Conference PaperPDF Available

MENGENAL 4C: LEARNING AND INNOVATION SKILLS UNTUK MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 1

Authors:
  • Universitas Negeri Malang, Malang, Indonesia

Abstract

Abstrak: Perubahan dunia kini tengah memasuki era revolusi industri 4.0 dimana teknologi informasi telah menjadi basis dalam kehidupan manusia. Revolusi industri 4.0 mengakibatkan terjadinya perubahan paradigma pendidikan yang berfokus pada knowledge production dan innovation applications of knowledge. Salah satu elemen penting yang harus menjadi perhatian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era revolusi industri 4.0 adalah mempersiapkan sistem pembelajaran yang lebih inovatif, dan meningkatkan kompetensi lulusan yang memiliki keterampilan abad ke-21 (Learning and Innovations Skills). Terdapat banyak pendapat tentang apa saja keterampilan abad ke-21, salah satu pendapat adalah 4C (Critical thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication). Critical thinking (berpikir kritis) adalah semua hal tentang keterampilan memecahkan masalah. Creativity (kreativitas) adalah hal tentang keterampilan berpikir outside the box, mencoba pendekatan baru untuk menyelesaikan sesuatu, inovasi, dan penemuan. Collaboration (kolaborasi) adalah keterampilan bagaimana seseorang bekerja sama, saling bersinergi, beradaptasi dalam berbagai peran dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Communication (komunikasi) adalah keterampilan seseorang untuk menyampaikan dan berbagi pemikiran, pertanyaan, gagasan, dan solusi mereka dengan cara terbaik. Tulisan ini akan memaparkan berbagai keterampilan tersebut agar dapat memberikan tambahan wawasan dan pengembangan keterampilan sehingga dapat bermanfaat dalam menyiapkan anak didik untuk menghadapi perubahan jaman yang tak terelakkan. Kata Kunci: revolusi industri 4.0, critical thinking, creativity, collaboration, communication PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia sebagaimana revolusi industri generasi pertama melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan oleh kemunculan mesin uap pada abad ke-18. Revolusi ini dicatat oleh sejarah berhasil mengangkat naik perekonomian secara dramatis.Sejarah revolusi industri dimulai dari industri 1.0, 2.0, 3.0, hingga industri 4.0.Revolusi Industri 4.0 sebagai fase revolusi teknologi mengubah cara beraktifitas manusia dalam skala, ruang lingkup, kompleksitas, dan transformasi dari pengalaman hidup sebelumnya. Manusia bahkan akan hidup dalam ketidakpastian (uncertainty) global, oleh karena itu manusia harus memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan yang berubah sangat cepat. Menghadapi revolusi industri 4.0 tentu bukan hal mudah, sehingga mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan hal tersebut menjadi suatu keharusan. Salah satu elemen penting yang harus menjadi perhatian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era revolusi industri 4.0 adalah mempersiapkan sistem pembelajaran yang lebih inovatif, dan meningkatkan kompetensi lulusan yang memiliki keterampilan abad ke-21 (Learning and Innovations Skills). Oleh karena trend di abad 21 lebih berfokus pada spesialisasi tertentu, maka tujuan pendidikan nasional Indonesia harus diarahkan pada upaya membentuk keterampilan dan sikap individu abad 21. Lima domain utama keterampilan abad 21 adalah literasi digital, pemikiran yang intensif, komunikasi efektif, produktifitas tinggi dan nilai spiritual serta moral (Osman, Hiong, dan Vebrianto, 2013). Griffin & Care (2015) menggolongkan keterampilan dan sikap abad 21 sebagai ways to thinking (knowledge, critical and creative thinking), ways to learning (literacy and
1
MENGENAL 4C: LEARNING AND INNOVATION SKILLS UNTUK MENGHADAPI ERA
REVOLUSI INDUSTRI 4.0
1
Siti Zubaidah
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang
siti.zubaidah.fmipa@um.ac.id
Abstrak: Perubahan dunia kini tengah memasuki era revolusi industri 4.0 dimana teknologi
informasi telah menjadi basis dalam kehidupan manusia. Revolusi industri 4.0 mengakibatkan
terjadinya perubahan paradigma pendidikan yang berfokus pada knowledge production dan
innovation applications of knowledge. Salah satu elemen penting yang harus menjadi
perhatian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era revolusi
industri 4.0 adalah mempersiapkan sistem pembelajaran yang lebih inovatif, dan
meningkatkan kompetensi lulusan yang memiliki keterampilan abad ke-21 (Learning and
Innovations Skills). Terdapat banyak pendapat tentang apa saja keterampilan abad ke-21, salah
satu pendapat adalah 4C (Critical thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication).
Critical thinking (berpikir kritis) adalah semua hal tentang keterampilan memecahkan
masalah. Creativity (kreativitas) adalah hal tentang keterampilan berpikir outside the box,
mencoba pendekatan baru untuk menyelesaikan sesuatu, inovasi, dan penemuan.
Collaboration (kolaborasi) adalah keterampilan bagaimana seseorang bekerja sama, saling
bersinergi, beradaptasi dalam berbagai peran dengan orang lain untuk mencapai tujuan
bersama. Communication (komunikasi) adalah keterampilan seseorang untuk menyampaikan
dan berbagi pemikiran, pertanyaan, gagasan, dan solusi mereka dengan cara terbaik. Tulisan
ini akan memaparkan berbagai keterampilan tersebut agar dapat memberikan tambahan
wawasan dan pengembangan keterampilan sehingga dapat bermanfaat dalam menyiapkan
anak didik untuk menghadapi perubahan jaman yang tak terelakkan.
Kata Kunci: revolusi industri 4.0, critical thinking, creativity, collaboration, communication
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia sebagaimana revolusi
industri generasi pertama melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan oleh
kemunculan mesin uap pada abad ke-18. Revolusi ini dicatat oleh sejarah berhasil mengangkat
naik perekonomian secara dramatis.Sejarah revolusi industri dimulai dari industri 1.0, 2.0, 3.0,
hingga industri 4.0.Revolusi Industri 4.0 sebagai fase revolusi teknologi mengubah cara
beraktifitas manusia dalam skala, ruang lingkup, kompleksitas, dan transformasi dari pengalaman
hidup sebelumnya. Manusia bahkan akan hidup dalam ketidakpastian (uncertainty) global, oleh
karena itu manusia harus memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan yang berubah
sangat cepat.
Menghadapi revolusi industri 4.0 tentu bukan hal mudah, sehingga mempersiapkan hal-hal
yang terkait dengan hal tersebut menjadi suatu keharusan. Salah satu elemen penting yang harus
menjadi perhatian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era revolusi
industri 4.0 adalah mempersiapkan sistem pembelajaran yang lebih inovatif, dan meningkatkan
kompetensi lulusan yang memiliki keterampilan abad ke-21 (Learning and Innovations Skills).
Oleh karena trend di abad 21 lebih berfokus pada spesialisasi tertentu, maka tujuan pendidikan
nasional Indonesia harus diarahkan pada upaya membentuk keterampilan dan sikap individu abad
21. Lima domain utama keterampilan abad 21 adalah literasi digital, pemikiran yang intensif,
komunikasi efektif, produktifitas tinggi dan nilai spiritual serta moral (Osman, Hiong, dan
Vebrianto, 2013). Griffin & Care (2015) menggolongkan keterampilan dan sikap abad 21 sebagai
ways to thinking (knowledge, critical and creative thinking), ways to learning (literacy and
1
Makalah Disampaikan pada Seminar “2nd Science Education National Conference” di Universitas Trunojoyo
Madura, 13 Oktober 2018
2
softskills), dan ways to learning with other (personal, social, and civic responsibilities). Adapun
US-based Partnership for 21st Century Skills (P21), mengidentifikasi keterampilan berpikir kritis
(Critical Thinking Skills), keterampilan berpikir kreatif(Creative Thinking Skills), keterampilan
komunikasi(Communication skills), dan keterampilan kolaborasi (Collaboration skills) sebagai
kompetensi yang diperlukan di abad ke-21. Kompetensi tersebut dikenal dengan kompetensi 4C.
Keterampilan berpikir kritis (Critical Thinking Skills) merupakan keterampilan
fundamental dalam memecahkan masalah. Keterampilan ini penting dimiliki oleh siswa dalam
menemukan sumber masalah dan bagaimana mencari dan menemukan solusi yang tepat atas
masalah yang dihadapi. Keterampilan berpikir kritis dapat ditanamkan dalam berbagai disiplin
ilmu. Guru memegang peranan penting dalam merancang dan mengembangkan program
pembelajaran yang lebih terfokus pada pemberdayaan keterampilan ini.
Keterampilan berpikir kreatif (Creatuve Thinking Skills) merupakan keterampilan yang
berhubungan dengan keterampilan menggunakan pendekatan yang baru untuk menyelesaikan
suatu permasalahan, inovasi, dan penemuan. Keterampilan ini merupakan suatu tindakan yang
benar-benar baru dan asli, baik secara pribadi (asli hanya untuk individu) atau secara budaya
(Abdullah dan Osman, 2010). Kesediaan siswa untuk berpikir tentang masalah atau tantangan,
berbagi pemikiran itu dengan orang lain dan mendengarkan umpan balik, merupakan beberapa
contoh berpikir kreatif yang dapat ditunjukkan oleh siswa dalam pembelajarannya.
Keterampilan berkomunikasi (Communication skill) merupakan keterampilan untuk
mengungkapkan pemikiran, gagasan, pengetahuan, ataupun informasi baru yang dimiliki baik
secara tertulis maupun lisan (NEA, 2010). Keterampilan ini mencakup keterampilan
mendengarkan, menulis dan berbicara di depan umum.
Keterampilan berkolaborasi (Collaboration skill) merupakan keterampilan untuk bekerja
bersama secara efektif dan menunjukkan rasa hormat pada tim yang beragam, melatih kelancaran
dan kemauan dalam membuat keputusan yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama
(Greenstein, 2012; NEA, 2012). Keterampilan bekerja dalam kelompok; serta kepemimpinan,
pengambilan keputusan, dan kerjasama.
A. KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
Berpikir kritis saat ini menjadi salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu
dikembangkan melalui proses pendidikan. Melalui kemampuan berpikir seseorang akan dapat
mencermati dan mencari solusi atas segala permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya.
Oleh karena itu,dalam masa revolusi industri 4.0 keterampilan berpikir menjadi keterampilan
esensial yang harus dimiliki oleh setiap lulusan pada setiap jenjang pendidikan.
Secara etimologi berpikir kritis mengandung makna suatu kegiatan mental yang dilakukan
seseorang untuk dapat memberi pertimbangan dengan menggunakan ukuran atau standar tertentu
(Zubaidah, dkk., 2015). Johnson (2002) menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah aktivitas mental
untuk merumuskan atau memecahkan masalah, mengambil keputusan, memahami hal tertentu,
menemukan jawaban untuk pertanyaan, dan menemukan jawaban yang relevan.
