ArticlePDF Available

VITALITAS BAHASA SUNDA DI KABUPATEN BANDUNG

Authors:

Abstract

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan vitalitas (daya hidup, tingkat kesehatan) bahasa Sunda menghadapi bahasa Indonesia. Penelitian itu berancangan kuantitatif dengan menggunakan dua variabel bebas, yakni penggunaan bahasa Sunda yang dihadapkan dengan bahasa Indonesia dan kelompok pengguna bahasa Sunda sebagai bahasa pertama, yakni keluarga asli Sunda yang bermukim di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Variabel terikatnya adalah pilihan bahasa, yakni bahasa Sunda atau bahasa Indonesia. Hasil penelitian membuktikan bahwa vitalitas bahasa Sunda kuat pada ranah kekeluargaan, transaksional, dan kekariban; tetapi lemah pada ranah kedinasan dan orang tidak dikenal. Dari segi kesepakatan, ranah keluarga, transaksional, dan kekariban juga menduduki tempat yang tinggi dibandingkan ranah kedinasan dan orang tidak dikenal. Penggunaan terbanyak bahasa Sunda ada pada ranah kekeluargaan, terutama pada saat informan berbicara dengan kakek/nenek dan ayah/ibu. Bahasa Sunda berkurang vitalitasnya pada ranah kedinasan dan ranah orang tidak dikenal. Kata kunci: vitalitas bahasa, bahasa pertama, bahasa Sunda THE VITALITY OF THE SUNDANESE LANGUAGE IN BANDUNG REGENCY Abstract This study aims to prove the vitality of the Sundanese language to face the Indonesian language. This was a quantitative study involving two independent variables, namely the use of the Sundanese language to confront the Indonesian language and groups of users of the Sundanese language as the first language, namely the native Sundanese families living in Bandung Regency, West Java. The dependent variable was the choice of language, i.e. the Sundanese or Indonesian language. The results prove that the vitality of the Sundanese language is strong in the family, transaction, and closeness domains; but it is weak in the official domain and that related to strangers. In terms of agreement, the family, transaction, and closeness domains also occupy a high position compared to the official domain and that related to strangers. The use of the Sundanese language with the highest frequency is in the family domain, especially when the informants talk with grandparents and fathers/mothers. The vitality of the Sundanese language lessens in the official domain and that related to strangers. Keywords: language vitality, first language, Sundanese language
309
VITALITAS BAHASA SUNDA DI KABUPATEN BANDUNG
Wagiati, Wahya, dan Sugeng Riyanto
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
email: wagiati@unpad.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan vitalitas (daya hidup, tingkat kesehatan)
bahasa Sunda menghadapi bahasa Indonesia. Penelitian itu berancangan kuantitatif
dengan menggunakan dua variabel bebas, yakni penggunaan bahasa Sunda yang
dihadapkan dengan bahasa Indonesia dan kelompok pengguna bahasa Sunda sebagai
bahasa pertama, yakni keluarga asli Sunda yang bermukim di Kabupaten Bandung,
Jawa Barat. Variabel terikatnya adalah pilihan bahasa, yakni bahasa Sunda atau bahasa
Indonesia. Hasil penelitian membuktikan bahwa vitalitas bahasa Sunda kuat pada ranah
kekeluargaan, transaksional, dan kekariban; tetapi lemah pada ranah kedinasan dan orang
tidak dikenal. Dari segi kesepakatan, ranah keluarga, transaksional, dan kekariban juga
menduduki tempat yang tinggi dibandingkan ranah kedinasan dan orang tidak dikenal.
Penggunaan terbanyak bahasa Sunda ada pada ranah kekeluargaan, terutama pada
saat informan berbicara dengan kakek/nenek dan ayah/ibu. Bahasa Sunda berkurang
vitalitasnya pada ranah kedinasan dan ranah orang tidak dikenal.
Kata kunci: vitalitas bahasa, bahasa pertama, bahasa Sunda
THE VITALITY OF THE SUNDANESE LANGUAGE
IN BANDUNG REGENCY
Abstract
This study aims to prove the vitality of the Sundanese language to face the Indonesian
language. This was a quantitative study involving two independent variables, namely
the use of the Sundanese language to confront the Indonesian language and groups of
users of the Sundanese language as the rst language, namely the native Sundanese
families living in Bandung Regency, West Java. The dependent variable was the choice of
language, i.e. the Sundanese or Indonesian language. The results prove that the vitality
of the Sundanese language is strong in the family, transaction, and closeness domains;
but it is weak in the ocial domain and that related to strangers. In terms of agreement,
the family, transaction, and closeness domains also occupy a high position compared to
the ocial domain and that related to strangers. The use of the Sundanese language with
the highest frequency is in the family domain, especially when the informants talk with
grandparents and fathers/mothers. The vitality of the Sundanese language lessens in the
ocial domain and that related to strangers.
Keywords: language vitality, rst language, Sundanese language
PENDAHULUAN
Bahasa sebagai objek penelitian tidak
pernah habis untuk diselidiki karena, da-
lam penelitian bahasa, sudut pandang da-
pat menciptakan objek penelitian (Krida-
laksana, 2002). Hal itulah yang membuat
penelitian linguistik beragam dan marak.
Bahasa dapat dikaji dari aspek struktur
310
Vitalitas Bahasa Sunda di Kabupaten Bandung
belaka, misalnya struktur fonem, morfem,
klausa, kalimat, paragraf, dan wacana.
Kajian itu tidak dikaitkan dengan faktor
lain di luar bahasa karena bahasa dikaji
secara murni dan intern. Kajian itulah
yang mendasari fonologi, morfologi,
sintaksis, kajian struktur paragraf dan
wacana. Kajian tentang makna juga dapat
bersifat murni sebagaimana dikaji dalam
semantik.
