ArticlePDF Available

Manajemen Konflik Pada Kepemimpinan Kolektif BPK-P2L Pondok Pesantren Lirboyo Kediri

Authors:

Abstract

This article is the result of a study that discusses conflict management implemented in the collective leadership of the Lirboyo Kediri Islamic Boarding School. Where the Lirboyo Kediri boarding school is one of the largest pesantren in the province of East Java and has also existed for more than a century and now its leadership is in the hands of the 4th generation who is the grandson of the founder of the pesantren. In carrying out its leadership, the Lirboyo Kediri boarding school uses a collective leadership style incorporated in a forum called BPK-P2L (Lirboyo Kediri Islamic Boarding School Board of Trustees). The results of this study conclude first, that the formation of the Lirboyo Kediri BPK-P2L Islamic Boarding School has the motive to maintain the integrity of the zealous ties of the pesantren. Second, the map of potential conflicts in the Lirboyo Kediri boarding school consists of: 1). The Lirboyo Kediri boarding school has unit boarding schools that are independent and have their own caregivers and organizations but on the other hand must also comply with the BPK-P2L decision, 2). Term of pondok kulon and pondok wetan. Third, that in conflict control BPK-P2L Lirboyo Kediri applies the musayawarah approach, the division of roles and authority, and applies the tradition of marriage between relatives.
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
177
MANAJEMEN KONFLIK PADA KEPEMIMPINAN
KOLEKTIF BPK-P2L PONDOK PESANTREN LIRBOYO
KEDIRI
1
Oleh
Zaenal Arifin
Institut Agama Islam Tribakti Kediri
email : zae.may13@gmail.com
Abstracts
This article is the result of a study that discusses conflict
management implemented in the collective leadership of
the Lirboyo Kediri Islamic Boarding School. Where the
Lirboyo Kediri boarding school is one of the largest
pesantren in the province of East Java and has also existed
for more than a century and now its leadership is in the
hands of the 4th generation who is the grandson of the
founder of the pesantren. In carrying out its leadership, the
Lirboyo Kediri boarding school uses a collective
leadership style incorporated in a forum called BPK-P2L
(Lirboyo Kediri Islamic Boarding School Board of
Trustees).
The results of this study conclude first, that the formation
of the Lirboyo Kediri BPK-P2L Islamic Boarding School
has the motive to maintain the integrity of the zealous ties
of the pesantren. Second, the map of potential conflicts in
the Lirboyo Kediri boarding school consists of: 1). The
Lirboyo Kediri boarding school has unit boarding schools
that are independent and have their own caregivers and
organizations but on the other hand must also comply with
the BPK-P2L decision, 2). Term of pondok kulon and
pondok wetan. Third, that in conflict control BPK-P2L
Lirboyo Kediri applies the musayawarah approach, the
1
Penelitian ini didanai oleh DIPA Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama Tahun Anggaran
2017
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
178
division of roles and authority, and applies the tradition of
marriage between relatives.
Abstrak
Artikel ini merupakan hasil penelitian yang membahas
tentang manajemen konflik yang diimplementasikan pada
kepemimpinan kolektif di Pondok Pesantren Lirboyo
Kediri. Dimana pesantren Lirboyo Kediri merupakan
salah satu pesantren tersbesar di provinsi Jawa Timur dan
juga telah eksis selama 1 abad lebih dan saat ini tampuk
kepemimpinannya berada di tangan generasi ke 4 yang
merupakan cucu dari (muasis) pendiri pesantren tersebut.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, pesantren
Lirboyo Kediri menggunakan gaya kepemimpinan
kolektif yang tergabung dalam wadah yang bernama
BPK-P2L (Badan Pembina Kesejahteraan Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri).
Hasil penelitian ini menyimpulkan pertama, bahwa
pembentukan BPK-P2L Pesantren Lirboyo Kediri
memiliki motif untuk menjaga keutuhan ikatan
kekerabatan dzuriah pesantren. Kedua, peta potensi
konflik yang ada di pesantren Lirboyo Kediri terdiri dari:
1). Pesantren Lirboyo Kediri memiliki unit-unit pesantren
yang berdiri sendiri dan memiliki pengasuh serta
organisasi tersendiri tetapi di sisi lain juga harus patuh
pada keputusan BPK-P2L, 2). Term pondok kulon dan
pondok wetan. Ketiga, bahwa dalam pengendalian konflik
BPK-P2L Lirboyo Kediri menerapkan pendekatan
musayawarah, pembagian peran dan wewenang, serta
menerapkan tradisi pernikahan antar kerabat.
Kata Kunci : Manajemen Konflik, Kepemimpinan Kolektif, BPK-
P2L Pesantren Lirboyo Kediri
Pendahuluan
Penelitian ini akan melihat dan memahami perilaku
kepemimpinan kolektif sebagai manajemen konflik di pondok
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
179
pesantren Lirboyo Kediri, dimana pesantren Lirboyo Kediri
merupakan salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di
provinsi Jawa Timur.
2
Pesantren ini juga merupakan pesantren
salaf tertua dengan jaringan alumni yang telah menyebar hampir
di seluruh daerah di Indonesia dan menempati posisi penting
dalam kiprahnya di masyarakat. Selain itu, Pesantren Lirboyo
Kediri memiliki pesantren-pesantren unit hingga 10 unit lebih
yang tersebar di sekeliling pesantren induk (utama), dan masing-
masing unit memiliki karakter dan konsentrasi yang berbeda-beda
dalam menyelenggarakan pendidikannya. Semua pesantren unit
Lirboyo kediri didirikan oleh dzuriyah (keluarga) yang tergabung
dalam BPK-P2L (Badan Pembina Kesejahteraan Pondok
Pesantren Lirboyo).
3
Pondok Pesantren Lirboyo Kediri didirikan pada tahun
1910 oleh KH Abdul Karim
4
, atas dorongan dari mertuanya yang
2
Pondok pesantren Lirboyo Kediri didirikan oleh KH. Abdul Karim
(mbah Manab) pada tahun 1910. Saat ini Pesantren Lirboyo Kediri telah
memiliki 10 unit adalah 1). PPHM (disebut Pondok Pesantren Induk dengan
jumlah santri 730), 2). P3HM (disebut dengan Unit HM Ceria dengan jumlah
santri 990), 3). PPHM al-Mahrusiyah Putra/PPHM al-Mahrusiyah Putri
(disebut Unit HMP dengan jumlah santri 1.709, 4). PPHMA (disebut Unit HM
Antara dengan jumlah santri 147), 5). PPHY (disebut Unit HY dengan jumlah
santri 629), 6). PPDS (disebut Unit DS dengan jumlah santri 211), 7). PPMQ
281, 8). P3TQ 630, 9). PT3HMQ 289, 10). PPST al-Risa@lah 280, 11). PP
Putra Putri al-Baqaroh 174. Selain itu, Pomdok Pesantren Lirboyo Kediri juga
telah memiliki cabang dan semua santrinya tercatat sebagai santri Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri, yaitu; Cabang Pagu Kediri 212, Cabang Turen
Malang 45, Cabang Bakung Blitar 130, santri duduk MHM 593, IAIT
TRIBAKTI 1.141.Lihat Ketetapan Badan Pembina Pondok Psantren Lirboyo
Periode 1434-1435 H (2013-2014 M)
3
Badan ini memiliki otaritas tertinggi di lingkungan Pondok Pesantren
Lirboyo. Semua kegiatan ataupun kebijakan di dalam pondok ataupun
madrasah, hanya bisa direalisasikan ketika sudah mendapatkan restu dari BPK-
P2L. Apabila ada problematika yang belum bisa dipecahkan dalam sebuah
rapat-rapat pengurus pesantren, baik induk maupun unit, hal itu kemudian
diangkat dalam rapat BPK-P2L. (lihat; https://lirboyo.net/pondok-unit-
lirboyo/)
4
KH. Abdul Karim Lahir di desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan,
Magelang, Jawa Tengah pada tahun1856 M, dari pasangan Kiai Abdur Rahim
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
180
bernama Kyai Sholeh dan juga atas permintaan kepala desa
Lirboyo kepada Kyai Sholeh agar berkenan menempatkan salah
satu menantunya di desa Lirboyo yang terkenal wingit (angker).
Setelah beberapa lama pondok pesantren Lirboyo berdiri dan
telah memiliki banyak santri, KH.Abdul Karim memilih beberapa
santrinya untuk menjadi menantunya, yaitu KH. Marzuki Dahlan
dan KH. Mahrus Ali (nama kecilnya dipanggil Rusydi) yang
kemudian kedua manantunya tersebut menjadi penerus
kepemimpinan pesantren Lirboyo. Di tangang kedua menantunya
ini, podok pesantren Lirboyo mengalami perkembangan yang
sangat pesat dan berhail mendirikan perguruan tinggi yang
bernama Universitas Islam Tribakti (sekarang Iinstitut Agama
Islam tribakti Kediri).
