inpiratif, sehingga peserta didik merasa nyaman dalam
pembelajaran.
Kedua, membangun kerja sama (networking). Hal ini melukiskanbahwa guru
mampu membangun kemitraan dengan berbagai kalangan yang dapat mendukung
proses pendidikan. Guru tidak hanya menyampaikan teori belaka yang bisa mereka cari
di dunia maya, tetapi pembelajaran secara nyata, langsung di lapangan sehingga tidak
membosankan dan menarik bagi peserta didik. Ketiga, sosial-profetik, guru mampu
menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, dan memberikan petunjuk ke arah mana
transformasi itu dilakukan. Guru mampu membantu peserta didik menghadapi masalah-
masalah yang muncul ke arah yang sesuai dengan aturan atau ajaran Islam.
Keempat, nilai toleransi dan pluralisme, guru menghindari sikap tertutup,
sektarian, dendam, benci, dan rasa permusuhan dan diganti dengan sikap yang
senantiasa mencari titik temu dengan mengedepankan sikap yang inklusif, toleran,
moderat, pema’af, saling menghormati, berbaik sangka, dan tolong menolong. Guru
mampu menjelaskan peserta didik agar bisa memberi kesempatan kepada yang lain
untuk melakukan sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa damai dan
memiliki relasi tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik lainnya yang
membedakan antara satu orang dengan orang lain
188
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
Kelima, keseimbangan, guru mengembangkan pendidikan yang seimbang antara
kekuatan penalarandan pengembangan wawasan intelektual: penguasaan sains dan
teknologi (head), pengembangan spiritualitas dan akhlak mulia (heart), dan
keterampilan bekerja vokasional (hand), yang antara satu dan lainnya saling menopang.
Keenam, keteladanan, guru memiliki ilmu keagamaan yang luas dan mendalam
disertai sikap dan kepribadian yang mulia:taat beribadah, tawadlu, peduli pada masalah
sosial kemasyarakatan, juga memiliki wawasan pengetahuan umum. Peserta didik
dengan kondisi psikologis yang masih labil tentu memerlukan figur yang bisa
diteladani, dan guru sudah selayaknya mampu menjadi tokoh yang bisa diikuti baik
ucapan maupun prilakunya.
Ketujuh, dialogis, guru memiliki kemampuan melakukan pemahaman dan
pendalaman secara kritis dan dialektik, yaitu semua persolan yang muncul didiskusikan
secara baik dan akomodatif terhadap beragam pemikiran serta menarik kesimpulan yang
komprehensif. Kedelapan, peningkatkan kualitas sumberdaya yang dimiliki. Guru harus
menguasai teknologi canggih dan komunikasi sehingga ketika menghadapi peserta didik
menjadi “nyambung”, sehingga mereka termotivasi dan terinspirasi untuk selalu
meningkatkan kualitas dirinya.
Dengan adanya internalisasi nilai-nilai di atas, guru akan mampu
menyelamatkan peserta didik yang merupakan generasi milenial agar mereka memiliki
watak dan kepribadian yang “mantab” dan mulia, mampu membangun hubungan yang
harmonis antara manusia dengan manusia serta manusia dengan alam sebagai
perwujudan rahmatan lil alamin.
SIMPULAN
Peserta didik di era milenial memiliki sikap ketergantungan terhadap media
sosial, sementara mereka belum memiliki filter yang kuat untuk dapat memilah dan
memilih informasi yang di terimanya. Oleh karena itu guru di era milenial perlu
mempersiapkan diri dengan memperbaiki sikap dan kompetensinya, sehingga menjadi
figur yang menginspirasi peserta didiknya.
Rahmatan lil alamin merupakan ciri keagungan Islam, yang penjabaran secara
kongkrit diantaranya; orang lain ikut menikmatinya, merasakan faedahnya, terangkat
martabatnya, siapapun membutuhkannya dan semua orang terbantu olehnya. Adapun
189
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
nilai-nilai rahmatan lil alamin yang harus dimiliki guru agar mampu membimbing anak
di era milenial, di antaranya, humanis, kerjasama (networking), sosial-profetik, toleransi
dan pluralisme, keseimbangan, keteladanan, dialogis serta peningkatan kualitas sumber
daya manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, A. (1998). Esei-esei Inteletual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Buchori, M. (2005). Pendidikan Antisipatoris. Jogjakarta: Kanisius.
Fatiah, U. (2007). Konsep Dasar Penyebaran Islam Yang Rahmatan Lil Alamin.
Furchan, A. (2004). Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Anatomi Keberadaan
Madrasah dan PTAI. Yogyakarta: Gama Media.
Gulen, F. (2011). Islam Rahmatan lil Alamin: Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan
Manusia. Jakarta: Republika.
