Conference PaperPDF Available

Air Tersedia Profil Tanah untuk Tanaman Padi pada Ustik Endoaquert

Authors:
66
67
68
69
70
71
1
Air Tersedia Profil Tanah untuk Tanaman Padi pada Ustik Endoaquert
Paguyaman-Gorontalo
Water availability of soil profiles for paddy in Ustic Endoaquert Paguyaman of Gorontalo
Nurdin
2
Staf Pengajar Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo
Jl. Jend Sudirman No. 6 Kota Gorontalo
Koresponden: nurdin@ung.ac.id
ABSTRACT
Rice crops require sufficient amount of water for their development, but water is often a limiting
factor if it is grown on dry Vertisol soils. The study aimed to determine the monthly water
availability and water available of soil profiles for paddy on Endoaquert Ustic of Paguyaman. The
research was conducted on 2 pedon of Vertisol soil profiles, which were pedon from Sidomukti
Village of Mootilango District of Gorontalo Regency and from Sosial Village of Paguyaman
District of Boalemo Regency. The soil profile was constructed and sampled according to soil survey
principles. Climate data were collected from the Sidodadi and Molombulahe climate stations,
including: rainfall data (mm), temperature (°C), relative humidity (%) and wind speed (km hour-1).
Soil data used, including: soil water content of field capacity (pF = 2.5) and permanent wilting point
(pF = 4.2) and root depth on 30 cm (rice roots). Monthly water availability analysis was using water
balance method followed by water balance of soil profiles. The results showed that monthly water
availability of Vertisol from Sidomukti Village was higher than Vertisol from Social Village. Water
available of Vertisol soil profile from Sidomukti Village more by 41.09% compared to Vertisol
from Social Village.
Keywords: Water availability, profile, soil, Vertisol
PENDAHULUAN
Wilayah Paguyaman adalah salah satu sentra utama pengembangan tanaman pangan, terutama
padi sawah dan merupakan lumbung beras terbesar di Provinsi Gorontalo. Wilayah ini merupakan
lembah gunung Boliyohuto dan tercakup dalam Daerah Aliran Sungai Paguyaman yang terdiri dari
endapan danau (lakustrin), dataran alluvial dan teras sungai. Menurut Bahcri et al. (1993), geologi
daerah Paguyaman dominan berkembang dari bahan lakustrin yang terdiri dari batu liat
(claystones), batu pasir (sandstones), dan kerikil (gravel) pada epoch kuarter pleistosen dan
holosen. Sementara Prasetyo (2007) melaporkan bahwa daerah Paguyaman mengandung mineral
kuarsa dan dalam jumlah yang lebih sedikit masih dijumpai mineral ortoklas, sanidin dan andesin.
Mineral epidot, amfibol, augit dan hiperstin dijumpai dalam jumlah sangat sedikit, sehingga
cadangan hara di daerah ini tergolong sedang.
Data Stasiun Iklim Sidodadi dan Molombulahe selang tahun 2007-2013 menunjukkan bahwa
daerah Paguyaman menurut Zona Agroklimat (Oldeman dan Darmiyati 1977) termasuk E4 karena
memiliki 6-9 bulan kering (<100 mm) dan 1 bulan basah (≥200 mm). Rata-rata curah hujan bulanan
stasiun Sidodadi hanya sebanyak 93 mm bulan-1 dan 85 mm bulan-1 pada stasiun Molombulahe.
1
Seminar Nasional, Pekan Pembangunan Pertanian, Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan
Daerah dan Nasional, Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, Gorontalo 22 24 Maret 2018.
2
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo
72
Melihat kondisi tersebut, maka daerah ini mempunyai faktor pembatas penggunaan lahan yang
optimal, antara lain beriklim kering dan ketersediaan air yang minim sehingga akan mempengaruhi
penggunaan lahan untuk pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Padahal, sejak tahun 1965
daerah Paguyaman dikenal sebagai kawasan pertanian, terutama pengembangan padi sawah dan
tanaman palawija. Menurut Rachim (2003), budidaya pertanian dapat mempengaruhi kondisi
kelembaban tanah selama tanah diusahakan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa suhu tanah dapat
mengontrol proses biologik dan kemungkinan pertumbuhan tanaman karena setiap spesies tanaman
memiliki persyaratan suhu tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan air
bulanan dan air tersedia dalam profil tanah untuk padi di Paguyaman.
