ArticlePDF Available

KEPADATAN DAN POLA SEBARAN BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PERAIRAN PULAU SEMUJUR, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Authors:

Abstract

Bivalvia merupakan memiliki peran penting baik ditinjau dari nilai ekologi dan ekonomi. Tingginya nilai ekonomi dapat menyebabkan terjadinya eksploitasi secara berlebihan (overexploitation), kemudian berdampak pada ancaman hewan tersebut di alam. Kondisi ini sehingga perlu dilakukan penelitian dasar yang berkaitan dengan kepadatan, keanekaragaman dan pola sebaran bivalvia di Pulau semujur. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2018 di Pulau Semujur, Kepulauan Bangka Belitung. Pengambilan data di lapangan meliputi, pengambilan sampel bivalvia, pengukuran parameter fisika kimia perairan dan identifikasi vegetasi lamun. Pengambilan data bivalvia menggunakan kuadrat berukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Bivalvia ditemukan di Pulau Semujur sebanyak 8 spesies dari 4 famili. Kepadatan bivalvia di Pulau semujur berkisar 8,4 ind/m2 s.d 21.2 ind/m2. Indeks keanekaragaman (H’) bivalvia berkisar 1,54 s.d 2,184 yang dikategorikan keanekaragaman sedang. Indeks keseragaman (E) di berkisar antara 2,55 s.d 3,22, dikategorikan keseragaman tinggi. Selain itu dilihat dari indeks dominansi bivalvia di Pulau semujur dikategorikan rendah, karena nilai indek dominansi <0,5. Pola sebaran bivalvia bervariasi disetiap spesies ada pola sebaran seragam, acak dan mengelompok. Pola sebaran bivalvia menglompok terdiri dari spesies G. tumidum, T. palatum dan T. magnum. Pola sebaran acak terdiri dari spesies A. antiquata, G. dispar dan T.vigrata, sedangkan pola sebaran seragam yaitu T. spengleri dan B. lacerata
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
14
JURNAL BIOSAINS
(Journal of Biosciences)
http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/biosains
email : jbiosains@unimed.ac.id
KEPADATAN DAN POLA SEBARAN BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI
PERAIRAN PULAU SEMUJUR, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Okto Supratman1, Sudiyar2, Arthur Muhammad Farhaby1
1Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Bangka Belitung, Balunijuk
2Pinguin Diving Club (PDC), Universitas Bangka Belitung, Balunijuk
E-mail korespondensi : oktosupratman@gmail.com
Diterima: 26 Desember 2018; Direvisi: 8 Februari 2019; Disetujui: 5 Maret 2019
ABSTRAK
Bivalvia merupakan salah satu jenis hewan laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Tingginya
nilai ekonomis dapat menyebabkan terjadinya eksploitasi secara berlebihan (overexploitation), kemudian
berdampak pada ancaman hewan tersebut di alam. Kondisi ini sehingga perlu dilakukan penelitian yang
berkaitan dengan kepadatan, keanekaragaman dan pola sebaran bivalvia di Pulau Semujur. Penelitian
dilakukan pada bulan Februari sampai April 2018 di Pulau Semujur, Kepulauan Bangka Belitung.
Pengambilan data di lapangan meliputi, pengambilan sampel bivalvia, pengukuran parameter fisika kimia
perairan dan identifikasi vegetasi lamun. Pengambilan data bivalvia menggunakan kuadrat berukuran 0,5
cm x 0,5 cm. Bivalvia ditemukan di Pulau Semujur sebanyak 8 spesies dari 4 famili. Kepadatan bivalvia di
Pulau Semujur berkisar 8,4 ind/m2 s.d 21.2 ind/m2. Indeks keanekaragaman (H’) bivalvia berkisar 1,54 s.d
2,184 yang dikategorikan keanekaragaman sedang. Indeks keseragaman (E) di berkisar antara 2,55 s.d
3,22, dikategorikan keseragaman tinggi. Selain itu dilihat dari indeks dominansi bivalvia di Pulau Semujur
dikategorikan rendah di karena nilai indeks dominansi <0,5. Pola sebaran bivalvia bervariasi di setiap
spesies ada pola sebaran seragam, acak dan mengelompok. Pola sebaran bivalvia mengelompok terdiri
dari spesies G. tumidum, T. palatum dan T. magnum. Pola sebaran acak yaitu spesies A. antiquata, G. dispar
dan T. virgata, sedangkan pola sebaran seragam yaitu T. spengleri dan B. lacerata
Kata Kunci : Bivalvia, Keanekaragaman, Kepadatan, Pola Sebaran dan Pulau Semujur
DENSITY AND DISTRIBUTION PATTERN OF BIVALVIA IN THE SEAGRASS ECOSYSTEM,
SEMUJUR ISLAND, BANGKA BELITUNG ARCHIPLAGO
ABSTRACT
Bivalves is one of marine species that have high economic value. That has an important role both
in terms of ecological and economic values. The high economic value can cause overexploitation which has
an impact on the existence of these animals in nature habitat. Existing condition to be carried out with
basic research related to the density, diversity and distribution patterns of bivalves on the Semujur island.
The study was conducted from February to April 2018 on Semujur Island, Bangka Belitung Province. Data
collection in this research includes, bivalve sampling, measurements of physical and chemical parameters
of water and identification of seagrass vegetation. Bivalves data collected using squares measuring 0.5 cm
x 0.5 cm. Bivalves was found on Semujur Island with 8 species from 4 families. Bivalve density on Semujur
Island ranges from 8.4 ind/m2 to 21.2 ind/m2. Bivalvia diversity index (H ') ranges from 1.54 to 2.184
which is categorized as moderate diversity. The degree of uniformity (E) ranged from 2.55 to 3.22,
categorized as high uniformity. The results of the study showed that the bivalve dominance index seen on
Semujur Island was categorized as low because the index value of dominance was <0.5., The distribution
pattern bivalves varies in each species with uniform, random and clump. The pattern of distribution of
bivalves consists of species of G. tumidum, T. palatum and T. magnum. The random distribution pattern
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
15
consisted of species A. antiquata, G. dispar and T.virgata, while the distribution patterns were uniform is T.
spengleri and B. lacerata
Keyword : Bivalves, diversity, density, distribution pattern and Semujur Island.
Pendahuluan
Pulau Semujur merupakan salah satu
wilayah kepulauan yang termasuk kedalam
administrasi Kabupaten Bangka Tengah.
Pulau Semujur merupakan pulau yang
berpenghuni sebagian besar masyarakat di
pulau ini berprofesi sebagai nelayan dan
sebagian berprofesi sebagai pembudidaya
ikan. Berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Bangka Tengah Nomor 21 Tahun
2014 Pulau Semujur termasuk kawasan
konservasi perairan, yang dilindungi dan
dikelola untuk mewujudkan pengelolaan
sumber daya ikan dan lingkungan secara
berkelanjutan. Selain itu Hasil penelitian
Suhadi et al (2015) kualitas perairan di Pulau
Semujur masih dikategorikan cocok untuk
kehidupan biota laut dan ekosistem padang
lamun. Kondisi ini Pulau Semujur memiliki
potensi besar sumberdaya pesisir salah
satunya ekosistem lamun.
Ekosistem lamun salah satu ekosistem
laut dangkal yang berfungsi sebagai
perangkap sedimen, produsen primer, daur
bahan organik, tempat asuhan, mencari
makan, tempat berlindung dan tempat
spawning ground berbagai biota laut termasuk
bivalvia (Mellors et al., 2002; Hernawan et al.,
2017; Riniatsih dan Widianingsih, 2007;
Herawati et al, 2017). Bivalvia merupakan
organisme yang termasuk dalam filum
moluska yang umumnya ditemukan dan hidup
di daerah intertidal (Suwignyo, 2005).
Keberadaan bivalvia memiliki peran penting
di perairan pesisir baik ditinjau dari nilai
ekologi dan ekonomi. Secara ekologi bivalvia
merupakan hewan yang hidup sesil atau
menetap sehingga bisa dijadikan indikator
perairan dan organisme filter fider yang dapat
merangkap sedimen, selain itu beberapa
spesies dari bivalvia mampu menyarap logam
berat di perairan (Pan dan Wang, 2011;
Zuykov et al, 2013) . Secara ekonomis bivalvia
dapat dijadikan sumber makanan, bahan
ornamental dan obat-obatan (Santhiya et al,
2013; Tabugo et al, 2013).