Beberapa ahli telah mendefenisikan tentang berpikir kritis. Facione (2006) menyatakan
bahwa berpikir kritis sebagai pengaturan diri dalam memutuskan (judging) sesuatu yang
menghasilkan interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi, maupun pemaparan menggunakan
suatu bukti, konsep, metodologi, kriteria, atau pertimbangan kontekstual yang menjadi dasar
dibuatnya keputusan.. Defenisi berpikir kritis menurut Proulx (2004) adalah sebuah proses
menurut langkah-langkah untuk menganalisis, menguji, dan mengevaluasi argumen. Keterampilan
berpikir kritis adalah keterampilan kognitif yang terkait dengan pikiran (Cotrell, 2005). Trilling
dan Fadel (2009) mendefinisikan pemikiran kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis,
menafsirkan, mengevaluasi, meringkas, dan mengumpulkan informasi. Menurut Ennis (2013)
berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang
difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Definisi berpikir kritis yang lain adalah berikut ini. “Critical thinking is the intellectually
disciplined process of actively and skillfully conceptualizing, applying, synthesizing, and/or
evaluating information gathered from, or generated by, observation, experience, reflection,
3
reasoning, or communication as a guide to belief and action. In its exemplary form, it is based on
universal intellectual values that trancend subject matter divisions: clarity, accuracy, precision,
consistancy, relevance, sound evidence, good reasons, depth, breadth, and fairness. It entails the
examination of those structures or elements of thought implicit in all reasoning: purpose,
problem, or questionate-issue, assumptions, concepts, empirical grounding; reasoning leading to
conclusions, implication and consequences, objection from alternative viewpoints, and frame of
reference” (Jenicek, 2006). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis dapat diartikan
sebagai proses juga sebagai suatu kemampuan. Proses dan kemampuan tersebut digunakan untuk
memahami konsep, menerapkan, mensintesis dan mengevaluasi informasi yang didapat atau
informasi yang dihasilkan. Tidak semua informasi yang diterima dapat dijadikan pengetahuan
yang diyakini kebenarannya untuk dijadikan panduan dalam tindakan.
Berpikir kritis adalah keterampilan dengan tujuan pemrosesan, penguraian, dan pembuatan
hipotesis, umumnya menggunakan lebih banyak beragam informasi (Brown, 2015). Berpikir kritis
merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi, mengacu pada "tujuan, penilaian yang
menghasilkan interpretasi, analisis, evaluasi, dan penyimpulan, serta penjelasan tentang
pertimbangan yang mengandung bukti, konseptual, metodologis, atau kontekstual (Guo, 2016).
Berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah termasuk kemampuan individu untuk a)
alasan secara efektif, b) mengajukan pertanyaan dan memecahkan masalah, c) menganalisis dan
mengevaluasi, d) mencerminkan secara kritis keputusan dan proses.
Finken dan Ennis (1993) mengkategorikan keterampilan berpikir kritis dalam enam
komponen yaitu: 1) focus, 2) supporting reasons, 3) reasoning, 4) organization, 5) conventions
dan, 6) integration. Menurut Ennis (1996) terdapat 6 unsur dasar dalam berpikir kritis yang
disingkat menjadi FRISCO :
a. F (Focus): memfokuskan pertanyaan atau isu yang ada untuk membuat keputusan tentang apa
yang diyakini.
b. R (Reason): mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau menolak putusan-putusan yang
dibuat berdasar situasi dan fakta yang relevan.
c. I (Inference): membuat kesimpulan yang beralasan atau meyakinkan. Bagian penting dari
langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan,
pertimbangan dari interpretasi terhadap situasi dan bukti.
d. S (Situation): memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir untuk membantu
memperjelas pertanyaan (dalam F) dan mengetahui arti istilah-istilah kunci, bagian-bagian
yang relevan sebagai pendukung.
e. C (Clarity): menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan.
f. O (Overview): meninjau kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil
Strategi Melatih dan Mengakses Keterampilan Berpikir Kritis
Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan dominan yang harus diajarkan secara
eksplisit (Zubaidah, 2016). Melalui keterampilan berpikir kritis diharapkan siswa mampu
menggunakan sistem berpikir untuk membuat alasan yang efektif, memecahkan masalah,
menghitung kemungkinan, membuat kesimpulan, dan membuat keputusan.
Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu dari keterampilan berpikir tingkat
tinggi. Dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi, siswa dapat menyerap pengetahuan dan
menunjukkan kinerjanya, siswa akan menjadi komunikator yang efektif, pemikir kritis dan
dinamis, pemecah masalah yang kompeten, dan seorang yang ahli dalam karirnya (ŽivkoviĿ,
2016). Collins (2014) memberikan sejumlah langkah yang dapat dilakukan guru dalam melatih
keterampilan berpikir. sebagai berikut:
1. Mengajarkan HOTs secara spesifik dalam ranah pembelajaran
Guru seharusnya tidak hanya mengajarkan bahasa dan konsep tetapi juga memberi tahu siswa
tentang apa yang harus mereka lakukan dalam berpikir tingkat tinggi. Misalnya, siswa dapat
mengenali keterampilan yang akan dilatihkan dengan tingkat kerumitan pertanyaan. Ketika
mereka mendengar kata-kata seperti 'definisikan', 'gambarkan', 'identifikasikan', 'pahami', dan
4
'jelaskan', mereka secara otomatis akan mengetahui tugas berpikir seperti apa yang harus
dilakukan, seperti mengingat fakta dan pengetahuan tentang konten materi.
2. Melaksanakan tanya-jawab dan diskusi pada skala kelas
Guru perlu merancang item-item pertanyaan yang dapat mendorong HOTs siswa (Sajidan,
Widoretno, Ramli, Arianto, 2016), bentuk pertanyaan seperti Socratic Dialogue, 12 bentuk
pertanyaan Toth & Harmin, ataupun Taxonomi pertanyaan Tofade (Afandi, Akhyar, Suryani,
& Sajidan, 2016; Afandi & Sajidan, 2017) dinilai mampu mendorong HOTs secara maksimal.
Guru juga bisa menyediakan waktu diskusi secara klasikal dengan tujuan melatih siswa
berkomunikasi dan berargumentasi yang pada akhirnya mendorong HOTs secara lebih luas.
3. Mengajarkan konsep secara eksplisit
Guru dapat melatih siswa dengan menghibungkan konsep-konsep dari materi yang dipelajari
dan menggunakannya sebagai sumber pertanyaan. Sebagai contoh: bandingkan konsep,
berikan contoh, identifikasikan persamaan dan perbedaan dsb.
4. Memberikan scaffolding
Guru perlu membantu siswa dalam memahami konsep ataupun pertanyaan yang diajukan dan
secara perlahan memberikan kesempatan siswa untuk belajar secara mandiri
5. Mengajarkan HOTs secara kontinyu.
Guru dapat mempergunakan berbagai strategi antara lain: (1) ajarkan keterampilan melalui
konteks dunia nyata, (2) variasikan konteks di mana siswa menggunakan keterampilan yang
baru diajarkan, (3) tekankan pada pemikiran tingkat tinggi, (3) bangun pengetahuan dasar, (4)
mengklasifikasikan kategori, (4) membuat hipotesis, (5) membuat kesimpulan, (6)
menganalisis komponen, (7) menyelesaikan masalah.
Kemampuan berpikir kritis dapat ditingkatkan melalui berbagai strategi pembelajaran.
Berbagai penelitian merupakan contoh pembelajaran yang berupaya memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, seperti: integrasi STAD dan TPS (Muhfahroyin,
2009), kombinasi reciprocal teaching dengan strategi metakognitif (Warouw, 2009), reciprocal
teaching (Zubaidah dkk, 2007; Iyan 2008), kombinasi strategi snowballing dan numbered head
together (Maasawet, 2009), penerapan pola PBMP (Berpikir Melalui Pertanyaan) (Corebima dkk,
2002; Zubaidah dkk, 2005), metode inkuiri (Zubaidah dkk, 2006), metode inkuiri dipadu dengan
reciprocal teaching (Zubaidah dkk, 2007), pembelajaran berdasarkan masalah dengan strategi
kooperatif model STAD (Mahanal dkk, 2006), dan melalui pembelajaran berbasis proyek
(Zubaidah dkk, 2009).
Sisi lain yang perlu diperhatikan dari keterampilan berpikir kritis adalah bagaimana
keterampilan berpikir kritis dapat diukur. Hal ini penting untuk mengetahui keberhasilan
pengembangan keterampilan berpikir kritis tersebut di dalam proses pembelajaran. Asesmen
berpikir kritis penting dilakukan karena beberapa tujuan, di antaranya berikut ini.
Diagnosis tingkat kemampuan berpikir kritis dan watak siswa, sehingga guru dapat
memutuskan apa yang akan diajarkan.
Umpan balik terhadap siswa tentang kemampuan berpikir kritis mereka, sehingga guru dapat
memutuskan apa yang harus dilakukan tentang hal itu.
Motivasi kepada siswa untuk menjadi pemikir kritis yang lebih baik.
Informasi pada guru tentang keberhasilan upaya mereka dalam mengajar berpikir kritis kepada
siswa.
Informasi untuk penerimaan siswa dan bimbingan terhadap siswa.
Informasi untuk kebijakan sekolah dan hal-hal lain yang dapat dipertanggungjawabkan terkait
kemampuan berpikir kritis siswa.
Sejumlah instrumen terstandar yang mengukur berpikir kritis telah tersedia. Bers (2005)
menunjukkan beberapa asesmen dari berpikir kritis, antara lain berikut ini. 1) Academic Profile,
2) California Critical Thinking Dispotition Inventory (CCTDI), tes ini disediakan dari asesmen
mendalam (California Academic Press), untuk mengukur motivasi internal siswa untuk
menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan;
3) California Critical Thinking skill Test (CCTST) yang mengases kemampuan berpikir kritis dan
5
menalar baik individu ataupun kelompok; 4) College Base; 5) Collegiate Assessment of Academic
Proficiency (CAAP); 6) Collegiate Learning Assessment Project (CLA); 7) Task in Critical
Thinking; 8)Test of Everyday Reasoning; 9) Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal; 10)
Community College Survey of Student Engagement (CCSSE) dan 11) Holistic Critical Thinking
Scoring Rubric.
Menurut Ennis (2001) tes untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, dapat dibedakan
menjadi tes spesifik untuk suatu topik dan tes yang umum (untuk semua topik). Tes berpikir kritis
spesifik untuk suatu topik mengukur hanya satu topik atau subjek saja, sedangkan tes berpikir
kritis umum mengunakan konten dari berbagai bidang atau bersifat umum. Komite National
Academy of Education merekomendasikan untuk mengembangkan tes berpikir tingkat tinggi yang
spesifik untuk suatu subjek. Pemahaman penuh mengenai suatu subjek atau topik menunjukkan
bahwa seseorang dapat berpikir dengan baik pada suatu subjek. Ennis mengatakan bahwa belum
ada tes berpikir kritis yang spesifik untuk suatu subjek yang tujuan utamanya adalah mengukur
berpikir kritis pada suatu bidang atau topik yang spesifik (Ennis 2001).
Terdapat banyak publikasi yang mengetengahkan asesmen berpikir kritis, yang sebagian
besar berformat tes pilihan ganda. Tes tersebut memiliki kelebihan dalam hal efisiensi dan biaya,
namun saat ini dianggap kurang komprehensif. Penyusunan tes pilihan ganda yang baik
memerlukan banyak waktu dan membutuhkan serangkaian revisi, uji coba, dan serangkaian revisi
ulang. Tulisan Norris & Ennis (1989) dapat dipelajari jika ingin mengembangkan asesmen
berpikir kritis dengan format tes pilihan ganda.
Menurut Ennis, asesmen yang dikembangkan untuk kemampuan berpikir kritis sebaiknya
berformat tes open ended dibandingkan dengan tes pilihan ganda, karena tes open ended
dinyatakan lebih komprehensif. Beberapa macam asesmen berpikir kritis berformat tes open
ended menurut Ennis (2011) adalah a) tes pilihan ganda dengan penjelasan tertulis; b) tes essay
berpikir kritis; dan c) tes unjuk kerja (performance assessment).
Reiner dkk. (2002) menjelaskan bahwa pada umunya para pendidik lebih memilih bentuk
pertanyaan essay daripada bentuk lain karena bentuk essay mendorong siswa untuk menunjukkan
respon atau jawaban daripada hanya memilih jawaban. Beberapa ahli pendidikan menggunakan
tes essay karena mempunyai potensi untuk mengungkap kemampuan siswa untuk
mengungkapkan alasan, menyusun, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Beberapa
kelebihan tes essay adalah 1) dapat digunakan untuk menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi
atau kemampuan berpikir kritis, 2) dapat mengevaluasi proses berpikir dan bernalar siswa, dan 3)
memberikan pengalaman autentik. Tes essay berpikir kritis menurut Ennis (2001) dibagi menjadi
tiga macam yaitu, high structure, medium stucture dan minimal structure.