Bahasa dapat juga dikaji secara eks-
ternal. Dalam hal ini bahasa dikaitkan
dengan faktor di luar bahasa. Bahasa pada
prinsipnya merupakan alat komunikasi
yang selalu muncul dan diperlukan jika
paling tidak ada dua orang yang mengu-
asai bahasa yang sama. Komunikasi meru-
pakan kegiatan yang bersifat sosial se-
hingga kelancaran penggunaan bahasa
tak ayal dipengaruhi faktor sosial. Salah
satu bidang yang mengkaji bahasa dikait-
kan dengan faktor sosial dalam proses
komunikasi adalah sosiolinguistik. So-
siolonguistik yang merupakan bidang
interdisipliner mengkaji bahasa yang
digunakan dalam fungsi primernya, yakni
sebagai alat komunikasi.
Penggunaan bahasa merupakan salah
satu pokok yang diteliti dalam sosioli-
nguistik. Penggunaan bahasa itu berkaitan
dengan pemilihan bahasa yang menurut
penutur paling cocok digunakan dalam
ranah tertentu. Masyarakat tutur di Indo-
nesia sudah terbiasa menggunakan be-
berapa bahasa. Para penutur itu berdwi-
bahasawan atau bahkan beranekabaha-
sawan. Situasi diglosia merupakan ge-
jala yang sudah biasa di Indonesia. Pada
situasi kebahasaan seperti itu penutur
tahu betul kapan menggunakan bahasa
yang mana pada ranah yang mana tanpa
menimbulkan kekeliruan. Pemertahanan
bahasa juga merupakan topik penelitian
yang diminati dalam sosiolinguistik. Ba-
hasa Indonesia di Indonesia semakin kuat
kedudukannya. Sebagian media massa
baik tulis, dengar, pandang dengar kini
menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia tak ayal mendesak penggunaan
bahasa daerah.
Bahasa Sunda sebagai bahasa daerah
kedua terbesar sesudah bahasa Jawa juga
dapat terdesak oleh bahasa Indonesia. Di
Sekolah Dasar bahasa Sunda diberikan
sebagai mata pelajaran muatan lokal yang
diberikan sekali seminggu di wilayah
provinsi Jawa Barat. Jumlah jam yang
terlalu sedikit itu sangat tidak cukup.
Bahasa terbaik dipelajari secara alamiah
alih-alih di kelas. Lingkungan juga sangat
mendukung terpeliharanya bahasa. Jika
orang sekitar menggunakan bahasa
Sunda, misalnya, anak-anak yang ada di
sana pasti juga menguasai bahasa Sunda.
Masyarakat sendiri yang berperan penting
dalam pemertahanan bahasa.
Kabupaten Bandung merupakan kon-
sentrasi penduduk yang merupakan ketu-
runan suku Sunda, penutur bahasa Sunda.
Tidak dapat dipungkiri masyarakat Sunda
di kabupaten itu setiap hari, siang dan
malam, mendengar dan membaca bahasa
Indonesia dari berbagai media. Orang
yang datang ke lingkungan itu pasti juga
akan mendengar bahasa Sunda. Sebagian
besar orang tua Sunda menegur orang
yang baru ditemuinya juga dalam ba-
hasa Sunda. Sebenarnya tidak ada alasan
untuk adanya penyusutan penggunaan
bahasa Sunda. Untuk itu sangat menarik
untuk meneliti secara kuantitatif sejauh
mana bahasa Sunda masih bertahan di
keluarga-keluarga Sunda yang berada di
kabupaten Bandung. Sekuat apa bahasa
Sunda mampu bertahan dari serbuan ba-
hasa Indonesia. Hasil penelitian itu dapat
dijadikan titik tolak pengambilan kebi-
jakan dari pemangku kepentingan yang
berkaitan dengan pemertahanan budaya
dan bahasa. Penelitian yang dilakukan ini
bertujuan untuk mengkaji sejauh mana
bahasa bertahan sebagai alat komunikasi
pada masyarakat Sunda di Kabupaten
Bandung.
Riyanto (2013) menjelaskan bahwa
bahasa Sunda dipertahankan oleh para
311
LITERA, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017
mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unpad
di banyak ranah. Para mahasiswa meru-
pakan kelompok anak muda yang akan
menjadi pemimpin di masa mendatang
sehingga hasil penelitian itu membukti-
kan bahwa mahasiswa merupakan pihak
yang penting dalam pemertahanan ba-
hasa. Sofyan dkk. (2014) menyatakan
bahwa mahasiswa Unpad yang belajar di
kampus Jatinangor sedikit banyak mengu-
asai bahasa Sunda. Kepungan bahasa dan
budaya Sunda di Jatinangor memaksa
mereka belajar bahasa Sunda. Penelitian
yang akan dilakukan berskala lebih besar
karena menjangkau ratusan keluarga
yang berbahasa pertama Sunda. Alur
penelitiannya dapat dilihat pada bagan
yang berikut.
Riyanto (2013) Sofyan dkk. (2014) Wagiati dkk. (2017)
Mahasiswa dengan Mahasiswa dengan Masyarakat Sunda
bahasa pertama bahasa pertama dengan bahasa pertama
Sunda bukan Sunda Sunda
penggunaan penggunaan penggunaan
bahasa Sunda bahasa Sunda bahasa Sunda
Masalah yang diteliti adalah peng-
gunaan bahasa Sunda di kalangan kelu-
arga Sunda di kabupaten Bandung yang
berbahasa pertama Sunda di lingkungan
keluarga, di lingkungan sekitar tempat
tinggal, perjalanan, sekolah, dan kan-
tor pemerintahan. Ketegangan muncul
pada kemungkinan pemilihannya, yakni
apakah mereka menggunakan bahasa
Sunda atau bahasa Indonesia.
Pertanyaan penelitian dapat dirumus-
kan sebagai berikut. Pertama, dijawab
seberapa banyak bahasa Sunda digunakan
dalam keluarga inti. Kedua, diteliti juga
sejauh mana bahasa Sunda digunakan di
sekitar tempat tinggal. Ketiga, dijelaskan
seberapa banyak bahasa Sunda digunakan
di perjalanan, sekolah, dan kantor. Akan
dikaji pula apakah ada perbedaan peng-
gunaan bahasa Sunda pada ranah akrab
dan ranah tidak akrab (formal).
