ArticlePDF Available

Abstract

The global agenda, namely sustainable development goals (SDGs), requires all business activities, including farming, to carry out a production process that concerns sustainability. This study examined the extent to which the sustainability level of rice farming from a multidimensional perspective from the three pillars of sustainability: economic, social, and environmental. Tasikmalaya District was purposively chosen because there was an environmentally friendly farmer organization applying the rice intensification (SRI) method. As many as sixty farmers were selected randomly as respondents. The analytical method used in this study refers to the Composite Index developed by OECD (2013) by comparing the index score of its pillars. The results indicate that the sustainability index of rice farming is 0.46. The environmental dimension contributes the highest score to the total index, indicating very good performance. However, still lacking in the social and economic dimensions. Therefore it is necessary to strengthen the last two pillars so that all three pillars of sustainability can be achieved.
Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118 107
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Tersedia online di http://journal.ipb.ac.id/index.php/jagbi
INDEKS KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI DI TASIKMALAYA
Maryono
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
e-mail: maryonomr@apps.ipb.ac.id
ABSTRACT
The global agenda, namely sustainable development goals (SDGs), requires all businesses activities
including farming to carry out a process of production that concerns on its sustainability. This study
examined the extent to which of the sustainability level of rice farming in a multidimensional perspective
from the three pillars of sustainability, namely economic, social, and environmental. Tasikmalaya District
was purposively chosen because there was so called environmentally friendly farmer organization applying
system of rice intensification (SRI) method. As much as sixty farmers were selected randomly as
respondents. The analytical method used in this study refers to the Composite Index developed by OECD
(2013) by comparing the index score of its pillars. The results indicate that the sustainability index of rice
farming is of 0.46. The environmental dimension contributes the highest score to the total index that
indicate very good performance, however, still lacking in the social and economic dimension. Therefore it is
necessary to strengthen the last two pillars so that all the three pillars of sustainability can be achieved
rateably.
Keywords: SDGs, sustainability, composite indicator, rice farming
PENDAHULUAN
Sejalan dengan meningkatnya isu per-
ubahan iklim dunia, para aktivis lingkungan,
pemangku kebijakan, dan konsumen yang
semakin kritis terhadap produk yang
dikonsumsinya dan menuntut para pelaku
usaha untuk melakukan proses produksi yang
lebih ramah lingkungan. Selanjutnya isu
tersebut berkembang lebih luas tidak hanya
terkait pada isu lingkungan namun lebih
meluas pada satu tema besar yaitu pem-
bangunan berkelanjutan (sustainable develop-
ment) dimana isu lingkungan hanya menjadi
salah satu isu didalamnya. Literatur terkait
keberlanjutan telah berkembang pesat dalam
kurun waktu satu dekade terakhir ini namun
demikian masih ditemukan kompleksitas dan
ketidakjelasan dalam memandang apa itu ke-
berlanjutan (Roy et al., 2013). Bon et al. (2012)
berpendapat bahwa konsep keberlanjutan itu
sangat normatif dan tidak dapat didefinisikan
secara tunggal. Hal inilah yang menjadikan
tingkat kesulitan dalam mengkuantifikasikan
keberlanjutan karena berbasis pada subjek-
tivitas dan berbasis pada nilai (Bell and Morse,
2008).
Diskusi tentang pembangunan berke-
lanjutan terus berkembang dan semakin
meningkat dalam kurun waktu satu dekade
terakhir ini. Puncaknya pada tahun 2015
dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations) telah menetapkan agenda global
mengenai tujuan pembangunan berkelanjutan
atau yang dikenal dengan Sustainable
Development Goals (SDGs) yang terdiri atas 17
tujuan utama dan 169 target yang harus
dicapai pada tahun 2030 (UN, 2015). Semua
tujuan dan target tersebut terintegrasi dan me-
nyeimbangkan tiga pilar dari pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yaitu
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tujuan dan
target tersebut menstimulasi aksi terhadap isu
penting terkait 5 P yaitu people, planet,
prosperity, peace, dan partnership. Dalam
kaitannya dengan dialog global tersebut
sektor pertanian menjadi poros utama. Hal ini
karena pertanian menjadi basis industri dari
produk-produk industri turunannya untuk
pemenuhunan kebutuhan manusia.
Para pelaku usaha khususnya usaha
besar dalam rangka memenuhi harapan
publik meresponnya dengan memproduksi
produk-produk yang diklaim memenuhi
108 Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya Maryono
standar sustainable development (Eccles et al.,
2011). Produk-produk berbasis pertanian
yang diklaim diproduksi dengan memper-
hatikan sustainable development umumnya
dicirikan dalam program sertifikasi dengan
menyematkan apa yang disebut dengan eco-
labeling pada produknya. Hingga tahun 2012
terdapat 435 eco-labeling yang mengkalim
memenuhi kriteraia keberlanjutan (COSA,
2013). Semua eco-labeling ini bertujuan untuk
mempromosikan pembangunan berke-
lanjutan, selain sebagai strategi pemasaran
untuk meningkatkan citra produk dimata
konsumen.
Pembangunan berkelanjutan pada dasar-
nya meliputi seluruh rantai nilai (value chain)
dari tingkat yang paling dasar dalam proses
produksi pertanian yaitu on-farm. Oleh karena
itu para pelaku usaha besar juga menerapkan
sertifikasi pada sektor on-farm sebagai supplier
bahan baku yang mana mereka didominasi
oleh petani-petani kecil (small holders). Dalam
sistem rantai nilai global (global value chain)
agribisnis dimanapun dibelahan dunia ini
tidak bisa lepas dari keberadaan small holder.
Small holder memiliki peranan yang istimewa
karena menjadi baseline dalam rangkaian value
chain agribisnis. Namun demikian, meskipun
disadari pentingnya keberadaan small holders
tersebut, keberadaannya sering kali diabaikan
sehingga dalam banyak kasus small holder
memiliki posisi tawar yang paling lemah
dalam global value chain.
Sustainable development dapat dilihat dari
berbagai arah. Mulai dari industri hingga
pada tingkat pelaku usahatani skala kecil.
Selama ini penelitian-penelitian yang ada cen-
derung melihat keberlanjutan dalam kerang-
ka bisnis skala besar dan biasanya terkait
dengan perusahaan global (multinational
company), sementara itu penelitian tentang
keberlanjutan pada skala usaha kecil yang
bermain dalam rantai nilai lokal (local value
chain) masih relatif jarang dilakukan. Oleh
karena itu, dalam rangka mengisi gap area
penelitian tersebut, penelitian ini dilakukan
untuk mengkaji sejauh mana penerapan
keberlanjutan dalam skala usaha tani kecil
sebagai bagian dari rantai nilai secara
keseluruhan.
Selain itu, penelitian-penelitian yang
sudah dilakukan cenderung fokus pada
komoditi-komoditi bernilai tinggi dan
merupakan rangkaian rantai nilai global
(global value chain) seperti kakao, kopi, pala,
kelapa sawit (Muradian and Pelupessy, 2005;
Petkova, 2006). Namun hanya sedikit di-
jumpai penelitian yang mengkaji keber-
lanjutan pada tingkat usahatani tanaman
pokok yaitu padi.