Tes essay high structure dicontohkan oleh Ennis dalam bentuk -Weir critical Thinking
Essay Test. Pada tes essay high structure ditunjukkan sebuah topik argumetatif (sebuah surat
untuk editor) dengan paragraf yang diberi nomor, yang sebagian besar masih salah. Selanjutnya
siswa diminta untuk menilai kebenaran setiap paragraf dan keseluruhan topik, serta
mempertahankan penilaian mereka tersebut. Selanjutnya tes essay medium stucture merupakan tes
yang lebih disederhanakan dari high structure, yaitu dengan memberikan topik argumentatif dan
meminta siswa memberi respon berupa argumen pada topik tersebut dan mempertahankan
tanggapan tersebut tanpa menentukan organisasi respon. Contoh tes essaymedium stucture adalah
College Board AP test. Rubrik pensekoran untuk tes essaymedium stucture dapat menggunakan
penskoran holistic atau analytic. Rubrik penskoran holistic lebih cepat dan murah, sedangkan
rubrik penskoran analytic memberikan informasi lebih banyak dan lebih bermanfaat untuk suatu
tujuan tertentu. Sedangkantes essay minimal structure yang merupakan bentuk paling sederhana
karena terdiri dari suatu pertanyaan yang harus dijawab atau suatu masalah yang harus ditangani.
Contoh tes essay minimal structure adalah Illinois Critical Thinking Essay Test yang
dikembangkan oleh Finken dan Ennis (1993). Pada Illinois Critical Thinking Essay Test tersebut
siswa diminta untuk mencari solusi tentang peraturan mengenai video musik dan
mempertahankan solusi tersebut.
Suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan asesmen berpikir kritis
adalah memperhatikan definisi berpikir kritis yang diacu. Asesmen berpikir kritis harus
6
menunjukkan apa yang akan diases dengan jelas. Guru dapat mengembangkan asesmen sesuai
dengan kondisi masing-masing. Pada tulisan ini diberikan dua contoh rubrik berpikir kritis, yaitu
rubrik yang dikembangkan oleh Zubaidah dkk (2015) dan rubrik berpikir kritis dalam aspek
membuat dan mengambil keputusan (Berryessa Union School District Education services. 21st
Century Learning and the 4Cs). Kedua rubrik tersebut disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Rubrik Berpikir Kritis Dimodifikasi dari Finken dan Ennis (1993)
Skor/poin
Deskriptor
5
Semua konsep benar, jelas dan spesifik
Semua uraian jawaban benar, jelas, dan spesifik, didukung oleh alasan yang kuat,
benar, argumen jelas
Alur berpikir baik, semua konsep saling berkaitan dan terpadu
Tata bahasa baik dan benar
Semua aspek nampak, bukti baik dan seimbang
4
Sebagian besar konsep benar, jelas namun kurang spesifik
Sebagian besar uraian jawaban benar, jelas, namun kurang spesifik
Alur berpikir baik, sebagian besar konsep saling berkaitan dan terpadu
Tata bahasa baik dan benar, ada kesalahan kecil
Semua aspek nampak, namun belum seimbang
3
Sebagian kecil konsep benar dan jelas
Sebagian kecil uraian jawaban benar dan jelas namun alasan dan argumen tidak
jelas
Alur berpikir cukup baik, sebagian kecil saling berkaitan
Tata bahasa cukup baik, ada kesalahan pada ejaan
Sebagian besar aspek yang nampak benar
2
Konsep kurang fokus atau berlebihan atau meragukan
Uraian jawaban tidak mendukung
Alur berpikir kurang baik, konsep tidak saling berkaitan
Tata bahasa baik, kalimat tidak lengkap
Sebagian kecil aspek yang nampak benar
1
Semua konsep tidak benar atau tidak mencukupi
Alasan tidak benar
Alur berpikir tidak baik
Tata bahasa tidak baik
Secara keseluruhan aspek tidak mencukupi
0
Tidak ada jawaban atau jawaban salah
Zubaidah dkk (2015), Zubaidah dkk (2018)
Tabel 2. Rubrik Berpikir Kritis pada aspek membuat dan mengambil keputusan
4
Melebihi Standar
3
Memenuhi
Standar
2
Mendekati
Standar
Efektif
menganalisis dan
mengevaluasi
bukti, argumen,
klaim, dan
keyakinan
Secara konsisten
berhasil
menganalisis dan
mengevaluasi
bukti, argumen,
klaim, dan
keyakinan
Efektif dalam
menganalisis dan
mengevaluasi bukti,
argumen, klaim, dan
keyakinan
Tidak teliti dalam
menganalisis
danatau
mengevaluasi bukti,
argumen, klaim, dan
keyakinan
Efektif
menganalisis dan
mengevaluasi poin
utama dari suatu
Mencakup
pembelajaran
tentang materi dari
berbagai sudut
Tidak menghakimi
ketika menganalisis
dan mengevaluasi
materi
Percaya bahwa
mereka mampu
menganalisis dan
mengevaluasi
7
alternatif sudut
pandang
pandang dan tidak
menghakimi dalam
menganalisis
materi
materi dari sudut
pandang yang
berbeda tanpa
menghakimi, tetapi
tidak berhasil
Secara efektif
mensintesis dan
membuat koneksi
antara informasi dan
argument
Mampu menerapkan
koneksi antara
informasi dan
argumen untuk
mendukung
perspektif
Mampu memahami
dan membuat koneksi
antara informasi dan
argumen
Mampu memahami
ada hubungan antara
informasi dan
argumen, tetapi tidak
dapat menentukan apa
yangmereka lakukan
sendiri
Menginterpretasikan
informasi secara
efektif dan menarik
kesimpulan
berdasarkan analisis
terbaik
Mampu melihat
informasi yang rumit
dan berhasil menarik
kesimpulan dan
sesuai dengan situasi
Mampu melihat
informasi dan berhasil
menarik kesimpulan
Mampu melihat
informasi dan
terkadang mampu
menarik kesimpulan
Secara kritis
merefleksikan
pengalaman dan
proses pembelajaran
Secara menyeluruh
merefleksikan secara
kritis pengalaman
dan proses
pembelajaran dan
berlaku untuk
pekerjaan di masa
depan
Merefleksikan secara
kritis pengalaman dan
proses pembelajaran
Berusaha untuk
merefleksikan
pengalaman dan
proses pembelajaran
B. KETERAMBILAN BERPIKIR KREATIF
Kreativitas telah dianggap sebagai salah satu keterampilan penting yang harus dikuasai
dan menjadi kunci untuk pembelajaran yang efektif pada abad 21. Kreativitas telah dicatat sebagai
keterampilan yang signifikan di seluruh rentang kehidupan (Egan, Maguire, Christophers, &
Rooney, 2017). Livingston (2010) melaporkan bahwa kreativitas merupakan keterampilan penting
bagi siswa karena memiliki hubungan langsung dengan pengembangan konten pengetahuan dan
keterampilan.
Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan yang baru, beragam dan ide-ide unik.
Kreativitas sering digambarkan sebagai keterampilan penting yang dapat dan harus dipupuk.
Kreativitas adalah keterampilan berpikir tingkat tertinggi berevolusi dari keterampilan lain
mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi. Kreativitas adalah
produksi keterampilan berpikir kritis juga ciri-ciri kepribadian, dan tujuannya adalah untuk
menghasilkan dan mencari ide-ide baru. Keterampilan komunikasi dan kolaborasi adalah stimulus
untuk menginspirasi kreativitas melalui berbagi, bertukar dan mendapatkan manfaat dari berbagai
ide. Dengan demikian, kerja tim telah menjadi satu elemen yang sangat diperlukan dari kerja
kreatif (Guo, 2016).
Berpikir kreatif identik dengan kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru (Piaw,
2010). Definisi tentang berpikir kreatif telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Torrance
(1988), mendefinisikan berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk merumuskan masalah,
membuat dugaan, menghasilkan ide-ide baru, dan mengomunikasikan hasil-hasil. Hotaman
(2008) memandang bahwa pemikiran kreatif sebagai kemampuan untuk membuat hubungan
antara hubungan yang tidak pernah dibuat sebelumnya dan menghasilkan pemikiran dan
pengalaman baru dan asli sebagai pola baru dalam skema. Berpikir kreatif juga dapat
didefinisikan sebagai kemampuan menciptakan suatu obyek atau konsep baru, atau
menyempurnakan produk yang sudah ada agar semakin menarik (National Education Association,
2010; Partnership for 21st Century Learning, 2015). Pada definisi lain, dikemukakan bahwa
ketrampilan berpikir kreatif merupakan keterampilan untuk menemukan hal baru yang belum ada
sebelumnya, bersifat orisinil, mengembangkan berbagai solusi baru untuk setiap masalah, dan
8
melibatkan kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang baru, bervariasi, serta unik (Leen,
Hong, Kwan & Ying, 2014).
Keterampilan berpikir kreatif bisa dibina oleh guru dan lingkungan belajar yang
mendorong pertanyaan, keterbukaan terhadap ide-ide baru, dan belajar dari kesalahan dan
kegagalan. Seperti keterampilan lainnya, kreativitas dan inovasi keterampilan dapat
dikembangkan melalui latihan dan dari waktu ke waktu (Pacific Policy Research Center, 2010).
Berpikir kreatif akan menghasilkan generasi kreatif yang memiliki potensi untuk memecahkan
masalah sosial dan lingkungan yang kompleks. Untuk membangun kecakapan kreatif yang efektif,
siswa harus belajar untuk
a. Menggunakan berbagai teknik pembuatan ide (seperti brainstorming)
b. Membuat ide baru dan bermanfaat (keduanya konsep inkremental dan radikal)
c. Menyempurnakan, menganalisis, dan mengevaluasi ide mereka sendiri untuk meningkatkan
dan memaksimalkan upaya kreatif
d. Bertindak atas ide-ide kreatif untuk membuat kontribusi yang nyata dan berguna pada bidang
dimana inovasi tersebut dilakukan (Berryessa Union School District Education services. 21st
Century Learning and the 4Cs).
Strategi melatih dan mengakses keterampilan berpikir kreatif
Kreatifitas adalah cara-cara berpikir divergen, produktif, berdaya cipta berpikir heuristik
dan berpikir lateral yang dapat diajarkan secara eksplisit dalam pembelajaran (Zubaidah, 2017).
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melatih keterampilan berpikir kreatif siswa, adalah a)
memberikan pertanyaan dan mengajak siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran; b)
mengeksplorasi topik dan materi dengan data primer atau nyata;c) memikirkan cara baru untuk
menginformasikan temuan baru (Coffman, 2013).
