ArticlePDF Available

Kompleksitas Agama di Abad 21: Pemahaman Transdisipliner dan Relevansinya untuk Indonesia

Authors:

Abstract

Tulisan ini merupakan sebuah kajian atas agama sebagai sebuah institusi kompleks yang tertanam dalam budaya sebuah masyarakat, sekaligus mempengaruhi masyarakat tersebut. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap makna agama dalam kaitan dengan bidang-bidang kehidupan manusia lainnya, seperti budaya, politik dan bahkan kepribadian manusia. Agama lahir dari kompleksitas tersebut, dan turut serta membentuk serta melestarikan kompleksitas yang ada. Ia tidak netral terhadap pertarungan kekuasaan maupun perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Di dalam sejarah, agama mengalami perubahan-perubahan besar, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Tulisan ini mengacu pada kerangka yang dibuat oleh Malory Nye, Yuval Harari dan penelitian-penelitian penulis (Reza A.A Wattimena) sebelumnya.
1
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
Kompleksitas Agama di Abad 21:
Pemahaman Transdisipliner dan Relevansinya untuk Indonesia
Oleh Reza A.A Wattimena
Dr. der Phil. Reza Alexander Antonius Wattimena. Peneliti di bidang Filsafat Politik,
Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Jakarta. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische
Fakultät SJ München, Jerman. Pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti
Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Airlangga, Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya, Universitas Presiden dan kini di Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012),
Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen
dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007),
Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015),
Cosmopolitanism in International Relations (2018) dan berbagai karya lainnya di surat
kabar, website, jurnal ilmiah maupun buku.
Abstrak
Tulisan ini merupakan sebuah kajian atas agama sebagai sebuah institusi kompleks
yang tertanam dalam budaya sebuah masyarakat, sekaligus mempengaruhi
masyarakat tersebut. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap makna agama
dalam kaitan dengan bidang-bidang kehidupan manusia lainnya, seperti budaya,
politik dan bahkan kepribadian manusia. Agama lahir dari kompleksitas tersebut, dan
turut serta membentuk serta melestarikan kompleksitas yang ada. Ia tidak netral
terhadap pertarungan kekuasaan maupun perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat. Di dalam sejarah, agama mengalami perubahan-perubahan besar,
sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Tulisan
ini mengacu pada kerangka yang dibuat oleh Malory Nye, Yuval Harari dan penelitian-
penelitian penulis (Reza A.A Wattimena) sebelumnya.
Kata-kata Kunci: Agama, Budaya, Kompleksitas, Hubungan-hubungan
Kekuasaan
2
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
Agama adalah salah satu hal paling kompleks di dalam peradaban manusia.
Ini terjadi, karena dua hal. Pertama, agama dibentuk dari beragam unsur yang
membentuk pengalaman manusia dalam hidup bersama, termasuk di dalamnya
penghayatan atas keberadaan yang transenden, sekaligus tentang nilai-nilai yang
menata hidup manusia. Kedua, seperti dilihat di berbagai peradaban, agama juga
mempengaruhi cara hidup manusia, mulai dari tata politik, ekonomi, kesenian, budaya
sampai dengan pola hidup pribadi. Tidak seperti ramalan para pemikir di abad-abad
sebelumnya sebelumnya,
1
di abad 21 ini, agama tetap memiliki pengaruh besar di
berbagai belahan dunia, walaupun dalam bentuknya yang berbeda.
2
Di abad 21 ini, dunia ditandai dengan dua hal besar. Yang pertama adalah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang teknologi
informasi-komunikasi, dan bioteknologi.
3
Yang kedua adalah perkembangan
globalisasi dalam segala bentuknya yang mengubah cara hidup manusia di berbagai
belahan dunia secara mendasar.
4
Di tengah kompleksitas gejala semacam ini, agama
dianggap masih bisa berperan sebagai pengusung nilai-nilai kehidupan, supaya
segala perubahan yang terjadi tidak menghancurkan martabat dan komunitas hidup
bersama, melainkan mengembangkannya. Anggapan ini tentu saja masih perlu terus
untuk ditanggapi secara kritis.
5
Untuk bisa memahami kompleksitas agama di abad 21, pendekatan keilmuan
lama tidak lagi memadai. Yang dimaksud disini adalah pendekatan yang masih
menggunakan satu cabang keilmuan semata (monodisipliner), ataupun beberapa
cabang keilmuan, namun tanpa dialog satu sama lain (multidisipliner).
6
Yang
ditawarkan disini adalah pendekatan transkeilmuan, yakni pendekatan yang mencoba
melihat fenomena kajian apa adanya, tanpa terjebak dengan tembok-tembok
keilmuan yang bersifat semu dan sempit. Pendekatan ini mampu menghargai
kompleksitas gejala, sekaligus mampu menawarkan pemahaman yang lebih tepat di
dunia yang semakin kompleks dewasa ini.