Padahal di Indonesia tanaman padi me-
rupakan sumber komoditas makanan pokok
yang berdasarkan data Susenas 2013 sekaligus
menjadi tumpuan hidup 17,72 juta rumah
tangga petani (BPS, 2017). Dengan demikian
isu keberlanjutan pada usahatani padi sangat
penting menjadi perhatian publik secara luas.
Oleh karena itu kajian analisa keberlanjutan
pada usahatani padi ini dilakukan dengan
harapan dapat memberikan gambaran bagai-
mana tingkat keberlanjutan usahatani padi
dan langkah-langkah intervensi apa yang bisa
diambil untuk dapat meningkatkan keber-
lanjutan usahatani padi tersebut dilihat dari
kerangka pembangunan berkelanjutan (Fiksel
et al., 2012) yang mana memiliki tiga pilar
utama yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Penelitian ini mencoba untuk menerap-
kan metode analisa keberlanjutan dengan
pendekatan kontruksi Composit Indicator (CI)
yang dikembangkan oleh The Organization for
Economic Co-operation and Development
(OECD) pada tahun 2008 yang diaplikasikan
pada skala usahatani di Kabupaten Tasik-
malaya. Kabupaten Tasikmalaya selama satu
dekade terakhir ini telah menerapkan pola
System of Rice Intensification (SRI) yang
dianggap lebih mendukung pembangunan
berkelanjutan.
Secara umum penelitian ini akan meng-
kaji sejauh mana tingkat keberlanjutan usaha-
tani padi di Tasikmalaya secara multidimensi
dari tiga pilar keberlanjutan yaitu ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Selanjutnya meng-
analisis variabel-variabel pembentuk pilar
keberlanjutan yang masih rendah sehingga
Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118 109
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Maryono Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya
dapat diidentifikasikan kebutuhan akan
adanya intervensi yang tepat.
METODE PENELITIAN
DATA DAN SAMPEL
Data yang digunakan dalam penelitian
ini mengutamakan data primer yang di-
peroleh dari wawancara secara mendalam
terhadap responden dengan menggunakan
panduan pertanyaan terstruktur dalam
bentuk kuesioner. Adapun data sekunder
digunakan hanya sebagai penunjang, yang
mana diperoleh dari data Dinas Pertanian
Kabupaten Tasikmalaya, Badan Pusat Sta-
tistik, serta literatur-literatur hasil penelitian
sebelumnya.
Responden dalam penelitian ini adalah
60 petani yang dipilih secara acak di
Kecamatan Manonjaya Kabupaten Tasik-
malaya yang telah menerapkan metode SRI
serta melakukan introduksi model pertanian
organik.
METODE ANALISIS
Metode yang digunakan dalam kajian ini
mengacu pada buku the Handbook on
Constructing Composit Indicator (CI) yang
diterbitkan oleh OECD tahun 2008. OECD
(2008) dalam buku tersebut diatas memapar-
kan bahwa composit indicator (CI) dapat
merangkum realitas yang komplek dan
multidimensi. Secara umum CI merupakan
kombinasi secara matematis dari indikator-
indikator penyusun suatu model (Roy et al.,
2014). Penggunaan CI semakin sering
digunakan dan diakui sebagai alat yang
sangat berguna dalam mengukur konsep
yang komplek seperti halnya mengukur
keberlanjutan (Esty et al., 2005).
Adapun tahapan yang dilakukan dalam
penyusunan indek keberlanjutan meliputi
empat tahap, yaitu: penyusunan indikator,
pengumpulan data, pengujian kualitas data,
dan penyusunan indek. Tahapan selengkap-
nya disajikan pada Gambar 1.
Tahapan penyusunan indeks keber-
lanjutan diawali dengan menentukan indi-
kator keberlanjutan yang dilakukan melalui
studi literatur pada hasil-hasil penelitian
sebelumnya serta meliputi berbagai komoditi.
Selanjutnya indikator-indikator tersebut
disesuaikan dengan kondisi pada komoditi
padi dan kesesuaian dengan kondisi geografis
di lokasi penelitian. Berdasarkan studi
literatur tersebut didapatkan tiga belas (13)
indikator sebagai pembentuk pilar keber-
lanjutan yang melingkupi tiga pilar yaitu
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pilar
ekonomi terdiri atas lima variabel yaitu
produktivitas lahan, pendapatan usahtani,
rasio B/C, dan efisiensi penggunaan input,
dan kemandirian input. Pilar sosial terdiri atas
enam variabel yaitu akses pendidikan, modal
sosial, keberadaan dan frekuensi pertemuan
penyuluhan, efektivitas penyuluhan, keter-
sediaan dan akses informasi, dan keadilan
Gambar 1. Tahapan Penyusunan Sustainability Index
110 Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya Maryono
dan kesetaraan. Sementara untuk pilar ling-
kungan terdiri atas tiga variabel yaitu tek-
nologi dan aplikasi konservasi sumberdaya
alam, pengendalian hama terpadu secara
alami, dan upaya diversifikasi. Tiga pilar
keberlanjutan beserta variable serta peng-
ukuran yang digunakan dalam penelitian ini
selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Tahapan berikutnya adalah pengumpul-
an data melalui survey responden yang
menjadi objek kajian, dalam hal ini petani
padi dengan total responden sebanyak 60 data
secara cross section.
Tahapan ketiga adalah pengujian
kualitas data. Hal ini dilakukan agar data
yang akan diolah benar-benar mencerminkan
keadaan sesungguhnya dan menghindari
bias. Langkah-langkah yang dilakukan me-
liputi penyaringan (screening), melengkapi
data yang hilang (missing data), dan
menghitung indikator-indikator tertentu yang
harus diperhitungan terlebih dahulu sebelum
data tersebut dapat diolah seperti indikator
ekonomi meliputi tingkat pendapatan usaha-
tani, rasio B/C, serta Efisiensi Teknis. Tingkat
pendapatan dan rasio B/C diperoleh dari
perhitungan analisis pendapatan usahatani.
Sementara itu perhitungan efisiensi teknis
dalam penelitian ini menggunakan metode
pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA).