BAHAN DAN METODE
Site Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada 2 pedon tanah yang mewakili dua area penelitian, yaitu bagian
utara dan bagian selatan DAS Paguyaman berasarkan aliran utama sungai Paguyaman (Gambar 1).
Site spesifik 2 (dua) lokasi tersebut, yaitu: (1) areal tanah sawah tadah hujan Desa Sidomukti
Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo, (2) areal tanah sawah tadah hujan Desa Sosial
Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo. Penelitian dimulai pada bulan April-Augustus 2013.
Pelaksanaan lapang didasarkan pada lokasi contoh profil (pedon). Profil tanah dibuat dan
diambil contohnya sesuai dengan prinsip-prinsip survei tanah (NSSC-NCRS USDA 2002 dalam
Abdullah 2006). Deskripsi dan klasifikasi tanah di daerah penelitian disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Deskripsi dan klasifikasi tanah dari Desa Sidomukti Kabupaten Gorontalo
Lokasi : Desa Sidomukti, Kec. Mootilango Kab. Gorontalo
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA) : Ustik Endoaquert
PPT : Eutrik Grumusol
FAO/UNESCO : Cambisol
Bahan Induk : Endapan Danau
Posisi Fisiografik : Kaki Lereng, Depresi
Topografi : Datar-Landai; Lereng <2%
Elevasi : 58 m dpl
Drainase : Buruk
Kedalaman Air Tanah : Dangkal
Vegetasi : Padi (Oryza sativa L.)
Kedalaman
(cm)
Horison
Uraian
0-12
Apg1
Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur masif; sangat lekat,
plastis; perakaran halus, banyak; jelas rata
12-31
Apg2
Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur gumpal bersudut,
halus, lemah; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), biasa,
halus, jelas, bintik, tajam; perakaran halus, banyak; berangsur rata
31-53
Bwg1
Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut sedang, lemah;
sangat lekat, plastis; perakaran halus, sedikit; baur rata
73
53-71/92
Bwg2
Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, kasar, lemah;
sangat lekat, plastis; jelas berombak.
71/92-119
Bwssg
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut, sedang,
sedang; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir; karatan coklat (10YR
5/3), biasa, halus, jelas, tabung, jelas; baur rata.
119-150
BCg1
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut, kasar,
kuat; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus,
jelas, tabung, jelas; jelas rata.
150-200
BCg2
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; sangat lekat, sangat gembur; baur
rata.
Tabel 2. Deskripsi dan klasifikasi tanah dari Desa Sosial Kabupaten Boalemo
Lokasi : Desa Sosial, Kec. Paguyaman Kabupaten Boalemo
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA) : Ustik Endoaquert
PPT : Eutrik Grumusol
FAO/UNESCO : Cambisol
Bahan Induk : Endapan Danau
Posisi Fisiografik : Kaki Lereng, Depresi
Topografi : Datar-Landai; Lereng <2%
Elevasi : 42 m dpl
Drainase : Buruk
Kedalaman Air Tanah : Dangkal
Vegetasi : Padi (Oryza sativa L.)
Kedalaman
(cm)
Horison
Uraian
0-21
Apg1
Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur masif; agak lekat, plastis; karatan
coklat (10YR 4/3), sedikit, halus, baur, bintik, tajam; perakaran
halus, banyak; berangsur rata.
21-37
Apg2
Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus, lemah;
agak lekat, plastis; perakaran halus, sedikit; berangsur rata.
37-60
Bwg1
Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus, sedang;
agak lekat, plastis; berangsur rata.
60-80
Bwg2
Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah; agak
lekat, plastis; perakaran halus, banyak; berangsur rata.
80-103
Bwg3
Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur prismatik, halus,
lemah; lekat, plastis; nyata rata.
103-200
BCg
Kelabu terang (10YR 7/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah;
lekat, plastis; karatan coklat terang (7,5YR 6/3), sedang, sedang,
jelas, bintik, jelas; nyata rata.
