Content uploaded by Muhammad Imdad
Author content
All content in this area was uploaded by Muhammad Imdad on Aug 03, 2019
Content may be subject to copyright.
Vol. 3, No. 1, Februari 2019, hlm. 1-20
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah;
Antara Imam al-Asyari dan Ibn Taymiyyah
Muhammad Imdad Rabbani*
Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid, Probolinggo
imdadr@gmail.com
Abstract
This paper wants to highlight the distinct problem in understanding monotheism. That
is the understanding that came from Abu al-Hasan al-Asy'ari with Ibn Taimiyyah. The
emphasis of the discussion is located on whether the difference between the two in understanding
tauhid has entered the realm of ushul aqeedah or not? Because of this difference, one of
the followers called the other one ‘out’ from ahl sunnah wa al-jama'ah. This problem is
increasingly relevant to be discussed because both are often bumped into each other ; as if
it could not come together otherwise there is no point of equality. On the one side Asy'ari
inherits a thick kalam tradition, while on the other hand Ibn Taimiyyah tends to be critical
of this tradition. For the second group, the kalam tradition is called too rational and is
considered dangerous to interpreting the issue of aqeedah. Therefore, this paper specically
wants to highlight some of the problems above, to a minimum of nding common ground
while at the same time providing an alternative view that is often missed a lot of people
Keywords: Tauh}id, Abu Hasan al-Asy’ari, Ibn Taimiyyah, kalam tradition, ahl al-
sunnah wa al-jama>’ah
Abstrak
Makalah ini ingin menyoroti problem distingsi dalam memahami tauhid. Yaitu
pemahaman yang datang dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dengan Ibn Taimiyyah. Titik tekan
pembahasannya adalah terletak pada, apakah distingsi keduanya dalam memahami tauhid
telah masuk kepada ranah ushul aqidah atau bukan? Karena perbedaan ini faktanya
membuat pengikut salah satunya menyebut salah lainnya keluar dari sebutan ahl sunnah
wa al-jama’ah. Problem ini semakin relevan untuk dibahas karena keduanya seringkali
* Jl. KH. Zaini Munim Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo,
Jawa Timur, Indonesia. Telp: +62335 771732.
Available at:
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tasyah
http://dx.doi.org/10.21111/tasyah.v3i1.2979
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
2
dibentur-benturkan satu sama lain; seolah-olah tidak bisa disatukan dan tidak ada titik
persamaan. Di satu sisi Asy’ari mewarisi tradisi kalam yang kental, sedang di sisi lainnya
Ibn Taimiyyah cenderung kritis terhadap tradisi ini. Bagi golongan yang kedua, tradisi
kalam disebut terlalu rasional dan dianggap berbahaya dalam menafsir persoalan aqidah.
Oleh karena itu, makalah ini secara khusus ingin menyoroti beberapa problem di atas,
untuk seminimalnya mencari titik temu sekaligus memberikan alternatif pandangan yang
banyak dilewatkan banyak orang.
Kata Kunci: Tauh}id, Abu Hasan al-Asy’ari, Ibn Taimiyyah, tradisi kalam, ahl al-
sunnah wa al-jama>’ah
Pendahuluan
Salah satu persoalan yang saat ini menyibukkan umat Islam
adalah berbagai perdebatan teologis yang diwarisi oleh generasi
sebelumnya. Di antara banyak perdebatan yang seringkali memantik
kontroversi adalah diskusi seputar konsep tauhid. Di kalangan
umat Islam saat ini, yang disebut sebagai ahlussunnah wal jama’ah,
terdapat sekurangnya dua pendekatan dalam mengelaborasi konsep
tauhid. Pertama adalah mereka yang mewarisi tradisi ilmu kalam.
Yang menjadi menarik adalah, bagi sebagian kalangan, ilmu kalam
dianggap terlalu rasional dalam diskursus aqidah. Mereka dianggap
mengabaikan pendekatan teks dalam pembahasan yang bersifat
usuliyah; aqidah.
Bila ditelusuri secara seksama, sebagian besar kelompok ini
biasanya diidentikasi sebagai pengikut madzhab Abu al-Hasan al-
Asy’ari (w. 324/936), atau yang biasa dikenal dengan asya’irah dan
sebagian lainnya adalah sebagai penganut madzhab Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333/944) atau yang masyhur disebut maturidiyyah.
Kedua, di sisi yang berbeda, terdapat golongan lain yang cenderung
menjadi ”rekan kritis” dari pewaris tradisi kalam ini. Mereka, di
masa klasik, adalah sebagian pengikut madzhab Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241/855), yang posisi teologisnya mendapat elaborasi
dan pembelaan secara luas dan rasional dari seorang alim madzhab
Hanbali abad ke delapan hijriah, yaitu Ibn Taymiyah (w. 728/-1328).
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 3
Dalam beberapa kesempatan, Syeikh Mushthafa Abd
al-Raziq (w. 1366/1947) menilai bahwa ”persaingan” kedua
aliran pemikiran teologis ini menandai kebangkitan wacana
teologi Islam kontemporer.1 Yang menjadi persoalannya adalah
terkadang—untuk tidak mengatakan seringkali—perdebatan
yang terjadi menyebabkan salah satu pihak menyalahkan, bahkan
menyesatkan kawan bicaranya, tanpa terlebih dahulu menimbang
apakah persoalan yang diperdebatkan termasuk di antara hal yang
tidak boleh diperselisihkan atau sebaliknya. Dalam konteks inilah,
diskusi mengenai konsep tauhid dalam pandangan al-Asy’ari dan
Ibn Taymiyah menemukan relevansi dan urgensinya. Konsep ini
dipilih mengingat sentralitasnya dalam Islam, yang kalau diingat-
ingat kembali, seringkali menjadi alasan utama, kekuranghati-hatian
dalam menilai, juga menjadi alat bagi tindakan takri: pengkaran
dan sejenisnya.