Tingginya nilai ekonomi dapat
menyebabkan terjadinya eksploitasi secara
berlebihan (overexploitation). Kegiatan
eksploitasi secara berlebihan akan
mempengaruhi sebaran dan kepadatan
bivalvia, kemudian berdampak pada ancaman
hewan tersebut di alam. Hal ini yang
menyebabkan beberapa jenis bivlavia yang
dikategorikan terancam punah dan dilindungi
seperti genus Hippopus sp dan Tridacna sp
(Arbi, 2016). Kondisi ini perlu dilakukan
pemanfaatan bivalvia yang secara optimal dan
berkelanjutan. Ada beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam pengelolaan bivalvia yang
secara berkelanjutan yaitu pengaturan
penangkapan, pembuatan kawasan
konservasi sebagai upaya perlindungan,
restocking dan pengalihan pemanfaatan di
alam ke arah budidaya (Arbi, 2016; Susiana et
al, 2017; Sagita et al, 2017). Keberhasilan
usaha tersebut perlu diketahui prinsip-prinsip
biologi, ekologi dan habitat dari bivalvia.
Selain itu perlu dilakukan penelitian yang
berkaitan dengan kepadatan,
keanekaragaman dan pola sebaran bivalvia.
Data ini bisa dijadikan penentuan status
perairan dan bivalvia, sehingga dapat
dijadikan pertimbangan dalam pemanfaatan
dan pengelolaan bivalvia di Pulau Semujur.
Bahan dan Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan
Februari sampai April 2018 di Pulau Semujur,
Kepulauan Bangka Belitung. Pengambilan
data dilakukan sebanyak lima stasiun
(Gambar 1). Penentuan lokasi berdasarkan
karakteristik habitat dan sebaran lamun,
sehingga dapat mewakli pengambilan data
bivalvia di Pulau Semujur. Identifikasi Bivalvia
dilakukan di Laboratorium Manajemen
Sumberdaya Perairan, Universitas Bangka
Belitung.
Pengambilan dan analisis data
Pengambilan data di lapangan meliputi,
pengambilan sampel bivalvia, pengukuran
parameter fisika kimia perairan dan
identifikasi jenis lamun. Pengambilan data
dilakukan dengan cara membentangkan
transek garis dari mulai ditemukan lamun ke
arah laut sepanjang 100 meter. Pada setiap
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
16
stasiun dipasang dua transek garis dengan
jarak antar transek yaitu 50 meter, kemudian
di setiap transek dipasang kuadrat yang
berukuran 50 cm x 50 cm dengan jarak antar
kuadrat yaitu 20 meter. Pengambilan data
bivalvia dilakukan di dalam kuadrat 50 x 50
cm. Bivalvia di permukan substrat diambil
secara langsung menggunakan tangan.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Sedangkan di dalam substrat dilakukan
dengan cara menggunakan core sampler,
kemudian dilakukan pengayakan
menggunakan saringan untuk memisahkan
bivalvia dengan substrat (Irma dan
Sofyatuddin, 2012). Sampel bivalvia yang
ditemukan dimasukan ke dalam plastik
sampel dan diawetkan untuk di identifikasi di
Laboratorium. Adapaun identifikasi bivalvia
berdasarkan panduan dari Dharma, (1998);
Pouters, (1998). Pengukuran parameter
lingkungan meliputi identifikasi jenis lamun,
suhu, salinitas, pH, DO, kecepatan arus dan
kecerahan. Parameter lingkungan diukur
secara langsung di lapangan.
Hasil pengambilan data di lapangan
kemudian dianalisis sebagai berikut 1)
Kepadatan spesies, 2) Indeks
keanekaragaman, 3) Indeks keseragaman, 4)
Indeks dominansi dan 5) Pola sebaran.
Kepadatan bivalvia ditentukan berdasarkan
data jumlah individu yang ditemukan di setiap
kuadrat, kemudian dihitung menggunakan
rumus Brower et al (1998). Keanekaragaman
spesies ditentuan menggunakan rumus indeks
diversitas Shanon (Odum, 1971; Brower et al,
1998). Kemudian hasil perhitungan indeks
keanekaragaman dikategorikan yaitu rendah
(H’<1), sedang (H’1≤H’≤3) dan tinggi (H’≥3).
Indeks keseragaman dihitung menggunakan
rumus indeks keseragaman (Odum, 1971;
Brower et al, 1998). Kategori indeks
keseragaman (E) yaitu keseragaman rendah
(E<0,4), keseragaman sedang (0,4<E0,6) dan
keseragaman tinggi (E>0,6). Indeks dominansi
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
dominansi dari spesies tertentu. Indeks
dominansi dihitung menggunakan rumus
Odum, (1971). Kategori indeks dominansi (C)
yaitu dominansi rendah (0<C≤ 0,5), dominansi
sedang (0<C≤0,75) dan dominansi tinggi
(0,75<C≤1). Pola sebaran bivalvia ditentukan
dengan menggunakan persamaan indeks
sebaran Morisita (Krebs, 1998). Menguji
kebenaran Indeks sebaran morisita (Id)
dilakukan uji lanjutan menggunakan analisis
statistik khi-kuadrat dengan selang
kepercayaan 95% (Akhrianti et al, 2014).
Hasil dan Pembahasan
Komposisi dan Kepadatan Bivalvia
Jumlah bivalvia yang ditemukan di
Pulau Semujur yaitu 8 spesies dari 4 famili.
Adapun family bivalvia yang ditemukan yaitu
famili Tellinidae (3 spesies), famili Arcidae (2
spesies), famili Veneridae (2 spesies) dan
famili Carcidae (1 spesies). Komposisi bivalvia
yang ditemukan di semua stasiun yaitu A.
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
17
antiquata dan G. tumidum. Hasil penelitian
menunjukkan kepadatan bivalvia tertinggi
ditemukan di stasiun 5 (21 ind/m2),
sedangkan paling rendah di stasiun 3 (8,4
ind/m2). Spesies bivalvia kepadatan yang
paling tinggi yaitu A. antiquata dengan
kepadatan rata-rata 6,32 ind/m2, selain itu
spesies ini ditemukan di semua lokasi
penelitian. Komposisi spesies dan kepadatan
bivalvia di Pulau Semujur terdapat di Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi dan kepadatan spesies bivalvia di Pulau Semujur
Famili
Spesies
Kepadatan (Ind/m2)
ST 1
ST 2
ST 3
ST 4
ST 5
Arcidae
Anadara antiquata
5,20
6,8
4,4
4
11,2
Barbatia lacerata
0
0,8
0
0
0
Veneridae
Gafrarium tumidum
2,8
4,4
2
2,4
3,6
Gafrarium dispar
0,4
0
1,2
0
1,2
Tellinidae
Tellinella palatum
0
2,8
0
0
2,4
Tellinella spengleri
0
0
0,4
0
0
Tellinella virgata
1,2
0
0
0
1,2
Carcidae
Trachycardium magnum
3,6
0
0,4
4,4
1,6
13,20
14,8
8,4
10,8
21,2
Kepadatan bivalvia di Pulau Semujur
bervariasi di setiap stasiun pengamatan.
Kepadatan bivalvia paling tinggi ditemukan di
stasiun 5 dengan kepadatan rata-rata yaitu
21,2 ind/m2. Tingginya kepadatan bivalvia
pada lokasi tersebut diduga kondisi
lingkungan yang cocok untuk kehidupan
bivalvia baik faktor fisika kimia dan biologi.
Meskipun kondisi parameter lingkungan di
setiap stasiun tidak ada perbedaan yang
signifikan dan masih dikategorikan cocok
untuk kehidupan biota laut berdasarkan
kementerian lingkungan hidup nomor 51
tahun 2004. Akan tetapi pada stasiun 5
memiliki nilai DO paling tinggi dibandingkan
dengan stasiun lainnya (Tabel 3). Menurut
Pancawati et al (2014) oksigen merupakan
salah satu gas yang terlarut dalam air dan
merupakan faktor pembatas bagi biota
perairan.
Kepadatan bivalvia di Pulau Semujur
lebih rendah apabila dibandingkan dengan
Simpang Pesak Pulau Belitung, dengan
kepadatan mencapai 97,27 ind/m2 (Akhrianti
et al, 2014). Hal ini Rendahnya kepadatan
bivalvia di Pulau Semujur diduga disebabkan
oleh kondisi habitat yang tidak terlalu
beragam, dengan tipe habitat berpasir yang di
tumbuhi lamun. Sedangkan penelitian
Akhrianti et al (2014) kondisi habitat di
simpang pesak lebih bervariasi dengan
kondisi habitat muara sungai, mangrove dan
ekosistem padang lamun, sehingga kepadatan
dan jumlah spesies yang ditemukan lebih
tinggi. Selain itu morfologi bivalvia yang
ditemukan di Pulau Semujur berukuran relatif
besar dan bernilai ekonomis tinggi. Besarnya
ukuran bivalvia akan menyebabkan
rendahnya jumlah individu yang tinggal di
suatu ruang sehingga dapat mempengaruhi
rendahnya nilai kepadatan bivalvia. Bivalvia
yang ditemukan di Pulau Semujur memiliki
nilai ekonomis penting, seperti genus
Anadara, Barbatia, Gafrarium, dan Tellinella
(Tabugo et al, 2013; Soeharmoko, 2010).
