Content uploaded by Ahmad Sholikin
Author content
All content in this area was uploaded by Ahmad Sholikin on Jul 01, 2019
Content may be subject to copyright.
Jurnal Transformative, Vol. 5, Nomor 1, Mei 2019
87
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019
Ahmad Sholikin
Pengajar Ilmu Politik di Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
Email: akhmad.sholikin@gmail.com
Abstract
In Indonesia, one of the crucial topics in every general election is about money
management in elections. The role and function of money in elections is very important in studies
in political science. This issue then brings various consequences for election participants,
election organizers, and from the voter side so that the phenomenon of the widespread practice
of money politics is also a major issue in the implementation of each election. The amount of
money circulating in the 2019 Election has the potential to increase from the 2014 general
election. This is based on several things. First, the system and mechanical elections have not
changed from 2014. This means that the personal side or orientation of the election competition
is still based on legislative candidates rather than political parties. Second, the orientation of the
2019 Legislative Election competition remains based on the popularity and personality of the
legislative candidates. Third, to be elected, every legislative candidate will still try to increase its
popularity, increase campaign activities, and personally finance it.
Keywords: Election Funds, Simultaneous Elections, Democratic System, Indonesia
Abstrak
Di Indonesia salah satu topik yang krusial dalam setiap pemilihan umum (pemilu) adalah
menyangkut pengelolaan uang dalam pemilu. Peran dan fungsi uang dalam pemilu adalah sangat
penting dalam kajian dalam ilmu ilmu politik. Isu ini kemudian membawa berbagai konsekuensi
bagi peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan dari sisi pemilih sehingga fenomena maraknya
praktek politik uang juga menjadi isu utama dalam penyelenggaraan setiap pemilu. Besarnya
peredaran uang di Pemilu 2019 berpotensi meningkat dari pemilihan umum 2014. Hal ini
didasarkan beberapa hal. Pertama, sistem dan mekanikal pemilu tidak berubah dari 2014.
Artinya, sisi personal atau orientasi kompetisi Pemilu masih berbasis calon legislatif
dibandingkan partai politik. Kedua, orientasi kompetisi Pemilihan Legislatif 2019 tetap berbasis
pada sisi popularitas dan personalitas calon legislatif. Ketiga, untuk bisa terpilih, maka setiap
calon legislatif tetap akan berupaya meningkatkan popularitasnya, meningkatkan aktivitas
kampanye, dan secara personal membiayainya.
Kata kunci: Dana Pemilu, Pemilu Serentak, Sistem Demokrasi, Indonesia
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
88
PENDAHULUAN
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia menjadi ajang bagi masyarakat untuk menghakimi
dan mengadili para wakil dan pemimpin terpilih setelah bekerja selama 5 tahun/ 1 periode. Pemilu
merupakan agenda untuk melakukan perubahan dengan memilih pemimpin yang baru. Pemilu
yang terselenggara setiap 5 tahun membawa harapan agar para pemimpin tersebut bisa membawa
perubahan yang berarti bagi bangsa dan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Perjalanan
Pemilu di Indonesia sendiri telah melewati banyak transformasi yang panjang sejak jaman
kemerdekaan. Terlebih lagi saat masyarakat Indonesia bisa memilih sendiri kepala daerah dan
Presiden secara langsung.
Di Indonesia salah satu topik yang krusial dalam setiap pemilihan umum (pemilu) adalah
menyangkut pengelolaan uang dalam pemilu. Peran dan fungsi uang dalam pemilu adalah sangat
penting dalam kajian dalam ilmu sosial, khususnya ilmu politik, ilmu hukum, dan ilmu ekonomi.
Topik ini sangat terkait dengan berbagai isu transparansi dan akuntabilitas dalam rangka
mendorong perwujudan pemilu yang berintegritas (Norris 2014). Penegakan prinsip transparansi
dan akuntabilitas masih belum dapat dilakukan secara sepenuhnya dalam pemilu-pemilu yang
sudah diselenggarakan di negeri ini, baik di pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara
langsung, di pemilihan legislatif (pileg), maupun di pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Isu transparansi dan akuntabilitas ini disebabkan oleh setidaknya tiga faktor, yaitu keterbatasan
regulasi yang ada, lemahnya penegakan regulasi, dan masih lemahnya kemauan politik (political
will) dari semua pemangku kepentingan.
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu tonggak penting yang merepresentasikan
kedaulatan rakyat, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada Negara demokrasi tanpa memberikan
peluang adanya pemilihan umum yang dilakukan secara sistematik dan berkala. Oleh karenanya
pemilu digolongkan juga sebagai elemen terpenting dalam system demokrasi. Apabila suatu
negara telah melaksanakan proses pemilu dengan baik, transparan, adil, teratur dan
berkesinambungan, maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara yang tingkat
kedemokratisannya baik, namun sebaliknya apabila suatu negara tidak melaksanakan pemilu atau
tidak mampu melaksanakan pemilunya dengan baik, dimana terjadinya berbagai kecurangan,
deskriminasi, maka negara itu pula dinilai sebagai negara yang anti demokrasi.
Dalam sistem politik Negara Indonesia, pemilu merupakan salah satu proses politik yang
dilaksanakan setiap lima tahun, baik untuk memilih anggota legislatif, maupun untuk memilih
anggota eksekutif. Anggota legislatif yang dipilih dalam pemilu lima tahun tersebut, terdiri dari
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
89
anggota legislatif pusat/parlemen yang dalam ketatanegaraan Indonesia biasanya disebut sebagai
DPR-RI, kemudian DPRD Daerah Pripinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sementara dalam konteks
pemilu untuk pemilihan eksekutif, rakyat telah diberi peluang untuk memilih President, Gubernur
dan Bupati/Walikotanya. Besarnya hak rakyat untuk menentukan para pemimipin dalam lembagai
eksekutif dan legislatif pada saat ini tidak terlepas dari perubahan dan reformasi politik yang telah
bergulir di negara ini sejak tahun 1998, dimana pada masa-masa sebelumnya hak-hak politik
masyarakat sering didiskriminasi dan digunakan untuk kepentingan politik penguasa saja dengan
cara mobilisasi, namun rakyat sendiri tidak diberikan hak politik yang sepenuhnya untuk
menyeleksi para pemimpin, mengkritisi kebijkan, dan proses dialogis yang kritis, sehingga
masyarakat dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan-kepentingannya (Solikhin, 2017).
Partisipasi politik yang merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu
hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Apabila masyarakat memiliki tingkat
partisipasi yang tinggi, maka proses pembangunan politik dan praktik demokratisasi di Indonesia
akan berjalan dengan baik. Perwujudan demokrasi di tingkat lokal, salah satunya adalah dengan
melaksanakan pemilukada di daerah-daerah. Namun, tidak semua perwujudan demokrasi itu
berjalan dengan lancar. Masih banyak polemik mengenai partisipasi masyarakat bawah yang dapat
mempengaruhi proses pemilihan. Sistem pemilu yang diterapkan saat ini banyak menimbulkan
problematika di masyarakat, money politic, mobilisasi massa pelibatan anak-anak, kecurangan
dalam pelaksanaan pemilu, hingga menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu, dan
irrasionalitas dari para caleg dalam ikhtiar pemilu, hingga menghilangkan prinsip keadilan dan
kesetaraan. Tidak sedikit gejolak kerusuhan, pertikaian, dan pertengkaran diantara masyarakat
seolah-olah menjadi pembiasaan di kalangan masyarakat sebagai faktor dari sistem pemilu yang
dianut (Hayat, 2014: 472).