Tulisan ini berusaha memaparkan bagaimana sebetulnya
keduanya—baik Asy’ari maupun Ibn Taimiyyah—memformulasikan
tauhid, dengan menguraikan persamaan dan perbedaannya, untuk
kemudian menggarisbawahi bahwa secara umum perbedaan
keduanya tidak sampai mengeluarkan keduanya dan pengikutnya
dari ahlussunnah wa al-jama’ah. Untuk itu, terlebih dahulu akan
dijelaskan pengertian ahlussunnah juga yang menjadi tolak
ukurnya. Kemudian akan dibicarakan secara terpisah, konsep
tauhid menurut al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah. Tulisan ini diakhiri
dengan beberapa catatan mengenai perbandingan sekilas konsep
tauhid menurut keduanya dan sikap yang seharusnya diambil oleh
umat Islam sekarang. Pandangan keduanya dipaparkan sebisa
mungkin menggunakan kutipan langsung, untuk meminimalkan
penafsiran penulis. Khusus untuk al-Asy’ari, gagasan dari para
pengikutnya akan juga dikutip dalam tema-tema yang tidak secara
spesik dibicarakan oleh al-Asy’ari. Sedangkan bacaan terhadap
Ibn Taymiyyah hampir seluruhnya didasarkan atas karya beliau
1 Mushthafa Abd al-Raziq, Tamh}īd lī Tārīkh al-Falsafah al-Islāmiyah, (Beirut dan
Kairo: Dār al-Kitab al-Lubnani dan Dar al-Kitab al-Mishri, 2011), 429.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
4
sendiri. Dengan demikian, tulisan ini adalah kajian deskriptif yang
ditunjukan tidak untuk mengevaluasi pandangan keduanya.
Sekilas tentang Ahl Sunnah wa al-Jama’ah
Secara sederhana, sebutan Ahl Sunnah wa al-Jamā’ah
mengandung penyandaran kepada dua hal; al-Sunnah dan al-Jamā‘ah.
Pengertian yang pertama adalah segala yang dinisbatkan pada Nabi
SAW., baik berupa sabda, perbuatan, persetujuan, maupun sifat
sik atau non-sik.2 Tercakup pula di dalamnya adalah sunnah al-
Khulafā’ al-Rāsyidīn.3 Sedangkan makna al-Jamā’ah adalah ulama yang
otoritatif pada setiap masa.4 Dengan demikian, yang termasuk
ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah adalah mereka yang pemahaman
dan pengamalan agamanya didasarkan pada pemahaman
dan pengamalan para Sahabat, dan kemudian sebagaimana
yang dipahami dan diamalkan oleh generasi kemudian secara
berkelanjutan yang bersandar pada mata rantai keilmuan (sanad) yang
tidak terputus5 dan sampai pada Nabi SAW, baik dalam pandangan
dan pemahaman (madzāhib) maupun metode memahami (manāhij
al-Fahm wa al-Istinbāt}). Yang penting untuk ditekankan dalam hal ini
adalah prinsip-prinsip interaksi intelektual dan kebudayaan dalam
mengadopsi dan mengadapsi hal-hal baru yang ditemui terutama
oleh tiga generasi pertama.
Selain istilah ahlussunnah wal jama’ah, terdapat beberapa
ungkapan lain yang bermakna serupa yang juga digunakan dalam
2 Nur al-Din ‘Itr, Manh}āj al-Naqd fī ‘Ulūm al-H}adīts, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1979), 29-30.
3 Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mājah, (Ed.)
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, T.Th), Jilid I, 15.
4 Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath} al-Bāri Syarh} S}ah}īh}
al-Bukhārī, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379), Jilid XIII, 316.
5 Tentang signikansi sanad, Abd Allah bin al-Mubarak, berkata ”Penyebutan
sanad (transmisi keilmuan) adalah bagian dari agama; andaikan tidak ada klarikasi transmisi
keilmuan, niscaya siapa saja bisa berbicara apa saja”, baca: Abu al-Husayn Muslim bin al-
Hajjaj al-Qusyayri, al-Jāmī al-S}ah}īh} al-Musammā S}ah}īh} Muslim, (Beirut: Dar al-Jil dan Dar
al-Afaq al-Jadidah, T.Th), Jilid I, 12.
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 5
hadis, seperti al-Sawa>d al-a‘z}ām,6 mā anā ‘alayhi wa as}h}ābi,7 dan al-
jamā‘ah.8 Terma-terma ini menunjuk pada pengertian yang sama
yaitu semua umat Islam yang mengikuti jejak Rasululah SAW. dan
para Sahabat RA., yang merupakan mayoritas umat Islam dalam
setiap masa. Seperti yang diindikasikan oleh jawaban Imam Malik
RA. (w. 179/795) ketika ditanya tentang ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah,
”mereka yang tidak punya sebutan tertentu, bukan Jahmi, bukan
Qadari, dan juga bukan Radli.”9 Artinya, mereka adalah mayoritas
umat Islam yang pemahaman agamanya diwarisi dari generasi
sebelumnya dengan silsilah sanad yang sampai pada Nabi SAW.
dan para Sahabat RA., bukan mereka yang membuat pandangan
atau cara berpikir yang tidak dikenal oleh generasi sebelumnya,
yang membuat mereka terpencil dari sebagian besar umat Islam.
Dalam konteks ini, yang perlu dipahami adalah distingsi
antara dalil yang bersifat pasti (qat}‘iyyāt) dan yang tidak (z}anniyyāt).
Yang pertama adalah yang disepakati para Sahabat ra. yang pasti
berlandaskan Wahyu, sedangkan yang kedua berada dalam wilayah
yang diperselisihkan oleh para Sahabat maupun ulama sesudah
mereka; karena ketiadaan dalil yang bersifat pasti makna dan
6 Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu‘jam al-Awsat}, (Ed.)
Thariq bin ‘Iwadl Allah bin Muhammad, (Kairo: Dar al-Haramayn, 1415), Jilid VII,
175; Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu‘jam al-Kabīr, (Ed.) Hamdi
bin Abd al-Majid al-Sala, (Mosul: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, 1983), Jilid VIII,
152, 268, 274. Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mājah,
Jilid II, 1303.
7 Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmīdzī, (Ed.) Ahmad
Muhammad Syakir, et al., (Beirut: Dar Ihya al-Turaats al-‘Arabi, T.Th), Jilid V, 26.
8 Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Syaybani, Musnad al-Imām Ah}mad bin
H}anbal, (Kairo: Muassasah Qurthubah, T.Th), Jilid IV, 102. Lihat juga; Abu Dawud
Sulayman bin al-Asy‘ats al-Sijistani, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
T.Th), Jilid IV, 324.
9 Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abd al-Barr, al-Intiqā’ fī Fad}ā’il al-A’immah al-Tsalātsah al-
Fuqahā’, (Ed.) ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah, (Aleppo dan Beirut: Maktab al-Mathbu‘at
al-Islamiyah dan Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1997), 72. Bandingkan dengan pernyataan
Ibn Katsir; bahwa Ahlussunnah wa al-Jama’ah adalah mayoritas umat Islam dalam Abu
al-Fida’ Isma‘il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi, al-Nihāyah fī al-Fitan wa al-Malāhīm,
(Ed.) Muhammad Ahmad Abd al-Aziz, (Beirut: Dar al-Jil, 1988), Jilid II, 36.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
6
transmisinya sekaligus (qat}‘iy al-dalālah wa al-wurūd).10 Dengan
demikian, al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber utama dalil dalam
Islam perlu dimengerti dalam matriks qat}‘iy-z}annīy dan dalālah-wurūd.