Tabel 1. Metode Pengukuran Keberlanjutan Usahatani Padi
Pilar
Variabel
Definisi
Pengukuran
Economi
Produktivitas lahan
Hasil panen untuk tiap unit lahan
Hasil panen ton/ha
Pendapatan usahatani
Nilai total penerimaan dikurangi
total biaya
Pendapatan bersih usahatani
Rasio manfaat dan
biaya
Ratio total pendapatan dan biaya
BCR=total pendapatan/biaya
Efisiensi penggunaan
input
Tingkat efisiensi penggunaan
input dihitung berdasarkan
output/input menggunakan DEA
Nilai efisiensi teknis output
terhadap input
Kemandirian input
Rasio input internal dan ekternal
Rasio input dari internal dan
ekternal
Sosial
Akses Pendidikan
Lamanya jenjang pendidikan
Jumlah tahun
Modal sosial
Keterlibatan dalam organisasi,
intensitas pertemuan, dan tingkat
kepercayaan terhadap organisasi
Keanggotaan
Frekuensi pertemuan
Tingkat kepercayaan terhadap
organisasi
Keberadaan dan
frekuensi pertemuan
dengan lembaga
penyuluh
Mengukur tingkat
pertemuan/konsultasi dengan
lembaga penyuluh dalam satu
tahun terakhir
Frekuensi penyuluhan
Efektivitas
penyuluhan
Mengukur persepsi terhadap
efektivitas dan manfaat dari
penyuluh
Persepsi tingkat efektivitas:
Persepsi terhadap manfaat
penyuluhan
Ketersediaan dan
akses informasi
Mengukur ketersediaan dan
akses terhadao sumber informasi
terkait pertanian
Ketersediaan dan kemampuan
akses terhadap sumber informasi
Keadilan dan
kesetaraan
Mengukur moral keadilan dan
mengukur pendapat petani
terhadap bagaimana barang dan
jasa didistribusikan
Kesetaraan pengupahan
Lingkungan
Teknologi dan aplikasi
konservasi
sumberdaya alam
Mengukur frekuensi petani
menggunakan teknologi dan
praktik pertanian ramah
lingkungan
Apakah Menggunakan pupuk
organic:
Intensitas penggunaan pupuk
organic
Pengendalian hama
terpadu
Mengukur bagaimana petani
mengendalikan OPT
menggunakan pestisida nabati
Upaya pengendalian OPT (hama,
penyakit, gulma) dan frekuensi
penggunaan upaya alami atau
penggunaan obat nabati
Diversivikasi
Mengukur keragaman dan
proporsi tanaman
Jumlah dan jenis tenaman dan
proporsi luas lahan
Sumber: Diadaptasikan dari Roy et al. (2014)
Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118 111
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Maryono Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya
Tahap terakhir adalah penyusunan
indeks keberlanjutan. Penyusunan indeks
keberlanjutan meliputi tiga tahap yaitu
normalisasi, pembobotan, dan agregasi.
Ketiga tahapan ini selengkapnya dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Normalisasi
Data yang dianalisis memiliki perbedaan
unit pengukuran sehingga tidak dapat
dibandingkan satu sama lain. Misalnya
data pendapatan dinyatakan dalam rupiah
(Rp), sementara efisiensi teknis dalam
bentuk persentase (%), sementara data
efektivitas penyuluhan berbentuk data
skala. Oleh karena itu maka diperlukan
proses normalisasi data. Proses normali-
sasi data diperlukan untuk memperoleh
data yang dapat diperbandingkan satu
sama lain. Sebaran data yang diperoleh
dari hasil normalisasi adalah berkisar
diantara 0 (nol) hingga 1 (satu). Dalam
buku the handbook on constructing composit
indicator (CI) di bahas beberapa metode
yang dapat dilakukan dalam melakukan
normalisasi (OECD, 2008). Setelah mem-
pertimbangkan beberapa metode normali-
sasi diputuskan bahwa penelitian ini
menggunakan metode Maximum-
Minimum dengan pertimbangan utama
adalah kesederhanaan dalam proses
perhitungan namun dengan hasil yang
robust. Metode Maximum-Minimum
menggunakan formula perhitungan
sebagai berikut:
Dimana Ii adalah nilai dari indikator yang
dinormalisasi, x adalah nilai awal
indikator, dan max (x) dan min (x) adalah
nilai maksimum dan nilai minimum dari
nilai x.
2. Pembobotan
Pembobotan (weighting) menggunakan
metode Proportional Equal Weighting.
Metode ini memungkinkan untuk mem-
berikan bobot yang sama pada tiap kom-
ponen pengukuran. Tidak ada konsensus
dalam menentukan metode pembobotan
yang paling baik. Perdebatan diantara
peneliti yang masih terjadi berkisar antara
pemilihan pendekatan subjektif melalui
partisipatif atau objektif melalui statistik.
Dalam literatur-literatur, equal weighting
merupakan metode yang paling banyak
digunakan. Babbie (1995) merekomendasi-
kan bahwa metode equal weighting harus
menjadi standar. Hal ini karena secara
metodologi dapat di justifikasi, transparan,
dan data-driven. Selain itu metode ini
menghindari adanya bias kepentingan
sebagaimana terjadi pada metode
partisipatif (Nicoletti et al., 2000).
3. Agregasi
Tahapan ini terdiri atas dua tahap. Tahap
agregasi yang pertama merupakan proses
untuk mendapatkan angka indeks dari
masing-masing pilar yaitu ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Selanjutnya dilakukan
kembali agregasi tahap kedua untuk
memperoleh nilai indeks keberlanjutan
yang merupakan agregasi dari ketiga pilar
tersebut. Perhitungannya menggunakan
pendekatan aritmatika sebagai berikut:
Dimana SI adalah indek keberlanjutan, Ii
indikator yang sudah dinormalisasi, dan
wi adalah bobot dari indikator.
Selanjutnya, skor indeks keberlanjutan
dikelompokkan kedalam lima kategori
yang menunjukkan tingkat capaian
keberlanjutan sebagaimana skala berikut
ini :
0.0 < SI ≤ 0.2 : Sangat tidak berkelanjutan
0.2 < SI 0.4 : Tidak berkelanjutan
0.4 < SI ≤ 0.6 : Cukup berkelanjutan
0.6 < SI ≤ 0.8 : Berkelanjutan
0.8 < SI ≤ 1.0 : Sangat berkelanjutan
112 Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya Maryono
GAMBARAN UMUM
KERAGAAN USAHATANI
Secara umum praktik usahatani padi
yang dilakukan oleh petani di Kecamatan
Manonjaya relatif homogen karena petani
mendapatkan panduan praktek budidaya
pertanian padi melalui pelatihan-pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah daerah.
Perbedaan yang ada adalah dalam hal
penggunaan input produksi yang bersifat
organik seperti bahan baku pupuk dan
pestisida nabati, yang disesuaikan dengan
ketersediaan bahan bakunya di lingkungan
usahatani padi tersebut. Secara umum,
penggunaan input usahatani padi yaitu benih,
pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja.
Beberapa hal lain yang membedakan adalah
jenis input dan jumlah input yang digunakan.
Varietas benih padi yang banyak di-
kembangkan yaitu Sintanur dan Ciherang
yang menghasilkan beras dengan kualitas
medium. Petani membeli benih padi kepada
kelompok tani atau toko pertanian yang ada
di lingkungan setempat. Selain itu, petani juga
memanfaatkan sebagian dari hasil panen
untuk dijadikan benih untuk ditanam pada
musim tanam berikutnya. Kebutuhan benih
per hektar per musim tanam sebesar 36
kilogram, sedangkan penggunaan benih yang
dianjurkan pemerintah adalah 25 kilogram
perhektar. Petani telah menggunakan sistem
tanam jajar legowo 2:1 dan jumlah bibit yang
ditanam hanya satu hingga tiga rumpun padi
per lubang tanam.
Melalui pelatihan yang dilakukan oleh
penyuluh, petani diarahkan untuk mampu
memproduksi pupuk organik secara mandiri.