Saat ini, kepemimpinan pesantren Lirboyo Kediri
dipegang oleh generasi ketiga dan generasi keempat, yaitu cucu
dan cicit dari KH. Abdul Karim. Sebagaimana teori Ashabiyah
5
Ibnu Khaldun dalam bukunya ”Muqadimah” menjelaskan bahwa
generasi ketiga merupaka generasi yang rentan dengan konflik
sehingga terjadinya konflik akan sangat rentan dengan
perpecahan keruntuhan. Namun kenyataanya pesantren Lirboyo
sampai saat ini masih tetap eksis dan justru mengalami
perkembangan yang signifikan. Hal ini mengasumsikan bahwa
kepemimpinan yang dijalankan oleh pesantren Lirboyo Kediri
memiliki manajemen konflik yang baik.
Beberapa contoh konflik yang pernah terjadi dipesantren
Lirboyo Kediri dan dapat dimanaj dengan baik adalah pertama,
pendirian perguruan tinggi UIT (Universitas Islam Tribakti) yang
diinisiasi oleh KH. Mahrus Aly. Banyak pihak yang tidak
dan Nyai Salamah. Beliau juga merupakan salah satu santri KH. Kholil
Bangkalan Madura.
5
Teori Ashabiyah/dinasti Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa sebuah
peradaban akan mengalami tiga tahapan, tahap pertama disebut ’perintis’,
tahap kedua disebut ’penikmat’ dan tahap ketiga disebut ’penghancur’.
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
181
menyetujui bahkan menentang gagasan tersebut dengan alasan
menggagu proses pembelajaran di pesantren. Kedua, konflik
tentang diperbolehkan atau tidaknya UIT menerima mahasiswa
perempuan, ketiga, konflik tentang diterbitkannya kebijakan
tentang tidak diperbolehkannya santri Lirboyo (Induk) untuk
belajar di sekolah formal termasuk kuliah di UIT. Dan masih
banyak lagi konflik yang pernah terjadi dan dapat dimanaj dengan
baik melalui penerapan kepemimpinan kolektif.
Kepemimpinan kolektif di pesantren Lirboyo Kediri
terdiri dari dewan masayikh (dewan kyai) yang berasal dari
pengasuh masing-masing pesantren unit yang ada di Pesantren
Lirboyo Kediri sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
pesantren Lirboyo Kediri memiliki 11 unit. Dan masing-masing
pengasuh dari pesantren unit tersebut tergabung kedalam
organisasi BPK-P2L (Badan Pembina Kesejahteraan Pondok
Pesantren Lirboyo) sebagai otoritas tertinggi atas kebijakan yang
diputuskan oleh pesantren Lirboyo Kediri.
Berbicara mengenai kepemimpinan di pesantren, Hanun
Asrohah dalam bukunya Pelembagaan Pesantren menyebutkan
bahwa tradisi kepemimpinan pesantren merupakan tradisi yang
diwariskan dari budaya dan tradisi Jawa pra-Islam, di mana
buadaya dan tradisi jawa menganut sistem kasta yang mana kultur
keturunan sangat kental. Dalam tradisi pra-Islam Lembaga
pendidikan yang dipimpin oleh para Brahmana atau pendeta juga
secara turun-temurun, penetapan sima swatanta atau perdikan
juga secara turun-temurun.
6
Tradisi inilah yang sampai saat ini
dianut oleh banyak kalangan pesantren, di mana
kepemimpinannya selalu jatuh pada keturunan kyai pesantren
tersebut.
6
Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren; Asal-usul dan
Perkembangan Pesantren di Jawa (Jakarta: Depag RI, 2004).
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
182
Kebanyakan pesantren di jawa didirikan atas inisiatif
individu kyai, sehingga kepemilikan pesantren pun barada pada
atas nama keluarga (dzuriyyah). Kepemilikan ini berimplikasi
pada kepemimpinan pesantren. Kepemimpinan pesantren
diteruskan secara turun-temurun. Kepemimpinan pesantren
semacam ini menjadi tradisi pendidikan pesantren,
7
demikian
juga lembaga pendidikan modern yang secara historis didirikan
atas inisiatif seorang kyai yang juga memimpin pesantren.
Kepemimpinan lembaga pendidikan Islam modern akan selalu
mengikuti pola kepeimpinan yang dilakukan oleh pesantren.
Abdurrahman Wahid yang akrab dengan panggilan Gus
Dur dalam bukunya “Menggerakkan Tradisi” mengidentifikasi
dan menyebut kepemimpinan tradisional pesantren sebagai
kepemimpinan yang kharismatis.
8
Biasanya lembaga pendidikan
pesantren didirikan oleh seseorang yang bercita-cita tinggi dan
mampu mewujudkan cita-citanya. Proses pendirian pesantren
yang secara demikian menampilkan seorang pemimpin yang
tertempa oleh pengalaman, memiliki keunggulan kepribadian
yang dapat mengalahkan pribadi-pribadi lain disekitarnya.
Kekuatan pribadi tersebut menciptakan corak kepemimpinan
yang bersifat sangat pribadi, dan berlandaskan penerimaan
masyarakat luar dan para santri secara mutlak. Sifat mutlak dan
pribadi dari kepemipinan inilah yang disebut sebagai kharisma.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukamto yang
berjudul ‘Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren’ menyatakan
bahwa kepemimpinan pesantren tergolong kedalam Gaya
kepemimpinan otoriter/paternalistik di mana gaya kepemimpinan
ini seringkali memberi lingkup yang sangat sempit terhadap
7
Asrohah.
8
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Yogyakarta: L-Kis,
2001).
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
183
kebebasan, kreatifitas dan inisiatif bawahan.
9
Pihak bawahan
selalu melakukan apa yang difatwakan oleh atasannya, pendapat
dan inisiatif bawahan hampir tidak ada, kalaupun ada hanya
merupakan usul yang menunggu kearifan Kyai. Dan sekiranya
bawahan mempunyai inisiatif dan potensi tinggi ia hanya cukup
untuk menjalankan fatwa Kyai. Dengan kata lain, apa yang
dikatakan bawahan tidak akan pernah melampaui kewenangan
Kyai.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di berbagai
pesantren, Mastuhu berkesimpulan bahwa gaya kepemimpinan
pesantren terdiri dari beberapa corak, yaitu; kharismatik, otoriter-
paternalistik, dan laissez-faire.
10
Kepemimpinan kharismatik
bersandar pada kepercayaan atau pandangan santri dan
masyarakat umum bahwa kyai yang merupakan pemimpin
pesantren mempunyai kekuasaan yang berasal dari Tuhan,
berbeda dengan gaya kepemimpinan rasional yang bersandar
pada kepercayaan atau pandangan santri dan masyarakat umum
bahwa kyai mempunyai kekuasaan karena mempunyai ilmu
pengetahuan yang dalam dan luas.
Berkenaan dengan perilaku kepemimpinan yang
diterapkan oleh pesantren sebagaimana beberapa hasil penelitian
diatas, dalam perkembangan selanjutnya menurut hemat penulis
bahwa gaya kepemimpinan tersebut akan sangat rentan terjadinya
konflik di internal pesantren. Konflik tersebut dapat bersumber
pada kebijakan pemimpin peantren yang tidak mengakomodir
seluruh kepentingan warga pesantren (khususnya para masyayikh
dan pengurus). Konflik berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu
9
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES,
1999).
10
Mastuhu, “Gaya dan Suksesi kepemimpinan Pesantren,” Jurnal
Ulumul Qur’an Vol. III (1994).
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
184
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak
dicapai secara simultan.
11
PEMBAHASAN
Kepemimpinan Konteks Pesantren
Berbicara mengenai kepemimpinan di pondok pesantren,
Hanun Asrohah dalam bukunya Pelembagaan Pesantren
menyebutkan bahwa tradisi kepemimpinan pesantren merupakan
tradisi yang diwariskan dari budaya dan tradisi Jawa pra-Islam, di
mana buadaya dan tradisi jawa menganut sistem kasta yang mana
kultur keturunan sangat kental. Dalam tradisi pra-Islam Lembaga
pendidikan yang dipimpin oleh para Brahmana atau pendeta juga
secara turun-temurun, penetapan sima swatanta atau perdikan
juga secara turun-temurun.
12
Tradisi inilah yang sampai saat ini
dianut oleh banyak kalangan pesantren, di mana
kepemimpinannya selalu jatuh pada keturunan kyai pesantren
tersebut.
Kebanyakan pesantren di jawa didirikan atas inisiatif
individu kyai, sehingga kepemilikan pesantren pun barada pada
atas nama keluarga (zduriyyah). Kepemilikan ini berimplikasi
pada kepemimpinan pesantren. Kepemimpinan pesantren
diteruskan secara turun-temurun. Kepemimpinan pesantren
semacam ini menjadi tradisi pendidikan pesantren,
13
demikian
juga lembaga pendidikan modern yang secara historis didirikan
atas inisiatif seorang kyai yang juga memimpin pesantren.