Berdasarkan deskripsi dan morfologi tanah, maka kedua pedon diklasifikasi sebagai Ustik
Endoaquert (Soil Taxonomy), dimana kedua pedon memiliki regim kelembaban ustik yang selalu
jenuh air dan tergolong tanah Vertisol. Adanya proses eluviasi dan iluviasi serta gleisasi dan karatan
menunjukkan bahwa tanah telah berkembang dengan adanya Horison B. Djaenuddin dan
74
Hendrisman (2005) melaporkan bahwa profil tanah di daerah Paguyaman ditemukan karatan besi
dan mangan, konkresi dan nodul dalam jumlah cukup sampai banyak pada kedalaman 0-110 cm.
Penetapan Air Tersedia Profil Tanah
Data iklim dikumpulkan dari dua stasiun iklim, yaitu stasiun Sidodadi, dan Molombulahe.
Data curah hujan (mm), suhu (oC), kelembaban relatif (%) dan data kecepatan angin (km jam-1)
tersedia di dua stasiun yang ada. Sedangkan data panjang penyinaran (%) hanya di stasiun iklim
Sidodadi saja. Data iklim tersebut disajikan sebagai berikut:
Tabel 3. Data Curah Hujan Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman
N
o
Nama Stasiun
Altitut
(m dpl)
Jumlah
Rataan
BB
BK
ZAK
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
1
Molombulahe
46
91
48
48
111
100
121
118
37
41
59
113
134
1.021
85
0
6
E3
2
Sidodadi
44
134
53
101
127
264
68
71
81
31
42
83
113
1.112
93
1
8
E4
Tabel 4. Data Suhu Udara Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman
No
Nama Stasiun
Altitut
(m dpl)
Suhu Bulanan (oC)
Jumlah
Rataan
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
1
Molombulahe
43
28
27
27
28
26
26
25
26
26
26
27
28
320
26,67
2
Sidodadi
44
27
26
26
28
28
27
26
27
27
28
27
27
324
27,00
Tabel 5. Data Kelembaban Udara Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman
No
Nama Stasiun
Altitut
(m dpl)
Kelembaban Udara Bulanan (%)
Jumlah
Rataan
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
1
Molombulahe
43
72
65
69
66
76
62
68
52
43
68
66
58
765
63,75
2
Sidodadi
44
91
90
87
89
90
92
90
88
85
90
92
92
1076
89,67
Tabel 6. Data Panjang Penyinaran Matahari di Stasiun Iklim Sidodadi Kabupaten Gorontalo
No
Nama
Stasiun
Altitut
(m dpl)
Panjang Penyinaran Bulanan (%)
Jumlah
Rataan
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
1
Sidodadi
44
43
48
52
48
44
39
45
52
52
46
43
42
554
46,17
BB = bulan basah; BK = bulan kering; ZAK = zona agroklimat.
Data yang digunakan, yaitu data iklim (curah hujan rata-rata bulanan, dan suhu udara), data
kadar air tanah kondisi kapasitas lapang (pF=2.5) dan titi layu permanen (pF=4.2), dan kedalaman
efektif perakaran 30 cm (tanaman pangan). Penentuan air tersedia bulanan menggunakan metode
penentuan neraca air wilayah, sementara penentuan tersedia profil (ATP) untuk padi menggunakan
metode neraca air profil dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Curah hujan efektif (CHE) atau CH75 (CH peluang terlampaui 75%) ditetapkan dengan
metode rangking dari data CH bulanan periode sepuluh tahun. Semua daerah penelitian
tergolong datar, sehingga diasumsikan CH dapat meresap ke dalam tanah sebesar
90%CHE.
2. Nilai ETo (reference crop evapotranspiration) ditetapkan dengan metode Blaney-Criddle.
3. Nilai ETc diperoleh dari persamaan ETc = kc x ETo, dimana Etc (crop
evapotranspiration) adalah evapotranspirasi potensial, kc (crop coefficient) adalah
koefisien tanaman.
75
4. Pengurangan CHE 90% dengan ETc pada bulan tertentu yang sama. Apabila 90%CHE >
Etc, maka diperoleh nilai positif. Sebaliknya, apabila 90%CHE < Etc, maka diperoleh
nilai negatif.
