ArticlePDF Available

Abstract

Abstrak Radikalisme sebagai bagian dari paham fundamentalis telah menjadi ancaman yang nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi-aksi radikalisme semakin massif dilakukan dengan melibatkan generasi muda. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua memiliki model pembelajaran yang sangat dipercaya oleh masyarakat. Pesantren diharapkan dapat menjadi benteng penangkal paham fundamentalis melalui pembelajaran multikultural yang diterapkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa praktek pembelajaran multikultural di pondok pesantren dan dampak pembelajaran multikultural di pondok pesantren. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil fokus penelitian pada pondok pesantren Darussalam, Sengon Kabupaten Jombang. Metode pengambilan data dilakukan dengan menggunakan interview serta observasi terhadap subjek yaitu pemimpin pondok pesantren, ustad serta santri. Validitas hasil penelitian dilakukan melalui triangulasi data. Hasil penelitian menunjukan bahwa pondok pesantren Darusalam Jombang telah menerapkan prinsip pembelajaran multikultural yang meliputi: content integration, The knowledge construction process, Equity Pedagogy, Prejudice reduction. Selain itu dampak pembelajaran tersebut membuat santri mampu memahami perbedaan, toleransi, dan keberagaman sehingga mampu membentengi diri dari paham fundamentalis. Kata kunci: Radikalisme, Pendidikan multikultural  Abstract               Radicalism as part of fundamentalism has become a real threat to the life of the nation and state. More massive radicalism actions are carried out by involving the younger generation. Islamic boarding schools are the oldest educational institutions that have a highly trusted learning model. Islamic boarding schools are expected to be a bulwark against the fundamentalist understanding through applied multicultural learning. This study aims to analyze the practice of multicultural learning in Islamic boarding schools and the impact of multicultural learning in Islamic boarding schools. This study uses a qualitative approach by taking the focus of research in Darussalam Islamic Boarding School, Sengon, Jombang Regency. The method of data collection is done by using interviews and observations on the subject, namely the leader of the Islamic boarding school, religious teacher and santri. The validity of the results of the research is done through data triangulation. The results of the study show that the Darusalam Jombang Islamic boarding school has applied the principle of multicultural learning which includes: content integration, the knowledge construction process, Equity Pedagogy, Prejudice reduction. Besides that the impact of the learning made the santri able to understand differences, tolerance and diversity so that they were able to fortify themselves from fundamentalism. Keywords: Radicalism, multicultural education
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 224
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Fakultas Psikologi
E-mail: jurnalpersona@untag-sby.ac.id [224] Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
DOI: https://doi.org/10.30996/persona.v7i2.1908
Website: http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/persona
Model Pembelajaran Multikultural pada Pesantren Modern sebagai Upaya
Mereduksi Paham Radikalisme
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana
Email: suhadianto@untag-sby.ac.id
Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Abstract
More massive radicalism actions are carried out by involving the younger
generation. Islamic boarding schools are the oldest educational institutions that
have a highly trusted learning model. Islamic boarding schools are expected to
be a bulwark against the fundamentalist understanding through applied
multicultural learning. This study aims to analyze the practice of multicultural
learning in pesantren and its impact on santri. This study uses a qualitative
approach by taking a research focus on Darussalam Islamic boarding school,
Sengon, Jombang Regency. Data retrieval research is carried out through in-
depth interviews, involved observation and documentation. The subjects in this
study consisted of leaders of Islamic boarding schools (Kyai), religious teachers
and santri. The validity of the results of the research is done through data
triangulation. The results of the study show that the Darusalam Jombang Islamic
boarding school has applied the principle of multicultural learning which
includes: content integration, the knowledge construction process, Equity
Pedagogy, Prejudice reduction. Besides that the impact of the learning made the
santri able to understand differences, tolerance and diversity so that they were
able to fortify themselves from fundamentalism.
Keywords: Radicalism, Multicultural Education
Abstrak
Aksi-aksi radikalisme semakin massif dilakukan dengan melibatkan
generasi muda. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua memiliki
model pembelajaran yang sangat dipercaya oleh masyarakat. Pesantren
diharapkan dapat menjadi benteng penangkal paham fundamentalis melalui
pembelajaran multikultural yang diterapkan. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisa praktik pembelajaran multikultural di pesantren dan dampaknya
pada santri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
mengambil fokus penelitian pada pesantren Darussalam, Sengon Kabupaten
Jombang. Pengambilan data penelitian dilakukan melalui wawancara
mendalam, observasi terlibat dan dokumentasi. Subjek dalam penelitian ini
terdiri dari pimpinan pesantren (Kyai), ustadz dan santri. Validitas hasil
penelitian dilakukan melalui triangulasi data. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pesantren Darusalam Jombang telah menerapkan prinsip pembelajaran
multikultural yang meliputi: content integration, The knowledge construction
process, Equity Pedagogy, Prejudice reduction. Selain itu dampak pembelajaran
tersebut membuat santri mampu memahami perbedaan, toleransi, dan
keberagaman sehingga mampu membentengi diri dari paham fundamentalis.
Kata kunci: Radikalisme, Pendidikan Multikultural
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana | 225
Pendahuluan
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan tonggak kebebasan bagi
setiap orang untuk bersuara dan menyampaikan pendapat. Masyarakat Indonesia
secara politik kemudian mendirikan parta-partai politik sebagai wadah penyampaian
aspirasi, tercatat sekitar 34 partai politik yang terdaftar dan ikut pemilu pada tahun 1999.
Partai politik memiliki landasan yang berbeda-beda untuk menarik masa mulai
nasionalisme, syariat islam dan idiologi lain. Tidak hanya partai politik, organisasi masa
juga berkembang yang berorientasi pada agama tertentu.
Organisasi-organisasi masa ini melihat bahwa terdapat kesenjangan antara
realitas kehidupan sebagai dampak pembangunan dengan harapan yang telah
digariskan oleh agama. Disisi lain upaya untuk menegakkan dan mengembalikan
kehidupan masyarakat sesuai dengan yang mereka harapkan terkendala oleh kultur
masyarakat yang beragam. Pada akhirnya dilakukanlah upaya-upaya penegakan norma
melalui tindakan-tindakan yang menjurus pada aksi agresif atau kasar. seperti tindakan
pengerusakan terhadap tempat-tempat hiburan malam, aksi sweeping, dan gerakan
pengerusakan pada hal-hal yang menurut mereka jauh dari kebenaran dan menimbulkan
maksiat. Tindakan-tindakan pengerusakan yang menjurus pada aksi kekerasan inilah
yang kemudian dikenal masyarakat sebagai aksi radikal.