Menurut Kivunja (2014), beberapa kecakapan terkait kreatifitas yang dapat dikembangkan
dalam pembelajaran adalah
a. Mampu menyelesaikan permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari
b. Bersikap terbuka dan memiliki rasa ingin tahu
c. Mampu memanfaatkan kemampuan dan keterampilannya dalam menganalisis, mengevaluasi,
mengelaborasi dan mencipta
d. Mampu menggunakan berbagai strategi berpikir kreatif (seperti mind mapping, visual
creativity, word association, SWOT analysis, and lateral thinking) untuk menemukan dan
mengungkapkan ide-ide baru
Berpikir kreatif memiliki lima aspek atau indikator (Treffinger, 2002). Pertama, fluency
(kelancaran), meliputi kemampuan untuk mengeluarkan banyak ide, cara, saran, pertanyaan,
gagasan ataupun alternatif jawaban dengan lancar dalam waktu tertentu. Kedua, flexibility
(keluwesan), meliputi kemampuan mengeluarkan gagasan, jawaban atau pertanyaan yang
bervariasi dimana gagasan atau jawaban tersebut diperoleh dari sudut pandang yang berbeda-beda
dengan mengubah cara pendekatan atau pemikiran. Ketiga, originality (keaslian), merupakan
kemampuan mengeluarkan ungkapan, cara, gagasan, atau ide untuk menyelesaikan masalah atau
membuat kombinasi bagian-bagian atau unsur secara tidak lazim, unik, baru yang tidak
terpikirkan oleh orang lain. Keempat, elaboration (merinci), merupakan kemampuan untuk
memperkaya, mengembangkan, menambah, menguraikan atau merinci detail-detail dari objek,
gagasan, ide, produk atau situasi sehingga lebih menarik. Kelima, metaphorical thinking (berpikir
metafora), merupakan kemampuan untuk menggunakan perbandingan atau analogi untuk
membuat keterkaitan baru. Berpikir metafora termasuk dengan berpikir tentang bagaimana suatu
hal yang berbeda tampak serupa atau berbeda kemudian mengarahkan keterkaitan ini untuk
menghasilkan atau menemukan kemungkinan-kemungkinan baru
Salah satu asessment yang dapat dipedomani untuk mengukur keterampilan berpikir
kreatif adalah penilaian berpikir kreatif Torrance atau dikenal juga dengan The Torrance Test for
Creativity. Greenstein (2012) menjelaskan bahwa guru dapat menilai sejauh mana kemampuan
berpikir kreatif siswa melalui beberapa strategi seperti: melalui daftar ceklist atau melalui
observasi. Guru dapat melakukan pengamatan untuk proses membantu melacak dan mencatat
9
kemajuan kreativitas siswa. Sementara itu siswa sendiri dapat membuat jurnal dan log book
pembelajaran sebagai strategi dalam menilai kemajuan kreativitasnya sendiri. salah satu rubrik
yang dapat digunakan dalam mengukur keterampilan berpikir kreatif disajikan pada Tabel 3 dan
Tabel 4.
Tabel 3. Rubrik Berpikir Kreatif dari Greenstein (2012)
Standar
5. Sangat baik
4. Baik
3. Cukup
2. Kurang
Rasa ingin tahu
(curiosity)
Saya tertarik
dengan unsur-
unsur dan ide
baru dan secara
aktif mencarinya
Saya ingin tahu
tentang beberapa
hal dan saya
mengeksplorasi
ide-ide dan hal-
hal baru
Dengan beberapa
bantuan, saya
akan
mengeksplorasi
cara baru dari
bekerja dan
berpikir
Saya merasa
gugup dan
mencoba untuk
menghindari ide-
ide dan hal-hal
baru
Keluwesan
(flexibility)
Saya beradaptasi
dengan baik
terhadap situasi
baru dan dapat
melihat banyak
kemungkinan
dalam
pembelajaran
seharihari.
Saya dapat
belajar secara
efektif bahkan
ketika halhal
berubah dan
berpotensi untuk
saya pelajar
Terkadang sulit
bagi saya untuk
menyesuaikan
diri dengan
perubahan. Pada
saat seseorang
memperingatkan
agar saya
berpikir berbeda,
kadang saya bisa
melakukannya
Saya tidak dapat
menjadi
produktif ketika
sesuatu berubah.
Sulit bagi saya
untuk berpikir di
luar hal biasanya
Keaslian
(originality
Saya dapat
menemukan
banyak ide baru
tentang sebagian
besar topik
Saya dengan
mudah
menemukan ide
baru
Ide baru saya
akan muncul jika
melihat panduan
Saya butuh
bantuan
memikirkan hal-
hal baru
Tabel 4. Rubrik Bekerja Kreatif dengan Orang Lain
4
Melebihi Standar
3
Memenuhi Standar
2
Mendekati Standar
1
Tidak terstandar
Kembangkan, terapkan
dan komunikasikan
ide-ide baru kepada
orang lain secara
efektif
Mengembangkan,
mengimplementasikan
dan
mengkomunikasikan
ide-ide baru kepada
orang lain secara efektif
dalam berbagai kondisi
Mengembangkan,
mengimplementasikan
dan
mengkomunikasikan
ide-ide baru kepada
orang lain secara
efektif
Mengembangkan,
mengimplementasikan
dan
mengkomunikasikan
ide-ide baru kepada
orang lain
Mengembangkan ide-
ide baru tetapi tidak
mengimplementasikan
dan
mengkomunikasikan
kepada orang lain
secara efektif
Bersikap terbuka dan
responsif terhadap
perspektif baru dan
beragam; memasukkan
masukan kelompok
dan umpan balik ke
dalam pekerjaan
Secara konsisten dan
teliti dengarkan
beragam pandangan dan
gabungkan dalam
pekerjaan
Kemampuan untuk
mendengarkan
beragam pandangan
dan bergabung dalam
pekerjaan
Mendengarkan
beragam pandangan
tetapi tidak secara
efektif dimasukkan
dalam pekerjaan
Tidak mendengarkan
pandangan lain
Menunjukkan
orisinalitas dan
kreativitas dalam
pekerjaan dan pahami
batas dunia nyata
untuk mengadopsi
ide-ide baru
Secara konsisten
menunjukkan
kreativitas dan realistis
tentang batas-batas
situasi dalam berbagai
situasi
Mendemonstrasikan
kreativitas dan realistis
tentang batas-batas
situasi
Mendemonstrasikan
kreativitas tetapi tidak
memiliki pemahaman
yang realistis tentang
batas-batas situasi
Tidak menunjukkan
kreativitas
Melihat kegagalan
sebagai peluang untuk
belajar; memahami
Merangkul ide bahwa
mencoba /
bereksperimen
Memahami pentingnya
mencoba /
bereksperimen
Memahami
pentingnya mencoba /
bereksperimen
Tidak mengerti
bagaimana usaha yang
gagal adalah bagian
10
bahwa kreativitas dan
inovasi adalah proses
siklus jangka panjang
dari kesuksesan kecil
dan kesalahan yang
sering terjadi
sebagaibagian penting
dari jalur kesuksesan
dan mendekati peluang
dengan pemahaman
bahwa banyak usaha
yang gagal sangat
mungkin
sebagaibagian penting
dari jalan menuju
kesuksesan, termasuk
usaha yang gagal
sebagai bagian
penting dari jalan
menuju kesuksesan,
tetapi tidak
memahami ini
termasuk usaha yang
gagal juga
dari proses yang
mengarah pada
kesuksesan
C. KETERAMPILAN KOMUNIKASI
Manusia merupakan mahluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Oleh
karena itu, komunikasi merupakan salah satu hal terpenting yang dapat menjadi kunci sukses
dalam hidup bermasyarakat. Berbagai masalah dalam keluarga, masyarakat, lingkungan kerja,
kehidupan bernegara, bahkan antarnegara terjadi berawal dari miscommunication.
Komunikasi merupakan proses transmisi informasi, gagasan, emosi, serta keterampilan
dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, grafis, atau angka.Pada definisi lain,
komunikasi diartikan sebagai keterampilan yang melibatkan kegiatan mendengar, observasi,
berbicara, bertanya, analisis serta evaluasi untuk menyampaikan pesan atau makna suatu
informasi kepada orang lain melalui berbagai media. Kemampuan komunikasi mencakup
pemahaman informasi yang diberikan dan kemampuan mengekspresikan ide atau konsep secara
efektif (Partnership for 21st Century Learning, 2015). Keterampilan komunikasi mengacu pada
kemampuan individu untuk berkomunikasi dengan jelas, menggunakan bahasa lisan atau tertulis,
verbal maupun non-verbal dan berkolaborasi secara efektif (Pacific Policy Research Center,
2010). Komunikasi verbal terkait denganisi atau konten informasi yang disampaikan, sedangkan
komunikasi non verbal yang terkait dengan cara penyampaian informasi.
Tujuan utama komunikasi adalah mengirimkan informasi atau pesan agar dapat dimengerti
oleh penerima. Namun, tidak semua orang mampu melakukan komunikasi dengan baik. Ada
orang yang mampu dengan baik menyampaikan informasi secara lisan tetapi tidak secara tulisan,
ataupun sebaliknya. Agar tujuan komunikasi dapat tercapai, diperlukan komunikasi efektif.
Komunikasi yang efektif dapat terjadi jika menggunakan teknik berkomunikasi yang
tepat. Beberapa teknik dalam komunikasi, diantaranya
a. Ide pesan utuh, tidak memiliki makna ganda dan diucapkan dengan jelas, tegas dan tidak
berbelit-belit.
b. Komunikator memahami betul lawan bicara.
c. Informasi disampaikan dengan bahasa penerima informasi dan disesuaikan dengan
kemampuan serta tingkat kognisi penerima informasi.
d. Pembawa pesan harus mengendalikan noise dan mencari umpan balik untuk meyakinkan
bahwa informasi yang disampaikan dapat diterima oleh lawan bicara.
Strategi Melatih dan Mengakses Keterampilan Komunikasi
Belajar merupakan kegiatan sosial yang secara fundamental dapat terjadi baik di sekolah,
tempat kerja, maupun lingkungan lainnya. Oleh karena itu, kecakapan berkomunikasi harus
dibangun sejak awal. Beberapa kecakapan komunikasi yang dapat dikembangkan dalam
pembelajaran. antara lain sebagai berikut. (Arsad & Soh, 2011; Osman, Hiong, & Vebrianto,
2013)
a. Mampu menyampaikan informasi dan memastikan penerima informasi memahami pesan yang
disampaikan
b. Mampu berkomunikasi secara lisan dan tulisan melalui berbagai media
c. Mampu memilih media dan cara berkomunikasi yang paling tepat terkait dengan karakter
penerima pesan dan tujuan disampaikannya suatu pesan
d. Memiliki kemampuan mengelola dan menggunakan teknologi serta sumberdaya digital
lainnya dalam mengungkapkan ide dan pendapat
e. Mampu berinteraksi secara kooperatif dalam suatu kelompok kerja
11
Memberdayakan keterampilan komunikasi membutuhkan banyak waktu dan latihan. Oleh
karena itu, keterampilan komunikasi dapat dilatih secara terus menerus, baik secara eksplisit
ataupun tertanam dalam pengajaran dan materi. Kegiatan membaca, mendengarkan dan
mengamati merupakan stimulus kegiatan yang sangat penting dalam melatih keterampilan
komunikasi. Keterampilan utama yang sangat terkait dengan keterampilan komunikasi adalah
mengkonversi informasi dan memecahkan masalah melalui bahasa. Selain itu, kemampuan siswa
dalam menilai, menganalisis dan mensintesis informasi dalam komunikasi menjadi hal yang tidak
kalah penting.
Trilling dan Fadel (2009) menyarankan beberapa strategi yang harus dilakukan guru dalam
untuk membangun keterampilan komunikasi abad 21 pada diri siswa dengan efektif. Beberapa
strategi tersebut meliputi
1. Mengajarkan siswa bagaimana mengartikulasikan pikiran dan gagasan secara lisan, tulis dan
keterampilan komunikasi non-verbal dalam berbagai bentuk dan konteks.
2. Mengajarkan siswa bagaimana mendengar aktif dan efektif. Hal ini akan membantu siswa
menafsirkan dan memahami makna dalam komunikasi, dengan mempertimbangkan latar
belakang budaya, nilai, sikap, dan niat.
3. Mengajarkan siswa bagaimana menggunakan komunikasi untuk berbagai tujuan.
4. Mengajarkan siswa bagaimana memanfaatkan berbagai media dan teknologi, serta bagaimana
menilai efektivitas dan dampak dari media dan teknologi tersebut.
5. Melatih siswa untuk berkomunikasi secara efektif di lingkungan yang beragam, termasuk juga
menggunakan berbagai bahasa.
