ArticlePDF Available

Shamsiah Fakeh: Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu

Authors:
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
191
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
Shamsiah Fakeh:
Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
Nelmawarni
UIN Imam Bonjol Padang
Email: nel_bungo@yahoo.com
Martin Kustati
UIN Imam Bonjol Padang
Email: martinkustati@yahoo.com
Warnis
UIN Imam Bonjol Padang
Email: warniskoto@gmail.com
Abstract
Shamsiah Fakeh is a Minangkabau woman who became one of Malaysian defenders. She was a real
nationalist who also became anti-British until her death and the earliest women who dared to speak
openly to stimulate the spirit of Malay nationalism. She was directly involved in struggling Malay
Peninsula from the invaders. She is also the earliest figure to make Malay women to be progressive and
dare to challenge a conservative culture. She also opens opportunities and attracts other women to
become more courageous and high-minded women. This study uses a historical approach. This study
found that Shamsiah Fakeh's struggle in achieving Malaya's independence cannot be denied. The
character of Shamsiah Fakeh as a Malay-nationalist politician was forthright in struggling the
independence of the Malay Land. She becomes a political figure of woman who is positive and progressive
minded, especially in defending women' political rights. Her courage, abundance and honesty in fighting
for women's political rights are difficult to match in contemporary contexts. Shamsiah's involvement in the
political field and the struggle for independence were solely based on the sincerity of the nation liberation
from the grip of British colonialism. Although she was a member of the leftist party and was not accepted
by the kingdom which made her name less shining in Malay history but she was a sincere warrior to
defend the homeland rather than the invaders.
Keywords: Shamsiah Pakeh, Depender, Malay Land
Abstrak
Shamsiah Fakeh adalah seorang perempuan keturuan Minangkabau yang menjadi pejuang Negara
Malaysia. Beliau seorang nasionalis sejati, anti-British yang tegar sampai akhir hayatnya, dan perempuan
pertama yang berani berpidato secara terbuka dan terang-terangan untuk meransang semangat
nasionalisme Melayu. Beliau juga membuka peluang dan menarik minat perempuan lain untuk ikut
menjadi perempuan yang lebih berani dan berkeyakinan tinggi. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui
kiprah Shamsiah Fakeh dan menghuraikan bentuk perjuangannya dalam sejarah kemerdekaan Malaya.
Kajian ini menggunakan pendekatan sejarah. Hasil penelitian menunjukan bahwa perjuangan Shamsiah
Fakeh dalam mencapai kemerdekaan Malaya tidak dapat dinafikan. Beliau merupakan tokoh politik
perempuan yang berfikiran positif dan berjiwa progresif, terutama dalam membela hak-hak politik
perempuan. Keberanian, kelantangan dan kejujurannya memperjuangkan hak-hak politik perempuan sukar
ditandingi dalam konteks sezamannya. Penglibatan Shamsiah dalam kancah politik dan perjuangan
kemerdekaan adalah semata-mata berlandaskan keikhlasan membebaskan bangsa dari cengkraman
KAFAAH JOURNAL, 7 (2), 2017, (191-208)
(Print ISSN 2356-0894 Online ISSN 2356-0630)
Available online at:
http://kafaah.org/index.php/kafaah/index
192Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
penjajahan British. Walaupun beliau pernah menjadi anggota partai yang berhaluan kiri dan tidak diterima
oleh kerajaan yang membuat namanya tidak begitu bersinar dalam pensejarahan Melayu tetapi beliau
adalah seorang pejuang yang ikhlas untuk mempertahankan tanah air dari penjajah.
Kata Kunci: Shamsiah Pakeh, Pejuang, Tanah Melayu
PENDAHULUAN
Orang Minangkabau merupakan
salah satu dari etnik Melayu Indonesia yang
mempunyai intensitas yang kuat terhadap
merantau. Oleh karena itu orang
Minangkabau telah berdiaspora hampir di
seluruh belahan dunia. Diaspora orang
Minangkabau di Semenajung Tanah
Melayu telah terbukti dalam Volkstelling
1930, banci Malaya 1921 dan 1931,
berdirinya kerajaan Minangkabau di Negeri
Sembilan tahun 1727 (KA 1966, fol.10; OB
1728, fol 20-1; KA 1993; OB 1929; CO Siri
717/47), sembilan daripada duabelas suku
di Negeri Sembilan berasal dari nama
daerah di Minangkabau. (Nelmawarni,
2011). Orang Minangkabau tidak hanya
salah satu dari kelompok perantau dan
peneroka Melayu Sumatera yang berhasil
dalam membuka dan membina deretan
kampung-kampung baru di sekitar kawasan
Barat Semenanjung Tanah Melayu, tetapi
orang Minangkabau juga tercatat sebagai
pedagang besar yang berjaya dan setara
dengan pedagang-pedagang lainnya, seperti
Haji Mohd. Taib bin Abdul Samad yang
terkenal sebagai seorang yang terkaya di
Selangor(Baharuddin & Sukimi, 2007;
Bungo & Hussin, 2017; Gullick, 2000;
Secretariat 4304, 1896; Sharif, 2016).
Khatib Koyan bin Abdullah, penghulu
Setapak, (NATIVE 2311/89, 1989) Haji
Ja‟far Amin, termasuk pedagang
Minangkabau yang terkaya di Kuala
Lumpur (Firdaus Abdullah, 2008). Syeikh
Mohammad Taib terkenal sebagai ulama
perang dan pedagang (Penang Gazzette, 25
Okt. 1862). Pak Yatim juga terkenal
sebagai pedagang sukses. Haji Abbas bin
Abdul Samad, (DO Ulu Selangor 11 April
1911) Bagindo Sama, terkenal sebagai
pengusaha lombong. Haji Zainuddin, Salim
Kajai, yang terkenal sebagai pemilik
Syarikat Syeikh Haji (Nelmawarni, 2011).
Dalam bidang agama Orang
Minangkabau juga sangat terkenal di
Semenanjung Tanah Melayu seperti: Syeikh
Mohd.Tahir Jalaluddin, ahli falak, seorang
ulama pembaharu pemikiran Islam pada
permulaan abad ke-20 di seluruh kepulauan
Melayu (Mustajab, 1977). Haji Abbas
b.Mohd.Taha, Syekh Yusuf bin Haji
Abdullah Ar-Rawi atau lebih dikenal
dengan Yusuf Rawa, ulama yang aktif
dalam bidang penerbitan. Syeikh
Mohd.Taib Minangkabau, Abdul Samad
atau Panglima Garang, anak Pakeh Garang
Minangkabau sebagai pejuang
kemerdekaan Semenanjung Tanah Melayu
(Hashim & Yaacob, 2011; Mohamed &
Mohd, 2000). Othman Abdullah, cucu Haji
Mohd. Taib bin Abdul Samad, seorang
nasionalis Melayu (Roff, 1966)). Tan Sri
Aishah Ghani, Khatijah Sidek, dan
Shamsiah Fakeh, politikus dan nasionalis
Melayu sebelum kemerdekaan Malaysia
(Nelmawarni, 2011). Tiga tokoh terakhir ini
dikenal juga sebagai Sri Kandi Malaya.
Ketiga tokoh perempuan tersebut adalah
permpuan-perempuan Minangrantau yang
sangat terkenal di Tanah Melayu. Mereka
adalah politikus dan pejuang-pejuang yang
sangat gigih dan tangguh. Namun dalam
kajian ini hanya difokuskan tentang
Shamsiah Fakeh, karena perjuangan
Shamsiah Fakeh banyak mendapat
penilaian yang pro kontra di kalangan
masyarakat Tanah Melayu, sehingga
perjuangannya juga dipertanyakan.
Shamsiah Fakeh merupakan seorang
perempuan Minang-rantau yang gigih
dalam memperjuangkan emansipasi
perempuan sekaligus kemerdekaan Tanah
Melayu dari penjajah British. Shamsiah
Fekeh telah membuka minda perempuan
Melayu dari belenggu tradisi dan budaya
konservatif. Pada awal abad ke-20 atau
sebelum tahun 1920-an pandangan
masyarakat Melayu tentang perempuan
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu 193
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
masih terkungkung oleh norma-norma
masyarakat. Sehingga mereka memandang
rendah terhadap golongan perempuan dan
beranggapan bahawa tugas perempuan
hanya sekitar fungsi biologis dan sosial saja
(Abdullah, 2007; Midawati & Buang,
2017). Oleh karena itu hanya anak laki-laki
saja yang banyak bersekolah, sedangkan
anak perempuan hanya diajar di rumah
dengan adat dan kepercayaan tradisional
oleh ibu mereka yang juga buta huruf
(Boserup, 2007). Sehubungan dengan itu,
menjelang tahun 1920 hanya ada dua orang
anak perempuan Melayu yang masuk
sekolah beraliran Inggeris, yaitu Sofiah
binti Abdullah di Sekolah Convent Bukit
Nanas, Kuala Lumpur pada tahun 1907 dan
Zainun binti Munshi Sulaiman di Sekolah
Perempuan Rebecca, Melaka pada tahun
1920 (Foo & Richards, 2004; Samah,
1960). Setelah berakhirnya Perang Dunia
Kedua, pandangan masyarakat telah mulai
berubah. Mereka sudah mulai terbuka mata
dan berfikir bahwa pendidikan tidak hanya
perlu bagi anak laki-laki. Begitu jga dengan
perjuangan kemerdekaan bukan saja
tanggung jawab laki-laki, tetapi juga semua
warga negara. Oleh karena itu mereka
sudah sama-sama memperlihatkan
semangat yang tinggi terhadap pendidikan
dan perjuangan kemerdekaan. Perubahan
sikap dan pandangan masyarakat terhadap
peran perempuan menjadi faktor pendorong
bagi perempuan untuk tampil bersama
dengan laki-laki. Sehingga mereka tidak
merasa janggal lagi jika berjuang bersama
laki-laki. Justeru itu, ada diantara para
perempuan yang sanggup berjuang
mengangkat senjata demi memperjuangkan
kemerdekaan negara. Bahkan juga ada
sebagian dari mereka yang sanggup
menyumbangkan perhiasan emasnya untuk
membantu para pejuang demi mencapai
kemerdekaan (Ab Rahim, 2012).