Aksi-aksi radikalisme tampaknya mulai tumbuh subur di Indonesia sejak
terjadinya aksi teror 11 september 2001 di New York Amerika serikat yang
menghancurkan gedung kembar World Trade Center. Aksi yang kemudian mengarah
pada Al-Qaeda sebagai pelaku teror dan identik dengan gerakan-gerakan islam radikal
ini pada akhirnya menyudutkan dan memberikan tekanan yang luar biasa bagi umat
muslim di seluruh dunia. Perlawanan umat islam terhadap tekanan-tekanan tersebut
diwujudkan dalam bentuk pengerusakan atau “jihat” dengan bom bunuh diri pada
simbol-simbol barat. Bom bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 di Kuta Legian bali
adalah bukti nyata gerakan-gerakan radikal sebagai bentuk perlawanan terhadap
masyarakat barat dan upaya mengembalikan kehidupan masyarakat sesuai dengan
keyakinan yang dianut.
Radikalisme keagamaan sebenarnya merupakan fenomena yang biasa muncul
pada agama apapun. radikalisme sangat berkaitan dengan fundamentalis yang ditandai
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 226
oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah
semacam ideologi yang menjadikan agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat
maupun individu. Fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika
kebebasan untuk kembali pada agama dihalang-halangi oleh situasi sosial politik yang
mengelilingi masyarakat. (Turmudi, Endang, and M. Riza Sihbudi. 2005).
Ancaman terhadap radikalisme semakin terlihat tatkala aksi-aksi radikalisme
telah menjadi satu pola yang dijadikan alat bagi keinginan kelompok-kelompok tertentu
untuk kembali pada unsur-unsur yang diyakini. Kelompok-kelompok ini menggunakan
dalih “Jihat” sebagai salah satu upaya mempengaruhi pengikutnya agar bersedia
melakukan tindakan radikalisme seperti bom bunuh diri. Aksi-aksi radikalisme
terorganisir dan dikendalikan oleh organisasi-organisasi yang memiliki basis di luar
negeri. Organisasi ini menggunakan jaringan yang tersebar di negara-negara tertentu
untuk menguatkan basis dukungan yang menyasar para remaja.
Rekrutmen terhadap calon pelaku radikal atau dikenal dengan istilah
“pengantin” dilakukan dengan doktrin-doktrin agama yang menciptakan suatu
keyakinan bahwa aksi radikalisme merupakan tindakan “Jihat”. Sejak aksi radikalisme
pertamakali terjadi di tahun 2002 sampai tahun 2016 di plaza sarinah, bisa didapatkan
sebuah fakta bahwa pelakunya semakin muda dan menyasar remaja-remaja. Bahkan di
akhir tahun 2016 rencana aksi bom bunuh diri yang akan dilakukan di Istana Merdeka
Jakarta dilakukan oleh seorang wanita berumur 20 tahun.
Fakta adanya pelibatan remaja dan anak-anak dalam aksi terorisme semakin
nyata setelah terjadinya bom bunuh diri di 3 (tiga) gerja di Surabaya, dimana pelaku bom
bunuh diri diketahui merupakan satu keluarga yang terdiri ayah, ibu, 2 (dua) anak remaja
dan 2 (dua) anak-anak. Kondisi psikologis remaja yang masih labil menjadi salah satu
faktor yang juga sangat mempengaruhi mudahnya remaja terlibat. Remaja cenderung
ingin menunjukkan jati dirinya, kebebasan, dan menentang segala sesuatu yang
menurutnya jauh dari rasa keadilan. Oleh karena itulah remaja kemudian menjadi
sasaran yang sangat mudah dimasuki doktrin-doktrin radikal dan melakukan tindakan
radikal.
Disisi lain, remaja tentunya menjadi aset yang luar biasa bagi bangsa dan negara.
Pada remaja inilah masa depan republik ini akan ditentukan, keutuhan, kerukunan,
kepedulian, kesadaran akan pluralisme menjadi warisan pendiri republik ini untuk tetap
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Page I 227
terus dijaga dan tersosialisasi pada generasi selanjutnya. Aksi-aksi radikalisme yang
dibalut dengan isu agama yang bertujuan memecah belah persatuan, mengancam
keamanan negara dan tentunya NKRI harus dipandang sebagai masalah serius yang
harus dipecahkan.
Studi penelitian tentang radikalisme telah cukup banyak dilakukan, salah satunya
dilakukan oleh Saifuddin (2011). Dari hasil penelitiannya yang berjudul tentang
Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa diperoleh informasi bahwa adanya radikalisme
islam mulai menjangkau kampus khususnya mahasiswa. Kampus menjadi menjadi
tempat yang paling potensial dalam berkembangnya aktifitas religius yang cenderung
eksklusif dan radikal. Merebaknya upaya radikalisasi di kalangan mahasiswa, dalam
bentuk kaderisasi yang memberikan penekanan pada upaya indokrinasi ideologis.
Penelitian lain dengan metode kualitatif dilakukan oleh Hasyim, dkk (2015) yang
secara khusus mengkaji tentang pola resistensi pesantren terhadap gerakan
radikalisme. Diperoleh temuan bahwa upaya yang dilakukan pesantren dalam mengatasi
radikalisme agama salah satunya dilakukan dengan strategi preservative
deradicalization, yaitu memelihara nilai-nilai moderatisme sebagai antisipasi terhadap
model keislaman garis keras. Selain itu juga diikuti dengan pengembangan kehidupan
multikultural, yaitu sebuah kesadaran akan keragaman sehingga dapat menumbuhkan
rasa saling menghargai dan menghormati.
Studi lain yang masih berkorelasi dengan radikalisme dilakukan oleh Ahmad
(2012) dalam judul Understanding Religious Violence in Indonesia: Theological, Structural
and Cultural Analyses. Adanya tindakan kekerasan agama yang ada di Indonesia sebagai
bagian dari proses perubahan dari sejarah manusia. Hal tersebut juga muncul sebagai
akibat dari kondisi politik di Indonesia dan respon terhadap ketidakadilan ekonomi.
Selain itu, terdapat sebuah studi yang dilakukan oleh Rahimullah, dkk (2013) menyusun
kajian umum berkaitan dengan adanya fenomena radikalisme islam. Diperoleh temuan
secara ringkas bahwa penelitian pendahulu yang membahas tentang radikalisme dalam
muslim secara spesifik belum menjelaskan tahapan dari sebuah proses radikalisme
islam, tidak adanya literature akademik yang melakukan investigasi secara khusus pada
individu yang penggerak radikalisme dan upaya perbandingan terhadap kondisi
radikalisme muslim dengan radikalisme non-muslim.
