Available via license: CC BY-NC 4.0
Content may be subject to copyright.
29
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY
Mengagas Teologi Sosial dalam Konteks Pluralisme
dan Multikulturalisme
(Perspektif Pemikiran Teologi Fethullah Gulen)
Muhammad Said
Peneliti Pusat Studi Islam Asia Tenggara
Saidfil2@gmail.com
Abstract This article elaborate about the neccesity of renewal Islamic theology in the context of
pluralism and multiculturalism. One of contemporary Muslim schoolars, Fethullah Gulen, could be
considered among the most influential Muslim theologians of our time. His work focus on
redefining the nature of Islamic discourse in the contemporary world by doing interreligious and
intercultural dialogue. Today, we need to shift our paradigm from classical kalam which
dogmatic, abstract, and exclusive to more practical theology based on life and contemporary
needs, which is called “social theology”. Gulen’s theological discourse distinguished for his support
of democracy, humanisme, openness to globalization, progressiveness in integrating tradition
with modernity, and to make sense of pluralistic-piety.
Keyword: Kalam, Social-Theology, Pluralitic-Piety, Multiculturalisme
Abstrak. Artikel ini menguraikan tentang necseity pembaharuan teologi Islam dalam konteks
pluralisme dan multikulturalisme. Salah satu murid sekolah Muslim kontemporer, Fethullah
Gulen, dapat dianggap sebagai salah satu teolog Muslim paling berpengaruh di zaman kita.
Karyanya fokus pada mendefinisikan kembali sifat wacana Islam di dunia kontemporer dengan
melakukan dialog antaragama dan antarbudaya. Saat ini, kita perlu menggeser paradigma kita
dari kalam klasik yang dogmatis, abstrak, dan eksklusif ke teologi yang lebih praktis
berdasarkan pada kehidupan dan kebutuhan kontemporer, yang disebut "teologi sosial".
Wacana teologis Gulen dibedakan atas dukungannya terhadap demokrasi, humanisme,
keterbukaan terhadap globalisasi, progresifitas dalam mengintegrasikan tradisi dengan
modernitas, dan untuk memaknai kesalehan pluralistik.
Kata kunci: Kalam, Teologi Sosial, Pluralitic-Piety, Multikulturalisme
Pendahuluan
Globalisasi sebagai zaman yang tidak
bisa dihindari
1
, telah banyak merubah
1
Globalisasi di bidang pengetahuan,
kekuasaan dan teknologi senantiasa diiringi oleh
peluang munculnya konflik antar budaya dan
peradaban. globalisasi mengacu pada perkembangan
pesat dalam bidang teknologi komunikasi, informasi
dan transportasi, yang telah menciptakan bagian-
bagian terpencil dunia dan peristiwa-peristiwa
berskala lokal mudah diakses oleh segenap warga
dunia. Maka dengan keterbukaan tersebut sangat
memungkinkan terciptanya benturan antar budaya
dan peradaban. Giddens menjelaskan, bahwa
globalisasi sangat dekat hubunganya dengan risiko,
dan globalisasi merupakan dunia yang tak
terkendali. meskipun demikian, Giddens tidak
30
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
struktur dan sistem sosial di tengah
masyarakat. Pluralitas dan multikulturalitas
menjadi semakin kontras dalam berbagai
aspek kehidupan. Kondisi ini jika tidak
dikelola dengan baik, akan sangat rentan
memunculkan konflik, dan sekaligus
merupakan ancaman bagi integrasi sosial
sebuah bangsa. Struktur masyarakat yang
hiper-plural dewasa ini, seakan-akan
semakin menguatkan ramalan Samuel
huntington, tentang kemungkinan
terjadinya “clash of civilization.”
Secara umum, ada tiga bentuk
keragaman dalam masyarakat modern.
Pertama, keragaman subkultur;
kearagaman ini ditandai dengan munculnya
subkultur-subkultur baru diluar kultur
dominan. Kedua, keragaman persfektif;
keragaman ini muncul dari anggota
masyarakat yang kritis terhadap nilai-nilai
dominan (Grand narasi) yang dianggap
tidak ideal dan harus dievaluasi untuk
memperbaiki keadaan, hal ini misalnya
muncul gerakan feminist dalam dunia
Islam, sebagai kritik terhadap nila-nilai
normatif yang patriarkal. Ketiga, keragaman
komunal; keragaman ini muncul bila
terdapat anggota-anggota masyarakat yang
hidup secara berkelompok, terorganisir
dengan baik, memiliki sistem dan norma
hidup yang berbeda dari masyarakat pada
umumnya. Misalnya munculnya gerakan-
gerakan keagamaan baru.
2
pesimis terhadap kondisi dunia yang tak terkendali,
ia masih menaruh harapan pada demokrasi untuk
menjembatani berbagai persoalan yang muncul di
tengah arus globalisasi dan multukulturalitas, lihat
Athony Giddens, The consequences of modernity
(Cambridge : Polity Press, 1990) hlm. 64, lihat
George Ritzer terj. Saut pasaribu dkk, Teori Sosiologi
; Dari Sosilogi klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Posmodern ( Yogyakarta, Pustaka pelajar,2012 ) hlm.
979
2
Bikku Parekh dalam Lucia Ratih Kusuma
Dewi“ kembalinya Subyek : sosiologi memaknai
kembali multkulturalisme” jurnall sosiologi
masyarakat. hlm.74
Dalam konteks Indonesia, problem
paling akut dalam soal pluralisme dan
multikulturalisme adalah konflik intra dan
antar ummat beragama. Hal ini tanpa
bermaksud meminggirkan problem-
problem lain, seperti konflik antar etnis,
kekerasan gender dan marginalisasi atas
kelompok yang memiliki “orientasi seksual
berbeda”- LGBTQ- di ruang Publik. Menurut
catatan nasional kompas, Identitas
keberagaman di Indonesia terus diuji
dengan beragam tindakan diskriminasi.
Selama 14 tahun pasca-reformasi,
setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan
diskriminasi yang terjadi di Indonesia.
Yayasan Denny JA mencatat, dari jumlah itu
kekerasan yang palin banyak adalah yang
disebakan oleh latabelakang agama atau
paham kegamaan, yakni dengan angka
sebanyak 65 persen. Sisanya, secara
berturut-turut adalah kekerasan etnis (20
persen), kekerasan jender (15 persen), dan
kekerasan orientasi seksual (5 persen).
3
Berdasarkan catatan di atas, jelas
bahwa rating tertinggi sebagai penyebab
munculnya kekerasan adalah agama. Tentu
hal ini sangat ironis, agama yang sejatinya
mengajarkan cinta dan kasih, menjanjikan
kedamaian dan keselamatan, justru menjadi
ancaman dan malapetaka bagi manusia.
untuk memahami kenapa hal itu bisa
terjadi, sepertinya menarik mengutip
pendapat Charles Kimball, menurutnya, ada
lima hal yang membuat agama menjadi
korup dan busuk; Pertama,truth claim;
sikap ini muncul dari pemahaman rigid atas
kitab suci dan boleh jadi kitab suci
disalahgunakan ademi hasrat kuasa dan
kepentingan. akibatnya pemeluk agama
bersikap antipati terhadap eksitensi
pemeluk agama lain. Kedua, “fanatik buta”
kepada pemimpin agama. ketiga,
3
http://nasional.kompas.com/read/2012/1
2/23/15154962/Lima.Kasus.Diskriminasi.Terburuk.
Pascareformasi. Diakses 26-06-2015.
31
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
romantisme pemeluk agama atas zaman
ideal masa lampau, kemudian memaksakan
kehendak untuk merealisasikanya kembali
di masa sekarang. Keempat, Pelembagaan
agama dan penciptaan kuasa, seperti telah
terjadi dalam gereja katolik, bahwa gereja
adalah pemegang kunci “pintu
keselamatan”. Kelima, ketika genderang
perang suci (red-jihad) mulai ditabuhkan.
4
Hal-hal yang dipaparkan dia atas oleh
Kimball memiliki relasi atau berkait-
kelindan dengan persoalan konsep dan
pemahaman teologi. Dalam dunia Islam,
teologi identik dengan ilmu kalam. Ilmu
kalam adalah ilmu yang membahas dasar-
dasar Akidah (beliefe) terutama terma-
terma ketuhanan dan ekskatologis. Teologi
sebagai The intellectual expression of
religion bersifat dogmatis dan abstrak.
selain itu, konsep teologi Islam klasik
bersifat sektarian dan cenderung bersifat
eksklusif. Hal itu dapat dilihat pada fase
awal sejarah kemunculanya,
dilatarbelakangi oleh konflik politik
kemudian menjadi perdebatan wacana
teologis yang sangat agresif, bahkan hingga
memunculkan korban jiwa. Beberapa
tragedi dalam narasi sejarah Islam,
menceritakan bahwa pemahaman teologi
seringkali diselingkuhkan dengan
kekuasaan, kemudian melahirkan “anak
haram” dalam wujud “tirani” atas kelompok
lain, sesama Islam, pun atas kelompok non-
Muslim.
Paper ini mengasumsikan bahwa krisis
multikulturalisme, yang memunculkan
konflik dan kekerasan disebabkan oleh
multi-faktor; agama, politik, sosial,
ekonomi, etnik dan budaya. Namun, penulis
tidak hendak mengambil seluruh faktor
tersebut untuk dibahas dalam paper ini.
penulis hanya akan m embahas faktor
4
Charles kimball, When Religion Become Evil
terj. Nurhadi dan Izzudin Wasil (Bandung : Mizan,
2013) hlm. XIV-XXI
agama (teologi-red) sebagai faktor
dominan. Konflik yang berakar pada
persoalan teologi-dalam hal ini teologi
Islam- disebakan oleh pemahaman yang
literalis-dogmatis, eksklusif-spekulatif, dan
agresif (radikal). tidak bisa dinafikan bahwa
corak kalam klasik memang masih mengisi
nalar teologis sebagian ummat Islam
dewasa ini. Hal itu bisa dilihat dari sikap-
sikap reaksioner dan radikal dari kalangan
tertentu dalam merespon persoalan
multikultural. dari itu, penulis dalam paper
ini memfokuskan pada pemikiran
kosmopolit Fethullah Gulen, seperti dialog
antar agama, dan antar peradaban. Selain
itu, ia juga melakukan upaya revitalisasi
nilai-nilai etik religius universal ke dalam
konteks kehidupan modern-multikultural,
sehingga Islam dan nilai-nilai modernitas
menjadi kompatibel. Pemikiran-pemikiran
Fethullah Gulen itu kemudian penulis sebut
sebagai “teologi sosial”, dalam pengertian
bahwa pemikiran-pemikiranya merupakan
pandangan dunianya yang terkonstruk dari
pemahamanya tentang agama (teologis)
dan dialektika kehidupan sosial. Paper ini
akan akan membahas rethinking kalam
dengan melacak kembali genealoginya,
kritik atas paradigma kalam klasik,
menjelakan urgenya paradigma teologi
sosial sebagi pardigm shift dalam berteologi
dan membahas diskursus pemikiran teologi
Fethullah Gulen yang meliputi; Tauhid
berdasarkan cinta dan humanisme, Nabi
Muhammad: Inspirator sense of
multiculturalism, Hizmet : aktivisme sosial
untuk kemanusiaan.
A. Sekilas tentang Fethullah Gulen
Fethullah Gulen adalah seorang tokoh
Muslim kontemporer. lahir di Erzurum pada
tahun 1941 di daerah bagian timur Turkey.
5
5
Fethullah Gulen,Toward Global Civilization
of Love and Tolerance “( New jersey :The Light,
2004). hlm. xi
32
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
ia seorang pemikir, penulis prolifik dan juga
seorang sastrawan. Gulen tumbuh dalam
keluarga yang religius. Ayahnya Ramiz
Afandi dikenal sebagai Ulama yang santun.
Ibunya Rafi’ah Hanim dikenal sebagai
wanita sholehah. Pada masa anak-anak, ia
belajar ilmu agama di surau-surau.
Diantara guru-gurunya Usman Bektasy
seorang Faqih terkenal pada masa itu.
Selain belajar ilmu agama Gulen juga belajar
ilmu sosial, ilmu Alam dan Filsafat.
Perjalanan pemikiran banyak dipengaruhi
oleh beberapa “sufi master”. Diantara para
Sufi yang mempengaruhi pemikiranya
adalah Ibnu Araby, Jalaluddin Rumi dan
Said Nursi. Nama terakhir adalah sosok
yang paling berpengaruh bagi Gulen lewat
karyanya Risale al-Nur.
Pada tahun 1958, ia mendapatkan nilai
Ujian execellent, dalam seleksi muballigh. Ia
bahkan mendapat penghargaan “a state
preacher’s license”. kemudian a ditugaskan
di Izmir, sebuah daerah terbesar ketiga di
daratan turki. Dari sini, Gulen memulai
mengembangkan dan menyebarkan ide-
idenya pada khlayak. Dalam berbagai
kesempatan, ceramah-ceramahnya selalu
diunukan kepada para generasi muda agar
peka terhadap permasalahan-permasalahan
sosial. ia juga memberikan pencerahan pada
generasi muda akan pentingya
mensinergikan antara kecerdasan
intelektual, kearifan spiritualitas dan aksi
nyata untuk kemanusiaan.
6
Sebagai penceramah, Gulen
menyampaikan ide-idenya tidak hanya di
ruang masjid saja, namun ia juga aktif
berbicara dalam seminar-seminar,
pelatihan-pelatihan, bahkan berdiskusi di
warung kopi sekalipun. semua itu dilakukan
untuk menyebarkan ide-ide perdamain dan
menciptakan kehidupan dunia yang
harmonis.
6
Fethullah Gulen, Toward Global..., hlm xi
Kesarjanaan Gulen adalah di bidang
pemikiran Islam, terutama tasawuf dan
dialog interreligious and Cultural. diantara
karya Gulen yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa inggris adalah ; Prophet
Muhammad; aspect of his life, Questions and
Answer about faith,pearls of wisdom,
porphet Muhammad as Comander, the
esential of islamic faith, toward the lost
paradise, key conceptin practice of sufism
dan banyak lagi yang sudah di terjemahkan
ke dalam berbagai bahasa seperti, german,
albania, jepang dan Indonesia.
Gulen merupakan aktifis Interfaith
dialogue dan Intercultural dialogue. Ia
menekakan pentingnya mengembangakan
dialog lintas agama, suku, dan budaya. Pada
tahun 1999 ia mempresentasikan papernya
sebagai perwakilan agama-agama dunia di
cafe town dengan judul “ The Neccessity of
Interfaith Dialogue”
7
.Dalam pidato
tersebut, ia menegaskan bahwa dialog
merupakan sebuah keharusan, bagi tokoh
agama, tokoh politik dan para pengampu
kebijakan.
Sebagai seorang publik figur, Gulen
memiliki banyak pengikut. Ide-ide besar
Gulen tentang spritualitas dan ajaran
tentang “kepedulian terhadap sesama”
(Hizmet), diejawantahkan oleh para
pengikutnya ke dalam bentuk aktivisme
sosial. para pengikut Gulen mengagas Gulen
Movement; semacam gerakan civil society
yang fokus pada program-program
kemanusiaan. Salah satu agenda gerakan
tersebut adalah upaya mensejahterakan
masyarakat, baik di dalam maupun di luar
Turki. Gerakan ini mendirikan sekolah-
sekolah dan institusi sosial lainya seperti
rumah sakit, pusat kursus dan lain-lain.
Pendanaan gerakan ini disupport oleh para
pengusaha atau orang-orang kaya yang
dermawan. Untuk lembaga pendidikan,
7
Fethullah Gulen, Toward...,hlm xi
33
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
guru-guru yang mengajar juga orang-orang
yang memiliki semangat voluntarsime.
Hingga saat ini, Sekolah-sekolah Gulen telah
tersebar ke berbagai belahan dunia. Mulai
dari Turki bagian Tenggara, Asia tengah,
Asia Timur dan Tenggara, Eropa dan
Amerika.
B. Genealogi Kalam : Persfektif sosio-
politik
Ketika gerak laju zaman terus
mengalir, tatanan dan struktur kehidupan
dunia dalam berbagai aspek mengalami
perubahan. di situlah kemudian konsep-
konsep kalam klasik yang bersifat eksklusif
dan abstract harus digeser menjadi teologi
yang membumi dan memiliki kontribusi
dalam kehidupan sosial-kontemporer.
rethinking kalam dalam hal ini menjadi
urgen. Dan hal itu harus dimulai dari
pembacaan kembali sejarah Islam. Karna
lewat sejarah, kita bisa melacak genealogi
dan konteks perdebatan teologis pada fase-
fase awal. Langkah ini merupakan ikhtiar
untuk melacak bagaimana “kalam” muncul
dalam narasi sejarah, dengan mencermati
konteks sosio-politik saat itu. Sejarah
sebagai sebuah kronologi, merupakan
rentetan kejadian yang terjadi dalam suatu
fase tertentu yang tidak selalu objektif,
karna acapkali dikonstruk oleh para
penguasa.
Menurut Dawam Raharjo, sejarah
adalah cabang ilmu sosial yang sangat dekat
dengan politik, Persepsi ini terbentuk
berdasarkan bahwa narasi-narasi sejarah
yang ditemukan selalu berbicara tentang
sejarah raja-raja (penguasa), sejarah
timbul-tenggelamnya kerajaan, kejayaan
dan keruntuhan suatu dinasti dan sejarah
bangun dan runtuhnya rezim-rezim politik.
8
8
Dawam Rahardjo, Analisis Transformasi
Masyarakat, dalam Kuntowijoyo “Paradigma Islam :
Interpretasi untuk aksi” (Bandung : Mizan Pustaka,
2008) hlm.17
Demikian pula sejarah munculnya kalam,
yang diawali oleh proses perseteruan
politik. Sebagaimana pendapat Harun
Nasution, bahwa latar belakang munculnya
“ilmu kalam” dilatarbelakangi oleh
perseteruan politik (khilafah), kemudian
bergerser kepada isu-isu teologis.
9
Berbeda dengan Harun Nasution,
Abdullah Saeed berpendapat bahwa
problem-problem teologis dikalangan
ummat Islam sudah berlangsung sejak
zaman Rasul. Suatu Hadis yang
menceritakan bahwa ada sekolompok
sahabat sedang berbincang-bincang tentang
ketentuan (taqdir) Tuhan atas sebuah
kejadian, kemudian, konon Nabi melarang
mereka untuk terlalu banyak membahas
soal tersebut. Bahkan nabi pun melarang
para sahabat untuk berdebat tentang
hakikat Tuhan.
10
Pendapat yang dikemukan
Abdulah Saeed memang benar, tetapi harus
dicermati bahwa pertanyaan-pertanyaan
sahabat seputar keesaan Tuhan, sifat-
sifatNya, hari kiamat dan lain-lain, hanya
sebatas diskusi biasa yang tidak
memunculkan perpecahan dan aliran-aliran
kalam pada saat itu.
Ketika nabi wafat pada tahun 632 M,
daerah kekuasaan Madinah padasaat itu
meliputi serikat seluruh suku-suku yang
ada di semenanjung Arab, termasuk
Makkah.
11
Maka Islam saat itu selain
sebagai agama, juga menjadi sistem
politik.
12
Dengan demikian, secara otomatis,
Nabi Mumamad menjadi rasul dan
pemimpin negara. Oleh karena itu, wafatnya
9
Harun Nasution, Teologi Islam: aliran-
aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, (Jakarta :
UI Press : 2012) hlm.3
10
Abdullah Saeed, Islamic Thought: an
Introduction, (New York : Rouledge, 2006) hlm. 61
11
W.M. Watt, Muhammad Prophet and
Statesman, (Oxford : University Press, 1961) hlm.
222
12
Lihat, Shorter Encyclopedia of Islam,
(Leiden: University press, EJ.Brill, 1962) hlm. 534
34
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
Nabi, memunculkan perdebatan tentang
siapakah yang pantas menggantikan beliau
sebagai kepala negara (khalifah). Sejarah
mencatat, bahwa Abu Bakar lah yang
disetujui ummat Islam saat itu, kemudian
diganti oleh Umar Ibn al-Khattab, kemudian
Umar digantikan Usman Ibn affan.
Era kepemimpinan Abu Bakar dan
Umar berjalan relatif aman dan sukses serta
tidak banyak masalah. Ketika Usman Ibn
Affan (w.656 M) naik menjadi Khalifah
ketiga, pemerintahan diwarnai oleh
manuver-manuver politik, yang
menyebabkan munculnya perlawanan dari
kalangan sahabat. Diantara kebijakanya
yang kontroversial adalah memecat
gubernur-gubernur yang telah diangkat
pada era kepemimpinan Umar. ia kemudian
mengganti pejabat-pejabat era Umar
dengan orang-orang terdekatnya (lingkaran
keluarga). Jika dilihat dari sudut pandang
politik modern, tindakan ini bisa disebut
sebagai tindak nepotisme. Salah satu
gubernur yang dipecat saat itu adalah
gubernur Mesir; Umar Ibn al-‘As, diganti
dengan Abdullah Ibn sa’d Ibnu Abi Sarh; ia
adalah kalangan keluarga Usman.
13
Keputusan ini kemudian menyebabkan
instabilitas pemerintahan dan memuncukan
pemberontakan-pemberontakan, yang
berujung pada terbunuhnya sang khalifah.
Pasca wafatnya Usman, Ali menjadi
kandidat terkuat sebagai Khalifah. Namun
perjalanan Ali tidak mulus begitu saja,
karena mendapat tantangan dari tokoh-
tokoh lain yang ingin mejadi khalifah
semisal Thalhah dan Zubair dari Makkah
yang didukung oleh Siti ‘Aisyah. Namun dua
tokoh oposisi ini berhasil ditumpas oleh Ali
dalam peperangan yang terjadi di Irak
tahun 656 M.
14
Dua tokoh itu terbunuh,
sedangkan Aisyah dipulangkan ke Makkah.
Gelombang anti Ali kemudian datang dari
13
Harun Nasution, Teologi..., hlm. 6
14
Harun Nasution, Teologi..., hlm. 6
Mu’awiyah (w.680 M); gubernur Damaskus.
Ia tak mau mengakui Ali sebagi Khalifah. Ia
menuntut Ali untuk mengusut tuntas
skandal pembunuhan Usman. bahkan
Mu’awiyah menuduh Ali terlibat dalam
konspirasi pembunuhan tersebut. Karena
pembunuh Usman ternyata Ibn Abi Bakr, ia
adalah anak angkat Ali Ibn Abi Tholib.
15
Sedangkan Ali tidak menindak tegas pelaku
pembunuhan tersebut.
Pemberontakan Mu’awiyah terhadap
Ali pada akhirnya memunculkan perang
shiffin, tentara Ali berhasil mengalahkan
pasukan Mu’awiyah. Dalam kondisi kalah,
staf ahli Mu’awiyah; Amru Ibn al-As
memainkan strategi diplomatik, dengan
mengangkat al-Qur’an ke atas sebagai tanda
ingin berdamai. Maka sebagian pendukung
Ali medesak Ali supaya menerima tawaran
tersebut demi mewujudkan perdamaian.
Kemudian terjadilah kesepakatan untuk
melakukan arbitrase. Masing-masing
kelompok diwakili oleh seorang tokoh,
Amru Ibn al-as dari pihak Mu’awiyah dan
Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali.
16
Proses
diplomasi antara dua kubu tersebut,
melahirkan kesepakatan untuk
menjatuhkan kedua pemimpin yang
bertikai; Ali dan Mu’awiyah. Abu Musa al-
Asy’ari sebagai tokoh yang dituakan
(senior), dipersilahkan terlebih dahulu
memberikan pernyataan (statemen politik)
untuk menjatuhkan kedua pimpinan yang
sedang bertikai. ia pun menyampaikan hal
tersebut di hadapan khalayak saat itu.
Ketika Tiba giliran Amru Ibn al-Ash untuk
menyampaikan statemen politiknya, tiba-
tiba ia hanya menyetujui statemen Abu
Musa dalam penjatuhan Ali, dan tidak
setuju terhadap penjatuhan Mu’awiyah.
17
15
Ibnu Jarir, Tari>kh al-Thabari ( kairo :
Da>r al-ma’arif, 1963, jilid V) Hlm.7
16
Abdullah Saeed, Islamic...,hlm.61
17
Ibnu Jarir, Tarikh Al-thabari...,hlm.70-71
35
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
Peristiwa tersebut tentunya sangat
merugikan Ali. Mua’wiyah sebagai pihak
oposisi seolah-olah naik tingkat menjadi
khalifah, berdasarkan keputusan dalam
arbitrase tersebut. Ali sebagai pihak yang
dicurangi, tidak mau menerima keputusan
itu, sehingga terjadi pertikaian yang
panjang antar dua kelompok tersebut.
Sebagian pendukung Ali yang sejak awal
tidak sepakat dengan proses arbitrase
tersebut, mulai menarik diri dan memusuhi
Ali. Mereka beralasan bahwa tidak boleh
menerima keputusan dari manusia. Karena
yang berhak memutuskan hanyalah Allah.
Kelompok ini kemudian disebut Khawarij.
18
Khawarij menuduh semua orang yang
terlibat dalam proses arbitrase tersebut
menjadi kafir, karena telah menggunakan
hukum selain hukum Allah. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam QS. Al-Maidah : 44.
19
Karena telah kafir, maka mereka wajib
dibunuh. Namun diantara keempat tokoh
itu, yang berhasil terbunuh adalah Ali.
Sehingga kematian Ali semakin
memuluskan jalan Mu’awiyah sebagai
khalifah.
Perubahan konsep kafir, menimbulkan
perpecahan dalam tubuh Khawarij.
Munculnya kelompok ekstrem dalam
khawarij, tidak hanya menuduh kafir orang-
orang yang tidak menjalankan hukum Allah,
namun mereka juga menggolongkan pelaku
dosa besar (al-murtakib al-kaba>ir) sebagai
kafir. Dari persoalan dosa besar tersebut,
kemudian tumbuh dan berkembanglah
diskursus-diskursus teologi Islam.
Menyikapi status pelaku dosa besar,
muncul tiga aliran utama kalam. Pertama,
Khawarij, kelompok ini berpendapat pelaku
dosa besar adalah kafir. Kedua, Murji’ah,
kelompok ini berpandangan bahwa pelaku
dosa besar tetap mu’min bukan kafir,
18
Lihat, Abdullah saeed, Islamic Thought an
Introduction..., hlm.61
terkait dosa yang dilakukan maka itu hak
Allah untuk mengampuni atau tidak. Ketiga,
Mu’tazilah, kelompok terakhir ini menolak
kedua pendapat kelompok di atas, bagi
mereka pelaku dosa besar tidak mukmin
dan tidak pula kafir (al-manzilah baina
manzilatain). Kemudian, muncul pula
sekte-sekte semisal Qadariyah, Jabariyah,
Asy’ariyah, Maturidiyah dan Syi’ah.
Dari konteks sosio-politik di atas,
kemudian diskusrus kalam berkembang
pesat. Masing-masing school of Theology
(sekte kalam) memiliki konsep yang
berbeda-beda. Isu-isu seputar diskursus
kalam yang berkembang saat itu adalah
tentang tauhid; wujud, keesaan, sifat tuhan,
pengetahuan tuhan, keadilan tuhan, status
pelaku dosa besar, hari akhir (eskatologis).
Pada perkembangan selanjutnya, muncul
kitab-kitab ilmu kalam, dengan berbagai
formula yang membahas segala sesuatu
tentang tuhan dan eskatologis, sehinga
kalam menjadi satu disipilin ilmu mandiri
dalam Islam. Yang perlu dicacat dari refleksi
sejarah di atas adalah bahwa kalam
merupakan hasil interpretasi nalar manusia
atas wahyu Tuhan, sebagai respon dalam
menyikapi zaman (konteks politik saat itu).
Pemahman ini, akan membawa kita pada
kesimpulan bahwa kalam adalah produk
penfasiran manusia terhadap wahyu tuhan,
maka kalam adalah “diskursus” bukan ilmu
yang suci dan mutlak, tidak kebal kritik,
oleh karena itu maka Ilmu kalam atau
teologi dapat direformulasi sesuai
kebutuhan zaman dan demi kemaslahatan
ummat Islam dan manusia.
D. Rethingking Kalam
Rethinking kalam merupakan ikhtiar
untuk melakukan pembaruan dan
transformasi dari pandangan kalam klasik
ke “teologi sosial” dalam konteks
multiculturalism. Permasalahan-
permasalahan baru –yang menjadi anomali-
36
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
di era pluralisme dan multikulturalisme,
meniscayakan perlunya “shifting paradigm”
dalam bidang kalam. karena persoalan
kontemporer tidak bisa didekati dengan
sudut pandang klasik yang dogmatis-
abstrak an sich. Tetapi membutuhkan
formulasi teologi yang membumi, inklusive,
transformatif dan bersifat dialogis.
Pada bagian ini, penulis akan
memaparkan kritik para pemikir Muslim
terhadap corak kalam klasik (teologi), dan
keharusan untuk melakukan pembaruan
sebagai sebuah kebutuhan. Kritik terhadap
corak ilmu kalam, sejak awal telah dimulai
oleh al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Kemudian
dalam konteks modern, muncul pemikir-
pemikir semisal Muhammad Iqbal,
Muhammad Abduh, Fazlurrahman, Hasan
Hanafi, Abdul Karim Soroush, yang
mengkritik kalam untuk direformulasi dan
keluar dari kebekuan “diskursus” kalam
klasik yang dinilai sudah tidak tepat
dikembangkan dalam dunia kontemporer.
a. Kritik Atas Paradigma kalam
klasik
Perdebatan tentang defenisi kalam atau
teologi di kalangan ummat Islam (terutama
Indonesia) masih berkutat pada level
semantik. Perdebatan itu setidaknya
menghadirkan dua pandangan besar.
Pertama, kelompok yang memiliki
background keilmuan tradisional,
mengidentikan teologi sebagai Ilmu kalam;
yakni suatu disiplin ilmu yang mempelajari
ilmu ketuhahan yang bersifat abstrak-
metafisis dan skolastik. Kedua, kelompok
yang pernah mengenyam pendidikan
tardisonal, kemudian terdidik dalam tradisi
akademik Barat, mempelajari Islam dari
studi-studi akademik-modern, lebih melihat
teologi sebagai penafsiran terhadap realitas
dalam persfektif ketuhanan.
20
20
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung :
Mizan, 2008) hlm.478
Sistematisasi kalam klasik memiliki tiga
tema pokok; Uluhiyah (ketuhanan),
Nubuwwah (kenabian) dan Ma’ad
(eskatologi). Nyaris seluruh perdebatan
dalam wacana kalam klasik berputar pada
tiga hal tersebut. bersifat teoritis, abstrak
dan intelektual. Dalam perkembangan
selanjutnya, ketika Islam mulai mengalami
“encounter” dengan berbagai tradisi
keagamaan lain, para mutakalllimun mulai
mengembangkan argument teologi Islam
untuk merespon tantangan dari tiga tradisi
besar pra-Islam; Zoraostrianism, Yahudi
and Kristen.
Dalam kondisi itu, ilmu kalam dalam
bangunan pemikiran Islam klasik menjadi
sangat sentral, bahkan nyaris seluruh
problem keagamaan selalu diukur dan
dilihat dari sudut pandang llmu kalam
21
.
fakta bahwa ilmu kalam lahir dari narasi
sosio-historis dan konteks politik tertentu
menjadi kabur dan nyaris terlupakan. Ilmu
kalam dianggap sakral dan mutlak, dan a
historis. Pada tahapan ini, maka ummat
Islam cenderung melakukan apa yang
disebut Muhammad Arkoun sebagai proses
“Pensakralan pemikiran keagamaan”
(Taqdis al-afka>r ad-di>ni>)
22
atau
meminjam bahasa Fazlurahman disebut
dengan ortodoksi.
23
Dalam narasi sejarah, Ilmu kalam mulai
dibakukan sebagai disiplin ilmu mandiri
pada masa pemerintahan Khalifah al-
Ma’mun (memerintah 813-833 M),
dipelopori oleh kaum Mu’tazilah dengan
mengadopsi filsafat Yunani kemudian
21
Lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam
Modern (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) hlm.v
22
Mohammad Arkoun, al-Isla>m : al-Akhla>q
wa al-siya>sah, terj Hasyim Salih, (Beirut ,1986)
hlm.118
23
Fazlurrahman, Islam terj. Ahsin
Muhammad, (Bandung : Pustaka Salman, 1990)
Hlm.349
37
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
dipadukan dengan logika kalam.
24
tetapi,
kalam sebagai “diskursus” telah digunakan
sejak lama oleh Hasan al-Basri (642-728 M)
dalam konteks perdebatan antara
Qadariyah dan Jabariyah tentang
kebebasan manusia dan taqdir.
25
Perdebatan itu jika dirunut ke belakang
adalah produk dari konflik terkait khilafah.
Adanya relasi kalam dan filsafat Yunani
bisa dibuktikan dengan melihat model
argumen-argumen rasional yang dibangun
oleh para mutakallimun. Metode rasional
yang digunakan sangat mirip dengan model
logika para filosof Yunani mazhab Stoic.
Melalui penelitanya, Jossef Van Ess
menjelaskan bahwa metode para
mutakallimun dalam beragumen yang
menekankan pada model defense
(bertahan) dan attack (menyerang),
menggambarkan bahwa logika yang
digunakan lebih condong pada pola
apologetik dan agresif
26
. Singkatnya, bahwa
logika kalam yang digunakan para
mutakallimun bersifat argumentum ad
hominem model mazhab stoic.
27
Menurut Osman Bakar, teologi dan
filsafat sama-sama menggunkan metode
silogisme dalam aturan berfikirnya; suatu
metode pengambilan kesimpulan atau
pengetahuan berdasarkan atas peremis-
presmis, baik premis mayor ataupun premis
minor. Namun ada sedikit perbedaan
diantara keduanya, dalam disiplin filsafat,
pengetahuan yang bisa dijadikan premis
mayor harus benar-benar merupakan
premis primer, premis yang benar, pasti
dan meyakinkan setelah diuji secara
rasional. Sedangkan dalam disiplin teologi,
24
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam
(Jakarta : Jayamurni, 1947), hlm.14
25
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 199) hlm. 279
26
Amin Abdullah, Falsafah...,hlm.4
27
Argumentum ed Hominem adalah seni
berdebat yang bertujuan untuk mencari menang,
bukan mencari kebenaran.
premis mayor dapat diambil dari sesuatu
yang sudah diterima secara umum “common
senses” dalam masyarakat atau berdasarkan
keyakinan yang diperoleh dalam
normatifitas ajaran agama.
28
Proses kanonisasi diskursus-diskursus
kalam kedalam kitab-kitab merupakan
upaya pembangunan citra “epistemolgi
kalam” menuju level kemapanan.
29
Terbukti
belakangan, kalam menjadi suatu tema
sentral yang mewarnai khazanah pemikiran
Islam selama berabad-abad. kalam yang
pada awalnya adalah hasil perdebatan,
pergumulan dan penafsiran para
mutakallimun atas wahyu Tuhan, kemudian
menjadi ajaran baku yang bersifat
doktriner. Terlebih lagi ketika wacana
kalam didominasi oleh ajaran Ahl as-sunnah
wa al-jama>’ah
30
, kalam seolah-olah
diperlakukan sebagai ajaran “normatif
wahyu”, ia menjadi taken for granted dan
undebatable.
Wacana kalam klasik bersifat teosentris
dan cenderung deduktif-spekulatif. tema-
temanya selalu mengawang-ngawang,
abstrak, dan jarang landing ke bumi.
Akibatnya, kalam klasik tidak peka
terhadap persoalan sosial ummat dan
persoalan kemanusiaan universal. Fakta
inilah yang menjadi titik kritik Muhammad
Iqbal, menurutnya, studi terhadap al-Qur’an
dan aliran pemikiran kalam klasik yang
dipengaruhi filsafat Yunani,
28
Lihat Osman Bakara, Hierarki Ilmu
(Bandung : Mizan, 1997) hlm 105-106
29
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006) hlm.12
30
Bahkan salah seorang tokoh terkemuka
NU, Kiyai Said Aqil siradj, mengkritik warisan
doktrinal ahl- as-sunnah wa al-jama>’ah di
lingkungan NU yang dinilainya statis dan beku,
terutama paradigma Asy’ariyah yang menurutnya
pro Status Quo dan menghindari krtik terhadap
kekuasaan. Lihat Ahmad Baso, Posmodernisme
sebagai kritik Islam :Kontribusi metodologi ‘Kritik
Nalar”’ Muhammad Abed al-Jabiri, (Yogyakarta : LKIs,
2000) hlm. x.
38
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
memperlihatkan dengan jelas bahwa
meskipun filsafat telah memberikan
sumbangan yang besar dalam
perkembangan para pemikir muslim,
namun hal itu telah mengaburkan visi
mereka (ilmuan muslim) terhadap al-
Qur’an.
31
sebagai contoh apa yang disebut
dengan kekaburan visi pemikir Islam
terhadap al-Qur’an, Iqbal mencontohkan
bahwa dikursus kalam Asy’ariyah
menggunakan filsafat dialektika Yunani
untuk mempertahankan ortodoksinya.
Sedangkan Mu’tazilah, terlalu jauh
menggunakan akal, sehingga mereka tidak
menyadari bahwa pemisahan antara
pemikiran keagamaan dan pengalaman
kongkrit manusia dalam wilayah
pengetahuan agama merupakan sebuah
kesalahan besar.
32
Jauh sebelum kritik Iqbal, al-Ghazali
juga melakukan kritik terhadap ilmu kalam,
karena menemukan anomali-anomali dalam
disiplin tersebut. Al-Ghazali dengan sangat
cerdas mengoreksi detil-detil kelemahan
ilmu kalam. sehingga ia sampai pada
kesimpulan, bahwa ilmu kalam tidak
mampu mendekatkan manusia kepada
tuhan.
33
bahkan dalam salah satu karyanya
ilja>m al-awwa>m ‘an ‘ilmi al-Kala>m,
Ghazali mengkritik habis-habisan ilmu
kalam dengan metode penalarnya yang
berbelit-belit, sehingga dikhawatirkan akan
berdampak negatif bagi masyarakat
awam.
34
Tetapi kemudian sangat
disayangkan, al-Gazali juga pada akhirnya
terjebak dalam lingkaran kalam, ia bahkan
31
Lihat Muhammad Iqbal, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore
: 1975) hlm.3
32
Muhammad Iqbal, The Reconstruction...,
hlm. 4
33
Lihat al-Ghazali, al-Munqidz min al-dala>l,
hlm. 16-17
34
Al-Ghazali, Iljam al-‘Awwam an Ilmi al-
Kala>m, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1985) hlm.
81
menjadi juru bicara teologi Asy’ariyah.
Pemikiran kalam Asy-‘ariyah merupakan
salah satu sekte yang mendominasi
pemikiran Islam, hal ini tentunya tidak bisa
dilepasakan dari peran dari tokoh-tokoh
besar di bidang fiqih semisal Imam Maliki
dan Syafi’i yang secara teologis berkiblat ke
Asy’ari. Sedangkan Imam Hanafi lebih dekat
ke teologi Maturidiyah, dan Syiah Imamiyah
dan zaidiyah mewarisi teologi rasionalnya
Mu’tazilah.
35
Ibnu Rusyd juga tak ketinggalan
mengkritik paradigma kalam klasik,
menurutnya ta’wil-ta’wil yang dilakukan
oleh Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah
memecah belah ummat Islam. bahkan
secara metodolgis, Ibnu Rusyd mengkritik
ilmu kalam, karena belum mampu
menggunkan metode demonstratif
(Burhani), terutama dalam hal ini kalam
Asy’ariyah.
36
Berangkat dari kritik Ibnu
Rusyd, penulis melihat bahwa anomali
dalam diskursus kalam klasik adalah
memunculkan perpecahan internal ummat
Islam. Maka dalam kehidupan kontemporer
yang plural dan multikultural konsepsi
kalam klasik sudah tidak bisa
dipertahankan lagi. terlebih dewasa ini,
sebagai masyarakat dunia, ummat Islam
berada dalam lingkaran agama-agama,
kepercayaan, ideologi, dan berbagai “isme-
isme” lainya.
selanjuntnya kritik atas teologi Islam
dikemukan oleh seorang pemikir Mesir,
Hassan Hanafi. Menurutnya, teologi Islam
harus diperbaharui, karna sifatnya yang
terlalu abstrak-dogmatis dan kurang
membumi. Ia menawarkan teologi sebagai
ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan
keimanan berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi tindakan
35
Abdullah Saeed, Islamic Thought.., hlm. 71
36
Ibnu Rusyd, Fasl al-Maqa>l fi ma> bain al-
Hikmah wa Asy Syaari’ah min al-Ittisa>l. (Mesir: Dar
al-Ma’arif, t.t,) hlm. 63
39
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
manusia. karena itu, ia mengusulkan untuk
mentransformasi teologi Islam yang bersifat
tradisional-teosentris menuju teologi
antroposentris; dari tuhan kepada manusia
(bumi), dari tekstual menuju kontekstual
(min al-nash ila al-wa>qi’), dari teori kepada
tindakan, dari takdir menuju kehendak
bebas. Menurut Hanafi, pembaharuan ilmu
kalam memiliki dua lasan; pertama,
kebutuhan akan adanya sebuah teologi yang
jelas di tengah pertarungan global antara
berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi
baru yang bukan hanya bersifat teoritis,
namun lebih praksis yang bisa mewujudkan
gerakan dalam sejarah.
37
Dalam konteks modern, ummat Islam
dituntut mampu dan harus berani
mereformulasi pandangan kalam klasik.
upaya reformulasi bukanlah tindakan dosa
atau melanggar normatifitas agama. Karena
menurut Amin Abdullah, Ilmu kalam adalah
tidak lain dan tidak bukan, merupakan
sebuah rumusan sistematis keprihatinan
dan pergumulan pemikiran manusia
tentang persoalan-persoalan ketuhanan
yang terjadi pada era tertentu dan penggal
sejarah tertentu. meskipun sumber utama
ilmu kalam adalah “wahyu” namun
konsepsi rumusan, pemikiran dan rancang
bangun epistemologi keilmuanya adalah
hasil kreasi manusia semata.
38
Jika
mengancu pada pendapat Amin Abdullah,
maka ilmu kalam adalah ilmu yang
dihasilkan oleh kreatifitas nalar manusia,
bukan sesuatu yang mutlak dan datang dari
langit. Dengan demikian, formulasi-
formulasi kalam bukanlah sesuatu yang
baku, ia dapat berubah seiring dengan
37
AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam,
(Yogyakarta : Ittaqa Press, 1998) hlm. 44-45
38
Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi : Pendekatan integrative-
interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006)
hlm. 319
perkembangan zaman dan kebutuhan serta
tantangan manusia dalam kehidupanya.
Maka dari itu, di era pluralisme dan
multicultarlisme, merupakan sebuah
keharusan bagi ummat Islam untuk
menggeser pandangan kalam klasik yang
bersifat abstark-dogmatis dan sektarian-
eksklusif, menuju teologi sosial yang
dialogis dan inkslusif. Mengingat ummat
Islam saat ini, telah tersebar dalam bingkai
negara-negara bangsa dan hidup secara
besama-sama dengan komunitas agama
lain. Yang harus dilakukan adalah
menggembangan teologi sosial untuk
menciptakan harmoni dalam common good
dalam sistem sosial masyarakat modern.
b. Dari Kalam Klasik Menuju
Teologi Sosial
Langkah pembaruan kalam adalah
dengan melakukan “Shifting paradigm” dari
paradigma kalam klasik menuju teologi
sosial; sebagai new paradigm. Karena
ummat Islam dewasa ini, telah menjadi
penduduk global dalam era multikultural.
Selain itu, terbentuknya negara bangsa
telah menyebabkan ummat Islam terpisah-
pisah ke dalam berbagai wilayah teritorial
negara. Di dalam negara tersebut ummat
Islam harus hidup secara bersama-sama
dengan komunitas agama lain. Maka Sikap
inklusif dan etika sosial mutlak dibutuhkan
untuk menciptakan harmoni.
Paradigma teologi sosial pertama-tama
harus disandarkan pada pemahaman atas
al-Qur’an sebagai paradigma. Pengertian
paradigma dalam hal ini mengacu pada
pengertian yang dibangun oleh Thomas
Kuhn, bahwa pada dasarnya realitas sosial
dikonstruksi oleh mode of thought yang
pada akhirnya menghasilkan mode of
knowing. Dalam pengertian ini, paradigma
al-Qur’an adalah suatu model konstruksi
pengetahuan yang memungkinkan manusia
memahami realitas-historisnya
40
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
sebagaimana al-Qur’an memahami realitas
berdasarkan worldview-nya.
39
Beragkat dari pengertian dari
pengertian di atas, , maka paradigma
mengandung beberapa unsur yaitu; sebagai
pandangan mendasar yang disepakati
sekelompok ilmuwan; mutakallimun. Objek
ilmu pengetahuan yang seharusnya
dipelajari oleh suatu disiplin (baca; ilmu
kalam). Metode kerja ilmiah (logika-red)
yang digunakan untuk mempelajari objek
penelitian(baca; konsep-konsep ketuhanan
dan eskatologis). Konsep paradigma
tersebut bisa disejajarkan dengan asumsi
dasar atau paraduga Ala Gadamer, serta
struktur kognitif fundamental ala Michel
Focault
40
Teologi sosial sebetulnya memiliki
basis epistemologinya dalam al-Qur’an.
terkait dengan hal itu, kiranya penulis
tertarik untuk meminjam pandangan
Kuntowijoyo mengenai klasifikasi ilmu di
dalam al-Qur’an. Menurut Kuntowijoyo
41
,
al-Qur’an menjelaskan ada dua kategori
ilmu; yaitu ilmu mengenai cakrawala
(‘a>fa>q) dan ilmu mengenai manusia itu
sendiri atau humaniora (anfusihim). Hal ini
dijelaskan dalam QS Fushilat : 53.
ۡﻢِﮭﯾِﺮُﻨَﺳ َٰﯾاَءﺎَﻨِﺘﻲِﻓٱ ٓ ۡﻷ ِقﺎَﻓ ٓﻲِﻓَو ۡﻢِﮭِﺴُﻔﻧَأ ٰﻰﱠﺘَﺣ
َﻦﱠﯿَﺒَﺘَﯾ ۡﻢُﮭَﻟ ُﮫﱠﻧَأٱ ۡﻟ ۗﱡﻖ َﺤ َوَأ ۡﻢَﻟ ۡﻜَﯾ ِﻒ َﻚﱢﺑَﺮِﺑ ُﮫﱠﻧَأۥ ٰﻰَﻠَﻋ
ِ◌ّ◌ ُ◌ ٖ◌ ۡ◌ﱢﻞُﻛ ۡﻲَﺷ ٖء ٌﺪﯿِﮭَﺷ٥٣
Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda kekuasaan kami di
segenap ufuk (jagat raya) dan pada diri
mereka sendiri...
Dalam menjelaskan ayat di atas,
Kuntowijoyo menekankan pada pemaknaan
39
Kuntowijoyo, Pengilmuan Islam...,hlm.11
40
Lebih lanjut lihat Bambang Sugiharto ,
Postmodernisme tantangan bagi filsafat, (Yogyakarta
: kanisius, 1996) hlm. 92
41
Kuntowijoyo, Pardigma Islam... hlm.262
kata-kata ‘anfusihim sebagai deskripsi al-
Qur’an tentang ilmu kemanusiaan atau yang
sering disebut humaniora. dalam konteks
ini, penulis memahami humaniora sebagai
ilmu yang terus berdialektika dengan
perkembangan dan kemajuan zaman. Maka
akan selalu terjadi pemaknaan secara terus
menerus, karena adanya perubahan
struktur dan ruang dalam kehidupan
manusia. Diskursus kalam atau teologi bisa
dikategorikan sebagai “ilmu” bersifat sosial-
historis (humaniora), meskipun ia
bersumber pada wahyu. karena kalam lahir
dari pergumulan masyarakat muslim awal
atas problemnya saat itu (politik-red) yang
kemudian menghasilkan model penafsiran
tertentu. Dari pemahaman itu, maka teologi
sosial sebagai kategori ilmu “anfusihim”
merupakan cara bagaimana manusia
memahami dan merespon konteks
sosialnya, demi mewujudkan manisfestasi-
manisfestasi ketuhanan di muka bumi.
Di era modern dan posmodern ini,
teologi yang hanya berkutat pada persoalan
ketuhanan semata (teosentris) dan tidak
mengaitkan diskursusnya pada persoalan-
persoalan kemanusiaan universal, lambat
laun akan menjadi out of date. Sebab,
teologi yang berkutat pada persoalalan
abstrak dan skolastik akan kehilangan
relevansi sosial dengan tantangan-
tantangan kekinian; kemanusiaan,
pluralisme agama, kemiskinan struktural,
kerusakan lingkungan dan lain-lain.
42
Terma “teologi sosial” dalam tulisan ini,
dimaksudkan sebagai pandangan baru
dalam ranah teologis yang bersifat
antroposentris, terbuka dan dialogis.
sehingga dimensi teologis benar-benar
hidup dalam keseharian masyarakat dan
tidak terkesan melulu soal abstrak-
metafisis. Teologi sosial lebih fokus pada
42
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1995)hlm.42
41
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
tantangan riil yang dihadapi oleh ummat
beragama dalam dunia dan peradaban
kontemporer.
Fenomena pluralitas dan
multikulturalitas yang kian pesat, menuntut
ummat Islam untuk mereformulasi
pandangan-pandangan kalam klasik yang
cenderung apalogistik, menjadi pandangan
yang bersifat dialogis dan inklusif. Karena
dalam bingkai globalisasi, ummat Islam
telah menjadi warga negara global (global
citizenship). Disinilah tantangan umat
beragama saat ini, ummat Islam harus
mampu mendialogkan 'agama yang tidak
berubah' dengan 'dinamika sosial yang
terus berubah’. Dengan demikian Ummat
Islam harus melakukan shifting paradigm
untuk menemukan konsepsi keagamaan
yang mampu menjawab tantangan
perubahan zaman dan perubahan
interpretasi umat atas zaman. Hal ini tidak
dilakukan dengan mengubah teks-teks
keagamaan, melainkan dengan
mengartikukasikan semangat beragama
yang inheren dengan narasi zaman.
Gagasan teologi sosial berpijak pada
dua hal; Pertama, sistematisasi kalam klasik
sudah terlalu lama mewarnai pemikiran
Islam, ketika munculnya anomali-anomali
baru dalam kehidupan beragama, maka
menjadi keharusan untuk melakukan
pembaruan dan membersihkan diskursus
kalam dari model argumen yang eksklusif
dan sekatarian, karena metode tersebut
sudah tidak relevan lagi untuk
dikembangkan di era multikulturalisme.
Kedua, wacana kalam yang dogmatis-
abstrak an sich, harus dipikir ulang dan
direformulasi. para teolog dituntut untuk
memasukan dimensi praksis sebagai
pembaruan dalam studi-studi kalam.
dimensi praksis yang dimaksud adalah ilmu
kalam harus menyentuh berbagai problem
kemanusiaan kontemporer seperti isu
pluralisme agama, krisis multikulturalisme,
persoalan kemiskinan, persoalan korupsi
dan lain-lain.
Teologi sosial menekankan pentingnya
dialog dan toleransi, bukan debat yang
bersifat argumentum ad hominem; mencari
menang kalah, untuk menunjukan
superioritas dan sektarianistik. Karena
model berfikir kalam klasik yang seperti itu,
tidak bisa memberikan kontribusi bagi
peradaban modern. hal ini, kemudian
menginspirasi Fethullah Gulen untuk
mempromosikan 'dialog antar-peradaban'
sebagai counter discoruse atas konsepsi
simplistis Samuel Huntington tentang Clash
of Civilizations. Senada dengan Gulen, Abdul
Karim Soroush juga mendukung pentingnya
dialog antar peradaban, ia berpendapat
bahwa tidak ada konsepsi agama yang
'murni'. Teks-teks agama sifatnya memang
tidak berubah. Namun, interpretasi dan
artikulasi atas teks tersebut dinamis, karena
manusia hidup dalam realitas sosial yang
selalu berubah (al-nushu>h mutanahiyah
wa al-waqa>i’ gairu mutanahiyah). Dengan
cara pandang seperti ini, umat beragama
perlu menghentikan praktik beragama yang
mengklaim kebenaran, karena praktik
beragama pada dasarnya tidak hanya
bersifat 'penuh penalaran', tetapi juga
aspek 'reflektif'.
Untuk mewujudkan dan
mengembangkan teologi sosial, dibutuhkan
kesadaran akan pentingya objektifikasi.
Ketika masyarakat semakin plural, terlebih
dalam ruang negara bangsa, maka ummat
Islam harus menerima pluralisme sebagai
konsekuensi logis dari kehidupan
berbangsa. Perjalanan hidup umat Islam
dalam beragama tidak harus hanya
didominasi oleh interpretasi kalam dan
fiqh yang stagnan, tetapi penting juga
melibatkan pengalaman praksis beragama
dalam realitas masyarakat multikultural.
Konsekuensinya, praktik beragama dalam
bentuk interaksi, yang mana di dalamnya
42
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
kita harus berbuat baik kepada sesama
manusia sebagai manifestasi dari “iman”
dan “amal saleh”. sehingga pengalaman-
pengalaman empiris inilah yang membuat
penalaran dalam beragama menjadi
dinamis.
Sense beragama secara ‘dialogis’ inilah
yang menurut penulis merupakan bentuk
“teologi sosial”, hal ini perlu dikembangkan
dalam konteks hubungan antar agama
maupun intra agama; seperti relasi Muslim-
Kristen dalam konteks negara, relasi Sunni-
Syiah dalam internal dunia Islam,bahkan
relasi dengan gologan-golangan minoritas
seperti Ahmadiyah, Bahai, sunda wiwitan
dan lain-lain. Terkadang, persolan Muslim-
Kristen terlalu jauh diseret pada
kepentingan politik praktis tertentu
(politisasi agama), pun demikan persoalan
Sunni dan Syiah.
E. Aspek Pemikiran ‘Teologi Sosial’
Fethullah Gulen
Pada bagian ini, penulis akan
mendeskripsikan pemikiran “teologi sosial”
Fethullah Gulen dan bagaimana
kontribusinya dalam merespon isu
multikultarlisme. Terma “teologi sosial”
sesunghunya bukanlah sebuah klaim dari
Fethullah Gulen untuk mengidentifikasi
pemikiranya. Namun, penulis menggunakan
terma tersebut sebagai sebuah cara untuk
memberikan “ciri” dari konsep teologi
Gulen, yang lahir dari perenungan dan
refleksi atas kenyataan dan tantangan yang
dihadapi manusia. dan sebagai respon
terhadap realitas multikultaral dewasa ini.
Dengan menumbuhkan kesadaran untuk
mendukung dialog intereligious dan
intercultural dengan mengedepankan
humanisme dan altruisme.
Konstruksi pemikiran teologi sosial
Gulen, banyak dipengaruhi oleh tokoh-
tokoh yang hidup pada periode akhir
menjelang keruntuhan Turki Ustmani.
diantaranya; Said Nursi dan Muhammad
Hamdi Yazir. Melalui karya-karyanya, Dua
tokoh ini sangat mempengaruhi pemikiran-
pemikiran Gulen. Secara khusus, Said Nursi
memiliki peran signifikan dalam
perkembangan pemikiran Gulen, terutama
melalui karyanya “Risale-i Nur”. Selain itu, ia
juga banyak dipengaruhi oleh sufi-sufi awal,
yakni dua tokoh besar; Ibnu Arabi dan
Jalaluddin Rumi. Beberapa poin pemikiran
Fethullah Gulen yang akan penulis sajikan
disini adalah ; Tauhid berdasarkan cinta
dan humanisme, Al-Qur’an Nabi
Muhammad dan sense of multiculturalisme,
tentang Islam dan demokrasi dan Aktvisme
sosial : Hizmet, Pendidikan dan
multikulturalisme.
a. Tauhid berdasarkan Cinta dan
Humanisme
Selama ini, konsep tauhid dipahami
hanya semat-mata soal metafisis, abstrak
dan dogmatis. tauhid jarang dilihat dari
perspektif sosial-kemanusiaan
(antroposentris). Sehingga konsep tauhid
bersifat abstrak-spekulatif an sich, tidak
pernah menyentuh dimensi realitas-
empirik dari dialektika kehidupan ummat
beragama yang terus berkembang.
Sehinggga tauhid kehilangan visi teologis
dalam menyelesaikan problem peradaban
modern.
Sebagai seorang Teolog yang memiliki
latar belakang sufistik, Gulen membangun
konsep tahuhid yang agak berbeda,
pandanganya tentang tauhid banyak
diinspirasi oleh nilai-nilai tasawuf. Dalam
memperkokoh konsep tauhidnya Gulen
mendasarkanya pada al-hub (cinta); yaitu
cinta pada Tuhan dan cinta pada sesama
manusia. Cinta menurutnya merupakan
elemen paling penting dalam kehidupan
manusia. nyaris semua eksistensi dan
esensi di dunia ini membutuhkan cinta.
Tuhan pun menciptakan jagad raya ini
43
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
dengan cinta.
43
Manifestasi dari
konsep cinta pada tuhan adalah cinta
terhadap sesama manusia. karena
mencintai tuhan berarti harus mencintai
pula ciptaanya. pandangan ini tauhid inilah
yang dimaksudkan penulis sebagai aplikasi
praksis “teologi sosial”. teologi tidak semata
soal relasi vertikal, namun juga relasi
horisontal yang dibangun atas dasar nila-
nilai ketuhanan, yaitu cinta (rahman dan
rahim).
Dewasa ini, Teologi sosial menjadi
sangat urgen dikembangkan dalam konteks
multikulturalisme, demi terciptanya
integrasi sosial. karena multikulturalitas
sering menjadi problem dalam kehidupan
manusia. banyak terjadi konflik disebabkan
oleh kegagalan memahami
multikulturalistas sebagai sebuah
keniscayaan sejarah dan ketetapan tuhan.
Multikulturalitas disebabkan oleh Tuhan
sendiri, ia sendiri yang menghendaki dan
menciptakan keragaman tersebut. Oleh
karena itu, sepantasnya manusia menyikapi
Keragamaan sebagai anugerah. Terkait
dengan persolan tersebut, kiranya penting
mengutip pendapat Ibnu Arabi :
God Himslef is the first problem of
diversity that has become manifset in
the cosmos. The fisrt thing that each
existent thing looks upon is the cause of
its own existence. In itself each thing
knows that it was not, and then it then
came to be through temporal
origination. However, in this coming to
be, the dispotions of the existent things
are diverse. Hence they have diverse
opinion about identity of causes that
brought them into existence. Therefore
43
Fethullah Gulen, Toward Global
Civilization; Love and Tolerance, (New Jersey : Light,
2004) hlm.1
the real is the first problem of diversity
in the cosmos.
44
Jika statemen Ibnu Arabi di atas
direnungkan secara mendalam, maka
multikulturalisme seharusnya tak banyak
mendatangkan masalah. Karena hakikatnya
adalah dari sang pencipta sendiri. Tetapi
nalar sebagian kelompok belum menyadari
hal tersebut. keragaman agama, budaya,
bahasa, ras dan lain-lain, seringkali menjadi
alasan pemicu konflik. Terlebih ketika
berbicara pluralitas agama, hal tersebut
menjadi faktor yang paling rawan dan
dominan memunculakn konflik”. Konflik
agama, biasanya berangkat dari perdebatan
teologis, menyangkut esensi dan sifat
“Tuhan” yang diyakni dalam persfekti
agama masing-masing. Dengan latar
belakang keyakinan yang berbeda, satu
sama lain terkadang saling mencaci konsep
sesembahan. Gulen tidak membenarkan
tindakan ummat beragama yang saling
memperolok seperti itu, ia bahkan
menentang sikap seperti itu, ia membangun
argumenya berdasarkan surat al-an’am ayat
108 :
َﻻَو ْاﻮﱡﺒُﺴَﺗٱ َﻦﯾِﺬﱠﻟ ۡﺪَﯾ َنﻮُﻋﻦِﻣ ِنوُدٱ ِ ﱠ ْاﻮﱡﺒُﺴَﯿَﻓ
ٱ َ ﱠ ۡﺪَﻋ َۢوا ۡﯿَﻐِﺑ ِﺮ ۡﻠِﻋ ٖۗﻢ َٰﺬَﻛ َﻚِﻟ َزﺎﱠﻨﱠﯾ ﱢﻞُﻜِﻟ ٍﺔﱠﻣُأ ۡﻢُﮭَﻠَﻤَﻋ ﱠﻢُﺛ ٰﻰَﻟِإﻢِﮭﱢﺑَر ۡﺮﱠﻣ ۡﻢُﮭُﻌِﺟﻢُﮭُﺌﱢﺒَﻨُﯿَﻓﺎَﻤِﺑ ْاﻮُﻧﺎَﻛ ۡﻌَﯾ َنﻮُﻠَﻤ١٠٨
Dan janganlah kamu mencaci maki
sesembahan mereka selain Allah,
karna mereka juga akan memaki
Allah dengan melampui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami
jadikan setiap ummat menganggap
baik pekerjaan mereka, kemudian
kepada tuhanlah mereka akan
kembali, lalu Dia (Tuhan) akan
44
Ibnu Araby, al-Futu>ha>t al-Makkiyah,
Mahmu>d Matraji> (ed), 8 volume (beirut : Da>r al-
Fikr, 2002) vol. VI hlm. 303
44
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
memberitakan apa yang telah
mereka kerjakan (QS al-An’am (6):
108)
Ayat di atas dengan sangat gamblang
menjelaskan tentang larangan perdebatan
teologis yang berlebihan. Yaitu perdebatan
yang berujung pada sikap saling mencaci-
maki sesembahan. ibroh yang bisa diambil
dari ayat di atas adalah tidak boleh suatu
ummat menghina keyakinan teologis
ummat lainya. Larangan ini bertujuan untuk
menghindari konflik antar ummat
beragama, karena ketika suatu ummat
menghina konsep teologi ummt pemeluk
agama lain, maka kelompok tersebut akan
berbalik menghina konsep teologi Islam.
Perdebatan teologis semacam ini, harus
dihindari dan digeser pada penafsiran
tauhid yang bersifat praksis untuk
membangun relasi damai antar agama.
sehingga agama benar-benar hadir untuk
kemanusiaan. Bukan hanya mengawang-
ngawang di angkasa. Karena semua agama
datang dengan semangat cinta, kasih dan
keadilan sosial. maka, sebagai khalifah di
muka bumi, manusia memiliki tanggung
jawab untuk mewujudkan kemaslahatan di
muka bumi. Oleh sebab itu, agama tidak
boleh berhenti dan hanya berkutat pada
soal teologi (Baca: abstrak) an sich,
melainkan perlu mengambil peran secara
sosial, sebagai teologi antroposentris.
Maulana Kalam Azad berpendapat,
teologi tidak akan berjalan tanpa berpijak
pada konteks kehidupan yang terus
berubah sebagai wujud kreatifitas tuhan.
Oleh karena itu, pencari kebenaran tentang
tuhan akan dihadapkan pada realitas
keagungan ciptaan tuhan yang terus
berubah-ubah.
45
Maka, teologi bersifat
normatif dan kontesktual. Kontekstualitas
45
Lihat, Maulana Kalam Azad dalam Asghar
Ali enginer, Islam dan Teologi Pembebasan,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 186-187.
inilah yang menjadikan ayat-ayat tuhan
selalu relevan dalam setiap waktu dan
tempat. Disinilah pentingnya melakukan
upaya interpretasi kontekstual
sebagaimana yang disarankan
Fazlurrahman, yakni dengan cara
memahami kondisis sosila-budaya kekinian
dan mengaitkanya dengan tradisi Nabi
secara khusus dan tradisi masyarakat Arab
secara umum. Dengan cara demikian, akan
diperoleh makna ayat yang subtantif atau
disebut dengan ideal-moral. Kontektualisasi
tersebut bisa dikembangkan dalam setiap
ruang budaya dimana ummat Islam itu
hidup.
Perdebatan teologis yang alot dan
bersifat defense dan attack, telah
mengakibatkan carut-marutnya hubungan
antar agama. Maka dari itu, kontekstualisasi
teologi mutlak dibutuhkan ke arah yang
lebih inklusif dan dialogis. Di atas semua
upaya kontekstualisasi itu, hal yang paling
penting dimiliki ummat manusia adalah
rasa empati dan cinta. Keragaman agama
dan budaya harus dipandang sebagai
rahmat. sebisa mungkin, semua perbedaan
harus disikapi dengan cinta. Karena, hanya
dengan cinta persoalan bisa diselesaikan
secara damai. Keragaman harus dipandang
dalam persfektif cinta, Karena cinta kita
“berada” dan dengan cinta kita “mengada”,
dan hakikat segala eksistensi (agama dan
budaya) di dunia ini adalah cinta. hal ini
sebagaimana diungkapakn Gulen :
Love is the reason for existence
and its essence, and it is the
strongest tie that binds creatures
together. Everything in the
universe is the handiwork of God.
Thus, if you do not approach
humanity, a creation of God, with
45
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
love, then you have hurt those who
love God and God loves.
46
Jika semua wujud yang ada di dunia ini
hadir karena cinta, maka tak ada alasan
untuk saling membenci. Segala sesuatu di
dunia ini adalah kreasi “tangan” Tuhan.
Maka dari itu dekatilah semua mahluk
dengan cinta, karena jika tidak
memperlakukan mereka secara manusiawi,
itu artinya kita telah melukai mahluk
sebagai ciptaan tuhan, mahluk yang
mencitai tuhan dan tuhanpun mencintai
mereka.
Dalam kamus kemanusiaan, cinta itu
tidak lain adalah hidup itu sendiri. manusia
seharusnya memiliki rasa saling mencintai.
Tuhan tak pernah menciptakan suatu relasi
yang paling kokoh melebihi relasi yang
dibangun atas dasar cinta. Cinta itulah yang
menjadi rantai pengikat antar manusia
tanpa harus memandang sekat-sekat
apapun, termasuk agama. Karena segala
perbedaan baik agama, budaya, ras dan
seterusnya adalah bersumber dari sang
pencipta.
47
Persoalan pluralitas dan
multikulturalitas di era globalisasi, sering
menyebabkan muramnya nila-nilai
kemanusiaan dan hilangnya sikap toleransi.
Ada kelompok-kelompok tertentu yang
ingin menyeragamkan kecenderungan,
ideologi dan keyakinan manusia. Ketika ada
kelompok lain berbeda denga mereka, maka
kelompok tersebut dianggap menyimpang,
sesat dan harus diberangus. Menurut Gulen,
seorang muslim yang penuh cinta, dengan
lapang dada akan menerima semua
perbedaan pendapat dan keyakinan, sebab
dengan cara demikian seorang muslim
dapat dikatakan menghayati pesan agama
bahwa perbedaan adalah rahmah. Spirit
profetik ini menjadi inspirasi bagi teologi
46
Fethullah Gulen, Toward Global...,hlm. 46
47
Fethullah Gulen, Toward Global..., hlm. 48
sosial yang harus dikembangkan dalam
konteks kontemporer.
Jika dicermati, pandangan Gulen
sangat dipengaruhi oleh konsep agama
cinta Ibnu Arabi. Menurut Ibnu Arabi,
agama cinta merupakan esensi dari seluruh
kredo, oleh karena itu Ibnu Arabi menerima
semua bentuk keyakinan dan persepsi
ummat beragama tentang apa yang
diasumsikanya sebagai pencipta.
48
Namun
Gulen agak berbeda, ia tidak berbicara lebih
jauh tentang trancendental unity of religion,
ia lebih menakankan cinta dalam proses
dialog dan interasksi sosial antar ummat
beragama.
Gulen mempromosikan bahwa cinta,
toleransi dan kasih sayang adalah nilai-nilai
Islam yang paling fundamental. Ia
mengkritik kecenderungan bertauhid
secara “liar” dan agresif yang diusung oleh
beberapa kalangan. Model beragama yang
radikal akhirnya kan mencederai Islam itu
sendiri. Padahal, Islam secara harfiah
bermakna “damai”, namun kelompok
tertentu menodainya dengan tindakan
teror. Menurut Gulen, Muslim sejati tidak
mungkin menjadi seorang teroris.
49
Kesalahan terbesar yang menimbulkan
tindakan teror adalah mis-interpretasi
konsep jihad. Jihad menurut Gulen,
merupakan elemen penting dalam Islam
yang mengacu pada “inner struggle of
believer against all that stand between the
believers and God”.
50
Bukan pada tindakan
menyerang orang lain, yang didorong oleh
kebencian.
Jadi, pandangan tauhid Gulen
menggunakan paradigma teologis-etik,
48
Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak
Agama : Pandangan sufistik Ibnu Arabi, Rumi dan al-
jili (Jakarta : Mizan Publika, 2011) hlm.17-18
49
“Just as Islam is not religion of terorisme,
any muslims who correctly understands Islam
cannot be or become terorist” lihat Fehullah Gulen,
Toward Global.., hlm. 181
50
Fethullah Gulen, Toward Global...,hlm.180
46
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
degan mengedepankan cinta dan
humanisme. Kesadaran akan kehendak
tuhan atas keragaman ciptaanya, menjadi
basis epistemologi pandangan tauhid
fethullah Gulen. Konteks global dan negara
bangsa, harus menumbuhkan kesadaran
objektifikasi bahwa ummat Islam adalah
bagian dari ummat-ummat lainya di bawah
payung negara dengan sistem demokrasi,
dan harus hidup secara bersama-sama
dalam suana damai. Ummat Islam juga
harus terlibat dalam gerak sejarah
peradaban manusia, dengan memberikan
kontribusi untuk menciptakan dan menjaga
harmoni di muka bumi ini. Maka dengan
demikian, Islam akan benar-benar menjadi
Rahmatan lil alamin.
b. Al-Qur’an, Nabi Muhammad Dan
Sense of Multiculturalisme
Sebagai seorang teolog, Pemikiran
Fethullah Gulen tentunya tak bisa
dilepaskan dari sumber otoritatif dalam
Islam yaitu al-Qur’an dan Living tradition di
masa Nabi (baca : sunnah) baik periode
Makah maupun Madinah. Konsepsis
teologisnya dibangun atas dasar dua
sumber tersebut. Ia mengambil beberapa
spirit dari ayat-ayat al-Qur’an dan etika
moral rasul yang dipraktikanya dalam
kehidupan.
Tuhan menciptakan tiap-tiap ummat
serta mengirimkan bagi mereka pemimpin
(likulli ummatin rusu>l). Pemimpin tersebut
dalam tradisi agama-agama samawi disebut
nabi. Nabi dikirim ke dalam sebuah
komunitas untuk menyampaikan pesan
(wahyu) sebagai way of life. Tugas kenabian
adalah untuk mengajar ummat tentang
hakikat penciptaanya, eksistensinya sebagai
hamba dan kewajibanya untuk mentaati
perintah sang pencipta.
Selain tugas di atas, Nabi memiliki tugas
dalam kehidupan sosial yang tak kalah
penting, yaitu membagun relasi sosial dan
sistem kehidupan yang harmonis. Dalam
ajaran Islam, Nabi Muhammad adalah
tauladan (Uswah Hasanah), maka dari itu,
ummat Islam harus belajar dari napak tilas
dan mencontohi etika-moral beliau. Ada
begitu banyak “hikmah” yang bisa dipetik
dari keluhuran budi Rasulullah untuk
dijadikan pelajaran dalam menghadapi
kehidupan multikultural.
al-Qur’an dan Hadis banyak berbicara
tentang multikulturalisme, utamanya
tentang kebebasan beragama, kesetaraan
manusia dan kehendak tuhan menciptakan
keragaman atas mahluk. Meskipun
demikian, ada pula teks yang yang
ditafsirkan kemudian digunakan oleh
sebagian kalangan untuk menyangkal hal
tersebut, utamanya dalam konteks
kebebasan beragama. Salah satu contoh
misalnya ayat al-Qur’an terkait dengan
persoalan ”jizyah”; beban pembayaran bagi
non-Muslim “perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak pula
kepada hari akhir dan mereka tidak
mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan rasulnya dan tidak beragama
dengan agama yang benar, yaitu orang-
orang yang telah diberikan al-Kitab kepada
meraka, sampai mereka mebayar jizyah
dengan patuh dan mereka dalam keadaan
tunduk (QS.9:29) dan satu teks Hadis yang
melaporkan bahwa Nabi menindak tegas
dengan hukuman mati bagi orang yang
murtad (baca : pindah agama). Matan hadis
tersebut berbunyi “barangsiapa yang
murtad; mengganti agamanya, maka
bunuhlah dia ”
51
Dua sumber otoritatif di atas, sering
digunakan secara luas oleh sebagian
muslim untuk melakukan tindakan-
tindakan intoleran dan ekstrimis.
Penafsiran atas teks ini dalam konteks
multikultural menjadi sangat problematik.
51
Sahih Bukhari, 9, 84, hadith 57
47
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
Menyikapi hal ini, Gulen menegaskan
bahwa “Islam is religion of universal mercy”
dengan mengutip Qur’an surat al-Rahman
ayat 1-5 “ Tuhan yang maha penyayang, dia
telah mengajarkan al-Qur’an, dia
menciptakan manusia, dan mengajarnya
pandai berbicara (QS 55:1-5).
52
Dalam ayat
tersebut sangat jelas bahwa Allah
menegaskan identitasnya sebagai “al-
Rahman”, kemudian dengan sifat rahman
tersebut Allah menurunkan al-Qur’an
sebagai “way of life”. Dalam ayat
selanjutnya Allah juga menyatakan bahwa
Dia yang menciptakan manusia. manusia
dalam ayat ini mencakup seluruh manusia
dengan segala perbedaanya, baik dari segi
agama, ras, bahasa dan tradisi. Kemudian
Allah juga mengklaim diriNya lah yang
mengajakan manusia pandai berbicara.
Semua semua hal di atas dimulai dan
diliputi oleh sifat “al-RahmanNya”.
Prinsip dasar dari kebebasan beragama
dalam pandangan dunia al-Qur’an berkait
erat dengan visi al-Qur’an tentang
“manusia sebagai sebagai mahluk”. Dalam
persfektif antroposentris, tuhan
menciptakan manusia sebagai “ahsani
taqwim” (QS 95 : 4), Allah juga menegaskan
sikap pemuliaanya kepada “Bani Adam”;
seluruh manusia tanpa terkecuali (QS
17:70). Kemudian al-Qur’an menekankan
bahwa manusia secara inheren memiliki
martabat dan kemuliaan. Dari itu, Allah
memberikan kepada manusia akal dan
kemampuan untuk membedakan antara
yang benar dan yang salah (QS 17 :15 dan 6:
104)
Kebebasan memilih juga telah secara
tegas dinyatakan oleh al-Qur’an” sungguh
telah datang kebenaran dari sisi Tuhanmu,
maka barangsipa yang ingi beriman,
hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang
ingin kafir hendaklah ia kafir....” (QS 18:29)
52
Fethullah Gulen, Toward Global..., hlm. 63
dan juga “ barangsiapa yang berbuat baik
dengan hidayahNya maka sesunguhnya dia
berbuat baik untuk keselamatn dirinya, dan
brangsiapa yang sesat maka sesungguhnya
dia tersesat bagi kerugiany sendiri” (QS
17:15). Dalam ayat lain juga dikatakan “
tidak ada paksan dalam agama” (QS 2: 256).
Maka berdasarkan ayat-ayat tersebut, iman
atau keyakinan adalah sebuah pilihan
individu dan piliha itu merupakan urusan
individu dengan Tuhan. Oleh karena itu,
pemaksaan kehendak atas kelompok lain
agar ememiliki keyakinan yang sama
dengan kita tidak dapat diterima dan tidak
dibenarkan. Bahkan dalam kasus ini, Nabi
pun pernah diperingatkan di dalam al-
Qur’an “ maka berilah peringatan, karna
sesungguhnya kamu hanayalah orang yang
memberikan peringatan”(QS 88 :21).
Maka sangat jelas beberapa ayat di atas
menegaskan manusia sebagai mahluk bebas
memilih. Fethullah Gulen terinspirasi dari
ayat-ayat di atas, sehingga ia lebih memilih
jalan dialog daripada memaksakan
kehendak dan mempengaruhi orang lain
untuk memngikuti Islam. karena baginya
pluralitas agama dan budaya adalah
‘sunnatullah’. Jadi, hal yang paling urgen
menurutnya adalah mencari jalan damai
menuju harmoni di tengah berbagai
perbedaan baik agama maupun budaya.
Selain terinspirasi dari al-Qur’an,
pandangan-pandangan Gulen juga
diinspirasi oleh rasululullah; Nabi
Muhammad. Dalam konteks perbincangan
ini, penulis akan fokus untuk melihat peran
Nabi di Madinah dalam membangun sistem
sosial dan pemerintahan yang adil, terbuka
dan menciptakan harmony in diversity.
Sebagai seorang teolog, Fethullah Gulen
banyak mengambil Inspirasi dan spirit
toleransi dan dialog yang dilakukan nabi
dalam kontesk Madinah. Kehadiran Nabi di
Madinah membawa perubahan signifikan
bagi masyarkat Madinah yang telah
48
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
mengalami konflik antar suku dan antar
agama berlarut-larut. Nabi berhasilkan
mendamaikan dan menyatukan semua
kalangan yang terdiri dari berbagai suku,
kabilah dan agama. Jika melihat struktur
sosial masyarakat Madinah saat itu, maka
boleh dikatakan madinah adalah negara
Multikultural.
Di bawah kepemimpinan nabi, struktur
masyarakat Madinah yang
multikulturalistik, dapat diatur sebagai
masyarakat yang harmonis. Hal tersebut
dilakukan dengan cara menghapus berbagai
sekat primordialisme baik yang berlatar
belakang agama, suku, maupun satus sosial.
di atas semua perbedaan yang ada, nabi
menganjurkan semangat persatuan antar
penduduk Madinah. Agar bangunan
kesatuan masyarakat Madinah memiliki
kekuatan hukum yang legal, maka nabi
mempelopori lahirnya konstitusi Madinah;
konstitusi yang menjadi kesepakatan dan
tanggung jawab bersama masyarakat
Madinah untuk melaksanakanya, demi
persatuan. Konstitusi ini kemudian lebih
dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah”.
Melalu Piagam Madinah, nabi
mengendalikan sistem pemerintahan, baik
yang terkait dengan urusan internal
Madinah, maupun urusan di luar Madinah.
Prinsip dasar pemerintahan Madinah
adalah unity in diversity. sebagai langkah
awal, nabi berusaha mempersaudarakan
sahabat yang dari makkah (Muhajirun) atau
sebut saja non-pribumi dengan sahabat
Madinah (anshar); penduduk pribumi.
Persaudaraan dua kelompok ini sangat
kokoh, sehingga mampu mengahalau
provokasi-provokasi yang muncul dari
kalangan Yahudi dan Nasrani Madinah.
Hingga akhirnya kaum Yahudi dan Nasrani
bersepakat untuk masuk dalam lingkaran
kesepakatan Piagam Madinah.
Menurut Muhammad Shoelhi, ada
beberapa poin yang termuat di dalam
Piagam Madinah, antara lain; pertama,
Pentingnya kesatuan dan ikatan
nasionalisme dalam bingkai negara, demi
tercapainya cita-cita berasama, hal ini
termuat dalam pasal 17, 23 dan 42. Kedua,
pentingnya persaudaraan diantara ummat
beragama baik antar sesama muslim mapun
non-muslim, hal ini tertuang pada pasal 14,
15, 19 dan 21. Ketiga, Negara mengakui dan
melindungi kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama
masing-masing, soal ini dijelaskan pada
pasal 25, 26, 27, 28, 29 dan 30. Keempat,
tradisi masa lalu atau kearifan lokal yang
tetap berpedoman pada prinsip keadilan
dan kebenaran tetap dipertahankan dan
diberlakukan sebagaimana adanya,
penjelasan terkait soal ini di pasal 2 dan 10.
Kelima, seluruh warga negara memilik hak
dan kewajiban yang sama dalam
menjalankan tugas negara, dijelaskan dalam
pasal 18,24,36,37,38 dan 44. Keenam, setiap
warga negara memiliki kedudukan yang
sama di muka hukum, pasal 34, 40 dan 46.
Ketujuh, semua warga negara, wajib saling
membantu dan tidak diperkenankan
berbuat zalim, adapun orang yang lemah
harus dilindungi. Kedelapan, hukum harus
ditegakan tanpa kecuali, siapapun
pelanggar hukum tidak boleh dilindungi,
demi tegaknya kebenaran dan keadilan,
tertera pada pasal 13, 22 dan 43.
Kesembilan, kedamian merupakan tujuan
utama, namun untuk mencapai kedamaian
tidak boleh mengorbankan keadilan dan
kebenaran, pasal 24. Kesepuluh,
menghormati hak setiap orang, tertuang di
pasal 12. Kesebelas, pengakuan atas hak
pilih individu.
53
Poin-poin di atas menunjukan betapa
Nabi Muhammad sangat bijak dan sangat
laik disebut sebagai agen pro-
53
Mohammad Shoelhi (ed), Demokrasi
Madinah: Model Demokrasi cara Rasulullah,( Jakarta
:Republika,2003) hlm21-22
49
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
multikulturalisme. Kebijakan-kebijakan
yang tertuang di dalam piagam Madinah
tentunya merupakan hasil dari strategi
dialog dan toleransi yang diterapkan nabi
dalam berinteraksi dengan komunitas
Madinah. Fethullah Gulen dalam beberapa
tulisanya, selalu memuji keluhuran budi
pekerti rasul, terutama dalam konteks
madinah. hal tersebut menjadi inspirasi
besar baginya dalam menghadapi ‘global
civilization’. Dengan mentauladani rasul,
Gulen menekankan dua hal tersebut; dialog
dan toleransi, yang harus dikembangkan
dalam mengahadapi global civilization dan
multikulturalisme. Dialog menurut Gulen
merupakan sesuatu yang mengajak kepada
pencarian titik temu, hal ini sebagaimana
diungkapkannya :
Another aspect of establishing and
maintaining dialogue is the neccessity
of increasing the interests we have in
comon with other people. In fact, even
if the people we talk with the Jews and
cristians, this aproach still should be
adopted and issues that can be
separate us should be avoided
altogether.
54
Dari ungkapan tersebut, sangat jelas
bahwa upaya dialog bagi Fethullah Gulen
ialah momen pencarian titik temu
(kalimatun sawa’) dan kesamaan
kepentingan dengan orang lain. Bahkan
ketika harus berdialog dengan kelompok
Yahudi maupun Nasrani, pendekatan dialog
harus tetap berorientasi pada pencarian
kesamaan atau titik temu yang dimiliki
bersama. Adapaun terkait isu-isu yang bisa
memecah belah baik antara Islam, Yahudi
dan Nasrani harus dijauhi secara bersama-
sama.
Toleransi merupakan salah satu sifat
rasul. Rasul dididik menjadi toleransi oleh
54
Fethullah Gulen, Toward Global..., hlm.72
Allah sendiri. Dalam satu riwayat, Nabi
menyatakan “aku diutus menjadi fleksibel
dan toleran”
55
Meskipun “toleransi” tidak
ada secara spesifik dalam Asma’ al-husna,
namun, akar dari toleransi terdapat dalam
sifat-sifatNya seperti; Maha pengampun,
Maha pemaaf, Maha penyayang bagi semua
mahluk.
56
Toleransi merupakan elemen
yang paling esensial dalam sebuah sistem
moral. Ia merupakan sumber paling
penting dari disiplin spritual dan kebajikan.
terkadang toleransi digunakan semakna
dengan respek, penuh maaf, kemurahan dan
ampunan. terkait dengan bagaimana
seharusnya kita bersikap toleransi, Gulen
menyatakan ;
We should have such a tolerance tha
we are able to close our eyes to the
faults of other, to have respect for
different ideas, and to forgive
everything that is forgivable. In fact,
even when we faced with violations of
our inalienable rights, we should
remain resfectfull to human values and
try to establish justice.
57
Kita harus memiliki sikap toleransi,
karena dengan sikap tersebut kita tetap bisa
bersikap wajar atas kesalahan orang lain,
menghormati perbedaan pendapat, dan
memaafkan segala sesuatu yang bisa
dimaafkan. Meskipun bahkan ketika kita
dihadapkan pada kekerasan atas hak-hak
kita. kita harus tetap respek pada nilai-nilia
kemanusiaan dan menegakan keadilan.
Jika membaca kembali lembaran-
lembaran sirah nabawiyah, terutama dalam
kontesk Makkah. kita akan menjumpai
cerita-cerita kekejaman kaum Quraisy
terhadap rasul. Hinaan, cercaan, caci-maki
secara bertubi-tubi diterima beliau, namun
55
.تﺛﻌﺑﺎﺑﺔﯾﻔﯾﻧﺣﻟاﺔﺣﻣﺳﻟا
56
Fethullah Gulen, Toward Global..,hlm. 70
57
Fethullah Gulen, Toward Global...,hlm.73
50
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
beliau tetap sabar dan memaafkan semua
itu. Rasul memahami apa yang mereka
lakukan telah melewati batas, namun rasul
tidak ingin membalas sedikitpun, karena
nabi memandang mereka sebagai manusia.
sejelak-jelak manusia, selama manusia itu
masih menjadi manusia, pasti pada waktu
tertentu sifat-sifat kemanusiaan sebagai
fitrahnya akan muncul lagi. Maka kata
“maaf dan toleransi“ bagi nabi, tak boleh
hilang dari kehidupan manusia.
Kesadaran multikultural yang
ditunjukan rasul di Madinah, dijadikan
Inspirasi oleh Fethullah Gulen dalam
melakukan kegiatan-kegiatan dialog
interfaith dan intercultural. Selain itu,
pandanganya tentang multikulturalisme
didasarkan pada ajaran-ajaran al-Qur’an.
Fethullah Gulen, merujuk surat al-hujurat
ayat 13 sebagai dasar sense of
multiculturalism :
َٰٓﯾﺎَﮭﱡﯾَﺄٱ ُسﺎﱠﻨﻟﺎﱠﻧِإ ۡﻘَﻠَﺧ َٰﻨﻢُﻜﻦﱢﻣ ٖﺮَﻛَذ ٰﻰَﺜﻧُأَو ۡﻠَﻌَﺟَو َٰﻨ ۡﻢُﻜ ٗﺑﻮُﻌُﺷﺎ ٓﺎَﺒَﻗَو َﻞِﺋ ٓﻮُﻓ َرﺎَﻌَﺘِﻟ ْۚا ﱠنِإ ۡﻛَأ ۡﻢُﻜَﻣَﺮ َﺪﻨِﻋٱ ِ ﱠ ۡﺗَأ َٰﻘ ۚۡﻢُﻜ ﱠنِإٱ َ ﱠ ٌﻢﯿِﻠَﻋ ٞﺮﯿِﺒَﺧ١٣
“Wahai manusia, sesungguhnya
kami telah menciptakanmu dari laki-
laki dan perempuan, dan kami
jadikan kamu sekalian bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa agar kalian
saling kenal-mengenal,
sesungguhnya orang yang paling
mulia di sisi Allah adalah orang yang
paling bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah maha
mengetahui”
berdasarkan ayat di atas, kehadiran
beragam etnik, agama, suku, ra s adalah
ketentuan tuhan. dalam ruang publik bukan
alasan menjadi faktor konflik. Tetapi
semestinya keragaman tersebut menjadi
sarana untuk berdialog, bertukar pikiran
dan gagasan untuk menciptakan “common
good”. Itulah bentuk ejawantah dari
perintah “lita’a>rafu>” dalam ayat di atas.
Oleh karena itu, peran aktor-aktor dalam
ruang publik sangat dibutuhkan. Di sinilah
para pemikir muslim sebagai aktor, harus
memainkan peranya untuk saling berbagi
dan berdialog guna menciptakan “living
system” melalui kesadaran akan pentingnya
“peacefull co-existence in multicuturalisme
context”.
c. Islam dan Demokrasi
Sejak awal, teologi Islam diwarnai oleh
wacana politik. terutama pasca wafatnya
rasul. Pertarungan wacana antar sekte
kalam berkutat pada persoalan politik.
Namun dalam konteks modern, isu khilafah
dan imamah sepertinya tidak relevan lagi
untuk diperdebatkan. karena wilayah-
wilayah Islam sudah terpecah menjadi
negara bangsa. ummat Islam harus hidup
secara bersama-sama dengan komunitas
lain yang berbeda secara agama, ras dan
budaya di bawah sistem demokrasi. Maka
yang layak dikaji dan didisikusikan lebih
jauh adalah konsep negara (state) dan
kewarganegaraan (citizenship). Meskipun
demikian, sepertinya wacana klasik tentang
Imamah dan khilafah masih mewarnai
perdebatan konsep negara Islam. Hal ini
bisa dilihat dengan kemunculan kelompok-
kelompok yang mengusung ide khilafah
sebagai sistem negara.
Kemunculan “Islamic group” yang
paling fenomenal akhir-akhir ini misalnya
ISIS -untuk menyebut salah satunya- dan
masih banyak lagi kelompok lainya yang
memiliki ide-ide Islamisasi politik. sebagian
sarjana barat semisal Bernad Lewis (2002),
Ellie Kedurie (1994) dan Albert Hourani
(1961)
58
, menilai kelompok-kelompok
tersebut sebagai gerakan non-civil society.
Namun belakangan, penilaian terhadap
kelompok-kelompok Islam itu, memberikan
58
Lihat, Paul Weller and Ihsan Yilmaz,
European Muslim, Civility and Public life, hlm. 57
51
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
semacam generalisir terhadap Islam.
kelompok-kelompok tersebut dianggap
sebagai reprenstasi Islam secara umum.
Menurut penulis, Di sinilah letak bias
pandangan barat terhadap Islam.
Pandangan tersebut terjebak pada hasil-
hasil riset tentang Islam yang difokuskan
pada kelompok “Islamist” dan kemudian
dikonstruk menjadi pandangan umum atas
Islam.
Generalisasi “Barat” atas “Islam”
berimplikasi pada pembentukan citra
negatif atas Islam sebagai agama teror. Jika
diperhatikan secara seksama dan jujur,
mayoritas muslim tidak terlibat dalam
gerakan-gerakan radikal memiliki tendensi
politik. meskipun harus jujur diakui,
memang ada sebagian kelompok yang
melakukan hal itu. sebagian besar riset-
riset yang dilakukan sarajana barat,
cenderung megeneralisir Islam sebagi
agama teroris, kesimpulan ini boleh jadi
dipengaruhi oleh bias orientalis dalam
mengkonstruski timur, terutama Islam.
59
Kelompok tertentu dari kalangan
muslim (baca: Islamist) yang menunjukan
sikap anti barat dan demokrasi secara
berlebihan, bahkan sampai melakukan
tindakan-tindakan agresif, cenderung
menjadikan Islam sebagai instrumen politik
untuk melawan dominasi dunia barat.
60
Padahal Islam sesunguhnya adalah sebuh
visi moral bagi gerakan kemanusiaan. Di
tengah menguatnya pandangan negatif
terhadap Islam. ada satu pendapat yang
agak berbeda dari salah seorang sarjana
barat yaitu Clarck. ia mengatakan, terdapat
beberapa analisis yang berbahaya dalam
59
Lihat Wanda Krause, Civility in Islamic
Activisme:Toward a Better Understanding of Shared
Values for Civil Society development, dalam Paul
Weller and Ihsan Yilmaz (Ed), European Muslim,
Civility and Public, hlm. 58
60
Mustafa Akyol, Islam Without Extremes, A
Muslim Case for Liberty (New York, NY: Norton
House Inc, 2011), hlm. 198.
menilai Islam, hal ini disebakan karena
banyak peneliti gagal membedakan antara
“minority of violent Islamist group” dan
“majority of non violent islamist group”.
Kegagalan membedakan dua hal tersebut,
menyebabkan Islam selalu digeneralisir
sebagai sebuah kumpulan orang yang anti
demokrasi dan kelompok barbar(baca :
radikal).
61
Dalam Hingar-bingar dan riuhnya isu
Negara Islam dan Khilafah yang diusung
kelompok Muslim tertentu biasa diesebut
“Islamis”. Gulen justru berpendapat
demokrasi adalalah sistem pemerintahan
yang tepat dan masuk akal di zaman ini. Ia
menolak Islam politik, yang hanya
menjadikan agama sebagai ideologi
politik.
62
Ia juga mengkritik kelompok
Islamis yang dianggap berperan dalam
pembentukan citra buruk Islam dalam
pandangan barat, ia mengatakan :
Muslims cannot act out of ideological
or political partisanship and then dress
this partisanship in Islamic garb, or
represent mere desires in the form of
ideas; strangely enough, many groups
that have put themselves forward
under the banner of Islam export a
distorted image of Islam and actually
strengthen it.
63
Fethullah Gulen sadar bahwa negara
bangsa sudah memisahkan ummat Islam
secara teritorial. sehingga ummat Muslim
sudah menjadi identitas “warga negara”
dalam sebuah negara dan memiliki hak dan
tanggung jawab. Ia menekankan pada
fleksibelitas prinsip-prinsip Islam dalam
61
Wanda Krause, Civility..., hlm 58
62
Fethullah Gulen, Toward Global...,hlm. 58
63
Fethullah Gülen’s comments in Turkish
Daily News National, January 11, 2000 dalam Uğur
Kömeçoğlu, Islamism, Post Islamism and Civil
Islam..hlm. 25
52
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urusan pemerintahan dan mendialogkanya
dengan proses demokrasi. Terlepas dari
berbagai sisi negatifnya, demokrasi bagi
Gulen merupakan satu-satunya sistem
politik alternatif di dunia modern.
64
Gulen memandang demokrasi sebagai
sebuah sistem yang memberikan
kesempatan bagi setiap orang yang hidup
dibawah naunganya, kebebasan untuk
hidup dan mengekspresikan perasaan dan
pendapatnya. Oleh karena itu ia
menekankan urgenya sikap toleransi. karna
dalam negara yang menggunakan sistem
demokrasi, sikap toleran adalah harga mati.
Demokrasi taka akan akan eksis jika tak
didukung oleh sikap toleransi warga
negaranya.
65
Islam dan demokrasi seringkali
dibandingkan, bahkan di perhadap-
hadapkan (binary opposition). Sebagian
kelompok yang memperhadapkan Islam
dan demokrasi, bertujuan untuk
memperlihatkan sisi keunggulan Islam atas
demokrasi. melalaui klaim keuunggulan
Islam atas demokarasi, kemudian dijadikan
justifikasi agenda-agenda Islamisasi sistem
pemerintahan dan politik (Khilafah).
Menurut penulis, Penting untuk dicatat,
bahwa sebelum membandingkan Islam dan
demokrasi, maka terlebih dahulu kita harus
fokus pada aspek kehidupan sosial (social
life). Islam sebagai “keyakinan” tidak bisa
dibandingkan pada basik yang sama dengan
demokrasi sebagai sistem politik, Karena
agama lebih fokus pada aspek permanen
(tsawabit) dalam hidup manusia sebagai
pemeluk agama. Sedangkan sistem
demokrasi konsen pada variable aspek
kehidupan sosial manusia yang berubah
dan bersifat duniawi.
66
Maka, aspek-aspek
yang harus dibandingkan antara Islam dan
64
Fethullah Gulen, Essay, Persfektives, and
Opinion (New jersey, Thugra Books, 2009) hlm. 4
65
Fethullah Gulen, Toward Global..., hlm. 44
66
Fethullah Gulen, Toward Global...,hlm.221
demokrasi adalah pada aspek-aspek
antroposentris (Baca: Mu’amalah). Bahkan
rasul pun mengaskan itu dalam sebuah
hadis “antum a’almu bi umu>ri duniyakum”.
Terkait hubungan antara Islam dan
demokrasi Gulen Menyatakan:
When comparing religion or Islam
with democracy, we must
remember that democracy is a
system that is being continually
develop and revised. It also varies
according to the place and
circumtances where it is practiced.
On the other hand, religion has
established immutable principles
related to faith, worship and
morality, thus, only Islam’s wordly
aspect should be compared with
democracy.
67
Berdasarkan statemen di atas, Gulen
mengakui bahwa demokrasi bukanlah
sesuatu yang baku, demokrasi senantiasa
terus dikembangkan dan diperbaiki.
sedangkan sebagian kelompok yang anti
demokrasi, telah melakukan perbandingkan
antara Islam dan demokrasi secara keliru.
Mereka membandingkan Islam sebagai
keyakinan, maka jelaslah akan selalu ada
tendensi. menurut Gulen, Islam memiliki
aspek yang qat’i seperti ibadah mahdlah
dan di sisi lain Islam juga memiliki dimensi
Ijtihadi, seperti persolan-persolan sosial
kemasyarakatan. Dalam hal ini, sistem
pemerintahan termasuk dalam aspek sosial
yang berada pada wilayah ijtihadi. Maka,
perbandingan yang tepat adalah
membandingkan demokrasi dengan aspek-
aspek sosial-etik Islam pada wilayah ijtihadi
(mutahawwil); yang selalu berubah sesuai
kebutuhan ummat dan narasi sejarah.
Menurut penulis, Pandangan Gulen
mengenai persinggungan Islam dan
67
Fethullah Gulen, toward Global...,hlm.221
53
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
demokrasi, memiliki rasionalisasi ideal-
religius dengan menampilkan nilai-nilai etik
universal Islam yang sesuai dengan
konteks modern sekuler. Mengingat ia
adalah seorang sufi master, hal ini tentunya
merupakan proyeksi pandangan dunia
mistisme kepada pemahaman tentang
sekularisme. Sekularisme di sini, dalam
persfektif Gulen sangat terkait dengan
usahanya untuk mengcounter binari oposisi
yang dibentuk oleh Islamis antara Islam dan
pluralisme modern dalam ruang demokrasi.
Ia berusaha menghindari dikhotomi kaku
antara Islam dan non-Islam, Dar-al Harb
(place of war) dan Dar-al Islam (place of
Peace), sebagaimana dicitakan para
kelompok Islamist. Distungsi semacam itu
tidak perlu, kerena distingsi tersebut
seringkali melahikan konflik horizontal
yang destruktif. Dalam kontekas modern
dan demokrasi, Gulen menawarkan Dar-al
Hizmet (place of service), sebuah dunia
pengabdian untuk sesama dan
kemanusiaaan.
68
Sebagian muslim memandang
modernisasi dengan segala pirantinya -
termasuk demokrasi- adalah produk barat
dan tidak layak ditiru. Islam dan
Modernisasi seolah-olah dijadikan dua
kutub yang saling bertentangan. Terkait hal
itu, Gulen berusaha mengikis elemen-
elemen yang menumbuhkan potensi konflik
antar kepentingan religius dan dunia
modern. Menurutnya, Kegagalan kalangan
Muslim dalam proses modernisasi,
disebabkan ketidakmampuan
mensinergikan antara agama, sains dan
revitalisasi pendidikan. ia menegasakan
bahwa sain dan agama tidaklah berlawanan.
Menurutnya, dengan memanfaatkan sain
modern, kaum muslim akan semakin
memahami keteraturan alam semesta. dari
pengetahuan tersebut semestinya kaum
68
Lihat, Uğur Kömeçoğlu, Islamism, Post
Islamism and Civil Islam
muslim akan semakin memahami
kemahakuasaan Tuhan. Dari proses sinergi
agama dan Sain akan terkait aspek esoterik
dan pemahaman spritual Islam. Gulen pun
menegaskan pandanganya tentang
sekularisme modern,
Secularization is an inevitable
characteristic of human nature. But
man is not only a body. He has a soul,
too. He has a metaphysic dimension
besides the physical one. He has both
sacred and profane aspects. Therefore
a perfect democracy can welcome both
the physical and metaphysical needs of
its subjects.
69
Pemahaman Gulen tentang sekularisme
terkait dengan usahanya untuk mengkonter
binari oposisi yang dibentuk oleh Islamis
antara Islam dan pluralisme modern. Gulen
tidak menciptakan perbedaan yang kaku
seperti yang diciptakan Islamis antara Islam
dan non-Islam, dar-al Harb (place of war)
and Dar-al Islam (place of Peace), kerena
distingsi tersebut seringkali melahikan
konflik horizontal yang destruktif. Gulen
menegaskan bahwa bahwa dunia modern
adalah Dar-al Hizmet (place of service). Tak
perlu lagi ada distingsi semacam itu.
Berdasarkan persfektif sekuler yang
dibentuk Gulen dan ide pengabdian kepada
kemanusiaan, maka sangat jelas bahwa
gulen menggunakan pedekatan civil Islam.
bahkan, ia tidak menempatkan ummah
sebagai entitas politik, tetapi ia
menempatkanya dalam ruang sosial
budaya, yang secara internal beragam, dan
tidak mengambil sikap opoisisi terhadap
dunia non-Muslim. Maka dari itu, pemikiran
Fethullah Gulen, meginisiasikan dan
menganjurkan untuk terus melakukan
69
Fethullah Gülen’s comments in Samanyolu
Television channel (STV – Haber Kritik), March 29,
1997.
54
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
kegiatan dialog interfaith dan intercultural,
untuk mengurangi “clash” antara Islam dan
Barat. Sebagaimana diungkapakan oleh
John O. Voll ;
“in the clashing visions of
globalizations, F. Gulen is a force
in the development of the Islamic
discourse of globalized
multicultural pluralism. As the
impact of the educational
activities of those influenced by
him attests, his vision bridges
modern and postmodern, global
and local, and has a significant
influence in the contemporary
debates that shape the visions of
the future of Muslims and non-
Muslims alike.”
70
Berdasarkan statemen di atas, maka
posisi Fethullah Gulen sangat jelas dalam
proses pengembangan wacana keIslaman
dalam konteks globalisasi multikultural-
pluralisme. Sebagai dampak dari
pendidikan yang dipengaruhil oleh
pemikirannya yang mencerahkan, dia
menjembatani modern dan posmodern,
global dan lokal, dan ia memiliki pengaruh
besar dalam diskusi-diskusi kontemporer
mengenai visi tentang masa depan Muslim
dan non-Muslim untuk hidup secara
bersama-sama.
d. Aktivisme Sosial: Hizmet,
Pendidikan dan
Multikulturalisme
Hizmet movement adalah gerakan
berpusat di Turkey; aktif dalam dunia
pendidikan, civil society, bisnis dan
70
John O. Voll, “Fethullah Gulen Transcending
Modernity in the New Islamic Discourse,” dalam
Yavuz, M. Hakan and Esposito, John L. Turkish Islam
and the Secular State (Syracuse, NY: Syracuse
University Press, 2003), hlm. 247.
kegiatan-kegiatan lain di sekitar 150 negara
di dunia. Gerakan ini didasarkan pada
pemikiran-pemikran Gulen, yang
menekankan nilai-nilai spritual dan
humanisme dari tradisi Islam. Gerakan ini
merupakan sebuah gerakan kultural; non-
politik dan gerakan edukasi yang memiliki
prinsip dasar nilai-nilai universal Islam,
seperti cinta pada seluruh makhluk tuhan,
simpati pada kemanusiaan, dan menjunjung
sikap altruisme (i>tsar).
71
Hizmet merupakan kosakata bahasa
turki yang berasal dari akar kata bahasa
Arab “Khidmah”; yang berarti pelayanan
(serving). Pemikiran tentang hizmet
memilik pendasaran dari ajaran Islam dan
berkait erat dengan kesalehan. bagi Gulen,
kesalehan harus ditunjukan dengan aksi
nyata. Pun demikian halnya Iman adalah
applied action, yang tak cukup pada level
keyakinan semata. Dengan pelayanan yang
tersebar di berbagai belahan dunia, Gulen
movement menjadi gerakan civil terbesar.
72
Salah satu tujuan utama Hizmet adalah
untuk menumbuhkan kesadaran komunitas
muslim agar dapat menyessuaikan diri
dengan corak masyarakat demokratis. Dan
Hizmet juga sebagai kritik terhadap
Islamist. Bagi Gulen, gerakan-gerakan
kelompok Islamis biasanya dimotivasi oleh
kepentingan kelompok dan agenda politik
yang didasari ambisi keduniawian dan
kekuasaan, dengan bersikap radikal dan
cenderung melakukan kekerasan. Sebagai
gerakan Islam, Hizmet mencoba untuk
merevitalisasi iman. dan percaya bahwa
Islam memiliki aturan untuk memainkan
peran dalam proses pemberdayaan dan
penguatan civil dan kehidupan politik yang
demokratis. Perbedaan yang cukup kontras
71
Lihat, Fethullah Gulen Biografical Album,
(Gulen Institute: e-paper) hlm. 21-23
72
Lihat, Yavuz and Esposito, Turkish Islam
and Secular State ; The gulen Movement, (Syracuse
:University press) hlm. xiii
55
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
antara kelompok Islamis dan gerakan
Hizmet adalah angota Hizmet tidak
bertujuan mencari kekuasaan politik dan
tidak pula untuk menyebarkan ideologi
partai politik tertentu. Gerakan ini hanya
bertujuan untuk mengimprovisasi
masyarakat modern dan mengembangkan
dan memajukan manusia dengan cara
memperkuat spritualitas dan kesalehan
individu. Karakter kesalehan yang dibentuk
oleh ideologi gerakan Hizmet, konsen pada
pembentukan karakter individu-individu,
karena hal itu dipandang sangat penting.
Gulen mengkritik keras kelompok-
kelompok yang menjadikan al-Qur’an
sebagai Legitimasi untuk merebut
kekuasaan politik,
The Quran is an explanation of the
reflections of the divine names on earth
and in the heavens… It is an
inexhaustible source of wisdom. Such a
book should not be reduced to the level
of political discourse, nor should it be
considered a book about political
theories or forms of state. To consider
the Quran as an instrument of political
discourse is a great disrespect for the
Holy Book and is an obstacle that
prevents people from benefiting from
this deep source of divine grace.
73
Menurut Gulen, Qur’an sebagai
penjelasan atas refleksi sifat-sifat dan asma
tuhan baik di langit dan di bumi.. adalah
sumber dari segala kebijkasanaan. Sebagai
kitab suci al-Qur’an tidak boleh direduksi
kepada wilayah wacana politik, tidak pantas
juga dijadikan sebagai buku tentang teori-
teori politik atau negara. Menjadikan al-
Qur’an sebagai intrumen wacaa politik
73
Fethullah Gülen, “An Interview with
Fethullah Gülen,” The Muslim World (Special Issue
on Islam in Contemporary Turkey: The Contribution
of Fethullah Gülen) Vol. 95, No. 3 (2005),hlm. 451.
merupakan penghinaaan besar atas al-
Qur’an sebagi kitab suci dan hal itu
merupakan pengahlang terbesar bagi
manusia untuk mendapatkan rahmat
Tuhan.