Perubahan sikap dan pandangan
masyarakat ini juga merupakan andil besar
dari usaha yang dilakukan oleh Shamsiah
Fakeh. Beliau telah berani menantang
budaya konservatif yang menganggap
peranan perempuan tidak penting, melalui
pidato-pidatonya. Shamsiah Fekeh seorang
perempuan yang hebat berpidato, yang
diakui oleh orang ramai. Beliau berani
berpidato secara terbuka dalam berbagai
hal, terutaman mengenai semangat
nasionalisme. Kehebatan dan keberanian
beliau telah menarik minat perempuan lain
untuk mencontohnya. Apalagi isi pidato
Shamsiah banyak merangsang semangat
dan menyadarkan para perempuan-
perempuan kampung tentang pentingnya
membangun diri dan memerdekakan negara
dari cengkraman penjajahan (Ab Rahim,
2012). Shamsiah Fakeh tidak hanya
seorang motivator, pejuang emansipasi
perempuan dan pejuang bangsa, tetapi juga
seorang nasionalis sejati dan anti-British
yang tegar. Beliau seorang pejuang yang
berani mengangkat senjata dan sanggup
masuk hutan untuk ikut serta dalam
perjuangan bersenjata melawan penjajah
British demi memperjuangkan
kemerdekaan Malaya. Sejak berumur 24
tahun beliau telah meninggalkan orang tua,
keluarga dan kampung halamannya demi
perjuangan kemerdekaan tanah air.
Walaupun demikian, nama Shamsiah Fakeh
tidak begitu bersinar dalam pensejarahan
Tanah Melayu. Perjuangan Shamsiah Fekeh
dalam mencapai kemerdekaan Malaya
seakan tidak mendapat penghargaan yang
sepatutnya, bahkan sebaliknya.
Perjuangannya banyak mendapat
pandangan yang negatif. Oleh karena itu,
kajian tentang Shamsiah Fakeh ini
dipandang perlu dilakukan untuk
menjelaskan siapa sesungguhnya Shamsiah
Fakeh, bagaimana bentuk perjuangannya
dan kenapa namanya tidak begitu bersinar
dalam pensejarahan Tanah Melayu,
khususnya dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Malaya.
METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan metode
sejarah (historical method). Metode sejarah
merupakan seperangkat perinsip dan aturan
194Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
yang sistematis yang dibentuk untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah
secara efektif, menilainya secara kritis dan
menyajikan hasil yang dicapai dalam
bentuk tertulis (Garraghan, 1946; Gilbert,
1953; Shafer & Bennett, 1974). Kebenaran
sejarah sangat bergantung kepada
kebenaran sumber, terutama sumber primer,
dan juga sumber sekunder (Gottschalk,
1986). Sumber primer berasal dari arsip-
arsip PKM, UMNO, surat persendirian, dan
surat khabar sezaman. Sedangkan sumber
sekunder diperoleh dari buku, jurnal,
makalah-makalah seminar, ensiklopedia,
kajian ilmiah dan berbagai tulisan yang
berkaitan dengannya. Sumber-sumber
tersebut diperoleh dari Arkib Negara
Malaysia, Perpustakaan Nasional Malaysia,
Perpustakaan Utama Universiti Malaya,
Perpustakaan Peringatan Za‟ba Universiti
Malaya, Perpustakaan Pengajian Islam
Universiti Malaya, Perpustakaan Negara
Malaysia, Perpustakaan Tun Seri Lanang
Universiti Kebangsaan Malaysia dan
Perpustakaan Alam Tamadun Melayu
Universiti Kebangsaan Malaysia.
TEMUAN PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Latar BeMlakang Shamsiah Fakeh
Shamsiah Fakeh adalah anak dari
seorang perantau Minangkabau yang
bernama Fakeh Sutan Sulaiman yang lebih
dikenal dengan panggilan Fakeh Godang,
kerana sosok tubuhnya yang besar. Ibu
beliau bernama Saamah Nonggok.
Shamsiah Fakeh merupakan anak kedua
dari delapan kakak beradik, lahir di
Kampung Gemuruh, Kuala Pilah, Negeri
Sembilan pada tahun 1924 (Ab Rahim,
2012). Shamsiah Fakeh lahir dalam
keluarga miskin yang sederhana dalam
masyarakat yang memegang kuat Adat
Perpatih. Beliau dididik dengan cara budaya
Melayu dan Adat Perpatih. Bapak beliau
seorang penjaja kecil yaitu meraih atau
berjaja sayur-sayuran, ikan serta menjual
ubat-ubatan buatan sendiri. Bapa beliau
terpaksa bekerja keras untuk menyara
keluarganya yang besar itu.
Namun, bapa beliau tidak pernah
menyesali takdirnya. Beliau gigih berusaha
untuk membesarkan anak-anaknya.
Bapanya sering dikejar oleh polisi kerana
berjaja di kaki lima kedai tanpa lesen
berniaga. Bapanya juga pernah ditahan di
balai polisi selama beberapa hari. Setiap
hari, bapanya terpaksa mengayuh sepeda
sejauh belasan batu untuk mendapatkan
barang-barang yang hendak dijualnya. Jika
jualannya laris, maka kehidupan Shamsiah
sekeluarga senanglah sedikit. Tetapi adat
orang berniaga, jualan bapanya tidak selalu
habis yang menyebabkan beliau terpaksa
pulang dengan tangan kosong (Ab Rahim,
2012). Bagi meringankan beban bapanya,
ibu Shamsiah terpaksa pergi berjaja kain
yang diambilnya dari kedai besar. Pagi-pagi
ibu beliau sudah keluar pergi berjaja dan
pulang pada waktu senja. Ibu beliau juga
menemui kesulitan dan kesukaran dalam
pekerjaannya. Kadang-kadang jualan
ibunya hanya dapat dijual sedikit saja dan
kadang-kadang juga ibunya pulang dengan
tangan kosong kerana orang kampung juga
miskin. Maka ada pula yang terpaksa
berhutang dan tidak mudah pula untuk
membayarnya. Hal ini menyebabkan ibu
beliau terpaksa pergi berkali-kali untuk
menagih hutang (Fakeh, 2004; Ismail,
2009; Musa, 2013).
Penididikan formal Shamsiah Fakeh
diawali di Sekolah Melayu Kampung Parit,
Kuala Pilah, Negeri Sembilan pada tahun
1931. Kemudian beliau pindah ke Sekolah
Melayu Bandar di Kuala Pilah dan belajar
di sana sampai kelas lima. Pada tahun 1938,
beliau belajar ke sekolah agama Rahmah al-
Yunusiah di Padang Panjang ranah
Minangkabau Sumatera Barat yang dikenal
dengan Diniyah Putri (Ab Rahim, 2012;
Fatini Yaacob, 1991). Shamsiah Fakeh
pergi bersama adiknya Ramli yang juga
bersekolah di sekolah Putra. Shamsiah
Fakeh tinggal di asrama Diniyah Putri,
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu 195
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
sedangkan Ramli tinggal di rumah Rahimin,
adik kandung bapaknya.
Diniyah Putri Rahmah al-Yunusiah
Padang Panjang adalah sekolah kaum muda
yang terkenal di Ranah Minang Sumatera
Barat pada masa itu. Selain mengajar soal
agama Islam, sekolah itu juga mendidik dan
menanamkan semangat nasionalisme di
kalangan generasi muda yang belajar di
sana (Daya & Islam, 1990; Nelmawarni,
2013; Noer, 1996). Di sinilah bibit
nasionalisme anti penjajah mulai tersemai
di hati Shamsiah fakeh. Sekolah ini
mempunyai mata pelajaran khusus untuk
membangkitkan semangat nasionalisme,
cinta tanah air dan menentang penjajah.
Para siswa selalu diingatkan tentang
perjuangan dan tanggungjawab untuk
memerdekakan bangsa. Setiap pagi mereka
menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan
penuh semangat. Kemudian mereka
menggenggam tangan sambil mengucapkan
kata Merdeka berkali-kali dengan lantang
dan penuh semangat. Di samping itu mereka
juga disiapkan untuk menjadi pemimpin
yang berkaliber, cakap, pandai berhujah dan
dapat mencetuskan idea-idea yang bernas,
melalui program latihan bahasa dan pidato
(Ab Rahim, 2012). Melalui program
tersebut Shamsiah Fakeh telah mulai
mengasah minatnya berpidato sekaligus
mulai menajamkan bakat kepimpinannya.
Shamsiah Fakeh hanya dapat belajar
selama dua tahun saja di sekolah tersebut,
karena pada tahun 1940 beliau terpaksa
dibawa pulang ke Tanah Melayu oleh bapak
beliau disebabkan dunia semakin bergolak
menjelang meletusnya Perang Dunia
Kedua. Orang tua beliau merasa tidak
tentaram jika tidak membawa Shamsiah
Fakeh dan adiknya kembali pulang ke
Tanah Melayu dalam kondisi seperti itu
(Fakeh, 2004; Ismail, 2009; Musa, 2013).
Kemudian Shamsiah melanjutkan
pendidikan di Madrasah Aliyah Islamiah
atau Islamic High School, di Pelangai,
Kuala Pilah (Ab Rahim, 2012; Fatini
Yaacob, 1991). Sekolah yang didirikan oleh
Tuan Guru Mohammad Maadah Layang ini
memperkenalkan cara baru dalam
pengajarannya. Mata pelajaran utama di
sekolah ini adalah al-Quran dan Hadis.
Mereka diajarkan menterjemakan al-Quran
secara harfiah, kata demi kata. Oleh karena
itu dalam masa waktu dua tahun, para siswa
sudah bisa menterjemah 30 juz al- Quran.
Selain itu, sekolah ini menggunakan
kitab-kitab asli berbahasa Arab karangan
ulama terkenal luar negeri. Berbeda dengan
sekolah pondok lainnya yang menggunakan
kitab terjemahan atau kitab Melayu karya
ulama-ulama setempat (Fakeh, 2004;
Ismail, 2009; Musa, 2013). Sistem
pengajaran yang unik tersebut telah
menjadikan mereka yang tamatan sekolah
ini mahir menterjemahkan al-Quran dan
Hadis. Siswa-siwa sekolah ini juga
mempunyai semangat yang tinggi untuk
memperjuangkan bangsa, sehingga banyak
lulusan sekolah ini yang menceburkan diri
dalam politik dan perjuangan kemerdekaan
(Ab Rahim, 2012; Fatini Yaacob, 1991).