1
Beberapa bisa dilihat di (Precht 2015)
2
Lihat penjelasan (Harari, Sapiens: A Brief History of Human Kind 2011)
3
Lihat Ibid.
4
Lihat (Wattimena, What are the Fundamental Pillars of Contemporary Globalization? July 2018
Volume 42)
5
Lihat (Reder 2014)
6
Bdk (Wattimena, Rumah Filsafat n.d.)
3
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
Maka perlu diperjelas terlebih dahulu, bahwa tulisan ini bukanlah sebuah kajian
tentang agama tertentu, melainkan kajian atas agama sebagai fenomena yang
kompleks di abad 21 ini. Kajian ini amat penting untuk Indonesia. Sebagai negara
yang berpelukan erat dengan berbagai agama maupun tafsiran ajaran agama, kajian
tentang agama sebagai fenomena yang kompleks amatlah jarang. Yang sering
ditemukan adalah kajian atas satu agama tertentu, atau kajian perbandingan agama.
Ini tentu penting, namun amat kurang untuk memahami keterkaitan agama dengan
berbagai bidang kehidupan lainnya dewasa ini.
Untuk menjelaskan hal tersebut, tulisan ini akan dibagi ke dalam empat bagian.
Bagian pertama merupakan beberapa contoh konflik dan intoleransi agama di
Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan betapa pentingnya melihat agama
sebagai fenomena kompleks di abad 21 yang menuntut kajian lebih jauh. Bagian
kedua merupakan kajian atas agama secara trandisipliner, yakni upaya melihat
agama dalam keterkaitan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya, terutama budaya,
sebuah masyarakat. Bagian ketiga merupakan upaya untuk menarik beberapa butir
refleksi yang penting bagi keadaan di Indonesia. Bagian keempat merupakan
kesimpulan dari seluruh tulisan ini. Kerangka tulisan ini didasarkan pada penelitian
yang dibuat oleh Malory Nye sekaligus penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya oleh penulis (Reza A.A Wattimena).
1.Konflik dan Intoleransi Agama di Abad 21
Indonesia sudah kenyang dengan pengalaman terkait dengan konflik, akibat
intoleransi agama.
7
Memang, konflik tersebut tidak murni terkait agama, namun selalu
menyembunyikan kepentingan politik tertentu di belakangnya. Hal ini tentunya
mengancam kesatuan dan persatuan bangsa yang memag berpijak pada
keberagaman dan Pancasila di Indonesia. Salah satu organisasi yang terus
memantau kerukunan hidup beragama di Indonesia adalah Setara Institute. Sebagai
organisasi, mereka terus menegaskan, bahwa di akar rumput, toleransi dan
perdamaian antar agama adalah kenyataan sehari-hari. Konflik yang terjadi selalu
merupakan permainan politik yang melibatkan kelompok radikal dan teroris tertentu,
ataupun sebab-sebab khusus lainnya.
7
Kerangka mengacu pada (Times n.d.)
4
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
Umat Hindu di Lumajang, misalnya, harus merelakan Puranya dirusak oleh
sekumpulan orang. Mereka merusak tiga arca pada Februari 2018. Kasus ini langsung
menjadi perhatian utama dari penegak hukum setempat, supaya tidak meresahkan
masyarakat lebih jauh. Tidak hanya umat Hindu, seorang Kiai di Lamongan juga
menjadi korban penyerangan seseorang yang berlagak gila. Kasus ini sempat memicu
kericuhan. Namun, penegak hukum setempat berhasil sigap mengamankan keadaan.
Sebuah Masjid di Tubah juga diserang oleh sekelompok orang pada bulan Februari
2018. Dugaan utama adalah bahwa pelaku serangan merupakan penganut aliran
radikal yang bersifat intoleran terhadap perbedaan. Walaupun mayoritas, umat Islam
di Indonesia sebenarnya cukup sering menjadi korban dari konflik berbau agama.
Umat Buddha dan Kong Hu Cu di Indonesia pun beberapa mengalami peristiwa
kekerasan. Pada 11 Februari 2018 lalu terjadi ancaman ledakan bom di Kelenteng
Kwan Tee Koen, Jawa Barat. Tersangka bernama Daeng, atau Dawer Bin Adang
Rahmat. Ia mengirimkan Alquran kecil kepada pengurus kelenteng, beserta surat
ancaman peledakan bom dan pemerasan uang. Ia juga memberikan buku berjudul
„Aku Cinta Islam“ kepada pengurus kelenteng. Daeng akhirnya ditangkap polisi
beserta sejumlah barang bukti. Umat Katolik di Sleman juga mengalami teror yang
mengejutkan. Seorang pemudah bersenjata pedang menyerang jemaat yang sedang
beribadah. Ada tiga orang, termasuk pemuka agama, yang mengalami luka berat.