Walhasil, dengan demikian, ayat al-Qur’an maupun hadis
yang bersifat pasti transmisi dan maknanya (qat}‘īy al-wurūd wa
al-dalālah) adalah satu-satunya jenis dalil; dalam kerangka ini,
yang menghasilkan produk yang tidak boleh diperselisihkan dan
harus disepakati, baik dalam masalah keyakinan maupun amaliah.
Sementara tiga jenis dalil yang lain—yang pasti maknanya, namun
tidak pasti transmisinya; yang tidak pasti maknanya, namun pasti
jalur transmisinya; dan yang tidak pasti makna dan transmisinya
secara umum, berpeluang untuk dipahami secara berbeda. Dengan
ungkapan lain, di sini ia tidak bisa dipahami secara tunggal; maka
menghendaki pemahaman yang beragam.
Tauhid Menurut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
Dalam pemaparannya mengenai aqidah ashhāb al-hadīts dan
ahl al-sunnah, Al-Asy’ari menulis ”bahwa Allah SWT. Tuhan Yang
Esa (Wahid), Tunggal (Fard), Maha Mutlak (Shamad) tidak ada tuhan
selain-Nya.”11 Pengertian tauhid menurut al-Asy’ari dielaborasi lebih
lanjut oleh Ibn Furak (w. 406/1015), yang meringkas pandangan-
pandangan al-Asy’ari, dengan menyatakan bahwa makna wahid
dan ahad adalah menyendiri yang berarti penaan terhadap yang
menyamai dalam dzat, perbuatan dan sifat, ”karena Dia dalam Dzat-
Nya tidak terbagi, dalam Sifat-Nya tidak ada yang menyamai, dan dalam
pengaturan-Nya tidak ada sekutu”.12 Lebih lanjut Imam al-Haramayn
10 Muhammad Na‘im Muhammad Hani Sa‘i, al-Qānūn fī ‘Aqāid al-Firaq wa al-
Madzāhib al-Islāmiyyah, (Kairo: Dar al-Salam, 2007), 522.
11 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mus}
allīn, (Ed.) Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah,
1990), Jilid I, 345. Pernyataan serupa juga dapat ditemukan dalam; Abu al-Hasan ‘Ali
bin Ismail al-Asy‘ari, al-Ibānah ‘an Us}ūl al-Diyānah, (Ed.) Fawqiyah Husayn Mahmud,
(Abidin: Dar al-Anshar, 1977), 21.
12 Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Furak, Mujarrad Maqālāt al-Syaikh Abī
al-H}asan al-Asy‘āri, (Ed.) Daniyal Jimarih, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1978), 55. Dalam
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 7
(w. 478/1085) menegaskan bahwa makna tauhid adalah meyakini
keesaan Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan
secara argumentatif keesaan Allah SWT. dan bahwa tidak ada
Tuhan selain-Nya.13
Dalam membuktikan keesaan Allah SWT. al-Asy’ari
menggunakan argumentasi rasional yang didasari atas ayat al-
Qur’an. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, al-Asy’ari
terlebih dahulu mengutip surah al-Syura ayat 11 dan surah
al-Ikhlas ayat 4 yang dilanjutkan dengan argumentasi rasional
berdasarkan dua ayat di atas.14 Dalam bukunya yang lain, al-Asy’ari
memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah
SWT. dan kemudian diakhiri dengan kutipan surah al-Anbiya’ ayat
22.15 Pendekatan yang digunakan al-Asy’ari dalam memaparkan
argumentasi pembuktian tauhid dan aspek aqidah yang lain, dengan
demikian, menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional.
Suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya.
Penjabaran al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi
ke dalam tiga aspek; Dzāt, S}ifāt dan Af‘āl (perbuatan).16 Yang
pertama bermakna bahwa Allah SWT. Esa dalam dzat-Nya dan
tidak menyerupai sesuatu apapun selain-Nya. Hujah untuk hal ini
adalah al-Qur’an surah al-Syura ayat 11 dan surah al-Ikhlas ayat
beberapa karya al-Asy’ari sendiri terdapat penjelasan mengenai beberapa aspek tauhid
ini, yang kemudian dijabarkan lebih luas oleh para pengikutnya. Mengenai tauhid Dzāt
misalnya, al-Asy’ari menulis bahwa ”Dia SWT. tidak menyerupai alam sama sekali” dan
kemudian dilanjutkan dengan penjabaran argumentasi yang mendukung pernyataannya
dengan mengutip dari beberapa ayat al-Quran dan argumentasi rasional. Abu al-Hasan
‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr, (Ed.) Abd Allah Syakir Muhammad
al-Junaydi, (al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2002),
210-212. Bandingkan dengan; Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Kitāb al-Luma‘ fī
al-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa al-Bidā‘, (Ed.) Hamudah Gharabah, (T.K: Mathba‘ah Mishr
Syirkah Musahamah Mishriyah, 1955), 20-21.
13 Imam al-Haramayn al-Juwayni, al-Syāmil fī Us}ūl al-Dīn, (Ed.) ‘Ali Sami al-
Nasysyar, Fayshal Budayr ‘Awn dan Suhayr Muhammad Mukhtar, (Iskandariyah:
Mansya‘ah al-Ma‘arif, 1969), 351-352.
14 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr…, 210.
15 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Kitab al-Luma‘ al-Radd ‘ala..., 20-21.
16 Pembagian ini yang kemudian dikenal di kalangan pengikut madzhab al-Asy’ari.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
8
4 yang dilanjutkan dengan penalaran rasional bahwa keserupaan
dengan makhluk akan berkonsekuensi kebaharuan dan kebutuhan
terhadap pencipta atau berkonsekuensi dahulunya makhluk yang
menyerupainya, di mana keduanya mustahil terjadi.17 Singkatnya,
tauhid dzat adalah mengesakan Allah SWT. dalam dzat-Nya tidak
tersusun dari elemen-elemen; internal maupun eksternal, dan tidak
ada yang menyamai dan menyerupai Dzat-Nya.