Walaubagaimanapun Shamsiah Fakeh
hanya dapat belajar selama setahun lebih
saja di sekolah tersebut kerana terpaksa
menikah. Shamsiah Fakeh menikah pada 17
Agustus 1941 dengan Yasin Kina, teman
sekolah beliau pada usia 17 tahun atas
dorongan dan pengaturan dari guru beliau,
Lebai Maadah. Pernikahan tersebut tidak
bertahan lama, dan pada bulan Juni 1944
Shamsiah Fakeh telah diceraikan oleh
suami beliau ketika sedang hamil delapan
bulan anak kedua beliau. Setelah berumur
delapan bulan anak kedua beliau tersebut
meninggal dunia, sedangkan anak pertama
beliau pun telah meninggal ketika berumur
satu setengah tahun.
Kemudian Shamsiah Fakeh menikah
lagi dengan J.M. Rusdi yang telah berjanji
menyekolahkannya kembali. Walaupun
perjanjian itu ditepati, tetapi hanya lebih
kurang empat bulan saja Shamsiah Fakeh
sempat belajar di sekolah agama di Masjid
Tinggi, Bagan Serai, setelah pernikahan itu.
Kemudian terpaksa berhenti, karena
suaminya telah memulangkannya kembali
ke orang tua dan menceraikannya.
Shamsiah Fakeh baru mengetahui perangai
suaminya setelah menikah, sehingga
196Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
perkahwinan kedua ini hanya bertahan
selama lima bulan saja. Kemudian setelah
kekalahan, tentara Jepang dan tentara
British kembali ke Malaya, barulah
Shamsiah mengetahui yang sebenarnya
bahwa Rusdi adalah mata-mata tentara
Jepang (Adam, 1994).
Pada bulan Desember 1946,
Shamsiah Fakeh menikah dengan Ahmad
Boestaman. Pernikahan ini bermula dari
kedekatan Shamsiah Fakeh sebagai ketua
AWAS dengan Ahmad Boestaman sebagai
ketua API dalam usaha untuk
mengembangkan partai, sehingga
membawa kepada pernikahan (Adam,
1994). Pernikahan ini telah menjadi
simbolik penyatuan cita-cita politik dalam
memperjuangkan kemerdekaan tanah air.
Shamsiah Fakeh sendiri juga menjadikan
perkahwinan tersebut sebagai platform
untuk meningkatkan kemajuan dirinya
dalam politik dan ideologi perjuangan,
karena bagi Shamsiah Fakeh yang masih
baru dalam politik, mendampingi seorang
politikus yang berpengalaman tentu saja
akan dapat membantu beliau. Namun
pernikahan ini hanya bertahan selama tiga
bulan saja. Penceraian dilakukan secara
baik-baik, agar hubungan mereka tetap
baik demi perjuangan kemerdekaan .
Pernikahan Shamsiah Fakeh dengan
Wahi Anuwar, komander Rejimen Ke-10
dari Tentara Pembebasan Nasional Malaya
pada bulan Agustus 1948 berjalan dalam
suasana yang sangat sulit (Fakeh, 2004;
Ismail, 2009; Musa, 2013). Mereka terpaksa
hidup susah di dalam hutan dan penuh
resiko. Pada akhir tahun 1949, telah terjadi
suatu tragedi yang memisahkan mereka.
Ketika itu Shamsiah sedang sarat
mengandung yang hampir melahirkan
dalam perjalanan ke utara dari Temerloh
bersama-sama pasukan induk Rejimen Ke-
10 untuk membuka daerah bebas, mereka
telah mendapat serangan hebat dari tentara
British di Mentakab, sehingga pasukan
Rejimen ke-10 tersebut terpecah belah.
Shamsiah Fakeh sendiri terpisah dari
suaminya dan sebahagian anggota ada yang
telah menyerah kepada musuh. Ketika
inilah Shamsiah melahirkan anaknya.
Kemudia setelah anaknya lahir Shmsiah
Fakeh mendapat khabar bahwa suaminya
pun telah menyerahkan diri ke pihak musuh
(Fakeh, 2004; Ismail, 2009; Musa, 2013).
Pada akhir tahun 1953, pasukan
induk Rejimen Ke-10 telah sampai di
kawasan perbatasan Malaysia-Thailand.
Mereka berhasil melatih basis yang tangguh
di kawasan itu dan mendapat dukungan
kuat dari rakyat serta bantuan makanan
yang terjamin. Di situ Shamsiah ditugaskan
di jabatan propaganda dan percetakan
Rejimen Ke-10. Ketika itulah Shamsiah dan
Ibrahim Mohamad mulai menjalin
hubungan dan kemudian menikah pada 1
Jun 1956. Ini merupakan pernikahan
Shamsiah Fakeh yang kelima dan terakhir,
yang kemudian mereka dikurniakan tiga
orang anak lelaki yaitu Jamaluddin,
Kamaruddin dan Shamsuddin (Ab Rahim,
2012).
2. Sejarah Perjuangan Shamsiah Fakeh
Pada dasarnya semangat
Nasionalisme Shamsiah Fakeh sudah
dimulai sejak beliau kembali ke tanah air
dari belajar di Sumatera Barat. Karena
semasa belajar di Ranah Minang Sumatera
Barat tersebut beliau sudah mengenal
semangat nasionalisme yang diajarkan di
sekolah Diniyah Putri Padang Panajang
tersebut. Semangat itu makin bertambah
kuat ketika beliau belajar ilmu agama di
Bagan Serai Perak. Oleh karena itu ketika
mendengar ceramah dan penerangan
tentang perjuangan menuntut kemerdekaan
negara daripada penjajah British oleh
anggota pimpinan PKMM minat Shamsiah
menjadi semakin kuat. Perjuangan
Shamsiah Fakeh di sini dapat dibedakan
atas dua macam, sebagai berikut:
2.1. Pejuang Emansipasi Perempuan
Ketika Shamsiah Fakeh kembali ke
tanah air dari belajar di ranah Minang
Sumatera Barat pada tahun 1940, Tanah
Melayu masih dihimpit oleh kesengsaraan
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu 197
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
politik akibat penjajahan British. Selang
beberapa waktu kemudian, Shamsiah Fakeh
terbelenggu dengan perkawinan yang tidak
membawa kebahagiaan kerana suaminya
tidak mengerti hakikat hidup berkeluarga
menurut agama dan adat Melayu. Dua kali
pernikahan pertamanya mengalami
kegagalan. Kondisi-kondisi tersebut telah
membakar semangat juang Shamsiah Fakeh
untuk hidup lebih berguna untuk bangsa
dan negara, sehingga semangat perjuangan
kemerdekaan negara mengalir di setiap
aliran darahnya (Ab Rahim, 2012),
sekaligus juga memacu semangat beliau
untuk memperjuangkan nasib perempuan.
Tidak dapat disangkal bahwa
kesadaran Nasionalisme Shamsiah Fakeh
demi memperjuangkan kemerdekaan tanah
air adalah motivasi perjuangannya. Akan
tetapi penindasan terhadap kaum
perempuan juga merupakan salah satu
pendorong yang kuat bagi Shamsiah Fakeh
untuk berjuang demi membebaskan kaum
perempuan dari penindasan tersebut.
Shamsiah Fakeh telah melihat dan
merasakan berbagai bentuk penindasan
yang dialami kaum perempuan, tidak saja
penindasan dari sistem feudalisme,
kapitalisme dan imperialisme, tetapi juga
menderita akibat penindasan para laki-laki,
adat istiadat yang kuno, peraturan agama
yang disalah artikan dan sebagainya.
Shamsiah Fakeh sendiri pernah menderita
dan menjadi mangsa kekuasaan laki-laki.
Suami pertama beliau telah menceraikan
beliau ketika sedang sarat mengandung
lapan bulan (Fakeh, 2004; Ismail, 2009;
Musa, 2013). Beliau tertipu oleh suami
keduanya yang ternyata seorang mata-mata
Jepang.
Di samping itu, beliau juga melihat
banyak kejadian para perempuan diceraikan
setelah beranak banyak. Akibatnya banyak
kaum perempuan yang terpaksa menderita
untuk membesarkan anak-anak. Begitu juga
dengan hal poligami yang tidak disukai oleh
kaum perempuan. Walaupun dibenarkan
oleh Islam, tetapi hanya sebagian kecil saja
dari mereka yang berpoligami benar-benar
memenuhi syarat seperti yang ditetapkan
Islam. Banyak yang tidak memenuhi syarat,
dan telah menyimpang, sehingga
meninggalkan tanggungjawab kepada kaum
perempuan dan membuat kaum perempuan
menderita. Dilatarbelakangi penindasan dan
penderitaan inilah semangat Shamsiah
Fakeh berkobar-kobar untuk berjuang demi
kemerdekaan tanah air. Dengan
merdekanya Tanah Melayu dari bangsa
penjajah, taraf hidup kaum perempuan
dapat ditingkatkan. Justeru itu, beliau
melibatkan diri dalam perjuangan
kemerdekaan tanah air dan gigih
memperjuangkan nasib kaum perempuan
dan emansipasi sejati kaum perempuan
(Fakeh, 2004; Ismail, 2009; Musa, 2013).
Berdasarkan pengalaman hidup
beliau tersebut Shamsiah Fakeh
membuktikan kepada perempuan, bahwa
setiap perempuan harus mampu mengubah
nasib sendiri. Oleh karena itu setiap
perempuan harus bisa tegar dan tidak
berputus asa atas segala cobaan dan
tantangan kehidupan seberat apa pun.
Sebagai sorang motivator, dalam pidatonya
Shamsiah Fakeh sering menggunakan ayat-
ayat al-Quran dan hadis untuk
membangkitkan semangat perempuan dan
masyarakat secara umum agar bangun
berjuang menentang penjajah. Shamsiah
sering membacakan surat Ar-Ra‟ad, ayat
11, untuk mengingatkan masyarakat bahwa
“Allah tidak akan merubah nasib suatu
kaum, jika tidak mereka sendiri yang
berusaha merubah diri mereka sendiri”.