Namun demikian, petani lebih memilih
membeli pupuk organik dari pihak luar yang
diperoleh melalui kelompok tani. Para petani
beranggapan bahwa pembuatan pupuk
organik membutuhkan waktu yang relatif
lama. Namun demikian, petani sudah
membuat cairan MOL (Mikro Organisme
Lokal) secara mandiri karena bahan-bahan
yang digunakan lebih mudah diperoleh.
Rata-rata kebutuhan pupuk kandang per
hektar per musim tanam adalah sebesar 4.705
kilogram per hektar. Petani padi juga
menggunakan pupuk berbahan kimia. Seperti
Urea, TSP, NPK, dan KCL. Petani men-
dapatkan pupuk kimia tersebut dari toko
sarana produksi pertanian yang ada di
lingkungan tempat tinggal mereka. Alasan
mereka masih menggunakan pupuk kimia
adalah lebih efisien dalam menggunakan
waktu.
Dosis penggunaan pupuk kimia yang
dianjurkan oleh pemerintah untuk urea
sebesar 200 kilogram per hektar, sedangkan
untuk pupuk TSP, NPK dan KCl diberikan
dengan dosis yang sama yaitu 100 kilogram
per hektar. Penggunaan pupuk urea di-
lapangan melebihi dosis yang telah dianjur-
kan oleh pemerintah, yaitu sebesar 259
kilogram per hektar. Namun dalam peng-
gunaan pupuk TSP, NPK, dan KCl masih
dibawah dosis yang dianjurkan yaitu masing-
masing sebesar 97 kilogram per hektar, 78
kilogram per hektar, dan 30 kilogram per
hektar.
Pengendalian hama dilakukan ada yang
menggunakan pestisida nabati namun juga
ada yang masih menggunakan pestisida
berbahan kimia. Pestisida berbahan kimia
yang digunakan oleh petani terdiri dari dua
jenis yaitu pestisida padat dan pestisida cair.
Pada pestisida padat, petani menggunakan
pestisida yang berbentuk karbofuran, yaitu
pestisida dengan merek dagang Furadan.
Sedangkan pestisida cair yang digunakan
dengan merek dagang seperti Decis dan Pastal.
Petani biasanya melakukan penyemprotan
pestisida bila terdapat serangan hama atau
penyakit pada tanaman, namun pada bebera-
pa petani tetap melakukan penyemprotan
meskipun tidak terdapat serangan hama
dengan motif upaya preventif. Rata-rata
penggunaan pestisida padat dalam satu
musim tanam adalah 26 kilogram per hektar
sedangkan pestisida cair 31 liter per hektar.
Petani di lokasi peneltian juga telah
menggunakan mekanisme pengendalian
hama penyakit secara alami. Pengendalian
hama dan penyakit dengan cara pengendalian
fisik dan penyemprotan pestisida nabati.
Pengendalian fisik dilakukan dengan cara
Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118 113
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Maryono Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya
mencabut gulma yang berada dilahan dan
pematang sawah, sedangkan penyemprotan
hama sekaligus dengan menyemprotkan
larutan MOL yang dibuat secara mandiri.
Kebutuhan tenaga kerja yang digunakan
petani berasal dari tenaga kerja dalam
keluarga dan tenaga kerja luar keluarga.
Petani bekerja di sawah selama lima jam dari
pukul 07.00-12.00 WIB. Rata-rata upah yang
diterima tenaga kerja pria dalam satu hari
kerja (5 jam) senilai Rp. 45.000 (terdiri Rp.
40.000 berupa uang tunai dan Rp. 5.000
berupa natura seperti makanan atau rokok),
sedangkan rata-rata upah yang diterima
tenaga kerja wanita dalam satu hari kerja (5
jam) senilai Rp. 30. 000 (berupa Rp. 25.000 dan
Rp. 5.000 untuk makanan). Sedangkan untuk
tenaga kerja traktor menggunakan sistem
borongan dalam proses pembayaran upah.
Perhitungan upah tenaga kerja traktor yang
harus dikeluarkan adalah Rp. 2.500 per bata
(16 meter persegi).
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Keragaan responden disajikan pada
Tabel 2. Rata-rata umur petani tergolong
cukup tua yaitu 53 tahun. Usia responden
termuda adalah 30 tahun sedangkan
responden yang paling tua adalah 72 tahun.
Hal ini memang sesuai dengan karakter
umum usahtani tanaman pangan khususnya
padi yang telah mengalami usia tua (ageing
population). Lama mengenyam pendidikan
formal rata-rata selama 7 tahun yang berarti
bahwa secara rata-rata petani responden telah
lulus sekolah dasar (SD), adapun pendidikan
tertinggi responden tingkat SLTP. Angka
tersebut menunjukkan bahwa tingkat pen-
didikan petani responden masih tergolong
rendah.
Luas lahan usahatani padi yang dikelola
secara rata-rata adalah 0,28 hektar. Kondisi ini
menunjukkan bahwa usahatani yang dilaku-
kan merupakan usahatani skala kecil (kurang
dari 0,5 hektar). Dengan skala usahatani yang
demikian, akan cenderung sulit untuk
melakukan introduksi teknologi yang harus
mengeluarkan biaya usahatani tambahan
karena keterbatasan permodalan. Penga-
laman usahatani padi secara rata-rata adalah
18 tahun dan peling lama adalah 42 tahun
sedangkan paling sedikit adalah 2 tahun.
Dengan demikian petani responden sudah
memiliki pengalaman yang luas mengenai
berusahatani padi. Jumlah anak dan tang-
gungan sebanyak 3 dan 2 orang secara ber-
urutan. Selain itu diantara responden se-
banyak 26 petani memiliki usaha sampingan
selain usahatani dengan rata-rata pendapatan
sebesar Rp. 2,7 juta per bulan, selebihnya
petani responden merupakan petani sebagai
pekerjaan utama hal ini menjadikan usahatani
padi sebagai satu-satunya sumber pen-
dapatan keluarga.
Tabel 2. Karakteristik Responden
Min
Max
Mean
Std.
Dev
Umur (tahun)
30,00
72,00
53,00
9,62
Pendidikan (tahun)
1,00
12,00
7,40
2,82
Pengalaman (tahun)
2,00
42,00
17,93
11,79
Luas lahan (ha)
0,08
0,91
0,28
0,19
Jumlah anak
(orang)
1,00
8,00
3,00
1,38
Jumlah tanggungan
(orang)
0,00
6,00
2,00
1,31
Pendapatan lain
(juta)
1,8
9
2,7
2,7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dari hasil survey
diinput kedalam Microsoft Excel, yang se-
lanjutnya disusun dalam tabulasi yang sesuai
dengan tiga pilar keberlanjutan yaitu eko-
nomi, sosial dan lingkungan. Pada kelompok
pilar ekonomi diperoleh lima indikator yang
meliputi produktivitas lahan, profit usaha-
tani, rasio B/C, efisiensi teknis, serta ke-
mandirian input. Dalam mengukur indikator
pilar ekonomi dilakukan perhitungan me-
liputi analisis usahatani untuk mendapatkan
keuntungan usahatani serta rasio B/C serta
analisis Efisiensi Teknis menggunakan Data
Envelopment Analysis (DEA) untuk meng-
hitung nilai efisiensi teknis usahatani. Selain
itu untuk menghitung kemandirian input
114 Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya Maryono
menggunakan rasio input internal dan
ekternal.