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 228
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya banyak penelitian
sebelumnya yang meneliti tentang gerakan-gerakan radikalisme. Penelitian-penelitian
tersebut ada yang berupa ulasan secara umum mengkaji serta membandingkan dari
berbagai penelitian tentang radikalisme, radikalisme dengan objek penelitian
mahasiswa, serta ada juga yang mengulas dalam perspektif ekonomi misalnya ketika
mengaitkan antara aksi-aksi kekerasan dalam islam yang berwujud terorisme yang ada
di Indonesia dengan persoalan kesenjangan ekonomi diantara masyarakat. Namun
demikian, belum ada yang secara khusus meneliti tentang metode dan implementasi
pendidikan multikultural di pesantren.
Potensi radikalisem pada remaja harus dipahami dan diantisipasi sejak dini
melalui pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural harus segera diterapkan di
Indonesia karena Indonesia adalah Bangsa yang plural, multikultur, multietnis, dan
multireligius yang bisa menjadi isu krusial. Pendidikan multi kultural merupakan konsep
pendidikan yang menekankan pengakuan terhadap adanya keberagaman, perbedaan
dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, agama dan lain sebagainya (Mahfud,
2006). Wacana pendidikan multikultural sebenarnya sudah mulai digulirkan sejak tahun
2000 melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, workshop dan selanjutnya mulai
banyak diusulkan penelitian dan penulisan buku dengan tema pendidikan multi kultural
(Aly, 2011). Namun demikian belum semua pesantren menerapkan konsep pendidikan
multikultural.
Meskipun saat ini telah banyak sekali jurnal, buku dan penelitian-penelitian
tentang pendidikan multikultural. Tetapi faktanya penerapan pendidikan multikultural
masih sering terkendala dengan problem teologis. Problem teologis yang dimaksud
adalah adanya kehawatiran dari lembaga pendidikan atau pesantren akan terjadinya
dekonstruksi konsep tauhid, adanya relativisme dalam menentukan kebenaran dan
kekhawatiran adanya anti otoritas dalam penafsiran jika para murid mendapatkan
pendidikan multikultural (Prihanto, 2013). Pendidikan multikultural yang dianggap
terlalu memberikan kebebasan dalam berfikir, dikhawatirkan dapat melemahkan
pemahaman agama para siswa, sehingga perlu adanya model penerapan dan
implementasi pendidikan multikultural yang dapat diterima oleh pesantren.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memfokuskan pada
kebergaman dan kebudayaan (Anderson & Cusher, 1994). Pendidikan multikultural juga
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Page I 229
dapat diartikan sebagai pendidikan yang berupaya mengekplorasi perbedaan sebagai
suatu keniscayaan yang harus diterima (Banks, 1993). Lebih lanjut Hilda Hernandez
mengartikan dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context,
Process and Content menjelaskan bahwa pendidikan pendidikan multikultural sebagai
perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-
masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan baragam secara kultural
secara kultur dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, dan gender, etnisitas, agama,
status sosial, ekonomi dll.
Sejalan dengan hal di atas, el-Ma’hady (dalam Aly, 2011) berpendapat, bahwa
secara sederhana pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan tentang
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia global secara keseluruhan. Hal
senada juga dijelaskan oleh Paulo Freire seorang pakar pendidikan kebebasan yang
menyatakan bahwa pendidikan multikultural sebagai solusi untuk mengatasi perilaku
sebagian orang terdidik yang menjadikan pendidikan sebagai “menara gading” yang
berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.
Pendidikan multikultural dalam pandangan Bank (1994) memiliki beberapa
dimensi yang saling berkaitan satu sama lain beberapa dimensi yang saling berkaitan
satu dengan yang lainnya yaitu: a. Content Integration; yaitu mengintegrasikan berbagai
budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori
dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. b. The Knowledge construction process, yaitu
membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran
(displin). c. An Equity Paedagogy; menyesuaikan metode pengajaran dengan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa yang beragam, baik dari segi ras, budaya (culture)
ataupun sosial. d. Prejudice reduction; yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan
menentukan metode pengajaran mereka.
Adapun pendekatan dalam pendidikan multikultural yang dikembangkan oleh
beberapa negara menurut Mahfud (2009) antara lain: 1) Pendidikan mengenai
perbedaan kebudayaan; 2) Pendidikan mengenai perbedaan pemahaman kebudayaan;
3) Pendidikan bagi plularisme kebudayaan; 4) Pendidikan multikultural sebagai
pengalaman moral.
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 230
Berdasar pada latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk menggali data terkait bagaimana implementasi pembelajaran
multikultural dan dampak pembelajaran multikultural pada pesantren Darussalam
Sengon Jombang.
Metode
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan termasuk dalam jenis
penelitian kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan
terlibat (participant observation), wawancara mendalam (indept interview), dan
dokumentasi. Pengamatan terlibat digunakan untuk memperoleh data yang terkait
dengan kegiatan perencanaan, implementasi, dan evaluasi kurikulum. Wawancara
mendalam digunakan untuk memperoleh data yang terkait dengan sejarah pesantren
dan perkembangannya, serta dasar pengembangan kurikulum pesantren, perencanaan,
implementasi, dan evaluasinya. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data yang
terkait dengan sejarah pesantren dan perkembangannya, dokumen perencanaan
kurikulum, data santri dan guru, buku ajar, dan perangkat kegiatan belajar mengajar
yang disusun oleh para guru. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik
deskriptif-interpretatif dan analisis isi.
Data kualitatif dalam penelitian ini akan dianalisis melalui beberapa tahapan, yaitu:
1) penyandian terbuka (open coding), pada tahap ini peneliti akan melakukan
pemeriksaan data dan meringkas menjadi kategori atau kode analisis awal; 2)
penyandian aksial (axial coding), pada tahap ini peneliti menyusun kode, menautkannya
dan menemukan kategori analitis utama; 3) penyandian selektif (selective coding), pada
tahap ini peneliti akan memeriksa kode-kode sebelumnya untuk mengidentifikasi dan
memilih data yang akan mendukung kategori penyandian konseptual yang telah
dikembangkan (Neuman, 2011).