Hal tersebut merupakan salah satu tantangan dalam pemilu yaitu kecenderungan maraknya
praktek politik uang (money politic) yang berlangsung hampir di seluruh tingkatan pemilihan
umum. Ari Dwipayana (2009) menyebutkan bahwa politik uang adalah salah satu faktor penyebab
demokrasi berbiaya tinggi. Sedangkan Wahyudi Kumotomo (2009) menyatakan bahwa setiap
orang tahu bahwa kasus-kasus politik uang merupakan hal yang jamak dalam pemilu setelah
reformasi. Kendatipun semua calon jika ditanya akan selalu mengatakan bahwa mereka tidak
terlibat dalam politik uang, warga akan segera bisa menunjuk bagaimana para calon itu
menggunakan uang untuk “membeli suara” di daerah pemilihan mereka. Menurut Daniel Dhakidae
(2011) politik uang ini merupakan mata rantai dari terbentuknya kartel politik.
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
90
Demokrasi perwakilan yang mengandalkan votes (suara) dengan mudah diubah menjadi
sebuah komoditas, yang akan dijual pada saat sudah diperoleh dan dibeli saat belum diperoleh.
Dibeli waktu pemilihan umum dengan segala teknik dan dijual pula dengan segala teknik.
Fenomena negatif ini muncul dalam transisi demokrasi di Indonesia. John Markoff (2002: 206)
mengindikasikan bahwa fenomena ini sebagai hybrid dalam demokrasi masa transisi. Fenomena
hybrid demokrasi ini merupakan percampuran elemen-elemen demokratis dengan elemen-elemen
non demokratis yang dapat ditemui secara bersamaan dalam sebuah system politik. Larry Diamond
memberikan sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang dia sebut sebagai demokrasi
semu (pseudo-democracy). Indikatornya, mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya
demokrasi hakiki. Politik uang (money politics) merupakan salah satu fenomena negative
mekanisme elektoral di dalam demokrasi. Dalam demokrasi yang belum matang, seperti di
Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan.
Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang
permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di
level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu
kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak
merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi. Studi Nico L.
Kana (2001: 9) di Kecamatan Suruh, misalnya menemukan bahwa pemberian uang (money
politics) sudah biasa berlangsung di tiap pilkades pada masa sebelumnya, oleh masyarakat
setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali asih. Perihal politik uang dari sudut pemilih di
pilkada, Sutoro Eko (2004) juga punya penjelasan. Menurutnya politik uang terjadi karena kuatnya
persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya dialektika
untuk mencari nilai-nilai ideal dan membangun visi bersama, lemahnya aturan main, dan
seterusnya. Hal-hal yang disebut oleh Sutoro Eko itu setidaknya dapat dilihat dari penelitian
Ahmad Yani (dkk) (2008), yang menemukan pemilih lebih menyukai bentuk kampanye terbuka
dan sebagian besar dari mereka menyarankan bagi yang ikut kampanye layak dikasih uang saku
sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 perkali kampanye.
Sejak era Reformasi, Indonesia telah berhasil menyelenggarakan berbagai jenis pemilihan
umum (pemilu) secara berkala. Pemilu legislatif (pileg) DPD, DPR, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota telah diselenggarakan sejak tahun 1999, 2004, 2009 dan sampai tahun 2014.
Sedangkan pemilu presiden (pilpres) telah berlangsung di tahun 2004, 2009 dan 2014. Untuk
pemilihan kepala daerah (pilkada) juga secara langsung telah diselenggarakan sejak tahun 2005
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
91
dan penyelenggaraaan pilkada secara serentak sejak tahun 2015, 2017, dan 2018 (Sholikin, 2018).
Di tahun 2019, Indonesia menyelenggarakan pilpres dan pileg secara serentak untuk pertama
kalinya.
Politik uang di Pemilu 2019 berpotensi meningkat dari pemilihan umum (pemilu) 2014.
Hal ini didasarkan beberapa hal. Pertama, sistem dan mekanikal pemilu tidak berubah dari 2014.
Artinya, sisi personal atau orientasi kompetisi Pemilu masih berbasis calon legislative
dibandingkan partai politik. Kedua, orientasi kompetisi Pemilihan Legislatif 2019 tetap berbasis
pada sisi popularitas dan personalitas calon legislatif. Ketiga, untuk bisa terpilih, maka setiap
calon legislatif tetap akan berupaya meningkatkan popularitasnya, meningkatkan aktivitas
kampanye, dan secara personal membiayainya. KPU pada tahun 2019 mencatat dalam laporannya
terkait dana kampanye oleh 16 partai politik senilai Rp 427.151.741.325. Total sumbangan calon
legislatif Rp 337.856.293.303 atau 79,10 persen. Sedangkan partai 20,09 persen, sisanya
sumbangan perseorangan. 79,10 persen penerimaan dana kampanye dari calon legislatif, secara
konsisten menunjukkan orientasi personal di Pileg 2019 sama kuatnya dengan Pileg 2014
(Laporan ICW 2019).
Isu terkait besarnya peredaran uang dalam setiap gelaran pemilu di Indonesia ini kemudian
membawa berbagai konsekuensi bagi peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan dari sisi pemilih
sehingga fenomena maraknya praktek politik uang juga menjadi isu utama dalam penyelenggaraan
setiap pemilu. Hal ini tentu berdampak sangat krusial bagi tegaknya fungsi utama dari pemilu yaitu
sebagai instrumen untuk sirkulasi kekuasaan dalam rangka rekruitmen untuk mengisi jabatan-
jabatan publik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research) dalam mengelaborasi
berbagai macam literature baik berupa buku, jurnal, maupun literature yang relevan dengan tema
tulisan. Metode kepustakaan ini dipilih dikarenakan ingin memadukan hasil temuan bertema sama
sebagai kajian pendahuluan (preliminary studies) dengan kajian kekinian (Zed, 2008: 2). Hal
tersebut ditujukan untuk verifikasi kajian terdahulu, sekaligus menemukan unsur kebaruan
(novelty) dalam penelitian selanjutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Sistem dan Mekanikal Pemilu 2019
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
92
Demokrasi yang telah dibangun seharusnya berjalan tanpa ada gangguan akan
menghasilkan suatu system yang demokratis di dalam masyarakat, namun bila dibangun sebagai
ajang politik praktis tidak beretika maka sama saja dengan membangun rumah di atas padang pasir.
Esensi demokrasi adalah partisipasi publik dalam menentukan pejabat-pejabat publik dalam
pembuatan kebijakan publik, demokrasi tanpa partisipasi langsung oleh rakyat merupakan bentuk
pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Asumsi inilah yang mendasari bahwa pemilihan para
pejabat politik secara langsung lebih demokratis dibandigkan dengan perwakilan. Kualitas sistem
demokratis ikut di tentukan oleh kualitas proses seleksi para wakil, termasuk para wakil yang
memperoleh mandat untuk memimpin pemerintahan. Dengan demikian pemilihan umum secara
langsung merupakan salah satu alternatif yang bisa dipilih untuk menigkatkan legitimasi
pemerintahan.
Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik dipemerintahan yang
didasarkan pada pilihan formal dari warga Negara yang memenuhi syarat. Pada zaman modern ini
pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal; Pertama, pemilu menempati
posisi penting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu mejadi indikator
negara demokrasi. Ketiga, pemilu terkait dengan implikasi-implikasi yang luas dimana Huntington
menyebut pemilu sebagai alat serta tujuan dari demokratisasi. Pernyataan tersebut berangkat dari
kenyataan tumbangnya penguasa-penguasa otoriter akibat dari pemilu yang mereka sponsori
sendiri karena mencoba memperbaharui legitimasi melalui pemilu (Pamungkas, 2009: 3-4).
Pemilihan umum adalah suatu contoh partisipasi politik yaitu kegiatan warga Negara biasa
dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara
dan sarana yang tersedia bagi rakyat unutk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam
badan-badan perwakilan rakyat untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Sangat bermaknanya
pemilu bagi semua orang, maka pemilihan yang menjadi indikator demokratisnya suatu negara.
Untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme
pemilihan umum maka keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energy demokrasi itu
sendiri. Pemilihan umum dengan makna demokratisnya adalah tempat berkompetisinya partai
politik yang secara umum dapat menjadi tempat pembelajaran bagi elit dan komponen bangsa
lainnya. Selain itu pemilihan umum juga terkait dengan peran serta masyarakat dalam memberikan
dukungan kepada kandidat dan partai politik yang ada (Hendrik, 2003:52).
Desain pemilu serentak di kebanyakan negara lain menunjukkan bahwa sistem pemilu
legislatif dan eksekutif dalam sistem presidensial multipartai haruslah mengkombinasikan waktu
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
93
pelaksanaan yang serentak, sistem proporsional dalam pemilu legislatif, dan sistem plurality
dalam menentukan pemenang pemilu presidennya (Wijayanti & Purwaningsih, 2015: 52). Sistem
plurality sendiri sebetulnya cenderung menghasilkan sedikit kandidat presiden. Ketika pemilu
presiden para pendukung kandidat dalam sistem ini cenderung mengabaikan Para kandidat yang
tidak kompetitif (nonaviable) supaya mereka dapat fokus pada dua kandidat teratas.
Hal ini mendorong proses koalisi antar partai sejak awal karena hanya ada satu putaran
pemilihan. Partai yang mestinya mengajukan calon sendiri namun calonnya kurang kompetitif
cenderung akan mendrop calonnya dan meng-endorse satu di antara dua calon paling kompetitif
dengan harapan akan mendapatkan konsesi politik pasca pemilu presiden. Dampak – reduktif dari
sistem plurality menjadi tidak berpengaruh terhadap penyederhanaan partai di legislatif, dengan
asumsi pemilu legislatif dilaksanakan dengan system proporsional. Mekanisme plurality ini
berpengaruh terhadap partai-partai ketika dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif. Partai-
partai cenderung akan mencalonkan salah satu dari dua kandidat paling kompetitif, dan berujung
pada mengumpulnya dukungan partai-partai legislative pada dua kandidat tersebut. Ketika salah
satu dari kandidat itu memenangkan pemilu presiden, maka dukungan terhadap presiden tersebut
di legislatif cenderung akan mayoritas atau mendekati mayoritas. Dengan demikian gabungan
sistem pemilu presiden plurality yang dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif adalah yang
paling mungkin membantu penguatan sistem presidensial multipartai.
Sistem pemilu presiden dengan majority runoff, di sisi lain, cenderung memiliki dampak -
inflationary terhadap jumlah partai, sekalipun dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif.
Partai dan kandidat yang berkompetisi dalam sistem ini lebih terfokus pada bagaimana maju
keputaran kedua. Selama tidak ada kandidat yang sangat dominan maka seorang kandidat yang
memperoleh minimal sepertiga dari suara punya kemungkinan untuk maju ke putaran kedua
(Wijayanti & Purwaningsih, 2015: 52).
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.14/PUU-XI/2013 merupakan pengujian Pasal 3
ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang No.42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Beberapa pasal tersebut
mengatur ketentuan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Presiden yang di
laksanakan terpisah. Namun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, ketentuan beberapa pasal
tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Implikasi dari pembatalan tersebut adalah dilaksanakannya Pemilihan Umum Nasional
Serentak atau Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Presiden dilakukan secara
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
94
serentak yang dimulai pada tahun 2019 dan tahun-tahun selanjutnya (Putusan Mahkamah
Konstitusi, 2013: 85-87).
Sehingga dengan demikian pertumbuhan partisipasi rakyat dalam hal politik akan
meningkat. Bagi warga Negara dengan pengetahuan politik yang rendah dan keadaan ekonomi
menengah ke bawah akan sangat sulit bagi mereka agar terhindar dari money politic, karena hal
tersebut merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Disadari atau tidak semakin maraknya
money politic di dalam masyarakat sehingga masyarakat semakin pasif terhadap kehidupan
berpolitik dan bahkan cenderung acuh. Hal ini didorong oleh pelaku para calon pemimpin Negara
yang menjamur kemunculannya dan bertarung demi memperoleh suara terbanyak dan menhadi
pemenang dan tidak mengedepankan aspek demokratis aktif. Mereka para calon pemimpin
melakukan berbagai macam cara agar menjadi pemenang dalam pemilihan dengan mengorbankan
harta bendanya untuk membeli suara rakyat. Padahal disadari atau tidak merekalah bibit-bibit
koruptor. Pada akhirnya money politic menjadi ajang yang sudah layak dan lazim dilakukan setiap
kali ada pemilu /pemilukada di dalam masyarakat tanpa adanya pencegahan atau penindakan dari
masyarakat itu sendiri dan pemerintah (Rahmatia, 2015 : 376).
Politik dan uang merupakan dua hal yang berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Untuk
berpolitik orang membutuhkan uang dan dengan uang orang dapat berpolitik. Istilah „politik uang‟
(dalam bahasa Inggris: “money politics‟) mungkin termasuk salah satu istilah yang sudah sangat
sering didengar. Istilah ini menunjuk pada penggunaan uang untuk mempengaruhi keputusan
tertentu, entah itu dalam Pemilu ataupun dalam hal lain yang berhubungan dengan keputusan‐
keputusan penting. Dalam pengertian seperti ini, “uang‟ merupakan “alat‟ untuk mempengaruhi
seseorang dalam menentukan keputusan. Tentu saja dengan kondisi ini maka dapat dipastikan
bahwa keputusan yang diambil tidak lagi berdasarkan baik tidaknya keputusan tersebut bagi orang
lain, tetapi keuntungan yang didapat dari keputusan tersebut. Praktik politik uang (money politics)
dalam Pemilu Serentak 2019 diperkirakan akan naik. Kondisi ini dipicu sistem pemilihan
proporsional terbuka, ditambah dengan bertambahnya aktor politik yang maju sebagai calon
legislatif (caleg) sehingga dipastikan persaingan akan semakin ketat. Di sisi lain, perhatian publik
dan media massa dalam pemilu serentak ini lebih banyak tersedot pada perhelatan pemilihan
presiden (pilpres) sehingga pertarungan di tingkat bawah dalam kontestasi pemilihan legislatif
(pileg) diperkirakan akan semakin brutal.