Yang kedua adalah tawh}id al-s}ifāt, yang berarti bahwa sifat
ketuhanan adalah sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an dan
Hadis, yang armasi terhadapnya sama sekali tidak menimbulkan
penyerupaan (tasybīh), karena Sifat-Nya tidak seperti sifat makhluk,
sebagaimana Dzat-Nya tidak seperti dzat makhluk.18 Sifat-sifat
ini bukanlah sesuatu yang baharu (muh}dats) atau menyerupai sifat
sesuatu yang baharu, karena yang demikian akan berkonsekuensi
tiadanya sifat itu sebelum ia ada, yang mengeluarkannya dari
ketuhanan. Salah satu konsekuensi dari tauhid sifat adalah penaan
terhadap penggambaran (takyīf). Al-Asy’ari menegaskan bahwa
Ahlussunnah bersepakat untuk ”menyifati Allah SWT. dengan seluruh
sifat yang diatribusikan oleh-Nya dan utusan-Nya, tanpa penentangan,
tanpa penggambaran, dan bahwa beriman terhadapnya adalah wajib, dan
meninggalkan penggambaran adalah keharusan.”19 Pendeknya, al-Asy’ari
mendasarkan pandangannya dalam masalah ini adalah ayat al-
Qur’an dan Hadis, dengan menghindari penyerupaan (tasybīh).
Selanjutnya adalah tawh}īd al-af‘āl, yang mengandung
pengertian bahwa yang pencipta segala sesuatu adalah Allah SWT.
dan bahwa perbuatan makhluk diciptakan oleh-Nya.20 Al-Baqillani
(w. 402/1013) mengelaborasi lebih lanjut pengertian tauhid ini
ketika menafsirkan surah al-Buruj ayat 16 dengan menekankan
bahwa Allah Swt adalah yang mencipta seluruh perbuatan hamba
17 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr…, 212.
18 Ibid., 213.
19 Ibid..., 236.
20 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Al-Ibānah ‘an Us}ūl al-Diyānah…, 23;
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Maqalāt al-Islamiyyīn ..., Jilid I, 346.
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 9
dan seluruh peristiwa alam.21 Penekanan dari tauhid ini adalah
kemutlakan kekuasaan Allah Swt, sehingga Dialah satu-satunya yang
menciptakan segala makhluk.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tauhid dalam
pandangan al-Asy’ari bermakna mengesakan Allah SWT. dalam
Dzat, Sifat dan Perbuatan-Nya. Artinya bahwa Allah adalah Maha
Esa dalam dalam berbagai dimensi dari ketiga aspek tadi. Argumen
yang digunakan al-Asy’ari didasarkan atas ayat al-Qur’an maupun
Hadis yang dielaborasi secara rasional.
Tauhid Menurut Imam Ibn Taymiyyah
Ibn Taymiyyah menekankan bahwa tauhid yang wajib adalah
tauhid ulūhiyyah yang bermakna ”menyembah Allah tanpa menyekutukan-
Nya dengan sesuatu apapun, sehingga ketaatan seluruhnya menjadi milik-
Nya, dan tidak takut kecuali pada Allah, tidak berdoa kecuali pada Allah,
dan Allah menjadi yang paling dicintai seorang hamba daripada segala
sesuatu, sehingga mereka mencintai karena Allah, membenci karena Allah,
menyembah kepada Allah dan berpasrah pada-Nya.”22 Pengertian tauhid
ini memiliki dua aspek, keyakinan (i‘tiqādi) dan praktis (‘amali).
Yang pertama disebut tawh}īd al-ma‘rifah wa al-itsbāt,23 sedangkan
yang kedua, tawh}īd al-‘ibādah, yang lebih lanjut lagi didenisikan
oleh Ibn Taymiyyah sebagai ”menyatakan (tah}qīq) kesaksian bahwa
tidak ada tuhan selain Allah [dengan] bermaksud Allah dengan ibadah dan
menghendaki-Nya dengan (ibadah) itu bukan selain-Nya.”24
21 Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin al-Baqillani, Kitāb al-Tamh}īd, (Ed.)
Richard Joseph McCarthy, (Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyah, 1957), 280.
22 Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj
al-Sunnah al-Nabawiyah, (Ed.) Muhammad Rasyad Salim, (T.K: Muassasah Qurthubah,
T.Th), Jilid III, 171-172.
23 Abu Abd Allah Muhammad bin Abi Bakr ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Madārij
al-Sālikīn bayna Manāzīl Iyyāka Na‘budu wa Iyyāka Nasta‘īn, (Ed.) Muhammad Hamid
al-Faqi, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1973), Jilid III, 449.
24 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā
al-Kubrā, (Ed.) Muhammad Abd al-Qadir Atha dan Mushthafa Abd al-Qadir, (T.K: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), Jilid VI, 566.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
10
Sedangkan ibadah sendiri didenisikan oleh Ibn Taymiyyah
sebagai ”nama untuk semua yang dicintai dan diridlai Allah, baik berupa
ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.”25 Reformulasi yang
demikian ditujukan sebagai kritik atas formulasi mereka yang
disebut ”al-mubtadi‘ūn fī al-tawh}īd min ahl al-kalām”26 yang menurut
Ibn Taymiyyah membatasi, makna ketuhanan (ilāhiyyah) pada
sifat mencipta (al-khalq), kuasa (al-qudrah), dahulu (al-qidām) dan
semacamnya, seraya abai pada esensi tauhid yang berupa pengesaan
Allah dalam ibadah dan mengakibatkan mereka terjerumus dalam
kesyirikan yang menakan Islam.27
Secara lebih terperinci, Ibn Taymiyyah membagi tauhid ke
dalam tiga jenis, al-rubūbiyah, al-ulūhiyah dan al-asmā’ wa al-s}hifāt. Yang
pertama bermakna meyakni bahwa Allah SWT. adalah ”Pencipta segala
sesuatu, Tuhannya (Rabbuhu), Pemiliknya, tidak ada pencipta selain-Nya...
Segala apa yang ada, gerakan maupun diam, adalah dengan ketentuan,
ketetapan, kehendak dan cipta-Nya.”28 Hal ini didasarkan atas ana-
lisis terhadap kata al-Rabb yang dimaknai sebagai ”yang menghidup-
kembangkan (yurabbī) hamba-Nya, memberi bentuk kemudian memberi
petunjuknya pada semua keadaannya, ibadah atau lainnya.”.29 Ringkasnya,
tauhid ini dapat dibagi ke dalam dua kategori, kemutlakan kekuasaan
Allah SWT. dan kesempurnaan kasih sayang dan hikmah-Nya.30
Tauhid rubūbiyyah ini, dari aspek tertentu, paralel dengan tauhid
af‘āl sebagaimana yang dijabarkan al-Asy’ari. Keduanya merupakan
konseptualisasi dari Tuhan dalam kemutlakan kuasa-Nya.
25 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-
‘Ubūdiyah, (Ed.) Muhammad Zuhayr al-Syawiys, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 2005), 44.
26 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā
al-Kubrā, Jilid VI, 566.