Pelaku segera ditangkap. Ia diduga adalah bagian dari kelompok Islam radikal.
Di Tanggerang, seorang Biksu yang bernama Mulyanto Nurhalim dan
pengikutnya mengalami kekerasan. Sekelompok orang datang ke rumahnya, dan
menuduh biksu tersebut melakukan ibadah Buddha, serta mengajak orang berpindah
ke agama tersebut. Mulyanto dipaksa untuk membuat pernyataan, dan meninggalkan
desa tersebut. Ini tentu sebuah kesalahpahaman. Mulyanto datang untuk mendoakan
umat di desa tersebut. Sebagai gantinya, umat membantunya dengan menyediakan
makanan. Ini merupakan kegiatan yang sudah biasa terjadi. Penindasan terhadap
minoritas merupakan hal yang biasa terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hal
serupa juga terjadi di tingkat internasional. Di negara-negara Eropa, Amerika Serikat
dan negara-negara Afrika, agama sering digunakan untuk membenarkan penindasan
terhadap kelompok yang berbeda, terutama minoritas. Ini sejalan dengan bangkitnya
5
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
kelompok kanan yang memegang tafsiran tradisional-sempit terhadap ajaran agama
yang mereka anut.
2. Agama dan Hidup Manusia
Tahun 2001 juga amat mengubah seluruh wajah dunia. Serangan terhadap dua
menara WTC di New York, Amerika Serikat tidak hanya mendorong perang yang
menggoyang tata politik dan keamanan Timur Tengah, tetapi juga mengembalikan
agama sebagai kajian penting dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Kecanggihan
teknologi informasi dan komunikasi di abad 21 membuat seluruh peristiwa tersebut
terbuka bagi mata dunia secara langsung. Teror dan kecemasan yang tersebar pun
tidak hanya dirasakan oleh rakyat Amerika Serikat semata, tetapi juga oleh seluruh
dunia.
8
Setelah digempur oleh para pemikir ateis sepanjang sejarah, dan ditinggalkan
oleh ilmu pengetahuan modern yang terus berkembang, agama ternyata tetap
bertahan di abad 21 ini. Tidak hanya itu, agama terus berperan penting di dalam
berbagai perdebatan politik masyarakat luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di
seluruh dunia. Berbagai persoalan penting masyarakat, seperti soal aborsi, kajian
terorisme, perang berkelanjutan di Timur Tengah, gerakan ekologis dan gerakan
perdamaian, mendapatkan banyak inspirasi dari nilai-nilai agama.
9
Di abad 21 yang
semakin kompleks ini, pemahaman yang mendalam tentang agama jelas amat
diperlukan.
10
Kata „agama“ memiliki arti yang kompleks dan beragam. Di dalamnya
terkandung pemahaman konseptual sekaligus laku hidup yang berpijak pada nilai-nilai
tertentu. Setidaknya, sebagaimana dijabarkan oleh Nye, ada lima unsur dasar agama,
yakni kegiatan bersama di sebuah tempat religius tertentu, pemahaman atas ajaran
tertentu, pentingnya arti keyakinan terhadap ajaran tersebut, ritual dan laku hidup
yang berpegang pada nilai-nilai tertentu. Bisa dikatakan, bahwa inilah unsur minimal
dari agama. Beberapa agama bahkan memiliki peran yang lebih besar daripada itu.
Ia dibentuk sekaligus membentuk budaya sebuah masyarakat.
8
Kerangka diinspirasikan dari (Nye 2008)
9
Lihat (Hardiman 2016)
10
Bdk, (Wattimena, Kosmopolitanisme Sebagai Jalan Keluar Atas Tegangan Abadi Antara Neo-
Kolonialisme, Radikalisme Agama dan Multikulturalisme 2018)
6
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
7
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
Bagan 1
Lima Unsur Dasar Agama
11
Jika dilihat lebih jeli, semua agama langsung terlibat dengan kehidupan budaya
sebuah masyarakat. Dalam arti ini, budaya adalah keseluruhan cara berpikir dan pola
perilaku sebuah masyarakat yang berpijak pada nilai-nilai kehidupan tertentu. Budaya
juga memiliki berbagai bentuk ekspresi, mulai dari seni sampai dengan filsafat dan
ilmu pengetahuan. Di banyak konteks, agama berpelukan begitu erat dengan budaya,
sampai keduanya tak lagi bisa dipisahkan.
12
Contoh paling jelas adalah bagaimana
budaya Eropa begitu erat terkait dengan Kristianitas, sehingga keduanya tak lagi bisa
dilihat secara terpisah.
Pemahaman transdisipliner atas agama berarti melihat agama dalam kaitannya
yang amat erat dengan budaya sebuah masyarakat. Agama bukanlah benda abstrak
yang jatuh dari langit. Agama lahir dari pergulatan budaya sebuah masyarakat.