Di samping itu, Shamsiah juga
sering mengambil contoh dari isteri-isteri
Nabi di luar rumah dan menuntut ilmu,
seperti Siti Aishah, yang mempunyai ilmu
dan pengetahuan yang luas, terutama
tentang hadis. Oleh karena itu, Siti Aishah
menjadi pakar rujuk hadis yang terkenal
setelah Nabi meninggal, dan Imam-imam
besar Islam juga merujuk kepada beliau.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa
perempuan juga harus berpengetahuan
tinggi, karena kedudukan dan peranan
perempuan jauh lebih besar dan bukan
hanya di rumah tangga saja. Sehubungan
dengan itu Shamsiah Fakeh sering
198Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
menegaskan “marilah kita bersama-sama
menuntut ilmu kerana ilmu itu tidak hanya
untuk lelaki tetapi juga diwajibkan untuk
perempuan. Isteri Rasulullah di atas patut
dijadikan teladan kepada setiap perempuan
di seluruh dunia. Jenis kelamin tidak bisa
dijadikan sebagai penghalang untuk maju
dan menuntut ilmu. Perempuan yang
berilmu juga akan mempunyai darjat yang
tinggi dan dihormati oleh masyarakat.
Justeru itu, kaum perempuan haruslah
menuntut ilmu agar bisa bergandengan
bahu bersama-sama laki-laki untuk
membangun negara.
Ketika Shamsiah Fakeh berpidato
untuk memotivasi perempuan beliau sering
mengatakan bahwa perempuan tidak boleh
berpisah dengan laki-laki karena perempuan
diibaratkan sebagai sayap kiri dan laki-laki
ibarat sayap kanan. Bagaikan seekor
burung, yang seandainya sayap kiri tidak
bergerak, tentu saja sayap kanan tidak bisa
terbang. Ketika berpidato terhadap kaum
lelaki, Shamsiah banyak menekankan
mengenai soal kesadaran membebaskan
tanah air dari penjajah, dan memberi
contoh-contoh perjuangan dengan nagara
lain, seperti perjuangan berdarah Indonesia
mencapai kemerdekaan, agar rakyat tidak
gentar dan takut untuk berjuang (Fatini
Yaacob, 1991).
Ketika Shamsiah Fakeh menjadi
ketua perempuan PKMM (AWAS), beliau
banyak memberi sumbangan kepada
masyarakat terutama kepada kaum
perempuan. Beliau telah mengatur program
kesadaran untuk perempuan-perempuan
kampung agar maju dari segi pemikiran dan
ilmu pengetahuan. Beliau punya perinsip
bahwa perempuan-perempuan kampung
mesti dididik supaya mengenal dunia luar,
bukan sekadar di sekitar dapur saja. Beliau
telah mengatur kelas-kelas belajar membaca
dan menulis untuk perempuan buta huruf,
kelas memasak, kelas menjahit, kraf tangan
dan kelas berhias diri agar perempuan-
perempuan bisa tampil baik dalam setiap
majlis (Fatini Yaacob, 1991). Untuk
menunjukkan kreativitas perempuan yang
sudah dilatih tersebut, Shamsiah Fakeh
menyelipkan pameran kraf tangan kaum
perempuan pada acara perayaan yang
diadakan PKMM, seperti yang diadakan di
Jendram, Selangor. Shamsiah Fakeh juga
menyuruh para perempuan membeli dan
membaca surat khabar, agar mereka bisa
mengetahui dan peka dengan
perkembangan informasi dan persoalan
dunia, sekaligus juga sebagai satu usaha
untuk mendekatkan para perempuan dengan
ilmu pengetahuan dan informasi (Fatini
Yaacob, 1991). Sebagai seorang yang
terpelajar, Shamsiah juga menginginkan
para perempuan sezaman dengannya
menjadi insan yang berilmu dan peka
dengan isu-isu yang muncul.
Dala usaha perjuangan menentang
penjajah, Shamsiah Fakeh juga berperan
besar dalam membantu mendapatkan dana
perjuangan. Shamsiah Fakeh bersama
pengurus Pusat AWAS menghimbau
kepada setiap perempuan yang bekerja di
sawah dan menoreh getah agar menyisihkan
sebagian kecil hasil kerjanya setiap hari
dalam satu tabung kecil. Bagi ibu rumah
tangga yang tidak bekerja, diminta
mengasingkan segenggam beras setiap kali
memasak ke dalam satu tempat agar dapat
diserahkan pada akhir bulan untuk dijual
demi mendapatkan uang untuk perjuangan
partai. Bahkan Shamsiah Fakeh juga
meminta agar setiap perempuan ikut
menderma sesuai kemampuan baik uang
atau barang setiap kali rapat. Sehingga
banyak diantara mereka yang sanggup
menyumbangkan perhiasan emasnya untuk
biaya perjuangan. Para perempuan tersebut
ikhlas dan berbangga diri kerana dapat
berbakti kepada perjuangan partai. Melalui
cara ini, AWAS telah mendatangkan hasil
yang besar terhadap PKMM dan
masyarakat. Selain kesadaran atas
perjuangan kemerdekaan, mereka
menyadari bahwa pengorbanan harta dan
tenaga demi mencapai cita-cita
kemerdekaan adalah tanggung jawab semua
rakyat tidak saja laki-laki tetapi juga
perempuan (Fatini Yaacob, 1991).
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu 199
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
2.2. Pejuang Kemerdekaan Bangsa
Perjuangan Shamsiah Fakeh
bermula sejak tahun 1945 ketika beliau
sering menghadiri kegiatan dan pertemuan
yang diadakan PKMM. Sejak itu, Shamsiah
telah memperlihatkan minatnya yang besar
terhadap gerakan nasionalis. Sebelum
menyertai PKMM, Shamsiah sering
menjadi penceramah undangan di beberapa
tempat. Khabar tentang kehebatan
Shamsiah berpidato dengan semangat
nasionalisme yang membara mendapat
perhatian dari beberapa orang bekas
anggota Kesatuan Melayu Muda (KMM).
Dalam satu pertemuan yang diadakan oleh
PKMM di Seremban, Shamsiah telah
memberikan sebuah sambutan, dan
mendapat tepuk tangan dari para hadirin.
Sambutan Shamsiah Fakeh ini disiarkan di
dalam surat khabar Utusan Melayu besok
harinya. Sehingga kemudian Shamsiah
Fakeh didatangi oleh Musa Ahmad dari
PKMM untuk meminta beliau ikut dalam
pimpinan perempuan PKMM yang telah
dikosongkan oleh Aishah Ghani. Shamsiah
Fakeh menyambut baik tawaran tersebut
dan mendapat restu dari orang tua beliau
yang telah ditemui oleh Dr. Burhanuddin
Al-Helmy, Musa Ahmad dan Abdullah C.D
(Ab Rahim, 2012). Shamsiah Fakeh dan
keluarga beliau memang mempunyai
semangat anti-penjajah yang amat kuat
sehingga menyambut baik undangan
tersebut. Dari situlah mulainya penglibatan
Shamsiah dalam gerakan nasionalis
bersama PKMM.
Pada masa awal penglibatan
Shamsiah Fakeh dalam PKMM, beliau
selalu sederhana dan mengibaratkan dirinya
sebagai “akar bukan rotan”. Beliau
bukanlah pemimpin besar yang
membesarkan PKMM. Beliau hanya
seorang pemimpin yang dipimpin, tetapi
beliau seorang yang tekun dan gigih untuk
belajar. Oleh kerana kegigihan dan
semangat beliau yang tinggi itu, beliau
kemudian terlibat dalam memperjuangkan
negara dari penjajah (Ab Rahim, 2012).
Sebagai seorang yang baru bertugas
mengetuai bagian perempuan PKMM,
Shamsiah Fakeh banyak belajar dari
pemimpin PKMM di setiap tingkat.
Shamsiah Fakeh belajar cara-cara bekerja
dan menimba pengalaman dari mereka
dengan cara ikut dengan pemimpin yang
pergi ke daerah-daerah untuk memberi
penerangan tentang perjuangan mencapai
kemerdekaan dan tentang perlunya bersatu
padu antara laki-laki dan perempuan serta
seluruh lapisan masyarakat Melayu dalam
sebuah organisasi atau partai politik untuk
berjuang menentang penjajah British demi
mencapai kemerdekaan Tanah Melayu
(Fatini Yaacob, 1991).
Pendirian bahagian perempuan
PKMM ini kemudian lebih dikenal dengan
nama Angkatan Perempuan Sedar (AWAS).
Gerakan kaum perempuan Malaya di bawah
pimpinan AWAS berpandukan perjuangan
menuntut hak-hak yang adil bagi kaum
perempuan melalui perjuangan
kemerdekaan tanah air. AWAS berpegang
pada pepatah “tangan yang menghayunkan
buaian itu boleh menggongcangkan dunia”.
Kaum laki-laki juga ikut mendukung
gerakan kaum perempuan (Fatini Yaacob,
1991). Justeru itu, AWAS berkembang
pesat di berbagai tempat di seluruh tanah
air. Di bawah pemerintahan Shamsiah
Fakeh, susunan perempuan PKMM dalam
AWAS menjadi lebih teratur dan maju.
Bukan saja di negeri-negeri, tetapi juga
terdapat di kampung-kampung. Sebagai
ketua AWAS, Shamsiah sering bergerak
bersama API ke semua negeri sehingga di
setiap negeri yang mempunyai cabang API
juga kemudian mempunyai cabang AWAS.
Kemudian pada tahun 1948
Shamsiah Fakeh telah disahkan menjadi
anggota PKM. Ketika itu tidak ada momok
tentang komunis dan PKM diharamkan dan
kantor Perwakilan PKM juga ada di Kuala
Lumpur (Fakeh, 2004; Ismail, 2009; Musa,
2013). Oleh karena itu banyak orang
Melayu masuk PKM untuk berjuang
menentang pihak penjajah, termasuk
Shamsiah Fakeh. Namun pada bulan April
1948, keadaan mulai tegang dan perjuangan
200Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
kaum buruh ditindas hebat. Shamsiah
mencoba mencari pemimpin tertinggi
PKMM seperti Dr. Burhanuddin Al-Helmy
dan Ishak Haji Muhammad untuk meminta
pendapat mereka mengenai perjuangan,
tetapi Shamsiah tidak dapat menemui
seorang pun pemimpin PKMM tersebut.
Sementara itu Wahi Anwar dan Musa
Ahmad memberitahu Shamsiah bahwa
mereka semua terpaksa meninggalkan
Kuala Lumpur untuk menyembunyikan diri
ke kampung karena dikhawatirkan akan
ditangkap oleh penjajah British. Kemudian
Shamsiah juga terpaksa berundur bersama
mereka ke kampung Lubuk Kawah di
Termerloh, Pahang. Mereka hidup bergerila
di Kampung Kawah itu selama sebulan dan
jika tentara penjajah datang mereka akan
mundur ke pinggir hutan yang berdekatan
sampai penjajah itu pergi (Fakeh, 2004;
Ismail, 2009; Musa, 2013).