Kepemimpinan lembaga pendidikan Islam modern akan selalu
mengikuti pola kepeimpinan yang dilakukan oleh pesantren.
11
Novri Susan, “Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer. (Jakarta: Kencana. 2010),” t.t.
12
Asrohah, Pelembagaan Pesantren; Asal-usul dan Perkembangan
Pesantren di Jawa.
13
Asrohah.
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
185
Abdurrahman Wahid yang akrab dengan panggilan Gus
Dur dalam bukunya “Menggerakkan Tradisi” mengidentifikasi
dan menyebut kepemimpinan tradisional pesantren sebagai
kepemimpinan yang kharismatis.
14
Biasanya lembaga pendidikan
pesantren didirikan oleh seseorang yang bercita-cita tinggi dan
mampu mewujudkan cita-citanya. Proses pendirian pesantren
yang secara demikian menampilkan seorang pemimpin yang
tertempa oleh pengalaman, memiliki keunggulan kepribadian
yang dapat mengalahkan pribadi-pribadi lain disekitarnya.
Kekuatan pribadi tersebut menciptakan corak kepemimpinan
yang bersifat sangat pribadi, dan berlandaskan penerimaan
masyarakat luar dan para santri secara mutlak. Sifat mutlak dan
pribadi dari kepemipinan inilah yang disebut sebagai kharisma.
Lebih lanjut Gus Dur menjelaskan bahwa watak
kharismatik yang dimiliki oleh pemimpin pesantren dapat dilihat
dari cara pengambilan keputusan yang semuanya bergantung
pada pribadi sang pemimpin, sukarnya memperkirakan tentang
tanggapan yang akan diberikan oleh sang pemimpin atas suatu
usulan, pola pergantian pemimpin yang berlangsung secara tiba-
tiba dan tidak direncanakan sehingga lebih banyak ditandai oleh
sebab-sebab alami,
15
seperti meninggalnya seorang pemimpin.
Selain itu, penggati pemimpin yang baru dapat dipastikan
mempunyai hubungan keluarga dengan pemimpin yang lama.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Steenbrink bahwa :
Dalam mayarakat tradisional, seorang dapat menjadi
kyai atau disebut kyai karena ia diterima masyarakat
sebagai kyai, …memang untuk menjadi kyai tidak ada
kriteria formal seperti persyaratan studi, ijazah dan
sebagainya. Akan tetapi ada beberapa syarat non
14
Wahid, Menggerakkan Tradisi.
15
Wahid.
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
186
formal untuk menentukan seseorang untuk menjadi
kyai besar atau kecil.
16
Tabel 1
Penelitian Terdahulu
Tah-
un
Peneliti
Tema/Judul
Penelitian
1994
Mastuhu
Gaya dan Suksesi
Kepemimpinan
Pesantren
1999
Sukamto
Kepemimpinan
Kyai di
Pesantren
2009
Atiqullah
Prilaku
Kepemimpinan
Kolektif di
Pesantren;
2010
Fathurrahman
Muhtar
(Disertasi)
Konflik dalam
Pengelolaan
Lembaga
Pendidikan Islam
di Pondok
Pesantren
2016
Bashori
Manajemen
Konflik di
Tengah
Dinamika
Pondok
Pesantren dan
Madrasah
16
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
187
2016
Ali Muchsin
Disertasi
Resolusi dan
Manajemen
Konflik di
Institusi
Pendidikan
Islam
2016
Bashori
Manajemen
Konflik di
Tengah
Dinamika
Pondok
Pesantren dan
Madrasah
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukamto yang
berjudul ‘Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren’ menyatakan
bahwa kepemimpinan pesantren tergolong kedalam Gaya
kepemimpinan otoriter/paternalistik di mana gaya kepemimpinan
ini seringkali memberi lingkup yang sangat sempit terhadap
kebebasan, kreatifitas dan inisiatif bawahan.
17
Pihak bawahan
selalu melakukan apa yang difatwakan oleh atasannya, pendapat
dan inisiatif bawahan hampir tidak ada, kalaupun ada hanya
merupakan usul yang menunggu kearifan Kyai. Dan sekiranya
bawahan mempunyai inisiatif dan potensi tinggi ia hanya cukup
untuk menjalankan fatwa Kyai. Dengan kata lain, apa yang
dikatakan bawahan tidak akan pernah melampaui kewenangan
Kyai.
Berkenaan dengan gaya kepemimpinan
otoriter/paternalitik, sistem organisasi yang dicantumkan dalam
bentuk formal tidak seluruhnya berpengaruh terhadap mekanisme
kerja sehari-hari. Pemetaan sistem administrasi didominasi oleh
fatwa Kyai dan sangat jarang bersumber dari tugas dan fungsi
17
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren.
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
188
jabatan yang ditetapkan dalam organisasi.
18
Sifat hubungan Kyai
dan kariawan bawah dalam gaya kepemimpinan jenis ini
menunjukkan tanda-tanda kekerabatan. Kyai dipandang sebagai
kepala keluarga yang setiap saat mempunyai hak mutlak dalam
menentukan gerak dan langkah organisasi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di berbagai pesantren,
Mastuhu berkesimpulan bahwa gaya kepemimpinan pesantren
terdiri dari beberapa corak, yaitu; kharismatik, otoriter-
paternalistik, dan laissez-faire.
19
Kepemimpinan kharismatik
bersandar pada kepercayaan atau pandangan santri dan
masyarakat umum bahwa kyai yang merupakan pemimpin
pesantren mempunyai kekuasaan yang berasal dari Tuhan,
berbeda dengan gaya kepemimpinan rasional yang bersandar
pada kepercayaan atau pandangan santri dan masyarakat umum
bahwa kyai mempunyai kekuasaan karena mempunyai ilmu
pengetahuan yang dalam dan luas.
Gaya kepemimpinan otoriter adalah gaya kepemimpinan
yang dilihat dari hubungan antara pimpinan dan bawahan yang
sangat berbeda, bahwa pengaruh kyai sangat kuat dan partisipasi
bawahannya hampir sama sekali tidak ada, dan kalaupun ada
sangat kecil serta tidak berarti dibanding dengan pengaruh
pimpinan (kyai). Sementara gaya kepemimpinan paternalistik
hubungan antara pimpinan (kyai) dan bawahan bersifat
kekeluargaan, kyai menganggap bahwa para santri adalah anak-
anaknya yang perlu diasuh sesuai dengan keinginan atau nilai-
nilai yang dipercayai dan dianutnya, dan santri menganggap
bahwa kyai adalah bapak yang harus dipatuhi.
20
Terkait dengan gaya kepemimpinan yang bersentral pada
otoritas kharismatik kyai dan hubungan yang bersifat otoriter-
18
Sukamto.
19
Mastuhu, “Gaya dan Suksesi kepemimpinan Pesantren.”
20
Mastuhu.
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
189
paternalitik, gaya kepemimpinan laissez-faire berlandaskan pada
pola dan hubungan kerja pesanren yang dilandaskan pada tiga
kata kunci, yaitu, ikhlas, barakah, dan ibadah. Pesantren yang
memiliki gaya kepemimpinan seperti ini memiliki tananan
organisasi yang kurang jelas dan pembagian kerja antar unit pun
tidak terpisahkan secara tajam, setiap pemimpn dalam satu unit
bebas berinisiatif dan bekerja untuk kemajuan pesantren selama
memperoleh restu dari kyai dan tidak bertentangan dengan aturan
pesantren.
21
Selain menjelaskan tentang gaya kepemimpinan pesantren,
Matsuhu juga menjelaskan pola pergantian kepemimpinan
pesantren, di mana pola tersebut dimulai dari kakek (pendiri
pertama pesantren), anak laki-laki, menantu, cucu, dan demikan
seterusnya. Sehingga seorang anak laki-laki yang lebih senior
dilihat dari kesalehannya atau kedalaman ilmu agamanya dan
dianggap cocok menjadi kyai oleh masyarakat yang berhak
menjadi ahli waris pertama. Dan jika anak laki-lakinya dianggap
tidak cocok atau tidak mempunyai anak laki-laki maka ahli waris
selanjutnya adalah menantu dan ahli waris ketiga adalah cucu.
22
Atiqullah dalam penelitiannya yang berjudul Varian
Kepemimpinan Kolektif Pondok Pesantren di JawaTimur
menegaskan bahwa lahirnya kepemimpinan kolektif di pondok
pesantren diasumsikan sebagai usaha bersama untuk mengisi
jabatan baru sebagai tuntutan sosial masyarakat.
23
Sementara
penelitian mengenai konflik kepemimpinan pesantren, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Fathurrahman Mukhtar dalam
disertasinya yang berjudul “Konflik dalam Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan
21
Mastuhu.
22
Mastuhu.
23
Atiqullah, “Varian Kepemimpinan Kolektif Pondok Pesantren di
Jawa Timur,” Karsa, No. 1, Vol. 20 (2012).
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
190
Lombok Timur Nusa Tenggara Barat”.