Tingginya nilai ekonomis akan menyebabkan
terjadinya eksploitasi. Eksploitasi bivalvia
akan mempengaruhi rendahnya kepadatan,
terutama Pulau Semujur merupakan pulau
yang berpenghuni sehingga bivalvia mudah
untuk di eksploitasi.
Bivalvia yang paling banyak
ditemukan di Pulau Semujur yaitu spesies A.
antiquata, dengan kepadatan rata-rata 6,32
ind/m2, sedangkan yang terendah yaitu
spesies T. spengleri dengan kepadatan rata-
rata 0,4 ind/m2. Selain itu spesies A. antiquata
ditemukan di semua lokasi penelitian dengan
frekuensi kehadiran 100%. Menurut Nurdin et
al, (2006) ada dua faktor utama yang
menentukan keberadaan A. antiquata yaitu
faktor luar dan faktor dalam, faktor luar yaitu
kondisi lingkungan yang cocok untuk
kehidupan spesies ini. Kerang dari genus
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
18
Anadara dapat hidup di habitat berpasir
berlumpur dan ditumbuhi lamun (Nurdin et
al, 2006; Riniatsih dan Widianingsih, 2007;
Dayanti et al, 2017; ). Hal ini sesuai dengan
habitat di Pulau Semujur yaitu pantai pasir
berlumpur dan ditumbuhi lamun. Lamun yang
ditemukan di Pulau Semujur sebanyak 6 jenis
yaitu C. rotundata, C. serrulata, E. acoroides, H.
uninervis, T. hemprichii, S. isotifolium (Tabel
4).
Keanekaragaman, Keseragaman dan
Dominansi
Keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi spesies mengambarkan kondisi
komunitas bivalvia di Pulau Semujur. Indeks
keanekaragaman (H’) bivalvia di Pulau
Semujur berkisar 1,54 s.d 2,184.
Keanekaragaman tertinggi di stasiun 1 (H’ =
2,185), sedangkan keanekaragaman terendah
di stasiun 4 (H’=1,54). Hasil ini menunjukkan
keanekaragaman bivalvia di Pulau Semujur
dikategorikan sedang (Odum, 1971). Indeks
keseragaman (E) di Pulau Semujur dengan
nilai kisaran antara 2,55 s.d 3,22,
dikategorikan keseragaman tinggi. Selain itu
dilihat dari indeks dominansi bivalvia di Pulau
Semujur dikategorikan rendah, karena nilai
indeks dominansi <0,5. Hal ini menujukan
komunitas bivalvia di Pulau Semujur dalam
kondisi yang stabil. Nilai indeks
keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi di Pulau Semujur terdapat pada
Gambar 2.
Hasil indeks keanekaragaman dari lima
stasiun pengamatan dikategorikan
keanekaragaman sedang. Nilai indeks
keanekaragaman sedang menunjukkan bahwa
kondisi perairan dengan produktivitas
perairan cukup tinggi, kondisi ekosistem
seimbang, tekanan ekologi sedang dan masih
tersedianya sumber makanan untuk bivalvia
(Fitriana 2006; Susetya et al, 2018). Hasil ini
menunjukkan perairan Pulau Semujur masih
berada dalam kondisi stabil untuk kehidupan
bivalvia. Faktor yang mempengaruhi indeks
keanekaragaman makrozobentos termasuk
bivalvia yaitu aktivitas manusia seperti
pemukiman, penangkapan, ketersediaan
sumber makanan, dan kompetisi antar
maupun intraspesies (Rachmawaty, 2011;
Susetya et al, 2018; Sahidin et al, 2018).
Faktor yang menyebabkan indeks
keanekaragaman sedang di Pulau Semujur
diduga dipengaruhi oleh aktivitas manusia,
hal ini dikarenakan Pulau Semujur termasuk
pulau-pulau kecil yang berpenghuni. Faktor
aktivitas manusia dapat menyebabkan
menurunnya keanekaragaman seperti
kegiatan eksploitasi bivalvia dan pencemaran
limbah rumah tangga, sehingga terjadinya
degradasi lingkungan (Susetya et al, 2018).
Indeks keseragaman (E) komunitas
bivalvia di Pulau Semujur dikategorikan
keseragaman tinggi. Indeks keseragaman
tinggi menunjukkan bahwa jumlah individu
setiap spesies adalah merata atau tidak ada
jenis tertentu dominan ditemukan pada satu
kawasan area pengamatan (Herawati et al,
2017; Pranoto, 2017). Menurut Kharisma et
al., (2012) Indeks keseragaman
menggambarkan keseimbangan ekologis pada
suatu komunitas, dimana semakin tinggi nilai
keseragaman maka kualitas lingkungan
semakin baik dan cocok dengan kehidupan
bivalvia. Kondisi ini menunjukkan kualitas
lingkungan di Pulau Semujur masih cocok
untuk kehidupan bivalvia, sehingga potensial
untuk dikembangkan untuk kegiatan
perlindungan maupun budidaya bivalvia.
Menurut Pranoto et al, (2017) Indeks
keseragaman berhubungan erat dan saling
mempengaruhi dengan indeks dominansi,
Apabila indeks keseragaman jenis tinggi maka
indeks dominansi semakin rendah, demikian
sebaliknya. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian dengan indeks dominansi
dikategorikan rendah dengan nilai berkisar
0,256 s.d 0,356. Rendahnya nilai dominansi
maka tidak ada spesies yang dominan di Pulau
Semujur.
Pola Sebaran
Pola sebaran bivalvia di Pulau Semujur
bervariasi di setiap spesies yaitu pola sebaran
seragam, acak dan mengelompok. Pola
sebaran mengelompok terdiri dari spesies G.
tumidum, T. palatum dan T. magnum. Bivalvia
pola sebaran acak terdiri dari spesies A.
antiquata, G. dispar dan T. virgata, sedangkan
pola sebaran seragam yaitu T. spengleri dan B.
lacerata (Tabel 2).
Pola sebaran mengelompok, acak dan
seragam dikarenakan adanya intraksi antar
individu dan kondisi lingkungan (Moles,
2010). Faktor lingkungan dapat membatasi
sebaran spesies seperti faktor suhu, arus, pH,
salinitas dan sumber makanan (Moles, 2010;
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
19
Stiling, 1999). Selain itu setiap spesies
mempunyai kondisi fisiologi, anatomi dan
perilaku untuk beradaptasi terhadap kondisi
lingkungan, sehingga akan mempengaruhi
pola sebaran spesies tersebut (Moles, 2010).
Spesies G. tumidum, T. palatum dan T.
magnum membentuk pola sebaran
mengelompok, Hal ini terjadinya dikarenakan
ada daya tarik menarik antara individu
dengan individu atau individu dengan
lingkungan (Moles, 2010).
Gambar 2. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Bivalvia
Tabel 2. Pola sebaran bivalvia di Pulau Semujur
No
Spesies
Id
X (0,05)
X2Hitung
Pola Sebaran
1
Anadara antiquata
1,0
66.33
54,54
Acak
2
Barbatia lacerata
0,0
66.33
48,00
Seragam
3
Gafrarium dispar
2,3
66.33
57,29
Acak
4
Gafrarium tumidum
1,7
66.33
75,16
Mengelompok
5
Tellinella palatum
3,8
66.33
88,33
Mengelompok
6
Tellinella spengleri
0,0
66.33
49,00
Seragam
7
Tellinella virgata
3,3
66.33
60,67
Acak
8
Trachycardium magnum
2,6
66.33
89,00
Mengelompok
Penyebab pola sebaran mengelompok dapat
dipengaruhi oleh pengelompokan
sumberdaya, perilaku kawin dan tempat
berlindung untuk mencegah dari serangan
predator (Moles, 2010; Supratman dan
Syamsudin, 2018). Hasil penelitian Supratman
dan Syamsudin, (2018) pola sebaran
mengelompok disebabkan oleh kondisi
habitat yang cocok sebagai tempat berlindung
dan mencari makan, selain itu adanya
interaksi individu jantan dan betina untuk
melakukan proses reproduksi. Menurut
Riniatsih dan Widianingsih, (2007); Akhrianti
et al, (2014) spesies G. tumidum ditemukan
pola sebaran mengelompok dikarenakan
spesies tersebut berkumpul di suatu area
dengan kepadatan yang tinggi.