Validitas dalam pendekatan kualitatif ini akan diperoleh melalui metode validitas
deskriptif, validitas interpretif dan validitas teoretis. Penjelasan masing-masing validitas
adalah sebagai berikut: 1) validitas deskriptif terkait dengan keakuratan fenomena yang
dideskripsikan oleh peneliti. Validitas ini akan diperoleh melalui triangulasi yang
dilakukan peneliti dalam pengumpulan data, analisis data dan interpretasi data (peneliti
akan membandingkan temuan pada pengasuh pesantren, ustadz dan santri); 2) Validitas
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Page I 231
interpretif berhubungan dengan tingkat akurasi pemahaman peneliti tentang sudut
pandang, pemahaman, perasaan, niat dan pengalaman partisipan. Vadilitas ini akan
diperoleh melalui umpan balik (feed back) partisipan terhadap hasil penelitian (peneliti
akan meminta subjek penelitian untuk mengkoreksi analisis tema yang telah dilakukan
oleh peneliti); 3) validitas teoretis adalah tingkat keabsahan teoretis yang
dikembangkan dari suatu penelitian yang merujuk pada kesesuaian data penelitian.
Validitas ini akan diperoleh dengan cara memperpanjang jangka waktu pengumpulan
data (Hanurawan, 2016).
Hasil Penelitian
Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pesantren Darussalam Sengon
Jombang telah mengimplementasikan empat aspek pembelajaran multikultural
menurut Bank (1994) ke dalam proses pembelajaran, empat aspek tersebut adalah: 1)
content integration; 2) The knowledge construction process; 3) An Equity Pedagogy dan;
4) Prejudice reduction.
Selain mengimplementasikan empat aspek pembelajaran multikultural menurut
Bank (1994), pesantren Darussalam juga menjadikan pendidikan multikultural sebagai
pengalaman moral bagi para santri. Pesantren telah membuat peraturan-peraturan dan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keberagaman. Pengasuh pesantren dan
ustadz atau guru dalam kesehariannya juga selalu menunjukkan pendapat-pendapat
atau perilaku-perilaku yang menggambarkan tentang keberagaman.
Dampak dari implementasi pendidikan multikultural di dalam proses kegiatan
belajar mengajar dan dalam keseharian santri, selanjutnya dapat membentuk pola pikir
dan perilaku santri yang menghargai tentang keberagaman. Lebih jelas hasil penelitian
akan disajikan pada tabel di bawah ini:
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 232
Tabel 1. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Kegiatan Belajar Mengajar
Content integration
An Equity Pedagogy
Prejudice reduction
Menerima santri
dari latar belakang
NU,
Muhammadiyah,
HTI, dll.
Menerima santri
dari seluruh
Wilayah Indonesia.
Materi pemikiran
Islam dalam
pelajaran Fiqh,
dikaitkan dengan
multikultural
Ada kegiatan
pentas seni setiap
hari Sabtu
(sebelum KBM)
Mendatangkan
budayawan (Cak
Nun) untuk
mengajarkan
tentang
keberagaman
Mendatangkan
turis untuk
mengajarkan
Bahasa Inggris
Ada pelajaran
Bahasa Arab dan
Bahasa Inggris
Nilai-nilai toleransi
selalu dikaitkan
dengan mata
pelajaran tertentu
Menggunakan
bahasa Indonesia
sebagai bahasa
wajib di pesantren.
Meggunakan
bahasa Indonesia
sebagai bahasa
wajib dalam
kegiatan belajar di
sekolah dan di
pesantren
Kyai mengajarkan
kitab kuning
dengan bahasa
Jawa dan bahasa
Indonesia
Indonesia
Mendatangkan
penceramah dari
luar pesantren.
Medatangkan turis
untuk mengajarkan
bahasa inggris.
Mewajibkan santri
untuk
menghormati
keberagaman.
Memberikan
sanksi pada santri
yang melakukan
tindakan
intoleransi.
Mewajibkan santri
untuk mengikuti
kegiatan
ekstrakulikuler
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Page I 233
Tabel 2. Pendidikan Multikultural sebagai Pengalaman Moral
Kyai
Ustadz / Guru
Santri
Memadukan sistem salaf
dan modern dalam
mengembangkan
pesantren.
Beberapa ustadz diambil
dari lulusan Gontor (dikenal
sebagai pesantren modern)
dan dari lulusan Tebu Ireng
(dikenal sebagai pesantren
salaf)
Kyai mewajibkan santri
menghargai perbedaan
Kyai tidak mengharamkan
pancasila dan upacara
bendera
Kyai mengajarkan kitab
kuning dengan bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia
Kyai selalu bersikap netral
(tidak menghakimi agama /
kelompok / aliran tertentu)
Kyai selalu menganjurkan
untuk mengikuti
pemerintah (seperti
penentuan awal puasa, dll).
Kyai selalu memberikan
contoh berjihat dengan cara
yang baik.
Ustadz / Guru wajib
menggunakan bahasa
Indoensia.
Ustadz / Guru tidak ada
yang memiliki paham
radikal.
Ustadz / Guru selalu
memberikan contoh
pendapat dan perilaku yang
menghargai keberagaman.
Ustadz / Guru tidak boleh
mengibarkan bendera
organisasi di pesantren.
Ustadz / Guru aktif dalam
organisasi Forum Lintas
Agama.
Santri belajar keberagaman
dalam kehidupan sehari-hari
sebab santri berasal dari
Aceh sampai Papua.
Santri wajib menghargai
perbedaan.
Ada sanki bagi siswa yang
tidak menghargai
perbedaan.
Santri wajib mengikuti
upacara bendera dan ada
sanki bagi yang melanggar.
Santri wajib menghafalkan
lagu-lagu Nasional.
Kegiatan santri sangat
beragam mulai olah raga
sampai dengan mengaji
kitab kuning.
Santri harus menampilkan
budaya nusantara pada
kegiatan pentas seni.
Setiap hari minggu santri
diajak ke alun-alun kota
Jombang untuk berinteraksi
dengan masyarakat.
Santri diberi tugas untuk
berinteraksi dengan non
muslim
Tabel 3. Dampak Implementasi Pendidikan Multikultural Pada Santri
Kognitif
Afektif
Perilaku
Tidak setuju dengan bom
bunuh diri di Surabaya
Tidak setuju dengan upaya
menjadikan Indoensia
sebagai Negara Islam
Negara Islam bertentangan
dengan keberagaman
budaya Indonesia
Jihatnya santri itu mencari
ilmu, bukan meledakkan
gereja
Aksi teror merugikan dan
tidak berguna
Tidak senang dengan aksi-
aksi kekerasan yang
mengatasnamakan agama.
Merasa kasihan dengan
korban bom bunuh diri di
Surabaya.
Menyayangi sesama
manusia sebagai makhluq
Allah SWT.
Menghormati minoritas
Menghargai perbedaan
budaya
Menghormati pemeluk
agama lain
Merayakan hari besar Islam
dan Nasional
Mengikuti upacara bendera
Mau berinteraksi dengan
non muslim
Menolak aksi-aksi
kekerasan dan upaya
menjadikan Indonesia
sebagai Negara Islam.