24
Pernelitian tersebut
berfokus pada sumber konflik, peta konflik dan penyelesaian
konflik yang terjadi di lembaga pendidikan Islam.
Sementara itu penelitian hasil penelitian Bashori mengenai
manajemen konflik di pesantren yang berjudulManajemen
Konflik di Tengah Dinamika Pesantren dan Madrasah
menemukan beberapa jenis konflik yang terjadi di pondok
pesantren, diantaranya; konflik yayasan dengan masyarakat,
yayasan dengan pengasuh pondok pesantren, dan konflik kyai
dengan masyarakat. Dari model konflik yang terjadi tersebut,
pendekatan resolusi konflik yang dilakukan utamanya
menggunakan model Obliging (menetapkan nilai bahwa
seseorang memiliki kemampuan lebih sehingga tidak
merendahkannya).
25
Lain halnya dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ali Muchsin dalam disertasinya, yang berjudul
Resolusi dan Manajemen Konflik di Institusi Pendidikan Islam;
Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Ichsan Brangkal Sooko
Mojokerto”, berkesimpulan bahwa : 1) Konflik laten antar
individu para elit berkembang menjadi konflik antar kelompok
santri dan memanifestasi dalam bentuk perang urat syaraf. 2)
Faktor penyebab konflik adalah dari faktor internal elit
pesantren dan faktor eksternal yaitu; faktor ekonomi, perebutan
kekuasaan, keluarga dan kewenangan politik, perbedaan
pendidikan dan pandangan manajemen. 3) Konflik berimplikasi
disfungsional terhadap pengelolaan pendidikan, yaitu dalam
konteks struktur organisasi, konteks kepemimpinan, konteks
fungsi-fungsi manajemen, konteks aspek manajemen. dan
hilangnya kepercayaan masyarakat. 4) Resolusi konflik
24
Fathurrahman Mukhtar, “Konflik dalam Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Lombok Timur Nusa
Tenggara Barat” (Disertasi, Doktoral, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010).
25
Bashori, “Manajemen Konflik di Tengah Dinamika Pondok
Pesantren dan Madrasah,” Muslim Heritage, No. 2, Vol. I (November 2016).
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
191
dilakukan hanya dipermukaan saja yaitu dengan cara tabayyun
dan musyawarah serta menghadirkan pihak ketiga yang
dianggap mempunyai kredibilitas.
26
Selain itu, Muhammad Isnaini dalam tulisannya yang
berjudul “Dinamika Kepemimpinan Kolektif Pesantren Sebagai
Pusat Pendidikan Islam di Sumatera Selatan”, mengungkapkan
bahwa sesungguhnya pesantren sangat membutuhkan lebih dari
satu pemimpin. Hal ini dikarenakan unsur yang dapat dijadikan
sebagai daya gerak kepemimpinan kolektif dalam pengelolaan
sebuah pesantren di masa depan meliputi relasi sosial, sikap
akomodatif, kepemimpinan spiritual kolektif, sense of belonging
dan sense of responsibility, rasionalitas dan objektifitas.
27
Dari penjelasan penelitian terdahulu diatas, posisi
penelitian ini adalah memaknai tradisi manajemen konflik di
Pondok Pesantren melalui penerapan kepemimpinan kolektif di
Pesantren. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema berikut
ini :
26
Ali Muchsin, “Resolusi dan Manajemen Konflik di Institusi
Pendidikan Islam, Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Ichsan Brangkal Sooko
Mojokerto” (Disertasi, Doktoral, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).
27
Muhammad Isnaini, “Dinamika Kepemimpinan Kolektif Pesantren
Sebagai Pusat Pendidikan Islam di Sumatera Selatan,” Jurnal Pembangunan
Manusia, 11, 4 (2010).
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
192
Sejarah Kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
Secara periodik, kepemimpinan pesantren Lirboyo Kediri
terbagi kedalam empat periode yang terangkum kedalam tabal di
bawah ini :
No.
Periode
Pimpinan
Masa
Kepemimpinan
Gaya
Kepemimpinan
1
Periode
Pertama
(Perintisan)
KH. Abdul
Karim
1910-1954
Kepemimpinan
Tunggal
2
Periode kedua
(Pengembang)
KH.
Mazuki
Dahlan
KH.
Mahrus Aly
1955-1985
Kepemimpinan
Dwi Tunggal
3
Periode
keempat
(Generasi ke 3)
BPK-P2L
Ketua : KH.
Idris
Marzuki
(Putra KH.
Marzuki
Dahlan)
1985-2014
Kepemimpinan
Kolektif
Kepemimpinan Pesantren
Gaya Kepemimpinan
Pesantren
Perilaku & Varian
Kepemimpinan
Kolektif
Resolusi/
Manajemen Konflik
Kharismatik,
Otoriter-
patternalistik,
Kepemimpinan Kolektif
sebagai manajemen Konlik
Fathurrahman
Mukhtar, 2010
Bashari, 2016
Ali Muchsin, 2016
Atiqullah, 2009, 2012
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
193
BPK-P2L
Ketua : KH.
Anwar
Mansur
2014-Sekarang
Kepemimpinan
Kolektif
Pesantren Lirboyo secara usia telah mencapai satu abad
lebih, berdirinya pondok pesantren ini pada 1910 oleh KH. Abdul
Karim (mbah Manab, panggilan akrabnya). Pesantren ini
memiliki unit-unit yang terhimpun dalam pondok ini, dan setiap
pondok unit juga memiliki leader sendiri-sendiri namun masing-
masing leader masih memiliki garis nasab (keturunan) dari
muasisnya (pendiri). Pada masa awal berdirinya, pesantren
Lirboyo Kediri hanya memiliki satu orang leader, yaitu KH.
Abdul Karim atau yang akrab dipanggil mbah Manab sebagai
pendirinya. Kepemimpinan Muasis pondok pesantren Lirboyo
berlangsung tahun 1910 hingga tahun 1954. Pada fase ini, segala
urusan yang berkaitan dengan pondok berada di tangan sang
pendiri.
Pada masa ini, waktu yang dimiliki oleh KH. Abdul karim
lebih banyak digunakan untuk mentransferkan ilmunya pada
santri, dan beliau merupakan pemegang otoritas tunggal
pesantren. Pada tahun 1931 pesantren Lirboyo Kediri mendirikan
madrasah diniyah atas inisiatif kiai Faqih (santri pindahan dari
pesantren Tebu Ireng. Dengan berdirinya madrasah ini, KH.
Abdul Karim merasakan banyak manfaat yang dimiliki, sehingga
beliau mewajibkan semua santri yang bias membaca dan menulis
untuk mengikuti madrasah diniyah yang menggunakan sistem
klasikal.
Pada tahun 1936 dan 1938 KH. Abdul Karim mengambil
menantu santri seniornya Mahrus Aly dan Marzuqi Dahlan,
keduanya adalah santri senior yang menonjol kemampuanya. Kiai
Marzuqi Dahlan merupakan cucu dari KH. Sholeh
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
194
Banjarmelati,
28
mulai usia remaja oleh kakeknya Gus Juki
(panggilan kecil KH. Marzuki Dahlan) dipondokkan di Pesantren
Lirboyo. Di pondok tersebut Gus Juki berguru kepada pamanya
KH. Abdul Karim selama beberapa tahun, kemudian melanjutkan
ke pesantren Tebuireng.
Sedangkan KH. Mahrus Aly putra dari KH Aly bin Abdul
Aziz dari pesantren Kempek Ciwaringin Cirebon. Dengan
dingkatnya kedua tokoh di atas yang juga santri senior sekaligus
menantu KH. Abdul Karim sehingga memberi peluang untuk
mengembangkan pesantren Lirboyo. Dari hubungan yang dekat
ini terjadi proses transfer wewenang, kepemimpinan telah
berlangsung pada petengahan periode ini dan puncaknya adalah
perintah KH. Abdul Karim kepada Kiai Mahrus Aly yang menjadi
cikal bakal pondok Unit HM dan Unit Al-Mahrusiyah.
Kepemimpinan masa ini memiliki legitimasi yang sangat kuat
pada periode awal berdirinya pesantren Lirboyo, dengan tidak
melupakan kader dari penerus lainya.
Pasca meninggalnya muasis tahun 1954 pimpinan
pesantren dilanjutkan dua menantu beliau Kiai Marzuqi Dahlan
dan Kiai Mahrus Aly, dari kedua menantunya ini terjadi
pembagian tugas antara keduanya, dalam beberapa urusan
termasuk internal pesantren Kiai Mahrus tetap melakukan
kordinasi dengan Kiai Marzuqi.