Pola sebaran acak terdiri dari tiga
spesies yaitu A. antiquata, G. dispar dan T.
virgata. Pola sebaran acak di setiap individu
tidak bergantung pada individu lain dan
memiliki kesempatan yang sama menempati
suatu area (Moles, 2010). Penyebaran
individu secara acak disebabkan oleh kondisi
habitat dalam keadaan seragam dan tidak
adanya pemusatan sumberdaya, sehingga
tidak ada kecendrungan bivalvia untuk hidup
bersama-sama. Spesies T. spengleri dan B.
lacerata dengan pola sebaran seragam. Pola
sebaran seragam yaitu memiliki jarak hampir
sama di setiap individu dalam populasi di
suatu area. Penyebab terjadinya pola sebaran
seragam adanya interaksi antagonistik antara
individu karena persaingan untuk merebut
sumberdaya (Moles, 2010).
Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan dapat ditinjau
dari parameter fisika, kimia dan biologi. Hasil
pengukuran parameter fisika kimia perairan
di Pulau Semujur yaitu salinitas berkisar
antara 29 s.d 30 ppt, suhu 29 s.d 32 °C, pH 7
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
20
s.d 8, kecepatan arus 0,014 s.d 0,04 m/s, D0
7,4 s.d 8,1 mg/l dan kecerahan 100% (Tabel
3). Hasil penelitian ini kondisi parameter
fisika kimia perairan di Pulau Semujur masih
dikategorikan optimum untuk kehidupan
bivalvia (Riniatsih dan Widianingsih,2007;
Kementerian Lingkungan Hidup No 51 tahun
2004). Parameter fisika kimia perairan akan
membentuk karakteristik habitat bivalvia,
sehingga bivalvia dapat tumbuh, berkembang
dan berkembang biak (Pancawati et al, 2014).
Tabel 3.Parameter lingkungan perairan di Pulau Semujur
Parameter
Satuan
Stasiun Pengamatan
rata-rata
(n=5)
1
2
3
4
5
Salinitas
ppt
29
29
29
30
30
29,5±0.55
Suhu
°C
32
29
29
30
30
30± 1,22
pH
-
7
7
7
8
8
7,4±0,55
Kecepatan arus
m/s
0,04
0,03
0,027
0,014
0,014
0,03±0,01
Oksigen terlarut (DO)
mg/l
7,4
7.4
7,6
7,4
8,1
6,1±0,30
Kecerahan
%
100
100
100
100
100
100±0,00
Tabel 4. Komposisi Jenis Lamun yang ditemukan di setiap stasiun
Jenis Lamun
Stasiun
1
2
3
4
5
Cymondocea rotundata
+
+
-
+
+
Cymondocea serrulata
+
+
+
-
+
Enhalus acoroides
+
+
+
+
+
Halodule uninervis
+
+
-
-
+
Thalassia hemprichii
+
+
+
+
-
Syrongadium isotifolium
-
+
-
-
_
Keterangan :
+ : ditemukan
- : tidak ditemukan
Parameter biologi pada penelitian ini
yaitu vegetasi lamun. Hasil penelitian lamun
di Pulau Semujur ditemukan sebanyak 6
spesies dengan komposisi jenis tertinggi yaitu
E. acoroides ditemukan merata di semua
stasiun.
Tingginya komposisi jenis spesies E.
acoroides dikarenakan spesies tersebut
mampu tumbuh dan beradaptasi di beberapa
tipe habitat. Ekosistem padang lamun
memiliki peran sebagai perangkap sedimen,
produsen primer, daur bahan organik, tempat
asuhan, mencari makan, tempat berlindung
dan tempat spawning ground beberapa biota
laut termasuk bivalvia (Mellors et al., 2002;
Hernawan et al., 2017; Riniatsih dan
Widianingsih, 2007; Herawati et al, 2017).
Kesimpulan
Bivalvia ditemukan di Pulau Semujur
sebanyak 8 spesies dari 4 famili. Bivalvia yang
ditemukan famili Tellinidae (3 spesies),
Arcidae (2 spesies), Famili Veneridae (2
spesies) dan famili Carcidae(1 spesies).
Kepadatan bivalvia di Pulau Semujur berkisar
8,4 ind/m2 s.d 21.2 ind/m2. Indeks
keanekaragaman (H’) bivalvia di Pulau
Semujur berkisar 1,54 s.d 2,184. Hasil ini
menujukan keanekaragaman bivalvia di Pulau
Semujur dikategorikan sedang. Indeks
keseragaman (E) di Pulau Semujur dengan
nilai kisaran antara 2,55 s.d 3,22,
dikategorikan keseragaman tinggi. Selain itu
dilihat dari indeks dominansi bivalvia di Pulau
Semujur dikategorikan rendah, karena nilai
Indeks dominansi <0,5. Pola sebaran bivalvia
di Pulau Semujur bervariasi di setiap spesies
yaitu pola sebaran, seragam, acak dan
mengelompok. Pola sebaran mengelompok
terdiri dari spesies G. tumidum, T. palatum
dan T. magnum. Bivalvia pola sebaran acak
terdiri dari spesies A. antiquata, G. dispar dan
T. virgata. sedangkan pola sebaran seragam
yaitu T. spengleri dan B. lacerata
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
21
Ucapan Terimakasih
Penulis ucapkan terimakasih kepada
pengelola Laboratorium Manajemen
Sumberdaya Perairan, Universitas Bangka
Belitung, yang telah memfasilitasi tempat dan
meminjamkan peralatan untuk pengambilan
data, sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Daftar Pustaka
Akhrianti, I., Bengen, D. G., dan Setyobudiandi,
I. 2014. Distribusi spasial dan preferensi
habitat bivalvia di pesisir perairan
kecamatan Simpang Pesak kabupaten
Belitung Timur. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis 6(1), 171-
185.
Arbi, U.Y. 2016. Populasi dan Sebaran Jenis
Moluska Dilindungi di Perairan Selat
Lembeh, Kota Bitung, Sulawesi
Utara. Journal of Tropical Biodiversity
and Biotechnology 1(1), 31-37.
Brower., Zar, J.H., and Von Ende, C.N. 1998.
Field and Laboratory Methodes for
General Ecology. 4rd ed. McGraw-Hill.
United States of America.
Dayanti, F.,Bahtiar and E. Ishak. 2017.
Kepadatan dan distribusi Kerang Bulu
(Anadara antiquata L, 1758) di perairan
Wangi-wangi Selatan Desa Numana
Kabupaten Wakatobi. Jurnal Manajemen
Sumber Daya Perairan 2(2),113-122.
Dharma , B . 1988. Indonesian Shells . Sarana
Graha, Jakarta
Fitriana Y.R. 2006. Keanekaragaman dan
kemelimpahan makrozoobentos di
hutan mangrove hasil rehabilitasi
Taman Hutan Raya Ngurah Rai
Bali. Biodiversitas 7(1), 67-72.
Herawati P., Barus, T.A. dan Wahyuningsih H.
2017. Keanekaragaman
Makrozoobentos dan Hubungannya
dengan Penutupan Padang Lamun
(Seagrass) di Perairan Mandailing Natal
Sumatera Utara. Jurnal Biosains 3(2),
66-72.
Hernawan U.E., Sjafrie,N.D.M., SupriyadiI.H.,
Suyarso, Marindah M.Y., Anggraini K.,
dan Rahmat. 2017. Status padang lamun
Indonesia 2017. Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI, Jakarta.
Irma D., and Sofyatuddin K. 2012. Diversity of
Gastropods and Bivalves in
mangroveecosystem rehabilitation
areas in Aceh Besar and Banda Aceh
districts, Indonesia. AACL Bioflux 5(2),
55-59.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut.
Kharisma D., Adhi C dan Azizah R. 2012.
Kajian ekologis bivalvia di perairan
Semarang bagian Timur pada bulan
Maret-April 2012. J. of Marine Science
1(2), 216-225.
Krebs C.J. 1998. Ecological Methodelogy. 2rd
ed. Addison-Welsey Education
Publishers, California.
Mellors J., H. Marsh T.J.B. Carruthers and
Waycott M. 2002. Testing the sediment-
trapping paradigm of seagrass: do
seagrasses influence nutrient status and
sediment structure in tropical intertidal
environments?. Bulletin of Marine
Science 71(3), 1215-1226.
Molles M.C. 2010. Ecology : Concept and
Aplication. 5rd ed, McGraw-Hill, New
York.
Nurdin J., Marusin N., Asmara A., Deswandi R
dan Marzuki J. 2010. Kepadatan
Populasi Dan Pertumbuhan Kerang
Darah Anadara antiquata L.(bivalvia:
Arcidae) di Teluk Sungai Pisang, Kota
Padang, Sumatera Barat. Makara Journal
of Science 10(2), 96-101.
Odum. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd ed.
Sounders College Publishing.
Philadelphia.
Pan K., and Wang W.X. 2011. Mercury
accumulation in marine bivalves:
influences of biodynamics and feeding
niche. Environmental pollution 159(10),
2500-2506.