Bahasa dalam penelitian ini bersi-
fat makro, yakni sebagai maujud yang
utuh dan tidak dilihat unsur-unsurnya.
Penelitian ini dapat menunjukkan bah-
wa kekhawatiran menurunnya minat
masyarakat untuk menggunakan bahasa
pertama, khususnya Sunda, tidak berala-
san. Masyarakat Sunda menunjukkan diri
mereka sebagai kelompok masyarakat
tutur yang mampu memilih bahasa yang
tepat sesuai dengan ranahnya. Situasi
diglosia tidak bocor. Bahasa Indonesia
dan bahasa Sunda memiliki ranahnya
masing-masing.
Penelitian ini berada di dalam wilayah
keilmuan sosiolinguistik dan sejalan de-
ngan alur penelitian yang ditapaki oleh
Universitas Padjadjaran, yakni bahasa
sebagai alat komunikasi dan khususnya
bahasa Sunda sebagai alat komunikasi.
Sosiolingustik merupakan bidang linguis-
tik yang memusatkan kajiannya pada
penggunaan bahasa dalam masyarakat
(Mesthrie 2001). Bidang interdisipliner
itu masuk melalui pintu gerbang lin-
guistik dan menyertakan faktor-faktor
sosial yang menyertai penggunaan ba-
hasa (Kridalaksana, 2009). Sebagai alat
komunikasi bahasa sangat tidak lengkap
jika tidak menyertakan faktor sosial. Ba-
hasa ada karena keperluan yang bersifat
sosial. Jika manusia tidak hidup dengan
manusia lain, bahasa tidak diperlukan
keberadaannya.
Masyarakat tutur yang berada dalam
era moderen, terutama yang bermukim
di kota, nyaris tidak ada yang ekabaha-
sawan. Para penuturnya dapat dipastikan
menguasai lebih dari satu bahasa, dwiba-
 
312
Vitalitas Bahasa Sunda di Kabupaten Bandung
hasawan, atau bahkan anekabahasawan
(Grosjean, 2001). Ekabahasawan pada
masa kini merupakan kelangkaan. Di
berbagai belahaan dunia, dwibahasawan
merupakan keharusan, meingingat dunia
internasional semakin maya batasnya dan
masyarakat dunia memerlukan bahasa
pengantar yang paling banyak digunakan,
yakni bahasa Inggris. Jadi, selain bahasa
pertama, warga masyarakat harus me-
nguasai bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa berkaitan erat
dengan pemilihan bahasa. Hal itu tentu
saja terjadi pada penutur yang sedikit-
nya berdwibahasa. Pemilihan bahasa
itu berkaitan baik faktor sosial maupun
psikologis. Dalam kajian pemilihan baha-
sa perlu dideskripsikan hubungan antara
gejala pemilihan bahasa dan faktor-faktor
sosial, budaya, dan situasional dalam
masyarakat dwibahasa atau anekabahasa
(Mardikantoro, 2012). Masalah bahasa
sebagai simbol keetnisan dan loyalitas ba-
hasa berkaitan erat dengan sikap penutur
terhadap bahasanya (Thomason 2001).
Bahasa dianggap memiliki vitalitas
(daya hidup, tingkat kesehatan) jika ba-
hasa itu sungguh-sungguh digunakan
sebagai alat komunikasi oleh masyarakat
penuturnya (Grenoble dan Whaley, 2006).
Bahasa di dunia ini memiliki berbagai
ragam vitalitas dari yang tinggi hingga
yang rendah dan bahkan ada bahasa yang
nyaris mati karena tidak ada lagi penutur
yang menggunakannya karena berbagai
penyebab. Bahasa yang masih digunakan
oleh semua tingkatan umur dianggap
memiliki tingkat vitalitas yang aman.
Bahasa merupakan maujud yang dina-
mis. Dalam masyarakat, bahasa dapat ber-
tahan dan juga dapat bergeser atau bah-
kan hilang karena tidak ada penuturnya
(Sumarsono 2000, Sumarsono dan Partana
2002). Bahasa Melayu Loloan di Bali ber-
tahan dari serbuan bahasa Bali tetapi
goyah menghadapi bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu Loloan identik dengan Is-
lam sementara masyarakat Bali beragama
Hindu. Bahasa Indonesia tidak dikaitkan
dengan agama tertentu sehingga di masjid
pun bahasa Indonesia mulai digunakan di
Loloan. Pemertahanan bahasa erat kaitan-
nya dengan ranah yang berkaitan dengan
pilihan bahasa (Rokhman, 2009).
Bahasa Sunda merupakan bahasa ter-
besar kedua setelah bahasa Jawa di Indo-
nesia (Wahya, 1995, 2005, 2015; Dienaputra
2012). Sebagian besar penduduk yang ber-
mukim di provinsi Jawa Barat menguasai
bahasa Sunda. Wilayah Priangan merupa-
kan pusat konsentrasi pengguna bahasa
Sunda. Dengan persebaran yang sangat
luas tentu bahasa Sunda memiliki variasi
geogras (dialek) tetapi perbedaan dialek
tidak membuat mereka menjadi tidak
saling mengerti. Sebagai bahasa daerah,
meskipun penuturnya terbesar kedua di
Indonesia, keberadaannya semakin ter-
desak oleh bahasa nasional bahasa Indo-
nesia sehingga pergeseran bahasa daerah
tinggal menunggu waktu (Gunarwan,
2006). Masyarakat kabupaten Bandung
merupakan konsentrasi pengguna bahasa
Sunda yang menempati posisi strategis
dalam pemertahanan bahasa Sunda. Jika
mereka mampu tetap menggunakan
bahasa Sunda pada ranah-ranah yang
memang semestinya ditempati bahasa
itu, pergeseran bahasa dapat dibendung
(bandingkan Dienaputra, 2012).
METODE
Penelitian ini menggunakan ancangan
kantitatif. Ancangan kuantitatif biasa di-
gunakan dalam penelitian pemertahanan
bahasa. Peneliti menentukan peubah
bebas dan peubah terikatnya agar dapat
mengontrolnya dengan akurat.