Pada akhir Mei sampai Juni 1948
telah diadakan latihan militer, kursus politik
dan ideologi di hutan Lubuk
Kawah,Temerloh, Pahang. Latihan ini
banyak dihadiri oleh kader Melayu PKM
dari seluruh Malaya. Shamsiah Fakeh juga
ikut dalam latihan tersebut. Lebih kurang
30 orang ikut dalam kem ini dan perempuan
hanya dua orang saja, yaitu Shamsiah
Fakeh dan Zainab Mahmud (Ab Rahim,
2012). Di Kem ini diadakan bermacam
kursus tentang soal menyusun massa,
pembekalan bahan makanan, membentuk
tentara, latihan dasar militer dan lain-lain.
Setelah tamat latihan, kader-kader disuruh
kembali ke negeri masing-masing untuk
menjalankan tugas-tugas yang telah
ditetapkan.
Ketika Undang-undang Darurat
diumumkan di seluruh Malaya pada tanggal
20 Juni 1948, banyak kader-kader dan
anggota partai dari organisasi patriotik dan
demokratik berhaluan kiri ditangkap oleh
penjajah British. Undang-undang tersebut
telah mengharamkan partai-partai yang
berhaluan kiri seperti PKM, PKMM,
AWAS, PETA, Barisan Tani Malaya,
Hisbul Muslimin, Liga Pemuda Demokrasi,
Kesatuan Buruh dan lain-lain. Banyak
pejuang kemerdekaan baik laki-laki
maupun perempuan ditangkap, ditahan,
disiksa, dihukum gantung dan dibuang ke
luar negeri (Fakeh, 2004; Ismail, 2009;
Musa, 2013).
Penindasan penjajah British tidak
mematahkan semangat perjuangan
menuntut kemerdekaan Tanah Melayu.
Walaupun AWAS telah diharamkan, tidak
berati perjuangan kaum perempuan telah
tamat. Semangat mereka semakin berkobar-
kobar untuk menentang penjajah British.
Oleh karena itu mereka menyertai pasukan
gerila untuk membantu kaum laki-laki
dalam memperjuangkan kemerdekaan
Tanah Melayu. Undang-undang Darurat
penjajah tidak dapat menundukkan tekad
juang kaum perempuan. Ketika perjuangan
secara damai yang terlembaga diharamkan,
banyak anggota AWAS dan pendukung
PKMM memasuki perjuangan bersenjata
bersama-sama Rejimen Ke-10, termasuk
Shamsiah Fakeh (Ketua AWAS), Zainab
Mahmud (Sekretaris AWAS), Siti Norkiah
(Ketua AWAS Pahang), Saliha Mat Rani,
Peah (Habsah), Juliah, dan lain-lain (Fakeh,
2004; Ismail, 2009; Musa, 2013). Sejak
Rejimen Ke-10 didirikan, Shamsiah terus
aktif bersama pasukan yang dipimpin oleh
Wahi Anuwar. Kerja utama beliau adalah
penyusun massa. Beliau pergi ke kampung-
kampung untuk menemui rakyat dan
memberi penerangan tentang perjuangan
bersenjata melawan penjajah British demi
mencapai kemerdekaan. Beliau juga
menekankan kepada masyarakat agar
bersatu memberi dukungan terhadap
perjuangan (Ab Rahim, 2012).
Pada akhir tahun 1949, pasukan
induk Rejimen Ke-10 yang terdiri dari lebih
300 orang Melayu mengadakan perjalanan
ke utara dari Temerloh untuk membuka
daerah bebas. Pemimpin-pemimpin
Rejimen ke-10, diantaranya Abdullah C.D.,
Musa Ahmad, Wahi Anuwar suami
Shamsiah Fakeh juga ikut dalam pasukan
tersebut. Shamsiah Fakeh ketika itu sedang
sarat mengandung dan hampir melahirkan.
Ketika mereka sampai di Padang Piol,
pasukan Rejimen ke-10 ini telah diserang
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu 201
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
oleh pihak musuh. Pasukan jadi kocar-
kacir, sebagian ada yang melarikan diri dan
sebagian menyerahkan diri kepada tentara
Inggeris (Ab Rahim, 2012). Shamsiah dan
suaminya melarikan diri secara terpisah,
tapi dapat bertemu kembali, namun
hubungan mereka dengan pasukan Rejimen
ke-10 yang lain terputus, sehingga rencana
mereka untuk ke utara gagal. Oleh karena
Shamsiah Fakeh akan melahirkan segera,
maka mereka mendirikan tenda di suatu
tempat, sehingga Shamsiah selamat
melahirkan anak lelakinya di tenda tersebut,
dengan bidan suaminya sendiri (Fakeh,
2004; Ismail, 2009; Musa, 2013).
Sebulan setelah melahirkan tenda
mereka diserang oleh pihak musuh, mereka
berdua melarikan diri sehingga terpisah,
Wahi Anuwar lari ke atas bukit, sedangkan
Shamsiah Fakeh dengan bayinya lari ke
lereng bukit. Mereka terpaksa lari ke arah
yang berbeda agar selamat dari musuh.
Shamsiah dengan bayinya tersesat selama 4
hari 4 malam dalam hutan tanpa makanan
dan pakaian. Beliau menghadapi berbagai
peristiwa pahit, kesusahan, dan kelaparan
bersama anak yang baru berumur satu
bulan. Namun dengan semangat dan
kegigihan tanpa berputus asa, akhirnya
beliau dapat bertemu kembali dengan
pasukan PKM dan di bawa ke tempat
persembunyian mereka. Ketika itu
Shamsiah Fakeh diberitahu oleh anggota
PKM bahwa suami beliau Wahi Anuwar
telah menyerahkan diri. Selanjutnya kawan-
kawan dari PKM juga mengusulkan kepada
Shamsiah agar menghantar anaknya yang
baru lahir itu untuk dipelihara oleh seorang
cina yang akan kembali ke Cina, mengingat
situasi yang sangat sulit dalam perjuangan
revolusi itu dan sangat beresiko bagi
bayinya. Demi keselamatan anaknya,
dengan berat hati, Shamsiah Fakeh
menyetujui usulan tersebut (Fakeh, 2004;
Ismail, 2009; Musa, 2013).
Namun pada tahun 1952, Musa
Ahmad salah seorang anggota Markas
Rejimen Ke-10 atas nama pimpinan PKM
memberitahukan kepada Shamsiah Fakeh
bahwa anaknya yang dititipkan untuk
dipelihara oleh orang itu, sebenarnya telah
dibunuh oleh pengurus PKM cabang
setempat. Betapa pilunya perasaan
Shamsiah Fakeh menerima berita tersebut,
namun demi tidak berkuranganya jumlah
anggota dan tenaga perjuangan revolusi,
tiga orang pembunuh anak Shamsiah Fakeh
yang seharusnya dihukum mati menurut
aturan partai, diberi keringan untuk
menebus kesalahan mereka dengan
melakukan kerja-kerja revolusi. Karena
kesetiaannya terhadap partai dan revolusi,
Shamsiah Fakeh menerima keputusan itu
dengan tenang (Fakeh, 2004; Ismail, 2009;
Musa, 2013).
Kemudian PKM menugaskan
Shamsiah Fakeh pergi ke Perak untuk
menerbitkan sebuah surat khabar Pencinta
Tanah Air. Surat khabar ini diterbitkan
sekali sebulan untuk melaporkan berita
serangan dan pertempuran Pembebasan
Nasional Malaya (TPNM) di setiap tempat.
Shamiah pergi ke Perak bersama tujuh
orang yang lainnya. Lebih kurang setahun
Shamsiah Fakeh berada di Perak sebelum
beliau mengikuti misi perjalanan jauh
Pasukan Rejimen Ke-10 (Fakeh, 2004;
Ismail, 2009; Musa, 2013).
Pada tahun 1953 Markas Agung
TPNM dan pengurus Pusat PKM
memutuskan untuk memindahkan Rejimen
ke-10 ke bagian Utara, kawasan perbatasan
Malaysia-Thailand sebagai strategi untuk
membentuk pangkalan perang yang baru.
Pada bulan Maret 1953 pasukan Rejimen
ke-10 berkumpul di Kerdau, untuk di bagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama di
bawah pimpinan Dewan Sentral Komiti
Selatan Malaya atau Biro Selatan. Bagian
kedua di bawah pimpinan Dewan Sentral
Komiti Utara Malaya atau Biro Utara.
Bagian kedua ini pasukan akan
melaksanakan perjalanan jauh, dan diberi
nama Pasukan Hang Jebat. Shamsiah Fakeh
termasuk ke dalam pasukan Hang Jebat
tersebut. Beliau bergabung dengan Pasukan
Hang Jebat bersama Rashid Maidin ketika
pasukan itu tiba di Perak (Fakeh, 2004;
Ismail, 2009; Musa, 2013).
202Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
Kegiatan penerbitan terus berjalan
sampai pihak British melancarkan serangan
udara secara besar-besaran di Ulu Kinta
pada 8 Juli 1954. Serangan udara ini
merupakan serangan udara terbesar
sepanjang sejarah Perang Pembebasan
Nasional Anti-British Pasukan Komunis
Malaya, yang diarahkan secara langsung
oleh Jenderal Bonn, Panglima Gerakan
British di Malaya. Berita tentang serangan
ini disiarkan oleh Media massa British
secara lengkap. Media masa British tersebut
melaporkan: sebanyak 55 buah kapal
terbang pengebom terlibat dalam serangan
itu, setiap kapal terbang tersebut berulang
alik mengangkut bom dan peluru kira-kira
22 kali sehari. Setelah pengeboman,
tentara-tentara payung terjun diturunkan
untuk melakukan serangan.
