ArticlePDF Available

Mempertahankan Tatanan Regional di Asia Tenggara: Keterbatasan dan Opsi Indonesia (Indonesia Foreign Policy Review Vol 5)

Authors:

Abstract

South China Sea dispute has been going on for years now and often dismissed by commoners as non-threatening subject for the time being, however the relevancy of the subject towards Indonesia’s sovereignty and ASEAN’s commitment towards regional stability cannot be outlooked. China currently undergoes the rising of its power for the last five years and more assertive than ever in exerting their influence within South East Asia. Showing dominance over lesser states is normal for a great power, however allowing another great power to partake within the conflict is another story. One can see on how the clash of two giants over a regional conflict is going to be communal problems for South East Asia states as it limits the options for states in the region in fulfilling their national interests. With that in mind, this essay is aiming to provide situational analysis towards the possible scenario that may happen once United States and China plunged into direct conflict, ASEAN countries perception and ultimately Indonesia’s option that may affect the condition of regional stability as a middle power.
0
1
2
TABEL ISI
Kajian Pertahanan dan Keamanan
Mempertahankan Tatanan Regional di Asia Tenggara: Keterbatasan dan Opsi Indonesia
Muhammad Irsyad Abrar & M. Daffa Syauqi A……………………………………………………………………4
Peran Indonesia dalam Mengimplementasikan Rencana Tindakan ASEAN untuk
Memerangi Perdagangan Manusia
Agnes Kusuma Wardani & Natasya Fila Rais ……………………………………………………………………20
Rekonfigurasi Posisi Indonesia dalam Tatanan Global Kontemporer melalui Diplomasi
Pertahanan Berdasarkan Politik Bebas Aktif
Witri D. Insani………………………………………………………………………………………………………………...34
The Critical Issue of Maritime Security in Southeast Asia: The Challenge of Indonesia’s
Maritime Axis and Its Implication towards Joint Declaration of Maritime Cooperation
Indonesia-Australia in 2017
Nurhasanah………………………………………………………………………………………………………………........50
Bridging Together: Indonesia’s Role in Combating Terrorism through International
Cooperation
Jonathan Jordan……………………………………………………………………………………………………………...64
Kajian Ekonomi Politik Internasional
Prospect for Monetary Union: 50th Anniversary to Rethink Further Regional Economic
Integration Project of ASEAN
Siti Rizqi Ashfina Rahmaddina Siregar & Winda Khaerani Ningtyas ..................................................... 75
Reflecting Upon ASEAN Economic Community: Will Indonesia Profit from ASEAN Single
Air Market?
Dillon Andoro ............................................................................................................................................................... 90
Peran ASEAN sebagai Institusi Regional dalam Konflik Dagang Komoditas Kelapa Sawit
Indonesia UE
Mabda Haerunnisa Fajrilla Sidiq & Christella Fenisianti ......................................................................... 104
Kajian Transnasional
Beyond States: Constructing a Common Southeast Asian Identity and Redefining Being
Indonesian within It
Noufal Noudy ............................................................................................................................................................. 119
Gerak Spiral Memori-Aksi Kolektif dan Peran Indonesia dalam Pembentukan
Diskursus Identitas Regional melalui Tragedi Kemanusiaan
Joshua Gerry ............................................................................................................................................................. 134
3
4
Mempertahankan Tatanan Regional di Asia Tenggara: Keterbatasan dan Opsi
Indonesia
Muhammad Irsyad Abrar & M. Daffa Syauqi A
Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT. South China Sea dispute has been going on for years now and often dismissed
by commoners as non-threatening subject for the time being, however the relevancy of the
subject towards Indonesia’s sovereignty and ASEAN’s commitment towards regional
stability cannot be outlooked. China currently undergoes the rising of its power for the last
five years and more assertive than ever in exerting their influence within South East Asia.
Showing dominance over lesser states is normal for a great power, however allowing another
great power to partake within the conflict is another story. One can see on how the clash of
two giants over a regional conflict is going to be communal problems for South East Asia
states as it limits the options for states in the region in fulfilling their national interests. With
that in mind, this essay is aiming to provide situational analysis towards the possible scenario
that may happen once United States and China plunged into direct conflict, ASEAN countries
perception and ultimately Indonesia’s option that may affect the condition of regional
stability as a middle power.
Keyword: Regional Order, Middle Power, Great Powers Rivalry
Pendahuluan
Ketika Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) didirikan pada tahun 1967, salah
satu tujuan dari institusi ini adalah menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Dalam
persepsi Indonesia, berdasarkan penjelasan Leifer (1983), perdamaian dan stabilitas dapat
dicapai dengan menciptakan sebuah tatanan regional yang bebas dari intervensi,
ketergantungan, dan persaingan great power. Pandangan ini yang mendorong Indonesia
bersikukuh untuk memasukkan klausa sifat sementara pangkalan militer asing di wilayah
negara anggota dalam dokumen pendirian ASEAN. Lebih lanjut, hal ini dituangkan dalam
pemberian alternatif terhadap konsepsi tatanan regional yang diajukan Malaysia dari
netralisasi kawasan yang bergantung pada jaminan kekuatan besar menjadi sepenuhnya
mandiri dari kekuatan ekstra regional apapun. Konsepsi Malaysia yang mendapatkan
tambahan dari Indonesia ini yang menjadi dasar bagi tatanan regional di Asia Tenggara, yaitu
Zona Damai, Bebas, dan Netral (ZOPFAN).
Peranan Indonesia sendiri tetapi tidak terbatas pada sebagai salah satu perancang
melainkan juga mencakup mempertahankan tatanan regional yang ada. Acharya (2001) dan
Suryadinata (1996) menjelaskan bahwa Indonesia dan Malaysia berusaha mencegah
perluasan konflik antara Uni Soviet dengan Cina ke kawasan melalui Doktrin Kuantan.