Para pembahan dihadapkan pada
daftar tanyaan yang jawabannya hanya
dua yakni bahasa Sunda atau bahasa
Indonesia yang mereka gunakan sesuai
situasi yang diberikan. Data berupa angka
nominal yakni 1 atau 2. Angka 1 berarti
bahasa Sunda yang digunakan, angka
313
LITERA, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017
2 bahasa Indonesia. Daftar pertanyaan
diberikan dalam bentuk manual.
Ancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuantitatif.
Data yang diperoleh akan berbentuk
angka (1 = bahasa Sunda dan 2 = bahasa In-
donesia). Penentuan dua bahasa itu meru-
pakan variabel bebas, yakni variabel yang
ditentukan sendiri oleh peneliti. Variabel
bebas kedua adalah kelompok pembahan
(responden), yakni ayah, ibu, dan anak.
Variabel terikatnya adalah pemilihan
yang mereka lakukan, yakni bahasa Sunda
(pilihan 1) atau bahasa Indonesia (pilihan
2). Dari rata-rata dan analisis variasi akan
diperoleh persebarannya dan ketiga ke-
lompok itu dapat dibandingkan sehingga
akan terlihat variasi persebarannya.
Instrumen pengambilan data berupa
pertanyaan yang jawabannya hanya ada
dua kemungkinan, yakni 1 = bahasa
Sunda dan 2 = bahasa Indonesia. Jawaban-
nya berbentuk pilihan ganda yang hanya
berisi dua kemungkinan. Dua bahasa itu-
lah yang kemungkinan besar digunakan
pembahan. Ranahnya berkaitan dengan
keluarga, lingkungan sekitar rumah, dan
lingkungan formal seperti sekolah dan
kantor.
Data akan diolah dengan pengolah
data statistik yang mampu menampilkan
rata-rata hitung. Dengan itu persebaran
hasil dapat diketahui. Agar hasilnya lebih
terinci diperlukan pula analis variansi
untuk melihat perbedaan persebaran
kelompok. Dari penghitungan itu akan
terlihat kehomogenan perangai kedua
kelompok itu.
Data dikumpulkan satu per satu dari
pembahan. Pembahan dihadapkan pada
sebuah daftar tanyaan yang diketik. Sebe-
lum mulai, pembahan diberi penjelasan
apa yang harus dilakukannya.
Purposive sampling digunakan dalam
penelitian ini. Peneliti memilih sendiri
pembahan sesuai dengan tujuan peneli-
tian. Pembahan harus menguasai bahasa
Sunda dan bahasa Indonesia Sebelum
pengambilan data, pembahan disodori
beberapa pertanyaan berkaitan dengan
penguasaan bahasa Sunda dan Indonesia.
Pembahan terdiri atas sang ayah, sang
ibu, dan sang anak. Untuk penelitian
disertakan 120 keluarga; itu berarti 360
pembahan.
Instrumen pengambilan data berupa
daftar tanyaan yang dirancang sesuai
dengan pertanyaan penelitian. Jumlah
pertanyaan tersebar merata sesuai dengan
ranah. Pertanyaan berjumlah lima puluh.
Sebelum program yang sesungguhnya
dimulai ada instruksi yang jelas dan be-
berapa kalimat contoh.
Validitas data diukur dari proses
pengambilan data, yakni pembahan
mengerti sungguh-sungguh apa yang
harus dilakukan dan berkonsentrasi
penuh menghadapi tugas yang diberikan.
Uraian situasi juga memengaruhi validi-
tas. Instruksi diberikan sejelas mungkin
agar validitas meningkat. Sebelum pe-
nelitian yang sesungguhnya dilakukan,
instrumen dicobakan dulu apakah itu
dapat digunakan sesuai tujuan. Data yang
diperoleh diolah oleh pemrogram SPSS
(Statistic Program for Social Sciences, 2007)
berkaitan dengan rata-rata hitung dan
simpangan baku.
Lokasi riset adalah Kabupaten Ban-
dung yang akan dibagi menjadi lima
titik penelitian yakni Kabupaten Bandung
bagian timur, bagian selatan, barat, utara,
dan tengah. Riset dilaksanakan antara
bulan April 2017 hingga Juni 2017.
Instrumen penelitian berupa daftar
tanyaan. Informan yang terseleksi sesuai
dengan kriteria memilih bahasa yang pa-
ling sering digunakan, yakni (1) bahasa
Sunda dan (2) bahasa Indonesia dalam
berbagai ranah dan lawan bicara.
314
Vitalitas Bahasa Sunda di Kabupaten Bandung
Tabel 1. Lawan Bicara dan Ranah
No. Lawan berbicara
1. Kakek/Nenek di rumah
2. Kakek/Nenek di pusat keramaian
3. Kakek/Nenek di kantor kelurahan/
kecamatan
4. Bapak/Ibu di rumah
5. Bapak/Ibu di pusat keramaian
6. Bapak/Ibu di kantor kelurahan/
kecamatan
7. Saudara kandung di rumah
8. Saudara kandung di pusat
keramaian
9. Saudara kandung di kantor
kelurahan/kecamatan
10. Teman dekat di RT/RW yang sama
11. Tetangga (tua)
12. Tetangga (muda)
13. Tetangga (sebaya)
14. Tetangga (anak-anak)
15. Tukang ojeg yang dikenal baik
16. Tukang ojeg yang tidak dikenal
17. Penjaga toko yang dikenal baik
18. Penjaga toko yang tidak dikenal baik
19. Pedagang di pasar tradisional
20. Guru di kantor sekolah
21. Guru di luar kantor sekolah
22. Pegawai kelurahan/kecamatan di
kantor
23. Pegawai kelurahan/kecamatan di
luar kantor
24. Orang yang tidak dikenal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ranah Kekeluargaan
Pada Tabel 2 tersurat bahwa posisi
bahasa Sunda kuat dalam ranah kekelu-
argaan (dengan kakek-nenek, ayah-ibu,
dan saudara kandung) (rerata 1,21). Yang
paling kuat posisi bahasa Sunda adalah
pada saat bahasa itu digunakan oleh infor-
man dalam berkomunikasi dengan kakek
dan nenek di rumah (rerata 1,06); mereka
nyaris selalu menggunakan bahasa Sunda.