Pancawati D.N., Suprapto D., dan Purnomo
P.W. 2014. Karakteristik Fisika Kimia
Perairan Habitat Bivalvia Di Sungai
Wiso Jepara. Management of Aquatic
Resources Journal, 3(4), 141-146.
Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Tengah
Nomor 21 Tahun 2014 Tentang
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Bangka
Tengah Tahun 2014-2034
Poutiers J.M. 1998. Gastropods In : The Living
Marine Resources of the Western Central
Pacific. FAO, Rome.
Pranoto H. 2017. Studi Kelimpahan dan
Keanekaragaman Makrozoobentos di
Perairan Bedagai, Kecamatan Tanjung
Jurnal Biosains Vol. 5 No. 1 Maret 2019 ISSN 2443-1230 (cetak)
DOI: https://doi.org/10.24114/jbio.v5i1.11862 ISSN 2460-6804 (online)
22
Beringin Kabupaten Serdang
Bedagai. Jurnal Biosains 3(3), 125-130.
Rachmawaty. 2011. Indeks Keanekaragaman
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator
Tingkat Pencemaran di Muara Sungai
Jeneberang. Jurnal Bionature 12(2), 103
109.
Rinitasih I dan Widianingsih W. 2010.
Kelimpahan dan Pola Sebaran Kerang-
kerangan (Bivalve) di Ekosistem Padang
Lamun, Perairan Jepara. Jurnal Ilmu
Kelautan, 12(1), 53-58.
Sagita A., Kurnia R. dan Sulistiono, S. 2017.
Budidaya Kerang Hijau (Perna Viridis L.)
dengan Metode dan Kepadatan Berbeda
di Perairan Pesisir Kuala Langsa,
Aceh. Jurnal Riset Akuakultur 12(1), 57-
68.
Sahidin A., Zahidah, Herawati H., Wardiatno Y.,
Setyobudiandi I. and Partasasmita R.
2018. Macrozoobenthos as bioindicator
of ecological status in Tanjung Pasir
Coastal, Tangerang District, Banten
Province, Indonesia. Biodiversitas 19(3),
1123-1129.
Santhiya N., Sanjeevi S.B., Gayathri M. And
Dhanalakshmi M. 2013. Economic
importance of marine molluscs. Res.
Environ. Life Sci 6(4), 129-132.
Soeharmoko. 2010. Inventarisasi jenis
kekerangan yang dikonsumsi
Masyarakat di kepulauan Riau. Jurnal
Dinamika 2(1), 45-52
Stiling, P. 1999. Ecology : Theories and
Application. 3rd ed, Prentice Hall, New
Jersey.
Soehadi I., Sulistiono dan Widigdo B. 2015.
Kondisi perairan keramba jaring apung
ikan kerapu di perairan Pulau Semujur
Kabupaten Bangka Tengah. Prosiding
Seminar Nasional Ikan ke 8. Bogor.
Rahardjo, Zahid A., Renny K. Hadiaty
R.K., Manangkalangi E, Hadie W,
Haryono dan Supriyono E (Penyuting).
Masyarakat Ikhtiologi Indonesia.
Supratman O. Dan Syamsudin T.S. 2018.
Karakteristik Habitat Siput Gonggong
(Strombus turturella) di Ekosistem
Padang Lamun. Jurnal Kelautan Tropis
21(2), 81-90.
Susetya I.E., Desrita D., Ginting E.D.D., Fauzan
M., Yusni E. and Saridu S.A. 2018.
Diversity of bivalves in Tanjung Balai
Asahan Waters, North Sumatra,
Indonesia. Biodiversitas 19(3), 1147-
1153.
Susiana, Niartiningsih A., Amran M.A. dan
Rochmady. 2017. Kesesuaian Lokasi
untuk Restoking Kima Tridacnidae di
Kepulauan Spermonde. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 9(2), 475-
490.
Suwignyo S., Widigdo B., Wardiatno Y.,
Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 1.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Tabugo S.R.M., Pattuinan J.O., Sespene N.J.J.
and Jamasali A.J. 2013. Some
economically important bivalves and
gastropods found in the Island of Hadji
Panglima Tahil, in the province of Sulu,
Philippines. International Research
Journal of Biological Sciences, 2(7), 30-
36.
Zuykov M., Pelletier E., and Harper D. A. 2013.
Bivalve mollusks in metal pollution
studies: from bioaccumulation to
biomonitoring. Chemosphere, 93(2),
201-208.
... Zona intertidal pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga tipe substrat, yaitu substrat batu karang, substrat berpasir, dan substrat berlumpur (Erlania et al., 2015). Famili yang sering ditemukan pada zona intertidal yaitu famili Arcidae, famili Cardiidae, famili Tellinidae, dan famili Veneridae (Supratman et al., 2019;Fatonah et al., 2023) Berdasarkan observasi awal banyak ditemukan bivalvia di Pantai Cibuaya. Organisme ini adalah salah satu kelas dari filum moluska yang bercangkang setangkup yang pada umumnya simetri bilateral dengan memfungsikan otot aduktor dan reduktornya (Eka & Yani, 2020). ...
... Keberadaan Bivalvia memiliki peran penting di perairan pesisir. Secara ekologi Bivalvia merupakan hewan yang hidup menetap sehingga dapat dijadikan sebagai bioindikator perairan dan organisme filter feeder yang dapat merangkap sedimen, selain itu beberapa spesies Bivalvia mampu menyerap logam berat di perairan (Supratman et al., 2019). Bivalvia juga berperan sebagai penghubung dalam rantai makanan sebagai dentritus (bahan organik) (Ratih et al., 2021). ...
... Menurut Triacha et al., (2021) lingkungan di daerah Pantai Cibuaya telah didominasi oleh pemukiman warga, penginapan, maupun aktivitas nelayan sehingga aktivitas tersebut dapat memengaruhi kualitas perairan Pantai dan biota di daerah tersebut. Faktor aktivitas manusia yang dapat memengaruhi keanekaragaman seperti kegiatan eksploitasi Bivalvia dan dapat juga berupa pencemaran limbah rumah tangga, sehingga terjadinya degradasi lingkungan (Supratman et al., 2019). ...
Article
Cibuaya Beach is one of the beaches in Ujung Genteng Village that is used as a tourist destination because the beach is still very clean and natural. Cibuaya Beach has large beach sand grains and is dominated by mollusk shell fragments. The intertidal zone is the zone bounded by the tidal line and is the narrowest of the marine zones. The coastal ecosystem of Cibuaya Beach consists of coral reefs, seagrasses, and coastal vegetation. This study aims to determine the diversity of Bivalves in Cibuaya Beach Ujung Genteng. This research was conducted at Cibuaya Beach Ujung Genteng in March-April 2022. Determination of the research location using the belt transect method by purposive sampling at three stations namely rocky sand (station 1), seagrass (station 2), and coral reef (station 3). The results obtained were 148 individuals with 11 Bivalve species comprising six families. The value of the diversity index (H') ranged from 1.58-1.99 classified as medium. The value of the evenness index (E) ranges from 0.83-0.88 classified as high. The dominance index value (D) ranges from 0.18-0.24 which is low. The measurement results of abiotic parameters, namely temperature, pH, salinity, humidity, current speed, and light intensity show good values for marine bivalve life. Therefore, the Cibuaya Beach intertidal ecosystem is suitable for the life of the Bivalve class.
... Hal ini dapat diduga bahwa penyebaran E. acoroides ini merata, dan tingkat kemampuan untuk tumbuh pada pesisir Pulau Semujur yang mendukung. Sesuai dengan penelitian olehSupratman et al. (2019), salah satu spesies lamun yang ditemukan di pesisir Pulau Semujur yakni E. acoroides.Menurut pernyataanRahman et al. (2016), bahwa dari beberapa jenis lamun yang ditemukan di seluruh perairan Indonesia, jenis lamun yang sering dijumpai yakni ialah E. acoroides. Luas tutupan lamun menjadi salah satu faktor terpenting untuk menentukan baik atau buruknya suatu ekosistem dalam suatu perairan(Poedjirahajoe et al., 2013).Tabel 2. Hasil identifikasi lamun di Pulau Semujur ...
... Stasiun III memiliki tipe perairan yang dangkal sehingga dapat mempengaruhi suhu perairan didalamnya. Sesuai dengan pernyataan Supratman et al., (2019), yang menyatakan bahwa semakin dangkalnya perairan berbanding lurus dengan suhu perairan. Hal ini juga dapat menyebabkan sedikitnya jumlah individu yang ditemukan pada stasiun III ini dikarenakan kecilnya nilai penutupan lamun, yang dimana menurut Herawati et al. (2017), peran padang lamun yang cukup penting bagi kehidupan biota perairan didalamnya. ...