Pasukan Hang Jebat Rejimen ke-10
di bawah komando Abdullah C.D selamat
keluar dari kawasan serangan tersebut (Ab
Rahim, 2012), dan mereka berpindah ke
Ulu Kelantan dan meneruskan sempadan
melalui Kampung Belum dan sampai ke
Kampung Hala yang terletak berhampiran
kawasan perbatasan di sebelah Negara
Thailand pada 7 Oktober 1954. Akhirnya
pasukan Hang Jebat berhasil menyelesaikan
misi perjalanan mereka. Di kawasan
perbatasan Malaysia-Thailand ini,
Shamsiah Fakeh ditugaskan bekerja dalam
masyarakat untuk menata kampung. Beliau
ditempatkan di bagian propaganda dan
percetakan Rejimen ke-10, sehingga
kemudian pada 1 Juni 1956 Shamsiah
Fakeh dan Ibrahim Mohamad menikah
(Fakeh, 2004; Ismail, 2009; Musa, 2013).
Tahun 1955 ketika diadakan satu
persidangan di Soviet Union, seorang wakil
persatuan perempuan Malaya telah
mencalonkan nama Shamsiah sebagai
pengurus Gabungan Persatuan Perempuan
Demokratik Sedunia yang berpusat di Paris.
Pencalonan itu diterima oleh Shamsiah
Fakeh dengan senang hati dan tangan
tebuka (Fakeh, 2004; Ismail, 2009; Musa,
2013). Kemudian pada pertengahan tahun
1956, tiga orang anggota Rejimen ke-10,
yaitu Shamsiah Fakeh, suaminya Ibrahim
Mohamad dan Mat Amin serta dua orang
pasangan suami isteri kader PKM
berbangsa Cina dari Rejimen Ke-8 dikirim
untuk belajar ke China oleh PKM, dengan
tujuan agar usaha untuk merekrut orang
Melayu berjalan lebih lancar. PKM
memerlukan kader-kader Melayu untuk
mengangkat taraf ideologinya demi
kepentingan jangka panjang. Namun
rencana itu terpaksa ditangguhkan kerana
Thailand dalam keadaan darurat.
Setelah keadaan di Thailand
membaik, mereka mengatur kembali
perjalanan yang tertunda tersebut. Demi
pertimbangan keselamatan, mereka di bagi
atas dua kelompok. Kelompok pertama
terdiri adalah Shamsiah Fakeh, Siew Mei
dan isteri Chen Tan. Sedangkan kelompok
kedua adalah Ibrahim Mohamad Mat Amin
dan Chen Tan. Kelompok pertama
berangkat lebih dahulu dari kelompok
kedua. Mereka berangkat dari Betong,
Selatan Thailand. Kemudian sesuai dengan
perjanjian kelompok Shamsiah melanjutkan
perjalanan ke Haadyai menaiki teksi dan
terus ke Bangkok menaiki kereta api
ekspress. Setelah sampai di Bangkok,
kelompok Shamsiah menginap di hotel
yang telah direncanakan. Setelah hampir
sebulan menginap di Bangkok, Kelompok
Shamsiah berangkat menaiki kapal
Denmark ke China. Ketika itu Shamsiah
sedang mengandung anak pertamanya dari
hasil perkahwinan dengan Ibrahim
Mohamad (Fakeh, 2004; Ismail, 2009;
Musa, 2013).
Setelah seminggu belayar, akhirnya
kelompok Shamsiah Fakeh selamat sampai
di San To. Mereka telah dinanti oleh dua
orang kader petugas Partai Komunis dan
pemerintah China untuk dibawa ke Beijing.
Sesampainya di Beijing pada akhir April
1957, Shamsiah disambut oleh wakil
Pengurus Pusat di Beijing dan ditempatkan
di asrama nomor lima di Rumah
Penginapan Tamu di bawah jagaan Dewan
Negara, Kantor Perdana Menteri China.
Kemudian pada tanggal 19 Juli 1957,
Shamsiah melahirkan anak sulungnya di
Rumah Sakit Tentara Pembebasan Rakyat
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu 203
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
China, Beijing (Fakeh, 2004; Ismail, 2009;
Musa, 2013).
Sejak 1 Maret 1959, Shamsiah
Fakeh dan Ibrahim Mohamad diminta untuk
bekerja sebagai penyiar di Radio Beijing
dalam siaran bahasa Melayu. Mereka suami
isteri bertugas sebagai pembantu pakar
dalam siaran Internasional tersebut.
Menurut Shamsiah Fakeh hal itu
merupakan usaha dalam menjalin hubungan
baik antara rakyat Malaysia dengan China
(Ab Rahim, 2012). Namun pada bulan
Maret 1963, organisasi PKM di Beijing
menyuruh menghentikan kegiatan tersebut
setelah tiga tahun bekerja di sana. Sebagai
penghargaan atas jasa mereka, Ibrahim
Mohamad dianugerahkan Bintang
Persahabatan dari pihak pemerintahan
China. Anugerah tersebut kemudian
diserahkan oleh Ibrahim Mohamad untuk
disimpan oleh organisasi PKM Beijing
(Fakeh, 2004; Ismail, 2009; Musa, 2013).
Kemudian PKM menunjuk Ibrahim
Mohamad menjadi wakil Malaya ke
Konferensi Internasional Menyokong
Rakyat Vietnam Melawan Agresi Amerika
Syarikat di Hanoi, Vietnam pada 25-28
November 1964. Konferensi tersebut
dihadiri oleh perwakilan lebih dari 50 buah
negara. Ibrahim Mohamad juga ikut
menyampaikan sambutan dalam
persidangan tersebut sebagai wakil Malaya.
Setelah konferensi selesai Shamsiah
Fakeh diantar ke Vietnam untuk menemui
suaminya, dan kemudian bersama-sama
pergi ke Indonesia (Fakeh, 2004; Ismail,
2009; Musa, 2013). Maka pada awal
Februari 1965, Shamsiah Fakeh dan
suaminya tiba di Jakarta dengan passport
diplomatik. Sebagai wakil Liga
Pembebasan Nasional Malaya kedatangan
mereka diliput oleh surat kabar Jakarta dan
Malaysia. Kedatangan mereka disambut
hangat oleh wakil-wakil organisasi massa
revolusioner di Indonesia, dan para
wartawan. Kemudian Shamsiah Fakeh dan
suaminya telah diatur agar menginap di
Wisma Warta sebagai tamu Persatuan
Wartawan Asia-Afrika yang berpusat di
Jakarta.
Ketika situasi politik menggalakkan
Partai Komunis untuk mendirikan
Perwakilan Liga Pembebasan Nasional
Malaya (LPNM) di Indonesia. Maka pada
tanggal 2 Juni 1965, Ibrahim Mohamad
sebagai Ketua Perwakilan Liga telah
mengumumkan berdirinya Liga
Pembebasan Nasional Malaya (LPNM).
Program utama Liga tersebut adalah untuk
mencapai kemerdekaan nasional Malaya
sepenuhnya. LPNM sebenarnya adalah
lanjutan dari Melayu Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA) dan All Malayan Action
Council for Joint Action (AMCJA). Liga ini
menggunakan bendera merah putih dengan
bintang kuning di tengah sebagai
lambangnya. Kantor LPNM ini terletak di
Jalan Pasebon no.77, Jakarta (Fakeh, 2004;
Ismail, 2009; Musa, 2013).
Ketika kejatuhan PKI di Indonesia,
Shamsiah Fakeh, Ibrahim Mohammad,
Abdullah Sudin dan Eu Chooi Yip
ditangkap oleh pihak tentara dan dibawa ke
Markas Dinas Inteligen Angkatan
Bersenjata Indonesia (DINSAB). Pada
tengah malam 17 November 1965,
Keempat-empat anggota Perwakilan Liga
tersebut ditempatkan di sebuah penjara
yang merupakan bilik stor berpintu besi.
Markas tersebut dijaga oleh anggota
Komando Tentara Laut Indonesia yang
diketuai oleh Brigadier Sugomo. Mereka
hanya diberikan sebungkus nasi lemak
sebagai makan siang dan sore. Jip
Perwakilan Liga mereka juga ikut dirampas.
Ketika diintrogasi, mereka telah
menjelaskan bahwa kehadiran mereka di
Indonesia hanyalah sebagai perwakilan
yang diakui oleh pemerintah dan tidak ada
hubungan Gerakan 30 September (Fakeh,
2004; Ismail, 2009; Musa, 2013).
Setelah dua tahun ditahan, pada
Desember 1967, Shamsiah bersama tiga
yang lainnya dibebaskan dengan syarat
tidak dibenarkan lagi tinggal di Indonesia,
tetapi diizinkan untuk sementara berlindung
di Kedutaan Vietnam di Indonesia, sambil
menunggu pihak Kedutaan Vietnam dan
Kedutaan Republik Rakyat China
membantu menguruskan perjalanan mereka
204Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
ke Beijing. Dari Jakarta mereka menaiki
pesawat Chechoslovakia ke Phnom Penh
dan kemudian menaiki pesawat Kemboja
menuju ke Guangzhou. Selama seminggu
menunggu di Guangzhou, lalu mereka
berangkat ke Beijing dan tiba pada akhir
Disember 1967 (Fakeh, 2004; Ismail, 2009;
Musa, 2013).
Ketika Gerakan Komunis di dunia
mengalami perpecahan, PKM juga terpecah
atas tiga kelompok, yaitu Partai Komunis
Malaya Marxis-Leninis, PKM Revolusioner
dan PKM asli yang bersifat ortodoks.
Ketiga kelompok ini saling tidak akur.
Kemudia pada akhir tahun 1960-an,
Shamsiah Fakeh, Ibrahim Mohammad dan
tiga orang anggota PKM membuat suatu
kelompok untuk mempelajari pemikiran
Mao Tze Tung dan mengkritik PKM telah
melakukan kesalahan besar. Akibat dari
tindakan mereka itu, mereka ditindas hebat
melalui cara Revolusi Besar Kebudayaan
China. Shamsiah Fakeh dan Ibrahim
Mohamamad ditangkap oleh organisasi
PKM di Beijing. Mereka dituduh
melakukan gerakan anti partai dan
dihadapkan di depan anggota PKM di
Dewan Makhamah PKM. Tangan mereka
diikat, ditempeleng, dipaksa membongkok
dan mengaku salah. Tukang pukul yang
menghukum mereka terdiri dari anak-anak
anggota PKM di China yang disusun
menjadi Barisan Pemuda PKM (Fakeh,
2004; Ismail, 2009; Musa, 2013).