Jabali, F., & Jamhari. (2003). IAIN & Modernisasi di Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta
Press.
Jabali, F. dkk. 2011). Islam Rahmatan lil alamin Jakarta: Kementerian Agama;
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Direktorat Pendidikan Agama Islam.
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Madjid, N. (1992). Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina.
Nasution, H. (1986). Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Nata, A. (2014). Sosiologi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nata, A. (2016, Maret). Islam rahmatan lil alamin sebagai model pendidikan Islam
memasuki ASEAC Community. Makalah disampaikan pada acara Kuliah Tamu
Jurusan PAI FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Pulungan, J. S. (2002). Universalisme Islam. Jakarta: Moyo Segoro Agung.
Saleh, M. N. I.. (2012). Peace Education, Kajian Sejarah, Konsep dan Relevansinya
dengan Pendidikan Islam. Yogyakarta: AR-RUZZ Media.
Sukma, R., & Joewono, C. (2007). Islamic Thought and Movement in Contemporary
Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
190
Miftah Mucharomah
Guru di Era Milenial dalam Bingkai Rahmatan Lil Alamin
DOI: https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1667
Sutrisno & Rahman, F. (2006). Kajian terhadap Metode, Epistimologi dan Sistem
Pendidikan. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
... Generasi milenial cenderung malas untuk memeriksa kevalidan informasi yang mereka dapat dari internet (Mucharomah, 2017). Cyber bullying saat ini juga marak terjadi di mana perundungan tidak harus mempertemukan antara korban dan pelaku, namun dapat terjadi di dunia maya. ...
... Generasi milenial cenderung malas untuk memeriksa kevalidan informasi yang mereka dapat dari internet (Mucharomah, 2017). Cyber bullying saat ini juga marak terjadi di mana perundungan tidak harus mempertemukan antara korban dan pelaku, namun dapat terjadi di dunia maya. ...
... Teachers are portrayed as a source of knowledge and morals. From an Islamic point of view, the internalization of Islamic values that must be possessed by teachers in their professional rules is humanism, cooperation (networking), social-prophetic, tolerance, pluralism, balance, exemplary, dialogical, and improvement (Mucharomah 2017). Based on theory, religion plays an important role in "humanizing" humans, including in terms of professions. ...
Article
Sustainability career for teachers has not been a concern due to the assumption teaching will always be a sustainable career. Data from UNESCO stated that to achieve the 2023 Education goals, the world needs almost 69 million new teachers. The article analyzes teacher career sustainability using the Phenomenology methods to get the perspective of Millennial Generation teachers specifically from schools based on Islamic religion on the sustainability careers of the teachers. Method of data gathered using interviews and observation for 3 years starting from 2020-2023. The interview research is broken down into word codes which resulting in these keywords that affect teachers' career sustainability in Millennial Generation teachers who work in Islamic religion school base (mostly Muhammadiyah): Teachers Motivation, Teacher Commitment, Principals Leadership, Teacher Perspective of workload, and internalization of Islamic Values in the Teachers From the interview result, the internalization of Islamic values holds a deep impact on increasing the sustainability career of teachers who hold Islam as their religion and work in Islamic schools.
... The significance of this research is underscored by its contribution to addressing social problems among children. By comprehending and implementing the Rahmatan Lil Alamin education model, schools can actively participate in molding positive character and personality in the younger generation, subsequently fostering a positive impact on society at large (Mucharomah, 2017). The existence of character education based on Rahmatan Lil Alamin, as evident in Muhammadiyah Elementary School Lemahdadi, positions it as a preventive measure against juvenile delinquency in the future. ...
Article
Full-text available
This research is prompted by the prevalence of child delinquency cases, encompassing issues such as bullying, lack of manners, and early-age smoking. Concerns arise regarding the potential implications of these juvenile delinquencies on subsequent behaviors in adolescence. The primary objective of this study is to delve deeper into the Rahmatan Lil Alamin Islamic values education model based on Muhammadiyah school culture at the Muhammadiyah Flagship Elementary School. The focus is on understanding the role of schools in instilling character values and exploring the benefits of the Rahmatan Lil Alamin Islamic values education model within the context of Muhammadiyah school culture, particularly in strengthening character values at the Lemahdadi Muhammadiyah Leading Primary School. This research employs a qualitative methodology with a descriptive analysis approach. Data collection, analysis, and description occur simultaneously to address the formulated problem. The research findings reveal that programs rooted in Muhammadiyah school culture, including strengthening students' daily worship, Hizbul Wathan training, sacred footprint training, leadership training, market day, Tahfidz Qur'an, and language strengthening in foreign and regional languages, effectively instill the Islamic values of Rahmatan Lil Alamin in students. Teachers play a crucial role in this process through integration into school culture and internalization in religious activities. The various models of Rahmatan Lil Alamin Islamic values education, grounded in Muhammadiyah school culture, significantly contribute to the transformation of students' character and behavioral values. The outcomes indicate a positive shift towards humanist, tolerant, friendly, and democratic attributes among students.