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 234
Pembahasan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik dan memiliki jaringan yang
sangat luas. Pendidikan pesantren menggabungkan antara pendidikan kurikulum
nasional dan pendidikan agama. Artinya bahwa pesantren tidak hanya mengajarkan
kecerdasan intelektual dengan penguasaan ilmu pengetahuan tetapi membekali santri
dengan kekuatan iman dan nilai-nilai keislaman.
Tujuan didirikan pesantren adalah mengajarkan agama islam kepada para santri,
sebagai pegangan dan pedoman hidup santri yang akan dapat diamalkan dalam
kehidupan masyarakat, mencetak santri yang saleh tidak hanya dalam bidang agama
akan tetapi juga santri yang mampu mengaplikasikan kesalehan sosial, mendidik para
santri menjadi santri yang memiliki budi pekerti yang baik sesuai dengan yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mendidik santri yang mampu menebarkan
kasih sayang terhadap semua umat, mendidik santri agar menjadi orang yang memiliki
toleransi yang tinggi terhadap umat manusia, mendidik santri menjadi manusia yang
memiliki ketajaman hati dan pikiran, sehingga dapat menyelesaikan berbagai
permasalahan hidup dengan bijaksana (Jamaluddin, 2012).
Praktik pembelajaran multikulturalisme yang diterapkan di pesantren umumnya
mengarahkan kepada santri untuk mampu bersikap toleran, mandiri, kritis, menjaga
kerukunan, dan menghargai perbedaan. Kyai sebagai tokoh sentral di dalam pesantren
merupakan panutan dan suri tauladan yang harus diikuti segala tingkah laku dan
ajarannya. Melalui tokoh sentral kyai inilah pesantren dapat mengajarkan praktik
pembelajaran multikultural dengan lebih maksimal. Praktik-praktik pembelajaran ini
dapat terimplementasi tidak hanya dalam kegiatan belajar di kelas namun juga dalam
kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan.
Salah satu pesantren yang menerapkan prinsip pembelajaran multikultural
adalah pesantren Darusalam Sengon, Kabupaten Jombang. Pesantren ini didirikan
dengan visi “mulia dalam budi pekerti dan unggul dalam prestasi”. Pesantren yang
berdiri di tengah-tengah pemukiman penduduk ini didirikan oleh Kyai Haji Ashari Mahfud
pada tahun 1993. Saat ini pesantren yang berada dibawah pengelolaan Yayasan
Pesantren Darusalam Jombang mengelola pesantren sekaligus sekolah umum setingkat
SMP/Madrasah Tsanawiyah dan setingkat SMA/Madrasah Aliyah.
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Page I 235
Santri pesantren ini berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Aceh,
Sumatra Selatan, hingga Papua. Diawal pendiriannya pesantren didirikan untuk
membantu anak-anak yang tidak bisa sekolah meskipun pada saat inipun beasiswa bagi
santri yang tidak mampu tetap diberikan. Para pengajar di pesantren ini adalah alumni
pesantren Gontor Ponorogo dan Tebu Ireng Jombang. Selain menerima santri dari
berbagai wilayah dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda, pesantren ini berprinsip
tidak membeda-bedakan golongan yang ada di Indonesia baik Nahdlatul Ulama (NU)
maupun Muhammadiyah.
Keberagaman santri di pesantren Darusalam merupakan bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari upaya pesantren membuka diri untuk proses pembelajaran yang lebih
baik. Pesantren Darusalam menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran yang sebenarnya
bisa dikategorikan pada prinsip-prinsip pembelajaran multikultural. Prinsip
pembelajaran multikultural pada pesantren idealnya meliputi 4 hal yaitu: content
integration; yaitu memasukan unsur-unsur budaya kedalam teori pelajaran/disiplin ilmu.
Sebagai lembaga yang juga menyelenggarakan pendidikan formal idealnya pesantren
dapat dengan mudah memasukan nilai-nilai budaya seperti toleransi, kegotong
royongan, keberagaman dan nilai-nilai lain pada setiap disiplin keilmuan yang sedang
dibahas. Selain itu melalui contoh-contoh konkrit tentang praktek keberagaman dapat
menunjang kemampuan santri memahami kebhinekaan yang ada.
The knowledge construction process; yaitu membawa santri untuk memahami
implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Upaya yang dapat dilakukan
oleh pesantren adalah menunjukan kepada santri bentuk-bentuk tindakan atau perilaku
yang menyimpang, merusak, intoleran dan jauh dari nilai-nilai keberagaman. Santri
diajak untuk mendiskusikan fenomena aktual yang sedang terjadi misalnya isu-isu
“radikalisme”. Melalui forum-forum diskusi ini, ustadz kemudian mengarahkan pada
suatu pendekatan keilmuan baik itu disiplin ilmu umum maupun agama.
An Equity Pedagogy; menyesuaikan metode pengajaran dengan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa yang beragam, baik dari segi ras, budaya (culture)
ataupun sosial. Pesantren didorong untuk mengembangkan berbagai metode
pembelajaran yang interaktif dan inovatif. Santri tidak hanya diposisikan sebagai
individu yang pasif namun lebih aktif untuk menemukan sendiri informasi-informasi
tertentu. Tugas ustadz/guru adalah menjadi mediator bagi terbangunya konsep berpikir
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 236
santri yang lebih baik. Pesantren juga harus membuat iklim pesantren yang menghargai
perbedaan dan mengarahkan pada upaya tercapainya kesatuan dan kerukunan.
Prejudice reduction; yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan
menentukan metode pengajaran mereka. Pesantren melalui metode pembelajaran yang
tepat dapat lebih mengoptimalkan tujuan pembelajaran dan menghindarkan pada
kesenjangan kemampuan antar santri.
Hasil penelitian menunjukkan, pesantren Darussalam Sengon Jombang telah
mengimplementasikan pembelajaran multikultural ke dalam empat aspek, yaitu: 1)
content integration; 2) The knowledge construction process; 3) An Equity Pedagogy dan;
4) Prejudice reduction. Secara detail bagaimana implementasi ke-empat aspek tersebut
akan dijelaskan di bawah ini:
Content integration
Prinsip content integration yang diterapkan di pesantren Darusalam ini tercermin
pada upaya untuk merangkul semua golongan, latar belakang, maupun budaya yang
berbeda. Masuknya santri dari keluarga NU, Muhammadiyah maupun HTI (Hizbuttahrir
Indonesia) atau menerima santri dari seluruh wilayah Indonesia merupakan bukti
otentik penerapan prinsip ini. Selain itu, adanya pentas seni yang menampilkan budaya-
budaya nusantara yang diselenggarakan setahun sekali. Kegiatan ini juga dilaksanakan
setiap hari Sabtu sebelum jam pelajaran dimulai, tujuannya adalah mengenalkan
berbagai budaya di Indonesia dan mendidik santri untuk bersikap toleran dengan
berbagai perbedaan yang dilihatnya.