Demikian halnya pada pilar sosial, di-
lakukan analisis awalan untuk mendapatkan
nilai pada masing-masing indikator yaitu
tingkat pendidikan, modal sosial, keberadaan
dan akses terhadap lembaga penyuluh, man-
faat dan efektivitas penyuluhan, keberadaan
dan akses terhadap informasi serta bagaimana
pandangan responden terhadap isu kesetara-
an gender. Adapun pada pilar lingkungan
lebih pada menganalisis teknis budidaya yang
dilakukan responden meliputi penggunaan
bahan organik, penerapan pengendalian OPT
terpadu (integrated pest management) nabati,
serta adanya diversifikasi tanaman pada areal
usahatani. Diversifikasi yang dimaksud
adalah melakukan penanaman tanaman sela
pada galur area lahan sawah. Data statistika
deskriptif dari data yang sudah diperoleh
dapat dilihat pada Tabel 3.
Keragaman data dasar dari setiap indi-
kator mengharuskan dilakukannya normali-
sasi data dengan tujuan agar data dari tiap
indikator tersebut dapat dibandingkan. Nilai
akhir dari data hasil normalisasi untuk tiap
indikator menggunakan metode Maximum-
Minimum yang diperoleh berada pada ren-
tang 0 dan 1. Nilai 0 merupakan nilai minimal,
sedangkan nilai 1 merupakan nilai maksimal.
Dengan demikian data dari seluruh variabel
sudah seragam dan dapat diperbandingkan
satu sama lain. Data hasil normalisasi disaji-
kan pada Tabel 4.
Setelah mendapatkan data hasil normali-
sasi, selanjutnya dilakukan pembobotan
menggunakan equal weighting dengan mem-
beri bobot yang sama pada ketiga pilar
Tabel 3. Statistika Deskriptif Variabel Pengukuran Keberlanjutan
Indikator
Min
Max
Mean
Std. Dev
Skewness
Kurtosis
E1_Produktivitas lahan
2649,31
7705,85
4,3550E3
1054,8712
1,088
1,973
E2_Profit Usahatani
2,23E6
29,5E6
12,001E6
5,90248E6
0,521
0,914
E3_Rasio B/C
0,00
2,69
1,1816
0,66298
0,332
-0,556
E4_Efisiensi Teknis
0,37
1,00
0,6734
0,16483
0,628
-0,238
E5_Kemandirian Input
0,00
2,00
0,6667
0,72875
0,614
-0,867
S1_Akses Pendidikan
1,00
12,00
7,4000
2,82363
0,249
-0,029
S2_ Modal sosial
6,00
10,00
8,2500
0,67961
-0,356
1,320
S3_Keberadaan & akses Penyuluh
1,00
12,00
6,9833
4,33938
0,161
-1.789
S4_Manfaat & Efektifitas Penyuluhan
6,00
10,00
8,5833
0,88857
0,039
0,010
S5_Keberadaan & Akses Informasi
4,00
9,00
5,1833
1,37152
0,962
0,462
S6_Kesetaraan Gender
1,00
5,00
2,2833
0,97584
1,432
1,715
EN1_Penggunaan Bahan Organik
1,00
6,00
3,8500
2,41342
-0,305
-1,913
EN2_Pengendalian OPT terpadu
3,00
18,00
9,1833
5,78863
0,345
-1,431
EN3_Diversifikasi Tanaman
0,00
2,00
1,1000
0,35415
1,468
4,072
Tabel 4. Data Hasil Normalisasi
Indikator
Min
Max
Mean
Std. Dev
Skewness
Kurtosis
E1_Produktivitas lahan
0,00
1,00
0,337
0,20869
1,072
1,947
E2_Profit Usahatani
0,00
1,00
0,406
0,20031
0,523
0,921
E3_Rasio B/C
0,00
1,00
0,439
0,24612
0,328
-0,560
E4_Efisiensi Teknis
0,00
1,00
0,481
0,26025
0,618
-0,218
E5_Kemandirian Input
0,00
1,00
0,333
0,36437
0,614
-0,867
S1_Akses Pendidikan
0,00
1,00
0,579
0,25832
0,265
-0.090
S2_ Modal sosial
0,00
1,00
0,562
0,16990
-0,356
1,320
S3_Keberadaan & akses Penyuluh
0,00
1,00
0,543
0,39525
0,163
-1.792
S4_Manfaat dan Efektifitas Penyuluhan
0,00
1,00
0,645
0,22214
0,039
0,010
S5_Keberadaan & Akses Informasi
0,00
1,00
0,236
0,27430
0,962
0,462
S6_Kesetaraan Gender
0,00
1,00
0,320
0,24396
1,432
1,715
EN1_Penggunaan Bahan Organik
0,00
1,00
0,570
0,48268
-0,305
-1,913
EN2_Pengendalian OPT terpadu
0,00
1,00
0,411
0,38592
0,347
-1,430
EN3_Diversifikasi Tanaman
0,00
1,00
0,550
0,17708
1,468
4,072
Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118 115
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Maryono Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya
ekonomi, sosial, dan lingkungan masing-
masing mendapatkan bobot 1/3. Pada setiap
indikator masing-masing pilar yaitu ekonomi,
sosial, dan lingkungan selanjutnya dilakukan
pembobotan kembali untuk setiap indikator
dengan mekanisme yang sama yaitu equal
weighting. Sehingga masing-masing indikator
pada setiap pilar memiliki bobot yang sama
dalam kontribusinya membangun pilar ter-
sebut dengan nilai bobot total untuk tiap pilar
1/3.
Selanjutnya dilakukan agregasi dari
semua indikator pada masing-masing pilar
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Agregasi
tahap kedua dilakukan kembali yang meng-
hasilkan nilai indek keberlanjutan. Berdasar-
kan hasil agregasi dari setiap indikator pem-
bentuk pilar ekonomi, sosial dan lingkungan
dapat dilihat pada Tabel 5 bahwa nilai indek
keberlanjutan dari usahatani padi sebesar
0,46. Adapun nilai dari masing-masing pilar
ekonomi, sosial, dan lingkungan secara
berturut-turut adalah 0,13; 0,16 dan 0,17.
Tabel 5. Nilai Indeks Keberlanjutan
Pilar
Total
Ekonomi
0,13
Sosial
0,16
Lingkungan
0,17
Indeks Keberlanjutan
0,46
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pada
seluruh pilar keberlanjutan baik itu ekonomi,
sosial, dan lingkungan menunjukkan bahwa
usahatani padi masih relatif rendah. Nilai skor
indeks keberlanjutan tersebut (0,46 dari 1)
mengindikasikan tingkat keberlanjutan di
lokasi penelitian baru mencapai 46% dilihat
dari manfaat ekonomi, mempromosikan
pengembangan kehidupan sosial, dan upaya
usahatani yang ramah terhadap lingkungan.
Berdasarkan kategori tingkat keberlanjutan,
nilai keberlanjutan di lokasi penelitian (0,46)
termasuk kedalam kategori “cukup ber-
kelanjutan”.