Dalam mengeluarkan doktrin ini, kedua inisiator ZOPFAN berusaha menghentikan
pendekatan lebih lanjut Vietnam kepada Uni Soviet karena konfliknya dengan Cina, baik atas
5
Kamboja maupun perang di antara keduanya, melalui pengakuan terhadap kepentingan
keamanan negara tersebut di Indochina. Usaha kedua negara ini tetapi terpaksa dihentikan
sebelum Doktrin Kuantan mencapai tujuannya karena penolakan Thailand yang melihat
wilayahnya dimasuki tentara Vietnam yang mengejar Khmer Merah. Dalam
perkembangannya, krisis di Kamboja dan dibawanya Asia Tenggara menjadi bagian dari
konflik dua kekuatan utama blok komunis dihentikan oleh tekanan terhadap Vietnam dan
diplomasi.
Beberapa dekade kemudian, eskalasi sengketa di Laut Cina Selatan (LCS) membuat
Indonesia sekali lagi dihadapkan pada situasi yang mengancam ZOPFAN. Tindakan sepihak
Cina di perairan yang disengketakan memaksa anggota ASEAN yang terlibat dalam sengketa
seperti Vietnam untuk melakukan pendekatan terhadap Amerika Serikat (Lind, 2017).
Pendekatan keamanan tetapi juga dilakukan Singapura yang sama sekali tidak terlibat dalam
sengketa tersebut seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina (p. 77). Di tengah situasi
ini, Indonesia berusaha menurunkan ketegangan yang ada dengan tampil sebagai penengah
potensial yang mendorong, salah satunya, pembentukan code of conduct untuk di LCS. Usaha
ini tetapi tidak menghentikan tindakan sepihak Cina lebih lanjut ataupun pendekatan sebagian
anggota ASEAN terhadap Amerika untuk mengimbangi kekuatan Cina. Lebih lanjut,
ASEAN sebagai organisasi berulang kali diperlihatkan tidak mampu untuk mengeluarkan
pernyataan dan sikap bersama mengenai situasi yang ada di Laut Cina Selatan meskipun hal
tersebut melibatkan sebagian anggotanya.
Berdasarkan kasus Krisis Kamboja dan sengketa di Laut Cina Selatan, diperlihatkan
bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan tatanan regional yang
ada. Dalam hal ini, kegagalan inisiatif yang yang dilakukannya dan ketidakmampuannya
untuk mempengaruhi negara anggota yang lain untuk mendukung atau mengikuti
tindakannya. Hal ini berkontradiksi dengan dua hal. Posisi Indonesia sebagai negara dengan
perekonomian dan populasi terbesar di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Aspirasi Indonesia untuk menjadi dan persepsi akan negara ini sebagai pemimpin, secara
informal, dari negara-negara anggota ASEAN. Terkait hal ini, Leifer (1983) menyatakan
bahwa kepemilikan kekuatan nasional oleh Indonesia tidak diikuti dengan kemampuan untuk
memproyeksikan kekuatan tersebut ke luar nusantara (p.164). Selain itu, Leifer juga
berpendapat bahwa Indonesia tidak dapat menghadapi kekuatan besar ketika mereka bersaing
dengan satu sama lain atau berusaha membentuk kawasan sesuai dengan visi mereka.
Kemampuan negara ini untuk mempertahankan tatanan regional yang dikonsepsikannya lebih
6
berdasar pada kemampuannya untuk melakukan balancing di antara kekuatan yang ada dan
karena perubahan fokus dari great power itu sendiri ke kawasan lain (p. 178).
Rumusan Masalah
Berbasis pada permasalahan dan penelitian yang sudah ada, tulisan ini akan berusaha
menjawab pertanyaan terkait peran dan keterbatasan Indonesia dalam mempertahankan
tatanan regional ZOPFAN di Asia Tenggara. Secara spesifik, apa pilihan yang dimiliki
Indonesia untuk menghadapi persaingan great power dan mempertahankan tatanan regional
ZOPFAN? Terkait pertanyaan tersebut, tulisan ini akan memaparkan dua opsi yang dimiliki
Indonesia untuk menghadapi eskalasi persaingan negara besar yang berpotensi mengancam
perdamaian dan stabilitas kawasan. Selain itu, sebelum berbicara mengenai opsi, tulisan ini
juga akan menjelaskan problematika kekuatan Indonesia dan proyeksinya ke kawasan serta
kesulitannya untuk menjembatani perbedaan kepentingan yang ada.
Kerangka Analisis
Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yang ada maka akan digunakan konsep
middle power milik Holbraad (1984) yang dikategorikan sebagai seorang realis. Dalam
tulisannya yang berjudul Middle Power in International Politics, dijelaskan bahwa terdapat
negara dengan status “kekuatan tengah” atau “kekuatan sekunder”. Negara ini, sesuai dengan
namanya, memiliki kekuatan atau pengaruh yang lebih kecil dari kekuatan besar tetapi lebih
besar dari kekuatan kecil. Kekuatan relatif ini yang pada praktiknya menentukan statusnya
sebagai kekuatan tengah dan mempengaruhi perilaku atau strateginya. Kekuatan nasional
sendiri, menurut Holbraad, dapat diukur melalui penggunaan gross national product (GNP)
sebagai indikator utama, di mana kemudian dapat diperinci dengan menggunakan indikator
seperti populasi dan kekuatan militer. Kekuatan militer sendiri tetapi tidak menjadi indikator
utama dalam mengukur kekuatan dalam tulisan Holbraad (1984, p. 79), sedangkan Kennedy
(1988, p. 254) menjelaskan bahwa basis ekonomi memiliki pengaruh pada militer suatu
negara
Perilaku dan strategi dari middle power menurut Holbraad tetapi juga dipengaruhi
konfigurasi kekuatan dalam sistem internasional maupun regional, berapa jumlah super
power/ great power, relasi di antara mereka, dan perilaku masing-masing. Dalam sistem
unipolar, Holbraad menjelaskan bahwa kekuatan tengah dapat bertindak sebagai sekutu,
partner, dan agen dari hegemon atau sebagai oposisi/ rival yang terbatas pada sebuah
kawasan. Ketika terdapat dua great power, kekuatan tengah akan memilih untuk berpihak
terhadap salah satu kekuatan besar sebagai partner dan agen atau memilih untuk netral sama
7
sekali. Middle power yang memilih untuk netral akan berusaha untuk mencegah perang di
antara kedua kekuatan besar. Dalam kasus lain kekuatan tengah akan berusaha untuk
bekerjasama dengan satu sama lain untuk menghindari dominasi great power atau
membentuk poros kekuatan ketiga. Ketika terdapat tiga atau lebih kekuatan besar, kekuatan
sekunder akan mengambil peran yang sama seperti pada konfigurasi kekuatan kedua tetapi
dengan situasi yang berbeda. Ketika kekuatan besar saling berkonflik, kekuatan tengah akan
dipaksa untuk memilih pihak dan netralitas mereka akan semakin sulit dipertahankan. Dalam
kesempatan tertentu Holbraad juga menjelaskan bahwa middle power dapat berperan sebagai
pihak, di luar kekuatan besar, yang memunculkan sebuah isu.
Di kawasan Asia Tenggara, konfigurasi kekuatan yang ada melihat keberadaan dua
great power yang melakukan proyeksi kekuatan, yaitu Amerika Serikat dan Cina. Di bawah
dua kekuatan itu, di antara negara anggota ASEAN ditambah dengan Timor Leste dan Papua
Nugini, terdapat Indonesia yang berada pada posisi middle power. Dalam sistem bipolar ini,
kedua kekuatan besar yang ada tidak memiliki hubungan yang cukup baik, dengan keduanya
melihat satu sama lain sebagai rival dan terlibat dalam konflik seperti pada kasus Laut Cina
Selatan. Di tengah situasi ini, negara-negara di kawasan mulai mengambil sisi atau
melakukan pendekatan pada salah satu pihak. Pada praktiknya, pendekatan yang dilakukan
anggota ASEAN pada salah satu great power dapat mengancam eksistensi dari tatanan
ZOPFAN ketika konflik di antara Amerika dan Cina meningkat dan berubah menjadi konflik
terbuka. Di tengah situasi ini, Indonesia memiliki opsi untuk netral dan berfokus pada
permasalahan domestik yang dimilikinya dan berusaha menjadi poros kekuatan ketiga
sendirian atau dengan kekuatan lain.
Metode Penelitian
Artikel ini merupakan penelitian dengan jenis kualitatif. Pengumpulan data akan
menggunakan studi kepustakaan/ tinjauan literatur yang mengambil data sekunder. Data yang
digunakan berkisar dari artikel jurnal, buku, laporan, dan statistik dari organisasi seperti Bank
Dunia. Data yang diambil kemudian akan dianalisis dan dimaknai dibanding
dikuantifikasikan. Data dari Bank Dunia terkait GNI dan populasi akan digunakan untuk
memperlihatkan disparitas kekuatan negara-negara di Asia Tenggara pada awal tulisan. Data
mengenai disparitas kekuatan ini kemudian akan dipakai untuk menjelaskan konfigurasi
kekuatan di kawasan, keterbatasan peran Indonesia, dan opsi yang dimiliki Indonesia untuk
mempertahankan tatanan ZOPFAN dari konflik di LCS.
8
Pembahasan
Kekuatan Indonesia Di Asia Tenggara
Ketika Indonesia merdeka pada 1945, beriringan dengan gelombang dekolonisasi, kawasan
Asia Tenggara melihat keberadaan dua poros kekuatan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur.
Konfigurasi kekuatan ini pada awal 1960-an mengalami perubahan dengan perpecahan Sino-
Soviet, poros kekuatan yang saling berhadapan di kawasan sekarang adalah Soviet, Cina, dan
Amerika. Setelah berakhirnya Perang Dingin (1949-1989) dan runtuhnya Uni Soviet dan
Blok Timur pada 1991, Asia Tenggara melihat Amerika dan Cina sebagai dua kekuatan besar
dalam sistem regional. Rusia sendiri meskipun memiliki kehadiran di Pasifik, memilih untuk
berfokus pada kawasan lain dan meninggalkan dua kekuatan tersebut untuk bersaing dengan
satu sama lain. Hal ini diperlihatkan dari fokus Rusia untuk lebih mengembangkan
infrastruktur dan proyek energi di Siberia. Selain itu, investasi dan perdagangan yang
dilakukannya di kawasan dapat dikatakan masih berada di bawah bayang-bayang Cina (Lo &
Hill, 2013).
Pada awalnya, kedua kekuatan ini tidak berada dalam sebuah rivalitas dengan
tingkatan yang ada seperti pada masa Perang Dingin antara Soviet dan Amerika. Hal ini
mulai mengalami perubahan ketika Cina menempati posisi sebagai kekuatan ekonomi
terbesar kedua dunia, menggantikan Jepang yang turun pada posisi ketiga. Muncul
pandangan dari berbagai pihak seperti Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura,
bahwa Cina dengan perkembangannya saat ini suatu hari akan mengambil posisi Amerika
(Allison, Blackwill & Wyne, 2013). Kenaikan Cina ditambah dengan klaim dan tindakan
unilateral negara tersebut di Laut Cina Selatan, menciptakan kekhawatiran dari pihak
Amerika. Dalam hal ini kemudian AS berusaha untuk mengimbangi kekuatan “penantang
baru” ini dengan memberikan fokus dan meningkatkan proyeksi kekuatannya ke Asia-Pasifik
(Rachman, 2016). Salah duanya melalui strategi kawasan Pivot to East Asia dan tantangan
terhadap klaim dan tindakan Cina di LCS. Dalam perkembangannya, kedua negara berada
dalam jalur rivalitas di mana keduanya berusaha membentuk kawasan Asia-Pasifik, termasuk
Asia Tenggara, sesuai dengan visi masing-masing.
Di antara negara-negara Asia Tenggara yang melihat rivalitas dua raksasa ini, terdapat
Indonesia. Negara yang secara ekonomi ketika dibandingkan dengan Amerika dan Cina
cukup kecil tetapi ketika dibandingkan dengan negara di kawasan melampaui cukup jauh,
seperti yang diperlihatkan pada tabel. Di samping hal tersebut, Indonesia juga memiliki
populasi dengan jumlah yang cukup signifikan, seperti yang diperlihatkan juga pada tabel, di
9
mana jauh dari Cina tetapi mendekati Amerika dan melampaui negara Asia Tenggara yang
lain. Kekuatan nasional yang dimiliki negara ini dalam konfigurasi kekuatan di kawasan
memperlihatkan statusnya sebagai middle power yang tidak berubah ketika melihat ranking
kekuatan negara di dunia yang dibuat Holbraad (1984).
Kekuatan nasional Indonesia tetapi, seperti yang dijelaskan Leifer (1983) dan
diperlihatkan dalam Doktrin Kuantan maupun LCS, tidak diiringi dengan kemampuan untuk
memproyeksikannya. Negara ini tidak mampu menghentikan Cina dalam mempengaruhi
beberapa negara anggota ASEAN untuk tidak mau menentang tindakannya di LCS secara
terang-terangan dan untuk menolak dikeluarkannya sikap bersama oleh institusi. Sebagian
besar negara anggota ASEAN berusaha untuk berhati-hati dalam bersikap mengenai konflik
di LCS. Hal ini, salah satunya, ditandai dengan kegagalan pengambilan sikap bersama terkait
Laut Cina Selatan beberapa waktu sebelum 2016, dimana Kamboja berperan dalam
menggagalkan sikap bersama ini (Connor, 2016). Beberapa tahun belakangan, Cina
meningkatkan pinjaman, investasi, dan bantuan ekonomi pada negara di berbagai kawasan,
termasuk Asia Tenggara (Wolf, Wang & Warner, 2013). Terdapat kekhawatiran bahwa
penolakan terhadap klaim Cina atau dukungan terhadap inisiatif yang menentang klaimnya
akan mengarah pada penurunan hubungan ekonomi yang dapat berdampak negatif terhadap
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (Frecklington, 2015).
Ketika mekanisme institusi asosiasi negara Asia Tenggara tidak dapat diandalkan,
negara anggota seperti Vietnam berusaha melakukan pendekatan pada Amerika untuk
mendapatkan keseimbangan kekuatan dalam melawan Cina. Indonesia tetapi sekali lagi tidak
memiliki kapabilitas untuk mencegah tren ini lebih lanjut, baik dikarenakan keengganannya
maupun karena keterbatasan proyeksi kekuatan. Sebagai salah satu penerima investasi dan
bantuan Cina, negara ini berusaha menghindar dari memberikan dukungan pada Vietnam
yang dapat memengaruhi hubungan ekonominya dengan Cina. Kemudian ketika
dibandingkan dengan Amerika, kekuatan nasional Indonesia tidak dapat menciptakan sebuah
keseimbangan di antara Vietnam dengan Cina. Sama seperti negara-negara Asia Tenggara
kebanyakan, Indonesia juga tidak memiliki keinginan untuk memperlihatkan tentangan
terbuka terhadap klaim Cina. Hal ini dilakukan meskipun klaim tersebut berpotongan dengan
sebagian kecil perairannya di wilayah Natuna. Ketidakinginan ini, salah satunya,
diperlihatkan melalui pernyataan bahwa Indonesia bukan negara pemilik klaim di Laut Cina
Selatan. Dalam hal ini, sama seperti di atas, Indonesia tidak mau menciptakan hubungan yang
buruk dengan Cina yang memiliki posisi sebagai investor terbesar ketiga di negara ini (Abrar
& Syauqi, 2017).
10
Dalam kasus proyeksi kekuatan, Indonesia tidak memiliki hal yang dibutuhkan untuk
memberikan jaminan bagi kepentingan keamanan Vietnam di LCS secara independen.
Kekuatan militer Indonesia yang dibutuhkan dalam kasus sengketa antara Vietnam dan Cina
adalah angkatan laut. Pada praktiknya tetapi AL Indonesia memiliki kekurangan meskipun
kondisi geografisnya adalah kepulauan. Hal ini diperlihatkan dalam buruknya perawatan
kapal perang negara ini, di mana terjadi berulang kali fenomena korban non-perang seperti
KRI Rencong-622 yang baru saja tenggelam beberapa waktu lalu di perairan Sorong, Papua
Barat (Kompas, 2018) atau kapal siluman KRI Klewang yang terbakar sebelum diberikan ke
angkatan laut tahun 2012 lalu (Tempo, 2012). Angkatan laut Indonesia dengan kondisi saat
ini tidak dapat dihadapkan dengan operasi jarak jauh di utara keluar dari nusantara dan
berhadapan dengan angkatan laut Cina yang terus mengalami perluasan dan modernisasi.
Keterbatasan ini membuat Indonesia perlu berpikir ulang mengenai opsi atau strategi yang
perlu diambilnya untuk tidak hanya menghentikan pendekatan Vietnam pada AS tetapi juga
konflik terbuka akibat eskalasi sengketa di Laut Cina Selatan.
Tabel 1 Data GNI dan Populasi Negara-Negara Asia Timur dan Asia Tenggara 2017
No
Negara
GNI (Dalam juta US$)
Populasi (Dalam ribu)
1
Amerika Serikat
19.607.598
325.719
2
Cina
12.206.545
1.386.395
3
Indonesia
983.430
263.991
4
Thailand
435.414
69.037
5
Filipina
377.088
104.918
6
Singapura
312.387
5.612
7
Malaysia
306.097
31.624
8
Vietnam
213.230
95.540
9
Myanmar
65.856
53.370
11
10
Kamboja
20.800
16.005
11
Papua Nugini
20.288
8.251
12
Laos
15.963
6.858
13
Brunei
12.885
428
14
Timor Leste
2.594
1.296
Sumber: Diolah dari data World Bank (2017)
OPSI PERTAMA: MEMILIH NETRAL DAN BERFOKUS PADA ISU DOMESTIK
Opsi pertama yang dimiliki Indonesia dalam menghadapi situasi yang ada adalah untuk
memilih terus netral dan berfokus pada permasalahan dalam negeri. Negara ini bisa saja
memilih untuk tidak terlibat dalam sengketa rumit yang ada di utara dan membiarkannya
selesai dengan sendirinya. Dibanding menggunakan dan menghabiskan kekuatannya untuk
permasalahan yang cukup pelik di mana setiap pihak tidak mau melakukan kompromi atau
menjaga status quo yang kurang memuaskan bagi semuanya, Indonesia dapat berfokus
menggunakan kekuatan nasionalnya untuk menyelesaikan permasalahan terkait
pembangunan dan kemiskinan. Dalam hal ini dibanding meningkatkan anggaran belanja
militer untuk memperkuat angkatan bersenjata, Indonesia dapat menggunakan pendapatan
negaranya untuk berbagai program pembangunan, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Lebih
lanjut, dengan menjadi netral, Indonesia dapat menarik investasi dan bantuan ekonomi
lanjutan dari negara seperti Cina untuk memungkinkan program-program domestik dapat
berjalan dengan baik.
Opsi Indonesia untuk netral dalam sengketa yang ada di LCS didasarkan pada fakta
bahwa, dari keseluruhan anggota ASEAN, hanya Vietnam yang memutuskan untuk
melakukan pendekatan dengan Amerika sembari memberikan tantangan terbuka secara terus
menerus pada Cina. Negara anggota lain meskipun dipengaruhi Cina memilih untuk netral
atau tidak mau terlibat tetapi tidak benar-benar berada pada posisi akan mempertahankan
klaim Cina dengan kekuatan militer. Negara-negara ini memilih untuk berdiam diri atau
mencegah pengeluaran pernyataan atau sikap bersama di dalam ASEAN yang mengecam
12
perilaku sepihak di Laut Cina Selatan dengan mengharapkan perdagangan, investasi, dan
bantuan ekonomi lebih lanjut dari Cina (Ho, 2017; Sassoon, 2017).
Keputusan untuk membiarkan Vietnam terisolasi dan terus melakukan pendekatan
keamanan dengan Amerika tetapi memiliki masalah tersendiri. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, pengaruh ekonomi Cina pada sebagian besar anggota ASEAN meninggalkan
Vietnam sebagai satu-satunya negara anggota yang memberikan tantangan terbuka terhadap
klaim negara tersebut. Isolasi dalam ASEAN dan disparitas kekuatan dengan Cina,
mengarahkan Vietnam untuk melakukan pendekatan keamanan dengan Amerika Serikat yang
kekuatannya dapat membawa keseimbangan kekuatan. Situasi ini sekali lagi mengulang
kembali pendekatan yang dilakukan Vietnam terhadap Uni Soviet saat Perang Dingin untuk
menghadapi Cina. Melalui pendekatan tersebut Vietnam telah menjadikan sengketa di LCS
sebagai bagian dari persaingan antara Cina dan Amerika dimana ada dua hal dapat terjadi.
Amerika Serikat yang menggunakan haknya dalam kebebasan bernavigasi, hal ini sudah
terjadi, dan kemungkinan Vietnam dalam bereaksi keras atas klaimnya di Kepulauan Paracel,
seperti pada abad ke-20. Hal ini dapat mempengaruhi perdamaian dan stabilitas di Asia
Tenggara ketika situasi mengalami eskalasi lebih lanjut, di mana bertolak belakang dengan
tatanan ZOPFAN Asia Tenggara yang dikonsepsikan Indonesia.
Ketika perilaku Cina tidak dapat lagi ditolerir dan Amerika dan Vietnam memutuskan
untuk bertindak maka konflik tidak akan terbatas pada ketiga negara ini. Selama beberapa
tahun terakhir AS melakukan pendekatan keamanan dengan sekutunya dan rival-rival Cina,
seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Australia, dan India, untuk membendung
negara tersebut. Terdapat potensi bahwa negara-negara ini akan dipanggil atau memutuskan
untuk berada di sisi Amerika, baik dengan terlibat di Laut Cina atau membuka front baru.
Ketika hal ini terjadi maka perang tidak akan terbatas pada perairan pesisir Cina, Asia Timur,
dataran tinggi Himalaya, atau Indocina tetapi juga sebagian besar Asia Tenggara. Pada
praktiknya, negara-negara ASEAN akan terlibat tidak langsung maupun langsung melalui
pengaktifan aliansi seperti ANZUS Treaty dan Five Power Defence Arrangement. Hal ini
sangat berlawanan dengan usaha yang dilakukan Indonesia untuk mempertahankan kawasan
Asia Tenggara bebas dan netral terhadap konflik great power dan damai/ bebas dari perang
sama sekali. Hubungan baik dan kerja sama dengan negara-negara di atas berusaha untuk
dikembangkan terus menerus di tengah konflik yang ada.
13
Membangun Poros Ketiga
Opsi kedua yang dimiliki Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan yang ada adalah
dengan memunculkan sebuah poros ketiga. Opsi ini didasarkan pada situasi di mana yang
dijelaskan Montrama dan Yani (2017) bahwa terdapat kecenderungan sebuah negara di
kawasan Asia Tenggara dalam memilih pihak dengan seperti “kompas arah”. Arah pertama
dikuasai oleh Amerika Serikat, beserta negara yang berada pada pihak yang sama dengannya,
yang menawarkan bantuan politik dan keamanan, sedangkan arah kedua dikuasai oleh Cina
yang menawarkan bantuan ekonomi. Dengan pengetahuan tersebut, seperti yang dijelaskan
sebelumnya, politik luar negeri negara-negara anggota ASEAN dapat diperkirakan sesuai
dengan kepentingan nasionalnya pada waktu yang bersangkutan.
Indonesia sendiri dalam “arah kompas” ini bukanlah pengecualian. Sebagai middle
power, Indonesia belum dapat memberikan sebuah hal yang signifikan untuk membantu
penyelesaian masalah di LCS. Konteks ini diambil dari apa yang dilihat oleh kepentingan
nasional negara ini sebagai bentuk partisipasi aktif Indonesia dalam menjaga kenetralannya di
kawasan mengingat Indonesia masih bergantung secara ekonomi terhadap Cina dan
keamanan terhadap sekutu-sekutu Amerika Serikat. Walaupun secara praktis terkesan ideal
dalam mengakomodasi perimbangan kekuatan antara Amerika Serikat dan Cina dalam dua
aspek yang berbeda, hal ini tidak mampu menjamin keberlangsungan politik luar negeri
Indonesia terhadap LCS untuk waktu yang lama mengingat eskalasi konflik memiliki potensi
yang besar untuk terjadi dan kedua great power memiliki casus belli atas satu sama lain demi
menjustifikasi aksi intervensinya di LCS.
Sayangnya, proses sekuritisasi LCS akan tetap terus berlanjut dengan ketiadaannya
sebuah kekuatan buffer atau mediator sebagai penengah antara Cina, Asia Tenggara, dan
Amerika Serikat. Indonesia maka dari itu dapat mengambil peran lebih aktif sebagai aktor
penengah utama yang mencondongkan diri sebagai aktor advokatif daripada konfrontatif.
Secara spesifik, Indonesia dapat berperan sebagai negara yang menghubungkan kepentingan-
kepentingan berbagai negara di kawasan dan dari hal tersebut dapat menumbuhkan kerja
sama. Tindakan itu tetapi dapat diberhentikan dengan mudah hanya dengan kehadiran sebuah
kekuatan yang jauh lebih besar seperti yang telah dijelaskan berulang kali di atas. Di lain
pihak, hal ini juga mengancam keberadaan Indonesia sebagai negara yang relatif netral dan
ingin mempertahankan perdamaian dan stabilitas kawasan berbasis ZOPFAN. Tentunya
konflik ini sendiri juga membuat setidaknya Indonesia bersiap untuk kehilangan bagian di
salah satu aspek ekonomi maupun keamanan secara militer. Dengan begitu, dapat ditegaskan
pula batasan tensi yang bisa didapat dari konflik ini mengingat besarnya potensi kekuatan
14
militer yang dilepaskan apabila konflik bersenjata benar-benar terjadi. Hal ini benar-benar
penting ketika dilihat dari kacamata pemerintah Indonesia yang belum memiliki kekuatan
mumpuni apabila terseret ke dalam konflik.
Keterbatasan kemampuan untuk bertindak ini yang membuat opsi poros ketiga
menarik untuk dipertimbangkan. Dalam mencapai hal tersebut, Indonesia memiliki dua
strategi. Strategi pertama melihat negara ini melakukan penguatan internal atau internal
balancing. Secara umum, dalam rangka melawan intervensi dan pengaruh kekuatan besar di
kawasan, membangun kekuatan militer maupun ekonomi serta kemampuan untuk
memproyeksikan kekuatannya ke luar kepulauan nusantara menjadi sebuah keharusan. Tanpa
melakukan hal ini Indonesia tidak dapat berharap untuk membuat negara anggota seperti
Vietnam memutuskan untuk tidak melanjutkan pendekatannya dengan Amerika Serikat dan
menjadikan sengketa dengan Cina sebagai bagian dari persaingan great power di Asia
Pasifik. Mengulang kembali situasi yang ingin dihasilkan dari penerapan Doktrin Kuantan
menjadi sebuah hal yang dapat dicapai dibanding bersaing dengan Cina untuk pengaruh atas
negara-negara di Indocina. Pada praktiknya, Indonesia tetapi lebih bersikap sebagai pemberi
jaminan solidaritas terhadap klaim dan perjuangan Vietnam melawan Cina dibanding sebagai
pemberi jaminan keamanan seperti Amerika.
Dalam melakukan hal ini maka terdapat kebutuhan untuk Indonesia mengalihkan
belanja atau doktrin militernya dari yang berbasis pada angkatan darat menjadi angkatan laut.
Selama ini belanja militer difokuskan pada angkatan darat, meninggalkan angkatan laut
dengan anggaran yang kurang memadai untuk memodernisasi dan merawat kapal perang
yang dimilikinya. Hal ini diperparah dengan keadaan dari kapal perang angkatan laut yang
sebagian besar sudah berusia tua, salah satunya disebabkan pembelian kapal perang bekas
negara lain seperti dari Jerman Timur. Program Minimum Essential Force untuk angkatan
laut yang dikenalkan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan berlaku hingga
sekarang, diproyeksikan dapat mengatasi situasi AL Indonesia. Program ini tetapi memiliki
kekurangan tersendiri yang didasarkan pada masalah anggaran yang kurang memadai bagi
pemerintah untuk memenuhi belanja militer untuk AL yang disyaratkan program MEF ini.
Dengan keterbatasan dana secara terus-menerus, pemerintah dan angkatan laut perlu
menggunakan anggaran yang ada dengan lebih bijak, baik dari masalah jenis kapal perang
dan kondisi baru atau tua saat dibeli. Di samping hal tersebut, menjadi penting bagi
pemerintah untuk terus melanjutkan program pembangunan pangkalan militer di Natuna
sebagai basis proyeksi kekuatan ke Laut Cina Selatan. Keberadaan pangkalan militer di
15
wilayah tersebut akan membantu negara ini dalam melakukan patroli dan operasi kebebasan
navigasi di LCS secara independen.
Keterbatasan dari segi ekonomi untuk membangun kekuatan dalam negeri dan
ketidakmauan untuk menghadapi Cina secara terbuka membuat opsi pertama menjadi kurang
dapat diadopsi. Hal ini mengarah pada external balancing atau mencari partner sebagai opsi
strategi kedua bagi Indonesia, di mana pendekatan dilakukan lebih pada negara-negara seperti
India dan Australia dibanding Amerika. Pendekatan keamanan yang tidak ditujukan kepada
Amerika didasarkan pada dua alasan. Pertama, mendekat pada hegemon ini tidak hanya akan
menimbulkan reaksi negatif dari Cina tetapi juga semakin menjadikan sengketa antara Cina
dengan sebagian negara anggota ASEAN atas LCS sebagai bagian dari persaingan great
power di kawasan. Kedua, meskipun hingga titik tertentu memiliki hubungan keamanan
dengan Amerika, India dan Australia tidak memiliki sikap untuk melakukan konflik dengan
Cina tanpa diprovokasi terlebih dahulu. Penolakan kedua negara tersebut untuk agresif
terhadap Cina memungkinkan Indonesia untuk membangun poros kekuatan baru bersama
Australia dan India untuk mendorong inisiatif yang dapat lebih diterima pihak-pihak yang
berkonflik di Laut Cina Selatan. Secara paralel ataupun terpisah, Indonesia dapat
memanfaatkan posisi barunya pula sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam hal ini, Indonesia dapat membawa sengketa di Laut Cina
Selatan sebagai sebuah isu keamanan yang krusial bagi forum internasional untuk ditanggapi
dan diselesaikan, atau paling tidak menjaga status quo dipertahankan sampai pada batas
waktu yang tidak ditentukan.
Dalam melakukan kedua hal tersebut Indonesia tetapi juga dihadapkan pada kesulitan
yang cukup signifikan pula. Negara ini diharuskan untuk memiliki kemampuan untuk
meyakinkan India dan Australia, serta masyarakat internasional dalam kasus DK PBB, akan
situasi krusial di LCS dan kemampuan inisiatifnya untuk menyelesaikan atau menjaga
ketegangan tetap rendah. Hal ini dilakukan di tengah kemungkinan perbedaan kepentingan,
fokus, dan persepsi di antara ketiga negara ini akan sengketa di Laut Cina Selatan. Hal yang
sama juga dihadapi Indonesia ketika memutuskan untuk membawa hal ini ke forum
internasional, di mana negara lain mungkin akan lebih reseptif terhadap isu keamanan di
wilayahnya dibanding pada Asia Tenggara. Selain itu, Cina dapat menggunakan hak vetonya
untuk menggugurkan inisiatif di DK PBB yang dianggapnya berlawanan dengan
kepentingannya di LCS.
16
Kesimpulan
Indonesia memiliki peran dalam membentuk dan mempertahankan tatanan regional Asia
Tenggara yang berbasis pada Zona Damai, Bebas, dan Netral. Usaha untuk mempertahankan
tatanan tersebut tetapi selama ini dihambat oleh keterbatasan kekuatan dan kemampuan
Indonesia untuk memproyeksikannya. Sengketa di Laut Cina Selatan menjadi kasus kedua di
mana sekali lagi persaingan great power dibawa kembali ke kawasan Asia Tenggara
semenjak ZOPFAN dikonsepsikan. Konfigurasi kekuatan yang ada di kawasan dan hubungan
kekuatan besar di dalamnya mempersulit manuver Indonesia untuk perdamaian dan stabilitas
dapat dipertahankan. Dihadapkan pada situasi ini Indonesia memiliki opsi yang terbatas.
Opsi pertama melihat Indonesia dapat memilih untuk netral dan membiarkan situasi
yang ada berkembang dengan sendirinya. Hanya Vietnam yang melakukan pendekatan
dengan AS sembari terus menantang Cina di LCS, konflik tidak akan meluas ke bagian lain
dari kawasan. Indonesia maka dari itu dapat berfokus pada pembangunan dan penyelesaian
masalah sosial seperti kemiskinan di dalam negeri. Masalah tapi timbul ketika pihak yang
berkonflik seperti Cina, Amerika, dan Vietnam tidak mau berkompromi dengan satu sama
lain. Jaringan hubungan keamanan dan dinamika Cina dengan rivalnya di Asia Selatan dan
Timur memperumit hal ini. Konflik akan meluas dan perang tidak hanya terbatas pada LCS
tetapi jalur perdagangan yang digunakan negara-negara ini yang faktanya melewati perairan
di Asia Tenggara. Hal ini menjadikan opsi ini terlalu berisiko untuk diambil Indonesia jika
ingin menjaga tatanan regional yang ada.
Opsi kedua yang ada adalah dengan membangun poros ketiga, yang berfungsi sebagai
penengah atau penekan bagi dua pihak yang bersengketa. Dalam hal tersebut, Indonesia
memiliki dua strategi untuk mencapainya. Pertama, melakukannya sendirian dengan
mengatasi kekurangan kekuatan nasionalnya dan kemampuan untuk memproyeksikannya
selama ini. Pengalaman yang ada selama bertahun-tahun tetapi memperlihatkan usaha ini
akan sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Waktu sendiri bukan
merupakan hal yang dapat dinikmati Indonesia dalam kasus sengketa LCS yang melihat
masing-masing pihak terus meningkatkan kemampuan pertahanan dan ofensifnya masing-
masing. Strategi kedua melihat Indonesia membangun poros ketiga ini dengan bantuan
middle power lain seperti India dan Australia. Kedua negara ini memperlihatkan bahwa
mereka dikhawatirkan dengan Cina mereka tidak bertindak tanpa provokasi dari negara
tersebut terlebih dahulu. Problem yang dihadapi Indonesia adalah terkait dengan
kemampuannya untuk meyakinkan kedua kekuatan tersebut, di mana hal ini lebih mudah
dibanding strategi yang satu.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, M.I., & Syauqi, M.D. (2017). Hedging sebagai Strategi Indonesia untuk Menghadapi
Klaim Cina di Laut Cina Selatan. Indonesia Foreign Policy Review, 4(3), 23-35.
Acharya, A. (2001). Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the
Problem of Regional Order. London: Routledge.
Allison, G. (2017). Destined for War: Can America and China Escape Thucydide’s Trap?.
New York: Houghton Mifflin Harcourt.
Allison, G., Blackwill, R.D. & Wyne, A. (2013). Lee Kuan Yew: The Grand Master’s
Insights on China, the United States, and the World. Cambridge: Belfer Center
Studies in International Security.
Connor, N. (2016). China claims victory as ASEAN countries issue watered down statement
on South China Sea. Retrieved from
https://www.telegraph.co.uk/news/2016/07/25/china-claims-victory-as-asean-
countries-issue-watered-down-state/.
Frecklington, C. (2015). China’s ‘new normal’ showing first signs of strain. Retrieved from
https://www.gisreportsonline.com/chinas-new-normal-showing-first-signs-of-
strain,economy,242,report.html.
Holbraad, C. (1984). Middle Power in International Politics. London: Macmillan Press.
Ho, W.F. (2017). China’s growing influence in Asean. Retrieved from
https://www.thestar.com.my/news/nation/2017/05/14/chinas-growing-influence-in-
asean-asean-members-prefer-a-nonconfrontational-approach-towards-china-o/.
Kompas. (2018). KRI Rencong-622 Terbakar dan Tenggelam, Semua Awak Selamat.
Retrieved from https://regional.kompas.com/read/2018/09/11/22364991/kri-rencong-
622-terbakar-dan-tenggelam-semua-awak-selamat.
Leifer, M. (1983). Indonesia’s Foreign Policy. London: The Royal Institute of International
Affairs.
Lind, J. (2017). Asia’s Other Revisionist Power: Why U.S. Grand Strategy Unnerves China.
Foreign Affairs, 96 (2), 74-82.
Lo, B., & Hill, F. (2013). Putin’s Pivot: Why Russia is Looking East. Retrieved from
https://www.brookings.edu/opinions/putins-pivot-why-russia-is-looking-east/.
Mehta, A. (2015). New US-Vietnam Agreement Shows Growth, Challenges. Retrieved from
https://www.defensenews.com/2015/06/01/new-us-vietnam-agreement-shows-growth-
challenges/.
Montratama, I., & Yani, Y. M. (2017). Quo Vadis Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
OEC. (2016). What does Indonesia export to China? (2016). Retrieved from
https://atlas.media.mit.edu/en/visualize/tree_map/hs92/export/idn/chn/show/2016.
Rachman, G. (2016). Easternisation: War and Peace in the Asian Century. London, Vintage.
Sassoon, A.M. (2017). Asean treads lightly on South China Sea, as observers point to
Cambodia’s support for Beijing. Retrieved from
https://www.phnompenhpost.com/national/asean-treads-lightly-south-china-sea-
observers-point-cambodias-support-beijing.
Suryadinata, L. (1996). Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto: Aspiring to International
Leadership. Singapore: Times Academic Press.
Tweed, D., & Leung, A. (2017). How China’s Growing Naval Fleet Is Shaping Global
Politics. Retrieved from https://www.bloomberg.com/news/articles/2017-05-31/china-
s-growing-naval-might-challenges-u-s-supremacy-in-asia.
Wolf, Jr., C., Wang, X., & Warner, E. (2013). China’s Foreign Aid and Government-
Sponsored Investment Activities: Scale, Content, Destinations, and Implications.
Santa Monica: RAND Corporation.
18
World Bank. (2017). GDP (current US$). Retrieved from
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD.
World Bank. (2017). Population, total. Retrieved from
https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL.
19
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
In the pinnacle of the recent conflict in South China Sea, a constant terror of being plunged into a military crisis between Southeast Asian states and China never stops since the last decades. The quarrelling states indeed have many proofs and act as a justified claimant over the territory usage in the disputed territories, therefore creating more problematical situation than it seems to be. Indonesia, as one of the many countries that has interests in South China Sea, proceeds to apply hedging political move against China’s aggression in the area, it is clear that Indonesia wants to keep the status quo over the disputed areas while being able to keep the relationships with China. Not to mention the presence of non-Asian states that are taking parts in the crisis such as United States of America. This essay would like to argue on the compactness of the hedging policy that contain the future of the crisis, the result of Indonesia’s foreign policy that took part in the latter, and adding two possible foreign policies which fully given to the Indonesian government as their own initiative to be added in the national decision of the country.
​ Hedging ​ sebagai Strategi Indonesia untuk Menghadapi
  • M I Abrar
  • M D Syauqi
Abrar, M.I., & Syauqi, M.D. (2017). ​ Hedging ​ sebagai Strategi Indonesia untuk Menghadapi
Destined for War: Can America and China Escape Thucydide's Trap?
  • G Allison
Allison, G. (2017). Destined for War: Can America and China Escape Thucydide's Trap?. New York: Houghton Mifflin Harcourt.
China claims victory as ASEAN countries issue watered down statement on South China Sea
  • N Connor
Connor, N. (2016). China claims victory as ASEAN countries issue watered down statement on South China Sea. Retrieved from https://www.telegraph.co.uk/news/2016/07/25/china-claims-victory-as-aseancountries-issue-watered-down-state/.