Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
14
JURNAL BIOSAINS
(Journal of Biosciences)
http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/biosains
email : jbiosains@unimed.ac.id
KEPADATAN DAN POLA SEBARAN BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI
PERAIRAN PULAU SEMUJUR, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Okto Supratman1, Sudiyar2, Arthur Muhammad Farhaby1
1Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Bangka Belitung, Balunijuk
2Pinguin Diving Club (PDC), Universitas Bangka Belitung, Balunijuk
E-mail korespondensi : oktosupratman@gmail.com
Diterima: 26 Desember 2018; Direvisi: 8 Februari 2019; Disetujui: 5 Maret 2019
ABSTRAK
Bivalvia merupakan salah satu jenis hewan laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Tingginya
nilai ekonomis dapat menyebabkan terjadinya eksploitasi secara berlebihan (overexploitation), kemudian
berdampak pada ancaman hewan tersebut di alam. Kondisi ini sehingga perlu dilakukan penelitian yang
berkaitan dengan kepadatan, keanekaragaman dan pola sebaran bivalvia di Pulau Semujur. Penelitian
dilakukan pada bulan Februari sampai April 2018 di Pulau Semujur, Kepulauan Bangka Belitung.
Pengambilan data di lapangan meliputi, pengambilan sampel bivalvia, pengukuran parameter fisika kimia
perairan dan identifikasi vegetasi lamun. Pengambilan data bivalvia menggunakan kuadrat berukuran 0,5
cm x 0,5 cm. Bivalvia ditemukan di Pulau Semujur sebanyak 8 spesies dari 4 famili. Kepadatan bivalvia di
Pulau Semujur berkisar 8,4 ind/m2 s.d 21.2 ind/m2. Indeks keanekaragaman (H’) bivalvia berkisar 1,54 s.d
2,184 yang dikategorikan keanekaragaman sedang. Indeks keseragaman (E) di berkisar antara 2,55 s.d
3,22, dikategorikan keseragaman tinggi. Selain itu dilihat dari indeks dominansi bivalvia di Pulau Semujur
dikategorikan rendah di karena nilai indeks dominansi <0,5. Pola sebaran bivalvia bervariasi di setiap
spesies ada pola sebaran seragam, acak dan mengelompok. Pola sebaran bivalvia mengelompok terdiri
dari spesies G. tumidum, T. palatum dan T. magnum. Pola sebaran acak yaitu spesies A. antiquata, G. dispar
dan T. virgata, sedangkan pola sebaran seragam yaitu T. spengleri dan B. lacerata
Kata Kunci : Bivalvia, Keanekaragaman, Kepadatan, Pola Sebaran dan Pulau Semujur
DENSITY AND DISTRIBUTION PATTERN OF BIVALVIA IN THE SEAGRASS ECOSYSTEM,
SEMUJUR ISLAND, BANGKA BELITUNG ARCHIPLAGO
ABSTRACT
Bivalves is one of marine species that have high economic value. That has an important role both
in terms of ecological and economic values. The high economic value can cause overexploitation which has
an impact on the existence of these animals in nature habitat. Existing condition to be carried out with
basic research related to the density, diversity and distribution patterns of bivalves on the Semujur island.
The study was conducted from February to April 2018 on Semujur Island, Bangka Belitung Province. Data
collection in this research includes, bivalve sampling, measurements of physical and chemical parameters
of water and identification of seagrass vegetation. Bivalves data collected using squares measuring 0.5 cm
x 0.5 cm. Bivalves was found on Semujur Island with 8 species from 4 families. Bivalve density on Semujur
Island ranges from 8.4 ind/m2 to 21.2 ind/m2. Bivalvia diversity index (H ') ranges from 1.54 to 2.184
which is categorized as moderate diversity. The degree of uniformity (E) ranged from 2.55 to 3.22,
categorized as high uniformity. The results of the study showed that the bivalve dominance index seen on
Semujur Island was categorized as low because the index value of dominance was <0.5., The distribution
pattern bivalves varies in each species with uniform, random and clump. The pattern of distribution of
bivalves consists of species of G. tumidum, T. palatum and T. magnum. The random distribution pattern
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
15
consisted of species A. antiquata, G. dispar and T.virgata, while the distribution patterns were uniform is T.
spengleri and B. lacerata
Keyword : Bivalves, diversity, density, distribution pattern and Semujur Island.
Pendahuluan
Pulau Semujur merupakan salah satu
wilayah kepulauan yang termasuk kedalam
administrasi Kabupaten Bangka Tengah.
Pulau Semujur merupakan pulau yang
berpenghuni sebagian besar masyarakat di
pulau ini berprofesi sebagai nelayan dan
sebagian berprofesi sebagai pembudidaya
ikan. Berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Bangka Tengah Nomor 21 Tahun
2014 Pulau Semujur termasuk kawasan
konservasi perairan, yang dilindungi dan
dikelola untuk mewujudkan pengelolaan
sumber daya ikan dan lingkungan secara
berkelanjutan. Selain itu Hasil penelitian
Suhadi et al (2015) kualitas perairan di Pulau
Semujur masih dikategorikan cocok untuk
kehidupan biota laut dan ekosistem padang
lamun. Kondisi ini Pulau Semujur memiliki
potensi besar sumberdaya pesisir salah
satunya ekosistem lamun.
Ekosistem lamun salah satu ekosistem
laut dangkal yang berfungsi sebagai
perangkap sedimen, produsen primer, daur
bahan organik, tempat asuhan, mencari
makan, tempat berlindung dan tempat
spawning ground berbagai biota laut termasuk
bivalvia (Mellors et al., 2002; Hernawan et al.,
2017; Riniatsih dan Widianingsih, 2007;
Herawati et al, 2017). Bivalvia merupakan
organisme yang termasuk dalam filum
moluska yang umumnya ditemukan dan hidup
di daerah intertidal (Suwignyo, 2005).
Keberadaan bivalvia memiliki peran penting
di perairan pesisir baik ditinjau dari nilai
ekologi dan ekonomi. Secara ekologi bivalvia
merupakan hewan yang hidup sesil atau
menetap sehingga bisa dijadikan indikator
perairan dan organisme filter fider yang dapat
merangkap sedimen, selain itu beberapa
spesies dari bivalvia mampu menyarap logam
berat di perairan (Pan dan Wang, 2011;
Zuykov et al, 2013) . Secara ekonomis bivalvia
dapat dijadikan sumber makanan, bahan
ornamental dan obat-obatan (Santhiya et al,
2013; Tabugo et al, 2013).
Tingginya nilai ekonomi dapat
menyebabkan terjadinya eksploitasi secara
berlebihan (overexploitation). Kegiatan
eksploitasi secara berlebihan akan
mempengaruhi sebaran dan kepadatan
bivalvia, kemudian berdampak pada ancaman
hewan tersebut di alam. Hal ini yang
menyebabkan beberapa jenis bivlavia yang
dikategorikan terancam punah dan dilindungi
seperti genus Hippopus sp dan Tridacna sp
(Arbi, 2016). Kondisi ini perlu dilakukan
pemanfaatan bivalvia yang secara optimal dan
berkelanjutan. Ada beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam pengelolaan bivalvia yang
secara berkelanjutan yaitu pengaturan
penangkapan, pembuatan kawasan
konservasi sebagai upaya perlindungan,
restocking dan pengalihan pemanfaatan di
alam ke arah budidaya (Arbi, 2016; Susiana et
al, 2017; Sagita et al, 2017). Keberhasilan
usaha tersebut perlu diketahui prinsip-prinsip
biologi, ekologi dan habitat dari bivalvia.
Selain itu perlu dilakukan penelitian yang
berkaitan dengan kepadatan,
keanekaragaman dan pola sebaran bivalvia.
Data ini bisa dijadikan penentuan status
perairan dan bivalvia, sehingga dapat
dijadikan pertimbangan dalam pemanfaatan
dan pengelolaan bivalvia di Pulau Semujur.
Bahan dan Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan
Februari sampai April 2018 di Pulau Semujur,
Kepulauan Bangka Belitung. Pengambilan
data dilakukan sebanyak lima stasiun
(Gambar 1). Penentuan lokasi berdasarkan
karakteristik habitat dan sebaran lamun,
sehingga dapat mewakli pengambilan data
bivalvia di Pulau Semujur. Identifikasi Bivalvia
dilakukan di Laboratorium Manajemen
Sumberdaya Perairan, Universitas Bangka
Belitung.
Pengambilan dan analisis data
Pengambilan data di lapangan meliputi,
pengambilan sampel bivalvia, pengukuran
parameter fisika kimia perairan dan
identifikasi jenis lamun. Pengambilan data
dilakukan dengan cara membentangkan
transek garis dari mulai ditemukan lamun ke
arah laut sepanjang 100 meter. Pada setiap
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
16
stasiun dipasang dua transek garis dengan
jarak antar transek yaitu 50 meter, kemudian
di setiap transek dipasang kuadrat yang
berukuran 50 cm x 50 cm dengan jarak antar
kuadrat yaitu 20 meter. Pengambilan data
bivalvia dilakukan di dalam kuadrat 50 x 50
cm. Bivalvia di permukan substrat diambil
secara langsung menggunakan tangan.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Sedangkan di dalam substrat dilakukan
dengan cara menggunakan core sampler,
kemudian dilakukan pengayakan
menggunakan saringan untuk memisahkan
bivalvia dengan substrat (Irma dan
Sofyatuddin, 2012). Sampel bivalvia yang
ditemukan dimasukan ke dalam plastik
sampel dan diawetkan untuk di identifikasi di
Laboratorium. Adapaun identifikasi bivalvia
berdasarkan panduan dari Dharma, (1998);
Pouters, (1998). Pengukuran parameter
lingkungan meliputi identifikasi jenis lamun,
suhu, salinitas, pH, DO, kecepatan arus dan
kecerahan. Parameter lingkungan diukur
secara langsung di lapangan.
Hasil pengambilan data di lapangan
kemudian dianalisis sebagai berikut 1)
Kepadatan spesies, 2) Indeks
keanekaragaman, 3) Indeks keseragaman, 4)
Indeks dominansi dan 5) Pola sebaran.
Kepadatan bivalvia ditentukan berdasarkan
data jumlah individu yang ditemukan di setiap
kuadrat, kemudian dihitung menggunakan
rumus Brower et al (1998). Keanekaragaman
spesies ditentuan menggunakan rumus indeks
diversitas Shanon (Odum, 1971; Brower et al,
1998). Kemudian hasil perhitungan indeks
keanekaragaman dikategorikan yaitu rendah
(H’<1), sedang (H’1≤H’≤3) dan tinggi (H’≥3).
Indeks keseragaman dihitung menggunakan
rumus indeks keseragaman (Odum, 1971;
Brower et al, 1998). Kategori indeks
keseragaman (E) yaitu keseragaman rendah
(E<0,4), keseragaman sedang (0,4<E≤0,6) dan
keseragaman tinggi (E>0,6). Indeks dominansi
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
dominansi dari spesies tertentu. Indeks
dominansi dihitung menggunakan rumus
Odum, (1971). Kategori indeks dominansi (C)
yaitu dominansi rendah (0<C≤ 0,5), dominansi
sedang (0<C≤0,75) dan dominansi tinggi
(0,75<C≤1). Pola sebaran bivalvia ditentukan
dengan menggunakan persamaan indeks
sebaran Morisita (Krebs, 1998). Menguji
kebenaran Indeks sebaran morisita (Id)
dilakukan uji lanjutan menggunakan analisis
statistik khi-kuadrat dengan selang
kepercayaan 95% (Akhrianti et al, 2014).
Hasil dan Pembahasan
Komposisi dan Kepadatan Bivalvia
Jumlah bivalvia yang ditemukan di
Pulau Semujur yaitu 8 spesies dari 4 famili.
Adapun family bivalvia yang ditemukan yaitu
famili Tellinidae (3 spesies), famili Arcidae (2
spesies), famili Veneridae (2 spesies) dan
famili Carcidae (1 spesies). Komposisi bivalvia
yang ditemukan di semua stasiun yaitu A.
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
17
antiquata dan G. tumidum. Hasil penelitian
menunjukkan kepadatan bivalvia tertinggi
ditemukan di stasiun 5 (21 ind/m2),
sedangkan paling rendah di stasiun 3 (8,4
ind/m2). Spesies bivalvia kepadatan yang
paling tinggi yaitu A. antiquata dengan
kepadatan rata-rata 6,32 ind/m2, selain itu
spesies ini ditemukan di semua lokasi
penelitian. Komposisi spesies dan kepadatan
bivalvia di Pulau Semujur terdapat di Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi dan kepadatan spesies bivalvia di Pulau Semujur
Famili
Spesies
Kepadatan (Ind/m2)
ST 1
ST 2
ST 3
ST 4
ST 5
Arcidae
Anadara antiquata
5,20
6,8
4,4
4
11,2
Barbatia lacerata
0
0,8
0
0
0
Veneridae
Gafrarium tumidum
2,8
4,4
2
2,4
3,6
Gafrarium dispar
0,4
0
1,2
0
1,2
Tellinidae
Tellinella palatum
0
2,8
0
0
2,4
Tellinella spengleri
0
0
0,4
0
0
Tellinella virgata
1,2
0
0
0
1,2
Carcidae
Trachycardium magnum
3,6
0
0,4
4,4
1,6
Kepadatan (ind/m2)
13,20
14,8
8,4
10,8
21,2
Kepadatan bivalvia di Pulau Semujur
bervariasi di setiap stasiun pengamatan.
Kepadatan bivalvia paling tinggi ditemukan di
stasiun 5 dengan kepadatan rata-rata yaitu
21,2 ind/m2. Tingginya kepadatan bivalvia
pada lokasi tersebut diduga kondisi
lingkungan yang cocok untuk kehidupan
bivalvia baik faktor fisika kimia dan biologi.
Meskipun kondisi parameter lingkungan di
setiap stasiun tidak ada perbedaan yang
signifikan dan masih dikategorikan cocok
untuk kehidupan biota laut berdasarkan
kementerian lingkungan hidup nomor 51
tahun 2004. Akan tetapi pada stasiun 5
memiliki nilai DO paling tinggi dibandingkan
dengan stasiun lainnya (Tabel 3). Menurut
Pancawati et al (2014) oksigen merupakan
salah satu gas yang terlarut dalam air dan
merupakan faktor pembatas bagi biota
perairan.
Kepadatan bivalvia di Pulau Semujur
lebih rendah apabila dibandingkan dengan
Simpang Pesak Pulau Belitung, dengan
kepadatan mencapai 97,27 ind/m2 (Akhrianti
et al, 2014). Hal ini Rendahnya kepadatan
bivalvia di Pulau Semujur diduga disebabkan
oleh kondisi habitat yang tidak terlalu
beragam, dengan tipe habitat berpasir yang di
tumbuhi lamun. Sedangkan penelitian
Akhrianti et al (2014) kondisi habitat di
simpang pesak lebih bervariasi dengan
kondisi habitat muara sungai, mangrove dan
ekosistem padang lamun, sehingga kepadatan
dan jumlah spesies yang ditemukan lebih
tinggi. Selain itu morfologi bivalvia yang
ditemukan di Pulau Semujur berukuran relatif
besar dan bernilai ekonomis tinggi. Besarnya
ukuran bivalvia akan menyebabkan
rendahnya jumlah individu yang tinggal di
suatu ruang sehingga dapat mempengaruhi
rendahnya nilai kepadatan bivalvia. Bivalvia
yang ditemukan di Pulau Semujur memiliki
nilai ekonomis penting, seperti genus
Anadara, Barbatia, Gafrarium, dan Tellinella
(Tabugo et al, 2013; Soeharmoko, 2010).
Tingginya nilai ekonomis akan menyebabkan
terjadinya eksploitasi. Eksploitasi bivalvia
akan mempengaruhi rendahnya kepadatan,
terutama Pulau Semujur merupakan pulau
yang berpenghuni sehingga bivalvia mudah
untuk di eksploitasi.
Bivalvia yang paling banyak
ditemukan di Pulau Semujur yaitu spesies A.
antiquata, dengan kepadatan rata-rata 6,32
ind/m2, sedangkan yang terendah yaitu
spesies T. spengleri dengan kepadatan rata-
rata 0,4 ind/m2. Selain itu spesies A. antiquata
ditemukan di semua lokasi penelitian dengan
frekuensi kehadiran 100%. Menurut Nurdin et
al, (2006) ada dua faktor utama yang
menentukan keberadaan A. antiquata yaitu
faktor luar dan faktor dalam, faktor luar yaitu
kondisi lingkungan yang cocok untuk
kehidupan spesies ini. Kerang dari genus
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
18
Anadara dapat hidup di habitat berpasir
berlumpur dan ditumbuhi lamun (Nurdin et
al, 2006; Riniatsih dan Widianingsih, 2007;
Dayanti et al, 2017; ). Hal ini sesuai dengan
habitat di Pulau Semujur yaitu pantai pasir
berlumpur dan ditumbuhi lamun. Lamun yang
ditemukan di Pulau Semujur sebanyak 6 jenis
yaitu C. rotundata, C. serrulata, E. acoroides, H.
uninervis, T. hemprichii, S. isotifolium (Tabel
4).
Keanekaragaman, Keseragaman dan
Dominansi
Keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi spesies mengambarkan kondisi
komunitas bivalvia di Pulau Semujur. Indeks
keanekaragaman (H’) bivalvia di Pulau
Semujur berkisar 1,54 s.d 2,184.
Keanekaragaman tertinggi di stasiun 1 (H’ =
2,185), sedangkan keanekaragaman terendah
di stasiun 4 (H’=1,54). Hasil ini menunjukkan
keanekaragaman bivalvia di Pulau Semujur
dikategorikan sedang (Odum, 1971). Indeks
keseragaman (E) di Pulau Semujur dengan
nilai kisaran antara 2,55 s.d 3,22,
dikategorikan keseragaman tinggi. Selain itu
dilihat dari indeks dominansi bivalvia di Pulau
Semujur dikategorikan rendah, karena nilai
indeks dominansi <0,5. Hal ini menujukan
komunitas bivalvia di Pulau Semujur dalam
kondisi yang stabil. Nilai indeks
keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi di Pulau Semujur terdapat pada
Gambar 2.