27 Ibid.
28 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Furqān
bayna Awliyā’ al-Rahmān wa Awliyā’ al-Syayt}hān, (Ed.) Abd al-Rahman bin Abd al-Karim
al-Yahya, Riyadl: Maktabah Dar al-Minhaj, 1428), 172.
29 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū’
al-Fatāwā, dicetak atas perintah Raja Fahd bin Abd al-Aziz, (Ed.) Abd al-Rahman bin
Qasim, (T.K: T.P, 1398), Jilid I, 21-22
30 Ibid, Jilid II, 398-401
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 11
Yang kedua adalah tauhid ulūhiyah, yang didenisikan sebagai
penyembahan pada Allah tanpa penyekutuan.31 Karenanya,
seseorang yang meyakini Allah SWT. sebagai pengatur dan pencipta
segala sesuatu (al-Rabb) tapi menyembah yang lain, adalah orang
menyekutukan Tuhan (musyrik) dalam penyembahan kepada-Nya.32
Karena kata al-Ilāh bermakna ”yang dipertuhan dan disembah dengan
cinta, kepasrahan, pengagungan dan penghormatan”33 yang berhubungan
dengan perintah dan larangan, cinta, takut dan harapan, sedangkan
kata al-Rabb bermakna ”yang menghidup-kembangkan (yurabbī)
hamba-Nya, memberi bentuk kemudian memberi petunjuknya pada semua
keadaannya, ibadah atau lainnya”34 yang berkonsekuensi kepasrahan
dan penyerahan diri.35 Tauhid ulūhiyah, dengan demikian, adalah
tauhid ibadah, karena yang dipertuhan (al-ma’lūh) adalah yang
disembah (al-ma‘būd).36
Ibn Taymiyyah menegaskan sentralitas tauhid ulūhiyah atau
tauhid ibadah ini dengan menyatakan bahwa tauhid inilah yang
”didakwahkan oleh al-Quran dari pertama hingga terakhir dan semua kitab
suci dan para utusan”37 dan juga ”jantung keimanan dan awal serta akhir
Islam”.38 Yang termasuk dalam pengertian ibadah, sesuai dengan
denisi Ibn Taymiyyah, adalah ”semua kekhususan Tuhan, maka tidak
(boleh) ditunduki selain-Nya, tidak (boleh) ditakuti se-lain-Nya, tidak
(boleh) dipasrahi selain-Nya, tidak (boleh) dijadikan objek doa selain-Nya,
31 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Syarh}
al-‘Aqīdah al-Ashāniyah, (Ed.) Ibrahim Saiday, (Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 1415), 42.
32 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā
al-Kubrā, Jilid VI, 566.
33 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū‘
al-Fatāwā, Jilid I, 21-22
34 Ibid.
35 Ibid, Jilid I, 69.
36 Ibid.
37 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū‘ah
al-Rasā’il wa al-Masā’il, (Ed.) Muhammad Rasyid Ridla, (T.K: Lajnah al-Turats al-‘Arabi,
T.Th), 55.
38 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū‘
al-Fatāwā, Jilid I, 55.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
12
tidak (boleh) sholat pada selain-Nya, tidak (boleh) puasa karena selain-Nya,
tidak (boleh) bersedekah kecuali karena-Nya, tidak (boleh) dikunjungi untuk
berhaji kecuali rumah-Nya.”39 Bagi Ibn Taymiyyah, tauhid ulūhiyah
berarti bahwa ibadah—segala perbuatan lahir batin yang diridloi
Allah Swt—hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT.
Dengan konsep tauhid ulūhiyah ini, Ibn Taymiyyah mengritik
ulama kalam yang dalam pandangannya, membatasi pembahasan
tauhid pada tauhid rubūbiyah, seraya abai terhadap tauhid ulūhiyah,
yang justru merupakan inti dari tauhid itu sendiri. Kesalahan ini
menggiring pada kesalahan yang lain, di antaranya anggapan mereka
bahwa orang yang meyakini Allah SWT. sebagai satu-satunya
yang mampu mencipta alam dianggap telah bersyahadat, padahal
kemampuan mencipta bukanlah makna dari al-Ilāh, melainkan al-
Rabb.40 Untuk membuktikan bahwa tauhid rubūbiyah tidak cukup,
Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab mengakui
keesaan Allah SWT. dalam menciptakan langit dan bumi, tapi
itu tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan,41 karena mereka
menyekutukan-Nya dalam ibadah.
Yang ketiga adalah tauhid al-asmā’ wa al-sifāt. Maknanya
adalah mengesakan Allah dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-
Nya sebagaimana diriwayatkan dalam al-Qur’an dan hadis;
dengan mengarmasi penjelasan dalam al-Qur’an dan hadis dan
menegasikan segala yang berlawanan dengan kemahasempurnaan
39 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Rādd
‘alā al-Akhnā’i wa Is}tih}bāb Ziyārah Khayr al-Bariyyah, (Ed.) Abd al-Rahman bin Yahya
al-Mu‘allimi al-Yamani, (Kairo: al-Mathba‘ah al-Salayah, T.Th), 98.
40 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-
Tadāmmuriyah: Tah}qīq al-Itsbāt} lī al-Asmā’ wa al-Sifāt wa H}aqīqah al-Jam‘ bayna al-Qadār
wa al-Syar‘. (Ed.) Muhammad bin ‘Awdah al-Suudi, (Riyadl: Maktabah ‘Obeikan, 2000),
185-186.
41 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, Qa‘īdah
Jalīlah fī al-Tawassul wa al-Wasīlah, (Ed.) Rabi‘ bin Hadi ‘Umayr al-Madkhali, ‘Ujman:
Maktabah al-Furqan, 2001), 264.
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 13
Allah. Tauhid ini menafikan penggambaran sifat (takyīf),
pengingkaran sifat ketuhanan (ta‘t}īl), penafsiran dalil dengan makna
yang salah (tah}rīf), penyerupaan dengan sifat makhluk (tamtsīl).42
Tauhid ini, secara ringkas, adalah mengimani semua Nama-nama
dan Sifat-sifat Allah SWT. tanpa penggambaran, penyerupaan dan
penyelewengan makna.