5. Air tersedia profil (ATP), yaitu kemampuan tanah menyimpan air yang tersedia bagi
tanaman atau water holding capacity (WHC). Apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai
positif menunjukkan ATP pada kondisi WHC, dimana pertumbuhan tanaman yang
dipengaruhi oleh faktor iklim. Sedangkan apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai negatif,
maka besarnya air pada WHC dikurangi dengan jumlah air yang defisit dari tahap ke-4
dan menunjukkan periode pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor tanah, yaitu WHC.
6. Apabila nilai WHC lebih kecil dari nilai defisit tersebut, maka nilai ATP bernilai negatif
atau 0. Pada kondisi nilai ATP sama dengan nol, maka terjadi evapotranspirasi aktual
(ETa).
7. Setelah ATP bulan ditetapkan, maka dihitung air yang digunakan tanaman (ETc) dari
ATP. Penggunaan ATP untuk memenuhi ETc mengacu pada Doorenbos dan Pruitt (1977),
yaitu penyerapan ATP oleh tanaman (ETc) berdasarkan penggunaan air dalam tanah
dengan perbandingan 40%, 30%, 20% dan 10% pada 1/4 bagian pertama, kedua, ketiga
dan keempat.
8. Apabila ATP pada bagian pertama tidak mampu mencukupi ETc, maka tanaman
mengambil air pada lapisan kedua, seterusnya sampai lapisan keempat hingga ETc
terpenuhi. Apabila nilai ATP sampai lapisan keempat tidak mencukupi kebutuhan ETc,
maka terjadi defisit air pada bulan tersebut. Untuk tanaman pangan, tebal lapisan yang
digunakan yakni per 7,5 cm (0-7,5; 7,5-15; 15-30 cm).
Koefisien tanaman (kc) tergantung pada fase pertumbuhan tanaman dan jenis tanaman. Nilai kc
masing-masing tanaman tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai kc Tanaman yang Digunakan pada Penelitian ini
Tanaman
Fase dan Waktu (hari)
Masa Tanam
(hari)
Sumber Data
Initial
Crop
Middle Season
Late Season
Padi Lokal
1,05 (60)
1,20 (80)
0,70 (40)
180
Allen et al. (1998)
Padi Unggul
1,05 (40)
1,20 (54)
0,70 (26)
120
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketersediaan Air Bulanan
Tampaknya, ketersediaan air bulanan (KAB) tanah Vertisol berdasarkan data iklim terpilih dari
pedon asal Desa Sidomukti, rata-ratanya masih lebih tinggi dibandingkan pedon asal Desa Sosial
(Tabel 8). Hanya pada bulan Mei dan Juli yang mengalami penurunan KAB yang masing-masing
sebanyak 49,93 mm dan 51,33 mm. Sementara pedon dari Desa Sosial penurunannya relatif lebih
76
besar pada bulan Agustus yang hanya 9,68 mm dan bulan September sebanya 36,28 mm. Namun,
pada prinsipnya kedua pedon hanya mengalami penurunan KAB dari rata-rata bulanan sebanyak
dua bulan saja, meskipun berbeda bulan. Kondisi KAB tersebut akan mempengaruhi air tersedia
dalam profil tanah (ATP). Berdasarkan KAB ini, maka padi dapat mulai ditanam pada bulan Maret
sampai bulan Agustus. Salah satu faktor pembatas penggunaan lahan untuk komoditas ini adalah
ketidakmenentuan curah hujan (Suyamto et al. 2008), selain karena kesuburan tanah yang sedang
(Nurdin 2010).