Kendati KH. Mahrus Aly memiliki hubungan luas di
pesantren, namun beliau selalu berkordinasi meminta
pertimbangan kepada KH. Marzuqi Dahlan dalam mengambil
tindakan apapun. Antara Kiai Mahrus dan Kiai Marzuqi memiliki
chimestri (harmonis) ikatan batin yang kuat. Hubungan yang kuat
tersebut nampak dengan jelas ketika salah satu dari kedua tokoh
28
Beliau merupakan mertua dari KH. Abdul Karim dan juga mertua
dari KH. Dahlan Jampes, ayah dari KH. Ihsan Jampes (ulama yang mengarang
banyak mengarang Kitab dan salah satunya adalah kitab dengan judul Sirajut
Thalibin)
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
195
tersebut sakit, maka sekali tempo mereka saling datang kerumah.
Memang secara tertulis tidak ada pembagian tugas dalam
kepemimpinan ke dua ini, namun terdapat pembagian peran
namun tidak secara tertulis antara Kiai Mahrus Aly dan Kiai
Marzuqi Dahlan. Kiai Mahrus Aly cenderung lebih banyak
memegang peran urusan eksternal pesantren, karena ketokohan
dan kepiawaian beliau dalam berorganisasi dikenal sebagai kiai
yang disegani se-wilayah Kediri dan pada level Nasional. Tahun
1958 beliau menjadi Rois Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdhatul
Ulama Jawa Timur selama 27 tahun sampai wafat tahun 1985.
Karena kesibukan aktifitas di luar Kiai Mahrus memiliki
kedisiplinan dalam merencanakan dan menjadwal waktu
kegiatan, di satu isi pesantren telah ada Kiai Marzuqi dan peran-
peran santri senoir yang lain yang berusaha menjalankan
pendidikan yang ada di pondok pesantren.
Dalam hal tersebut pendelegasian wewenang merupakan
fungsi dan bagian dari pelaksanaan manajemen yang ada dalam
pesantren Lirboyo. Dalam kekosongan tugas mengajar Kiai
Mahrus Aly menjadikan santri senoir menjadi berperan, nampak
dalam pelaksanaan pengelolaan madrasah sehingga periode ini
santri senior banyak berperan terhadap pengelolaan madrasah.
Kepemimpian tahap ini mulai demokratis terlihat dari
keterlibatan santri senior.
Ketika Kiai Mahrus Aly menjadi pimpinan beliau sering
bergerak di luar dalam organisasi, karena keahlian dalam
diplomasi dan retoriknya sehinggga dikagumi se-Kediri,
sedangkan KH. Marzuki seorang alim sederhana termasuk
seorang kiai yang bertasawuf yang lebih gayeng dengan rutinitas
membaca dan mathala’ah kitab serta amalan dalail yang khatam
3 hari sekali. Kiai Marzuki lebih suka mengajar santri di pondok.
Namun keduanya tetap saling menghormati dan kordinasi dalam
perkembangan pondok. Termasuk dalam memegang sistem salaf
di pesantren Lirboyo.
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
196
Sifap kontrofersi antara kiai Marzuqi dan kiai Mahrus ini
justru menjadikan pesantren Lirboyo menjadi menonjol dan
tertata dengan baik, satu sisi kiai Mahrus dalam urusan eksternal
di sisi yang lain Kiai Marzuqi. Dahlan urusan internal dengan
ketasawufan ketegasan beliau. Karena pengaruh dari keluasan
kiprah kiai Mahrus di luar dunia organisasi sehingga secara tidak
langsung mempengaruhi gaya pemikiran dan gaya kepemimpinan
beliau yang dulu otoriter menjadi demokratik, termasuk
mendirikan Universitas Tribakti yang sekarang menjadi IAI
Tribakti, dan membentuk badan pembina dengan istilah BPK-
P2L pada tahun 1966 menjadi nilai lebih bagi Lirboyo yang
menaungi unit-unit di bawahnya.
Meskipun demikian berdirinya Universitas Tribakti
kurang mendapat persetujuan dari kiai Marzuqi Dahlan. Dari
generasi ke generasi ternyata pondok Induk Lirboyo membentuk
BPK-P2L yang beranggotakan keterwakilan dari Dzuriyah
Lirboyo yang didirikan oleh Kiai Mahrus sekaligus santri senior
termasuk didalamnya, sebagai corong aspirasi bagi keluarga
termasuk badan ini yang menentukan“ Abang Ijone Pondok
pesantren Lirboyo” mulai kapan tepatnya beliau lupa. Dalam
badan ini sangat teratur terdapat moderator yang memimpin
dalam musyawarah dan termasuk aturan-aturan musyawarah,
mulai ada pendelegasian wewenang dan keikutsertaan santri
senior yang menjadi pengurus.
Kepemimpinan Kolektif Sebagai Pengendalian Konflik
1. Musyawarah
Semangat kolektifitas yang dibangun oleh bani KH. Abdul
Karim itulah yang menjiwai pesantren Lirboyo pada saat ini terus
eksisis, pengaruh otoriter semkin menipis berubah menjadi
kepemimpinan bersama yang demokratis dengan adanya BPK-
P2L karena dalam badan ini terdapat pendelegasian wewenang.
Peran BPK P2L sebagai wadah dan media komunikasi para
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
197
masyayikh pesantren Lirboyo dalam memecahkan problematika
yang terjadi di unit-unit maupun di Induk, mulai persolan yang
kecil hingga persolan yang besar.
Seorang pimpinan pesantren unit di Lirboyo tidak dapat
memaksakan pendapatnya secara sepihak tetapi dalam beberapa
hal pondok unit dapat mentukan kebijakan tetapi tetap dalam
kordinasi dan musyawarah badan BPK-P2L. Perbedaan pendapat
dalam sebuah pesantren sangat wajar dan sering terjadi
permasalahan dan perbedaan pendapat drastisnya hingga terjadi
perpecahan di dalamnya, seperti halnya badan BPK-P2L ini
sebagai pemecah dan pemersatu mufatkat dalam pesantren
Lirboyo ketika permasalahan tidak tuntas di tingkat himpunan
pesantren (HP) akan dibawa dalam BPK-P2L.
Sebagaimana dituturkan oleh KH. Kafabihi Mahrus bahwa
BPK-P2L didirikan oleh orang tua beliau dengan cara memanggil
seluruh kerabat dan saudara untuk bermusyawarah membentuk
BPK-P2L yang seluruh anggotanya terdiri merupakan Kyai dan
Bani KH. Abdul Karim. Lanjut beliau KH. Abdulloh Kafabihi
Mahrus bahwa badan ini berfungsi sebagai koordinasi dalam
rangka memecahkan problematika dan kemajuan pesantren.
Kepemimpinan Kolektif di Pondok pesantren Lirboyo
Kediri yang tercermin dalam organisasi yang dinamakan BPK-
P2L (Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo
Kediri) yang terbentuk pada tanggal 3 Sya’ban 1386/ 15 November
1966 atas inisiasi KH. Mahrus Aly dengan harapan agar seluruh keluarga besar
pondok pesantren Lirboyo Kediri dapat terjaga keutuhannya dan dapat bekerja
sama dengan baik. Badan ini merupakan pemegang otoritas tertinggi di
lingkungan pondok pesantren Lirboyo Kediri dalam menentukan setiap
kebijakan serta memiliki fungsi sebagai kontrol atas semua organisasi yang
berada di bawah naungan pesantren Lirboyo Kediri. Setiap kebijakan yang
akan direalisasikan baik oleh pengurus pondok maupun pengurus Madrasah
Hidayatul Mubtadi’ien harus mendapatkan restu terlebih dahulu dari BPK-
P2L. Struktur personalia BPK-P2L terbentuk sangat sederhana, yaitu hanya
terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris dan wakil sekretaris, dan anggota.
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
198
Sementara jumlah total pengurus hanya terdiri dari 7-8 orang yang semuanya
memiliki jalur nasab dengan pendiri pesantren Lirboyo Kediri yaitu KH. Abdul
Karim. Sepeninggal KH. Idris Marzuki sebagai ini yang mejabat sebagai ketua
BPK-P2L adalah KH. Anwar Mansur selaku pengasuh PP Lirboyo Unit
Hidayatul Mubtadi’at. Terpilihnya KH. Anwar Mansur sebagai sebagai Ketua
BPK-P2L terjadi beberapa bulan sepeninggal KH. Idris Marzuki yang terjadi
dalam sebuah musyawarah pengurus BPK-P2L dimana dalam musyawarah
tersebut tidak dihadiri oleh KH. Anwar Mansur. Gaya kepemimpinan
pada periode ke tiga ketika setelah meninggalnya KH. Marzuqi
Dahlan tahun 1975 dan wafatnya KH. Mahrus Aly pada tahun
1985 semakin meneguhkan fungsi kepemimpinan badan
pembina (BPK-P2L). Walaupun badan ini didirikan sejak tahun
1966 mulai dirasakan keberadaannya periode ini. Wafatnya kiai
Mahrus Aly menandai berakhirnya kepemimpinan generasi ke
dua dari pesantren Lirboyo.
Adanya term pesantren kulon (barat) dan pesantren etan
(timur) yang menjadi potensi adanya konflik dalam pengelolaan
pesantren ini dapat terwadahi dalam BPK-P2L. Perebutan
kepemimpinan dalam sebuah pondok pesantren sangat lazim
apalagi sudah bergulir dari sang pendiri pesantren, karena
kebijaksanaan kearifan masyayikh dalam menyikapi hal ini.