Sistem pemilu serentak tahun 2019 memakai open list proprotional system, sehingga
kemungkinan besar praktik politik uang akan menjadi new normal, normalitas baru karena
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
95
mekanismenya masih sama dengan system pemilu periode sebelumnya. Dalam penelitian yang
dilakukan Indikator Politik Indonesia (IPI) 2018, praktik politik uang di Indonesia sungguh
memprihatinkan karena berada di posisi ketiga terbesar di dunia. Rata-rata 28,6 persen pemilih di
Indonesia mengakui menerima politik uang. Angka tertinggi dengan berbagai macam metode
bertanya kepada responden di 2014, itu 33 persen. Artinya satu dari tiga orang Indonesia menerima
politik uang. Itu equal dengan 60 juta orang. Kenyataan ini jika dibandingkan pada pemilu-pemilu
sebelumnya juga ada tren terus meningkat. Pada Pemilu 2009, praktik politik uang hanya mencapai
10%, kemudian pada Pemilu 2014 naik menjadi 33%. Sementara sasaran dari praktik politik uang
ini adalah orang yang dekat dengan partai politik. Sehingga secara relatif cenderung orang yang
dekat dengan partai disasar politik uang, tapi secara absolut, politik uang itu terjadi di swing voters
(Muhtadi : 2018).
b. Orientasi Kompetisi Berbasis pada sisi Popularitas dan Personalitas
Kehidupan politik di Indonesia sudah bukan menjadi rahasia umum, ketika terjun dalam
arena politik membutuhkan modal yang cukup banyak. Seperti di antaranya harus cerdas, credible,
accountable, punya jaringan yang luas, bermoral, amanah, dan punya uang banyak. Namun
demikian yang terakhir (uang) selalu menjadi problem tersendiri. Terutama bagi mereka yang baru
pernah terjun dalam dunia politik praktis dan tidak mempunyai cukup resources untuk itu.
Menghilangkan kesempatan munculnya pimpinan yang berkualitas. Uang dan politik ibarat
makanan (nasi) dan lauk. Keduanya harus selalu seiring dan seirama. Nasi tanpa lauk yang
menyertainya hanya akan membuat makan tidak berasa. Begitu pun terjun dalam dunia politik
praktis tanpa mempunyai uang hanya akan membuat imaginasi kekuasaan semakin menjauh.
Dana dan kuasa adalah dua sisi mata uang, saling melengkapi dan saling menguatkan. Dana
menjadi modal untuk merebut kekuasaan; kuasa menjadi alat penting untuk mengumpulkan dana.
Demikian seterusnya, sehingga tidak ada pemegang kekuasaan yang tak berhasrat mengumpulkan
dana; sebaliknya tidak ada pemilik dana yang bisa mengabaikan kekuasaan. Di sinilah hubungan
partai politik dengan uang menjadi tak terpisahkan. Sebagai organisasi yang mengejar kekuasaan,
partai politik membutuhkan uang agar misinya berhasil; selanjutnya ketika sukses memegang
kekuasaan, partai politik terus mengakumulasi uang agar terus bisa bertahan. Dalam sistem politik
demokratis, kebutuhan partai politik akan uang menjadi tak terhindarkan, karena basis legetimasi
kekuasaan adalah dukungan rakyat yang dicerminkan oleh hasil pemilu. Agar berhasil merebut
suara rakyat, partai politik butuh dana kampanye dalam jumlah besar.
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
96
Namun, partai politik sesungguhnya tidak hanya butuh dana kampanye, tetapi juga dana
untuk menggerakkan organisasi sepanjang waktu antara dua pemilu. Dana jenis ini juga tidak
sedikit, karena demi menjaga kepercayaan rakyat, partai politik harus terus eksis melalui beragam
kegiatan: operasional kantor, pendidikan politik, kaderisasi, unjuk publik (public expose), serta
konsolidasi organisasi yang melibatkan kepengurusan tingkat pusat, daerah hingga pelosok desa.
Pada awalnya dana politik, baik dana operasional partai politik maupun dana kampanye,
didapatkan dari iuran anggota partai politik. Hubungan ideologis yang kuat antara anggota dengan
partai politik sebagai alat perjuangan ideologi, menyebabkan anggota sukarela memberikan
sumbangan kepada partai politik. Partai berbasis massa luas tentu saja mendapatkan dana besar
meskipun nilai sumbangan per anggota kecil.
Namun seiring dengan redupnya hubungan ideologis antara anggota dengan partai,
karakter partai politik berbasis massa mulai pudar. Padahal kebutuhan partai politik akan dana
tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Sejalan dengan perkembangan teknologi
komunikasi massa di satu pihak, dan kebebasan berpolitik untuk mengakses kekuasaan di lain
pihak, menyebabkan kompetisi merebut dukungan rakyat melalui pemilu menjadi sangat ketat.
Yang pertama ditandai oleh berkembangnya metode kampanye yang memanfaatkan media massa,
seperti surat kabar, radio dan televisi, yang membutuhkan biaya tidak sedikit; sedang yang kedua
ditandai oleh munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang berubah menjadi partai politik
sehingga persaingan antarpartai menjadi lebih sengit.
Akibatnya, upaya merebut dan mempertahankan pengaruh partai politik di masyarakat
membutuhkan dana operasional partai politik tidak sedikit; demikian juga kampanye untuk
memperebutkan dukungan rakyat melalui pemilu, membutuhkan dana besar. Pada kondisi iuran
anggota tidak bisa diharapkan lagi, maka untuk mendapatkan dana besar, partai politik mau tidak
mau berpaling kepada para penyumbang, baik penyumbang perseorangan, kelompok maupun
lembaga, khususnya badan usaha. Di sinilah partai politik menghadapi dilema besar: di satu pihak,
untuk mempertahankan pengaruh dan merebut suara rakyat, partai politik membutuhkan dana
besar; di lain pihak, besarnya dana sumbangan membuat partai politik tergantung kepada para
penyumbang, sehingga partai politik bisa terjebak kepada kepentingan para penyumbang dan
melupakan misi memperjuangkan kepentingan rakyat.
Hal ini berarti bahwa bagi mereka yang ingin terjun dalam dunia politik mereka harus
mempunyai uang yang cukup. Sebab, uang adalah salah satu faktor determinan untuk bisa maju
dalam kancah politik. Sehingga dalam kajian ilmu politik, penting untuk mempertanyakan
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
97
seberapa penting uang dalam politik dan sejauhmana uang memberi pengaruh terhadap kehidupan
politik di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri uang memegang peranan penting dalam proses-proses
politik. Bagaimana tidak. Seseorang yang tadinya tidak popular dan tidak punya kapasitas dan
kredibilitas bisa dengan mudah menggapai kekuasaan yang diperebutkan banyak orang hanya
dengan benda yang bernama uang. Dalam ranah politik uang merupakan faktor yang sangat
penting.
Uang bisa memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi terbentuknya keseimbangan
demokrasi. Namun, uang juga bisa menjadi bencana manakala pemanfaatannya tidak didasarkan
pada aturan legal formal dan cenderung untuk mendanai aktivitas-aktivitas ilegal. Dalam konteks
yang demikian uang acap kali menjadi alat membeli suara (money politics). Atau sebagai alat jual
beli jabatan yang dilakukan oleh beberapa oknum untuk mengejar kepentingan politik sesaat.
Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa bagi mereka yang mempunyai uang banyak uang
sering kali menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Sementara bagi mereka yang tidak berduit
mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang tersebut. Kondisi di atas
menegaskan bahwa tidak selamanya uang memberikan dampak positif. Pengaruh uang dalam
dunia politik memberikan risiko yang sangat rawan.