11
Bagan adalah hasil rumusan penulis
12
Bdk, (Wattimena, Menuju Indonesia yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris terhadap Pemikiran
Charles Taylor tentang Politik Pengakuan dan Multikulturalisme, serta Kemungkinan Penerapannya di
Indonesia 2011)
Agama
Kegiatan
Bersama
Sekumpulan
Ajaran
Ritual
Laku Hidup
dan Keyakinan
8
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
Memang, ada unsur transenden di dalam agama, seperti keyakinan akan adanya
tuhan ataupun hukum-hukum universal (seperti misalnya dalam Zen Buddhisme)
13
yang mengatur alam semesta. Namun, agama juga memiliki sisi imanen, yakni sisi
yang terkait dengan kehidupan sehari-hari manusia. Agama menjadi kerangka yang
digunakan oleh manusia untuk memahami hidup dan dunianya. Kajian atas agama
dalam konteks kebudayaan ingin melihat semua hal ini secara ilmiah.
Dalam arti ini, sebuah kajian agama merupakan kajian yang bersifat lintas
budaya, yakni upaya untuk memahami agama sebagai sebuah institusi yang
berkembang di berbagai kebudayaan dengan segala keberagaman pemahamannya.
Kajian agama juga bergerak melampaui batas-batas agama. Yang menjadi obyek
kajian bukanlah agama tertentu, seperti Buddhisme ataupun Islam, melainkan agama
sebagai institusi sosial yang berkembang lintas budaya, dan bahkan lintas peradaban.
Islam, misalnya, memiliki pola budaya yang berbeda, ketika ia tersebar di Arab Saudi
maupun di Indonesia. Hal yang sama terjadi di agama-agama lainnya, ketika ia
tersebar ke sebuah tempat yang memiliki budaya yang berbeda.
14
Di samping budaya, agama juga merupakan cerminan dari kepribadian
manusia-manusia yang ada di dalamnya. Pada umumnya, pendekatan untuk
memahami manusia secara pribadi adalah ilmu psikologi. Sementara, budaya, juga
dalam kaitannya dengan agama, adalah wilayah kajian sosiologi dan antropologi.
Akan tetapi, jika dilihat lebih dalam, kepribadian seseorang tidak pernah bisa
dilepaskan begitu saja dari budaya tempat ia lahir dan berkembang. Sebaliknya pun
juga benar, bahwa kebudayaan juga merupakan hasil hubungan orang-orang yang
memiliki ciri kepribadian tertentu. Dalam konteks ini, agama pun perlu dilihat dari
berbagai segi, termasuk kepribadian pemeluknya. Inilah yang merupakan bentuk
penelitian lintas ilmu dan trans-keilmuan.
15
Di awal abad 20, banyak pemikir melihat agama sebagai ekspresi pribadi orang
yang merindukan penciptanya. Dengan kata lain, agama dilihat melulu sebagai
fenomena kehidupan pribadi semata. Ia berakar pada kebutuhan pribadi seseorang
akan keberadaan mahluk spiritual yang disebut tuhan. Kehadiran sosok spiritual ini
13
Lihat (Wattimena, Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan 2018) dan
(Wattimena, Mencari Ke Dalam: Zen dan Hidup yang Meditatif 2018)
14
Lihat (Nye 2008)
15
Lihat (Wattimena, Rumah Filsafat n.d.)
9
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
tidak harus bisa dijelaskan secara rasional, melainkan cukup dipahami sebagai
cerminan dari kebutuhan dasar dari psikologi manusia itu sendiri. Dalam arti ini, kajian
agama memang amat dekat dengan filsafat ketuhanan, walaupun bergerak ke arah
yang berbeda.
Salah satu pemikir yang mencoba melihat kaitan antara kebutuhan pribadi
dengan keberadaan agama adalah Sigmund Freud. Baginya, kerinduan akan tuhan
di dalam agama berakar pada hubungan yang tidak sehat antara seorang anak
dengan ayahnya. Hubungan yang tidak sehat itu mendorong si anak untuk mencari,
dan bahkan menciptakan, sosok yang dianggapnya sebagai ayah sempurna, yakni
tuhan di dalam agama. Pandangan ini tentu memiliki kelemahan tersendiri. Tidak
semua agama melihat sosok tuhan di dalam agama sebagai sosok ayah. Bahkan, ada
beberapa agama yang memiliki kebudayaan yang begitu kaya, sehingga tuhan pun
digambarkan dalam jumlah banyak.