Tabel 8. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan untuk Padi di Daerah Paguyaman Gorontalo
Unsur
Bulan (mm)/Lokasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Desa Sidomukti
ETo
102.5
90.5
100.2
101.5
104.9
99.2
100.2
99.2
99.2
104.9
99.2
102.5
ETo50
51.3
45.3
50.1
50.7
52.4
49.6
50.1
49.6
49.6
52.4
49.6
51.3
ETc
14.9
13.6
52.6
53.3
62.9
59.5
60.1
34.7
14.4
15.2
14.4
14.9
ETc Padi
52.6
53.3
62.9
59.5
60.1
34.7
CH75
100.5
39.8
75.8
95.3
198.0
51.0
53.3
60.8
23.3
31.5
62.3
84.8
CHE90
90.5
35.8
68.2
85.7
178.2
45.9
47.9
54.7
20.9
28.4
56.0
76.3
CHE90-ETc
75.6
22.2
15.5
32.4
115.3
-13.6
-12.2
19.9
6.5
13.1
41.6
61.4
KAB Ver
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
49.93
51.33
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
Desa Sosial
ETo
103.5
91.4
101.0
99.7
98.8
95.6
96.5
95.6
95.6
98.8
97.9
103.5
ETo50
51.7
45.7
50.5
49.8
49.4
47.8
48.3
47.8
47.8
49.4
48.9
51.7
ETc
15.0
13.2
14.6
52.3
51.9
57.4
57.9
57.4
33.5
14.8
14.2
15.0
ETc Padi
52.3
51.9
57.4
57.9
57.4
33.5
CH75
68.3
36.0
36.0
83.3
75.0
90.8
88.5
27.8
30.8
44.3
84.8
100.5
CHE90
61.4
32.4
32.4
74.9
67.5
81.7
79.7
25.0
27.7
39.8
76.3
90.5
CHE90-ETc
46.4
19.2
17.8
22.6
15.6
24.3
21.7
-32.4
-5.8
25.0
62.1
75.4
KAB Ver
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
9.68
36.28
42.08
42.08
42.08
ETo=evapotranspirasi potensial, ETo50=50% dari evapotranspirasi potensial, ETc=evapotranspirasi tanaman,
CH75=curah hujan peluang terlampaui 75%, CHE90=curah hujan efektif 90%, KAB=ketersediaan air bulanan,
Ver=vertisol.
Pada beberapa bulan tertentu untuk padi menunjukkan nilai negatif. Tanda ini hanya
menunjukkan bahwa kondisi air tersedia profil pada bulan tersebut merupakan bulan defisit air.
Terdapat dua bulan defisit, yaitu pada bulan Juni dan Juli untuk lokasi Desa Sidomukti serta bulan
Agustus dan September untuk lokasi Desa Sosial. Berdasarkan klasifikasi tanahnya (Tabel 1 dan 2),
menunjukkan bahwa kandungan fraksi liat yang tinggi pada kedua pedon, sehingga apabila
ketersediaan air bulanan relatif rendah akan mempengaruhi sifat fisik tanahnya terutama sifat
mengembang-mengkerut (swelling-shrinking). Salter et al. (1966) menyatakan bahwa fraksi liat
berkorelasi positif terhadap kapasitas menahan air. Sebelumnya Hillel (1998) menyatakan bahwa
liat mampu menyerap dan mengikat air yang menyebabkan tanah mengembang saat pembasahan
dan menyusut saat kering. Apabila musim kemarau terjadi, maka akan terbentuk rekahan-rekahan
pada musim kemarau yang jika tanaman masih dalam masa perkembangan akan menghambat atau
bahkan menyebabkan putusnya akar-akar tanaman dan akhirnya mati.
77
Air Tersedia dalam Profil Tanah
Curah hujan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya ketersediaan air bagi tanaman. Hal ini
terlihat pada lokasi penelitian yang ketersediaan air tanahnya mampu menyediakan air untuk
kebutuhan tanaman (ETc), tetapi ada juga yang harus mendapatkan suplai air dari hujan. Kondisi air
tersedia profil atau ATP (Tabel 9) menunjukkan pola yang fluktuatif antara kedua pedon. Hal ini
disebabkan karena jumlah hujan yang tidak tetap pada setiap bulannya, sehingga mempengaruhi
ATP masing-masing pedon. Selanjutnya, penurunan ATP menyebabkan pemenuhan kebutuhan air
tanaman (ETc) juga menurun. Menurut Firmansyah (2007), penurunan ETc akan mempengaruhi
produksi tanaman. Walaupun penurunan tersebut tidak sampai menghambat perkembangan
tanaman.
Tabel 9. Kondisi Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan untuk Padi di Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Vertisol Desa Sidomukti
Vertisol Desa Sosial
……………………………………………….. mm bulan-1 ……………………………………..