Dilihat dari simpangan baku (0,24) ranah
itu juga paling kecil sehingga tingkat
kesepakatannya juga paling tinggi dalam
memutuskan untuk menggunakan bahasa
Sunda. Dengan saudara kandung di kan-
tor kelurahan informan paling sedikit
menggunakan bahasa Sunda (rerata 1,36;
simpangan baku 0,48), tetapi jika di rumah
penggunaan bahasa Sunda meningkat
dengan tingkat kesepakatan yang juga
lebih tinggi (rerata 1,19; simpangan baku
0,41).
Tabel 2. Penggunaan Bahasa Sunda pada
Ranah Kekeluargaan
Ranah Rerata s.b.
1 1.06 0.24
2 1.10 0.30
3 1.12 0.33
4 1.13 0.34
5 1.27 0.45
6 1.32 0.47
7 1.19 0.41
8 1.32 0.47
9 1.36 0.48
Rerata 1.21 0.39
Keterangan:
s.b. : simpangan baku
Ranah Kekariban
Hasil penggunaan bahasa Sunda pada
ranah kekariban ada pada Tabel 3. Ranah
kekariban meliputi penggunaan bahasa
Sunda dengan teman, tetangga, dan guru.
Bahasa Sunda paling banyak digunakan
(rerata 1,12; s.b. 0,33) dengan teman dekat
satu RT/RW dan dengan tetangga tua
(rerata 1,13; s.b. 0,34). Dengan tetangga
sebaya juga relatif banyak digunakan
bahasa Sunda (rerata 1,15), tapi tingkat
kekompakan rendah (s.b. 0,75). Diban-
dingkan dengan teman, penggunaan
bahasa Sunda dengan guru lebih sedikit
(di kantor sekolah rerata 1,73 dan s.b. 0,45;
di luar kantor sekolah rerata 1,57 dan s.b.
315
LITERA, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017
0,50); tingkat kesepakatannya relatif ren-
dah dilihat dari angka simpangan baku.
Dengan guru tampaknya lebih banyak
digunakan bahasa Indonesia.
Tabel 3. Penggunaan Bahasa Sunda pada
Ranah Kekariban
Ranah Rerata s.b.
10 1.12 0.33
11 1.13 0.34
12 1.32 0.47
13 1.15 0.75
14 1.34 0.48
20 1.73 0.45
21 1.57 0.50
Rerata 1.34 0.47
Keterangan:
s.b. : simpangan baku
Ranah Transaksional
Ranah transaksional berisi percakapan
dengan tukang ojek, penjaga toko, dan
pedagang di pasar tradisional.
Tabel 4. Penggunaan Bahasa Sunda pada
Ranah Kekariban Transaksional
Ranah Rerata s.b.
15 1.11 0.31
16 1.30 0.46
17 1.25 0.43
18 1.61 0.49
19 1.11 0.31
Rerata 1.28 0.40
Keterangan:
s.b. : simpangan baku
Pada Tabel 4 terbaca bahwa bahasa
Sunda paling banyak digunakan saat
informan berbicara dengan tukang ojek
yang dikenal baik dan dengan pedagang
di pasar tradisional. Rerata untuk kedua
ranah itu sama (1,11) dan simpangan ba-
kunya juga sama (0,31). Dari simpangan
baku tersurat bahwa informan memiliki
tingkat kesepakatan yang cukup tinggi.
Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan
saat informan berbicara dengan penjaga
toko yang tidak dikenal meskipun dengan
tingkat kesepakatan yang relatif rendah.
Ranah Kedinasan
Ranah kedinasan berisi percakapan
dengan pegawai kelurahan/kecamatan
di dalam kantor maupun di luar kantor.
Hasil penggunaan bahasa Sunda pada ra-
nah kedinasan terbaca pada Tabel 5. Dari
rerata terlihat bahwa bahasa Indonesia
lebih banyak digunakan pada ranah ke-
dinasan. Ternyata di dalam kantor bahasa
Sunda lebih sedikit digunakan daripada
di luar kantor.
Tabel 5. Penggunaan Bahasa Sunda pada
Ranah Kedinasan
Ranah rata s.d.
22 1.57 0.50
23 1.46 0.50
Rerata 1.52 0.50
Keterangan:
s.b. : simpangan baku
Ranah Orang Tidak Dikenal
Pada Tabel 6 terbaca bahwa informan
lebih banyak menggunakan bahasa Indo-
nesia dengan orang yang tidak dikenal
(rerata 1,71 dan s.b. 0,45). Dengan guru
di kantor sekolah (lihat Tabel 3) infor-
man lebih banyak menggunakan bahasa
Indonesia daripada bahasa Sunda (rerata
1,73 dan s.b. 0,45). Tingkat penggunaan
bahasa Indonesia pada kedua ranah itu
nyaris sama.
Tabel 6. Penggunaan Bahasa Sunda ke-
pada Orang Tidak Dikenal
Ranah Rerata s.b.