... The significance of this research is underscored by its contribution to addressing social problems among children. By comprehending and implementing the Rahmatan Lil Alamin education model, schools can actively participate in molding positive character and personality in the younger generation, subsequently fostering a positive impact on society at large (Mucharomah, 2017). The existence of character education based on Rahmatan Lil Alamin, as evident in Muhammadiyah Elementary School Lemahdadi, positions it as a preventive measure against juvenile delinquency in the future. ...
Article
Full-text available
This research is prompted by the prevalence of child delinquency cases, encompassing issues such as bullying, lack of manners, and early-age smoking. Concerns arise regarding the potential implications of these juvenile delinquencies on subsequent behaviors in adolescence. The primary objective of this study is to delve deeper into the Rahmatan Lil Alamin Islamic values education model based on Muhammadiyah school culture at the Muhammadiyah Flagship Elementary School. The focus is on understanding the role of schools in instilling character values and exploring the benefits of the Rahmatan Lil Alamin Islamic values education model within the context of Muhammadiyah school culture, particularly in strengthening character values at the Lemahdadi Muhammadiyah Leading Primary School. This research employs a qualitative methodology with a descriptive analysis approach. Data collection, analysis, and description occur simultaneously to address the formulated problem. The research findings reveal that programs rooted in Muhammadiyah school culture, including strengthening students' daily worship, Hizbul Wathan training, sacred footprint training, leadership training, market day, Tahfidz Qur'an, and language strengthening in foreign and regional languages, effectively instill the Islamic values of Rahmatan Lil Alamin in students. Teachers play a crucial role in this process through integration into school culture and internalization in religious activities. The various models of Rahmatan Lil Alamin Islamic values education, grounded in Muhammadiyah school culture, significantly contribute to the transformation of students' character and behavioral values. The outcomes indicate a positive shift towards humanist, tolerant, friendly, and democratic attributes among students.
... Guru harus mampu memahami dan beradaptasi dengan gaya hidup generasi Z karena di butuhkan kompetensi guru dalam mendidik generasi Z (Narulati et al., 2019). Oleh karena itu guru perlu mempersiapkan diri dengan memperbaiki sikap dan kompetensinya sehingga menjadi figure yang dapat menginspirasikan peserta didiknya (Mucharomah, 2017). Guru diharapkan dapat memahami perkembangan teknologi, agar dapat mengembangkan kompetensi agar lebih mampu memberikan wawasan pengetahuannya kepada peserta didiknya. ...
Article
This study aims to see how the professionalism of teachers in the learning process and students' perceptions of the professionalism of teachers in the learning process at school, because the professionalism of teachers guarantees the objectives of education. This research is a descriptive qualitative research where this research will analyze the opinions of 25 students from various schools sampled. The questionnaire used in this study is to obtain information related to students' perceptions of teacher professionalism in the learning process. Based on the results of the study, it is known that 96% of students agree that teachers have competence in teaching. In addition, 92.3% of students stated that teachers have a good understanding of the material presented. 100% of students also feel that teachers have excellent classroom management skills, 96.2% of students also feel that teachers have a friendly and open attitude towards student questions. Students also felt that the teacher gave positive feedback and was willing to help students' difficulties during learning very well (92.3%). Students also feel that teachers motivate students to learn effectively (96%) and students feel that teachers pay attention to students' needs well where 80% agree with the statement. Students also feel that teachers use various and interesting learning methods (92%), students also feel that teachers have the ability to manage and utilize technology well in learning (96.2%), students also feel that teachers have a strong commitment to helping students in learning (96%). Therefore, it can be concluded that teachers can be said to have good professionalism in learning.
... It should not be intimidating or causing distress to others. This concept of Islam is known as moderate Islam or "Islam wasathiyah" (Mucharomah, 2017). ...
Article
Full-text available
Important to strengthen religious moderation in students, as a manifestation of the National Mental Revolution Movement which is embodied in Strengthening Character Education as mandated by Permendikbud Number 20 of 2018, including religious character and nationalism. These two characters are directly proportional to religious moderation which is always preached by Islamic organizations in Indonesia that Pancasila is a State Ideology that can unite all ideologies, ideologies and orientations in Indonesia. This study uses qualitative research with data collection techniques using observation, interviews and documentation studies. The results of the study show that (1) the emergence of mutual respect for one another, namely the tolerant attitude of fellow students and students and teachers. Moderation developed at Muhammadiyah 8 Kisaran High School has implications for mutual respect and tolerance (2) There is an ability possessed by students to receive and reject information that leads to extremism-fundamentalism and exclusivism in schools. (3) The emergence of awareness of teachers with extreme views to no longer indoctrinate students to follow their understanding.