Komunikasi mengekspresikan pikiran dengan jelas, mengartikulasikan dengan tajam
pendapat, berkomunikasi koheren dalam pembelajaran, memotivasi orang lain melalui ucapan
yang kuat. Untuk membangun kemampuan Komunikasi Siswa yang efektif harus belajar untuk:
Berkomunikasi menggunakan media digital dan lingkungan untuk mendukung pribadi dan
kelompok belajar.
Bagikan informasi secara efisien dan efektif menggunakan media digital dan lingkungan yang
tepat.
Komunikasikan pikiran dan ide dengan jelas dan jelas efektif untuk audiens yang berbeda
menggunakan berbagai media dan format (Berryessa Union School District Education
services. 21st Century Learning and the 4Cs)
Tabel 5 berikut menyajikan rubrik berkomunikasi dengan jelas yang mengacu pada strategi
pembelajaran yang disarankan oleh Trilling dan Fadel (2009), sedangkan Tabel 6 menyajikan
contoh rubrik keterampilan komunikasi yang dapat dikembangkan dan disesuaikan oleh guru
sesuai dengan kondisi masing-masing guru.
Tabel 5. Rubrik Berkomunikasi dengan jelas
Standar
4
Melebihi Standar
3
Memenuhi
Standar
2
Mendekati
Standard
1
Tidak terstandar
Mengartikulasikan
pikiran dan ide-ide
secara efektif
menggunakan
lisan, tulisan dan
keterampilan
komunikasi non
verbal dalam
berbagai bentuk
dan konteks
Bekerja kreatif untuk
membuat dan
menyajikan
presentasi multimedia
komprehensif yang
menggunakan
komunikasi verbal
dan nonverbal.
Mengomunikasikan
pikiran dan ide
dengan menyusun
dan menyajikan
presentasi
multimedia
menggunakan
komunikasi verbal
dan nonverbal.
Membuat
presentasi
multimedia tetapi
tidak secara efektif
menangani /
berkomunikasi
menggunakan
komunikasi verbal
dan nonverbal
Membuat presentasi
multimedia tetapi
tidak dapat
ditunjukkan, atau
gagal menyelesaikan
presentasi
multimedia,
sehingga tidak
berkomunikasi
menggunakan
komunikasi verbal
dan nonverbal
12
Mendengarkan
dengan efektif
untuk
menguraikan
makna, termasuk
pengetahuan, nilai,
sikap, dan niat
Tercermin dengan
serius dan
mengidentifikasi
cara-cara konstruktif
untuk menerapkan
pengetahuan, nilai,
sikap, dan niat pesan
Terefleksi secara
efektif pada makna,
nilai, sikap dan niat
dari pesan
Berusaha untuk
mendengarkan
pesan dan
merefleksikan
makna pesan, tetapi
kehilangan
informasi kunci,
nilai, sikap atau
niat dan kehilangan
pentingnya pesan
Mendengarkan pesan
tetapi tidak
menunjukkan
pemahaman terhadap
pesan dengan tidak
merefleksikan
maknanya
Menggunakan
komunikasi dengan
berbagai tujuan
(contoh
menginformasikan,
menginstruksikan,
memotivasi, dan
membujuk)
Secara efektif
menggunakan
komunikasi untuk
menginformasikan,
menginstruksikan,
memotivasi, dan
membujuk pada
berbagai kesempatan
menggunakan
komunikasi verbal
dan non verbal
Menggunakan
komunikasi untuk
menginformasikan,
menginstruksikan,
memotivasi, dan
membujuk
Berkomunikasi
hanya untuk
menginformasikan
dan
menginstruksikan
Berkomunikasi
hanya untuk
menginformasikan
dan tidak
menunjukkan
komunikasi untuk
tujuan lainnya
Memanfaatkan
berbagai media
dan teknologi, serta
bagaimana menilai
efektivitas dan
dampak dari media
dan teknologi
tersebut
Bekerja secara kreatif
untuk membuat
produk yang
komprehensif
menggunakan
berbagai media dan
teknologi dan dengan
serius merefleksikan
keefektifan dan
dampak produk
Membuat produk
menggunakan
berbagai media dan
teknologi dan
tercermin pada
efektivitas dan
dampak produk
Membuat produk
menggunakan
berbagai media dan
teknologi tetapi
tidak secara efektif
mencerminkan
efektivitas dan
dampak produk
Berupaya tetapi tidak
menyelesaikan
pembuatan produk
menggunakan
berbagai media dan
teknologi dan tidak
secara efektif
mencerminkan
keefektifan dan
dampak produk
Berkomunikasi
secara efektif di
lingkungan yang
beragam,
termasuk juga
menggunakan
berbagai bahasa
Berkomunikasi
secara efektif dengan
orang lain pada
lingkungan yang
beragam
menggunakan
komunikasi verbal
dan non-verbal
Berkomunikasi
secara efektif
dengan orang lain
pada lingkungan
yang beragam
Berkomunikasi
secara efektif
dengan orang lain
pada lingkungan
yang beragam
tetapi gagal
berkomunikasi
secara efektif
dengan orang lain
Gagal berkomunikasi
dengan orang lain
pada lingkungan
yang beragam
Tabel 6. Contoh Rubrik Keterampilan Komunikasi
Keterampilan/
Pengetahuan
4. Sangat Baik
3. Baik
2. Cukup
1. Kurang
Komunikasi
lisan
Kejelasan, kecepatan,
volume dan artikulasi
semuanya kuat dan
komunikasi sangat
baik.
Klarifikasi,
kecepatan,
volume dan
artikulasi dapat
diterima dan
komunikasi baik
Salah satu bagian
dari komunikasi
lisan kurang baik
Sulit untuk
mendengar dan
mengikuti
komunikasi
13
Komunikasi
reseptif:
mendengarkan,
membaca,
melihat
Membedakan fakta
dari opini, mengenali
maksud dari pesan,
merangkum ide
utama,
mengidentifikasi
alasan-alasan untuk
sudut pandang
tertentu
Menentukan
fakta,
mengidentifikasi
dan merangkum
ide-ide utama
Dapat
mengidentifikasi
sebuah pesan.
Keterampilan
interpretasi pesan
masih
dikembangkan
Hanya mengulang
fakta, memahami
sebagian dari
sebuah pesan
Membedakan
maksud
Mengidentifikasi
dan menafsirkan
pesan yang jelas
dan menarik
kesimpulan yang
logis.
Pesan yang
disampaikan baik
Dapat memahami
ide utama dalam
pesan tetapi
membutuhkan
bantuan
Memahami
sebagian besar
fakta tetapi tidak
dapat memahami
makna
Menggunakan
strategi
komunikasi
Menghasilkan
komunikasi yang
jelas,
akurat, dan reflektif.
Komunikasi
biasanya dapat
dimengerti
dengan
beberapa
kesalahan kecil
Mampu
menghasilkan
komunikasi dasar
Berkomunikasi
dengan jelas
untuk suatu
tujuan
Memahami tujuan
dari
informasi yang
disampaikan, dan
menyajikan dengan
baik.
Memahami
informasi dan
tujuan yang
dimaksud.
Informasi yang
disampaikan
tidak
jelas, sehingga
kualitias
presentasi
menurun
Informasi yang
disampaikan sama
sekali tidak jelas,
tidak fokus ada
materi dan proses
Kemampuan
presentasi
Presentasi tepat dan
bermakna,
menanggapi
isyarat audiens
dengan
menyesuakan nada
dan tempo
Presentasi biasa
dan terkadang
berusaha
menjawab dan
merespon audiens
Presentasi kurang
maksimal,
mengalami
kesulitan, tetapi
bersikap tenang,
dan responsif
Presentasi tidak
profesional. Tidak
menyadari reaksi
peserta
Keterangan: Rubrik dapat dipersonalisasi, misalnya bagian pertama adalah dari sudut pandang siswa
(penilaian diri), bisa diubah menjadi dari sudut pandang guru. Bagian kedua, ketiga dan
keempat adalah dari sudut pandang guru, bisa diubah menjadi dari sudut pandang siswa.
D. KETERAMPILAN KOLABORASI
Kolaborasi merupakan trend pembelajaran abad ke-21 yang menggeser pembelajaran
berpusat pada guru menjadi pembelajaran kolaboratif. Lingkungan pembelajaran kolaboratif
menantang siswa untuk mengekspresikan dan mempertahankan posisi mereka, dan menghasilkan
ide-ide mereka sendiri berdasarkan refleksi. Mereka dapat berdiskusi menyampaikan ide-ide pada
teman-temannya, bertukar sudut pandang yang berbeda, mencari klarifikasi, dan berpartisipasi
dengan tingkat berpikir tinggi seperti mengelola, mengorganisasi, menganalisis kritis,
menyelesaikan masalah, dan menciptakan pembelajaran dan pemahaman baru yang lebih
mendalam.
Kolaborasi adalah keterampilan yang bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan
kolektif dalam hal membantu, menyarankan, menerima, dan bernegosiasi melalui interaksi dengan
orang lain yang dimediasi oleh teknologi (Brown, 2015). Kolaborasi juga didefinisikan sebagai
kemampuan untuk bekerja secara fleksibel, efektif, dan adil dengan orang lain untuk
menyelesaikan sebuah tugas kolektif (National Education Association, 2010; Partnership for 21st
Century Learning, 2015). Keterampilan kolaborasi meliputi:
a. memberi dan menerima umpan balik dari rekan-rekan atau anggota tim lainnya untuk
melakukan tugas yang sama
14
b. berbagi peran dan ide-ide yang baik dengan orang lain
c. mengakui keterampilan, pengalaman, kreativitas, dan kontribusi orang lain
d. mendengarkan dan mengakui perasaan, kekhawatiran, pendapat, dan gagasan orang lain
e. berkembang pada ide-ide seorang rekan atau anggota tim
f. menyatakan pendapat pribadi dan bidang pertentangan dengan bijaksana,
g. mendengarkan orang lain dengan sabar dalam situasi konflik
h. mendefinisikan masalah dengan cara yang tidak mengancam
i. mendukung keputusan kelompok
Tujuan kolaborasi adalah memberi kesempatan kepada orang-orang yang terlibat untuk
bekerja bersama sehingga menghasilkan ide-ide dan pada saat yang sama mendapatkan umpan
balik atas ide-ide tersebut (The Innovation and Business Industry Skills Council of Australia,
2009). Kolaborasi yang baik, akan terbangun dari sekumpulan orang mandiri yang menyadari
bahwa mereka tidak akan mungkin hidup tanpa bersinergi. Dengan demikian, dapat diartikan
bahwa kolaborasi dapat terjadi ketika dua atau lebih banyak orang bekerjasama untuk mencapai
tujuan bersama.
Strategi melatih dan mengakses keterampilan kolaborasi
Kemunculan teknologi dan internasionalisasi perusahaan, baik secara geografis maupun
budaya, memerlukan tenaga kerja abad 21 yang mampu melakukan kerja kolaboratif yang sering
melibatkan anggota tim dari negara lain (National Education Association, 2010; Wyers, 2014).
Kemampuan bekerja dalam beragam kultur menjadi fokus penting seiring dengan meningkatnya
permintaan produk yang memenuhi keinginan konsumen secara spesifik. Permintaan tersebut
memerlukan banyak perspektif dan pendekatan untuk mengatasi masalah. Oleh karena itu
diperlukan kemampuan kolaborasi yang efektif bagi tenaga kerja abad 21 (National Education
Association, 2010; Partnership for 21st Century Learning, 2015; Wyers, 2014). Untuk
memperoleh tenaga kerja abad 21 yang mampu berkolaborasi dalam tim, perlu dipersiapkan sejak
dini yaitu melalui proses pembelajaran di sekolah.