Keberadaan pesantren Darussalam yang mau menerima santri dari berbagai latar
belakang budaya (NU, Muhammadiyah, HTI), menjadi bukti nyata bahwa pesantren
Darussalam menghargai keberagaman budaya dan siap menerapkan pendidikan
multikultural. Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2007) yang mengatakan bahwa
pendidikan multikultural menghargai perbedaan dan mewadai beragam perspektif dari
berbagai kelompok kultural.
Dalam hal implementasi keilmuan, santri diajarkan materi pemikiran islam melalui
pelajaran Fiqih yang dikaitkan dengan pemahaman tentang keberagaman. Pihak
pesantren juga memberikan sanksi kepada santri yang tidak menghargai keberagaman
atau melakukan bully terhadap santri lain dari luar daerahnnya. Pendalaman keilmuan
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Page I 237
tidak hanya sekedar diperoleh dari para pengajar di dalam pesantren saja, namun pihak
pesantren sesekali menghadirkan tokoh-tokoh intelektual muslim untuk memberikan
pemahaman dan situasi terkini. Salah satu hal yang dilakukan dengan mendatangkan
Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang berbicara tentang keberagaman. Selain itu pesantren
juga mendatangkan turis asing untuk masuk ke pesantren. Tujuannya selain santri
belajar Bahasa Inggris juga menunjukan perbedaan yang ada.
The knowledge construction process
Prinsip ini diaplikasikan dalam bentuk diskusi-diskusi dikelas, ustadz memberikan
contoh persoalan yang muncul kemudian santri memberikan pendapatnya terkait isu
tersebut dan tugas ustadz adalah memastikan agar santri mampu berpikir secara
sistematis dalam mengkaji isu-isu yang terkait dengan kesetaraan dan keadilan sosial.
Menurut Santrock (2007) pendidikan berpusat pada isu merupakan aspek penting
dalam pendidikan multikultural. D
Melalui pengajian yang diselenggarakan secara rutin setiap malam. Pengajian ini
memang tidak secara spesifik langsung merujuk pada topik tentang persoalan intoleran
namun para pengasuh pesantren lebih mengarahkan pada ajaran tentang kebaikan
berkaitan dengan kehidupan sosial. Para kyai ataupun ustadz selalu berpegang pada
ayat Al-Qur’an untuk mengajak orang masuk islam dengan cara yang bijaksana dan tutur
kata yang baik. Jika memang perlu membantah mereka maka bantahlah dengan cara
yang baik dan jangan kasar.
Pada saat di kelas para kyai dan ustadz melakukan seleksi terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an yang akan diajarkan. Di kelas 7 dan 8 diajarkan ayat-ayat tentang akhlaq. Siswa di
tingkat Aliyah/SMA diarahkan pada ayat-ayat tentang dakwah dan ayat-ayat tentang
persoalan pernikahan. Setiap hari pengasuh pesantren menguji hafalan sekaligus
pemahaman santri terkait ayat-ayat yang telah diberikan. Mengenai pembelajaran
tentang jihad, pengasuh pesantren telah memilih ayat-ayat anjuran jihad yang bisa
dipahami oleh santri. Ayat-ayat jihat ini dipilih berdasarkan kebutuhan siswa untuk
menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Ayat-ayat jihat yang dipilih adalah ayat-ayat
jihat yang mengajarkan jihad dengan cara yang lunak dan baik.
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 238
An Equity Pedagogy
Prinsip pembelajaran yang diterapkan oleh pesantren Darusalam mendorong
santri untuk mendapatkan pengalaman yang sesungguhnya. Contoh konkrit dari hal
tersebut seperti mendatangkan turis asing untuk menunjang pembelajaran Bahasa
asing, mendatangkan penceramah dari luar pesantren, setiap minggu santri diajak jalan-
jalan di alun-alun kota atau tempat lainnya untuk berinteraksi dengan masyarakat, siswa
juga diberikan tugas mencatat pengalamanya ketika berinteraksi dengan masyarakat
non muslim, Keterlibatan masyarakat dalam proses pebelajaran semakin memperkaya
pemahaman santri untuk memahami konsep kebhinekaan. Aktivitas-aktivitas di
pesantren seperti Khotmil Qur’an bersama di masjid, kajian Hadist, kitap kuning, acara
kebahasaan, refresing, dan bertemu masyarakat di luar pesantren.
Prejudice reduction
Prinsip menghindarkan dari prasangka-prasangka setidaknya telah dilakukan
melalui penegakan aturan di pesantren terhadap santri yang tidak bersikap toleran.
Bentuk hukuman seperti berlari keliling lapangan, membersihkan kamar mandi atau
membersihkan asrama. Hukuman ini menurut santri juga bervariasi tergantung dari
berat ringannya kesalahan yang dilakukan. Untuk menghindari prasangka antar santri,
pesantren mengharuskan kepada seluruh santri untuk mengikuti berbagai agenda
kegiatan. Salah satu kegiatan rutin seperti upacara bendera, kumpul dengan wali kelas,
kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan peringatan hari besar keagamaan dan kenegaraan.
Praktek pembelajaran multikultural tidak terlepas dari konten yang diajarkan
kepada santri. Melalui konten-konten pembelajaran yang mengarah pada prinsip-prinsip
hidup serta dikuatkan dengan dalil-dalil agama akan mempermudah transformasi
konsep multikultural. Secara garis besar konsep multikultural haruslah memuat
pemahaman bahwa; (1). Masyarakat adalah kelompok yang dinamis dan selalu
berkembang, individu butuh masyarakat untuk mempertahankan hidup dan mencapai
tujuan hidupnya. (2). Masyarakat memiliki ketergantungan pada setiap upaya individu
untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. (3). Individu memiliki system nilai yang
menata hubungannya satu dengan yang lain sehingga individu mampu menyelesaikan
tantangan social. (4). Setiap masyarakat bertanggung jawab terhadap pola
pembentukan tingkah laku individu dan komunitasnya. (5). Pertumbuhan dan
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Page I 239
perkembangan individu dalam masyarakatnya adalah untuk memiliki tanggung jawab
dalam berperilaku (Mahfud, 2009).