Dengan melakukan perbandingan ter-
hadap pola usahatani yang berbeda, penulis
cenderung tertarik untuk melihat secara lebih
dalam untuk melakukan identifikasi variabel-
variabel yang berkontribusi dalam mencipta-
kan rendahnya nilai indeks keberlanjutan
atau disebut dengan istilah finding the hot spots
di lokasi penelitian. Sehingga upaya-upaya
(intervensi) untuk meningkatkan tingkat
keberlanjutan dapat di titik beratkan pada
variabel tersebut. Hasil dari pemetaan ter-
sebut disajikan melalui diagram laba-laba
pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 disajikan variabel keber-
lanjutan dari seluruh pilar ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Pemetaan tersebut meng-
Gambar 2. Variabel Pembentuk Indek Keberlanjutan
116 Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya Maryono
gunakan skala 0-100% yang mana nilai 100%
menunjukkan tingkat skor yang paling tinggi.
Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bah-
wa untuk pilar lingkungan masih terdapat
satu variabel yang relatif rendah dibanding-
kan variabel lainnya yaitu variabel pengen-
dalian OPT terpadu. Yang dimaksud dengan
pengendalian OPT terpadu disini adalah
pengendalian organisme pengganggu tana-
man baik itu berupa hama, penyakit, dan
gulma yang dilakukan secara terpadu dan
dengan tanpa menggunakan unsur-unsur
bahan kimia. Dengan kata lain upaya pe-
ngendalian OPT dilakukan secara alamiah
atau organik. Hasil ini mengindikasikan bah-
wa upaya tersebut masih kurang, mengingat
bahwa dilapangan dijumpai penggunaan
obat-obatan kimia. Petani seharusnya dapat
memanfaatkan bahan-bahan alami yang ada
disekitar lokasi yang mana hal ini sebenarnya
sudah mulai diterapkan oleh beberapa petani.
Sementara untuk penggunaan bahan organik
di lokasi penelitian lebih ditujukan untuk pe-
mupukan. Petani sudah menggunakan pupuk
organik baik itu yang berupa pupuk kandang
maupun kompos dengan penggunaan rata-
rata 3,85 kwintal per hektar. Demikian halnya
dengan upaya diversifikasi tanaman, petani
melakukan penanaman pada pematang
sawah dengan berbagai jenis tanaman sela
namun yang paling dominan adalah tanaman
kacang panjang.
Pada pilar sosial, variabel keberadaan
dan akses terhadap informasi serta kesetaraan
gender secara relatif masih sangat rendah
dibandingkan variabel lainnya. Hal ini me-
narik perhatian mengingat bahwa saat ini
kemajuan teknologi sudah sedemikian pesat-
nya dan jaringan internet serta penggunaan
telepon pintar (smartphone) sudah terpenetrasi
di pedesaan. Namun demikian ternyata peng-
gunaan internet dan telepon pintar sebagai
sumber informasi masih rendah digunakan
oleh petani. Hal ini ditenggarai oleh usia
petani yang relatif tua yaitu rata-rata 53 tahun
sehingga penulis menduga bahwa dengan
usia yang sudah relatif tua menyebabkan ren-
dahnya akses terhadap internet dan telepon
pintar tersebut. Sumber informasi yang domi-
nan dirasakan oleh petani di lokasi penelitian
adalah dari kelompok tani. Mengingat bahwa
seluruh petani responden telah bergabung
kedalam kelompok tani. Adapun variabel
keadilan dan kesetaraan juga masih rendah.
Petani di lokasi penelitian masih merasakan
kurang akan adanya keadilan dan kesetaraan,
hal ini utamanya terkait dengan persepsi
terhadap kesetaraan gender dan tingkat upah.
Tingkat upah untuk tenaga kerja pria dan
wanita untuk satu hari orang kerja (5 jam)
berbeda yaitu Rp. 45.000 untuk tenaga kerja
pria dan Rp. 30.000 untuk tenaga kerja wanita.
Pada pilar ekonomi dapat dilihat bahwa
variabel kemandirian input dan produktivitas
lahan masih relatif rendah dibandingkan
variabel lainnya. Variabel kemandirian input
menunjukkan adanya ketergantungan pada
pihak lain dalam memenuhi kebutuhan
usahatani seperti benih, pupuk, dan sarana
produksi lainnya. Meskipun dilapangan di-
jumpai beberapa petani sudah mulai mene-
rapkan pola budidaya organik dengan me-
manfaatkan sumberdaya yang ada disekitar
mereka namun hal ini masih belum dilakukan
oleh seluruh petani. Pupuk organik yang di-
gunakan juga masih diperoleh dari membeli
dari pihak lain, petani belum dapat men-
cukupi kebutuhan pupuk organik secara
mandiri. Selain itu petani menganggap akan
lebih efisien dengan membeli pupuk organik
dari luar. Demikian halnya dengan produk-
tivitas lahan, diketahui bahwa produktivitas
lahan secara rata-rata masih rendah yatu 4.3
ton per hektar. Hal ini sangat jauh berbeda
dengan isu yang beredar bahwa di lokasi
penelitian telah memiliki produktivitas yang
tinggi hingga mencapai 7 ton per hektar.
Usahatani padi secara ekonomi masih meng-
untungkan dengan tingkat pendapatan bersih
rata-rata Rp. 12 juta per hektar. Efisiensi
secara teknis yang dihitung berdasarkan data
envelopment analysis (DEA) sudah cukup baik
mencapai 0,67.
Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118 117
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Maryono Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian ini menunjuk-
kan bahwa usahatani padi secara rata-rata di
lokasi penelitian memiliki indek keber-
lanjutan yang relative rendah. Oleh karena itu
kesempatan untuk meningkatkan tingkat ke-
berlanjutan usahatani padi di lokasi penelitian
masih sangat besar. Pilar lingkungan mem-
berikan kontribusi paling tinggi terhadap
keberlanjutan usahtani padi. Hal ini dikarena-
kan bahwa di lokasi penelitian sudah di-
kembangkan upaya penananaman dengan
metode SRI serta mengembangkan pertanian
organik yang dianggap lebih ramah terhadap
lingkungan. Pilar ekonomi merupakan pilar
dengan kontribusi paling rendah. Meskipun
demikian, usahatani padi di lokasi penelitian
secara analisa profitabilitas dan rasio B/C
masih menguntungkan.
SARAN
Upaya untuk meningkatan tingkat
keberlanjutan dapat dilakukan pada semua
pilar baik ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Upaya peningkatan dari sisi pilar ekonomi
dapat dilakukan intervensi terkait dengan
peningkatan produktivitas lahan serta pe-
nguatan tingkat kemandirian petani terhadap
input usahatani. Adapun pilar sosial terutama
difokuskan pada peningkatan ketersediaan
dan akses informasi yang dapat dijangkau
oleh petani dengan usia yang relative tua.
Selain itu perlu upaya untuk meningkatkan
rasa keadilan dan kesetaraan. Secara ling-
kungan perlu upaya peningkatan keber-
lanjutan dapat dilakukan khususnya melalui
pengendalian OPT terpadu yang dilakukan
secara nabati. Petani sudah memiliki penge-
tahuan mengenai hal tersebut namun masih
belum melaksanakannya secara optimal.
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat
memperluas cakupan wilayah penelitian dan
meningkatkan jumlah responden agar dapat
memberikan gambaran yang lebih besar.
Selain itu perlu melakukan komparasi antara
berbagai wilayah serta membandingkan antar
topografi yang berbeda-beda untuk dapat
mengetahui bagaimana tingkat kerberlajutan
masing-masing lokasi. Selain itu, disarankan
agar penelitian selanjutnya menggunakan alat
analisis lain misalnya Multi Dimensional
Scaling (MDS) sehingga mendapatkan infor-
masi yang lebih akurat mengenai variabel-
variabel yang dominan pada masing-masing
pilar.
DAFTAR PUSTAKA
Babbie, E, 1995, The Practise of Social
Research, Wadswarth, Washington 161-
175.
Bell, S., dan S. Morse, 2008, Sustainability
Indicators: Measuring The
Incommensurable. Earthscan, London.
Bond, A., A. Morrison-Saunders, J. Pop, 2012,
Sustainability Assessment: The State of
The Art, Impact Assess Proj Apprais
30(1): 536
BPS (Badan Pusat Statistik), 2017, Grafik
Susenas Pertanian 2013 Indonesia,
www.St2013.bps.go.id
COSCA (Committee on Sustainability
Assessment), 2013, The Cosa Measuring
Sustainability Report; Coffee and cocoa
in 12 Countries, Committee on
Sustainability Assessment (COSCA),
Philadelpia.
Eccles, R., I. Ioannou, and S. George, 2011,
“The Impact of Corporate Sustainability
on Organizational Processes and
Performance.” Working Paper 12-035.
Boston, MA: Harvard Business School
Fiksel, J., T. Eason, and H. Frederick, 2012, A
Framework for Sustainability Indicators
at EPA EPA/600/R/12/687.
www.epa.gov/ord
Kolk, A., 2005, “Corporate Social
Responsibility in The Coee Sector: The
Dynamics of MNC Responses and Code
Development.” European Management
Journal 23 (2), 228236.
118 Jurnal Agribisnis Indonesia (Vol 6 No 2, Desember 2018); halaman 107-118
ISSN 2354-5690; E-ISSN 2579-3594
Indeks Keberlanjutan Usahatani Padi di Tasikmalaya Maryono
Muradian, R., and W. Pelupessy, 2005,
“Governing the Coee Chain: The Role of
Voluntary Regulatory Systems.” World
Development 33 (12), 2029-2044.
Nicoletti G, S. Scarpetta, O. Boyland, 2000,
Summary Indicators of Product Market
Regulation With Extension to
Employment Protection Legislation,
Economics Department Working Paper
No 226, ECO/WKP(99)18
OECD (The Organisation for Economic Co-
operation and Development), (2008),
Handbook on Constructing Composite
Indicators: Methodology and User Guide,
Paris: OECD.
Petkova, I., 2006, “Shifting Regimes of
Governance In The Coee Market: From
Secular Crisis to A New Equilibrium?”
Review of International Political
Economy 13 (2), 313339.
Roy, R., N.W. Chan, R. Rainis, 2014, Rice
Farming Sustainability Assessment in
Bangladesh, Sustain Sciences 2014 9:31-44
Roy, R., N.W. Chan, S. Xenarios, 2015,
Sustainability of Rice Production Systems:
an Empirical Evaluation to Improve
Policy, Environ Dev Sustain. DOI
10.1007/s10668-015-9638-x
UN (United Nation), 2015, Transforming Our
World: The 2030 Agenda for Sustainable
Development. A/Res/70/1. United
Nation.
www.Sustainabledevelopment.un.org
... Dari hasil analisis data primer, ditemukan bahwa biaya tetap untuk para petani skala kecil (< 0,5 ha) sebesar Rp2. 569 Barokah et al., 2014;Maryono, 2018;Purwoto, 1989;Sahara, 2014), maupun di luar negeri (Ogundari, 2014;Saiyut et al., 2018;Singha, 2012;Zhou et al., 2023) yang menyatakan semakin luas lahan yang diusahakan maka usahatani padi akan semakin efisien. KESIMPULAN Meskipun secara kinerja usahatani padi di lahan LP2B Kabupaten Subang tergolong menguntungkan dengan rata-rata keuntungan di atas 100%, namun harus diingat bahwa para petani menghasilkan nilai tersebut satu kali dalam rata-rata waktu 4 bulan (1 musim tanam). ...
Article
Full-text available
LP2B is a program designed to maintain and increase the productivity of agricultural land, particularly for rice, to ensure a sufficient food supply for the Indonesian people. However, the contribution of rice farming to farmers’ income on this land has not received enough attention. This research aims to measure the performance of rice farming in LP2B area in Subang Regency, one of the main rice-producing areas in West Java. Primary data was collected through semi-structured interviews conducted with 364 paddy farmer respondents who cultivate in the LP2B area. Farming performance was calculated using farming economic viability analysis. The results show that in terms of performance, rice farming in the LP2B area of Subang Regency is profitable, with a B/C value of 0.9 for land less than 0.5 hectares, B/C value 1,2 for land between 0.5 and 1 hectare, and B/C value of 1,3 for land above 1 hectare.
... In addition, in Indonesia, rice is a source of staple food commodities based on 2013 Susenas (The National Socioeconomic Survey) data, as well as being the lifeblood of 17.72 million farmer households (BPS/ Central Agency on Statistics, 2017). Thus, the issue of sustainability in rice farming is essential to the public's attention (Maryono, 2018). ...
Article
Full-text available
This study aimed to formulate a strategy for developing paddy agribusiness in Sanggau Regency West Kalimantan using a SWOT analysis of 8 respondents who were considered experts. The results of the analysis show that the strengths in formulating a strategy are the existence of a Regional Regulation (Perda); The disadvantages are the low ability, skills, and knowledge of farmers; The opportunity is that the government facilitates farmers or farmer groups who want to sell their crops; the threat is the climate. An alternative strategy that can be taken is to increase the rice planting area and production, develop markets in the border region and the outside regency, and create synergies between farmers, entrepreneurs, and the government
Article
Full-text available
Beef cattle breeding is one of the most important production factors and the quality of beef cattle breeds can affect the level of beef production. The increase in demand for beef is not followed by an increase in population and national beef productivity. The government is trying to fulfil the needs of domestic cattle breeds by establishing a Technical Implementation Unit for beef cattle breeding in various regions, one of which is Padang Mengatas BPTU-HPT. The most widely bred cattle breeders are local cattle, called pesisir’s cattle. Pesisir’s cattle are local cattle that have the potential to be developed because have several advantages over other local cattle. Therefore, in this study, it is needed to analyze the sustainability of pesisir’s cattle breeds in BPTU-HPT Padang Mengatas because pesisir’s cattle an important role as a meat supplier in West Sumatra whose population has decreased, it is necessary to see how sustainable the pesisir’s cattle are so that the supply of meat in West Sumatra is available sustainably with the germplasm of locally owned cattle. Data were processed using the Rap-Local Beef Cattle Breeding ordination technique through the Multi-Dimensional Scaling (MDS) method for sustainability analysis. Our results indicated the sustainability status of pesisir’s cattle breeding in multidimensional is quite sustainable because the index value is at an interval of 50,01 until 75,00 with a value of 72,89 in the economic dimension 67,96 in the ecological dimension 67,78 in the social dimension and 56,04 in the technological dimension.
Conference Paper
Addressing all aspects of sustainability with a single assessment method is challenging. Machine learning techniques for assessing the sustainability of the supply chain in sugar cane agroindustry are discussed in this paper. Sugar cane agroindustry involves a complex supply chain from upstream to downstream consisted of multi-stakeholders with different goals. A system of supply chain sustainability assessment based on supervised machine learning techniques, namely Artificial Neural Network (ANN) and Decision Tree was designed to assess the sustainability of the supply chain concerning three indicators, (economic, societal, and environmental indicators). The application of the system showed that ANN can be applied to predict the values of the three sustainability dimensions based on sustainability indicators and produce rational results with small errors. The prediction results of the sustainability dimension using ANN are used to determine the level of sustainability using the decision tree classification model. The classification accuracy obtained is 86%.
Article
Full-text available
An evaluation is needed to monitor the progress of sustainable development (SD) in rice production systems. The purpose of this study is to provide policy inputs, examine the sustainability of rice production, and determine major policy areas. A requisite set of 12 indicators of three dimensions of SD, namely economic, was generated by employing an assemblage of top–down and bottom–up approaches. The data were gathered from farm households’ survey as well as in-depth discussion with stakeholders from the regions that represent irrigated, rain-fed lowland, rain-fed upland, flood-prone, and salineprone rice-growing ecosystems in Bangladesh. By constructing composite indicators, the results revealed that 44 % of rice growers were economically viable, environmentally sound, and socially developed. The irrigated rice production system was found to be the most sustainable. The path analysis measured the contribution of the indicators to the index, and results highlighted that rice growers’ knowledge, skills, and social networks development, improving land productivity, and integrated nutrient management were essential for promoting sustainable rice production. However, the study findings suggest that pluralistic (i.e., government and non-government) agricultural advisory services can serve as an engine of transition to rice production sustainability in which a multi-year planning and strategy formulation are crucial besides investing in the modernization of extension services. Overall and ecosystem-specific policy implications that emerged from the findings of this study are outlined.
Article
Full-text available
This paper employs a global value chains (GVC) perspective to recent developments in the coffee market, associated with the behavior of market structure in a context of widening spreads around declining prices and affirms that due to their imperfect inclusion in the global economy, primary markets have entered ‘terminal crisis’. The paper asserts that while the role of state-territorial regimes of governance has noticeably weakened in the current (‘terminal crisis’) context, the combined strategic positioning of (‘related’) players, residing at highly imperfect, monopolized nodes has become the key shaper of development and this has had a de-stabilizing effect on the poorest. The paper observes that systemic crisis appears to be resolvable, subject to the ability of emerging new redistributive outcomes to reposition the coffee system at a qualitatively new equilibrium. In contributing to a more systematic (value-chain centered) line of enquiry on the relationship between development and inequality, the paper analytically expands key relationships in the GVC framework (using extra inputs from strategic management, economic trade and convention theory) and offers to policymaking a framework for ‘combating’ falling terms of trade in primary markets by means of new economic relations.
Article
We investigate the effect of corporate sustainability on organizational processes and performance. Using a matched sample of 180 U.S. companies, we find that corporations that voluntarily adopted sustainability policies by 1993—termed as high sustainability companies—exhibit by 2009 distinct organizational processes compared to a matched sample of companies that adopted almost none of these policies—termed as low sustainability companies. The boards of directors of high sustainability companies are more likely to be formally responsible for sustainability, and top executive compensation incentives are more likely to be a function of sustainability metrics. High sustainability companies are more likely to have established processes for stakeholder engagement, to be more long-term oriented, and to exhibit higher measurement and disclosure of nonfinancial information. Finally, high sustainability companies significantly outperform their counterparts over the long term, both in terms of stock market and accounting performance. This paper was accepted by Bruno Cassiman, business strategy.
Article
Since the collapse of the international coffee agreement in 1989, attention has increasingly focused on the role of multinational corporations in this sector. As the main actors in the international coffee chain, companies such as Sara Lee/Douwe Egberts, Nestlé and Kraft have been pressurised to show their responsibility in dealing with the crisis, and helping find a solution to the problem of which they are part as well. This article analyses the dynamic development of multinationals’ corporate responses and the interaction with the different stakeholders, which has resulted in a cascade of codes of conduct over the years. The peculiarities, dilemmas and challenges related to the recent multistakeholder ‘Common Code for the Coffee Community’ will be outlined, as well its (im)possibilities in dealing with the coffee crisis.
Article
Sustainability assessment is a recent framing of impact assessment that places emphasis on delivering positive net sustainability gains now and into the future. It can be directed to any type of decision-making, can take many forms and is fundamentally pluralistic. Drawing mainly on theoretical papers along with the few case study examples published to date (from England, Western Australia, South Africa and Canada), this paper outlines what might be considered state-of-the-art sustainability assessment. Such processes must: (i) address sustainability imperatives with positive progress towards sustainability; (ii) establish a workable concept of sustainability in the context of individual decisions/assessments; (iii) adopt formal mechanisms for managing unavoidable trade-offs in an open, participative and accountable manner; (iv) embrace the pluralistic inevitabilities of sustainability assessment; and (v) engender learning throughout. We postulate that sustainability assessment may be at the beginning of a phase of expansion not seen since environmental impact assessment was adopted worldwide.
Article
Initiatives certifying that farms and firms adhere to predefined environmental and social welfare production standards are increasingly popular. According to proponents, they create financial incentives for farms and firms to improve their environmental and socioeconomic performance. This paper reviews the evidence on whether sustainable certification of agricultural commodities and tourism operations actually has such benefits. It identifies empirical ex post farm-level studies of certification, classifies them on the basis of whether they use methods likely to generate credible results, summarizes their findings, and considers the implications for future research. We conclude that empirical evidence that sustainable certification has significant benefits is limited. We identify just 37 relevant studies, only 14 of which use methods likely to generate credible results. Of these 14 studies, only 6 find that certification has environmental or socioeconomic benefits. This evidence can be expanded by incorporating rigorous, independent evaluation into the design and implementation of projects promoting sustainable certification.
The Cosa Measuring Sustainability Report; Coffee and cocoa in 12 Countries
COSCA (Committee on Sustainability Assessment), 2013, The Cosa Measuring Sustainability Report; Coffee and cocoa in 12 Countries, Committee on Sustainability Assessment (COSCA), Philadelpia.
A Framework for Sustainability Indicators at EPA EPA/600
  • J Fiksel
  • T Eason
  • H Frederick
Fiksel, J., T. Eason, and H. Frederick, 2012, A Framework for Sustainability Indicators at EPA EPA/600/R/12/687. www.epa.gov/ord
Summary Indicators of Product Market Regulation With Extension to Employment Protection Legislation
  • G Nicoletti
  • S Scarpetta
  • O Boyland
Nicoletti G, S. Scarpetta, O. Boyland, 2000, Summary Indicators of Product Market Regulation With Extension to Employment Protection Legislation, Economics Department Working Paper No 226, ECO/WKP(99)18