Ketawadhu’an menjadi tolak ukur dalam pemilihan pimpinan
sehinggga perpecahan tidak terjadi di Lirboyo.
2. Pembagian Peran dan Wewenang
Pembagian peran dan wewenang dalam kepemimpinan
kolektif menjadi hal yang urgen untuk diaplikasikan, karena jika
tidak, maka akan terjadi benturan antar masing-masing pemegang
wewenang. Pembagian peran yang dilaksanakan BPK-P2L
pesantren Lirboyo Kediri, terlihat bahkan sebelum dibentuknya
badan tersebut, yaitu pada masa kepemimpinan KH. Marzuki
Dahlan dan KH. Mahrus Ali. Sebagaimana dijelaskan pada
paparan sebelumnya, bahwa KH. Marzuki Dahlan memiliki peran
internal (persoalan proses pembelajaran di pesantren) dan KH.
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
199
Mahrus Ali berperan eksternal (urusan hubungan dengan dunia di
luar pesantren).
Menurut KH. Abdulloh kafabihi Mahrus (Putra KH.
Mahrus Ally), duet kepemimpinan antara KH. Marzuki Dahlan
dan KH. Mahrus Ally merupakan duet kepemimpinan pesantren
yang sangat ideal. Dimana KH. Marzuki Dahlan sebagai Kyai
yang kental dengan karakter sufistik dan KH. Mahrus Ally yang
memiliki hubungan yang luas dengan dunia di luar pesantren.
Sehingga, dengan meninggalnya kedua tokoh ini membawa
dampak yang sangat luar biasa terhadap keberlangsungan
pesantren tersebut, terutama sosok pengganti dari duet
kepemimpinan ideal tersebut.
Setelah BPK-P2L terbentuk, setiap anggota BPK-P2L
memiliki peran dan fungsi sesuai dengan posisi yang
didudukinya. Posisi ketua misalnya, memiliki peran sentral dalam
roda keorganisasian, dan ketua BPK-P2L merupakan sosok yang
sangat dihormati oleh anggota yang lainnya. Oleh karena itu,
dalam penentuan siapa yang menjabat sebagai ketua, biasanya
ditentukan oleh seberapa tua usia dan seberapa luas peran yang
dilaksanakan selama ini. Sejalan dengan ini, menurut Syarqowi
Dhofir, bahwa kekuasaan kyai tidak terletak pada satu figure saja,
melainkan tercermin dalam kepemimpinan kolektif yang
terwujud dalam dewan pimpinan.
29
Selain itu, Pondok pesantren Lirboyo terdapat pengurus
pesantren dan pengurus madrasah yang memiliki peran berbeda
antara keduanya. Termasuk Organda, Organisasi Blok,
Organisasi kamar semuanya sangat berperan dalam Lirboyo.
Melihat paparan di atas kepemimpianan otoriter mulai berangsur
berubah menjadi demokratis terbukti dengan keterlibatan santri
senior dalam urusan pondok dan secara tugas dan wewenang
mulai didelegasikan pada devisi-devisi.
29
Syarqowi Dhofir, Kekuasaan dan Otoritas Kyai dalam Pondok
Pesantren (Surabaya: UNESA, 2014).
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
200
3. Tradisi Pernikahan antar Kerab
Pernikahan merupakan salah satu anjuran dalam ajaran
Islam sebagai media untuk menjaga keturunan dan menjalin
persaudaraan. Secara sosilogis, ikatan pernikahan akan
membentuk kehidupan sosial baru, yaitu relasi antara dua
individu dan hubungan dua keluarga. Hubungan antar keluarga
tersebut akan menghasilkan ikatan solidaritas yang kuat. Bahkan
masyarakat jawa meyakini bahwa pernikahan bukan hanya
mengikat dua individu antara laki-laki dan perempuan sebagai
syarat untuk dihalalkannya hubungan biologis antara keduanya,
namun sejatinya menyatukan dua keluarga antar pihak laki-laki
dan perempuan. Sehingga terjalin hubungan dan timbulnya
solidaritas yang kemudian disebut tali shilaturrahim atau relasi
kekerabatan.
Sebagaimana hasil penelitian Zamakhsari Dhofir yang
mengungkap bahwa jaringan kekerabatan antar ulama dan kiai
NU di Jawa telah ada jauh sebelum NU lahir. Relasi kekerabatan,
selain memiliki fungsi biologis, juga memiliki fungsi sosiologis.
Menurut Moeflich Hasbullah jaringan kekerabatan antar ulama
dan kiai di Jawa setidaknya memainkan empat peran dan fungsi
sosial yang signifikan, yaitu, 1). Konsolidasi keberlangsungan
hidup pesantren, 2). Perluasan keluarga dan dinasti kiai, 3).
Pengembangan institusi pendidikan Islam, dan 4). Aktifitas
Islam.
30
Dari konteks tersebut, pesantren Lirboyo Kediri memiliki
tradisi yang unik dalam melaksanakan tradisi kekerabatannya,
yaitu dengan adanya tradisi pernikahan antar kerabat. Tradisi ini
dimulai sejak tahun 1936, yaitu pada saat KH. Marzuki Dahlan
diambil menantu oleh KH. Abdul Karim. Sebagaimana diketahui
sebelumnya bahwa KH. Marzuki Dahlan merupakan cucu dari
KH. Sholeh yang juga mertua KH. Abdul karim. Kemudian
diikuti penikahan antara KH. M. Anwar Mashur
31
dengan Umi
30
Moeflich Hasbullah, Islam & Transformasi Masyarakat Nusantara,
2 ed. (Depok: Kencana, 2017).
31
Merupakan putra dari pasangan KH. Manshur dan Nyai Salamah, di
mana Nyai Salamah merupakan putri ke-3 dari KH. Abdul Karim sang muasis
pesantren Lirboyo Kediri
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
201
Kulsum putri KH. Mahrus Alli. Dan terakhir pada tahun 2017,
pernikahan sekerabat juga kembali dilaksanakan, yaitu antara H.
Ahmad Kafa putra dari KH. Abdulloh Kafabihi Mahrus dengan
Sheilla Hasinah Zamzami putri dari KH. Hasan Zamzami
Mahrus, dimana KH. Hasan Zamzami Mahrus merupakan adik
kandung dari KH. Abdulloh Kafabihi Mahrus.
Sebenarnya masih banyak pernikahan antar kerabat yang
dilaksanakan oleh dzuriyah pesantren Lirboyo Kediri, dan
penulis meringkasnya dalam bagan di bawah ini:
KH. Marzuki Dahlan
(Cucu KH.
Sholeh/Keponakan KH.
Abdul Karim)
Menikah
dengan
Nyai Maryam
(Putri KH. Abdul
Karim/Cucu KH. Sholeh)
KH. M. Anwar Manshur
(Putra KH. Mansur/Cucu
KH. Abdul Karim)
Menikah
dengan
Nyai Umi Kulsum
(Putri KH. Mahrus Ali /Cucu
KH. Abdul Karim)
KH. Abdul Aziz Mansur
(Putra KH. Mansur/Cucu
KH. Abdul Karim)
Menikah
dengan
Nyai Muslihah
(Putri KH. Marzuki Dahlan
/Cucu KH. Abdul Karim)
Muhammad Kafa
(Putra KH. Abdulloh
Kafabihi Mahrus/Cucu KH.
Mahrus Ali)
Menikah
dengan
Ny. Thu’thi Amanah Nafisah
(Putri KH. Idris
Marzuki/Cucu KH. Marzuki
Dahlan)
Shobich Al Muayyad
(Putra KH. Abdul Aziz
Mansur/Cicit KH. Abdul
Karim)
Menikah
dengan
Arwa Fathimatuz Zahro’
(Putra KH. Abdulloh
Kafabihi Mahrus/Cucu KH.
Mahrus Ali/Cicit KH. Abdul
Karim)
M. Hasyim
(Putra KH. Idris
Marzuki/Cucu KH. Marzuki
Dahlan/Cicit KH. Abdul
Karim)
Menikah
dengan
Jihan Zainab Zamzami
(Putri KH. Hasan Zamzami
Mahrus/Cucu KH. Mahrus
Ali/ Cicit KH. Abdul Karim)
Ahmad Kafa
(Putra KH. Abdulloh
Kafabihi Mahrus/Cucu KH.
Mahrus Ali/Cicit KH.
Abdul Karim)
Menikah
dengan
Nur Sheila Hasina
(Putri KH. Hasan Zamzami
Mahrus/Cucu KH. Mahrus
Ali/ Cicit KH. Abdul Karim)
Persoalan mengenai siapa saja yang dapat dinikahi oleh
seorang individu dalam Islam telah diatur dengan jelas dalam Al
Quran surah An Nisaa ayat 23. Dalam ayat tersebut hanya
menyebutkan siapa saja perempuan yang haram untuk dinikahi,
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
202
dan selainnya diperbolehkan. Sehingga pada konteks ini.