Article
Full-text available
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma daun dan akar sejati yang dapat hidup terendam di dalam air laut. Gastropoda merupakan anggota moluska, dimana sebagian besar memiliki tubuh yang dilindungi oleh cangkang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelimpahan dan pola sebaran gastropoda pada ekosistem padang lamun pesisir Pulau Semujur Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Penelitian ini dilaksanakan pada perairan Pulau Semujur Kabupaten Bangka Tengah dengan empat titik arah mata angin sekitar Pulau Semujur. Penelitian ini menggunakan metode transek kuadrat. Berdasarkan hasil penelitian gastropoda yang ditemukan sbanyak 9 famili dengan 19 spesies dan total seluruh individu sebanyak 1183 individu. Jenis gastropoda yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah Cerithium traillii yang berjumlah 137 individu. Indeks keanekaragaman gastropoda di Pulau Semujur termasuk dalam kategori sedang. Pola sebaran gastropoda secara keseluruhan dengan kategori mengelompok. Jumlah spesies dan jumlah individu makroalga dipengaruhi oleh parameter fisik-kimia perairan yang meliputi kecepatan arus, suhu air dan salinitas. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa keanekaragaman gastropoda dengan padang lamun saling berhubungan dan dapat dipengaruhi oleh faktor fisika kimia lingkungan tersebut.Kata kunci: Gastropoda; keanekaragaman; lamun; pola sebaran; Pulau SemujurAnalysis of Gastropod Habitat in Seagrass Ecosystems in the Waters of Semujur Island, Bangka BelitungABSTRACTSeagrass are flowering plants (Angiospermae) which has rhizoma leaves and true roots that can live submerged in sea water. Gastropods are members of mollusks, which the most body parts are protected by shell. This study aim is to analyze the abundance and distribution patterns of gastropods in the seagrass ecosystem of the coast of Semujur Island, Central Bangka Regency, Bangka Belitung. This research was conducted located in Semujur Island, Central Bangka Regency, four winds points of compass around the island. Quadratic transect method is used for this research. Based on the results of research found 9 families with 19 species and a total of 1183 individuals gastropods. Cerithium traillii (Sowerby II, 1855) is the highest number individuals founded which amount up to 137 individuals. Gastropod diversity index in Semujur Island is included to the medium category. Overall distribution pattern of gastropods with clustered categories The number of species and individual macroalgae are affected by the physical-chemical parameters of waters which include stream speed, temperature and pH. The results of this study prove that the diversity of gastropods with seagrass beds is interconncted and can be related by physical and chemical environmental factors.Keywords: Distribution pattern; diversity; gastropods; seagrass; Semujur Island
... Selain itu, adapula yang dijadikan sebagai bahan ornamen (hiasan). Menurut Sulistijo et al., (1980) dalam Supratman et al., (2019) sebagian besar dari antara 20 jenis moluska yang bernilai ekonomis yang ditemukan di Indonesia, termasuk ke dalam kelas bivalvia dan oleh karena nilai ekonomisnya sehingga sering terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap bivalvia yang bisa berdampak terhadap keanekaragaman dan kelimpahannya di alam. Keanekaragaman dan kelimpahan bivalvia di alam, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ketersediaaan makanan, kondisi lingkungan perairan (fisik kimia), kompetisi, adanya pemangsaan dari predator, serta tekanan dan perubahan lingkungan perairan oleh karena aktivitas manusia (Susiana, 2011;Budi et al., 2013). ...
... Menurut Odum, (1994) dalam Kisman et al., (2016) nilai indeks keanekaragaman dengan kategori sedang, menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan tersebut masih dapat ditolerir oleh bivalvia serta masih bisa mendukung keberhasilan hidup dan reproduksi bivalvia Hasil serupa juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Hermala et al., (2015), yang mana melalui 30 titik atau plot pengamatan di pesisir pantai Dolpin Teluk Bakau Kabupaten Bintan, ditemukan 7 spesies bivalvia dengan jumlah total individu 155 dan nilai indeks keanekaragaman jenis sebesar 2,6 atau termasuk kategori sedang. Kemudian, oleh Supratman et al., (2019) ...
Article
Full-text available
Abstrak: Bivalvia merupakan anggota kelas moluska yang memiliki nilai ekonomis dan menjadikannya sering dieksploitasi berlebih oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks keanekaragaman dan kelimpahan bivalvia di Perairan Pantai Waemulang Kabupaten Buru Selatan. Pengambilan sampel dilakukan pada kondisi air surut dengan menggunakan metode transek linear kuadrat yang disesuaikan dengan luas area Perairan Pantai Waemulang, panjang garis pantai dan relif pantai. Disamping itu, dilakukan pula pengukuran parameter fisik kimia lingkungan sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bivalvia yang ditemukan terdiri dari 5 Ordo, 5 Family, 6 Genus, dan 7 Spesies, yakni Anadara antiquata, Gafrarium dispar, Modiolus modiolus, Fragum unedo, Pinna bicolor, Anadara granosa, dan Tapes literatus. Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada spesies Anadara antiquata, yakni 5.495 dan kelimpahan relatifnya 16.22%. Sedangkan nilai kelimpahan terrendah terdapat pada spesies Tapes literatus, yakni 4.272, dan kelimpahan relatifnya 12.61%. Nilai indeks keanekaragaman, yakni 1.93 atau termasuk kategori sedang dan indeks dominansi sebesar 0.14 yang menunjukkan tidak ada dominansi spesies. Hasil pengukuran parameter fisik kimia pun masih berada dalam kisaran optimal sesuai dengan standar baku mutu air laut untuk biota laut. Guna pemanfaatan dan pengelolaan bivalvia secara berkelanjutan di Perairan Pantai Waemulang Kabupaten Buru Selatan maka diperlukan penelitian sejenis secara berkala.Kata Kunci: Bivalvia, Keanekaragaman, Kelimpahan, Waemulang.Abstract: Bivalves is a member of the mollusk class with economic value and makes it often over exploited by the community. This study aims to determine the diversity index and abundance of bivalves in the Waemulang Coastal Waters of South Buru Regency. Sampling is done at low tide conditions using the linear quadratic transect method that is adjusted to the area of Waemulang Coastal Waters, coastline length and coastline. Besides that, physical chemical parameters were also measured as supporting data. The results showed that bivalves were found to consist of 5 Orders, 5 Families, 6 Genera, and 7 Species, namely Anadara antiquata, Gafrarium dispar, Modiolus modiolus, Fragum unedo, Pinna bicolor, Anadara granosa, and Tapes literatus. The highest abundance was found in Anadara antiquata, which was 5,495 and its relative abundance was 16.22%. While the lowest abundance was found in Tapes literatus, which was 4.272, and the relative abundance was 12.61%. Diversity index value is 1.93 or including a medium category and dominance index of 0.14 which shows no species dominance. The results of the measurement of physical chemical parameters are still in the optimal range in accordance with sea water quality standards for marine biota. For the sustainable use and management of bivalves in the Waemulang Coastal Waters, South Buru Regency, regular research is needed.Keywords: Bivalves, Diversity, Abundance, Waemulang.
... Hasil penguraian metabolisme bivalvia akan menjadi makanan bagi larva, ikan-ikan kecil maupun biota lainnya (Fauzi et al., 2018). Adanya eksploitasi yang berlebihan terhadap bivalvia yang bernilai ekonomis, sehingga berdampak terhadap keberadaanya di alam (Supratman et al., 2019). Keberadaan bivalvia di alam juga dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah kondisi lingkungan perairan, ketersediaan makanan, kompetisi dengan organisme lain serta aktivitas manusia (Dayanti et al., 2016). ...
Article
Full-text available
Ekosistem lamun memiliki kaitan yang erat dengan keberadaan bivalvia. Kondisi struktur ekosistem lamun yang berbeda-beda di Perairan Pulau Bintan diduga dapat berpengaruh terhadap asosiasi bivalvia pada ekosistem lamun. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur ekosistem lamun dan mempelajari struktur asosiasi bivalvia pada beberapa ekosistem lamun di Pesisir Pulau Bintan. Terdapat 4 stasiun pengamatan yang diamati pada penelitian ini. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan keterwakilan sebaran ekosistem lamun di Pulau Bintan, dengan kondisi tutupan lamun yang berbeda, yaitu meliputi: Dompak, Pengudang, Teluk Bakau dan Pengujan. Metode sampling menggunakan transek kuadrat yang dipadukan dengan 3 buah transek garis sepanjang 100 m ke arah laut. Diperoleh 7 jenis lamun yang tersebar di 4 lokasi penelitian. Tutupan lamun tertinggi terdapat di Pesisir Pengudang dengan nilai tutupan sebesar 66.1%. Ditemukan 28 spesies bivalvia dengan nilai kepadatan tertinggi yaitu Gafrarium pectinatum. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa tutupan lamun memiliki keterikatan dengan kepadatan bivalvia. Beberapa bivalvia memiliki kecenderungan untuk hidup pada vegetasi lamun tertentu. Seagrass ecosystems have a close relationship with the existence of bivalves. The different structural conditions of the seagrass ecosystem in the waters of Bintan Island are thought to influence the association of bivalves in the seagrass ecosystem. This study aims to describe the structure of seagrass ecosystems and study the structure of bivalve associations in several seagrass ecosystems on the coast of Bintan Island. There are four observation stations observed in this study. The determination of the research location was based on the representation of the distribution of seagrass ecosystems on Bintan Island, with different seagrass cover conditions, including: Dompak, Pengudang, Bakau Bay and Pengujan. The sampling method uses a quadratic transect combined with 3 line transects along 100 m seaward, obtaining 7 types of seagrasses scattered in 4 research locations. The highest seagrass cover was found in Pengudang Coastal Area, with a cover value of 66.1%. Found 28 species of bivalves with the highest density value, namely Gafrium pectinatum. PCA analysis results show that seagrass cover has an attachment to the density of bivalves. Some bivalves tend to live on specific seagrass vegetation.