Tauhid Abu Hasan al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah: Sebuah
Catatan Kritis
Elaborasi al-Asy’ari terhadap konsep tauhid merupakan
respon terhadap situasi teologis-intelektual zamannya; ketika
banyak aliran-aliran yang menyimpang dalam aqidah. Hal ini terlihat
dari cara pemaparan istilah tauhid dalam kitab-kitab al-Asy’ari yang
mayoritas merupakan tanggapan terhadap berbagai pandangan
teologis yang menyimpang saat itu. Beberapa yang dapat disebut,
di samping yang telah dikutip sebelumnya, di antaranya diskusi
mengenai konsep tauhid dalam kitab al-Ibānah yang ditujukan
sebagai respon terhadap golongan jahmiyyah.43 Hal yang sama dapat
ditemukan dalam kitabnya yang lain, al-Maqālāt, di mana terma
tauhid didiskusikan untuk membantah pandangan syī‘ah rafīdlah,
khawārij, murji’ah dan mu‘tazilah.44 Berbeda dengan al-Asy’ari, Ibn
Taymiyyah yang hidup kurang lebih lima abad sesudah al-Asy’ari,
berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengkonseptualisasi
tauhid secara lebih rinci dan sistematis.
Hal ini didorong pula oleh apa yang dipandang Ibn Taymiyyah
sebagai korupsi dalam bidang aqidah yang disebabkan oleh
penggunaan rasio yang, dalam pandangan Ibn Taymiyyah, yang
42 Muhammad bin Khalil Hasan Harras, Syarh} al-‘Aqīdah al-Wāsit}hiyyah, (Ed.)
‘Alawi bin ‘Abd al-Qadir al-Saqqaf, (al-Khabar: Dar al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Tawzi‘,
1415), 66-69.
43 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, al-Ibānah ..., 74.
44 Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy‘ari, Maqalāt al-Islāmiyyīn ..., Jilid I, 109,
124, 185, 186, 223, 224, 235, 236.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
14
selain tidak proporsional,45 juga terinltrasi lsafat dalam ilmu
kalam.46 Bahkan secara terperinci, Ibn Taymiyyah memaparkan
bantahannya terhadap konsep tauhid ulama kalam yang dibagi dalam
aspek dzāt, sifāt dan af‘āl.47 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
yang dilakukan Ibn Taymiyyah adalah usaha untuk memperbaiki
apa yang dipandang sebagai penyimpangan dalam wacana teologis
ahlussunnah wal jamaah.48 Walaupun sejumlah pandangan Ibn
Taymiyyah memunculkan kritik dari berbagai ulama yang sezaman
maupun yang hidup sesudahnya. Dinamika seperti ini adalah sesuatu
yang wajar dan harus disikapi dengan tepat dan beradab.
Terdapat beberapa perbedaan yang dapat dicatat dari
perbandingan kedua konsep tauhid di atas. Di antaranya adalah
perbedaan keduanya dalam formulasi tauhid. Konsep tauhid Al-
Asy’ari, yang dalam pembentukannya lebih banyak merespon
kemunculan aliran-aliran non ahlussunnah saat itu, lebih bersifat
intelektual-rasional; suatu kecenderungan yang diwarisi oleh
pengikutnya. Ibn Taymiyyah, di sisi lain, yang menerima warisan
keilmuan yang lebih lengkap dan bereaksi terhadap dinamika yang ada
pada zamannya, membangun konsep tauhidnya secara relatif lebih
detail dan lengkap, dengan mengaitkan aspek kognitif dan praktis.49
45 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-
Tadāmmuriyah ..., 148.
46 Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj
al-Sunnah ..., Jilid III, 171.
47 Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-
Tadāmmuriyah ..., 179.
48 Hal ini, bagaimanapun, bukan tanpa kritik balik. Sebaliknya, kritik dari ulama
ahlussunnah sendiri telah muncul di masa hidupnya, yang beberapa kali melibatkannya
dengan konik terbuka dengan beberapa kalangan ulama. Tentang beberapa peristiwa
kontroversial dalam hidup beliau baca misalnya; Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Ali ibn Hajar
al-‘Asqalani, al-Durar al-Kāminah fī A‘yān al-Mi’ah al-Tsāminah, (Ed.) Muhammad Abd
al-Mu‘id Dlan, (Hayderabad: Majlis Da’irah al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyah, 1972), Jilid I,.
168-186.
49 Di luar lingkaran Ibn Taymiyyah, aspek praktis ini merupakan wilayah tasawuf;
yang bermakna pengamalan syariat dalam maqam ihsan, berkulminasi pada tahapan
tertinggi tauhid. Tentang denisi tasawuf silakan baca; Syed Muhammad Naquib al-
Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 121-122. Sedang tentang
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 15
Perbedaan lainnya dapat dilihat dari cara pandang terhadap
hubungan antara kata al-ilāh dan al-rabb. Konsep tauhid al-Asy’ari
dan para pengikutnya menegaskan bahwa keduanya memiliki makna
dasar berbeda tapi memiliki pengertian (madlūl) yang sama sehingga
tidak terbayangkan mengimani salah satunya beserta pengingkaran
terhadap salah lainnya. Ringkasnya, setiap yang beriman terhadap
keesaan Allah SWT. sebagai al-rabb di saat yang sama pasti beriman
kepadaNya sebagai al-ilāh. Al-Taftazani (w. 792/1390), misalnya,
menulis ”hakikat tauhid adalah meyakini ketiadaan sekutu [bagi Allah
SWT.] dalam ketuhanan (ilahiyah) dan kekhususannya. Dan tidak ada
pertentangan antara umat Islam bahwa pengaturan alam semesta, penciptaan
jasad, keharusan disembah (istih}qāq al-ibādah) dan dahulunya sifat yang ada
pada Dzat-Nya semuanya adalah di antara kekhususan [sifat ketuhanan]”.50
Dalam pernyataan ini, al-Taftazani menekankan bahwa
pengaturan alam dan penciptaan—yang menurut Ibn Taymiyyah
merupakan tauhid rubūbiyah—dan keharusan disembah—yang
menurut Ibn Taymiyyah merupakan tauhid ulūhiyah—adalah
satu kesatuan, keimanan terhadap salah satunya memustahilkan
pengingkaran pada yang lain.51 Salah satu argumen yang untuk
membuktikan hal ini adalah surah Ali ‘Imran ayat 80, al-Naml
ayat 25 dan al-Syu‘ara ayat 97 dan 98. Di sisi lain, Ibn Taymiyyah
menekankan sentralitas tauhid ulūhiyah, seraya menggambarkan
tingkatan-tingkatan tauhid baca; Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,
Ih}yā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, T.Th), Jilid IV, 245.
50 Sa‘d al-Din Mas‘ud bin ‘Umar al-Taftazani, Syarh al-Maqashid, (Ed.) Abd al-
Rahman Umayrah, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1998), Jilid IV, 39.