Berdasarkan pernyataan KH. M. Anwar Manshur selaku ketua
BPK-P2L dalam sambutannya dalam acara akad nikah antara
Muhammad Kafa dengan bahwa salah satu alasan mengapa
keluarga Pesantren Lirboyo Kediri menikah dengan kerabat ialah
bahwa Islam mengajarkan untuk menikahi orang yang memiliki
bobot, bibit, dan bebet yang jelas dan baik, sehingga keturunan
yang dihasilkan juga akan baik. Hal ini menegaskan penelitian
yang dilakukan oleh Siti Zya Ama yang berjudul Pernikahan
Kekerabatn Bani Kamsidin, Studi Kasus Pernikahan Endogami
di Jawa Timur Tahun 1974-2015 M” yang menyatakan bahwa
pernikahan endogami didasari atas keyakinan agama, menjaga
keturunan, dan menjaga keutuhan keluarga.
32
Secara sosiologis, pernikahan dengan kerabat dekat
selain memiliki fungsi mempererat hubungan kerabat juga
memiliki fungsi yang sama dengan fungsi pernikahan endogami,
yaitu menjaga kelestarian keluarga dan keturunan/nasab,
memperkuat hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan
yang kuat akan memunculkan rasa solidaritas yang tinggi,
sehingga diharapkan dengan adanya rasa solidaritas yang tinggi
antar kerabat dapat meminimalisir konflik yang muncul.
Seandainya pun ada konflik yang muncul, maka penyelesaiannya
cukup menggunakan pendekatan kekerabatan.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat penulis tarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, bahwa pembentukan BPK-P2L pesantren
Lirboyo Kediri dadasari atas motif untuk menjaga keutuhan
ikatan kekerabatan dzuriah pesantren Lirboyo dan juga sebagai
wadah otoritas tertinggi dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan yang timbul karena perbedaan dan konflik.
Kedua, potensi konflik yang ada di pesantren Lirboyo
32
Siti Zya Ama, “Pernikahan Kekerabatan bani Kamsidin; Studi Kasus
Pernikahan Endogami di Jawa Timur Tahun 1974-2015 M,” Jurnal Sejarah
Peradaban Islam, No. 2, Vol. 1 (2017).
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
203
Kediri dapat dipetakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu; 1). BPK-
P2L Pesantren Lirboyo Kediri merupakan otoritas tertinggi,
sementara Pesantren Lirboyo Kediri memiliki unit-unit pesantren
yang berdiri sendiri dan memiliki pengasuh serta organisasi
tersendiri, 2). Term pondok kulon dan pondok wetan, 3).
Pembagian peran, jika dalam pembagian peran tidak bias
mengakomodir seluruh pihak yang berkepentingan, maka hal ini
akan menjadi potensi konflik tersendiri.
Ketiga, bahwa kepemimpinan kolektif yang
diimplementasikan oleh BPK-P2L pesantren Lirboyo Kediri
dalam rangka pengendalian konflik yang muncul adalah dengan
pendekatan musayawarah, pembagian peran dan wewenang, serta
menerapkan tradisi pernikahan antar kerabat. Pernikahan antar
kerabat yang diterapkan oleh pesantren Lirboyo Kediri meskipun
secara implisit tersurat di dalam sistem kepemimpinan kolektif
BPK-P2L, namun tradisi ini menjadi alat yang sangat efektif
untuk menjaga keutuhan keluarga dalam rangka mengendalikan
konflik yang muncul karena adanya pihak luar yang masuk
menjadi bagian dari keluarga.
Manajemen Konflik … Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juli 2018
204
DAFTAR PUSTAKA
Ama, Siti Zya. “Pernikahan Kekerabatan bani Kamsidin; Studi
Kasus Pernikahan Endogami di Jawa Timur Tahun 1974-
2015 M.” Jurnal Sejarah Peradaban Islam, No. 2, Vol. 1
(2017).
Asrohah, Hanun. Pelembagaan Pesantren; Asal-usul dan
Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Depag RI,
2004.
Atiqullah. “Varian Kepemimpinan Kolektif Pondok Pesantren di
Jawa Timur.” Karsa, No. 1, Vol. 20 (2012).
Bashori. “Manajemen Konflik di Tengah Dinamika Pondok
Pesantren dan Madrasah.” Muslim Heritage, No. 2, Vol. I
(November 2016).
Dhofir, Syarqowi. Kekuasaan dan Otoritas Kyai dalam Pondok
Pesantren. Surabaya: UNESA, 2014.
Hasbullah, Moeflich. Islam & Transformasi Masyarakat
Nusantara. 2 ed. Depok: Kencana, 2017.
Isnaini, Muhammad. “Dinamika Kepemimpinan Kolektif
Pesantren Sebagai Pusat Pendidikan Islam di Sumatera
Selatan.” Jurnal Pembangunan Manusia, 11, 4 (2010).
Mastuhu. “Gaya dan Suksesi kepemimpinan Pesantren.” Jurnal
Ulumul Qur’an Vol. III (1994).
Muchsin, Ali. “Resolusi dan Manajemen Konflik di Institusi
Pendidikan Islam, Studi Kasus di Pondok Pesantren Al
Ichsan Brangkal Sooko Mojokerto.” Disertasi, Doktoral,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Mukhtar, Fathurrahman. “Konflik dalam Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan
Manajemen Konflik… Oleh: Zaenal Arifin
Volume 29 Nomor 1 Januari-Juni 2018
205
Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.” Disertasi, Doktoral,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Sukamto. Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren. Jakarta: LP3ES,
1999.
Susan, Novri. “Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer. (Jakarta: Kencana. 2010),” t.t.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: L-
Kis, 2001.
... This is achieved through the establishment of an independent and self-owned Islamic boarding school unit. The school implements a deliberation approach, division of roles and authorities, and also encourages the practise of marriage between family relatives (Arifin, 2018). The characteristics of organisational climate that influenced organisational creativity were leadership, interaction, and sincerity (Canli & Özdemiṙ, 2022). ...
Article
Full-text available
This study intends to learn the leadership and management techniques used by Edward Sallis, the TQM champion at Darunnajah Boarding School, to gauge learners' level of contentment and then contribution of thinking to the following researchers. Case studies and other qualitative methods were used in this investigation. Darunnajah Islamic Boarding School in South Jakarta employs a purely qualitative phenomenalogy design in their daily operations. Use data was collected by observation methods, in-depth interviews, and documentation in this study. Triangulating the data, or comparing the written data with the findings of interviews and existing observations, is one method for validating data. Data collection that has been done and data analysis process, this research found that the role of external consultants in schools at the duties of the South Jakarta Darunnajah Islamic Boarding School is to give assignments to educators and education staff during a certain temp, monitor and evaluate the performance of teachers who do not achieve learning objectives, provide additional hours, and impose sanctions for those who violate based on the management of Darunnajah. In improving the scientific competence of teachers, Islamic boarding schools provide opportunities for teachers to continue their studies from the Bachelor level to a higher level, such as Masters Two and Three. The results of this research have not been optimally carried out due to time constraints and so many problems that have been obtained. Because researchers hope that other researchers will continue so that the results are more comprehensive as what the researchers wrote about the benefits of research. Collective leadership produces excellent graduates, professional teachers, infrastructure, laboratories, canteens, student skills.
... Selain itu kepemimpinan dalam pesantren memiliki ciri khas yang unik. Berdasarkan penelitian (Arifin, 2018) konflik dalam pesantren bisa diatasi melalui gaya kepemimpinan kyai yang memiliki corak kharismatik, otoriter-paternalistik, laissezfaire. Aspek-aspek tersebut merupakan aspek yang dimiliki dalam gaya kepemimpinan transformasional. ...
Article
Full-text available
Islamic boarding school administrators are the determinants of the running of activities at the Islamic boarding school. The service carried out by administrators is generally without material rewards so that their attachment to the management organization is largely determined by the caregivers as the center of Islamic boarding school leadership. Confidence in the management's own abilities is also a supporting factor in carrying out service duties. The method used in this research is a quantitative method, using a transformational leadership style scale, employee engagement scale and self-efficacy scale. The aim of this research is to prove the influence of the transformational leadership style of caregivers as the main leaders on employee engagement of Islamic boarding school administrators, as well as support from the self-efficacy of administrators as a form of readiness in carrying out service duties. The results of this research show that the transformational leadership style significantly influences the employee engagement of Islamic boarding school administrators, F(1,39) = 58.243, P < 0.01 with R2 = 0.599, and this result is stronger when mediated by their self-efficacy. administrator with results F(2,38) = 40.268, P < 0.01 with R2 = 0.679. This means that the transformational leadership style possessed by kyai influences the engagement of Islamic boarding school administrators, this is also supported by the existence of self-efficacy as the administrator's belief in their own ability to carry out their service duties.