Setidaknya office of democracy and governance (2003) mencatat ada 4 macam potensi
risiko yang kemungkinan besar akan timbul. Pertama adalah "uneven playing field". Dalam
konteks ini uang memberikan dampak pada kompetisi yang tidak sehat antara satu kelompok
dengan kelompok yang lain. Asumsi yang dibangun adalah sportivitas permainan politik menjadi
kian langka manakala uang hanya dimanfaatkan oleh segelintir kelompok sehingga kondisi
tersebut berdampak pada keterbatasan ruang gerak bagi kelompok yang lain yang tidak
mempunyai cukup uang. Kedua adalah "unequal access to the office". Kondisi ini mengisyaratkan
bahwa uang telah menciptakan kondisi diskriminatif terhadap politik representasi. Hal ini terjadi
sebab kekuasaan hanya dimonopoli oleh segelintir orang yang mempunyai kontribusi uang sangat
besar. Ketiga adalah "co-opted politicians". Uang menciptakan relasi yang tidak seimbang antara
pemerintah (sebagai pihak yang menerima uang) dan donator (pihak yang memberi uang).
Ironisnya, pemerintah akan berada pada posisi yang lemah. Kondisi demikian akan terjadi di mana
bagi mereka yang telah menyuntikkan dananya. Mereka akan dengan mudah melakukan kooptasi
dan intervensi terhadap para birokrat dan politisi sehingga roda pemerintahan tidak lagi
independen. Keempat adalah "tainted politics". Uang berisiko terhadap lahirnya sistem
pemerintahan yang korup dan mengesampingkan eksistensi hukum. Pada konteks ini roda
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
98
pemerintahan bisa berjalan. Namun demikian wibawa pemerintah serta supremasi hukum menjadi
barang langka.
Berpijak dari fenomena tersebut untuk mengontrol merajalelanya praktek penyelewengan
uang dalam dunia politik harus ada good will dan komitmen semua pihak untuk berusaha keras
agar bisa membendung praktek terlarang tersebut. Aturan dengan mengikutsertakan semangat
kredibelitas dan akuntabilitas saja tidak cukup sehingga aspek moral harus ditempatkan di garda
terdepan. Moralitas memberi andil yang cukup besar dalam rangka membendung praktek kotor
yang kerap muncul dalam dunia politik.
c. Peran Uang dalam Pemilu Serentak 2019
Di antara banyak faktor penting agar sistem demokrasi yang berfungsi dengan baik, hanya
sedikit yang diperdebatkan secara luas mengenai pembiayaan kampanye dalam pemilihan umum
(pemilu). Untuk beberapa orang, uang dalam arena politik berfungsi sebagai bentuk ekspresi
kebebasan berbicara serta sebagai instrumen yang efektif untuk menginformasikan pemilih dan
membangun demokrasi yang inklusif. Namun, bagi yang beberapa pendapat lain, penggunaan
uang yang tidak terkendali dalam politik dapat mengikis fungsi demokrasi karena dapat
menyebabkan kampanye yang berlebihan, akses yang tidak setara terhadap kekuasaan, dan politisi
yang terikat dengan kelompok-kelompok kepentingan khusus (Coate, 2002 : 630).
Dalam prakteknya, hampir setiap negara dengan pluralisme politik, telah mengadopsi
beberapa jenis peraturan keuangan politik mulai dari kewajiban menginformasikan sumber
sumbangan dan kewenangan pengungkapan dana sumbangan tersebut, hingga formula persyaratan
untuk membatasi kontribusi kampanye dan / atau belanjanya. Riset Marcin Walecki bahkan
menguraikan bahwa terhadap 60 negara demokrasi terdapat 25 negara telah memiliki regulasi
mengenai batasan dana kampanye. Beberapa negara tersebut diantaranya Kanada, Perancis,
Irlandia, Israel, Italia, Selandia Baru, Spanyol dan negara-negara Britania Raya termasuk di
dalamnnya Inggris (Walecki, 2007 : 3). Negara-negara seperti Kanada dan Inggris bahkan telah
membatasi belanja kampanye oleh partai dan individu selama beberapa dekade terakhir. Saat ini,
partai politik di Kanada hanya dapat membelanjakan 73,5 sen untuk setiap pemilih di distrik di
mana mereka bersaing. Di Britania Raya, legislasi yang mengatur pengeluaran telah ada sejak
Undang-undang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi 1883. Pada pemilihan umum 2005, belanja
kampanye di tingkat nasional dibatasi sekitar US $ 42.000 per konstituen yang dipertandingkan
(Scarrow, 2007 : 203).
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
99
Fakta terbaru bahkan menyatakan bahwa dua pertiga dari negara-negara Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD) telah mempunyai regulasi mengenai batas
pengeluaran kampanye untuk partai atau kandidat (Speck, 2013 : 17). Salah satu dari beberapa
pengecualian di antara negara-negara maju adalah Amerika Serikat, dimana Mahkamah Agung
Amerika Serikat dalam kasus McCutcheon v. Federal Election Commission memutuskan bahwa
pembatasan dana kampanye adalah inkonstitusional dan berpotensi melanggar hak kebebasan
berbicara. Mahkamah Agung Amerika Serikat pada medio 2014 dalam perkara McCutcheon v.
Federal Election Commission telah membatalkan ketentuan mengenai pembatasan keseluruhan
jumlah dana yang bisa diberikan para donor bagi kampanye politik. berdasarkan ketentuan
pembatasan dana kampanye, para donor bisa memberi sumbangan kepada para calon dan kegiatan
politik sebanyak yang diinginkan asalkan jumlah totalnya tidak melebihi 123,300 $. Putusan itu
diambil dengan dengan perbandingan 5 berbanding 4 hakim yang menentang. Kelima hakim
agung yang setuju berasal dari partai konservatif dan diangkat oleh presiden dari Partai Republik,
sementara empat hakim lainnya berasal dari partai liberal diangkat oleh presiden dari Partai
Demokrat. Ketua hakim agung, John Robert dalam putusan tersebut bahkan menolak pendapat
pemerintahan Presiden Barack Obama bahwa pembatasan sumbangan diperlukan untuk
memerangi korupsi dalam politik. John Robert mengemukakan “Spending large sums of money in
connection with elections, but not in connection with an effort to control the exercise of an
officeholder’s official duties, does not give rise to such quid pro quo corruption. Nor does the
possibility that an individual who spends large sums may garner “influence over or access to”
elected officials or political parties. And because the Government’s interest in preventing the
appearance of corruption is equally confined to the appearance of quid pro quo corruption, the
Government may not seek to limit the appearance of mere influence or access” (Waldman, 2014 :
4).
Di Indonesia sendiri, pasca jatuhnya rezim Orde Baru, dana yang dihabiskan nyatanya
semakin meningkat; demikian juga dengan gelombang dana yang berputar dalam penyelenggaran
maupun kontestasi pilkada. Peningkatan jumlah dana itu tidak hanya terjadi pada biaya
penyelenggaraan yang dibebankan pada APBN dan APBD tetapi juga biaya kampanye yang harus
ditanggung partai politik, calon anggota legislatif, calon presiden, dan calon kepala daerah
(Kompas, 2016). Selain itu, Kenaikan harga pokok kebutuhan kampanye akibat inflasi tahunan
dengan sendirinya menaikkan total harga kebutuhan kampanye. Demikian juga penambahan
jumlah pemilih, jumlah kursi yang diperebutkan, dan jumlah calon, mengakibatkan total biaya
kampanye menjadi berlipat. Selain faktor ekonomi dan demografi tersebut, peningkatan dana
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
100
kampanye juga disebabkan oleh faktor politik. Perubahan sistem pemilu atau instrumen sistem
pemilu nyatanya telah melipatgandakan biaya kampanye. Pemilu 1999 yang menggunakan daftar
calon tertutup dan Pemilu 2009 yang menggunakan daftar calon terbuka, telah menggandakan
dana kampanye. Pada Pemilu 1999 kampanye hanya dilakukan oleh partai politik; sedangkan pada
Pemilu 2009, selain partai politik, para calon anggota legislatif juga berkampanye, hal serupa juga
terjadi dalam Pemilu 2014 dan 2019.
Teten Masduki (2004) menyebutkan bahwa politik uang (money politics) berbeda dengan
ongkos politik (cost politic). Politik uang menurutnya ialah pemberian uang, atau barang, atau
fasilitas tertentu, dan janji kepada para orang-orang tertentu agar seseorang dapat dipilih apakah
misalnya menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Sedangkan biaya politik (cost politic)
misalnya biaya kampanye yang dikeluarkan oleh seorang calon untuk memenangkan suatu jabatan,
biaya sang calon mengadakan pertemuan dengan tamu dan para pendukungnya atau bila si calon
datang ke suatu tempat untuk berkampanye untuk kemenangannya dapat dikatakan ini adalah uang
politik, atau biaya atau ongkos politik. Lebih jauh Teten Masduki (2004) menyebutkan bahwa
politik uang merupakan fenomena baru yang rnuncul dalam dua kali pemilu terakhir. Dalam
pemilu-pemilu pada era Orde Baru, tindak korupsi dalam pemilu lebih didominasi oleh manipulasi
perhitungan suara dan pemilih, yang dilakukan oleh panitia pemilih dan birokrasi pemerintah. Di
masa lalu, upaya untuk memengaruhi pemilih dilakukan oleh partai penguasa (the ruling party)
dalam penggunaan fasilitas publik, seperti pembangunan proyek-proyek pemerintah yang populis
menjelang pelaksanaan pemilu. Perkembangan ini kemungkinan ada kaitannya dengan semakin
terbukanya penyelenggaraan pemilu karena dijalankan oleh sebuah lembaga yang relatif
independen dan bukan oleh birokrasi pemerintah seperti di masa lalu. Besarnya pengaruh politik
partai yang berkuasa terhadap penyelenggaraan pemilu juga semakin berkurang. Dengan
demikian, korupsi dalam pemilu sekarang telah bergeser ke ranah yang melibatkan uang, misalnya
dalam bentuk pembelian suara (vote buying), baik langsung atau tidak.
Akhirnya, kampanye di media massa elektronik, khususnya televisi, yang semakin mahal,
juga berdampak langsung pada penambahan biaya kampanye. Dalam hal ini, partai politik dan
calon tidak bisa menghindari kampanye di televisi, karena televisi merupakan media yang paling
luas dalam menjangkau masyarakat dan paling efektif dalam meyakinkan pemilih. Biaya
kampanye yang terus meningkat akhirnya menimbulkan ketimpangan atau ketidakadilan di
kalangan partai politik peserta pemilu dan calon. Partai politik dan calon yang memiliki dana besar
dapat memaksimalkan kampanyenya untuk merebut suara pemilih sedangkan partai politik dan
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
101
calon yang memiliki dana pas-pasan terpaksa berkampanye apa adanya sehingga sulit merebut hati
pemilih. Dari pemilu ke pemilu menunjukkan peran besar televisi dalam mempengaruhi suara
pemilih sehingga partai politik dan calon yang mampu membeli lebih banyak iklan kampanye di
televisi cenderung berhasil meraih suara. Padahal, kenyataannya tidak semua partai politik dan
calon memiliki kemampuan membeli iklan kampanye di televisi secara maksimal (Muhtadi, 2018
: 58).
Jika selama masa pemilu besarnya dana kampanye menimbulkan ketidakadilan di kalangan
partai politik peserta pemilu dan kandidat. Selain itu, pada pasca pemilu besarnya dana kampanye
menyebabkan korupsi di lingkungan pejabat politik. Hal itu terjadi karena para kader partai politik
yang menduduki jabatan politik harus mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan partai
politik dan mempersiapkan dana kampanye untuk pemilu berikutnya. Keharusan mengumpulkan
dana itulah yang mendorong mereka menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik
untuk memanfaatkan atau mengambil dana negara yang dikelolanya. Terus meningkatnya dana
kampanye, di satu pihak telah menimbulkan ketidakadilan di kalangan peserta pemilu dan calon;
di lain pihak, telah mendorong terjadinya korupsi di lingkungan pejabat politik. Tentu saja hal ini
tidak bisa dibiarkan terus berlangsung, sebab pada ujungnya hal itu akan menjadikan rakyat tidak
percaya kepada pemilu sebagai instrumen demokrasi, menyebabkan tidak percaya kepada
demokrasi sebagai tatanan yang paling sedikit menistakan kemanusiaan. Oleh karena itu, harus
ada upaya nyata agar dana kampanye bisa dikontrol sehingga tercipta keadilan dalam berkampanye
serta mencegah sedini mungkin agar para pejabat politik hasil pemilu tidak terlibat korupsi. Upaya
yang paling mudah dilakukan sekaligus paling efektif hasilnya adalah melakukan pembatasan dana
kampanye (Afifuddin, dkk, 2015 : 18).
Saat ini, regulasi pembatasan dana kampanye dari sisi pemasukan atau penyumbang
terbukti belum mampu membatasi dana kampanye secara keseluruhan sehingga menimbulkan
ketimpangan di kalangan partai politik peserta pemilu dan calon serta mendorong terjadinya
korupsi di lingkungan pejabat politik pasca pemilu. Terdapat beberapa contoh aktual praktik
korupsi yang dikaitkan upaya memperoleh dana kampanye, misalnya kasus penangkapan Bupati
Buol Amran Batalipu yang memiliki skandal penyuapan dengan pengusaha sekaligus pengurus
Partai Demokrat, Hartati Murdaya. Hartati memiliki kepentingan untuk mengurus hak guna usaha
perkebunan dan memberikan suap kepada Bupati Amran senilai Rp 3 miliar, yang kebetulan saat
itu menjadi kontestan pilkada 2012 (Irawan, dkk, 2012 : 18). Hasil penelitian Wahana Lingkungan
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
102
Hidup Indonesia (WALHI) Bengkulu tahun 2009-2010 juga menunjukkan bahwa saat Pemilu dan
Pemilukada digelar, pemerintah.
Selain potensi korupsi, pengaturan dana kampanye pilkada yang saat ini terurai khususnya
dalam Peraturan KPU No 5 Tahun 2017, nyatanya masih menyisakan beragam permasalahan
seperti masih dimungkinkannya non bank transferred based donation yang jelas hal ini membuka
peluang munculnya donasi yang tidak terdokumentasi dan tidak dilaporkan, Tidak adanya
pembatasan maksimal sumbangan dana kampanye dari calon dan partai politik yang keadaan ini
jelas membuka ruang untuk munculnya modus melaporkan donasi pihak lain sebagai dana
kampanye dari calon atau partai politik (untuk menghindar dari ketentuan pembatasan), Sistem
audit dana kampanye yang tidak memadai, dan belum terhubungnya pengawas pemilu dengan
lembaga-lembaga lain yang memiliki relevansi dalam pemeriksaan dana kampanye, misalnya
kantor pajak dan bank.
d. Mahalnya Ongkos Pemilu dalam Sistem Demokrasi
Pemilu serentak memerlukan modifikasi (perubahan) pada sistem pemilihan legislatifnya.
Tanpa perubahan sistem, Pemilu 2019 bisa lebih buruk kualitasnya dibanding dengan Pemilihan
legislative 2014. Tanpa penyempurnaan sistem, Pemilu 2019 bisa menjadi ajang lebih maraknya
praktek politik uang (money politics), gagal mewujudkan sistem presidensial yang dicita-citakan,
dan akibatnya akan mendistorsi implementasi ketentuan konstitusi yang terkait dengan kedaulatan
rakyat. Implikasi yang diharapkan dari adanya pemilu serentak adalah efisiensi pelaksanaan
pemilu disertai efektivitas yang mengikutinya, yang dapat menekan pengeluaran dana negara
dalam pemilu. Dengan pemilu serentak, maka partai politik dituntut untuk menyederhanakan
system parpol dengan multi partai sederhana, sehingga tingkat relevansinya antara sistem pemilu
dan sistem parpol dapat berjalan beriringan dengan penguatan terhadap sistem presidensial, yang
berdampak kepada konsepsi kebijakan-kebijakan pemerintah yang didukung secara penuh dan
solid dalam parlemen terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia (Sholikin, 2013).
Selain itu, hasil pemilu dengan sistem serentak dapat dilihat secara relevan antara anggota
legislatif terpilih dengan presiden terpilih terhadap penguatan sistem presidensial. Presiden
sebagai kepala negara dapat melakukan fungsinya terhadap sistem presidensial secara sistematis
korelatif dengan integrasi yang signifikan dalam kerjasama dengan DPR. DPR menjadi penguat
dalam sistem presidensial terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Presiden dapat melaksanakan
wewenang presidensialnya dengan dukungan yang sangat kuat di parlemen sebagai penyangga
pemerintahan melalui tugas pokok dan fungsinya sebagai legislator. Oleh karenanya, system
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
103
pemilu serentak harus didukung oleh sistem multipartai sederhana sebagai komponen penting
dalam pemilu.
Di Indonesia, pemilu anggota legislatif dilaksanakan terlebih dahulu dari pemilu presiden.
Tingkat partisipasi politik dari masyarakat pada pemilu legislatif dalam pemilu 2009 sebesar 71%,
sementara dalam pilpres turun menjadi 72,09%. Sedangkan dalam pemilu 2014, partisipasi pemilih
dalam pemilu anggota legislatif sebesar 75,1% sedangkan dalam pemilihan umum presiden
sebesar 69,58% (Purnamasari, 2017). Penurunan tingkat partisipasi pemilih ini bias dihindari
apabila dilaksanakan pemilu serentak. Dengan demikian, pemilu serentak antara pileg dan pilpres
akan meningkatkan partisipasi. Argumen pemilu serentak akan meningkatkan partisipasi pemilih,
selain alasan efisiensi waktu, tenaga dan biaya dari pemilih yang dikeluarkan untuk datang ke TPS.
Riker dan Ordeshook (dalam Stockemer & Calca, 2014: 564) menyatakan bahwa pemilu serentak
akan memberikan dorongan psikologis, yaitu mereka menilai bahwa mereka memilih dua pejabat
tinggi secara serentak.
Pemilu serentak memberikan peluang bagi terciptanya system pemerintahan presidensial
yang lebih kuat dan stabil. Hal ini karena koalisi yang dibentuk dalam mengusung pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan lebih awal dan didasarkan kepada visi misi yang sama,
tidak semata-mata untuk memenangkan pemilihan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh
Reynolds, Reilly, & Ellis (2008: 124) bahwa pemilu serentak menguntungkan partai pendukung
presiden, dan mengurangi fragmentasi antara legislative dan eksekutif. Dengan demikian maka
koalisi yang dibangun akan menjadi lebih solid. Koalisi yang memperoleh dukungan mayoritas di
parlemen dan memenangkan pilpres kemungkinan akan berjuang untuk memenangkan pilkada.
Kekuasaan yang sama pada level nasional dan lokal akan memudahkan presiden dalam melakukan
koordinasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang berjenjang sehingga pemerintahan juga akan
lebih efektif.
Dengan peluang adanya pemilu serentak, partai politik bisa melaksanakan fungsi-
fungsinya secara lebih efisien. Waktu, tenaga dan biaya yang dibutukan oleh partai politik untuk
kampanye menjadi lebih efisien karena dilakukan secara bersamaan. Koalisi dalam mengusung
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden bisa dilakukan lebih awal. Partai politik, bahkan
partai kecil sekalipun mempunyai peluang yang sama dalam mengusung pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden. Pasangan capres dan cawapres yang popular dan bisa diterima oleh partai-
partai yang lain merupakan cara untuk mendongkrak suara partai dan memenangkan pemilu.
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
104
Peluang adanya pemilu serentak bagi penyelenggara pemilu adalah efisiensi biaya pemilu
itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, penyelenggara pemilu meliputi KPU dan Bawaslu yang
dalam pelaksanaan tugasnya secara etis dikontrol oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemiu
(DKPP). KPU bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu mulai dari pendataan pemilih,
menerima dan memvalidasi nominasi kontestan pemilu baik partai politik maupun kandidat,
melaksanakan pemilu, perhitungan suara dan rekapitulasi suara. Sementara Bawaslu bertugas
mengawasi pelaksanaan pemilu agar sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Dalam pelaksanaan peran dan fungsi tersebut tentunya terkait banyak aspek
teknis pemilu dan manajemen pemilu yang harus dilakukan. Sistem pemilu yang berbeda
membutuhkan pengaturan dan persiapan serta manajemen pemilu yang berbeda. Peluang terbesar
dari penyelenggara pemilu dengan dilaksanakannya pemilu serentak adalah efisiensi anggaran
pemilu, karena pemilu tidak lagi dilaksanakan berkali kali.
KESIMPULAN
Demokrasi memang bukan sistem yang murah termasuk untuk membiayai pemilu, negara-
negara lainnya yang menganut demokrasi juga mengalaminya. Pemilu presiden Srilanka pada
2015. Sebanyak 15 juta pemilih terdaftar dalam pemilu itu. Dalam penyelenggaraan pemilu itu,
pemerintah SriLanka mengalokasikan dana hingga 1,3 miliar rupee atau setara dengan US$9,29
juta. Pemilu Kenya pada 2017 misalnya, sebanyak 19 juta pemilih akan menentukan presiden dan
anggota legislatif secara serentak. Pemilu yang diklaim terbesar sepanjang sejarah Benua Afrika
itu menghabiskan anggaran hingga US$ 480 Juta. Contoh lainnya Negara adidaya AS juga punya
anggaran yang fantastis dalam membiayai pemilu presiden dan kongres 2016, yakni US$ 6,5
miliar. Dana itu digunakan untuk mengakomodir sebanyak 137,5 juta pemilih. Jika dibandingkan
dengan AS, anggaran pemilu Indonesia memang terbilang sedikit. Namun, nilai Rp24,8 triliun
bukanlah angka yang kecil.