Pesantren Darussalam tidak hanya memberikan pendidikan multikultural dalam
proses kegiatan belajar mengajar, lebih dari itu pesantren Darussalam berupaya
menjadikan pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral dalam kehidupan
santri. Upaya pesantren dalam hal ini dilakukan dengan mewajibkan pada santri untuk
belajar dan menghargai budaya lain, memberikan sanksi pada santri yang melakukan
tindakan intoleran atau diskriminatif dan memberikan tugas pada santri untuk
berinteraksi dengan masyarakat di luar pesantren (baik muslim maupun non muslim).
Selain itu Kyai dan Ustadz dalam kehidupan sehari-hari selalu memberikan contoh-
contoh pendapat dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan
(lebih jelas baca tabel 2).
Upaya yang dilakukan pesantren Darussalam ini sesuai dengan pendapat
Santrock (2007), yang mengatakan bahwa pendidikan multikultural harus direfleksikan
dimana saja termasuk di majalah dinding sekolah, di ruang makan dan di pertemuan-
pertemuan. Selain itu pendidikan multikultural juga dapat dilakukan dengan
mengajarkan pada murid untuk berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang
budaya.
Dampak pembelajaran multikultural
Radikalisme beragama didasari oleh kepentingan sekelompok orang untuk
mengembalikan ajaran agama yang dianggapnya benar pada seluruh sendi-sendi
kehidupan. Kelompok ini juga melihat bahwa saat ini pola kehidupan yang ada sudah
jauh menyimpang dari kebenaran yang sesungguhnya. Disisi yang lain keinginan untuk
menggubah kehidupan masyarakat dihalangi oleh kultur maupun kebijakan pemerintah
sehingga perlu dilakukan tindakan-tindakan yang menjurus pada aksi kekerasan. Aksi
radikalisme inipun pada akhirnya menganggap umat lain yang tidak sejalan dengan
keinginanya dianggap sebagai musuh.
Kelompok-kelompok radikalisme dalam proses menguatkan jaringan dan
eksistensinya melakukan rekrutmen melalui doktrin-doktrin kitap suci. Doktrin ini
diarahkan untuk merubah pola keyakinan, sehingga orang-orang atau simpatisan ini
mudah diarahkan melakukan aksi radikal seperti penembakan maupun bom bunuh diri.
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 240
Santri merupakan subjek yang tampaknya mudah untuk didoktrinasi, ini disebabkan
santri mengalami situasi yang kurang matang secara psikologis. Santri masih belum
mampu membedakan infomasi-infomasi tertentu serta ada kecenderungan remaja
terobsesi untuk melawan suatu ketidakadilan. Berlimpahnya informasi melalui media
sosial merupakan media yang efektif untuk menyampaikan ajaran-ajaran radikal pada
santri. Oleh karena itu, santri sangat rentan dirasuki ajaran-ajaran ekstrim yang
mengarakan pada tindakan radikal.
Konsep multikultural yang menjadi basis pengajaran di pesantren Darusallam
merupakan salah satu solusi yang bisa digunakan menangkal isu radikalisme. Kesadaran
santri akan keberagaman dan perbedaan haruslah dibangun secara massif. Pergeseran
konsep pikir yang dialami oleh santri harus diarahkan pada hal-hal yang positif. Santri
diproteksi pemahamannya dari doktrin-doktrin yang radikal dan tidak bertanggung
jawab. Melalui cara inilah santri dapat dibebaskan dari pemahaman yang dangkal
tentang konsep jihad.
Kyai, ustad, maupun guru merupakan ujung tombak bagi terintegrasinya nilai-
nilai keberagaman yang akan diinternalisasi oleh santri. Penjelasan konsep yang
sederhana, sesuai batas kemampuan pemahaman santri dan upaya membuka
paradigma berpikir kebhinekaan harus terus dilakukan. Pemilihan ayat-ayat dengan
makna jihad yang sesuai batas telaah santri akan memperkecil peluang kesalah pahaman
pemaknaan jihad yang sesungguhnya. Kemampuan yang terbatas dari para santri
janganlah kemudian menjadi celah masuknya doktrin ideology yang bertentangan
dengan kebhinekaan.
Santri pesantren Darussalam menanggapi bahwa aksi-aksi terorisme merupakan
bentuk jihad yang salah. Bunuh diri adalah perbuatan yang melanggar ajaran agama
apalagi orang harus membunuh orang lain yang tidak bersalah. Santri menilai bahwa
Indonesia memberikan kebebasan dan perlindungan terhadap setiap umat beragama.
Masing-masing agama harus memiliki sikap saling menghargai sesame pemeluk agama.
Menghancurkan tempat-tempat ibadah adalah perbuatan yang tidak perlu dan merusak
kerukunan antar umat Bergama sehingga hal tersebut tidak patut dilakukan. Para Santri
di pesantren Darusallam menyatakan ketidaksetujuannya dengan pendirian negara
Islam. Mereka menganggap dengan berdirinya negara islam akan menghilangkan
kebinekaan yang sebenarnya menjadi ciri khas negara Indonesia. Keinginan mendirikan
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Page I 241
negara islam maupun perbuatan-perbuatan jihat melalui bom bunuh diri tidak perlu
didukung dan harus dihentikan.
Simpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini pesantren Darussalam Sengon Jombang telah
menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran multikultural. Praktek pembelajaran ini
ditransformasikan oleh ustadz maupun pengasuh pesantren melalui aktivitas-aktivitas
di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Meskipun pada dasarnya pesantren
Darussalam belum memiliki kurikulum yang bernuansa multikultural tetapi kegiatan
belajar dan mengajar santri atau siswa telah sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran
multikultural. Ustadz dan pimpinan pesantren membatasi ayat-ayat Al Qur’an yang wajib
diajarkan kepada santri terutama yang terkait dengan jihat. Pimpinan pesantren telah
memilih ayat-ayat yang disesuaikan dengan pemahaman santri, ayat-ayat ini lebih
mendorong santri untuk memahami makna jihat dalam belajar atau menuntut ilmu.
Selain itu pada kelas-kelas tertentu pimpinan pesantren mengajarkan santri tentang
ayat-ayat yang terkait dengan pernikahan. Pimpinan pesantren mengajarkan langsung
ayat-ayat yang wajib diketahui oleh santri. Pemahaman dan hafalan dari santri selalu
dinilai dengan rutin untuk mematikan pemahaman dan hafalan telah dilakukan dengan
benar.
Pembelajaran multikultural yang dilakukan pesantren Darussalam Sengon
Jombang, baik melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah formal, melalui kegiatan
belajar mengajar di Madrasah Diniyah dan melalui pengajian-pengajian kitab kuning
serta melalui contoh tindakan nyata yang dilakukan oleh para guru dan Kyai. Terbukti
berhasil menumbuhkan pemahaman tentang pentingnya menghormati antara umat
beragama pada para santri maupun siswa. Para santri dan siswa tidak setuju dengan
aksi-aksi radikalisme yang menamakan agama.