24 1.71 0.45
Keterangan:
s.b. : simpangan baku
316
Vitalitas Bahasa Sunda di Kabupaten Bandung
SIMPULAN
Vitalitas bahasa Sunda kuat pada
ranah kekeluargaan, transaksional, dan
kekariban; tetapi lemah pada ranah kedi-
nasan dan orang tidak dikenal. Dari segi
kesepakatan, ranah keluarga, transaksi-
onal, dan kekariban juga menduduki
tempat yang tinggi dibandingkan ranah
kedinasan dan orang tidak dikenal. Peng-
gunaan terbanyak bahasa Sunda ada pada
ranah kekeluargaan, terutama pada saat
informan berbicara dengan kakek/nenek
dan ayah/ibu. Bahasa Sunda berkurang
vitalitasnya pada ranah kedinasan dan
ranah orang tidak dikenal. Bahasa Sunda
paling sedikit digunakan pada saat in-
forman berbicara dengan guru di dalam
kantor sekolah. Vitalitas bahasa Sunda
dapat terjaga jika penutur bahasa Sunda
menggunakan sebanyak mungkin bahasa
Sunda di ranah kekeluragaan pada saat
mereka berkomunikasi dengan ayah/ibu,
kakek/nenek, dan saudara kandung.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian yang hasilnya disajikan
pada artikel ini didanai oleh Hibah Inter-
nal Universitas Padjadjaran tahun ang-
garan 2017/2018. Untuk itu terima kasih
disampaikan kepada Rektor Universitas
Padjadjaran, Dekan Fakultas Ilmu Bu-
daya Unpad, Direktur Riset, Pengabdian
pada Masyarakat, dan Inovasi Unpad,
dan Manajer Riset, Pengabdian pada
Masyarakat, dan Inovasi Fakultas Ilmu
Budaya Unpad.
DAFTAR PUSTAKA
Dienaputra, R.D. 2012. Sunda: Sejarah,
Budaya, dan Politik. Cetakan Kedua.
Jatinangor: Sastra Unpad Press.
Grenoble, LA. dan L.J. Whaley. 2006.
Saving Language: An Introduction to
Language Revitalization. Cambridge:
Cambridge University Press.
Grosjean, F. 2001. Bilingualism, Individual.
Dalam R. Mesthrie (ed.) Concise Ency-
clopedia of Sociolinguistics. Amsterdam,
New York: Elsevier, hlm. 10–15.
Gunarwan, A. 2006. Kasus-Kasus Pergeser-
an Bahasa Daerah Akibat Persaingan
dengan Bahasa Indonesia. Linguistik
Indonesia, Jurnal Ilmiah Masyarakat Lin-
gustik Indonesia, hlm. 106–197.
Kridalaksana, H. 2002. Struktur, Ketegori,
dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Ja-
karta: Unika Atma Jaya.
Kridalaksana, H. 2009. Kamus Linguistik.
Edisi Keempat, Cetakan Kedua. Ja-
karta: Gramedia.
Mardikantoro, H.B. 2012. Bentuk Pergeser-
an Bahasa Jawa Masyarakat Samin da-
lam Ranah Keluarga, LITERA, Jurnal
Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengaja-
rannya, Vol. 11, No. 2, hlm. 204–215.
Mesthrie, R. 2001. Sosiolinguistics: History
and Overview. Dalam R. Mesthrie
(ed.) Concise Encyclopedia of Sociolin-
guistics. Amsterdam, New York: El-
sevier, hlm. 1-4.
Riyanto, S. 2013. Penggunaan Bahasa Sun-
da oleh Mahasiswa yang Berbahasa
Pertama Sunda. Laporan Penelitian
Hibah Bersaing Fakultas Ilmu Budaya
Unpad.
Rokhman, F. 2009. Pergeseran Bahasa
Indonesia di Era Global dan Implikasi-
nya terhadap Pembelajaran. http://
faturrokhmancenter.wordpress.com
(diunduh tanggal 13 Mei 2013).
Sofyan, A.N., T. Suparman, dan S. Riyanto.
2014. Penyebaran Bahasa Sunda pada
Mahasiswa Unpad yang Berbahasa
Pertama Bahasa Lain Laporan Pene-
litian Hibah Bersaing Fakultas Ilmu
Budaya Unpad.
Sumarsono dan P. Partana. 2002. Sosio-
linguistik. Yogyakarta: Sabda.
Sumarsono. 2000. Sikap dan Perilaku
Tutur Penutur Bahasa Melayu Loloan
terhadap Bahasanya dan Bahasa-
Bahasa Lainnya. Dalam Kajian Serba
Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa
Bahasa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
317
LITERA, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017
Thomason, S.G. 2001. Language Contact,
an Introduction. Edinburg: Edinburg
University Press.
Wahya. 2005. Inovasi dan Difusi Geogras-
Leksikal Bahasa Melayu dan Bahasa
Sunda di Perbatasan Bogor-Bekasi:
Kajian Geolinguistik. Disertasi Uni-
versitas Padjadjaran bandung.
Wahya. 2015. Bahasa dalam Perspektif
Geogras. Bandung: CV Semiotika.
... Many studies have been conducted on the indigenous language vitality in Indonesia. Wagiati et al. (2017) at her study focused on the vitality of Sundanese in Bandung Regency and F. Wibowo (2016) focused on the vitality of the Bengkulu language. The both experts studied indigenous languages vitality. ...
Article
The Kafoa language is one of the indigenous languages in Indonesia so that needs to preserve it to be in existed category and reveal it as language assets in Indonesia and local culture identity. Revealing the Kafoa Language vitality can be conducted through many perspectives, one of them is through the use of basic cultural vocabulary mastery by native speakers. Therefore, this study aimed to reveal the Kafoa language vitality through the basic cultural vocabulary mastery by the speakers in Bawah Sub-Village, Probur Utara Village, Southwest Alor District, Alor Regency, East Nusa Tenggara, Indonesia. The study was a qualitative applying case study method. Data were the answer of 40 speakers of the Kafoa language as respondents. In collecting data, questionnaire and interview guidance were used as instruments involving 451 basic cultural vocabularies in nine domains of body parts; pronouns, greetings, and references; kinship; village and community life; house and its parts; equipment and tools; foods and beverages; plants and trees; and animals. The data were then analysed through Miles and Huberman steps of data analysis. The study result showed that 190 (42%) vocabularies are still mastered by the speakers of Kafoa language, while 261(58%) vocabularies are not longer mastered. It indicates that the tendency to master the basic cultural vocabulary by speakers of the Kafoa language tends to decrease thus its vitality is getting low. To maintain the vitality or life power of the Kafoa language, a policy from the Government is needed and teaching it in the schools is considered.
... The EGIDS scale assesses the vitality of the Devayan language in Simeuleu Island at level 6b, indicating that it is critically endangered. Wagiati, Wahya, and Riyanto (2017) researched the vitality of the Sundanese language in Bandung Regency. Maricar and Ety (2017) conducted a study titled "Vitality of Ternate Language in Ternate Island." ...