Pemahman Gulen tentang Islam dan
teks-teks Islam lebih menekanakankan
pada aspek esoteris daripada eksoteris.
Ketika para Islamis cenderung
mempromosikan pemahaman yang lebih
bersifat fiqhi dan politisasi tafsir atas al-
Qur’an, pendekatan Gulen terhadap al-
Qur’an bertujuan untuk menunjukan ajaran
terdalamnya (deepest)) tentang spritualitas
dan kerinduan manusia atas eksistensi
tuhan. Terkait hal itu, Sesungguhnya,
urgensi hukum syari’ah hanya disebutkan
sebanyak dua kali di dalam al-Qur’an (42:13
and 45:18) sedangkan exigency iman
termanifest dalam beberapa halaman.
Melalui penafsiran yg rich dan literal, gulen
membantu untuk menunjukan inner
dinamika sprituality dari ajaran Islam. dan
ia menekankan aspek pengalaman “self-
trancendent” yang mungkin bagi semua
orang dalam kehiduapn sehari-hari.
Mengelaborasi beberapa aspect Islam
tersebut Gulen secara khusus menulis buku
Emerald Hills of Heart : Key concepts in
Practice of sufism.
Sebagai aplikasi konsep hizmet dalam
bentuk aktivisme sosial, para pengikut
Gulen mengagas beberapa organisasi sosial
untuk membantu mensejahterakan
masyarakat, baik di dalam maupun di luar
Turki. Organisasi sosial serta lembaga
pendidikan yang dibentuk Fethullah Gulen,
disponsori oleh para dermawan dari
kalangan pengusaha yang terinspirasi dari
ajaran-ajaran Gulen dan disupport pula oleh
guru-guru yang tulus, serta para orang tua
yang memiliki semangat untuk
meyekolahkan anaknya. Sekolah-sekolah
Gulen, antara lain tersebar di Turki bagian
56
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
Tenggara, Asia tengah, Asia Timur dan
Tenggara, Eropa dan juga Amerika.
Gerakan ini merupakan gerakan non-
pemerintahan, tapi semacam gerakan civil
society yang mendukung isu-isu demokrasi,
keterbukaan terhadap globalisasi,
progresivitas dalam mengintegrasikan
tradisi dan modernitas. Fakta ini menjadi
“counter narasi” terhadap pendapat para
sarjana barat yang menilai nyaris semua
“kelompok-kelompok Muslim” adalah
gerakan radikal dan politis. Fenomena
Gulen Movement mementahkan analisis
para sarajana tersebut, karena Gulen
Movement sebagai Islamic group tidak
radikal dan non-politik. Bahkan gerakan ini
justru memberikan kontribusi besar pada
isu-isu kemanusiaan dan multikulturalisme
di dunia.
74
Pendidikan bagi Gulen, memiliki peran
yang sangat penting. Karena hanya melalui
pendidikan mindset masyarakat bisa
dirubah. Kondisi sosial turki saat itu, telah
mengilhaminya untuk menyebarkan ide-
idenya melalui jalur pendidikan. Karena hal
itu merupakan langkah strategis untuk
membangun kembali semangat para
generasi muda turki yang telah kehilangan
harapan. Selain itu, pendidikan juga seabgai
simbol dari harmonisasi hubungan antar
budaya dan kepercayaan, penyatuan iman
dan nalar, serta dedikasi yang tulus pada
sesama.
Bagi Gulen, humanity tidak akan pernah
lahir ke dunia ini tanpa proses pendidikan.
Pendidikan akan menghadirkan generasi
muda yang memahami kepentingan dirinya
sendiri dan orang lain. Sebagaimana
ungkapan Gulen “ I encouraged people to
serve the country in particular, and
humanity in general, trough education”
75
.
Pandangan Gulen tentang pendidikan juga
74
Wanda Krause, Civility...,hlm. 58
75
Fethullah Gulen, Essay, perspectives..., hlm.
87
ditulis oleh Charles Nelson, ia merangkum
pokok-pokok pemikiran Gulen sebagai
berikut :
The end of Gulen’s educational
vision is to raise a “Golden
Generation” a generation of ideal
universal individual, individual
who love truth, who integrate
sprituality and knowledge, who
work to benefit society (Gulen,
1998) a merging of universal
ethical values with science and
modern knowledge (Gulen, 2004)
that produce “genuinly
enlightened people (Gulen, 1996)
who motivated by love, take
action to serve others (Gulen,
2000)
76
Jadi, visi pendidikan Gulen adalah
untuk menciptakan “generasi emas” yaitu
generasi yang berkepribadian ideal dan
universal, yakni individu yang mencintai
kebenaran, yang mengintegrasikan
spritualitas dan ilmu pengethuan, yang
bekrja untuk memberi manfaat pada
masyarakat. menggabungan nilai-nilai etika
universal dengan sain untuk menciptakan
orang-orang yang tercerahkan secara
genuin, yang selalu dimotivasi oleh rasa
“cinta” dan beraksi untuk melayani sesama.
Gerakan Gulen menghindari
keterlenaan pada romantisme masa lalu,
mengenang masa kejayaan Islam dalam
mimpi-mimpi indah yang membuat terlena
namun hampa. Gerakan ini lebih memilih
melakukan penyegaran terhadap
modernitas dengan nilai-nilai tradisional.
Tujuan utama gerakan ini adalah mendidik
76
Charles Nelson, Fethullah Gulen : A vision
of trancedent education, (Fethullah Gulen Oficial web
: e-paper) hlm. 6, diakses di web resmi Fethullah
Gulen 1 juli 2015.
57
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
generasi muda agar memiliki kedalaman
spritual, kecerdasan intelektual dan
berkomitmen untuk mengabdi untuk
sesama.
77
Hal tersebut sebagaimana
statemen Gulen sebagai berikut :
It is an education of heart and souls as
well as of the mind. Aimed at
invigorating the whole being to
achieve personal competence and the
ability to be useful citizen for the
benefit of others
78
Dalam mengembangkan filosofi
pendidikanya, Gulen berangkat dari
pengalamanya melihat kelemahan
pendidikan di turki. menurutnya ada dua
hal penting yang menjadi problem
pendidikan di Turki : pertama, lembaga
pendidikan sekuler tidak bisa melepaskan
diri dari “Prejudice” ideologi modern dan
cenderung materialistis. kedua. Madrasa
(traditional school) memiliki kelemahan dan
kemunduran dalam bidang teknologi dan
pengetahuan saintifik, Hal ini disebabkan
oleh kurangnya semangat pengembangan
ilmu pengetahun dan teknologi di dalam
madrasa .
Menurut Gulen, pelajaran sains tidak
harus dipisahkan dengan pengembangan
spiritualitas. dalam pengembangan individu
maupun sosial, harus adanya integrasi
antara agama dan sains, spiritualitas dan
intelektualitas, rasio dan wahyu, akal dan
hati. Model pendidikan seperti inilah yang
di kehendaki Gulen. Jadi, kesalehan dan
spritulitas merupakan hal yang sangat
urgen dalam pengembangan masyarakat,
sebagaimana pernyataan Gulen :
Judge your worth in the creator’s sight,
by how much space he occupies in your
77
Aslandogan, Present and potential impact
of the spritual Tradition of Islam on contemporary
muslim : From Ghazali to Gulen, hlm. 672
78
Lihat, wanda Krause, Civility...,hlm. 59
heart, and your worth in people eyes by
how you treat them. Do not neglect the
truth even for a moment. And yet, “be
human being among other human
beings”
79
Kata kunci dari falsafah pendidikan
Gulen adalah harmonisasi antara
modernitas dan spiritulitas serta semangat
pengabdian diri kepada sesama dengan
penuh kesadaran multiculturalisme. Melihat
agenda pendidikan yang gagas Gulen,
sepintas agak mirip dengan konsep
integrasi dan interkoneksi yang
dikembangkan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, sebagaimana digagas oleh Amin
Abdullah. Gulen berpandangan bahwa sains
dan iman tidak saja bersanding, tetapi juga
saling melengkapi. Karena itu ia mendorong
riset-riset ilmiah dan memanfaatkan
kemajuan tekonologi untuk kebaikan
ummat manusia. Dialog interfaith dan
intercultural tidak cukup unutuk
menciptakan harmoni, lebih dari itu, kita
membutuhkan bahasa universal sebagai
media pemersatu ummat manusia yaitu
sains.
80
Meskipun Gulen Movement identik
dengan identitas muslim-Turki, namun
gerakan ini berkembang ke berbagai
belahan dunia, termasuk ke negara-negara
berpenduduk mayoritas non-muslim.
Uniknya, di negara-negara berpenduduk
non-muslim, banyak komunitas non-muslim
tertarik dan simpatik pada gerakan ini dan
ikut menjadi volunter. Hal ini menunjukan
bahwa prinsip-prinsip dasar dalam ajaran
Gulen, mampu mempengaruhi orang-orang
79
Wanda Krause, Civility...,hlm. 59
80
Dalam dunia modern sains adalah milik
semua orang dan berlaku universal, maka akan
sangat efektif menjadikan sains sebagai bahasa
bersama untuk mempertemukan manusia,
disampaikan oleh Prof Amin Abdullah dalam kuliah
filsafat Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
58
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
yang berbeda baik secara agama, kultur dan
budaya. Di titik inilah, kita bisa melihat
kontribusi Gulen Movement sebagai
gerakan yang menciptakan kesadaran
multikultural.
F. Simpluan
Dari urain di atas, maka dapat
disimpulkan beberap hal. Pertama,
Modernisasi, pluralisme dan
multikulturalisme adalah anomali bagi
diskursus kalam klasik. Paradigma
dogmatis-ekslusif kalam klasik mengalami
kebuntuan ketika dihadapakan pada isu-isu
seperti demokrasi, sekularisme, pluralisme,
konsep negara dan kewarganegaraan.
Sehingga dalam konteks ini, kalam klasik
niscaya harus di-rethinking agar tetap
memiliki kontribusi bagi kehidupan, dengan
cara melakukan shifting paradigm ke arah
teologi yang bersifat inklusive, dialogis dan
progressif; yang penulis sebut dengan
“teologi Sosial”. Kedua, Pergeseran dari
kalam menuju teologi sosial adalah sebuah
upaya pembaruan dan reformulasi
diskursus teologi Islam kedalam kontesk
peradaban global, dengan tujuan revitalisasi
fungsi teologi Islam dalam ruang publik,
dengan menggali nilai-nilai tradisional
Islam kemudian didialektikakan dengan
nilai-nilai positif dalam peradaban modern.
Ketiga, Pemikiran Fethullah Gulen,
merupakan dinamika dari diskursus teologi
kontemporer yang “aware” terhadap
persoalan multiculturalisme. Pemikiranya
memiliki aplikasi praksis untuk
menjembatani “dialog antar peradaban”,
Dengan mengedepankan dua konsep kunci
yakni “dialog dan toleransi”, serta
mengembangkan gagasan teologi cinta,
Spirit multicultralisme dari al-Qur’an dan
Etika-moral Nabi, dan Hizmet movement
sebagai aplikasi praksis dari konspesi
pandangan teologinya yang kosmopolit.
Eksistensi pemikiran Ftehullah Gulen dan
Hizmet mivemenya, menjadi konter-narasi
bagi analisis simplistis Huntington dengan
tesisnya tentang “Clash of Cvilization”
menuju “Dialogue Among Civilization”
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1995.
Abdullah, Amin. Islamic Studies di
Perguruan Tinggi : Pendekatan
integrative-interkonektif,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2006.
Ahmad Baso, Posmodernisme sebagai kritik
Islam :Kontribusi metodologi ‘Kritik
Nalar”’ Muhammad Abed al-Jabiri,
Yogyakarta : LKIs, 2000.
al-Ghazali, al-Munqidz min al-dala>l, Dar-
alkitab al-Arabi t.t
Al-Ghazali, Iljam al-‘Awwam an Ilmi al-
Kala>m, Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi. t.t.
Araby, Ibnu. al-Futu>ha>t al-Makkiyah,
Mahmu>d Matraji> (ed), 8 volume,
beirut : Da>r al-Fikr, 2002.
Arkoun, Mohammad. al-Isla>m : al-Akhla>q
wa al-siya>sah, terj Hasyim Salih, Beirut
:1986.
Bahri, Media Zainul Bahri. Satu Tuhan
Banyak Agama : Pandangan sufistik
Ibnu Arabi, Rumi dan al-jili, Jakarta :
Mizan Publika, 2011.
Bakara, Osman. Hierarki Ilmu, Bandung :
Mizan, 1997.
59
RETHINKING ISLAMIC THEOLOGY – Muhammad Said
Charles Nelson. Charles Fethullah Gulen : A
vision of trancedent education,
Fethullah Gulen Oficial web : e-paper,
2011
Parekh, Bikku. Dalam Dewi“ Lucia Ratih
Kusuma. “Kembalinya Subyek:
sosiologi memaknai kembali
multkulturalisme” Jurnal sosiologi
masyarakat.
Enginer, Asghar Ali. Islam dan Teologi
Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1999.
Fazlurrahman, Islam terj. Ahsin
Muhammad, Bandung : Pustaka Salman,
1990.
Giddens, Athony. The Consequences of
Modernity, Cambrigdge : Polity Press, 1990.
Gulen, Fethullah. “ Toward Global
Civilization of Love and Tolerance “
New jersey, The Light, 2004.
Gulen, Fethullah. Essay, Persfektives, and
Opinion, New jersey, Thugra Books, 2009.
http://nasional.kompas.com/read/2012/1
2//Lima.Kasus.Diskriminasi.Terburuk.Pasc
areformasi.
Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, Lahore, 1975.
Jarir, Ibnu. Tari>kh al-Thabari, Kairo :Da>r
al-ma’arif 1963.
Kimball, Charles. When Religion Become Evil
terj. Nurhadi dan Izzudin wasil, Bandung :
Mizan, 2013.
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam, Bandung :
Mizan, 2008.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1999.
Nasution, Harun. Teologi Islam: aliran-
aliran, sejarah, analisa dan
perbandingan, jakarta : UI Press, 2012.
Ridwan, AH. Reformasi Intelektual Islam,
Yogyakarta : Ittaqa press, 1998.
Ritzer, George. Teori Sosiologi ; Dari Sosilogi
klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Posmodern, Yogyakarta, Pustaka
pelajar, 2012.
Rusyd, Ibnu Fasl al-Maqa>l fi ma> bain al-
Hikmah wa Asy Syaari’ah min al-
Ittisa>l. Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.
Saeed, Abdullah. Islamic Thought: an
Introduction, New York : Rouledge, 2006.
Safi, Omid. Progressive Muslims; on Justice,
Gender and Pluralisme, British,
Oneworld Oxford, 2008.
Shoelhi, Mohammad (ed). Demokrasi
Madinah: Model Demokrasi cara
Rasulullah, Jakarta : Republika,2003.
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme
tantangan bagi filsafat, Yogyakarta :
Kanisius, 1996.
Watt, Wiliam Montngomery. Muhammad
Prophet and Statesman, Oxford University
Press, 1961.
Weller, Paul and Yilmaz, (ed). European
Muslim, Civility and Public life, India :
60
POTRET PEMIKIRAN – Vol.20, No. 1, Januari - Juni 2016
OTRET PEMIKIRAN -- Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
urnal Penelitian dan Pemikiran Islam – Vol.19, No. 1, Januari - Juni 2018
Continuum International publishing
Group. 2012.