Kolaborasi dalam proses pembelajaran merupakan suatu bentuk kerjasama antar siswa
yang satu sama lain saling membantu dan melengkapi untuk melakukan tugas-tugas tertentu agar
diperoleh suatu tujuan yang telah ditentukan. Kecakapan kolaborasi yang dapat dikembangkan
dalam pembelajaran seperti dikemukakan Kivunja, C. (2014), antara lain sebagai berikut
a) Tanggung jawab untuk bekerja sama dengan orang lain untuk menghasilkan tujuan tertentu.
b) Menghargai dan menghormati pendapat yang berbeda
c) Mampu bekerja efektif dan fleksibel dalam tim yang beragam
d) Mampu berkompromi dengan anggota yang lain dalam tim demi tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan.
Pembelajaran kolaboratif juga mengarah pada pengembangan metakognisi, perbaikan
dalam merumuskan ide, dan diskusi atau berdebat dengan tingkat berpikir yang lebih tinggi. Hal
ini memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar saling memantau satu sama lain, saling
mendeteksi kesalahan dan belajar bagaimana untuk memperbaiki kesalahan mereka. Siswa dapat
mengembangkan konten pengetahuan dan belajar keterampilan abad ke-21 seperti kemampuan
untuk bekerja dalam tim, memecahkan masalah yang kompleks, dan menerapkan pengetahuan
yang diperoleh ke dalam situasi lain (Barron dan Darling-Hammond, 2008). Hal ini berbeda
dengan pembelajaran berbasis ceramah, pembelajaran kolaboratif adalah bentuk pengembangan
interaksi siswa dalam membangun pengetahuan secara berkelompok.
Beberapa strategi yang dapat ditempuh guru dalam menumbuhkan ketempilan kolaboratif
dalam pembelajarannya.
a. Mengajarkan siswa untuk bekerja dengan hormat dengan tim yang berbeda, tidak hanya secara
fisik tetapi juga psikis.
b. Mengajarkan fleksibilitas dan keinginan untuk berkompromi sehingga tujuan yang
menguntungkan semua pihak yang berkolaborasi dapat tercapai.
c. Melatih dan mendorong siswa untuk mengambil tanggung jawab untuk bekerja bersama
dengan orang lain
15
d. Mengajarkan siswa untuk menghargai ide dan kontribusi dari setiap anggota tim dimana
mereka menjadi bagian dari tim tersebut.
e. Menekankan lima prinsip pembelajaran kooperatif yaitu ketergantungan positif, akuntabilitas
individu, partisipasi yang sama, pengolahan kelompok dan interaksi simultan dalam
pengembangan keterampilan kolaboratif.
Tabel 7. Rubrik Keterampilan Kolaborasi yang Baik (Berryessa Union School District
Education services. 21st Century Learning and the 4Cs)
Standar
4
Melebihi Standar
3
Memenuhi
Standar
2
Mendekati
Standar
1
Tidak
terstandar
Menunjukkan
kemampuan
bekerja secara
efektif dan
hormat dengan
kelompok yang
beragam
Secara konsisten
mendengarkan
orang lain. Semua
pernyataan,
tanggapan, dan
bahasa tubuh
sopan dan sesuai.
Selalu
mendengarkan,
saling berbagi dan
mendukung upaya
orang lain
Mendengarkan,
saling berbagi dan
mendorong
dengan orang
lain. Pernyataan,
tanggapan
merupakan
bahasa tubuh
yang sopan dan
pantas
dipamerkan
Sebagian besar
pernyataan,
tanggapan, dan
bahasa tubuh
sangat dihargai;
kadang-kadang
memiliki nada
negatif. Tidak
selalu
mendengarkan,
berbagi, dan
mendukung upaya
orang lain
Pernyataan,
tanggapan dan
/ atau bahasa
tubuh secara
konsisten tidak
menunjukkan
rasa
menghormati.
Jarang
mendengarkan,
berbagi, dan
mendukung
upaya orang
lain
Berlatih dengan
fleksibel dan
penuh kemauan
untuk membantu
dalam membuat
kompromi yang
diperlukan untuk
mencapai tujuan
bersama
Selalu mendengar
ide dan
menunjukkan
kompromi yang
memungkinkan
kelompok untuk
mencapai dengan
potensi penuhnya
Bersedia
berkompromi
dengan kelompok
untuk mencapai
tujuan bersama
Berusaha
berkompromi
dengan kelompok
untuk mencapai
tujuan bersama,
tetapi terkadang
mengganggu
kelompok untuk
mencapai potensi
penuhnya
Biasanya tidak
berkompromi
dengan
kelompok
untuk
mencapai
tujuan
bersama, dan
sering
mengganggu
kelompok
untuk
mencapai
potensi
penuhnya
Mengasumsikan
tanggung jawab
bersama untuk
pekerjaan
kolaboratif, dan
nilai kontribusi
individu yang
dibuat oleh
masing-masing
anggota tim
Memotivasi
semua anggota
untuk berbagi
kontribusi secara
seimbang dengan
menghargai ide
dan kontribusi
semua anggota
Berpartisipasi dan
berkontribusi
pada kerja
kelompok secara
merata. Nilai
semua ide dan
kontribusi
anggota.
Berupaya untuk
berbagi tanggung
jawab kerja
kelompok, tetapi
akhirnya
menyelesaikan
sebagian besar
pekerjaan, tanpa
memanfaatkan
masukan orang lain
dalam grup
Melakukan
sebagian besar
atau sangat
sedikit
pekerjaan
kelompok dan
tidak berbagi
atau
menghormati
gagasan orang
lain
16
Tabel 8. Contoh Rubruk Keterampilan Kolaborasi
Keterampilan/
Pengetahuan
4. Sangat Baik
3. Baik
2. Cukup
1. Kurang
Bekerja
Produktif
Kami
menggunakan
seluruh waktu
secara efisien
untuk tetap fokus
pada tugas dan
memberikan kerja
yang dibutuhkan.
Setiap orang
mengerjakan
tugasnya dan
sering melebihinya
Kami
bekerjasama
dengan baik dan
tetap pada hal
yang paling
penting sampai
pekerjaan selesai.
Setiap orang
mengerjakan
tugas yang
diberikan
Terkadang kami
bekerjasama,
tapi tidak setiap
orang
memberikan
kontribusi atau
mengerjakan
tugasnya,
menjadikan
pekerjaan sulit
diselesaikan
Kami tidak dapat
bekerja sama
dengan baik.
Setiap orang ingin
mengerjakan
tugasnya masing-
masing dan
memberitahukan
yang lain apa yang
dilakukan, dari
pada fokus pada
tugasnya
Menunjukkan
rasa hormat
Setiap orang selalu
menaruh rasa
hormat untuk
mendengarkan dan
mendiskusikan
ide-ide yang
dibagikan
Anggota
kelompok
mendengarkan
dan berinteraksi
dengan baik pada
sebagian besar
waktunya
Beberapa orang
kesulitan
menghargai
pendapat orang
lain.
Anggota kelompok
tidak
mendengarkan
pendapat orang
lain.
Berkompromi
Setiap orang dapat
bekerjasama
secara fleksibel
untuk mencapai
tujuan bersama
Setiap orang
dapat
berkompromi
(bekerjasama)
untuk
meningkatkan
kinerja
Beberapa orang
kurang dapat
berkompromi
sehingga
pekerjaanlebih
lambat
Banyak
ketidaksetujuan,
dan beberapa
orang hanya
menuruti
keinginannya
sendiri
Berbagi
tanggung
jawab; Setiap
orang
berkontribusi
Setiap orang
melakukan
pekerjan terbaik
mereka dan
berdasarkan pada
tugas yang
diberikan
Sebagian besar
orang
mengerjakan
bagiannya sendiri
Sulit untuk
membuat setiap
orang melakukan
bagian
pekerjaannya
Setiap orang tidak
dapat
menyelesaikan
bagiannya sendiri
PENUTUP
Strategi belajar mengajar yang efektif dan relevan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
net generation (generasi milenial) pada abad 21. Selain membutuhkan sumberdaya digital untuk
mengakses informasi, komunikasi dan pemecahan masalah, hal terpenting yang harus dimiliki
oleh generasi milenial adalah soft skills yang meliputi keterampilan berpikir kritis (Critical
Thinking Skills), keterampilan berpikir kreatif (Creative Thinking Skill), keterampilan
berkomunikasi (Communication Skills) dan keterampilan berkolaborasi (Collaboration Skills).
Keempat keterampilan tersebut dikenal dengan keterampilan 4 C.
Strategi pedagogik untuk memberdayakan kompetensi 4C adalah dengan memanfaatkan
teknologi untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kaya dan dapat membangun
keterampilan abad 21. Strategi tersebutadalah dengan (a) menjadi sadar dan melek akan teknologi;
(b) menugaskan permasalahan yang terjadi di dunia nyata bagi siswa untuk diselesaikan dengan
menggunakan teknologi; dan (c) menciptakan pengalaman belajar berbasis masalah kolaboratif
menggunakan sumber daya yang didapat melalui internet. Dengan demikian, domain utama
keterampilan abad 21 yang berupa literasi digital, pemikiran yang intensif, komunikasi efektif,
produktifitas tinggi dan nilai spiritual dan moral dapat tercapai melalui latihan-latihan yang
berkelanjutan di dalam proses pembelajaran.
17
Agar keberhasilan pemberdayaan keterampilan abad 21 dapat diketahui dengan baik, maka
guru harus melakukan assesmen keterampilan-keterampilan tersebut dengan menggunakan
berbagai instrumen assesmen (rubrik penilaian) yang telah ada. Guru juga dapat mengembangkan
asessmen lainnya sesuai dengan kondisi khas masing-masing sekolah, dengan tetap mengacu pada
rubrik yang telah ada dan harus dapat menunjukkan apa yang akan diases dengan jelas.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, M., & Osman, K. (2010). Scientific inventive thinking skills among primary students in
Brunei. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 7, 294-301.
Arsad, N. M., Osman, K., & Soh, T. M. T. (2011). Instrument development for 21st century skills
in Biology. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 15, 1470-1474.
Bers, T. 2005. Assessing Critical Thinking in Community Colleges. New Direction for Community
Colleges, No. 130.
Beyer, BK. (1995). Critical Thinking. Bloomington: Phi Delta Kappa Educational Foundation.
Brown, B. (2015). Twenty First Century Skills: A Bermuda College. Twenty First Century Skil, 58-64
Egan, A., Maguire, R., Christophers, L., & Rooney, B. (2017). Developing creativity in higher education
for 21st century learners: A protocol for a scoping review. International Journal of Educational
Research, 82, 21-27.
Ennis, R. H. (1996). Critical thinking. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall
Ennis, R. H. (2001). Critical Thinking Assessment.The Ohio State University. 32, (3). (Online)
(http://www3.qcc.cuny.edu/WikiFiles/file/Ennis%20Critical%20Thinking%20Assessment.pdf),
diakses tanggal 6 Oktober 2018.
Ennis, R. H. 2011. The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and
Abilities.(online)(http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/
documents/TheNatureofCriticalThinking_51711_000.pdf), diakses tanggal 06 Oktober 2018
Ennis, R.H. (2013). The Nature of critical thinking: Outlines of general critical thinking dispositions and
abilities. (Online). Tersedia di http://www.criticalthinking. net/longdefinition.html.
Facione, PA. (2010). Critical Thinking: What It Is ang Why It Counts. Insight Assesment.1-24
Finken dan Ennis. 1993. Illinois Critical Thinking Essay Test. Illinois Critical Thinking Project.
Departement of Educational Policy Studies University of Illinois. (online)
(http://www.criticalthinking.net/IllCTEssayTestFinken-Ennis12-1993LowR.pdf), diakses tanggal
07 Oktober 2018
Greenstein, L. 2012. Assessing 21st Century Skills: A Guide to Evaluating Mastery and Authentic
Learning. California: Corwin.
Griffin, P., & Care, E. (2015). Assessment And Teaching of 21st Century Skills: Methods and Approach.
Dodrecht:Springer Business Media.
Guo, Z. (2016). The Cultivation of 4C’s in China Critical Thinking, Communication,. International
Conference on Education, Management and Applied Social Science, 1-4.
Hotaman, D. (2008). The Examination of the basic skill levels of the students in accordance with the
perceptions of teachers, parents and students. International Journal of Instruction, 1(2), 39-55.
Jenicek, M. (2006). A Physician’s Self-Paced Guide to Critical Thinking. Chicago: AMA Press,
Johnson, D.W. (2002). Meaningful Assessment A Manageable and Cooperative Process. USA: Allyn and
Bacon.
Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning :what it is and why it is here to stay.
London:Routledge Falmer.
Kivunja, C. (2014). Innovative pedagogies in higher education to become effective teachers of
21st century skills: unpacking the learning and innovations skills domain of the new
learning paradigm. International Journal of Higher Education, 3(4), 37.
Leen, C.C., Hong, H., Kwan, F.F.H. & Ying, T.W. 2014. Creative and Critical Thinking in Singapore
Schools. Singapore: National Institute of Education, Nanyang Technological University.
National Education Association. (2010). Preparing 21st century students for a global society: An
educators guide to the “Four Cs”. Retrieved September 16, 2018, from National Education
Association: http://www.nea.org/assets/docs/A-Guide-to-Four-Cs.pdf
18
Osman, K., Hiong, L. C., & Vebrianto, R. (2013). 21st century biology: an nterdisciplinary approach of
biology, technology, engineering and mathematics education. Procedia-Social and Behavioral
Sciences, 102, 188-194.
Pacific Policy Research Center. (2010). 21st Century Skills for Students and Teachers. Honolulu:
Kamehameha Schools, Research & Evaluation Division
Partnership for 21st Century Learning. (2015). P21 Framework Definition. Retrieved September 15, 2018,
from http://www.p21.org/our-work/p21- framework/P21_Framework_Definitions_New_Logo-
2015.pdf
Piaw, C.Y. (2010). Building a test to assess creative and critical thinking simultaneously. Procedia Social
and Behavioral Sciences, 2:551559
Proulx, G. (2004). Integrating Scientific Method & Critical Thinking in Classroom Debates on
Environmental Issues. The American Biology Teacher, 66(1):1-10.
Reiner, CM, Bothell, TW, Sudweeks, RR, dan Wood, B. (2002). Preparing Effective Essay Questions: A
Self-directed Workbook for Educators. (Online) (https://testing.byu.edu/
handbooks/WritingEffectiveEssayQuestions.pdf, Diakses tanggal 06 Oktober 2018).
Soland Jim, L. S. (2013). Measuring 21st Century Competencies. Singapore: Rand Coorporation.
Treffinger, D.J., Young, G.C., Selby, E.C., & Shepardon, C. (2002). Assessing Creativity: A Guide for
Educators. Florida: The National Research Center on the Gifted and Talented University of
Connecticut.
Trilling, B.& Fadel, C. (2009). 21st Century Learning Skills. San Francisco, CA: John Wiley & Sons
Wade, C. (1995). Using writing to develop and assess critical thinking. Teaching of Psychology, 22(1), 24-
28
ŽivkoviĿ, S. (2016). A model of critical thinking as an important attribute for success in the 21st
century. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 232, 102-108.
Zubaidah, S. (2010). Berpikir Kritis: Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi yang Dapat Dikembangkan
melalui Pembelajaran Sains. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Sains 2010 dengan
Tema “Optimalisasi Sains untuk Memberdayakan Manusia” di Pascasarjana Universitas Negeri
Surabaya, 16 Januari 2010.
Zubaidah, S. (2017). Pembelajaran Kontekstual Berbasis Pemecahan Masalah untuk Mengembangkan
Kemampuan Berpikir Kritis. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema Inovasi
Pembelajaran Berbasis pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Biologi di Universitas
Muhammadiyah Makasar, Makasar, 6 Mei 2017.
Zubaidah, S., Corebima, A. D., Mahanal, S., & Mistianah (2018). Revealing the Relationship between
Reading Interest and Critical Thinking Skills through Remap GI and Remap Jigsaw.
International Journal of Instruction, 11(2), 41-56. https://doi.org/10.12973/iji.2018.1124a
Zubaidah, S., Corebima, A.D., & Mistianah. (2015). Asesmen Berpikir Kritis Terintegrasi Tes Essay.
Prosiding Simposium on Biology Education, Jurusan Biologi FKIP Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta, 4-5 April 2015.
Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad ke-21: Keterampilan yang Diajarkan Melalui Pembelajaran.
Seminar Nasional Pendidikan. STKIP Persada Khatulistiwa Sintang, Kalimantan Barat: STKIP
Persada Katulistiwa Sintang.
... Namun, dalam praktiknya, modul ajar yang digunakan di sekolah masih lebih banyak berfokus pada aspek kognitif, seperti pemahaman konsep dan teori saja, dibandingkan dengan pengembangan keterampilan abad ke-21 khususnya keterampilan komunikasi, yang seharusnya dimiliki oleh peserta didik. Komunikasi merupakan keterampilan penting yang perlu dimiliki peserta didik, yang mencakup kemampuan komunikasi yaitu kemampuan membaca, mendengarkan dan berbicara (Siti, 2019). Berdasarkan wawancara dengan salah satu guru Fisika di SMA Negeri 1 Kota Jambi, modul ajar yang digunakan belum sepenuhnya mendukung pengembangan keterampilan komunikasi peserta didik secara terstruktur, oleh untuk lebih mengoptimalkan efektivitas modul ajar dalam pembelajaran pemilihan pendekatan dan model hal penting, diantaranya yaitu menggunakan pendekatan STEAM dan model PjBL. ...
Article
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan melihat kelayakan serta persepsi peserta didik terhadap modul ajar berbasis STEAM-PjBL guna meningkatkan keterampilan komunikasi pada materi suhu dan kalor. Metode yang digunakan adalah Research and Development (R&D) dengan model pengembangan 4D (Define, Design, Develop, and Disseminate), namun penelitian ini hanya sampai pada tahap Develop, sehingga fokus utama adalah validasi kelayakan dan persepsi peserta didik terhadap modul ajar yang dikembangkan. Modul ajar terintegrasi STEAM-PjBL dikembangkan berdasarkan hasil tahap Define yang dilaksanakan di SMA Negeri 1 Kota Jambi. Hasil validasi menunjukkan bahwa modul ajar memiliki tingkat validitas tinggi, dengan nilai validasi oleh ahli materi sebesar (validator 1: 96,15%; validator 2: 93,07%), ahli media (validator 1: 94%; validator 2: 98%), dan ahli modul ajar (validator 1: 97,24%; validator 2: 94,48%). Selain itu, hasil uji persepsi peserta didik menunjukkan bahwa modul ini dinilai sangat baik dengan skor rata-rata 85%. Modul ajar ini tidak hanya meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap konsep suhu dan kalor tetapi juga mengembangkan keterampilan komunikasi melalui pembelajaran berbasis proyek. Dengan demikian, modul ajar berbasis STEAM-PjBL ini layak diterapkan sebagai perangkat ajar dalam pembelajaran fisika untuk meningkatkan keterampilan komunikasi peserta didik.
... In the meantime, Communication skills encompass the ability to effectively convey thoughts, ideas, knowledge, and new information using various modalities-including oral presentation, written communication, symbols, graphics, or numerical data [13]. Learning activities are inherently intertwined with communication; thus, the quality of communication directly influences student engagement during the learning process. ...
Article
This study aims to explore instructional models that foster 21st-century skills in secondary school physics education, focusing on critical thinking, communication, creativity, and collaboration. A bibliometric analysis was conducted on 142 publications from the past decade, utilising tools such as VOSviewer to identify dominant learning approaches, including Project-Based Learning (PjBL), guided inquiry, and STEM education. The results indicate that while STEM education significantly influences physics learning, specific research in this area remains limited. Key findings reveal the effectiveness of collaborative teaching methods, digital tools, and tailored interventions in enhancing students' practical application of these skills. This research provides valuable insights for educators and researchers seeking to cultivate essential physics education competencies, addressing the educational landscape's evolving demands.
... In addition, the role of educational institutions plays an important role in preparing human resources, namely by increasing the competence of graduates who have skills according to the demands of the 21st century (learning and innovation skills) in addition to mastering science and technology following their fields (Zubaidah, 2018). Because the 21st-century trend is more focused on certain specializations, the goals of Indonesia's national education must be directed at equipping graduates with 21st-century skills. ...
Article
Full-text available
The conventional learning process is felt to be less fun and fairly monotonous. In addition, learning that is only centered on teachers and books will make students bored with learning in class. This study aims to analyze the differences in the effectiveness of Tynker and Scratch application media in improving the ecosystem theme 4C skills in fifth-grade elementary school students at Public Elementary School Klumpit. This type of research is quasi-experimental or quasi-experimental type research. The sample of the experimental group in this study amounted to 30 students, namely 15 students of class V Public Elementary School No. 3 Klumpit and 15 students of class V Public Elementary School No. 7 Klumpit. Meanwhile, in the control group sample, there were 17 fifth-grade students at Public Elementary School No. 5 Klumpit. Data collection techniques in this study used interviews, observation, documentation, and tests. The data analysis technique used is the validity test which is tested by the Universitas Muria Kudus graduate lecturer validator with the results that it is feasible to use. Then the reliability test shows the application media with a coefficient of 0.0929 and the matter with a coefficient of 0.907 which has a Cronbach alpha value greater than 0.600 which means reliable. Then in the test for the similarity of variance, the value of F-count = 0.64 is obtained. For F-table = 2.69, this shows F-count F-table (0.64 2.69). This means that the data on the learning outcomes of ecosystem themes for the two treatment groups came from a homogeneous population. Thus, it can be concluded that using Tynker application media is more effective.
Article
Choosing the right learning media in the era of the industrial revolution 4.0 is important. This is done so that learning is able to answer the challenges of the industrial revolution 4.0. This research aims to describe learning media and the challenges of the industrial revolution 4.0. The research method used is a literature study, namely reviewing based on or several sources of books, articles or journals. The results of the research are in the form of a description of learning media in the era of the industrial revolution 4.0. Implementation of research in the form of applicability of research results as a reference in choosing the right learning media in the era of the industrial revolution 4.0.