Article
Full-text available
This study aims to describe the vitality level of the Malay language in North Sumatra. This study used a sociolinguistic approach, and quantitative and qualitative data analysis was carried out. Data analysis uses UNESCO references to measure the vitality level of a language. Data were obtained through a questionnaire to 165 respondents and analyzed using a Likert scale. The research results show that the level of vitality of the Malay language in North Sumatra is experiencing a decline. This is associated with several findings, namely in terms of transmission, it is in grade 3: threatened with extinction; dwindling number of native speakers; the proportion of speakers is at grade 2: critically endangered; realm of use conditions at grade 3: shrinking realm; the condition of the new domain and media is included in grade 1: minimal; the condition of the availability of teaching materials and literacy is on scale 2: the condition of speakers' attitudes is on scale 4: indicating that almost all speakers are supportive of maintaining their language; and finally the documentation condition is in category 3: moderate. So, the vitality of the Malay Language is declining.
... Di sekolah dasar, bahasa Sunda diberikan sebagai mata pelajaran muatan lokal yang diberikan dalam satu minggu satu kali di wilayah Jawa Barat. Jumlah jam pelajaran yang terlalu sedikit itu sangat tidak cukup untuk memahami pembelajaran secara utuh (Wagiati, Wahya, & Riyanto, 2017). Muatan lokal sendiri merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah tempat tinggalnya (Herudin, 2017). ...
Article
Full-text available
Penelitian ini berawal dari adanya permasalahan rendahnya keterampilan berbicara siswa dalam bahasa sunda. Penulis mencoba menerapkan model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Sunda. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri 4 Kuningan dengan subyek penelitian siswa kelas 8A. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan keterampilan berbicara siswa setelah dilaksanakan model pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw. Dengan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas 8A di MTs Negeri 4 Kuningan.
... Di sekolah dasar, bahasa Sunda diberikan sebagi mata pelajaran muatan lokal yang diberikan dalam satu minggu satu kali di wilayah Jawa Barat. Jumlah jam pelajaran yang terlalu sedikit itu sangat tidak cukup untuk memahami pembelajaran secara utuh (Wagiati, Wahya, & Riyanto, 2017). ...
Article
Full-text available
Sundanese script is one of the learning topics in the fifth grade of elementary school, which learns about Sundanese script forms. In the process of learning and remembering this Sundanese script, students experience some difficulties, such as difficulty in memorizing and recalling the Sundanese script itself. This study aimed to make teachers and students more comfortable to remember and learn the process of learning Sundanese characters by illustrating the form of characters through simple conversations by grouping Sundanese characters based on the shape of the letters and the placement of the letters in the form of stories. This study used the DBR (Design-Based Research) method by research procedures of identifying learning needs, developing prototypes, testing, and reflecting. Data collection techniques were carried out through interviews and questionnaires. The research subjects were teachers and fifth-grade students of SD Negeri 3 Mangunreja, SDN Cikadu, and SD IT Al-Hikmah. The test results showed that the Sundanese language story about writing Sundanese script was appropriate and eligible as a writing learning material to be used to support the learning process. The result of this research was to produce a story in Sundanese language about the writing of the Sundanese Kaganga script as writing material for elementary school students, entitled "Tili Nulis Aksara Sunda"
Article
Full-text available
This research delves into the linguistic intricacies within the Salafi Islamic boarding school situated in Babakan, Ciwaringin, Cirebon—a microcosm of diversity in social and linguistic backgrounds. Employing a descriptive qualitative design with a sociolinguistic approach, the study explores language maintenance and shift among the students, emphasizing the intricate interplay between language and social contexts. Through the Simak Bebas Libat Cakap 'observation' technique, questionnaires, and interviews, the data unveils a dynamic coexistence of language maintenance and shift, notably observed in Bahasa Cirebon, Indonesian, and regional languages. Native speakers exhibit resilience in using Bahasa Cirebon during interactions with diverse interlocutors, while language shift occurs when individuals with distinct linguistic backgrounds opt for languages other than the regional one in communicative events. This research not only provides insights into linguistic resilience within the Salafi pesantren community but also highlights the adaptability of regional languages in multifaceted linguistic environments. The incorporation of the Unified Regional Linguistic Resilience Theory enriches the theoretical underpinning, offering a comprehensive lens for comprehending language dynamics in Islamic boarding schools. This contribution extends to the broader discourse on language, identity, and communication, emphasizing the significance of regional languages in diverse sociocultural settings.
Article
Full-text available
PurposeThere have been many studies on local languages in Indonesia. However, the study that focuses on Banten Sundanese Language, henceforth is BSL, seems to have not been widely studied, especially its idiomatic phrases. To reach the gaps, this present study aims to explore in-depth investigations about (1) the form of idiomatic phrases in BSL; (2) the use of idiomatic phrases among BSL speakers; and (3) the efforts to preserve the idiomatic phrases in BSL.Method To solve the problems, Pandeglang Regency in Banten Province was selected as the locus, and it involved 27 informants who were justified and snowballed. The method used in this research was a case study, with observation, interviews, and documentation as data collecting techniques.Results/findingsThe findings show there are 94 idiomatic phrases in BSL, and most of the informants (63%) claim that the phrases are limited in use.Conclusion It concludes that real works are emerged in collecting and preserving the BSL phrases through: (a) using BSL as a colloquial language; (b) applying BSL as a compulsory course at both primary and secondary schools; (3) encouraging the regulations to rule the use of BSL among the speakers; (4) publishing BSL dictionary and other literatures; and (5) controlling the use of gadgets, smartphones, and other technological media for the children.