Pada tahun 1968, akibat konflik
intern PKM, Shamsiah dan suaminya,
Ibrahim Mohamad dipecat dari keanggotaan
PKM dan dikenakan tahanan rumah selama
dua tahun. Pemerintahan China
membenarkan Shamsiah harus menetap di
China sebagai bekas pejuang anti imperialis
atau kader veteran (lao kan). Namun rumah
kediaman mereka dikawal oleh barisan
PKM, dan mereka tidak dibenarkan pergi
ke tempat tinggal orang-orang Parti
Komunis Malaya, dan tempat-tempat
tertentu lainnya.
Pada tahun 1972, Shamsiah Fakeh
juga dipindahkan bersama anggota-anggota
PKM lainya ke Hunan (Fakeh, 2004;
Ismail, 2009; Musa, 2013). Shamsiah
sekeluarga dibawa ke Xiang Tan, sebuah
kota kecil yang terletak lebih kurang 150
kilometer dari Changsa, ibu kota provinsi
Hunan. Shamsiah dan suaminya
dipekerjakan sebagai buruh kader di sebuah
pabrik ball-bearing. Shamsiah sebagai
kader tingkat 21 dan Ibrahim Mohamad
sebagai kader tingkat 19. Mereka bekerja
memasang ball-bearing selama lapan jam
sehari. Shamsiah dibayar gaji sebanyak 59
Yuan sedangkan Ibrahim mendapat 72
Yuan sebulan. Sebagai tambahan, pabrik
memberi bantuan elaun untuk tiga orang
anaknya sebanyak 30 Yuan setiap orang.
Sehingga mereka mendapat 221 Yuan (Ab
Rahim, 2012).
Setelah hampir lebih 30 tahun, rasa
ingin kembali ke tanah air sudah tidak
terbendung, Dalam usia yang semakin
meningkat, Shamsiah Fakeh berharap bisa
berkumpul dengan keluarga dan saudara-
saudaranya dan juga ingin meninggal di
tanah air sendiri. Apalagi sejak dipecat pada
tahun 1968, mereka juga sudah tidak
anggota Partai Komunis lagi. Sedangkan
Negara China juga sejak awal telah
mengatakan tidak menghalangi seandainya
Shamsiah Fakeh dan keluarga ingin pulang
ke Malaysia. Oleh karena itu sejak tahun
1985, Shamsiah dan suaminya telah
membuat permohonan kepada kerajaan
Malaysia agar dibenarkan pulang ke tanah
air. Berbagai cara telah dilakukan oleh
Shamsiah Fakeh dan suami serta anaknya,
bahkan juga saudaranya di Malaysia dalam
usaha bisa kembali ke tanah air. Usaha
tersebut baru mendapat angin segar ketika
terjadi Perjanjian Damai antara Kerajaan
Malaysia dengan PKM dan Kerajaan
Thailand yang ditanda tangani di Hotel Lee
Gardens, Hadyai, Selatan Thailand pada 2
Disember 1989. Perjanjian tersebut
mengakhiri peperangan yang berterusan
selama hampir 41 tahun dan membenarkan
semua bekas anggota dan tentara PKM
untuk pulang ke tanah air berdasarkan
undang-undang Malaysia (Ab Rahim,
2012).
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu 205
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
Setelah hampir sepuluh tahun
menunggu, maka pada tanggal 5 Maret
1994, melalui Encik Kamaruddin selaku
Kuasa Usaha Kedutaan Malaysia di China,
Shamsiah Fakeh mendapat berita
persetujuan Kerajaan Malaysia
membenarkan beliau dan keluarga kembali
ke Malaysia. Sehubungan dengan itu pada
12 Juli 1994, Shamsiah Fakeh sekeluarga
selamat tiba di Lapangan Terbang Subang
Kuala Lumpur. Mereka disambut oleh
pegawai dan anggota Polisi Cawangan
Khas dan dibawa ke suatu tempat
peranginan yang dirahsiakan. Atas
kebijakan pemimpin Negara Tun Dr.
Mahathir, Shamsiah Fakeh dan Ibrahim
Mohamad tidak ditahan, tetapi hanya
ditempatkan di tempat peranginan pegawai
kerajaan selama sepuluh hari untuk
membiasakan diri dengan iklim di
Malaysia. Pada 22 Juli 1994, Shamsiah dan
keluarganya dijemput oleh adik beliau, Haji
Ramli dan di bawa ke Gombak untuk
bersatu dengan sanak saudara setelah
terpisah selama 46 tahun. Berita kepulangan
Shamsiah Fakeh ke Malaysia juga disiarkan
dalam Utusan Malaysia dan Berita Harian
pada 23 Juli 1994. Beberapa hari setelah
itu, Persatuan Bekas Polisi dan Persatuan
Bekas Tentara telah membuat kenyataan
akhbar meminta agar anggota keluarga dan
masyarakat tidak memusuhi Shamsiah
Fakeh (Fakeh, 2004; Ismail, 2009; Musa,
2013). Sejak kembalinya Shamsiah dan
suaminya, mereka banyak menghabiskan
waktu bersama sanak saudara mereka.
Suaminya Ibrahim Mohamad telah kembali
ke rahmatullah pada tahun 2006 akibat
uzur. Sedangkan Shamsiah Fakeh
menghembuskan nafas terakhir pada jam 9
pagi pada 20 Oktober 2008 di kediaman
anak lelakinya, Jamaluddin Ibrahim di
Kondominium de Tropicana, Jalan Kuchai
Lama, Kuala Lumpur akibat sakit tua.
Jenazah beliau telah selamat dikebumikan
di Tanah Perkuburan Islam Sungai Besi
Kuala Lumpur (Ab Rahim, 2012).
KESIMPULAN
Perjuangan kemerdekaan melawan
penjajah bukanlah satu hal yang mudah, apa
lagi bagi seorang perempuan. Shamsiah
Fakeh adalah seorang pejuang kemerdekaan
tanah air yang gagah berani dan contoh
seorang perempuan yang layak disebut
sebagai Serikandi Melayu. Pencapaian
Shamsiah di bidang politik pantas menjadi
kebanggaan bangsa, negara dan terutama
kaum perempuan. Sumbangan Shamsiah
Fakeh yang paling besar dan sangat
berharga kepada negara dan bangsa Melayu
adalah pengorbanan beliau menentang
penjajah British di Tanah Melayu. Beliau
sanggup menggadai masa mudanya untuk
berjuang demi kemerdekaan negara. Beliau
sanggup dan rela bersusah payah hidup
dalam hutan dari pada menyerah kepada
pihak penjajah. Beliau sanggup dan berani
memanggul senjata demi cinta tanah air.
Berdasarkan latar belakang keluarga
dan lingkungan serta pendidikan formal
Shamsiah Fakeh, tidak ada celah untuk
mengatakan beliau sebagai seorang
komunis. Dengan segala didikan agama
yang diterima Shamsiah Fakeh dari
lingkungan keluarga hingga ke sokolah-
sekolah agama baik di Malaya maupun di
ranah Minang Sumatera Barat, tidak
mungkin begitu mudah Shamsiah Fakeh
tersesat akidah. Beliau seorang perempuan
Melayu yang sederhana, kuat adat dan
agama yang bercita-cita tinggi dan mulia,
berusaha keras memotivasi dan memajukan
perempuan Melayu agar keluar dari budaya
konservetif dan menjadi perempuan yang
berpendidkan dan maju, serta senantiasa
menekankan kepada masyarakat untuk
membebaskan tanah air dari penjajah.
Sebagai perempuan Melayu pertama yang
berani mengangkat senjata menentang
penjajah untuk mendapatkan kemerdekaan
dan sebagai seorang pejuang kebangsaan
sejati, yang sanggup masuk hutan untuk
berjuangan dengan penuh kesulitan dan
segala penderitaan Shamsiah Fakeh tidak
mungkin berniat memperjuangkan ideologi
komunis, tetapi dorongan kondisi yang
memaksa Shamsiah terus tinggal dalam
206Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
hutan dan terpaksa bekerja sama dengan
komunis kerana kecintaan terhadap tanah
air dan bangsa.
Shamsiah Fakeh mempunyai
pegangan agama yang kuat dan tidak
mungkin menganut fahaman komunis.
Beliau menyertai komunis hanya untuk
berjuang menentang penjajah British
semata-mata. Karena pada waktu itu beliau
tidak ada pilihan melainkan bersama-sama
PKM berjuang menentang penjajah, jika
tidak beliau terpaksa menyerah diri kepada
British untuk ditangkap dan dijatuhi
hukuman kerana menyertai parti berhaluan
kiri untuk menentang British. Oleh karena
itu Shamsiah Fakeh terpaksa menyertai
komunis. Penyertaan Shamsiah dalam
komunis hanyalah karena didorong oleh
semangat menentang penjajah British,
bukannya kerana ideologi atau kekuatan
yang dimiliki oleh komunis dan beliau
hanya ingin berjuang dan mengusir
penjajah. Jika dipahami benar-benar betapa
besarnya pengorbanan Shamsiah untuk
negara dan bagaimana keperibadian beliau
dari awal mula berjuang yang benar-benar
didasari atas dasar kepedulian terhadap
bangsa dan negara, maka dapat dikatakan
bahwa Shamsiah Fakeh bukan komunis
tetapi hanya bergabung dengan PKM untuk
mencapai cita-cita kemerdekaan, seperti
sekarang UMNO bergabung dengan MCA
dan MIC untuk mencapai kesejahteraan
rakyat Malaysia. Oleh karena itu sidiran
sebagai komunis terhadap Shamsiah Fakeh
yang membuat namanya tidak begitu
bersinar dalam sejarah Melayu sebagai
seorang pejuang bangsa dan negara perlu
dipahami dari berbagai perspektif.
Referensi
Ab Rahim, A. (2012). Shamsiah Fakeh
(1924-2008): Kajian terhadap
perjuangan wanita Islam di Tanah
Melayu/Aisyah binti Ab Rahim (PhD
Thesis). University of Malaya.
Abdullah, R. (2007). A study of Islamic
family law in Malaysia: A select
bibliography. Int’l J. Legal Info., 35,
514.
Adam, R. (1994). Ahmad Boestamam, satu
biografi politik. Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementerian Pendidikan,
Malaysia.
Baharuddin, S. A., & Sukimi, M. F. (2007).
Bandar sebagai Cermin Identiti
Bangsa: Perbandingan Awal antara
Jakarta dan Kuala Lumpur (City as a
Reflection of National Identities:
Early Comparison between Jakarta
and Kuala Lumpur). Akademika,
70(1).