Hasil indeks keanekaragaman dari lima
stasiun pengamatan dikategorikan
keanekaragaman sedang. Nilai indeks
keanekaragaman sedang menunjukkan bahwa
kondisi perairan dengan produktivitas
perairan cukup tinggi, kondisi ekosistem
seimbang, tekanan ekologi sedang dan masih
tersedianya sumber makanan untuk bivalvia
(Fitriana 2006; Susetya et al, 2018). Hasil ini
menunjukkan perairan Pulau Semujur masih
berada dalam kondisi stabil untuk kehidupan
bivalvia. Faktor yang mempengaruhi indeks
keanekaragaman makrozobentos termasuk
bivalvia yaitu aktivitas manusia seperti
pemukiman, penangkapan, ketersediaan
sumber makanan, dan kompetisi antar
maupun intraspesies (Rachmawaty, 2011;
Susetya et al, 2018; Sahidin et al, 2018).
Faktor yang menyebabkan indeks
keanekaragaman sedang di Pulau Semujur
diduga dipengaruhi oleh aktivitas manusia,
hal ini dikarenakan Pulau Semujur termasuk
pulau-pulau kecil yang berpenghuni. Faktor
aktivitas manusia dapat menyebabkan
menurunnya keanekaragaman seperti
kegiatan eksploitasi bivalvia dan pencemaran
limbah rumah tangga, sehingga terjadinya
degradasi lingkungan (Susetya et al, 2018).
Indeks keseragaman (E) komunitas
bivalvia di Pulau Semujur dikategorikan
keseragaman tinggi. Indeks keseragaman
tinggi menunjukkan bahwa jumlah individu
setiap spesies adalah merata atau tidak ada
jenis tertentu dominan ditemukan pada satu
kawasan area pengamatan (Herawati et al,
2017; Pranoto, 2017). Menurut Kharisma et
al., (2012) Indeks keseragaman
menggambarkan keseimbangan ekologis pada
suatu komunitas, dimana semakin tinggi nilai
keseragaman maka kualitas lingkungan
semakin baik dan cocok dengan kehidupan
bivalvia. Kondisi ini menunjukkan kualitas
lingkungan di Pulau Semujur masih cocok
untuk kehidupan bivalvia, sehingga potensial
untuk dikembangkan untuk kegiatan
perlindungan maupun budidaya bivalvia.
Menurut Pranoto et al, (2017) Indeks
keseragaman berhubungan erat dan saling
mempengaruhi dengan indeks dominansi,
Apabila indeks keseragaman jenis tinggi maka
indeks dominansi semakin rendah, demikian
sebaliknya. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian dengan indeks dominansi
dikategorikan rendah dengan nilai berkisar
0,256 s.d 0,356. Rendahnya nilai dominansi
maka tidak ada spesies yang dominan di Pulau
Semujur.
Pola Sebaran
Pola sebaran bivalvia di Pulau Semujur
bervariasi di setiap spesies yaitu pola sebaran
seragam, acak dan mengelompok. Pola
sebaran mengelompok terdiri dari spesies G.
tumidum, T. palatum dan T. magnum. Bivalvia
pola sebaran acak terdiri dari spesies A.
antiquata, G. dispar dan T. virgata, sedangkan
pola sebaran seragam yaitu T. spengleri dan B.
lacerata (Tabel 2).
Pola sebaran mengelompok, acak dan
seragam dikarenakan adanya intraksi antar
individu dan kondisi lingkungan (Moles,
2010). Faktor lingkungan dapat membatasi
sebaran spesies seperti faktor suhu, arus, pH,
salinitas dan sumber makanan (Moles, 2010;
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
19
Stiling, 1999). Selain itu setiap spesies
mempunyai kondisi fisiologi, anatomi dan
perilaku untuk beradaptasi terhadap kondisi
lingkungan, sehingga akan mempengaruhi
pola sebaran spesies tersebut (Moles, 2010).
Spesies G. tumidum, T. palatum dan T.
magnum membentuk pola sebaran
mengelompok, Hal ini terjadinya dikarenakan
ada daya tarik menarik antara individu
dengan individu atau individu dengan
lingkungan (Moles, 2010).
Gambar 2. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Bivalvia
Tabel 2. Pola sebaran bivalvia di Pulau Semujur
No
Spesies
Id
X (0,05)
X2Hitung
Pola Sebaran
1
Anadara antiquata
1,0
66.33
54,54
Acak
2
Barbatia lacerata
0,0
66.33
48,00
Seragam
3
Gafrarium dispar
2,3
66.33
57,29
Acak
4
Gafrarium tumidum
1,7
66.33
75,16
Mengelompok
5
Tellinella palatum
3,8
66.33
88,33
Mengelompok
6
Tellinella spengleri
0,0
66.33
49,00
Seragam
7
Tellinella virgata
3,3
66.33
60,67
Acak
8
Trachycardium magnum
2,6
66.33
89,00
Mengelompok
Penyebab pola sebaran mengelompok dapat
dipengaruhi oleh pengelompokan
sumberdaya, perilaku kawin dan tempat
berlindung untuk mencegah dari serangan
predator (Moles, 2010; Supratman dan
Syamsudin, 2018). Hasil penelitian Supratman
dan Syamsudin, (2018) pola sebaran
mengelompok disebabkan oleh kondisi
habitat yang cocok sebagai tempat berlindung
dan mencari makan, selain itu adanya
interaksi individu jantan dan betina untuk
melakukan proses reproduksi. Menurut
Riniatsih dan Widianingsih, (2007); Akhrianti
et al, (2014) spesies G. tumidum ditemukan
pola sebaran mengelompok dikarenakan
spesies tersebut berkumpul di suatu area
dengan kepadatan yang tinggi.
Pola sebaran acak terdiri dari tiga
spesies yaitu A. antiquata, G. dispar dan T.
virgata. Pola sebaran acak di setiap individu
tidak bergantung pada individu lain dan
memiliki kesempatan yang sama menempati
suatu area (Moles, 2010). Penyebaran
individu secara acak disebabkan oleh kondisi
habitat dalam keadaan seragam dan tidak
adanya pemusatan sumberdaya, sehingga
tidak ada kecendrungan bivalvia untuk hidup
bersama-sama. Spesies T. spengleri dan B.
lacerata dengan pola sebaran seragam. Pola
sebaran seragam yaitu memiliki jarak hampir
sama di setiap individu dalam populasi di
suatu area. Penyebab terjadinya pola sebaran
seragam adanya interaksi antagonistik antara
individu karena persaingan untuk merebut
sumberdaya (Moles, 2010).
Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan dapat ditinjau
dari parameter fisika, kimia dan biologi. Hasil
pengukuran parameter fisika kimia perairan
di Pulau Semujur yaitu salinitas berkisar
antara 29 s.d 30 ppt, suhu 29 s.d 32 °C, pH 7
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
20
s.d 8, kecepatan arus 0,014 s.d 0,04 m/s, D0
7,4 s.d 8,1 mg/l dan kecerahan 100% (Tabel
3). Hasil penelitian ini kondisi parameter
fisika kimia perairan di Pulau Semujur masih
dikategorikan optimum untuk kehidupan
bivalvia (Riniatsih dan Widianingsih,2007;
Kementerian Lingkungan Hidup No 51 tahun
2004). Parameter fisika kimia perairan akan
membentuk karakteristik habitat bivalvia,
sehingga bivalvia dapat tumbuh, berkembang
dan berkembang biak (Pancawati et al, 2014).
Tabel 3.Parameter lingkungan perairan di Pulau Semujur
Parameter
Satuan
Stasiun Pengamatan
rata-rata
(n=5)
1
2
3
4
5
Salinitas
ppt
29
29
29
30
30
29,5±0.55
Suhu
°C
32
29
29
30
30
30± 1,22
pH
-
7
7
7
8
8
7,4±0,55
Kecepatan arus
m/s
0,04
0,03
0,027
0,014
0,014
0,03±0,01
Oksigen terlarut (DO)
mg/l
7,4
7.4
7,6
7,4
8,1
6,1±0,30
Kecerahan
%
100
100
100
100
100
100±0,00
Tabel 4. Komposisi Jenis Lamun yang ditemukan di setiap stasiun
Jenis Lamun
Stasiun
1
2
3
4
5
Cymondocea rotundata
+
+
-
+
+
Cymondocea serrulata
+
+
+
-
+
Enhalus acoroides
+
+
+
+
+
Halodule uninervis
+
+
-
-
+
Thalassia hemprichii
+
+
+
+
-
Syrongadium isotifolium
-
+
-
-
_
Keterangan :
+ : ditemukan
- : tidak ditemukan
Parameter biologi pada penelitian ini
yaitu vegetasi lamun. Hasil penelitian lamun
di Pulau Semujur ditemukan sebanyak 6
spesies dengan komposisi jenis tertinggi yaitu
E. acoroides ditemukan merata di semua
stasiun.
Tingginya komposisi jenis spesies E.
acoroides dikarenakan spesies tersebut
mampu tumbuh dan beradaptasi di beberapa
tipe habitat. Ekosistem padang lamun
memiliki peran sebagai perangkap sedimen,
produsen primer, daur bahan organik, tempat
asuhan, mencari makan, tempat berlindung
dan tempat spawning ground beberapa biota
laut termasuk bivalvia (Mellors et al., 2002;
Hernawan et al., 2017; Riniatsih dan
Widianingsih, 2007; Herawati et al, 2017).