Model pembelajaran yang diterapkan di pesantren Darussalam Sengon Jombang
telah terbukti berhasil memberikan pemahaman kepada santri tentang pentingnya
toleransi antar umat beragama. Disarankan agar pesantren yang ada di Indonesia
melakukan proses pembelajaran multikultural yang sama. Hal ini penting dilakukan
sebagai upaya untuk mencegah radikalisme di kalangan remaja.
Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana Volume 7, No. 2, Desember 2018
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 242
Referensi
Aly, Abdul, (2011). Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Banks A. James. (1990). Teaching Strategies For The Social Studies. New York: Longman.
Cross, R. (2013). Radicalism. dalam Snow, D., della Porta, D., Klandermans, B., dan
McAdam, D. (eds.). The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Social and Political
Movements. doi: 10.1002/9781405198431.wbespm175
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia ed. III. Jakarta:
Balai Pustaka
Ancok, D. (2008). Ketidakadilan Sebagai Sumber Radikalisme dalam Agama: Suatu Analisis
Berbasis Teori Keadilan dalam Pendekatan Psikologi. Jurnal Psikologi Indonesia
2008, No. 1, 1-8, ISSN. 0853-3098
Endang Turmudi, Riza Sihbudi. (2005). Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Hanurawan, F. (2016). Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Hasyim, M., dkk (2015). Diskursus Deradikalisasi Agama: Pola Resistensi Pesantren
terhadap Gerakan Radikal. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. UIN Wali Songo
Mahfud, C. (2004). Menggagas Pendidikan Multikultural. Surabaya: Radar Surabaya 4
November.
Moskalenko, S. dan McCauley, C. (2009). Measuring Political Mobilization: The Distinction
Between Activism and Radicalism. Terrorism and Political Violence. 21:2, 239-260.
doi:10.1080/09546550902765508
McCauley, C. dan Moskalenko, S. (2008). Mechanisms of Political Radicalization:
Pathways Toward Terrorism. Terrorism and Political Violence, 20:3, 415-433. doi:
10.1080/09546550802073367
Neuman, W.L. (2011). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. University of Wisconsin, Whitewater
Rahimullah, Riyad Hosain, Setephen Larmar, and Mohamad Abdalla. (2013).
„Radicalization and Terrorism: Research within the Australian Context.
International Journal of Criminologyand Sociology. Vol. 2. Hlm 180-185.
Saifuddin, (2011). Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa. Jurnal Studi Keislaman
Salehuddin, A. (2012). Understanding Religious Violence In Indonesia: Theological,
Structural and Cultural Analyses. Journal of Indonesian Islam. UIN Sunan Ampel
Surabaya
Santrock, J.W. (2007). Psikologi Pendidikan. Terjemahan. Jakarta:Putra Grafika
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
This article conceptualizes political radicalization as a dimension of increasing extremity of beliefs, feelings, and behaviors in support of intergroup conflict and violence. Across individuals, groups, and mass publics, twelve mechanisms of radicalization are distinguished. For ten of these mechanisms, radicalization occurs in a context of group identification and reaction to perceived threat to the ingroup. The variety and strength of reactive mechanisms point to the need to understand radicalization—including the extremes of terrorism—as emerging more from the dynamics of intergroup conflict than from the vicissitudes of individual psychology.
Article
Full-text available
In this paper we review and extend measures of political mobilization: the increasing extremity of beliefs, feelings, and behaviors in support of inter-group conflict. Building on previous research, we introduce the Activism and Radicalism Intention Scales (ARIS). The Activism Intention Scale assesses readiness to participate in legal and non-violent political action, whereas the Radicalism Intention Scale assesses readiness to participate in illegal or violent political action. In ad-hoc samples of U.S. and Ukrainian undergraduates, and in an Internet panel survey representative of the U.S. population, Activism and Radicalism intentions formed two correlated but distinguishable dimensions. The popular “conveyor belt” metaphor of radicalization (implying that activism leads easily to radicalism and that most radicals emerge from activism) found only mixed support in our results. Discussion suggests the potential usefulness of the ARIS for learning about how individuals move from political attitudes and beliefs to political action, including political violence and terrorism.
Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren
  • Abdul Aly
Aly, Abdul, (2011). Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teaching Strategies For The Social Studies
  • A Banks
  • James
Banks A. James. (1990). Teaching Strategies For The Social Studies. New York: Longman.
  • R Cross
Cross, R. (2013). Radicalism. dalam Snow, D., della Porta, D., Klandermans, B., dan McAdam, D. (eds.). The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Social and Political Movements. doi: 10.1002/9781405198431.wbespm175
Ketidakadilan Sebagai Sumber Radikalisme dalam Agama: Suatu Analisis Berbasis Teori Keadilan dalam Pendekatan Psikologi
  • D Ancok
Ancok, D. (2008). Ketidakadilan Sebagai Sumber Radikalisme dalam Agama: Suatu Analisis Berbasis Teori Keadilan dalam Pendekatan Psikologi. Jurnal Psikologi Indonesia 2008, No. 1, 1-8, ISSN. 0853-3098
Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
  • F Hanurawan
Hanurawan, F. (2016). Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Diskursus Deradikalisasi Agama: Pola Resistensi Pesantren terhadap Gerakan Radikal
  • M Hasyim
  • Dkk
Hasyim, M., dkk (2015). Diskursus Deradikalisasi Agama: Pola Resistensi Pesantren terhadap Gerakan Radikal. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. UIN Wali Songo Mahfud, C. (2004). Menggagas Pendidikan Multikultural. Surabaya: Radar Surabaya 4 November.
Radicalization and Terrorism: Research within the Australian Context
  • W L Neuman
Neuman, W.L. (2011). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. University of Wisconsin, Whitewater Rahimullah, Riyad Hosain, Setephen Larmar, and Mohamad Abdalla. (2013). "Radicalization and Terrorism: Research within the Australian Context. "International Journal of Criminologyand Sociology. Vol. 2. Hlm 180-185.
Understanding Religious Violence In Indonesia: Theological, Structural and Cultural Analyses
  • Saifuddin
Saifuddin, (2011). Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa. Jurnal Studi Keislaman Salehuddin, A. (2012). Understanding Religious Violence In Indonesia: Theological, Structural and Cultural Analyses. Journal of Indonesian Islam. UIN Sunan Ampel Surabaya Santrock, J.W. (2007). Psikologi Pendidikan. Terjemahan. Jakarta:Putra Grafika