Menurut Ohman (2014), agar reformasi pembiayaan pemilu dapat dilakukan dengan baik,
paling tidak ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama adalah menetapkan tujuan
politik (political goals) dari regulasi dan implementasi tentang pembiayaan pemilu. Kesepakatan
para aktor dalam menentukan political goals perlu sebagai bagian penting untuk
diimplementasikan bersama. Dalam konteks Indonesia kekinian, political goals ini belum nampak
terlihat bila dibaca dalam regulasi yang ada. Kedua, dalam melakukan reformasi pembiayaan
pemilu, kita perlu mempertimbangkan konteks lembaga-lembaga politik yang ada, misalnya
sistem pemilu, pola pengorganisasian partai politik, sistem kepartaian dan model perwakilan di
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
105
parlemen yang bekerja di sebuah negara perlu juga diperhatikan secara serius. Seharusnya semua
faktor tersebut ini memiliki sinergi satu sama lain sehingga kita dapat mengarah pada satu tujuan
yang sama.
Pemilu serentak diharapkan bukan hanya instrumen yang mekanistik dan teknokratis, tetapi
juga bagian dari pendidikan politik sebagai solusi atas apatisme publik yang terjadi. Pilkada
serentak adalah medan kontestasi politik dengan seperangkat aturan main yang tidak secara
otomatis menghasilkan figur-figur pemimpin yang transformasional. Oleh karenanya, publik harus
memiliki kapasitas berdemokrasi untuk melakukan penyaringan para elit tersebut. Pemilu serentak
secara langsung merupakan anak kandung dari gerakan reformasi tentu masih banyak menyisakan
persoalan, namun tetap melangkah dan melakukan perbaikan melalui regulasi pilkada merupakan
sebuah proses yang baik. Karena sesungguhnya, demokrasi kita adalah pilihan terbaik dari pilihan
terburuk yang ada (the best of the worst), dan sudah sepatutnya kita terus belajar tanpa harus
kembali ke belakang.
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
106
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin, M., Sunanto, Masykurudin Hafidz, Zaid Muhammad. (2015). Menguak Dana
Kampanye Dalam Pemilu Legislatif 2014: Temuan Pemantauan di Tiga Provinsi
Kalimantan Selatan, Lampung dan Maluku. Jakarta: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk
Rakyat.
Budiarjo, Miriam (1998), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Budiardjo, Miriam (2008), Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Coate, Stephen. (2004). Pareto-improving campaign finance policy. (American Economic
Review, Vol 94 No 3, 2004), Hlm 628–655.
Dakhidae, Daniel (2011), Melawan Politik Kartel Dalam Demokrasi di Indonesia, Makalah
Ilmiah, Yogyakarta: FISIPOL UGM.
Damsar (2010), Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group
Djani, Luki, dan Badoh, Ibrahim (2006), Dana Kampanye Kerap Luput dari Perhatian, Kompas,
16 Desember 2006.
Dwipayana, AAGN Ari, (2009), Demokrasi Biaya Tinggi, Yogyakarta: Jurnal FISIPOL UGM.
Eko, Sutoro (2004), Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses, dan Implikasi, Jakarta: Yayasan
Harkat Bangsa.
Forest, Liacco and Teresita Dy (2000), Controlling Illegal Influence Of 'Money Politics', IFES.
Ghozali, Imam (2006), Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Hair, Jr., J.F Black., W.C. Babin, B,J., Anderson, R.E., and Tatham, R.L (2006), Multivariate
Data Analysis, 6th Edition, Prentice Hall.
Haris, S., Surbakti, R., Bhakti, I. N., Isra, S., Ambardi, K., Harjanto, N., Nurhasim, M. (2014).
Pemilu Nasional Serentak 2019. Diakses dari
http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_06_01_35_09_EXECUTIVE
SUMMARY PEMILU SERENTAK 2019.pdf.
Huntington, Samuel P. dan Joan Nelson (1994), Partisipasi Politik Di Negara Berkembang,
Jakarta: Rineka Cipta.
Irawan, Ade, Abdullah Dahlan, dan Apung Widad. (2012). Korupsi Pemilukada. Jakarta:
Indonesian Corruption Watch.
Kana, Nico L (2001), Strategi Pengelolaan Persaingan Politik Elit Desa di Wilayah Kecamatan
Suruh: Kasus Pemilihan Kepala Desa, Jurnal Renai Tahun 1 No. 2.
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor 2, Julii 2016
107
E Hall Krejcie, Robert. V dan Daryle W. Morgan (1970), Determining Sample Size For Research
Activities, Educational and Psychological Measurement , 30: 607 – 610.
Markoff, John (2002), Gelombang Demokrasi Dunia, Gerakan Sosial dan Perubahan Politik,
Yogyakarta: CCSS.
Masduki, Teten (2004), Politik Uang Dalam Pemenangan Pemilu, Kompas, 2 Juli 2004.
Mas’oed, Mochatar dan Collin MacAndrews (1986), Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta:
Gajahmada University.
Muhtadi, Burhanuddin. (2018). Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, And
Winning Margins. Canbera: Disertasi Pada Australia National University.
Nunnaly, J (1978), Psychometric Methods, New York: McGraww-Hill.
Pamungkas, Sigit (2009), Perihal Pemilu. Yokyakarta: Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada.
Pfeiffer, Silke (2004), Vote Buying and Its Implications for Democracy: Evidence from Latin
America, TI.
Rahmatia HL. Sikap Dan Pengetahun Masyarakat Terhadap Money Politic Dalam Pemilu
Legislatif Tahun 2014 Di Kabupaten Gowa. Jurnal Al Daulah Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alaudin Makassar Vol.4/No.2/Desember 2015
hlm. 376. 3
Reynolds, A., Reilly, B., & Ellis, A. (2008). Electoral System Design: The New International
IDEA Handbook. Stockholm: Idea International. Diakses dari
http://www.idea.int/publications/esd/ upload/ESD_Handb_low.pdf.
Scarrow, Susan E. (2007). Political finance in comparative perspective. (Annual Review of
Political Science, Vol 10 No 1, 2007), Hlm 193–210.
Speck, Bruno Wilhem. (2013). Money in politics: Sound political competition and trust in
government. Technical report, (OECD: Background paper, 2013) Hlm 16-17.
Sholikin, A. (2013). Pemikiran Politik Negara Dan Agama “Ahmad Syafii Maarif.” Universitas
Airlangga.
Sholikin, A. (2018). Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Minyak Bumi) di
Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan
Praktek Administrasi, 15(1), 35–50.
Solikhin, A. (2017). Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia. Journal
of Governance, 2(1).
Mahalnya Ongkos Politik dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 (Ahmad Sholikin)
108
Sekaran, Uma (2003), Research Methods for Business, A skill building approach, 4th edition,
John Wiley &Sons.hair.
Shively, Phillips, W (1987), Power and Choice: An Introduction to Political Science, New York
: Random House.
Surbakti, R., Supriyanto, D., & Asy’ari, H. (2011). Merancang Sistem Politik Demokratis
Merancang Sistem Politik Demokratis Menuju Pemerintahan Presidensial yang Efektif.
Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
USAID ( 2003), Money in Politics Handbook: A Guide to Increasing Transparency in Emerging
Democracies, Technical Publication Series, November 2003, Washington D.C.
Waldman, Paul. (2014). How Our Campaign Finance System Compares to Other Countries. (The
American Prospect, 4 April 2014) Hlm 4.
Walecki, Marcin. (2007). Spending limits as a policy option. (IFES Political Finance White Paper
Series. June. 2007) Hlm 3.