... Islam is a rahmatan lil 'alamin religion. Islam is a merciful religion for the whole world (Arif, 2021(Arif, , 2021Hefni, 2017;Mucharomah, 2017;Rasyid, 2016). Islam is a peaceful religion that teaches its followers to love peace and spread the values of tolerance (Abror, 2020; Alabdulhadi, 2019;Djollong & Akbar, 2019;Islam, 2020;Mustaqim, 2019;Rosyidi, 2019), to appreciate differences, and to cooperate both among Muslims and with followers of other religions. ...
Article
This study is a critical discourse analysis aimed at examining the forms of ideology reflected in Western media coverage and the development of religious moderation policy in Indonesia. The data in this research consists of vocabulary, sentences, and text structures containing ideologies from news texts about Islamophobia in Western media and religious moderation in Indonesia. The data sources used are television and newspaper news in America and Europe as well as television and newspaper news in Indonesia. The process of data collection is carried out by searching and selecting relevant news texts on the research topic from predetermined data sources. Then, the selected news texts are used as data in this research. The data analysis employs the critical discourse analysis technique by Fairclough and Wodak. The results show that the extensive coverage of terrorist activities by the media has resulted in Islamophobia in the West. Similarly, biased policies and discrimination against Muslims have also contributed to acts of terror. It is crucial to utilize media in a positive manner to promote unity and tolerance among different religious communities. The agenda of religious moderation should begin with individuals showing respect and appreciation for differing opinions and beliefs.
Article
Full-text available
Islamic religious education is still at the understanding process stage, not yet fully at the application stage. This study adopted a qualitative descriptive analysis method. The approach used in this study is the library research approach. the teacher is a "key factor" component in the development of the curriculum itself, especially in dealing with the dynamics of social change at this time, where teachers are required to keep abreast of technological developments, for the sake of continuity of educational interaction. The development of a well-implemented Islamic religious education curriculum will produce quality graduates, and of course have an impact on Islamic education institutions, of course with the support of teachers who are not left behind in the progress and development of technology and information. The development of a well-implemented Islamic religious education curriculum will produce quality graduates, and of course have an impact on Islamic education institutions, of course with the support of teachers who are not left behind in the progress and development of technology and information.
Article
This research is a research that contributes ideas in developing curriculum in Madrasah. This is because the progress of the times has penetrated all areas of life, including the field of education. Ofcourse the progress of the times demands progress that affects all aspects in it, including the curriculum as a reference in the education process. So there is a need for curriculum development, especially in Madrasas which in fact prioritize religious education in it. This is of course related to the demands of the times for graduates from Madrasas to be able to compete and not be out of date. The method in this study uses qualitative research and the type of research is library research. The results of this study are the curriculum development process includes: Determining the Model in Development, analyzing Needs and Situations, Determining Objectives, Goals, Goals, Formulating Content in the Curriculum, Selecting Methods in Developing Curriculum, Evaluating Curriculum, Implementing Curriculum, Curriculum Changes Providing Feedback.
Esei-esei Inteletual Muslim dan Pendidikan Islam
  • A Azra
Azra, A. (1998). Esei-esei Inteletual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Konsep Dasar Penyebaran Islam Yang Rahmatan Lil Alamin
  • U Fatiah
Fatiah, U. (2007). Konsep Dasar Penyebaran Islam Yang Rahmatan Lil Alamin.
Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI
  • A Furchan
Furchan, A. (2004). Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI. Yogyakarta: Gama Media.
Islam Rahmatan lil Alamin: Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia
  • F Gulen
Gulen, F. (2011). Islam Rahmatan lil Alamin: Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia. Jakarta: Republika.
Islam Rahmatan lil alamin Jakarta
  • F Jabali
  • Dkk
Jabali, F. dkk. 2011). Islam Rahmatan lil alamin Jakarta: Kementerian Agama;
Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi
  • Kuntowijoyo
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Islam, Doktrin dan Peradaban
  • N Madjid
Madjid, N. (1992). Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina.
Akal dan Wahyu Dalam Islam
  • H Nasution
Nasution, H. (1986). Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Sosiologi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
  • A Nata
Nata, A. (2014). Sosiologi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Islam rahmatan lil alamin sebagai model pendidikan Islam memasuki ASEAC Community. Makalah disampaikan pada acara
  • A Nata
Nata, A. (2016, Maret). Islam rahmatan lil alamin sebagai model pendidikan Islam memasuki ASEAC Community. Makalah disampaikan pada acara Kuliah Tamu Jurusan PAI FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.