58,4
34,4
Tampaknya, ATP tanah Vertisol asal Desa Sidomukti (58,4 mm bulan-1) masih lebih banyak
41,09% dibandingkan ATP tanah Vertisol asal Desa Sosial yang hanya 34,4 mm bulan-1. Hal ini
sudah tergambarkan dari ketersediaan air bulanan (Tabel 8). Kondisi lapangan kedua jenis tanah
merupakan tanah sawah tadah hujan yang sumber air utama hanya berasal dari air hujan. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Nurdin (2010) bahwa tanah sawah tadah hujan di wilayah ini mendapat
suplai air dari hujan dan dari pemompaan sungai terdekat yang volumenya cukup terbatas. Kondisi
ini ditunjang oleh data curah hujan bulanan yang rata-rata hanya 85 mm dan 93 mm untuk kedua
stasiun iklim (Tabel 3, 4 dan 5) dengan suhu yang relatif tinggi (26,67 dan 27,00oC) serta
kelembaban udara yang cukup tinggi (63,75 dan 89,67%). Oleh karena itu daerah penelitian ini
masuk dalam zona agroklimat E3 dan E4 dengan bulan kering 6-8 bulan.
Menurut Setiobudi (1997), kebutuhan air tanaman padi berbeda-beda pada setiap stadia
perkembangan tanaman padi. Lebih lajut dikatakannya, untuk varitas IR64 total kebutuhan air
tanaman padi mulai dari tanam sampai panen sebanyak 760 mm. Sementara untuk varitas Ciliwung
sebanyak 590 mm dan varitas Muncul sebanyak 645 mm. Dengan demikian, maka dengan
pertimbangan ketersediaan air dalam profil tanah eksisting, evapotranspirasi dan perkolasi
kebutuhan air untuk tanaman padi sampai saat ini belum dapat penuhi. Beberapa hal yang dapat
dlakukan adalah pembangunan sumur irigasi karena potensi wilayah yang merupakan zona depresi,
pembangunan embung dan jaringan iriasi, serta efisiensi penggunaan air agar air yang tersedia
cukup.
78
KESIMPULAN
1. Ketersediaan air bulanan tanah Vertisol asal Desa Sidomukti lebih tinggi dibandingkan Vertisol
dari Desa Sosial.
2. Air tersedia profil tanah Vertisol asal Desa Sidomukti lebih banyak sebesar 41,09%
dibandingkan tanah Vertisol asal Desa Sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiration: guidelines for computing
crop water requirement. Rome: FAO p.300.
Abdullah TS. 2006. Buku lapang untuk pendekripsian dan pengambilan contoh tanah berdasarkan
Taksonomi Tanah USDA. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut
Pertanian Bogor.
Bahcri S, Sukido, Ratman N. 1993. Peta geologi lembar tilamuta, Sulawesi Skala 1 : 250.000.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Djaenuddin D, Hendrisman M. 2005. Evaluasi lahan secara kuantitatif: studi kasus pada tanaman
jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah Paguyaman Kabupaten Boalemo Provinsi
Gorontalo. Jurnal Tanah dan Lingkungan 7:27-35.
Firmansyah MA. 2007. Karakteristik dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan kering Kalimantan
Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Hillel D. 1998. Pengantar fisika tanah. Terjemahan Intriduction to soil physisc oleh RH Susanto,
RH Purnomo. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Nurdin. 2010. Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari Bahan
Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Oldeman LR, Darmiyati, S. 1977. An agroclimatic map of sulawesi scale 1 : 2.500.000. Bulletin No
ke-60. Bogor: Contri Centre Research Institute of Agriculture.
Prasetyo BH. 2007. Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Indonesia 9:20-31.
Rachim DA. 2003. Mengenal taksonomi tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas pertanian Institut
Pertanian Bogor.
Rachim DA. 2007. Dasar-dasar genesis tanah. Bogor : Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor.
Salter PJ, Berry G, William JB. 1966. The influence of texture on moisture characteristics of soils;
quantitative relationships between particle size, composition and available-water capacity.
Jurnal of Soil Science 17(1): 93-98.