Kesimpulan
Bivalvia ditemukan di Pulau Semujur
sebanyak 8 spesies dari 4 famili. Bivalvia yang
ditemukan famili Tellinidae (3 spesies),
Arcidae (2 spesies), Famili Veneridae (2
spesies) dan famili Carcidae(1 spesies).
Kepadatan bivalvia di Pulau Semujur berkisar
8,4 ind/m2 s.d 21.2 ind/m2. Indeks
keanekaragaman (H’) bivalvia di Pulau
Semujur berkisar 1,54 s.d 2,184. Hasil ini
menujukan keanekaragaman bivalvia di Pulau
Semujur dikategorikan sedang. Indeks
keseragaman (E) di Pulau Semujur dengan
nilai kisaran antara 2,55 s.d 3,22,
dikategorikan keseragaman tinggi. Selain itu
dilihat dari indeks dominansi bivalvia di Pulau
Semujur dikategorikan rendah, karena nilai
Indeks dominansi <0,5. Pola sebaran bivalvia
di Pulau Semujur bervariasi di setiap spesies
yaitu pola sebaran, seragam, acak dan
mengelompok. Pola sebaran mengelompok
terdiri dari spesies G. tumidum, T. palatum
dan T. magnum. Bivalvia pola sebaran acak
terdiri dari spesies A. antiquata, G. dispar dan
T. virgata. sedangkan pola sebaran seragam
yaitu T. spengleri dan B. lacerata
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
21
Ucapan Terimakasih
Penulis ucapkan terimakasih kepada
pengelola Laboratorium Manajemen
Sumberdaya Perairan, Universitas Bangka
Belitung, yang telah memfasilitasi tempat dan
meminjamkan peralatan untuk pengambilan
data, sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Daftar Pustaka
Akhrianti, I., Bengen, D. G., dan Setyobudiandi,
I. 2014. Distribusi spasial dan preferensi
habitat bivalvia di pesisir perairan
kecamatan Simpang Pesak kabupaten
Belitung Timur. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis 6(1), 171-
185.
Arbi, U.Y. 2016. Populasi dan Sebaran Jenis
Moluska Dilindungi di Perairan Selat
Lembeh, Kota Bitung, Sulawesi
Utara. Journal of Tropical Biodiversity
and Biotechnology 1(1), 31-37.
Brower., Zar, J.H., and Von Ende, C.N. 1998.
Field and Laboratory Methodes for
General Ecology. 4rd ed. McGraw-Hill.
United States of America.
Dayanti, F.,Bahtiar and E. Ishak. 2017.
Kepadatan dan distribusi Kerang Bulu
(Anadara antiquata L, 1758) di perairan
Wangi-wangi Selatan Desa Numana
Kabupaten Wakatobi. Jurnal Manajemen
Sumber Daya Perairan 2(2),113-122.
Dharma , B . 1988. Indonesian Shells . Sarana
Graha, Jakarta
Fitriana Y.R. 2006. Keanekaragaman dan
kemelimpahan makrozoobentos di
hutan mangrove hasil rehabilitasi
Taman Hutan Raya Ngurah Rai
Bali. Biodiversitas 7(1), 67-72.
Herawati P., Barus, T.A. dan Wahyuningsih H.
2017. Keanekaragaman
Makrozoobentos dan Hubungannya
dengan Penutupan Padang Lamun
(Seagrass) di Perairan Mandailing Natal
Sumatera Utara. Jurnal Biosains 3(2),
66-72.
Hernawan U.E., Sjafrie,N.D.M., SupriyadiI.H.,
Suyarso, Marindah M.Y., Anggraini K.,
dan Rahmat. 2017. Status padang lamun
Indonesia 2017. Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI, Jakarta.
Irma D., and Sofyatuddin K. 2012. Diversity of
Gastropods and Bivalves in
mangroveecosystem rehabilitation
areas in Aceh Besar and Banda Aceh
districts, Indonesia. AACL Bioflux 5(2),
55-59.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut.
Kharisma D., Adhi C dan Azizah R. 2012.
Kajian ekologis bivalvia di perairan
Semarang bagian Timur pada bulan
Maret-April 2012. J. of Marine Science
1(2), 216-225.
Krebs C.J. 1998. Ecological Methodelogy. 2rd
ed. Addison-Welsey Education
Publishers, California.
Mellors J., H. Marsh T.J.B. Carruthers and
Waycott M. 2002. Testing the sediment-
trapping paradigm of seagrass: do
seagrasses influence nutrient status and
sediment structure in tropical intertidal
environments?. Bulletin of Marine
Science 71(3), 1215-1226.
Molles M.C. 2010. Ecology : Concept and
Aplication. 5rd ed, McGraw-Hill, New
York.