Article
Full-text available
Background: Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Palembang masih mengalami kesulitan dalam menerapkan pembelajaran berbasis keterampilan abad 21 (6C’s) karena keterbatasan strategi dan dominasi metode konvensional. Pendampingan diperlukan untuk membantu guru mengintegrasikan konsep 6C’s secara efektif guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Metode: Kegiatan ini menggunakan Participatory Action Research (PAR) dengan pendekatan Educational Action Research. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi non-partisipan, dokumentasi, dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan dalam enam pertemuan. Evaluasi dilakukan secara sumatif menggunakan angket untuk mengukur efektivitas pendampingan dalam meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis keterampilan abad 21. Hasil: Pendampingan ini membantu guru meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam mengembangkan pembelajaran berbasis 6C’s (critical thinking, creative thinking, communication, collaboration, computational thinking, dan compassion). Guru mampu menyusun modul ajar yang lebih inovatif, serta menerapkan metode pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk berpikir kritis, berkolaborasi, dan memiliki karakter yang kuat. Kesimpulan: Pendampingan ini berhasil meningkatkan kapasitas guru PAI dalam mengimplementasikan pembelajaran berbasis keterampilan abad 21. Modul ajar yang dihasilkan lebih interaktif dan relevan, serta mendorong penerapan strategi pembelajaran yang inovatif, sehingga siswa dapat memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Article
Full-text available
21st century learning requires students to develop problem-solving skills with creative ideas. Identifying objects, formulating problems, exploring creative ideas and choosing the best solution are important skills in solving creative problems. STEM-PjBL learning integrated with the local potential of sand crackers is one alternative to improve their skills. The purpose of writing is to developing a STEM-PjBL model science e-book’s on temperature and heat material to improve student’s creative problem solving skills of junior high school students. The development model used is 4-D model, with stages including define, design, develop, and disseminate. The research subjects were students of class VIII MTsN 4 Kediri. Data collection was done through tests and non-tests (questionnaires, observations, interviews). The instruments used were product feasibility, validation sheet from material experts and media experts, instrument validation sheet, and practicality questionnaire. The results of the material validation and media validation are very good category with scores of 207 and 329 respectively. The percentage score of practicality questionnaire assessment is 93.9% and the score of the readability questionnaire assessment is 92.7%. The N-gain value of 0.46. It can be concluded that the STEM-PjBL science ebook developed effectively increases students' creative problem solving skill
Article
Full-text available
The 21st century learning paradigm emphasizes students' ability to think critically, be able to connect knowledge with the real world, master information technology, communicate and collaborate. This study aims to determine how the flipped classroom model affects students' critical thinking and communication skills. The research method is a quasi-experimental form of non-equivalent pretest-posttest control group design with a simple random sampling technique. The population in this study were all students of grade IX of SMP Islam Al-Falah, namely 5 classes, class IX-1, IX-2, IX-3, IX-4 and IX-5., the research sample class IX-5 as the control class and IX-3 as the experimental class. The data collection technique used the FRISCO indicator critical thinking ability essay test and the communication ability assessment observation sheet. The data analysis technique used the one-way MANCOVA test with initial critical thinking and communication skills as covariates. The results of the hypothesis test showed that the value [F (2,51) = 22.777, p <0.001, ηp2 = 0.472]. This means that the significance value of p <0.001 which means <0.05, then H0 is rejected and H1 is accepted, meaning that there is an influence of the flipped classroom model on students' critical thinking and communication skills. The size of the effect size value ηp2 = 0.472, which means that there is a large influence of the flipped classroom model on students' critical thinking and communication skills.
Article
Full-text available
Developing critical and creative thinking skills is essential for prospective teachers to meet 21st-century education demands. However, these skills remain relatively low among teacher education students. This study investigates how higher education institutions can design learning experiences to foster these competencies, focusing on the Creative and Critical Thinking in Research-based Learning (CCTRbL) model. This study employed an action research approach based on a modified Burn model, comprising five stages: (1) Identifying, (2) Planning, (3) Intervening, (4) Observing, and (5) Reporting. The participants were 27 teacher education students. Data were collected using an integrated critical and creative thinking assessment rubric for evaluating students’ research-based paper tasks. Data analysis utilized categorical descriptive techniques and percentage calculations. The findings indicate that the CCTRbL model effectively enhances students' critical and creative thinking skills, with scores of 68.29 and 65.18, respectively, categorized as high. This suggests that the implemented model positively impacts students' ability to think critically and creatively. The study demonstrates that integrating critical and creative thinking in a research-based learning framework is beneficial for teacher education programs. The findings suggest that the CCTRbL model can be adapted for use at different educational levels with modifications suited to subject-specific requirements. The CCTRbL model is a promising approach to fostering critical and creative thinking skills in teacher education. It is recommended for broader application in primary, secondary, and higher education to enhance students' cognitive abilities and professional competencies.
Article
Full-text available
This research is development research (RnD) which aims to produce an Al-Quran integrated reproductive system learning module biology contains 21st century skills that is valid, practical, and effectively used in learning. This module development research refers to the 4-D development model which has 4 stages namely define, design, development, and dissemination which have been revised and tested on a limited scale in the field. The research instrument used was a validation sheet, student response questionnaires, and a test of learning outcomes in the form of 20 numbered multiple choice questions. The data analysis techniques used are validity data analysis, practically data analysis, and effectiveness data analysis. The result showed that the Al-Quran integrated reproductive system learning module biology contains 21st century skills as a whole had good quality in teaching and learning activities. The level of validity of the module can be seen from the result of the percentage of validators of material experts by 83% with very valid criteria, from media experts by 81,6% with very valid criteria, and from Al-Quran experts by 84,6% with very valid criteria. The practicality level of the module is seen from the student responses obtained from the overall percentage of the small group test of 79,8% with interesting criteria and the large group test of 84,4% with very interesting criteria. Then the level of effectiveness of the module seen from the learning outcomes of student obtained the average value of the level of mastery of students that is equal to 85,5% in the very effective category with the percentage of student learning completeness of 100%. Thus, it can be concluded that the module developed with the 4-D model is valid, practical, and effective so that it is feasible to be used as teaching material for students of class XI MA/SMA, especially on reproductive system material.
Article
Full-text available
Education must adapt to the needs of each era, one of which is an education system that can encourage adaptation to change and become lifelong learners. Hindu Religious Education is one of the media to transform divine and humanitarian values in social, national, and state life which is developed to create an advanced generation in various sectors of life. Vidya Karuna School uses the merdeka belajar policy reference as a direction for future learning that provides opportunities for teachers and students to think freely, innovate freely, and learn independently and creatively to achieve the learning objectives of Hindu Religious Education and Character Education. The purpose of this study was to determine how the implementation, obstacles and efforts, and implications of the merdeka belajar policy are in the subjects of Hindu Religious Education and Character Education. The data collection methods used in this study were observation, interviews, and literature studies. The data that had been collected were analyzed using a qualitative descriptive analysis method with steps of reduction, data presentation, drawing conclusions, and presenting the results of data analysis. Based on the overall data obtained, it can be seen that in implementing the merdeka belajar policy in Hindu Religion and Character Education, there are several stages, namely the process, implementation, and evaluation. To implement the merdeka belajar policy in the subjects of Hindu Religion and Character Education at Vidya Karuna School, teachers use several methods and strategies in learning that are adjusted to the stage of child development at each phase. The goal is to make Hindu Religion learning more effective, and interesting, and can create a pleasant learning atmosphere. In the implementation of the merdeka belajar policy, there are also several obstacles consisting of internal and external obstacles. The implications of the merdeka belajar policy in the subjects of Hindu Religion and Character Education at Vidya Karuna School are implemented using the 4C approach, developing innovative learning models.
Article
Full-text available
The aim of this research was to reveal the relationship between student's reading interest and critical thinking skills through Reading Concept Map Group Investigation (Remap GI) and Reading Concept Map Jigsaw (Remap Jigsaw) learning models. To do so, two science classes from first grade of two Senior High Schools in Malang, Indonesia were selected as the participants of the study. They were given the reading interest questionnaire and critical thinking skills essay test after thought by two different learning models. The obtained data were analyzed through Pearson Product Moment Coefficient of Correlation and doing a statistical regression analysis. The result revealed that there was no correlation between two variables both in Remap GI or Remap Jigsaw class. Because of no correlation between two variables was found, two variables were compared through Remap GI and Remap Jigsaw using descriptive analysis. The finding of this study has some implications for teachers to consider some aspect or skills from students and their relationship with each other. So the teacher can predict what needs to be developed and how to do it.
Article
Full-text available
The aim of this paper is to suggest a specific teaching approach which employs a critical thinking model, as well as to show the possibilities for structuring professional knowledge and enhancing learning efficiency. Entering the world of global competition, the emphasis is on the need to prepare students to be communicative, collaborative, creative, innovative, to think critically and analytically, and to be able to effectively solve real-world problems. With higher-order thinking skills, which are essential for absorbing knowledge as well as for work performance, students will become effective communicators, critical and dynamic thinkers, competent problem solvers and career experts. By utilizing innovative pedagogy to support teaching and learning goals, students will be more likely to achieve their full potential and have their voices heard. The paper focuses on critical thinking for undergraduate ESP engineering students. Those students need strong critical thinking skills which are essential to get to the root of problems and find reasonable solutions. A model of critical thinking is designed to help those students to develop their thinking skills and prepare for a global, complex society.
Article
Full-text available
The principal goal of interdisciplinary approach for Biology, Technology, Engineering and Mathematics (BTEM) is to cultivate scientific inquiry that requires coordination of both knowledge and skills simultaneously. The dominant activity for BTEM is inquiry-discovery on the authentic problems. This is intended to enhance the students’ abilities to construct their own knowledge through the relevant hands-on and minds-on activities. The essence of engineering is inventive problem solving. The Integration of advanced information communication technologies believed to be able to fulfill current Net Generation learning styles. Mathematics plays an important role as computational tools. The expected outcome of BTEM implementation is the inculcation of 21st century skills.
Article
Full-text available
This study aims to develop a valid and reliable instrument for measuring 21st century skills towards biology among Malaysian secondary school students using the application of Rasch Model. The sample of this study consisted of 433 form four students who are currently taking Biology as one of their elective subject. The instrument was developed to determine five constructs: digital age literacy, inventive thinking, effective communication, high productivity and spiritual values. The first four constructs was adapted from enGauge 21(st) century skills while the last construct was created to suit Malaysian education philosophy. Using a survey design, data were analysed based on Rasch Model for polytomous data via the computer application, WINSTEPS 3.69.1.11. The result shows that the instrument has a very high item reliability (0.91-0.98) and high person separation reliability (4.16-2.31). However for the spiritual values construct, the separation value is lower than 2.0 representing less variation and consistency of respondents. Based on the result, this instrument is beneficial for educators who are interested to evaluate the 21(st) century skills in term of improving student's readiness in facing a global world. (C) 2011 Published by Elsevier Ltd.
Article
Full-text available
As today’s graduates engage with the demands of the current Knowledge Age, the skills that they need to succeed in their lives after college, or any other institution of higher learning, are 21st century skills rather than 20th century skills. Kivunja (2014) calls this “the new learning paradigm” (p.85). Unfortunately, those skills are not yet included in many of the learning outcomes prescribed by most educational jurisdictions or required to be assessed in high-stakes state and national examinations. It is essential that policy makers, across all nations, and in particular higher education providers, have a firm understanding of the skills most in demand in the 21st century Digital World, how those skills relate to the orthodoxy academic standards, and how those skills can be effectively taught. So, it is imperative to ask and answer the questions: what are those skills, and how can they be taught effectively to present and future students in higher education to improve their Digital Economy readiness? This paper answers these questions in four ways. First, it gives a brief review of literature that highlights the meaning of effective teaching and its importance in pedagogy. Second, it reviews literature on the new learning paradigm that will equip learners with 21st century skills and explains what the 21st century skills are. Third, arguing that those skills constitute a new way of effective teaching and learning, the paper articulates the different domains of the new learning paradigm which comprise these skills. Fourth, it discusses the first of the domains – the Learning and Innovations Skills domain – so as to explain how the skills in this domain can be effectively taught to enable higher education students to graduate well equipped with the skills most in demand for success in today’s knowledge-based, Digital World.
Article
Full-text available
The main purposes of this study are to determine the inventive thinking skills of students in Brunei and to compare the inventive thinking skills with regards to gender and school location. This study, which employed cross sectional surveys method involved some 500 Primary school students from Brunei. Analysis of the finding revealed that primary students in Brunei demonstrated low mean scores on creativity, higher order thinking and sound reasoning. It is also shown that there exist statistically significant differences in inventive thinking skills among students with regard to gender and school location.
Article
There is an abundance of literature highlighting the need to focus on enhancing students’ creativity in higher education. However, currently there is a gap in awareness of evidence- based initiatives being employed in institutions to address this need. The debate on how to best characterise creativity has not yet reached consensus therefore, we present a protocol for a new review that will identify the characteristics of the framework as well as the tools being used by educators to formally develop students’ creativity in higher education. It will also provide insight into how these educators are defining creativity. This knowledge will enhance understanding of how creativity, a necessary skill for 21st century learners is being harvested, valued, and described in higher education.
Article
Written work has several important advantages over oral discussion in the development and assessment of students' critical-thinking skills. This article describes a set of short writing assignments that tap eight essential aspects of critical and creative thought. Examples illustrate how the assignments can be tied to topics in general psychology and human, sexuality courses.