Article
Full-text available
This study aims to describe the level of loyalty, pride, and knowledge of YouTubers in the Sundanese language in the YouTube Fiksi channel. This study used a qualitative-quantitative descriptive approach. The data were in the form of YouTuber’s utterances obtained from the YouTube Fiksi channel. The findings of this study covered two aspects, namely the language attitude and vitality of Sundanese. First, the language attitude of the YouTuber showed positive attitudes characterized by (1) the attitudes of loyalty to Sundanese (75.7%), (2) attitudes of pride in Sundanese (8.7%), and (3) attitudes of awareness of Sundanese norms (15.7%). Second, the status of the vitality of the Sundanese on the YouTube Fiksi channel was safe. The use of the pattern dengan-, di-, and untuk- showed that Sundanese is intensely used by YouTuber to communicate with speech partners.AbstrakTujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan tingkat kesetiaan, kebanggaan, dan pengetahuan YouTuber terhadap bahasa Sunda dan vitalitas budaya Sunda di Kanal YouTube Fiksi. Metodologi deskriptif kualitatif-kuantitatif digunakan dalam penelitian ini. Tuturan YouTuber yang diambil dari kanal YouTube Fiksi dijadikan sebagai data penelitian ini. Ada dua temuan dalam penelitian ini, yaitu sikap bahasa dan vitalitas bahasa Sunda. Pertama, sikap berbahasa YouTuber dibedakan atas sikap positif yang dibuktikan oleh (1) sikap loyalitas terhadap bahasa Sunda sebesar 75,7%, (2) sikap bangga terhadap bahasa Sunda sebesar 8,7%, dan (3) kesadaran akan norma bahasa sunda sebesar 15,7%. Kedua, kanal YouTube Fiksi menunjukkan kondisi vitalitas bahasa Sunda aman. Pola dengan, di, dan untuk menunjukkan bahwa bahasa Sunda intens digunakan oleh YouTuber.
Article
Full-text available
There has been no report on the study of the vitality of Saleman language. The purpose of this study is to determine the vitality of Saleman language in Saleman Village and try to explain the vitality based on the factors that determine the vitality of the language. This research uses a mixed method. The dominant method is the quantitative method. Qualitative methods used to help explain the findings of quantitative methods. Data collection done by questionnaire, interview, and observation. Research data processing in the form of respondents' responses to the questionnaire done quantitatively. Research results show that the vitality of the Saleman language in Village of Saleman is in a position of decline. Four factors determine the vitality of language, namely language contact, the realm of language use, documentation, and responses to new challenges. The index value is lower than the total index value. These four factors are the main contributors so that the vitality of the Saleman language in the State of Saleman is low, namely in a position of decline. Abstrak Sejauh penelusuran penulis, belum ada laporan mengenai kajian vitalitas bahasa Saleman. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman dan berusaha menjelaskan vitalitas itu berdasarkan faktor-faktor yang menentukan vitalitas bahasa. Penelitian ini menggunakan metode campuran. Metode yang dominan ialah metode kuantitatif. Metode kualitatif dimanfaatkan untuk membantu memberikan penjelasan dari temuan metode kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, wawancara, dan observasi. Pengolahan data penelitian yang berupa tanggapan responden terhadap kuesioner dilakukan secara kuantitatif. Hasil peneilitian menunjukkan bahwa vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman dalam posisi mengalami kemunduran. Empat faktor yang menentukan vitalitas bahasa, yaitu kontak bahasa, ranah penggunaan bahasa, dokumentasi, dan respon terhadap tantangan baru nilai indeksnya lebih rendah daripada nilai indeks total. Keempat faktor itulah yang menjadi penyumbang utama sehingga vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman rendah, yaitu dalam posisi mengalami kemunduran.
Article
This study aims to describe the forms of the shift of Javanese in the Samin communityin the domestic domain. The data were collected from two locations where the Samincommunity lives, i.e. Tambak Hamlet, Sumber Village, Kradenan District and TanduranHamlet, Kemantren Village, Kedungtuban District. The data were ethnographicallyanalyzed. The findings show that there is a shift of Javanese in the Samin community from the ngoko Javanese to the krama Javanese. The ngoko language, which is the characteristic of Javanese in the Samin community, is used in a variety of domains. However, due to a variety of causes, the Samin community does not use the ngoko Javanese for all purposes. It is used only in the domestic domain and neighborhood involving the members of the Samin community only. In other domains such as social and educational domains, the ngoko Javanese is not used anymore and there is a shift to the krama Javanese.
  • R D Daftar Pustaka Dienaputra
DAFTAR PUSTAKA Dienaputra, R.D. 2012. Sunda: Sejarah, Budaya, dan Politik. Cetakan Kedua. Jatinangor: Sastra Unpad Press.
  • F Grosjean
Grosjean, F. 2001. Bilingualism, Individual. Dalam R. Mesthrie (ed.) Concise Encyclopedia of Sociolinguistics. Amsterdam, New York: Elsevier, hlm. 10-15.
Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah Akibat Persaingan dengan Bahasa Indonesia. Linguistik Indonesia, Jurnal Ilmiah Masyarakat Lingustik Indonesia, hlm
  • A Gunarwan
Gunarwan, A. 2006. Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah Akibat Persaingan dengan Bahasa Indonesia. Linguistik Indonesia, Jurnal Ilmiah Masyarakat Lingustik Indonesia, hlm. 106-197.
Struktur, Ketegori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis
  • H Kridalaksana
Kridalaksana, H. 2002. Struktur, Ketegori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Sosiolinguistics: History and Overview
  • R Mesthrie
Mesthrie, R. 2001. Sosiolinguistics: History and Overview. Dalam R. Mesthrie (ed.) Concise Encyclopedia of Sociolinguistics. Amsterdam, New York: Elsevier, hlm. 1-4.
Penggunaan Bahasa Sunda oleh Mahasiswa yang Berbahasa Pertama Sunda
  • S Riyanto
Riyanto, S. 2013. Penggunaan Bahasa Sunda oleh Mahasiswa yang Berbahasa Pertama Sunda. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Fakultas Ilmu Budaya Unpad.
Pergeseran Bahasa Indonesia di Era Global dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
  • F Rokhman
Rokhman, F. 2009. Pergeseran Bahasa Indonesia di Era Global dan Implikasinya terhadap Pembelajaran. http:// faturrokhmancenter.wordpress.com (diunduh tanggal 13 Mei 2013).