Nurdin J., Marusin N., Asmara A., Deswandi R
dan Marzuki J. 2010. Kepadatan
Populasi Dan Pertumbuhan Kerang
Darah Anadara antiquata L.(bivalvia:
Arcidae) di Teluk Sungai Pisang, Kota
Padang, Sumatera Barat. Makara Journal
of Science 10(2), 96-101.
Odum. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd ed.
Sounders College Publishing.
Philadelphia.
Pan K., and Wang W.X. 2011. Mercury
accumulation in marine bivalves:
influences of biodynamics and feeding
niche. Environmental pollution 159(10),
2500-2506.
Pancawati D.N., Suprapto D., dan Purnomo
P.W. 2014. Karakteristik Fisika Kimia
Perairan Habitat Bivalvia Di Sungai
Wiso Jepara. Management of Aquatic
Resources Journal, 3(4), 141-146.
Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Tengah
Nomor 21 Tahun 2014 Tentang
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Bangka
Tengah Tahun 2014-2034
Poutiers J.M. 1998. Gastropods In : The Living
Marine Resources of the Western Central
Pacific. FAO, Rome.
Pranoto H. 2017. Studi Kelimpahan dan
Keanekaragaman Makrozoobentos di
Perairan Bedagai, Kecamatan Tanjung
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
22
Beringin Kabupaten Serdang
Bedagai. Jurnal Biosains 3(3), 125-130.
Rachmawaty. 2011. Indeks Keanekaragaman
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator
Tingkat Pencemaran di Muara Sungai
Jeneberang. Jurnal Bionature 12(2), 103
–109.
Rinitasih I dan Widianingsih W. 2010.
Kelimpahan dan Pola Sebaran Kerang-
kerangan (Bivalve) di Ekosistem Padang
Lamun, Perairan Jepara. Jurnal Ilmu
Kelautan, 12(1), 53-58.
Sagita A., Kurnia R. dan Sulistiono, S. 2017.
Budidaya Kerang Hijau (Perna Viridis L.)
dengan Metode dan Kepadatan Berbeda
di Perairan Pesisir Kuala Langsa,
Aceh. Jurnal Riset Akuakultur 12(1), 57-
68.
Sahidin A., Zahidah, Herawati H., Wardiatno Y.,
Setyobudiandi I. and Partasasmita R.
2018. Macrozoobenthos as bioindicator
of ecological status in Tanjung Pasir
Coastal, Tangerang District, Banten
Province, Indonesia. Biodiversitas 19(3),
1123-1129.
Santhiya N., Sanjeevi S.B., Gayathri M. And
Dhanalakshmi M. 2013. Economic
importance of marine molluscs. Res.
Environ. Life Sci 6(4), 129-132.
Soeharmoko. 2010. Inventarisasi jenis
kekerangan yang dikonsumsi
Masyarakat di kepulauan Riau. Jurnal
Dinamika 2(1), 45-52
Stiling, P. 1999. Ecology : Theories and
Application. 3rd ed, Prentice Hall, New
Jersey.
Soehadi I., Sulistiono dan Widigdo B. 2015.
Kondisi perairan keramba jaring apung
ikan kerapu di perairan Pulau Semujur
Kabupaten Bangka Tengah. Prosiding
Seminar Nasional Ikan ke 8. Bogor.
Rahardjo, Zahid A., Renny K. Hadiaty
R.K., Manangkalangi E, Hadie W,
Haryono dan Supriyono E (Penyuting).
Masyarakat Ikhtiologi Indonesia.
Supratman O. Dan Syamsudin T.S. 2018.
Karakteristik Habitat Siput Gonggong
(Strombus turturella) di Ekosistem
Padang Lamun. Jurnal Kelautan Tropis
21(2), 81-90.
Susetya I.E., Desrita D., Ginting E.D.D., Fauzan
M., Yusni E. and Saridu S.A. 2018.
Diversity of bivalves in Tanjung Balai
Asahan Waters, North Sumatra,
Indonesia. Biodiversitas 19(3), 1147-
1153.
Susiana, Niartiningsih A., Amran M.A. dan
Rochmady. 2017. Kesesuaian Lokasi
untuk Restoking Kima Tridacnidae di
Kepulauan Spermonde. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 9(2), 475-
490.
Suwignyo S., Widigdo B., Wardiatno Y.,
Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 1.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Tabugo S.R.M., Pattuinan J.O., Sespene N.J.J.
and Jamasali A.J. 2013. Some
economically important bivalves and
gastropods found in the Island of Hadji
Panglima Tahil, in the province of Sulu,
Philippines. International Research
Journal of Biological Sciences, 2(7), 30-
36.
Zuykov M., Pelletier E., and Harper D. A. 2013.
Bivalve mollusks in metal pollution
studies: from bioaccumulation to
biomonitoring. Chemosphere, 93(2),
201-208.