Boserup, E. (2007). Woman’s role in
economic development. Earthscan.
Bungo, N., & Hussin, N. (2017). Merantau
ke Kuala Lumpur: Tradisi merantau
dan berdagang masyarakat Minang
(Migration to Kuala Lumpur: The
Minangkabau cultural tradition of
out-migrating and trading).
Geografia-Malaysian Journal of
Society and Space, 7(5).
Colonial Office Siri 717/47, Frank
Swettenham kpd.C.O., 18
Septemberr 1925, lampiran: Ruler of
N.S. kpd.L.S.Amery, 3 August
1925.
Daya, B., & Islam, G. P. P. (1990). Kasus
Sumatera Thawalib. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
District Office Ulu Selangor 11 April 1911,
Application by Haji Abbas bin Haji
Abdul Samad for Mining Rights
Over 7 Acres of Land in Pertak.
Fakeh, S. (2004). Memoir Shamsiah Fakeh:
dari AWAS ke rejimen ke-10.
Penerbit Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Fatini Yaacob. (1991). Dewan Masyarakat,
Mac 1991.
Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu 207
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
Firdaus Abdullah. (2008). Artikel Dewan
Bahasa dan Pustaka. Malaysia.
Foo, B., & Richards, C. (2004). English in
Malaysia. RELC Journal, 35(2),
229240.
Garraghan, G. J. (1946). A Guide to
Historical Method: Garraghan.
Fordham University Press.
Gilbert, J. (1953). A Guide to Historical
Method. Nursing Research, 2(1), 44.
Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah.
terjemahan Nugroho Notosusanto.
UI-Press, Jakarta.
Gullick, J. M. (2000). A History of Kuala
Lumpur, 1857-1939. Malaysian
Branch of the Royal Asiatic Society.
Gullick, J.M. (1998). Kuala Lumpur, 1880-
1895. Kuala Lumpur, Pelanduk
Publications (M) Sdn.Bhd.
Hashim, N. R., & Yaacob, N. M. (2011).
Urban landscape changes in
kampung baru, Kuala Lumpur, from
1969 to 2004 as observed on maps.
Journal of Design and Built
Environment, 9(1).
Ismail, A. R. H. (2009). 1948 and the cold
war in malaya: samplings of malay
reactions. Kajian Malaysia: Journal
of Malaysian Studies, 27.
Kassim, Azizah. (1985), Perempuan dan
Masyarakat, Kuala Lumpur : Utusan
Publications & Distributions Sdn.
Bhd.
KA 1993, OB 1929, surat daripada Gab.Pro
Tempore du Quesne ke Betawi, 29
Mac 1728. fol.5.
Koloniaal Archief 1966. fol.10,
Overgekoman Brieven 1728, Daftar
Melaka Ketiga, Ketetapan Majlis
Melaka, 9 Jan.1728, fol.20-1;
Mohd. Sarim b.Haji Mustajab. (1977)
“Syeikh Muhammad Tahir
Jalaluddin al-Falaki, Pelopor
Gerakan Islamiyyah di Tanah
Melayu” Malaysia In History.
Vol.XX. No.2. Desember.
Midawati, M., & Buang, A. (2017). Wanita
Perpatih dan keusahawanan di
Negeri Sembilan: Suatu tinjauan
geografi sejarah (Perpatih women
and entrepreneurship in Negeri
Sembilan: A historical geography
overview). Geografia-Malaysian
Journal of Society and Space, 11(2).
Mohamed, S., & Mohd, L. H. (2000).
Sejarah Kampung Bahru: di sini
awal segalanya bermula. Institut
Alam dan Tamadun Melayu (Atma),
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Musa, M. (2013). Women in the Malayan
Communist Party, 194289. Journal
of Southeast Asian Studies, 44(2),
226249.
Mustajab, M. S. H. (1977). Syeikh
Muhammad Tahir Jalaluddin al-
Falaki: Pelopor Gerakan Islah
Islamiyyah di Tanah Melayu.
Malaysia In History, 20 (2),
December 1977, p. 1-11.
NATIVE 2311/89. (1989). Re Reading of
his „Undang-Undang.‟ Pejabat
Setiausaha Kerajaan Negeri
Selangor.
Nelmawarni. (2011). Perantau
Minangkabaudi Semananjung
Tanah Melayu, Sejarah Pedagang
dan Peneroka 1824-1957.
Nelmawarni. (2013). Persatuan Tarbiyah
Islamiyah dari organisasai sosial
keagamaan ke partai politik. Imam
Bonjol Press.
208Nelmawarni dkk, Shamsiah Fakeh : Perempuan Minang Rantau Pejuang Tanah Melayu
© 2017 by Kafa‟ah All right reserved. This work is licensed under (CC-BY-SA)
Noer, D. (1996). The Modernist muslim
movement in Indonesia 1900-1942”,
terj. Gerakan modern Islam di
Indonesia 1900-1942.
Penang Gazzette, 25 Okt. 1862.
Pertubuhan Tindakan Perempuan Islam,
(2004). Biografi tokoh perempuan
Malaysia. Petaling Jaya Selangor.
Roff, W. R. (1966). The life and times of
Haji Othman Abdullah.
Roff, William, R. (1967). The Origins of
Malay Nationalism, Singapore,
University of Malaya Press.
Samah, A. A. (1960). Emancipation of
Malay women (1945-1957) (PhD
Thesis). University of Malaya,
Singapore.
Secretariat 4304. (1896). Certificate or pass
to enable Haji Muhamed Taib bin
Abdul Samad to visit Sumatera.
Pejabat SetiaUsaha Kerajaan Negeri
Selangor.
Shafer, R. J., & Bennett, D. H. (1974). A
guide to historical method. Dorsey
Press.
Sharif, H. M. (2016). Contesting
perception: The genesis of Islamic
architecture idioms in the Sultanates
Mosques of British Malaya 1874-
1957.
SSuleiman Mohammed, Lokman Haji
Mohd. Zen. (1999). Sejarah
Kampung Baru, Di Sini Awal
Segalanya Bermula, Intitut Alam
dan Tamadun Melayu (ATMA)
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Shamsiah Fakeh (2007), Memoir Shamsiah
Fakeh : Dari AWAS ke Rejimen Ke-
10, Selangor : Strategic Information
and Research Development Centre.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
This paper is a preliminary report of an on-going research on the reactions of the Malays in Malaya to the coming of the Cold War to the region, with particular reference to the importance of the year 1948. For the majority of the Malays, the Cold War was most popularly associated with the Emergency, which British authorities had declared in the effort to quell the armed uprising mounted by the MCP. The vast majority of Malays in Malaya were not interested in the on-going Cold War between the Western bloc led by the United States on the side the Eastern bloc led by the Soviet Union on the other. The preoccupations of the Malays during the immediate post-Pacific War period was nationalism and the concomitant effort to gain independence for Malaya from Britain. In particular, they had been rather anxious that the Malays, who were the native of the land, were not robbed of the custodianship over Malaya and political privileges of the Malays in independent Malaya. Consumed with these issues, the Malays had little interests in external affairs. It was perhaps the lack of Malay support that foredoomed the fate of communism in Malaya.
Article
'Boserup's contribution to our thinking on women's role in development cannot be underestimated. Her keen observations, her use of empirical data and her commitment to greater gender equality are still an inspiration to students, researchers and activists who are interested in a better and more equal world.' From the new Introduction by Nazneen Kanji, Su Fei Tan and Camilla Toulmin 'Women's Role in Economic Development has become a key reference book for anyone - student, scholar, or practitioner - interested in gender and development analyses. This book is important not only because it provided the intellectual underpinning of the Women in Development (WID) analysis, but also because of the lasting influence it had on the development of theoretical, conceptual, and policy thinking in the fields of women, gender, and development. The re-editing of Women's Role in Economic Development, with its new introduction, ensures students, academics, and practitioners continued access to an essential reference for those interested in the women and development literature.' Gender and Development This classic text by Ester Boserup was the first investigation ever undertaken into what happens to women in the process of economic and social growth throughout the developing world, thereby serving as an international benchmark. In the context of the ongoing struggle for women's rights, massive urbanization and international efforts to reduce poverty, this book continues to be a vital text for economists, sociologists, development workers, activists and all those who take an active interest in women's social and economic circumstances and problems throughout the world. A substantial new Introduction by Nazneen Kanji, Su Fei Tan and Camilla Toulmin reflects on Boserup's legacy as a scholar and activist, and the continuing relevance of her work. This highlights the key issue of how the role of women in economic development has or has not changed over the past four decades in developing countries, and covers crucial current topics including: women and inequality, international and national migration, conflict, HIV and AIDS, markets and employment, urbanization, leadership, property rights, global processes, including the Millennium Development Goals, and barriers to change.
Article
This article seeks to lay out the use and importance of English in Malaysia from the time when the British ruled what was then Malaya to the present moment. When the British came to colonize the country, they brought with them their culture, their language and their beliefs. They introduced the English language as the medium of instruction in the primary and secondary schools. After Independence, nationalistic sentiments arose and in 1970, Bahasa Malaysia was introduced as the medium of instruction in the schools. With the advancement in science and technology and the advent of globalization, English regained part of its lost status. It is now taught in the schools both at the primary and secondary school level and it is also used to teach Science and Mathematics. Besides, it is the medium of instruction in the private colleges. Currently, the mastery of the English language is much encouraged at all levels of education—from the primary to the tertiary level. Moreover, English is much needed in the commercial and business sectors and as a result, besides the government-sponsored schools, many private and commercial institutions have mushroomed and English is taught for specific purposes.
Article
Islamic Family Law is one of the most studied fields in Malaysian law. This is because it affects the personal life of Muslims, and because many issues have arisen as a result of the implementation of the Islamic Family Law Enactment which governs Muslims in Malaysia. Scholarship in this area has expanded with the development of the Enactment itself. Several approaches have been used to analyze the implementation of the law inter alia, legal, socio-legal, comparative, and anthropological and sociological perspecitves. It cannot be denied that research and scholarly publications in the field of Islamic Family Law have contributed to further strengthening the administration of justice and the implementation of the law. As such, this paper is intended to describe the trends in the area of Islamic Family Law. Doing so will assist in ascertaining the direction of this field in the future.
Ahmad Boestamam, satu biografi politik. Dewan Bahasa dan Pustaka
  • R Adam
Adam, R. (1994). Ahmad Boestamam, satu biografi politik. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, Malaysia.