51 Bandingkan dengan pernyataan Ibn Abi Syarif yang secara lebih tegas
menjelaskan hubungan ulūhiyah dan rubūbiyah; dia menulis ”Ulūhiyah adalah memiliki Sifat-
sifat [tertentu] yang karenanya Dia Swt wajib disembah, yaitu Sifat-sifat yang hanya menjadi milik-
Nya Swt, maka tidak ada sekutu bagi-Nya di dalamnya. [Sifat-sifat itu] dinamakan kekhususan
ketuhanan (khawash al-uluhiyah), yang diantaranya adalah menciptakan dari tiada, pengaturan
alam, ...”, Kamal al-Din Muhammad ibn Muhammad Ibn Abi Syarif al-Maqdisi, al-
Musāmarah fī Syarh} al-Musāyarah, (Kairo: al-Maktabah al-Azhariyah li al-Turats, 2006),
Jilid I, 62. Dalam kutipan ini, ditegaskan bahwa pengesaan dalam kewajiban disembah
(ibādah/tawh}īd ulūhiyah) merupakan konsekuensi dari pengesaan dalam penciptaan dan
pengaturan alam.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
16
kemungkinan keterpisahannya secara praktis dari tauhid rubūbiyah,
dengan, misalnya, mengutip kasus kaum musyrikin yang, dalam
pandangan Ibn Taymiyyah, bertauhid hanya dengan tauhid rubūbiyah
saja, seraya berargumen dengan surah Luqman ayat 25 dan surah
al-Mu’minun ayat 86 dan 87.52
Penutup
Dengan demikian, salah satu perbedaan penting dalam
konsep tauhid kedua madzhab ini adalah sebetulnya hanya berkisar
dalam memandang hubungan antara tauhid ulūhiyah dan rubūbiyah;
tidak kurang dan tidak lebih. Di satu sisi; Al-Asy’ari dan pengikutnya
menjadikan keduanya saling melekat dan menyatu, sehingga sama
sekali tidak terbayangkan apabila seseorang yang mengimani salah
satunya dan mengingkari salah lainnya. Sedangkan di sisi yang
lainnya; bagi Ibn Taymiyyah sendiri, setiap orang yang bertauhid
ulūhiyah maka akan sekaligus juga bertauhid rubūbiyah, tapi tidak
dengan bentuk sebaliknya. Di sini bila yang dilihat hanya diaspek ini
saja, maka keduanya tampak berbeda dan saling berhadap-hadapan.
Namun demikian di luar itu, sejatinya terdapat beberapa
poin yang disepakati oleh keduanya dalam persoalan tauhid. Di
antaranya, secara umum keduanya sepakat mengimani semua berita
yang datangnya dari al-Qur’an dan Hadis yang mendeskripsikan
Sifat Allah SWT. ini penting untuk diketahui sebab, tanpa hal itu
berimplikasi pada penyamaan Allah SWT pada makhluk. Keduanya
juga sepakat bahwa Allah SWT Maha Esa, tak ada yang menyerupai-
Nya dalam Sifat dan Nama-Nya, tak ada yang membantunya dalam
mencipta dan mengatur seluruh makhluk. Di samping hal-hal
lain yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis yang pasti makna
dan transmisinya (qat}h‘īy al-dalālah wa al-wurūd). Hal-hal semacam
inilah yang semestinya menjadi pegangan bersama, dipelajari dan
diamalkan bersama oleh semua Muslim, baik yang awam maupun
52 Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj
al-Sunnah ..., Jilid III, 171.
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 17
yang alim. Adapun persoalan lain yang tidak bersifat demikian
semestinyalah hanya dibicarakan oleh mereka yang otoritatif
di bidangnya atau para pencari ilmu yang sungguh-sungguh.
Melakukan sebaliknya dapat menimbulkan apa yang seringkali
kita saksikan sepanjang sejarah umat Islam hingga hari ini, yakni
ketegangan bahkan permusuhan yang disebabkan oleh perdebatan
orang-orang yang tidak tahu.
Walhasil, dalam membaca dan menimbang pandangan para
ulama, selayaknya seorang Muslim bersikap adil dan beradab, yang
salah satunya adalah dengan menjadikan yang pasti benar (qat}hi‘īy
al-dalālah wa al-wurūd min al-Kitāb wa al-Sunnah) sebagai pemersatu
umat Islam, sekaligus menjadikan para ulama yang otoritatif sebagai
pihak yang berhak berbicara di wilayah selainnya. Sekali lagi, hal
ini untuk menghindari potensi perpecahan yang amat mungkin
timbul dari penekanan yang tidak proporsional terhadap aspek
zhanniyāt dari agama dengan keterlibatan orang awam. Tentu saja
hal ini tidak berarti meniadakan perbedaan. Sebaliknya, perbedaan
bukan saja terjadi tapi juga merupakan bagian integral dari sejarah
panjang umat Islam. Lebih jauh lagi, beberapa peristiwa di zaman
Nabi SAW. menunjukkan bahwa beberapa bentuk perbedaan
pemahaman, yang berakibat perbedaan perbuatan, bukan hanya
terjadi, tapi juga diizinkan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa perbedaan itu harus muncul dari ijtihad seorang ulama yang
punya otoritas untuk berijtihad.[]
Daftar Pustaka
Abd al-Barr, Abu ‘Umar Yusuf. 1997. Al-Intiqā’ fī Fad}ā’il al-A’immah al-
Tsalātsah al-Fuqahā’. (Ed.) ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah. Aleppo
dan Beirut: Maktab al-Mathbu‘at al-Islamiyah dan Dar al-Basya’ir
al-Islamiyah.
Abd al-Raziq, Mushthafa. 2011. Tamh}īd lī Tarīkh al-Falsafah al-Islāmiyah.
Beirut dan Kairo: Dar al-Kitab al-Lubnani dan Dar al-Kitab al-
Mishri.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
18
Abi Syarif al-Maqdisi, Kamal al-Din Muhammad ibn Muhammad Ibn.
2006. Al-Musāmarah fī Syarh} al-Musāyarah. Jilid I. Kairo: al-Maktabah
al-Azhariyah li al-Turats.
Al-‘Asqalani, Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar.1379. Fath} al-Bāri
Syarh} S}ah}īh} al-Bukhārī. Jilid XIII. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
_____. 1972. Al-Durar al-Kāminah fī A‘yān al-Mi’ah al-Tsāminah. (Ed.)
Muhammad Abd al-Mu‘id Dlan. Jilid I. Hayderabad: Majlis Da’irah
al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyah.
Al-Asy‘ari, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail. 1955. Kitab al-Luma‘ al-Radd ‘ala
Ahl al-Zaygh wa al-Bida‘. (Ed.) Hamudah Gharabah. T.K: Mathba‘ah
Mishr Syirkah Musahamah Mishriyah.
_____. 1955. Kitāb al-Lumā‘ fī al-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa al-Bidā‘. (Ed.)
Hamudah Gharabah. T.K: Mathba‘ah Mishr Syirkah Musahamah
Mishriyah.