16
Memang, kepribadian manusia tentu memainkan peranan di dalam
menciptakan sekaligus membentuk agama. Walaupun begitu, jika diteliti lebih dalam,
kepribadian pun tak lepas dari kebudayaan sebuah masyarakat. Di dalam peradaban
Eropa, hubungan ayah dan anak adalah hubungan keluarga dekat yang bersifat
langsung. Padahal, pola hubungan ini tidaklah universal di berbagai peradaban. Di
beberapa budaya, ayah tidak memiliki hubungan emosional dengan anaknya.
Hubungan mereka sekedar hubungan biologis. Yang bertanggung jawab terhadap
pendidikan dan kesehatan anak adalah, misalnya, pamannya. Di dalam masyarakat
semacam ini, peran ayah, sekaligus proses pembentukan serta pelestarian agama,
juga mengambil bentuk yang berbeda.
Semua ini menunjukkan, bahwa budaya dan agama memiliki hubungan yang
saling mempengaruhi amat besar satu sama lain. Setiap agama berpijak pada
seperangkat ajaran tertentu. Ketika tersebar di berbagai tempat, ajaran tersebut
mengalami persilangan dengan nilai-nilai budaya setempat. Persilangan itu lalu
menghasilkan suatu bentuk agama baru yang memiliki ciri unik tersendiri. Dalam
bentuknya yang unik ini, agama menawarkan pandangan dunia sekaligus kerangka
berpikir untuk memahami berbagai bentuk pengalaman manusia. Ini mungkin memiliki
beberapa titik perbedaan dengan agama sebagaimana diyakini di tempat asalnya.
16
Lihat (Reza A.A Wattimena 2018)
10
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
Dalam batas tertentu, seorang pribadi pun bisa memberikan sentuhan baru terhadap
agama yang dipeluknya, walaupun tetap dalam batas-batas yang ada di dalam
budayanya.
Pola semacam ini ditemukan di semua budaya yang ada di dunia. Agama,
sebagai penghayatan terhadap kehadiran yang transenden, melebur ke dalam
budaya tertentu, dan mempengaruhi laku hidup sehari-hari masyarakatnya. Dalam arti
ini dapatlah dikatakan, bahwa agama merupakan unsur universal dari kehidupan
manusia itu sendiri. Jika pandangan ini tepat, bagaimana ia menjelaskan kehadiran
orang-orang ateis yang kini semakin banyak jumlahnya di seluruh dunia? Mereka
mengaku tidak beragama, dan bahkan tidak bertuhan. Hidup mereka juga tidak
menunjukkan pengakuan terhadap agama resmi tertentu. Dalam arti ini, agama
bukanlah sebuah keharusan, melainkan bagian dari pilihan hidup manusia.
Perlu dipertajam dulu, apa yang dimaksud dengan agama. Agama adalah
organisasi yang berpijak pada ajaran tertentu, dan mengikat umatnya dalam sebuah
komunitas tertentu. Unsur penting disini adalah ikatan yang kuat antar manusia dalam
sebuah komunitas yang berpijak pada ajaran tertentu. Ajaran tersebut bersifat
menyeluruh. Ia menjelaskan asal usul segala yang ada, soal hidup yang baik, dan
kemana semua ini akan mengarah. Semua agama dunia mengajarkan ini. Namun,
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, agama-
agama mulai ditinggalkan. Agama-agama baru, yang memberikan ruang bagi akal
sehat, diskusi terbuka dan sikap kritis, kini mulai mengisi kehidupan manusia.
17
Beberapa pemikir berpendapat, bahwa agama-agama baru lahir bersama
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern di Eropa. Agama-
agama itu disebut juga sebagai tekno-agama (techno-religion), yakni liberalisme,
sosialisme, nasionalisme dan Marxisme. Paham-paham ini mengikat orang ke dalam
satu visi bersama, dan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh agama-agama
tradisional sebelumnya. Beberapa pemikir lainnya melihat peran olahraga, seperti
sepak bola, yang mampu menyatukan orang dari berbagai latar belakang ke dalam
satu visi bersama. Film, olahraga dan musik kini juga memainkan peranan yang sama.
Mall dan stadion sepak bola telah menjadi tempat ibadah baru bagi manusia modern
17
Lihat (Nye 2008)
11
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
di abad 21 ini.
18
Memang, ada perbedaan mendasar. Namun, agama-agama baru ini
menyediakan makna sekaligus komunitas yang merupakan kebutuhan dasar dari
setiap manusia.
19
3. Pemahaman untuk Indonesia
Bagan 2
Relevansi Kajian Agama di Indonesia
20
Ada beberapa hal yang bisa ditekankan di titik ini untuk memperkaya soal
pemahaman tentang agama di Indonesia di abad 21. Tentu saja, ini merupakan
sebuah kajian ilmiah yang terbuka untuk pembicaraan lebih jauh. Pertama, agama,
18
Lihat soal sepak bola sebagai agama dalam (Wattimena, Filsafat sebagai Revolusi Hidup 2015)
19
Bdk (Harari, 21 Lessons for the 21st Century 2018)
20
Rumusan dari Penulis
Agama di
Indonesia
Aktivitas Budaya
Interdependensi
Trans-Keilmuan
Pancasila
Sebagai Agama
Tak Netral
12
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
pada hakikatnya, adalah bagian dari aktivitas manusia. Dalam arti ini, agama tidak
pernah bisa dipisahkan dari sebuah kebudayaan tertentu. Sebagai aktivitas manusia,
agama juga mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh kehidupan sehari-hari
manusia. Ini merupakan hal yang amat penting untuk diingat. Pandangan, bahwa
agama merupakan pemberian dari tuhan langsung, adalah bagian dari ajaran agama
tertentu yang berpijak pada budaya tertentu pula.
Dua, sebagai konsep, agama memang tampak mampu berdiri sendiri. Namun,
di dalam kenyataan, agama tak bisa dilepaskan dari keadaan yang lebih luas, yakni
keadaan politik, ekonomi, budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi modern. Di dalam kenyataan, agama tidak bisa bisa berdiri sendiri, dan tidak
bisa dipahami sebagai sesuatu yang netral di dalam kehidupan manusia. Di
kebudayaan yang berbeda, agama pun kerap kali memiliki arti yang berbeda,
walaupun tetap memiliki ciri dasar yang sama. Pemahaman ini amat penting di dalam
beragama di abad 21, supaya orang terhindar dari kesempitan berpikir dan intoleransi
yang menjadi ciri dari gerakan radikalisme agama yang banyak berkembang dewasa
ini, termasuk di Indonesia.
21
Tiga, belajar tentang agama, sekaligus belajar agama, membutuhkan suatu
metode yang luas sekaligus mendalam. Semua itu membutuhkan pendekatan lintas
ilmu, dan bahkan trans keilmuan. Selain teologi, pemahaman tentang agama hanya
dapat tepat dan relevan, jika orang juga mendalami filsafat, sosiologi, sejarah, bahasa
dan budaya yang melahirkan agama-agama yang ada. Di abad 21 ini, terutama akibat
berkembangnya hoaks sebagai ajang penipuan masyarakat di dalam kehidupan
beragama dan berpolitik, kajian agama, dan orang-orang yang mendalami agama
tertentu, juga perlu paham ilmu politik sekaligus kajian media. Pemahaman trans
keilmuan atas agama akan membawa orang pada inti agamanya masing-masing. Ini
mencegah segala bentuk formalisme agama yang begitu mudah dipelintir untuk
kepentingan politik maupun ekonomi yang tak jujur.
22
Empat, di Indonesia, Pancasila bisa dilihat sebagai dasar negara, sekaligus
sebagai jembatan penghubung antar agama, supaya ada titik kesamaan yang
mengantarkan pada toleransi, keterbukaan dan perdamaian. Dalam arti ini, Pancasila
21
Lihat (B. A. Reza A.A Wattimena 2018) karya dengan Bustanul Arifin.
22
Lihat (Wattimena, Rumah Filsafat n.d.)
13
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
haruslah dilihat sebagai agama pada dirinya sendiri, karena ia tidak hanya
menyediakan panduan nilai yang jelas bagi setiap warga, tetapi juga mengikat warga
negara yang beragam ke dalam satu komunitas politik yang bernama Indonesia.
Pendek kata, Pancasila adalah tekno-agama Indonesia, yakni agama yang berpijak
pada perkembangan ilmu pengetahuan modern, dan bersifat terbuka. Dengan pola
pikir ini, orang Indonesia lalu bisa melampaui cara berpikir sempit agama
tradisionalnya masing-masing, dan bersatu untuk bekerja sama mewujudkan keadilan
dan kemakmuran yang diinginkan bersama dalam kerja sama dengan komunitas
internasional.
Lima, dengan pemahaman ini, agama tidak pernah bisa dilihat sebagai sesuatu
yang melulu netral dan suci. Agama tertanam di dalam hubungan-hubungan
kekuasaan (Machtverhältnis) yang membentuk masyarakat, sekaligus segala
pemahaman yang ada di dalam masyarakat tersebut, termasuk tentang moralitas,
kosmologi sampai dengan selera berkesenian. Dalam konteks hubungan-hubungan
kekuasaan yang ada, agama juga terlibat dalam pembentukan nilai-nilai masyarakat
yang menindas, termasuk diskriminasi terhadap perempuan, diskriminasi terhadap
kelompok minoritas, kesenjangan sosial-ekonomi, perbudakan dan sebagainya.
Pandangan yang melihat, bahwa agama itu melulu suci dan netral dari cacat-cacat
masyarakat, tidak hanya naif dan tak sesuai kenyataan, tetapi juga jahat.
Kajian agama sebagai fenomena peradaban manusia yang terkait erat dengan
budaya sebuah masyarakat amatlah penting sekarang ini. Dalam banyak hal, peran
agama masihlah amat besar di berbagai belahan dunia dewasa ini. Pemahaman akan
agama penting, karena dua hal. Pertama, agama berjalin erat dengan pola hidup
sebuah masyarakat. Ini tentu menjadi kunci bagi pemahaman atas kehidupan
masyarakat tersebut. Kedua, seperti dicatat oleh Marx, filsafat tidak boleh hanya
berhenti menafsirkan dunia, melainkan berupaya untuk mengubahnya.
23
Pemahaman
tentang agama tidak boleh hanya berhenti pada tataran teori belaka, tetapi juga
mampu mengubah bentuk sekaligus pengaruh agama terhadap masyarakat luas,
supaya bisa lebih mencerdaskan dan membebaskan dari kebodohan serta
kemiskinan. Hal ini amatlah penting, terutama dalam konteks Indonesia.
23
Lihat (Magnis-Suseno 1999)
14
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
4. Kesimpulan
Agama adalah salah satu hal paling kompleks yang pernah muncul di dalam
peradaban manusia. Ia lahir sekaligus mempengaruhi budaya sebuah masyarakat,
termasuk keseluruhan cara berpikir dan berperilaku masyarakat tersebut di dalam
keseharian. Agama juga sekaligus menyentuh sisi pribadi setiap orang yang tetap tak
pernah bisa sungguh dilepaskan dari unsur budaya masyarakatnya. Agama juga
bukanlah sebuah institusi netral dan suci yang lepas dari pertarungan kekuasaan
ekonomi dan politik yang ada. Pemahaman yang jernih tentang agama sebagai
sebuah fenomena kompleks jelas amat dibutuhkan, supaya agama bisa menjalankan
fungsi utamanya untuk menciptakan serta melestarikan perdamaian yang
berdasarkan keadilan di dalam peradaban manusia.
15
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
Daftar Acuan
2017. http://www.dw.com/id/romo-magnis-pendidikan-budaya-di-indonesia-dihabisi-
oleh-formalisme-agama/a-40840690.
Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Lessons for the 21st Century. Spiegel & Grau; 1st Edition
edition.
. 2011. Sapiens: A Brief History of Human Kind. Harper.
Hardiman, F. Budi. 2016. Hak-Hak Asasi Manusia, Polemik dengan Agama dan
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia.
Nye, Malory. 2008. Religion: The Basics. London: Routledge.
Precht, Richard David. 2015. Erkenne die Welt: Geschichte der Philosophie.
Goldmann Verlag.
Reder, Michael. 2014. Religion in säkularer Gesellschaft: Über die neue
Aufmerksamkeit für Religion in der politischen Philosophie. Karl Alber.
Reza A.A Wattimena, Anak Agung Banyu Perwita. 2018. To Infinity and Beyond:
Cosmopolitanism in International Relations. Jakarta: Ary Suta Center.
Times, Idn. t.thn. https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-
wijaya/linimasa-kasus-intoleransi-dan-kekerasan-beragama-sepanjang-2.
Wattimena, Reza A.A. 2018. Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan
Pembebasan. Jakarta: Karaniya.
. 2015. Filsafat sebagai Revolusi Hidup. Kanisius.
Wattimena, Reza A.A. 2018. “Kosmopolitanisme Sebagai Jalan Keluar Atas
Tegangan Abadi Antara Neo-Kolonialisme, Radikalisme Agama dan
Multikulturalisme.” Jurnal Ledalero.
. 2018. Mencari Ke Dalam: Zen dan Hidup yang Meditatif. Jakarta: Karaniya.
Wattimena, Reza A.A. 2011. “Menuju Indonesia yang Bermakna: Analisis Tekstual-
Empiris terhadap Pemikiran Charles Taylor tentang Politik Pengakuan dan
Multikulturalisme, serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia.” Jurnal
Studia Philosophia et Theologica, STFT Widya Sasana Malang.
. t.thn. Rumah Filsafat. https://rumahfilsafat.com/2018/02/06/melampaui-
formalisme-agama/.
16
DITERBITKAN DALAM ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT APRIL 2019 VOLUME 45
. t.thn. Rumah Filsafat. Diakses Agustus 2018.
https://rumahfilsafat.com/2018/08/06/merobohkan-tembok-tembok-keilmuan/.
Wattimena, Reza A.A. July 2018 Volume 42. “What are the Fundamental Pillars of
Contemporary Globalization?” THE ARY SUTA CENTER SERIES ON
STRATEGIC MANAGEMENT.