... Banyak penelitian terdahulu yang menggambarkan bagaimana kepemimpinan dalam lembaga pendidikan islam di pesantren (Arifin, 2018;Aziz & Taja, 2016;Falah, 2019;Rahmat & Karomah, 2019). Sebagai contoh sebuah penelitian tentang gaya kepemimpinan seorang kiyai dalam mengelola sebuah Pondok Pesantren Darul Ihsan di kabupaten garut. ...
Article
Full-text available
In the view of Islam, the Dhuafa (orphans, destitute, neglected children) occupy the privileges of Allah SWT and His Apostles as in Surah Al-Maun Verses 1-3, for this, it is needed help from individuals and institutions to be able to maintain survival, and not displaced to become irresponsible people. This study illustrates how the Chairman of the Shine Al-Falah Foundation's leadership in fostering the Minangkabau village boarding school for the poor and the Shine Al-Falah Foundation's synergy with the government, donors, and the community. This research uses a qualitative method with a descriptive type. Primary data sources are the chairman, the supervisor of the Shine Al-Falah foundation, while the secondary data are the leader of the Islamic Boarding School, the laziswaf management, the orphanage management, the male / female boarding supervisor and the students. Data collection uses observation, interviews, and documentation. The results showed the leadership of the chairman of the Foundation Shine Al-Falah succeeded in fostering the Minangkabau village boarding school to be able to continue to exist in continuing education development by building participatory leadership to all stakeholders and trying to build synergy with relevant government agencies, the community and donors to run the program planned to meet the educational needs, infrastructure, basic food needs and so on that are suitable for children of poor people in Padang city, especially for children in the Minangkabau Village Islamic Boarding School.
Article
Dunia yang terus maju dunia pergaulan yang terus membabi buta, remaja penerus bangsa yang akan membawa negara berkembang harus menguatkan iman dan taqwanya, namun hal ini yang sekarang hanya di pandang oleh sekolah formal biasa oleh karena itu pentingnya membawa budaya pesantren dalam penerapan akhlak di dunia formal tenaga integrasi antara pondok dan pesantren sangatlah upaya meningkatkan budaya pesantren yang akan di hidupkan di kegiatan formal.
Article
Full-text available
Dalam kasus konflik, pemimpin lembaga pendidikan Islam termasuk pondok pesantren seyogyanya adalah seorang yang terampil dalam dinamika konflik antarperorangan. Pemimpin yang bersangkutan harus mampu mengenali situasi yang berpotensi melahirkan konflik. Dengan demikian, seorang pemimpin harus mampu mendiagnosis situasi yang ada dan melaksanakan tindakan-tindakan melalui komunikasi, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai sebaik mungkin. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan yang bertujuan menambah khazanah pengetahuan mengenai upaya yang dapat diterapkan pemimpin pesantren dalam meresolusi konflik di pesantren. Berdasarkan temuan dalam berbagai literasi, kultur pesantren serta gaya kepemimpinan kyai dapat menjadi sarana dalam meresolusi konflik di pesantren. Nilai kultur pesantren dalam meresolusi konflik antara lain: perkawinan antar pesantren, kekerabatan, istighosah, haul, mujahadah, dan akhirus sanah. Adapun gaya kepemimpinan yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik di pesantren antara lain: kepemimpinan kharismatik, otoriter-paternalistik, dan laissez-faire. Pondok pesantren merupakan satu lembaga pendidikan yang kokoh dalam mengabdikan dirinya untuk memberikan pendidikan bagi bangsa ini, terutama Pendidikan Islam. Meskipun demikian, keragaman latar belakang, karakter, dan kepentingan warga pesantren menjadikan pesantren rentan mengalami konflik. Konflik di pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu konflik internal dan konflik eksternal. Agar tidak menimbulkan dampak negatif berkepanjangan, konflik di pondok pesantren perlu dikelola dengan baik. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan yang bertujuan menambah khazanah pengetahuan mengenai upaya yang dapat diterapkan pemimpin pesantren dalam meresolusi konflik di pesantren. Berdasarkan temuan dalam berbagai literasi, kultur pesantren serta gaya kepemimpinan kyai dapat menjadi sarana resolusi konflik di pesantren. Nilai kultur pesantren dalam meresolusi konflik antara lain: perkawinan antar pesantren, kekerabatan, istighosah, haul, mujahadah, dan akhirus sanah. Adapun gaya kepemimpinan yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik di pesantren antara lain: kepemimpinan kharismatik, otoriter-paternalistik, dan laissez-faire.
Article
Full-text available
span lang="EN-US">This article aims reveal the conflicting motives for understanding the coran and Hadith in Sundoluhur Pati Village, Indonesia. This article uses a phenomenological approach for looking through interviews with five charismatic peoples. This paper uses theory of motives and Bourdieu's theory of habitus, capital and arena. Motive theory is used to reveal the nature and characteristics of the problems, and Bouerdie's theory analyzes the developing problems in order to detect the modals used in arguing. The finding of the article is that the conflict began when the study of the Coran and Hadith with the books of al-Muwafaqat and al-I'tisham by Imam as-Syâthibi could be categorized as a theogenetic motif. The power desired by some figures and the community is a sociogenetic motive because of the community's push for religious leaders to return to old traditions.</span
Article
Full-text available
Muslim society’s acceptance of a hadith is manifested in many behaviors, one of which is the use of the hadith sentences as a prayer and dhikr that manifests in a ḥizb. The hadith used as part of the ḥizb is a hadith containing prayers taught by Allah to the Prophet during the battle of Uhud. This hadith is known as the Jawshân Hadith, so the ḥizb born from the act of interpreting the hadith is called the ḥizb Ḥirz al-Jawshân. This study aims to find motives that encourage the community, especially students at Pesantren Hidayatul Mubtadi-aat, in the reception of the hadith in the form of ḥizb reading. To achieve this purpose, this study uses a field study method using Marx Weber’s charismatic authority approach. This research found that the reading, which was done by santri Hidayatul Mubtadi-aat, was a form of performative effort on Jawshân hadith. This is based on a shift in the understanding of the hadith from the informative function to the performative function in the time of al-Ḥusayn. The reading, which was done by santri Hidayatul Mubtadi-aat, was not caused by their understanding of the hadith content, but rather due to the encouragement from outside of themselves to accept the hadith. The encouragement comes from Kiai, who has a charismatic factor so that santri submit and obey without knowing the reasons for the order.
Article
Full-text available
Seen in the context of education management, the forms of conflict among pesantren elites caused by various factors, basically have dysfunctional implications on the management of education in pesantren. Conflicts have dysfunctional implications for the management of education, ie within the context of organizational structure, leadership context, the context of management functions, the context of management aspects and the loss of public trust. These five contexts affect each other and relate between one context and another. This study aims to obtain an in-depth picture of conflict resolution and management in pesantren with a qualitative approach. Pesantren has a deep-rooted tradition, namely the power (power) figures kiai in management. With the barakah system, the power (power) and authority of the kiai influence predominantly on institutional patterns, instruction and control of academic post in pesantren.
Pelembagaan Pesantren; Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa
  • Hanun Asrohah
Asrohah, Hanun. Pelembagaan Pesantren; Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Depag RI, 2004.
  • Asal-Usul Dan Perkembangan Pesantren Di Jawa
Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Depag RI, 2004.
Varian Kepemimpinan Kolektif Pondok Pesantren di Jawa Timur
  • Atiqullah
Atiqullah. "Varian Kepemimpinan Kolektif Pondok Pesantren di Jawa Timur." Karsa, No. 1, Vol. 20 (2012).
Manajemen Konflik di Tengah Dinamika Pondok Pesantren dan Madrasah
  • Bashori
Bashori. "Manajemen Konflik di Tengah Dinamika Pondok Pesantren dan Madrasah." Muslim Heritage, No. 2, Vol. I (November 2016).
Kekuasaan dan Otoritas Kyai dalam Pondok Pesantren. Surabaya: UNESA
  • Syarqowi Dhofir
Dhofir, Syarqowi. Kekuasaan dan Otoritas Kyai dalam Pondok Pesantren. Surabaya: UNESA, 2014.
Dinamika Kepemimpinan Kolektif Pesantren Sebagai Pusat Pendidikan Islam di Sumatera Selatan
  • Muhammad Isnaini
Isnaini, Muhammad. "Dinamika Kepemimpinan Kolektif Pesantren Sebagai Pusat Pendidikan Islam di Sumatera Selatan." Jurnal Pembangunan Manusia, 11, 4 (2010).
Gaya dan Suksesi kepemimpinan Pesantren
  • Mastuhu
Mastuhu. "Gaya dan Suksesi kepemimpinan Pesantren." Jurnal Ulumul Qur'an Vol. III (1994).
Konflik dalam Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Lombok Timur Nusa Tenggara Barat
  • Fathurrahman Mukhtar
Mukhtar, Fathurrahman. "Konflik dalam Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Lombok Timur Nusa Tenggara Barat." Disertasi, Doktoral, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19
  • Karel A Steenbrink
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.