... Hewan ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan karena memiliki kadar protein yang tinggi, serta ada yang dimanfaatkan sebagai hiasan (Samson dan Kasale, 2020). Tingginya nilai ekonomis ini dinilai dapat menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap biota ini (Supratman et al., 2019). Rahmasari et al. (2015) menyatakan bahwa, gastropoda merupakan salah satu hewan bentik dalam suatu perairan. ...
Article
Full-text available
Mollusks are the second largest invertebrate with a number of species reaching 50.000. Mollusks have a soft body, some classes are covered with shells as a form of self-defense. Mollusks play an important role in ecosystems, where mollusks can be used as aquatic bioindicators. Gastropods and Bivalves are the largest class of Mollusks. Gastropods or snails, have a conical shell shape. Lives in subtidal waters that have muddy substrate. Bivalves or clams have two pieces of shell to protect their soft body, live in intertidal areas with sandy substrates. Binasi Beach is a tourist beach that has a white sand. The goal of this study was to determine the types of bivalve and gastropod found in Binasi Beach. The method used is descriptive analysis where the analysis is carried out according to the description in the field. The results of the analysis showed that two species of mollusks were found, they are Donax deltoides from the Bivalvia class and Turritella terebra from the Gastropod class. Donax deltoides has a convex symmetrical shell where the posterior is shorter than the anterior. The Umbo is not very prominent but can still be seen clearly. Donax deltoides was found 166 tails with a dominant shell length of 26-30 mm by 43.4%. Turriterlla terebra has a conical shell shape. Apex is the shell with the oldest age. Turritella terebra found 4 tails where the largest shell size has a length of 96 mm and a diameter of 18 mm.
Article
Full-text available
The purpose of this study was to determine the density, diversity, uniformity, dominance and distribution pattern of bivalves in the waters of Malang Rapat Village. This research uses purposive sampling method. Determination of the sampling point based on the consideration of activities in the waters of Malang Rapat Village. Sampling using a quadrant transect method measuring 1x1 meter. The results showed that the highest species density was Gafrarium pectinatum with a value of 63,333 ind/ha, and the lowest species was Pinctada radiata with a value of 1,111 ind/ha. The species diversity index obtained values in the range of 0.54-0.76 and the category of each station is low. The uniformity index is obtained with a value in the range of 0.56-0.76 and categories at stations I and III are medium, stations II and IV are high. The dominance index obtained values in the range of 0.22-0.42 and the category at each station are low, the dominant species was G. pectinatum with a value of 0.38. The distribution pattern of bivalves in the sea of Malang Rapat Village at stations I and 3 obtained values of 2.43 and 3.05 with clustered categories, while at stations II and IV obtained values of 0.07 and 0.48 with the same or uniform categories.
Article
Full-text available
Marine bivalves are aquatic organisms commonly found in the intertidal zone that frequently exposed to pollution and anthropogenic activities. The study aimed to determine the bivalvian diversity and its distribution pattern in Belawan Waters as one of the most polluted estuary area in North Sumatra. The study used purposive sampling in two sites, Station-1 was located at the mangrove forest in Kwala Besar and Station-2 was located at Bagan Belawan or human-exposed waters. The study documented seven species of bivalves with Solen sp. as the most abundant species (3.33 ind/m ² ) at Site-1 and Hiatula chinensis (7.44 ind/m ² ) at Site-2. The Shannon’s diversity index ( H’ ) of bivalves in Belawan Waters was categorized as low level of divesity in both sites. The distribution pattern of Atrina pectinata, Lingula anatina , and Placuna sp. was randomly distributed while Anadara granosa, Solen sp., Hiatula chinensis and Tellina exerythra was clumped in the area based on the Morisita’s index. Bivalve diversity index was positively correlated with the physicochemical characteristics of Belawan waters, including pH, COD, TSS, and PO 4 , while TDS, BOD 5 , DO, Substrate Organic Content, salinity, and temperature were negatively correlated to the diversity.
Article
Full-text available
Characteristic of Dog Conch Strombus turturella Habitat on The Seagrass Ecosystem Strombus turturella or commonly known as dog conch is one of marine shellfish which has important ecological role, as well as high economical value as fisheries commodity. The objectives of the study were to determine the density and biomass of the shellfish, as well as to observe the distribution pattern and the characteristics of dog conch habitat in the seagrass ecosystem. The research was conducted at Tukak Island and Anak Air Island, Bangka Belitung Islands. Density of the shellfish, seagrass coverage, seagrass density as well as water chemistry and physical parameters, while data collection in laboratory, measurement of dog conch biomass, substrate texture test and organic matter content. Habitat characteristics were determined using principal component analysis (PCA), which connects between dog conch density variables, seagrass vegetation and chemical physics parameters. The average density of dog conch in all locations is 2312 ind / ha. The pattern of distribution of dog conch at the study site there is a pattern of uniform distribution and clumping, but the overall pattern of distribution is clustering. The PCA results show dog conch, with habitat characteristics that is very low seagrass cover (1-5%), overgrown species of Halophila minor seagrass, with the condition of muddy sand substrate and low content of organic matter. Result of the correlation matrix dog conch was correlated with H. Minor seagrass (0.88), very low seagrass cover (0.86) and muddy sand substrate (0.9). This is aimed at dog conch keeping specific microhabitat in the seagrass ecosystem. Siput gonggong memiliki peranan ekologis yang penting di habitatnya. Nilai ekonomis siput gonggong yang tinggi sebagai komoditas perikanan telah menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap spesies tersebut. Tujuan penelitian yaitu 1)menentukan kepadatan dan biomassa siput gonggong, 2)Pola sebaran dan 3)Karakteristik habitat siput gonggong di ekosistem padang lamun. Penelitian dilakukan di Pesisir Tukak dan Pulau Anak Air, Kepulauaan Bangka Belitung. Pengambilan data di lapangan melputi pengukuran kepadatan, perhitungan tutupan lamun, kerapatan lamun dan pengukuran parameter fisika kimia perairan, sedangkan pengambilan data di laboratorium meiputi, pengukuran biomassa siput gonggong, uji tekstur substrat dan kandungan bahan organik. Karakteristik habitat ditentukan menggunakan analisis komponen utama (PCA), yang menghubungkan antar variabel kepadatan siput gonggong, vegetasi lamun dan parameter fisika kimia perairan. Kepadatan rata-rata siput gonggong di semua stasiun yaitu 2312 ind/ha. Pola sebaran siput gonggong di stasiun penelitian ada pola sebaran seragam dan mengelompok, tetapi secara keseluruhan pola sebaran yaitu mengelompok. Hasil PCA menujukan siput gonggong, dengan karakteristik habitat yaitu tutupan lamun sangat rendah (1-5 %), ditumbuhi spesies lamun Halophila minor, dengan kondisi substrat pasir berlumpur dan rendah kandungan bahan organik. Selain itu berdasarkan hasil matrik korelasi bagian dari output PCA siput gonggong berkorelasi positif dengan lamun H. Minor (0,88), tutupan lamun sangat rendah (0,86) dan substrat pasir berlumpur (0,9). Hal ini menujukan siput gonggong menepati mikrohabitat yang spesifik di ekosistem padang lamun.