Research
Full-text available
Tulisan ini hendak memahami kebebasan manusia dari sudut pandang neurosains dan filsafat. Beberapa pendekatan di dalam neurosains tentang kebebasan akan dijabarkan. Lalu, beberapa refleksi filosofis atas tema itu akan diberikan. Kebebasan, pada titik ini, dipahami sebagai kompleksitas yang melahirkan ketidakpastian dari tindakan manusia. Kebebasan dipandang sebagai ketaktertebakan dari tindakan manusia sebagai hasil dari kompleksitas sistem saraf dan otaknya. Tulisan ini mengacu pada kerangka penelitian yang dikembangkan oleh David Eagleman dan penelitian-penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh penulis (Reza A.A Wattimena).
Article
Full-text available
Tulisan ini hendak melihat perkembangan kajian ilmiah atas peran agama di dalam politik global. Agama tidak lagi dilihat sebagai semata urusan pribadi, melainkan terkait dengan kehidupan bersama. Perannya pun tidak bisa lagi diabaikan di dalam politik global abad 21. Kajian ilmiah atas agama juga telah melintasi berbagai cabang keilmuan, mulai dari filsafat, ilmu politik sampai dengan hubungan internasional. Tulisan ini juga menukik masuk ke dalam pertanyaan mendasar, apakah agama pencipta konflik, atau pendukung perdamaian? Beberapa pertimbangan kritis akan diberikan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Article
Full-text available
This article describes and explains the five pillars of contemporary globalization. This process is provoked especially by the rapid development of information, communication and transportation technology, especially since the 1980s. There are five fundamental pillars of contemporary globalization, namely internationalization, interdependence, westernization and the rise of world society. These five pillars are connected to each other. However, the globalization process creates two different global impacts, namely prosperity on the one hand, and poverty which is based on global economic inequality on the other hand. Several elaborated strategies to overcome the challenges of contemporary globalization, such as international cooperation and the revised version of Welfare State tradition, are also elaborated.
Article
Full-text available
This writing offers allternative point of view on the debate between universalism and particularism. This debate becomes the tension between neocolonialism, multiculturalism and religious radicalism in 21st century. The method of the writing is critical textual analysis with clear definitions of universalism, particularism, multiculturalism and religious radicalism, and then cosmopolitanism as an alternative point of view. As a conceptual approach, cosmopolitanism has impacts in various areas of life. This impact will also be elaborated in this writing.
Book
Full-text available
Book
Religionen spielen nach wie vor eine wichtige Rolle in demokratischen Gesellschaften. Jürgen Habermas spricht deshalb von der ›postsäkularen Gesellschaft‹. Viele weitere Philosophen der Gegenwart (Jacques Derrida, Richard Rorty, MichaelWalzer) prägen mit Habermas zusammen diesen gegenwärtigen philosophischen Diskurs über Religion in der politischen Philosophie. Dieser Diskurs wird in seinen Strukturen und Argumenten in dem vorliegenden Band analysiert und kritisch diskutiert. Kernfragen des Autors sind, wie Religion und ihre gesellschaftliche Funktion philosophisch verstanden werden kann, was die zentralen Problemstellen des Diskurses über Religion in der politischen Philosophie sind und wie diese mit Blick auf frühere Konzeptionen (Friedrich Schleiermacher oder John Dewey) konstruktiv weitergedacht werden können. Aus der Beschäftigung mit der Religion werden abschließend Schlussfolgerungen für die Debatte über Demokratie gezogen. Die praktische Philosophie kann damit sowohl zur Reflexion der gesellschaftlichen Bedeutung von Religion als auch zur Klärung der Frage, wie Demokratie angesichts pluraler weltanschaulicher Konstellationen heute verstanden werden kann, wichtige Beiträge leisten.
21 Lessons for the 21st Century
  • Yuval Harari
  • Noah
Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Lessons for the 21st Century. Spiegel & Grau; 1st Edition edition.
Hak-Hak Asasi Manusia, Polemik dengan Agama dan Kebudayaan
  • F Hardiman
  • Budi
Hardiman, F. Budi. 2016. Hak-Hak Asasi Manusia, Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Erkenne die Welt: Geschichte der Philosophie
  • Richard Precht
  • David
Precht, Richard David. 2015. Erkenne die Welt: Geschichte der Philosophie. Goldmann Verlag.
To Infinity and Beyond: Cosmopolitanism in International Relations
  • Reza A Wattimena
Reza A.A Wattimena, Anak Agung Banyu Perwita. 2018. To Infinity and Beyond: Cosmopolitanism in International Relations. Jakarta: Ary Suta Center. Times, Idn. t.thn. https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-
Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur
  • Reza A A Wattimena
Wattimena, Reza A.A. 2018. Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan. Jakarta: Karaniya.
Menuju Indonesia yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris terhadap Pemikiran Charles Taylor tentang Politik Pengakuan dan
  • Reza A A Wattimena
Wattimena, Reza A.A. 2011. "Menuju Indonesia yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris terhadap Pemikiran Charles Taylor tentang Politik Pengakuan dan