_____. 1977. Al-Ibānah ‘an Us}hūl al-Diyānah. (Ed.) Fawqiyah Husayn
Mahmud. Abidin: Dar al-Anshar.
_____. 1990. Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mus}hallīn. (Ed.)
Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid. Jilid I. Beirut: al-
Maktabah al-‘Ashriyah
_____. 2002. Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr. (Ed.) Abd Allah Syakir Muhammad
al-Junaydi. al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa
al-Hikam.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Al-Baqillani, Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin. 1957. Kitāb
al-Tamh}īd. (Ed.) Richard Joseph McCarthy. Beirut: al-Maktabah
al-Syarqiyah.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. T.Th. Ih}yā’ ‘Ulūm
al-Dīn. Jilid IV. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Al-Hasan bin Furak, Abu Bakr Muhammad bin. 1978. Mujarrad Maqālāt
al-Syaykh Abī al-H}asān al-Asy‘ari. (Ed.) Daniyal Jimarih. Beirut:
Dar al-Masyriq
Al-Juwayni, Imam al-Haramayn. 1969. Al-Syāmil fī Us}ūl al-Dīn. (Ed.) ‘Ali
Sami al-Nasysyar, Fayshal Budayr ‘Awn dan Suhayr Muhammad
Mukhtar. Iskandariyah: Mansya‘ah al-Ma‘arif.
Vol. 3, No. 1, Februari 2019
Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 19
Al-Qazwini, Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid. T.Th. Sunān Ibn Mājah.
(Ed.) Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi. Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qazwini, Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid. T.Th. Sunān Ibn
Mājah. Jilid II. T.K. T.P.
Al-Qurasyi, Abu al-Fida’ Isma‘il bin ‘Umar bin Katsir. 1988. Al-Nihāyah
fī al-Fitān wa al-Malāhīm. (Ed.) Muhammad Ahmad Abd al-Aziz.
Jilid II. Beirut: Dar al-Jil.
Al-Qusyayri, Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj. T.Th. Al-Jāmī’ al-S}
ah}īh} al-Musammā S}ah}īh} Muslim. Jilid I. Beirut: Dar al-Jil dan Dar
al-Afaq al-Jadidah.
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulayman bin al-Asy‘ats. T.Th. Sunān Abī Dāwud.
Jilid IV. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.
Al-Syaybani, Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal. T.Th. Musnad al-Imām
Ah}mad bin H}anbal. Jilid IV. Kairo: Muassasah Qurthubah.
Al-Taftazani, Sa‘d al-Din Mas‘ud bin ‘Umar. 1998. Syarh al-Maqashid.
(Ed.) Abd al-Rahman Umayrah. Jilid IV. Beirut: ‘Alam al-Kutub.
Al-Thabarani, Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad. 1415. Al-Mu‘jam
al-Awsat}h. (Ed.) Thariq bin ‘Iwadl Allah bin Muhammad. Kairo:
Dar al-Haramayn.
_____. 1983. Al-Mu‘jam al-Kabīr. (Ed.) Hamdi bin Abd al-Majid al-Sala.
Jilid VIII. Mosul: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam.
Al-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa. T.Th. Sunan al-Tirmīdzī.
(Ed.) Ahmad Muhammad Syakir, et al. Jilid V. Beirut: Dar Ihya
al-Turaats al-‘Arabi.
Hani Sa‘i, Muhammad Na‘im Muhammad. 2007. Al-Qa>nūn fī ‘Aqāid al-
Firaq wa al-Madzāhib al-Islāmiyyah. Kairo: Dar al-Salam.
Hasan Harras, Muhammad bin Khalil. 1415. Syarh} al-‘Aqīdah al-Wāsit}
hiyyah. (Ed.) ‘Alawi bin ‘Abd al-Qadir al-Saqqaf. Al-Khabar: Dar
al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Tawzi.
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Abu Abd Allah Muhammad bin Abi Bakr.
1973. Madārij al-Sālikīn bayna Manāzīl Iyyāka Na‘budu wa Iyyāka
Nasta‘īn. (Ed.) Muhammad Hamid al-Faqi. Jilid III. Beirut: Dar
al-Kitab al-‘Arabi.
Ibn Taymiyyah, Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim.
T.Th. Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyah. (Ed.) Muhammad Rasyad
Salim. Jilid III. T.K: Muassasah Qurthubah.
TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam
Muhammad Imdad Rabbani
20
_____. 1987. Al-Fatāwā al-Kubrā. (Ed.) Muhammad Abd al-Qadir Atha
dan Mushthafa Abd al-Qadir. Jilid VI. T.K: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
_____. 2005. Al-‘Ubūdiyah. (Ed.) Muhammad Zuhayr al-Syawiys. Beirut:
al-Maktab al-Islami.
_____. 1428. Al-Furqān bayna Awliyā’ al-Rahmān wa Awliyā’ al-Syayt}
hān. (Ed.) Abd al-Rahman bin Abd al-Karim al-Yahya. Riyadl:
Maktabah Dar al-Minhaj.
_____. 1398. Majmū’ al-Fatāwā. dicetak atas perintah Raja Fahd bin Abd
al-Aziz. (Ed.) Abd al-Rahman bin Qasim. Jilid I. T.K: T.P.
_____. 1415. Syarh} al-‘Aqīdah al-Ashāniyah. (Ed.) Ibrahim Saiday. Riyadl:
Maktabah al-Rusyd.
_____. T.Th. Majmū‘ah al-Rasā’il wa al-Masā’il. (Ed.) Muhammad Rasyid
Ridla. T.K: Lajnah al-Turats al-‘Arabi.
_____. T.Th. Al-Rādd ‘alā al-Akhnā’i wa Is}tih}bāb Ziyārah Khayr al-Bariyyah.
(Ed.) Abd al-Rahman bin Yahya al-Mu‘allimi al-Yamani. Kairo:
al-Mathba‘ah al-Salayah.
_____. 2000. Al-Tadāmmuriyah: Tah}qīq al-Itsbāt} lī al-Asmā’ wa al-Sifāt wa
H}aqīqah al-Jam‘ bayna al-Qadār wa al-Syar‘. (Ed.) Muhammad bin
‘Awdah al-Suudi. Riyadl: Maktabah ‘Obeikan.
_____. 2001. Qa‘īdah Jalīlah fī al-Tawas}s}ul wa al-Wasīlah. (Ed.) Rabi‘ bin
Hadi ‘Umayr al-Madkhali. ‘Ujman: Maktabah al-Furqan.
Nur al-Din ‘Itr. 1979. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-H}adīts. Damaskus: Dar
al-Fikr.