Article
Full-text available
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan, keanekaraaman, keseragaman, dan dominansi Makrozoobentos yang terdapat di Perairan Bedagai serta faktor fisika -kimia perairan. Pengambilan sampel dilakukan pada 4 (empat) stasiun berdasarkan rona lingkungannya. Populasi penelitian adalah seluruh makrozoobentos yang terdapat di Perairan Bedagai, sedangkan sampelnya adalah makrozoobentos yang berhasil tertangkap dengan Eckmangrab.Metode penelitian adalah deskriptif survei. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa di Perairan Bedagai ditemukan 18 taksa makrozoobentos yang terdiri dari 13 Gastrpoda, 3 Annelida, dan 2 Arthropoda. Kelimpahan total makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian berkisar antara 1506,56 – 2692,31 ind/m2 , makrozoobentos yang dominan ditemukan adalah Pagurus sp (801,28) ind/m2)Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan ideks dominansi makrozoobentos di perairan bedagai selama penelitian masing-masing berkisar antara 1,96 – 2,42: 0,707 – 0,894: 0,11 – 0,9513.Faktor kimia-fisika perairan seperti suhu, kecerahan, kekeruhan, intensitas cahaya, oksigen terlarut (DO), pH, BOD5 dan salinitas masih mendukung kehidupan biota perairan.
Article
Full-text available
Local and regional market demands for bivalves increase outside Tanjung Balai City and Asahan District Waters, North Sumatra, Indonesia. As a result, high exploitation of bivalves occurred. In the other hand, there were less comprehensive information and studies on the diversity of bivalves in this area. This study aimed to determine the diversity of bivalves and water quality of Tanjung Balai Asahan Waters; was conducted between July 2016 and November 2017. Sampling of bivalves was conducted monthly. Several physical and chemical parameters were quantified. Data analysis included community structure analysis and Principal Component Analysis (PCA). The result showed that there were 16 species of bivalves from 7 families in Tanjung Balai Asahan Waters. Station 2 had the highest composition of bivalves, while the lowest was noted at Station 1. The mean abundance of bivalves at stations 1, 2 and 3 were 352±22 ind/m², 222±14 ind/m² and 388±30,2 ind/m², respectively. In general, the index of diversity was categorized as low to moderate. The evenness index was categorized as low to high, while the dominance index indicated the absence of dominant species at almost all stations except station 1. Water quality of the waters was still in capacity to support the life of bivalves. Based on PCA analysis, it was obtained that the abundance of bivalves was positively correlated with nitrite, nitrate, phosphate, salinity, and pH.
Article
Full-text available
Kerang hijau merupakan komoditas budidaya laut yang sangat prospektif untuk dikembangkan pada suatu sistem budidaya, karena dapat dilakukan dengan biaya produksi yang rendah namun menghasilkan profitabilitas yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode dan kepadatan yang paling optimal untuk budidaya kerang hijau di perairan pesisir Kuala Langsa, Aceh. Metode penelitian menggunakan rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri atas faktor metode (long line dan stick) dan faktor kepadatan (20, 30, dan 40 individu/kantong 5,30 L), masing-masing diulang sebanyak empat kali. Berdasarkan sidik ragam data Specific Growth Rate (SGR) dari panjang (SGL L) dan bobot (SGR W) menunjukkan semua perlakuan metode, kepadatan dan interaksi berbeda signifikan pada taraf uji 5% (P
Article
Full-text available
Seagrass meadows are considered important for sediment trapping and sediment stabilisation. Deposition of fine sediments and associated adsorbed nutrients is considered an important part of the chemical and biological processes attributed to seagrass communities. This paradigm was based on work in temperate regions on Zostera marina and in tropical regions on Thalassia testudinum, two species that maintain relatively high biomass, stable meadows. The current study investigates this concept for three species of intertidal tropical seagrass meadows in northeastern Australia. Sediment structure and nutrient status did not differ between vegetated and unvegated habitats in intertidal areas within the central region of the Great Barrier Reef World Heritage Area. The 'trapping' functions that have been attributed to seagrasses need to be re-assessed for a variety of locations and species before they can be accepted as dogma. In tropical Australia, intertidal meadows are predominantly ephemeral and comprised of structurally small species of low biomass. Consequently, sediment trapping within these meadows is largely insignificant.
Article
The Philippines is a haven of a rich diversity of marine organisms. Unraveling this diversity had posed a tremendous challenge. The existing security threat in some areas of the archipelago had led to a dearth of information with regard to the diversity of organisms especially the islands located in the province of Sulu. Marine mollusc studies are still among those that are overseen by many researchers. To date, there is still a lack of basic information such as diversity and species checklist that make it impossible to assess the rate of population lost among existing marine molluscs. There is no published information on the actual number of marine shelled molluscan species in the area. This work assessed, described and identified some economically important molluscs in the island of Hadji Panglima Tahil, in the province of Sulu, Philippines. There were a total of 18 molluscs (marine bivalves & gastropods) species found and identified in the island. The molluscs served as food, ornaments and as source of livelihood by residents in the area, which is separated by sea from Jolo, the capital municipality of the province. The natives of the island depended mainly on fishing and hunting of molluscs found along the seashore. Geographically, the northwestern part of the area is strategically enclosed, making it undisturbed by strong waves while, the eastern portion facing Jolo, is more exposed to strong waves that created an advantage by pushing the organisms thriving in the deeper coral regions towards the seashore hence, affording opportunities for more consumption by the people. The molluscs’ meat were valuable and the shells itself are of equal importance to many shell dealers in the town of Jolo or in the nearby business hub, Zamboanga City. Habitats ranged from pristine waters in the northwestern portion of the island to disturbed waters in the eastern part attributed by anthropogenic activities in the area. It was noted that the most dominant species found was Mercenaria mercinaria, which thrived in the northwestern part of the island. This seashell is often found in Jolo market daily and other nearby municipalities like Maimbung and Siasi. At present, the residents in the area are still capable of sustaining the survival of these organisms. However, due to inevitable increase in commercial demand and overexploitation it may result to a possible depletion of these resources. Hence, they should be equipped with the proper scientific knowledge on the preservation and conservation of such organisms.
Article
Contemporary environmental challenges have emphasized the need to critically assess the use of bivalve mollusks in chemical monitoring (identification and quantification of pollutants) and biomonitoring (estimation of environmental quality). Many authors, however, have considered these approaches within a single context, i.e., as a means of chemical (e.g. metal) monitoring. Bivalves are able to accumulate substantial amounts of metals from ambient water, but evidence for the drastic effects of accumulated metals (e.g. as a TBT-induced shell deformation and imposex) on the health of bivalves has not been documented. Metal bioaccumulation is a key tool in biomonitoring; bioavailability, bioaccumulation, and toxicity of various metals in relation to bivalves are described in some detail including the development of biodynamic metal bioaccumulation model. Measuring metal in the whole-body or the tissue of bivalves themselves does not accurately represent true contamination levels in the environment; these data are critical for our understanding of contaminant trends at sampling sites. Only rarely has metal bioaccumulation been considered in combination with data on metal concentrations in parts of the ecosystem, observation of biomarkers and environmental parameters. Sclerochemistry is in its infancy and cannot be reliably used to provide insights into the pollution history recorded in shells. Alteration processes and mineral crystallization on the inner shell surface are presented here as a perspective tool for environmental studies.
Article
Differences in the accumulation of mercury (Hg) in five species of marine bivalves, including scallops Chlamys nobilis, clams Ruditapes philippinarum, oysters Saccostrea cucullata, green mussels Perna viridis, and black mussels Septifer virgatus, were investigated. The bivalves displayed different patterns of Hg accumulation in terms of the body concentrations of methylmercury (MeHg) and total Hg (THg), as well as the ratio of MeHg to THg. Parameters of the biodynamics of the accumulation of Hg(II) and MeHg could reflect the species-dependent Hg concentrations in the bivalves. With the exception of black mussels, we found a significant relationship between the efflux rates of Hg(II) and the THg concentrations in the bivalves. The interspecific variations in the MeHg to THg ratio were largely controlled by the relative difference between the elimination rates of Hg(II) and MeHg. Stable isotope (δ(13)C) analysis indicated that the five bivalve species had contrasting feeding niches, which may also affect the Hg accumulation.
Article
The population density and growth of the cockle Anadara antiquata L. Pelecypoda in Pisang River bay area Padang city, west Sumatera. The research has been done from March to December in 2004. The cockles A.antiquata were collected with systimatic stratified method. The cockle A. antiquata colletion site were divided three strata. The each strata were divided three station based on the water depth. Results of the research showed that the higest density of the cockle A. antiquata was found at station 1 strata III (1.8 ind./m2) and the lowest density at the station 3 strata I (0.9 ind./m2). The higest growth rate of A. antiquata was the length 3 cm (0.064 ± 0.043 cm/ind./15 day) and the lowest growth rate was the length 5 cm (0.009± 0.011 cm/ind./15 day) with corellation similarity Y=0.087–0.0165X; r=0.976). Keywords: Anadara antiquata, Pelecypoda, conservation, cockle
Kajian ekologis bivalvia di perairan Semarang bagian Timur pada bulan Maret
  • D Kharisma
  • R Adhi C Dan Azizah
Kharisma D., Adhi C dan Azizah R. 2012. Kajian ekologis bivalvia di perairan Semarang bagian Timur pada bulan Maret-April 2012. J. of Marine Science 1(2), 216-225.