79
Setiobudi, DA. 1997. Alternatif teknik penghematan air irigasi melalui system pengairan intermiten
pada tanaman padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pemanfaatan Air
Irigasi di Tingkat Usahatani menuju Pertanian Modern. Balai Irigasi, Bekasi. Hlm. 50-60.
Suyamto, Toha HM, P Hamdan, MY Sumaullah, TS Kadir, F Agus. 2008. Petunjuk teknis
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah tadah hujan. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian RI.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Vertisols is black and fertile soils, derived from various parent materials, dominated by smectite clay minerals, and charasterize by crack formation during dry season. Six soil profiles consisted of thirty two soil samples from dIfferent location were analyzed for their chemical and mineralogical composition at the laboratories of Soil Research Center for soil characteristics. Results indicate that the color matrix of Vertisols varies, hue range from 2.5Y to 10YR, color value varies from 2 to 6, and chroma range from 0 to 4. Clay mineral composition of Vertisols is dominated by smectite. Other clay minerals founded in the Vertisols are kaolinite, illite and vermiculite. The mineralogy composition of sand fraction is varies, some of them rich in weatherable minerals like andesine, amfibole, orthoclase, sanidin and the others are dominated by resistant minerals such as quartz and opaque. The mineralogical composition of Vertisols dependent on their parent material. The dominant cations in Vertisols are Ca++ and Mg++. Vertisols from volcanic materials is dominated by Ca++ and followed by Mg++ cations, Vertisols from limestone is dominated by Ca++, while Vertisols from peridotite is dominated by Mg++. All of the Vertisols studied have a high cation exchange capacity with pH’s range from 5.5 to 7.4. In using Vertisols for food plantation, should be consider the high content of Ca++, Mg++ and the water management. The soils should be atleast always in moist condition, otherwise soils become very hard and cracks when dry.
Article
A quantitative assessment was made of the effect of the proportion of sand, silt, clay, and organic matter in twenty‐six soils on the moisture contents at the upper and lower limits of available‐water of the soils. Regression equations were obtained which enabled the moisture contents to be estimated on a weight or volume basis from mechanical analysis data using either International or American size grades. The accuracy of estimating the upper limit of available‐water from the various equations ranged from ±9 to 22 per cent: for the lower limit from ±8 to 16 per cent of the measured values. Mean values of the moisture contents at the upper and lower limits of available‐water for each textural class were calculated from the average particle‐size composition for each class and from the regressions obtained.
Buku lapang untuk pendekripsian dan pengambilan contoh tanah berdasarkan Taksonomi Tanah USDA
  • T S Abdullah
Abdullah TS. 2006. Buku lapang untuk pendekripsian dan pengambilan contoh tanah berdasarkan Taksonomi Tanah USDA. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor.
Peta geologi lembar tilamuta
  • S Bahcri
  • Sukido
  • N Ratman
Bahcri S, Sukido, Ratman N. 1993. Peta geologi lembar tilamuta, Sulawesi Skala 1 : 250.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Evaluasi lahan secara kuantitatif: studi kasus pada tanaman jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah Paguyaman Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo
  • D Djaenuddin
  • M Hendrisman
Djaenuddin D, Hendrisman M. 2005. Evaluasi lahan secara kuantitatif: studi kasus pada tanaman jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah Paguyaman Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Jurnal Tanah dan Lingkungan 7:27-35.
Karakteristik dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan kering Kalimantan Tengah [disertasi
  • M A Firmansyah
Firmansyah MA. 2007. Karakteristik dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan kering Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pengantar fisika tanah. Terjemahan Intriduction to soil physisc oleh RH Susanto, RH Purnomo
  • D Hillel
Hillel D. 1998. Pengantar fisika tanah. Terjemahan Intriduction to soil physisc oleh RH Susanto, RH Purnomo. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
An agroclimatic map of sulawesi scale 1 : 2.500.000. Bulletin No ke-60
  • L R Oldeman
  • S Darmiyati
Oldeman LR, Darmiyati, S. 1977. An agroclimatic map of sulawesi scale 1 : 2.500.000. Bulletin No ke-60. Bogor: Contri Centre Research Institute of Agriculture.
Dasar-dasar genesis tanah
  • D A Rachim
Rachim DA. 2007. Dasar-dasar genesis tanah. Bogor : Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor.