Available via license: CC BY-NC 4.0
Content may be subject to copyright.
J. Segara Vol.14 No.3 Desember 2018: 145-157
PENGELOLAAN WILAYAH GAMBUT MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DESA PESISIR DI KAWASAN HIDROLOGIS GAMBUT SUNGAI KATINGAN DAN
SUNGAI MENTAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
PEATLAND MANAGEMENT THROUGH COASTAL VILLAGE COMMUNITY EMPOWERMENT
IN THE PEATLAND HYDROLOGICAL AREA OF KATINGAN AND MENTAYA RIVERS
OF CENTRAL KALIMANTAN PROVINCE
Muhammad Ramdhan1) & Zaenal Arin Siregar2)
ABSTRAK
Area gambut yang ada di wilayah pesisir memiliki peran ekologis yang penting sebagai penyimpan karbon, penyimpan
air, konservasi biodiversitas dan aktivitas ekonomi masyarakat. Pengelolaan wilayah gambut dilakukan dengan memperhatikan
keseimbangan faktor sosial, ekonomi dan juga lingkungan sik. Makalah ini memaparkan usaha pengelolaan wilayah gambut di
kawasan hidrologis gambut Sungai Katingan - Sungai Mentaya seluas 254.522 hektar yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah.
Metode kuantitatif-kualitatif melalui teknik GIS dan survey lapangan dilakukan untuk mendapat parameter terkait pengelolaan
lahan gambut di lokasi studi. Upaya restorasi yang dilakukan oleh pemerintah ada tiga jenis yaitu melakukan rewetting di areal
gambut yang berkanal dan pernah terjadi kebakaran, revegetasi bagi wilayah gambut yang tutupan vegetasinya sudah < 25%
dan pembentukan desa-desa peduli gambut yang dilakukan melalui suatu pendekatan sosial pada masyarakat sekitar yang
beraktivitas sehari-hari di kawasan gambut tersebut.
Kata kunci: Pengelolaan wilayah gambut, restorasi gambut pesisir, pemberdayaan masyarakat,
Kalimantan Tengah.
ABSTRACT
The existing coastal peatlands area have an important ecological roles as carbon sinks, water storage, biodiversity
conservation and economic activities. The management of the peatlands have to be done by considering the balance of
social, economic and physical environment. This paper describes the peatland management efforts in the Katingan River -
Mentaya River peat with the area of 254,522 hectares in Central Kalimantan Province. Qualitative quantitative methods through
GIS techniques and eld surveys were conducted to obtain parameters related to peatland management at the study site.
The government’s have a plan to do a restoration efforts with threetype ofactivities: rewetting in deep-seated peatlands and
res,revegetation for peatlands whose vegetation cover is <25% and the establishment of peatlandcare villages. All that efforts
will be conducted through a social approach to the communities which have daily activities in the peatlands area.
Keywords: Peatland Management, coastal Peat Restoration, community empowerment, Central
Kalimantan.
1)Pusat Riset Kelautan, BRSDM – KKP
2)Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan, BRSDM – KKP
Jln. Pasir Putih 1 Ancol Jakarta; Telp/fax : +62 21 64711583
Diterima: 27 Desember 2017; Diterima Setelah Perbaikan: 06 Desember 2018; Disetujui Terbit: 10 Desember 2018
Corresponding author:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: m.ramdhan@kkp.go,id
Copyright © 2018 Jurnal Segara
DOI: http://dx.doi.org/10.15578/segara.v14i3.6416 145
JURNAL SEGARA
http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/segara
ISSN : 1907-0659
e-ISSN : 2461-1166
Nomor Akreditasi: 766/AU3/P2MI-LIPI/10/2016
PENDAHULUAN
Gambut adalah suatu ekosistem yang terbentuk
karena adanya produksi biomassa yang melebihi
proses dekomposisinya. Menurut peraturan pemerintah
Nomor 71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan
pengelolaan ekosistem gambut, gambut didenisikan
sebagai material organik yang terbentuk secara alami
dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak
sempurna dan terakumulasi pada rawa. Ekosistem
gambut adalah tatanan unsur gambut yang merupakan
satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas, dan produktivitasnya (Setneg. 2014a).
Tanah gambut disebut juga sebagai Histosols
(histos = tissue = jaringan; Sols = Tanah), sedangkan
dalam sistem klasikasi tanah nasional tanah gambut
disebut Organosols (tanah yang tersusun dari bahan
organik). Menurut BBPPSLP (2011) tanah gambut
didenisikan sebagai tanah yang terbentuk dari
timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang
sudah lapuk maupun belum. Tanah gambut
mengandung maksimum 20 % bahan organik apabila
kandungan bagian tanah berbentuk clay mencapai 0
%; atau maksimum 30 % bahan organik, apabila
kandungan clay 60 %, dengan ketebalan lahan organik
50 cm atau lebih.
Negara Indonesia memiliki lahan gambut terluas
diantara negara-negara di Asia Tenggara. Luas lahan
gambut di Asia Tenggara adalah lebih dari 24 juta
hektar atau sekitar 12 % dari luas keseluruhan
kawasan Asia Tenggara(CKPP. 2008; Dohong et al.,
2017). Lahan gambut Indonesia tersebar di 3 pulau
utama, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas
total lahan gambut Indonesia adalah 14.905.574 Ha
(BBPPSLP. 2011)
Lahan gambut memiliki fungsi ekosistem yang
sangat penting. Paling tidak ada 4 fungsi kawasan
gambut yaitu: sebagai penyerap karbon, gambut
sebagai penyangga air, tempat hidup berbagai jenis
ora dan fauna yang unik, dan tempat mencari mata
pencaharian bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya.
Lahan gambut di wilayah pesisir memiliki permasalahan
kompleks terkait interaksi lingkungan di dalamnya
sehingga sangat rentan untuk mengalami kerusakan
(Miloshis & Faireld, 2015). Kerusakan lahan gambut
di Asia Tenggara telah menyebabkan pelepasan
karbon yang signikan (Wit et al., 2015). Di Indonesia
kerusakan fungsi ekosistem gambut ini umumnya
terjadi akibat dari pengelolaan lahan yang keliru
berupa pemilihan aktivitas di kawasan gambut yang
tidak sesuai dengan karakteristik lahan gambut, seperti
perkebunan sawit dan konversi lahan gambut menjadi
sawah. Hal ini mengakibatkan pengurasan air di
kawasan gambut yang berakibat kekeringan (kering
Pengelolaan Wilayah Gambut ...... Provinsi Kalimantan Tengah (Ramdhan, M. & Siregar, Z.A.)
146
tak balik) pada tanah gambutnya dan membuat tanah
tersebut menjadi rentan akan kebakaran.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sampai
dengan Oktober 2015, mencapai luasan 1,7 juta hektar
(http://res.globalforestwatch.org). Kenyataan di
lapangan menunjukkan kebakaran yang terjadi hampir
setiap tahun dengan luasan yang selalu bertambah
merupakan kenyataan bahwa gambut tidak lagi dalam
kondisi alaminya atau sudah mengalami kerusakan.
Salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan
akibat kesalahan dalam pengelolaan lahan gambut
untuk kegiatan usaha. Selain itu, alih guna atau
konversi besar-besaran lahan menyebabkan
kerusakan pada lahan gambut dan terus menerus
mengeluarkan emisi. Oleh karena itu restorasi lahan
gambut dapat menjadi prioritas program pengurangan
emisi dan juga sekaligus mengembalikan fungsi
ekologis lahan gambut. Pengalaman kebakaran hutan
masif pada 2015 telah mendorong terbitnya Peraturan
Presiden No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi
Gambut (BRG). Tugas pokok dan fungsi ułama BRG
adalah pelaksanaan koordinasi dan penguatan
kebijakan pelaksanaan restorasi gambut seluas 2 juta
hektar pada 2016 - 2020 (Setneg. 2016).
Provinsi Kalimantan Tengah adalah salah satu
provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan lahan
gambut terluas, yaitu sekitar 3 juta ha yang tersebar
sepanjang S. Mentaya, S. Kahayan, S. Kapuas, dan S.
Barito (BRG. 2017). Akibat kegiatan konsesi serta
konversi/pembukaan kawasan hutan untuk peruntukan
lain dan bencana alam seperti kebakaran yang
menimbulkan dampak negatif kepada lingkungan
maka kondisi hutan gambut mengalami kerusakan
yang cukup parah sehingga upaya pemulihan hutan
gambut dengan kegiatan restorasi ekosistem gambut
patut diapresiasi dan diupayakan secara maksimal
pelaksanaannya.
Permasalahan kerusakan gambut di Kalimantan
Tengah secara historis dimulai dari pembukaan lahan
pasang surut, pembukaan lahan transmigrasi,
penebangan kayu hutan. Perusakan itu dilakukan
secara formal oleh pemerintah dan informal oleh
masyarakat setempat. Salah satu contoh yang paling
besar dari sisi luasan maupun kegagalannya adalah
kegiatan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) yang
bertujuan mengkonversi 1 juta Ha menjadi lahan
sawah. Produksi padi nampaknya hanya cocok
dilakukan pada sebagian kecil dari seluruh areal.
Meskipun demikian, sebagian besar tumbuhan kayu
diatasnya telah ditebangi. Kegagalan PLG telah
menyebabkan banyak penduduk yang kemudian
pindah kembali ke daerah asalnya.Sementara itu
masyarakat yang memutuskan untuk tetap tinggal
kemudian harus menghadapi resiko banjir yang
dihasilkan sangat rentan terhadap kebakaran hutan.
Disamping permasalahan tersebut, juga terdapat
permasalahan lain, seperti penurunan permukaan
tanah dan oksidasi yang berlangsung secara cepat di
lahan gambut dari tanah yang mengalami subsiden
(CKPP, 2008).
Fakta menunjukkan bahwa lahan di pulau
Kalimantan yang telah dikeringkan dan telah banyak
ditebang pohonnya menjadi lokasi paling sering terjadi
kebakaran hutan. Hal ini merupakan dampak utama
akibat kerusakan lahan gambut di Kalimantan Tengah.
Menurut analisis data riwayat kebakaran dari Global
Forest Watch Fires (2015) menegaskan bahwa
kebakaran cenderung terkonsentrasi pada konsesi
pertanian dan lahan gambut.
Sebagian besar wilayah pesisir bergambut di
selatan pulau Kalimantan memiliki konsentrasi
kebakaran hutan yang tinggi. Dengan jumlah
kebakaran yang tinggi menyebabkan jumlah pohon
semakin berkurang. Jumlah pohon berkurang dapat
menyebabkan peningkatan sedimen tersuspensi dan
transpor kontaminan ke perairan pesisir. Berpotensi
pada akumulasi kontaminan dalam biota perairan,
penurunan kesehatan masyarakat pantai dan
kemungkinan turunnya kontribusi sektor perikanan
(Arin & Ismail 2013). Hal ini mengindikasikan bahwa
ada masalah dalam pengelolaan sumber daya alam
pada wilayah tersebut. Identifkasi masalah yang tepat
pada wilayah pesisir akan menghasilkan bentuk
pengelolaan yang baik, yang akan menjamin
terciptanya kelestarian fungsi sumber daya itu sendiri
(Amri et al., 2017). Makalah ini mencoba untuk memberi
suatu usulan alternatif upaya pengelolaan wilayah
gambut di desa-desa pesisir, khususnya di Kawasan
Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Katingan - Sungai
Mentaya Provinsi Kalimantan Tengah.
J. Segara Vol.14 No.3 Desember 2018: 145-157
147
Peta Kawasan Hidrologis Gambut Sungai Katingan - Sungai Mentaya.Gambar 1.
Pengelolaan Wilayah Gambut ...... Provinsi Kalimantan Tengah (Ramdhan, M. & Siregar, Z.A.)
148
METODE PENELITIAN
Lokasi kajian dilakukan pada KHG Sungai
Katingan - Sungai Mentaya Provinsi Kalimantan
Tengah. Wilayah ini berada dalam wilayah administratif
Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin
Timur dengan luas KHG mencapai 254.522,24 Ha.
(Gambar 1). Lokasi ini dipilih karena KHG tersebut
merupakan salah satu KHG besar yang berada di
pesisir sebelah selatan Provinsi Kalimantan Tengah.
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir harus
dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Setneg, 2014b).
Secara ekoregion, wilayah ini berada pada ekoregion
laut jawa, dengan dominasi ekoregion kepulauan
bertipe gambut (Rosalina et al., 2013).
Pengumpulan data primer dan sekunder
dilakukan untuk wilayah kajian KHG Sungai Katingan -
Sungai Mentaya, Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun
langkah yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :
- Desk Study, yaitu cara pengumpulan data dan
informasi melalui kajian dan analisis data dan informasi
yang menggunakan data sekunder, baik berupa
laporan, referensi, maupun peta-peta (Hadi et al.,
2002).
- Verikasi lapangan dalam rangka cross check data
sekunder baik spasial maupun atribut. Verikasi
dilakukan di titik-titik yang ditentukan, dengan
mempertimbangkan aspek aksesibilitas dan jarak dari
perkampungan lahan gambut di wilayah studi. Verikasi
lapangan ini dilakukan dengan cara:
- Observasi dan penyebaran kuisioner, yaitu dengan
cara melihat, mengamati dan mencatat data dan
informasi yang dibutuhkan di lapangan; digunakan
untuk mengumpulkan tipe data yang berhubungan
dengan proses partisipasi terhadap kegiatan
masyarakat. Kuesioner dilakukan dengan cara
membagi-bagikan daftar pertanyaan kepada para
responden terpilih, khususnya masyarakat dan tokoh
adat yang ada di sekitar lokasi kawasan gambut.
- Interview (wawancara) dengan responden terpilih
secara langsung di lapangan, baik dengan pihak
menajemen perusahaan, masyarakat setempat, tokoh
adat atau tokoh masyarakat setempat, dan instansi
terkait lainnya.
- Cek sik lokasi kanal di area gambut. Pengukuran
ukuran dimensi kana. Pengambilan dokumentasi foto
kanal. pengeboran dangkal lahan gambut
(menggunakan bor tangan).
Alur pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2. Survei lapangan dilakukan pada November
2017. Secara acak dipilih 6 desa perwakilan untuk
melakukan sampling. Adapun desa yang terpilih adalah:
Babaung, Bapinang Hilir, Mentaya Sebrang, Keyala,
Terantang Hilir dan Sungai Paring. Total terdapat 31
Diagram alur penyusunan rekomendasi pengelolaan wilayah gambut di KHG S. Katingan - S.
Mentaya Provinsi Kalimantan Tengah.
Gambar 2.
J. Segara Vol.14 No.3 Desember 2018: 145-157
149
responden yang berhasil mengisi kuisioner mengenai
persepsi dan sikapnya terhadap pengelolaan lahan
gambut di lokasi kajian. Jumlah sampel antara 30 -
500 sampel dinyatakan cukup untuk sebuah penelitian
(Sekaran, 2006). Hasil-hasil dari metodologi diatas
akan disampaikan secara statistik deskriptif pada sub-
bab selanjutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Kajian
Kondisi BioGeoFisik
Lahan gambut merupakan lahan yang terkait
dengan proses penyerapan air hujan, oleh karenanya
data curah hujan menjadi sangat penting. Curah hujan
adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah
selama periode tertentu dan diukur dengan satuan
tinggi (mm atau inchi) di atas permukaan horizontal
bila tidak terjadi evaporasi, run off dan inltrasi (Lakitan,
1994). Curah hujan merupakan salah satu elemen/
unsur iklim yang penting diketahui karena selain akan
menggambarkan informasi musim di sekitar KHG juga
akan memberikan informasi terkait dengan resiko
kebakaran di suatu KHG. Selain itu informasi iklim dapat
dijadikan sebagai bahan informasi dalam memberikan
arahan untuk tindakan Revitalisasi terutama dalam
menentukan jenis komoditas yang sesuai dan dapat
diusahakan pada KHG yang bersangkutan (BRG,
2017). Rata-rata curah hujan dan rata-rata hari hujan
di stasiun BMKG Tjilik Riwut-Palangka Raya diambil
untuk mewakili kondisi curah hujan KHG Sungai
Katingan-Sungai Mentaya disajikan dalam Tabel 1.
Jumlah hari hujan cenderung merata sepanjang
tahun. Pada Bulan September menunjukkan bulan
dengan hari hujan terkecil sebanyak 11 hari hujan
dalam sebulan. Sedangkan bulan-bulan berikutnya
aktitas hujan relatif merata. Bulan dengan hari hujan
terbanyak adalah Bulan Desember sebanyak 22-23
hari hujan dalam sebulan. Dengan curah hujan yang
tinggi dan merata sepanjang tahun, daerah ini memiliki
persediaan air yang sangat mencukupi.
Berdasarkan hasil analisis, tipe curah hujan
di KHG Sungai Katingan-Sungai Mentaya menurut
klasikasi Schmidt dan Fergusson (Lakitan, 1994)
termasuk tipe iklim A yaitu hujan berlangsung sepanjang
tahun dan jarang terjadi bulan kering (kemarau).
KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya memiliki
ketebalan gambut, kelas kelerengan, kondisi hidrologis
(jaringan kanal), tutupan vegetasi serta sebaran
areal kebakaran hutan yang cukup beragam. Data
komposisi luas lahan gambut di KHG Sungai Katingan
- Sungai Mentaya disajikan dalam Tabel 2.
Ketebalan gambut adalah ketebalan lapisan
gambut yang diukur dari permukaan gambut sampai
lapisan tanah mineralnya. Tabel 2 memperlihatkan
bahwa kedalaman gambut di KHG Sungai Katingan-
Sungai Mentaya didominasi oleh gambut dengan
kedalaman berkategori dalam (200-400) cm yaitu
seluas 145.283,20 ha (57,08 %) yang terbagi di
Kab. Kotawaringin Timur seluas 75.796,32 ha dan
sisanya terdapat di Kab. Katingan. Adapun lokasi
KHG yang memiliki rata-rata kedalaman gambut yang
sangat dalam terdapat di Desa Babirah, Babinang
Hilir dan Babinang Hilir Laut Kec. Pulau Hanaut Kab.
Kotawaringin Timur seluas 4,694.31 ha dan Desa
Kampung Melayu, Parigi dan Tewang Kampung
Kec. Mendawai Kab. Katingan dengan luas sebesar
8.526,89 Ha.
Rata-Rata Curah Hujan di Kalimantan Tengah Periode Tahun 2009-2013Tabel 1.
NO. BULAN TEMPERATUR (°C) CURAH HUJAN HARI HUJAN
RATA-RATA MAX MIN (mm) (Hari)
1 Januari 25,52 31,80 25,23 483,51 22,67
2 Februari 25,96 32,54 25,75 523,44 19,33
3 Maret 26,00 32,32 25,85 471,55 21,67
4 April 24,11 29,90 23,83 447,61 21,33
5 Mei 26,38 32,69 26,51 588,86 18,00
6 Juni 26,17 32,81 26,05 396,24 12,33
7 Juli 25,22 31,93 24,90 497,97 15,00
8 Agustus 25,50 32,48 25,20 496,86 11,67
9 September 25,90 32,86 25,91 355,92 11,00
10 Oktober 26,72 32,47 25,76 429,43 17,67
11 November 26,13 32,76 25,34 481,92 21,67
12 Desember 24,69 30,38 26,42 540,00 21,50
Rata-Rata 25,69 32,08 25,56 476,11 17,82
Sumber : BMKG, 2014
Pengelolaan Wilayah Gambut ...... Provinsi Kalimantan Tengah (Ramdhan, M. & Siregar, Z.A.)
150
Untuk pembagian kelas kelerengan terlihat bahwa
tingkat kelerengan gambut di KHG Sungai Katingan-
Sungai Mentaya didominasi oleh lokasi gambut yang
memiliki tingkat kelerengan < 2 %, yaitu mencapai
254.223,33 Ha atau 99.88 %. Salah satu hal yang unik
di Kab. Kotawaringin Timur adalah terdapatnya lokasi
gambut dengan kelerengan 16-40% yang terletak di
Desa Rubung Buyung-Kec. Cempaga seluas 72,23 Ha.
Pembuatan kanal secara berlebihan dapat
mengakibatkan muka air tanah pada lahan gambut
menjadi turun, dan lahan gambut menjadi semakin
kering sehingga rentan terhadap terjadinya kebakaran
lahan (BRG. 2017). Kondisi hidrologi dan tata saluran
perairan di KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya
dilihat dari keberadaan kanal di KHG tersebut.
Karena secara umum fungsi dari kanal-kanal yang
ada selain berfungsi sebagai jalur transportasi juga
berfungsi sebagai saluran drainase. Total luasan KHG
Sungai Katingan - Sungai Mentaya yang memiliki
kanal mencapai 42.127,45 Ha atau 16,55 % dan
sisanya 212.365,65 Ha atau 83,45 % masih alami
atau belum berkanal. Hal tersebut menggambarkan
bahwa ekosistem gambut di KHG Sungai Katingan-
Sungai Mentaya masih cukup terjaga dari pembuatan
kanal yang dilakukan para pihak yang memanfaatkan
ekosistem ini.
Sebaran kelas tutupan vegetasi pada ekosistem
gambut pada KHG Sungai Katingan-Sungai Mentaya
didominasi oleh vegetasi dengan tutupan vegetasi
rapat (tutupan vegetasi diatas 50 %) yaitu seluas
185.335,41 ha (72,82 %). Yang memerlukan perhatian
khusus adalah ekosistem gambut dengan tutupan
vegetasi jarang (< 25 %) sebesar 37.700,28 ha (14,81
%) yang terletak di Kec. Kamipang, Katingan Kuala dan
Mendawai Kab. Katingan.
Berdasarkan data Tutupan Vegetasi yang
mengakibatkan rusaknya ekosistem KHG Sungai
Katingan-Sungai Mentaya diantaranya adalah
kebakaran gambut. Berdasarkan data dari citra
hotspot 2015-2016, kebakaran gambut di KHG Sungai
Katingan - Sungai Mentaya pada 2015 mencapai
17.964,28 ha dan pada 2015-2016 mencapai 78.65 Ha.
Dengan luasan areal yang terbakar mencapai 7,09%
maka upaya pemulihan ekosistem gambut pada lokasi
ini dapat dilakukan melalui kegiatan rewetting berupa
pembuatan sumur bor atau penyekatan kanal di sekitar
lahan yang pernah terbakar.
Untuk sebaran penggunaan lahan di KHG
Sungai Katingan- Sungai Mentaya didominasi oleh
hutan rawa sekunder yang mencapai 175.435,59 Ha
(68,927%). Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan
di KHG Sungai Katingan-Sungai Mentaya disajikan
dalam Tabel 3. Dalam tabel terlihat bahwa di KHG ini
terdapat lahan terbuka seluas 20.538,73 ha (8,07%)
yang memerlukan tindakan revegetasi dengan pola
maksimal.Hal ini berarti dilakukan penanaman ulang
lahan gambut menggunakan spesies tumbuhan lokal
dengan pola jarak tanam yang rapat.
Fungsi Ekosistem Gambut dan pada KHG
Berdasarkan fungsi ekosistemnya, maka KHG
Sungai Katingan-Sungai Mentaya terbagi kedalam 2
Komposisi luas lahan gambut di KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya Provinsi Kalimantan
Tengah
Tabel 2.
Jenis dan
Sumber Data Luas area gambut (Ha) Total (Ha)
sekunder
Ketebalan Gambut Dalam Dangkal Sangat Dalam Sedang
(Wahyunto dan (200-400) cm (50-100) cm (400-800) cm (100-200) cm
Subagjo , 2004) 145,283.20 21,598.06 13,221.20 74,419.78
Kelas Kelerengan <2 % (2-8) % (9-15) % (16-40) %
(Peta Erosi BPDAS 254,223.33 - 226.68 72.23
Kahayan, 2013)
254,522.24
Kanal Gambut Berkanal Tidak Berkanal
(UGM, 2016) 42,127.45 212,394.79
Tutupan Vegetasi < 25 % 25-50% > 50%
(Landsat 8, 2016) 37,700.28 31,486.54 185,335.41
Luas areal terbakar Terbakar 2015 Terbakar Terbakar 2016 Non Terbakar
(Global Forest Watch, 2015-2016
2015-2016) 17,964.28 78.65 - 236,479.30
J. Segara Vol.14 No.3 Desember 2018: 145-157
151
fungsi ekosistem, yaitu fungsi lindung mencapai luasan
128.767,94 Ha (50,58 %) dan sisanya adalah fungsi
budi daya. Data selengkapnya tersaji dalam Tabel 4.
Salah satu titik kritis dari kegiatan restorasi ekosistem
gambut ini adalah terdapatnya konik kepentingan
yang berbeda pada kawasan fungsi ekosistem lindung,
dimana terdapat beberapa perusahaan yang saat ini
masih aktif melakukan kegiatannya pada kawasan
lindung.
Berdasarkan fungsi kawasan hutan, sesuai
dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 529
Tahun 2012.KHG Sungai Katingan-Sungai Mentaya,
luas hutan produksi (HP) sangat dominan, yaitu
mencapai 208.919,11 ha (82,08 %). Satu hal yang
memerlukan perhatian khusus adalah keberadaan
hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas
42.201,01 karena dengan semakin tingginya kebutuhan
masyarakat maupun investor akan ketersediaan lahan,
maka HPK dapat semakin berkurang akibat perubahan
fungsi menjadi areal penggunaan lain.
Kondisi Sosial Ekonomi
KHG Sungai Katingan-Sungai Mentaya berada
di 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Kotawaringin
Timur merupakan kontributor cukup besar terhadap
Pendapatan Daerah/Pendapatan Domestik Regional
Tataguna Lahan di KHG Sungai Katingan-Sungai MentayaTabel 3.
Penggunaan Lahan Luas (Ha) Prosentase (%)
Tidak teridentikasi 3.16 0,001
Hutan Mangrove - -
Semak/Belukar 13.359,96 5,249
Perkebunan 9.895,65 3,888
Pemukiman - -
Lahan terbuka 20.538,73 8,070
Hutan Rawa Primer 1,01 0,000
Hutan Rawa Sekunder 175.435,59 68,927
Belukar Rawa 31.486,54 12,371
Pertanian Lahan Kering 2.223,12 0.873
Pertanian Lahan Kering - -
Campur Semak
Sawah - -
Tambak - -
Pertambangan - -
Rawa 1.578,48 0.620
Grand Total 254.522,24 100,000
Sumber:Peta Penggunaan Lahan, Dirjen Planologi - KLHK, 2016
Luas Masing-Masing Fungsi Ekosistem pada KHG Sungai Katingan-Sungai MentayaTabel 4.
KHG Sungai
Katingan-Sungai Luas Ekosistem Gambut (Ha) Total (Ha)
Mentaya
Luas Fungsi Indikatif Fungsi Budidaya Indikatif Fungsi Lindung
Ekosistem
(berdasarkan
Peta KHG, SK 125,754.30 128,767.94
KLHK No. 130,
2017)
Luas Ekosistem APL HP HPK HPT KSA/ TUBUH 254,522.24
Gambut KPA AIR
Berdasarkan
Fungsi Kawasan
Hutan
(berdasarkan SK 3,239.41 208,919.11 42,201.01 - - 162.71
Kementerian
Kehutanan
No.529, 2012)
Pengelolaan Wilayah Gambut ...... Provinsi Kalimantan Tengah (Ramdhan, M. & Siregar, Z.A.)
152
Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Tengah yaitu
sebesar 17,44% dari 73.724,87 triliun rupiah dan
Kabupaten Katingan dengan sumbangan PDRB
mencapai 5,08%. Tingkat pertumbuhan ekonomi di
KHG ini mencapai 7,25% (diatas rata-rata di Propinsi
Kalimantan Tengah). Peran besar ditunjukan dari
sektor pertanian dimana sektor ini menyumbang
25,00% dari PDRB yang dihasilkan masing-masing
kabupaten (BPS. 2017).
Dengan demikian maka upaya perlindungan
dan pemanfaatan ekosistem gambut harus betul-
betul dilaksanakan untuk meningkatkan kondisi
perekonomian masyarakat yang masih tergantung
pada sektor usaha pertanian. Penggunaan lahan pada
KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya untuk kegiatan
masyarakat yang berhubungan dengan keberadaan
ekosistem gambut untuk kegiatan pertanian dilakukan
dalam bentuk kegiatan pembuatan sawah seluas
964.61 ha dan pertanian lahan kering 4.259,18 ha serta
perkebunan 2.333,19 ha. Adapun jenis-jenis tanaman
dan ternak yang menjadi potensi pertanian pada KHG
Sungai Katingan - Sungai Mentaya dapat berupa padi,
karet, rotan, kelapa, perikanan, ternak kambing/sapi/
unggas.
Potensi pada tiap desa berbeda-beda, yang akan
berpengaruh pada pencarian alternatif komoditas
mata pencaharian masyarakat. KHG Sungai Katingan -
Sungai Mentaya baik yang berada di Kab. Kotawaringin
Timur maupun Kab. Katingan memiliki jumlah penduduk
yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga
tekanan penduduk baik dari segi ekonomi maupun
sosial terhadap ekosistem gambut juga semakin tinggi.
Tabel berikut memperlihatkan keadaan penduduk yang
berada di KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya
(Tabel 5).
Berdasarkan hasil kuisioner, rata-rata pendidikan
masyarakat masih cukup rendah yakni SD-SMP,
memiliki keluarga dengan anak rata-rata diatas 3
orang. Pada desa yang di survei, hak atas tanah
berdasarkan pemindahan hak atau beli dari pemilik
sebelumnya, sehingga hak atas tanah tersebut bersifat
hak milik. Kepastian hak ini penting untuk kegiatan
usaha. Proses penyiapan lahan pada beberapa desa
masih mengikuti budaya tebas dan membakar sisa-
sisa ranting pohon dan semak. Namun demikian
beberapa informan menyampaikan bahwa ada upaya
adat dalam mengatasi kerusakan ekosistem dari
pembakaran. Dalam hal ini tidak ada aturan adat yang
mengikat tentang sanksi kerusakan ekosistem.
Kegiatan kerja sama di masyarakat ada, namun
tidak secara rutin dilakukan. Konik horizontal antara
masyarakat dan pemerintah selama ini tidak pernah
terjadi. Kelembagaan ekonomi di masyarakat yang ada
adalah koperasi, kelembagaan sosial yang ada adalah
majlis taklim, karang taruna, kelembagaan formal
yang ada adalah BPD. Kelembagaan ini pada masa
mendatang akan mendorong kegiatan ekonomi dan
sosial di masyarakat agar kesejahteraan sosial dapat
terwujud. Sebagian masyarakat mengetahui rencana
restorasi gambut, dan mendukung pelaksanaan
program restorasi gambut tersebut.
Kemajuan pembangunan manusia secara umum
ditunjukan melalui indeks pembangunan manusia
(IPM) yang mencerminkan capaian kemajuan di
bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Pada
2016 IPM Kab. Katingan mencapai 67,41% dan Kab.
Kotawaringin Timur mencapai 69,42%. Berdasarkan
kriteria yang ditetapkan oleh United Nations
Development Programme (UNDP) maka IPM pada
KHG tersebut termasuk dalam golongan menengah/
sedang.
KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya
memiliki jumlah penduduk miskin yang masih cukup
besar, dimana pada 2016 di Kab. Katingan mencapai
angka 10.100 jiwa atau 6,23% sedangkan di Kab.
Kotawaringin Timur mencapai 5,56% atau sekitar
24.257 jiwa. Dengan data seperti tersebut, maka
kemungkinan terjadi konik antar sesama masyarakat
Kondisi Penduduk pada KHG Sungai Katingan - Sungai MentayaTabel 5.
No. Uraian Kondisi Penduduk Satuan Kabupaten
Kotawaringin Timur Katingan
1 Jumlah Penduduk Tahun 2016 Jiwa 436.276 162.837
2 Pertumbuhan penduduk % 2,37 1,58
3 Kepadatan penduduk Jiwa/Ha 3,34 1,31
berdasarkan luas KHG
4 Rasio Ketergantungan (%) 44,45 49,60
5 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) 67,28 70.83
6 Angkatan Kerja Jiwa 206.026,00 77.849,00
7 Jumlah penduduk yang bekerja Jiwa 418.345 73.778,00
8 Jumlah penduduk yang Jiwa 17.931 4.071,00
Menganggur
Sumber : BPS, 2017
J. Segara Vol.14 No.3 Desember 2018: 145-157
153
maupun masyarakat dengan pemilik izin lahan akan
cukup besar dan memerlukan penanganan yang
serius sehingga dampak negatif dari konik tersebut
dapat diminimalisir.
Arahan tindakan restorasi lahan gambut
Berdasarkan hasil survei lapangan, diketahui
bahwa di beberapa titik lokasi kajian ternyata sudah
bukan merupakan gambut lagi karena sudah menjadi
lahan budi daya perkebunan masyarakat, seperti
karet, singkong, padi, tanaman akasia, pisang, jambu
mete dan jeruk. Disamping itu kedalaman tanah
gambutnyapun sangat dangkal, yaitu dibawah 1 m.
Salah satu upaya restorasi yang dapat dilakukan di
lokasi budi daya yang telah beralih fungsi ini adalah
dengan pembasahan lahan gambut kembali (rewetting)
pada KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya, meliputi
kegiatan pembuatan sekat kanal serta pembuatan
sumur bor. Kegiatan penyekatan kanal diprioritaskan
pada lokasi ekosistem gambut berkanal baik pada
ekosistem lindung maupun budi daya. Wang et al.
(2016) menyatakan bahwa area lahan gambut kering
di wilayah pesisir dapat menjadi sumber nitrogen
potensial bagi ekosistem pesisir apabila dilakukan
restorasi dengan baik.
Arahan tindakan revegetasi pada KHG Sungai
Katingan - Sungai Mentaya, meliputi kegiatan
penanaman pola maksimal pada ekosistem gambut
dengan tutupan vegetasi kurang dari 25 % yang
mengalami kebakaran pada 2015, dan 2016 yaitu
seluas13.162,44 Ha. Kegiatan lainnya yang dapat
dilaksanakan pada KHG Sungai Katingan - Sungai
Mentaya adalah penanaman pola pengkayaan yang
dilakukan pada ekosistem gambut dengan tutupan
vegetasi antara 25 %-50 % yang mengalami kebakaran
pada 2015 dan 2016, yaitu seluas 4.324,37 Ha. Untuk
ekosistem gambut dengan tutupan vegetasi lebih
dari 50 %, maka diharapkan terjadi suksesi tanaman
yang secara alami mengembalikan kondisi vegetasi
ekosistem gambut pulih kembali seperti sedia kala.
Beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan
dalam melaksanakan kegiatan revegetasi adalah
tingkat kerusakan vegetasi, potensi genangan,
penutupan vegetasi serta aksesibilitas menuju lokasi
revegetasi. Keseluruhan kondisi tersebut akan
mempengaruhi penentuan teknik silvikultur yang akan
digunakan, penentuan jenis tanaman, biaya dan tata
waktu yang dibutuhkan untuk melaksanaka kegiatan
tersebut.
Berdasarkan hasil survei lapangan, maka
beberapa jenis pohon masih tumbuh pada ekosistem
gambut, diantaranya, adalah: gelam (Meulaleuca
leucadendron), dan mahang (Macaranga pruinosa).
Disamping itu beberapa jenis tanaman perkebunan
seperti karet, akasia, jeruk dan tanaman semusim
seperti pisang dan singkong sudah menjadi komoditas
yang dibudidayakan oleh masyarakat. Jumlah tanaman
yang direkomendasikan untuk kegiatan penanaman
pola maksimal adalah sebanyak 1.100 batang/Ha.
Kegiatan revitalisasi sosial ekonomi masyarakat
yang dilakukan pada KHG Sungai Katingan - Sungai
Mentaya, meliputi kegiatan Pembinaan Desa Peduli
Gambut, Peningkatan kapasitas kelembagan, dan
Pembangunan alternatif komoditas dan sumber mata
pencaharian yang terkait dengan lokasi lahan gambut
yang akan direstorasi.
Desa-desa sasaran kegiatan adalah desa-desa
yang terkait dengan kegiatan restorasi dengan kriteria
desa-desa yang berada pada fungsi kawasan Lindung
dan Budi daya, yang merupakan areal eks-kebakaran,
pada lokasi berkanal maupun tidak berkanal, serta
pada fungsi kawasan budi daya yang tidak terbakar,
dan berkanal. Berdasarkan hasil analisis peta dan
survey lokasi, maka sasaran desa-desa dengan
target pemulihan daya dukung sosek berdasar kriteria
tersebut disajikan dalam tabel 6.
Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan
sesuai dengan penciptaan suasana yang memungkinkan
potensi masyarakat sehingga dapat dikembangkan
(enabling). Selanjutnya potensi atau daya yang
dimiliki masyarakat (empowering) dikembangkan, dan
dilakukan perlindungan dan keberpihakan terhadap
yang lemah. Konsep pemberdayaan adalah bahwa
masyarakat tidak dijadikan obyek dari berbagai proyek
pembangunan, tetapi merupakan subyek dari upaya
pembangunannya; untuk itu pemerintah berusaha
untuk merevitalisasi kegiatan masyarakat di sekitar
area lahan gambut.
Persepsi dan sikap masyarakat merupakan hal
penting yang perlu diketahui untuk melaksanakan
kegiatan revitalisasi sosial ekonomi. Hasil survei
mengenai persepsi dan sikap masyarakat pada KHG
Sungai Katingan - Sungai Mentaya tersaji dalam Tabel
7.
Berdasarkan hasil survei lapangan untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan
restorasi diketahui bahwa masyarakat yang baru
mengetahui kegiatan restorasi gambut hanya 14 %
dan yang tidak setuju 6 %, sedangkan sisanya tidak
menjawab. Untuk pertanyaan no.5 diperoleh data
54 % setuju, dan 0 % tidak setuju serta 46 % tidak
menjawab. Berdasarkan data tersebut secara umum
masyarakat di KHG ini sangat antusias menyambut
rencana pelaksanaan kegiatan revitalisasi dalam
upaya restorasi ekosistem gambut.
Pengelolaan Wilayah Gambut ...... Provinsi Kalimantan Tengah (Ramdhan, M. & Siregar, Z.A.)
154
Desa-desa yang dapat dijadikan target upaya pemulihan daya dukung sosial ekonomi di
KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya
Tabel 6.
Kabupaten Kecamatan Desa
Katingan Katingan Kuala Kampung Tengah
Mendawai Kampung Melayu
Mendawai
Parigi
Teluk Sebulu
Tumbang Bulan
Kotawaringin Timur Cempaga Cempaka Mulia Timur
Jemaras
Lubuk Ranggan
Luwuk Bunter
Patai
Rubung Buyung
Sungai Paring
Cempaga Hulu Parit
Sudan
Pulau Hanaut Babaung
Babirah
Bapinang Hilir
Bapinang Hilir Laut
Bapinang Hulu
Hanaut
Makarti Jaya
Rawa Sari
Satiruk
Serambut
Seranau Batuah
Ganepo
Mentaya Seberang
Terantang
Terantang Hilir
Jumlah 6 Kecamatan 30 Desa
Sumber : Hasil Analisis Peta dan Hasil Survey Lapangan
Hasil Survey Mengenai Persepsi dan Sikap masyarakat Terhadap kegiatan Restorasi
Gambut pada KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya
Tabel 7.
Rata-Rata
No. Uraian Setuju Tidak Tidak
setuju Menjawab
1 Pengetahuan masyarakat 14.00 6.00 80.00
mengenai restorasi gambut
2 Dukungan masyarakat terhadap 70.00 - 30.00
restorasi gambut
3 Kesediaan masyarakat bekerja 70.00 - 30.00
sama dalam upaya restorasi
gambut
4 Kegiatan yang diusulkan untuk 74.00 - 26.00
kegiatan restorasi gambut
5 Kesediaan dalam pembentukan 54.00 - 46.00
desa peduli gambut
Sumber : Hasil Kuisioner Survey Lapangan
J. Segara Vol.14 No.3 Desember 2018: 145-157
155
Kegiatan Pembinaan Desa Peduli Gambut
(DPG) merupakan kegiatan pembinaan terhadap
masyarakat desa yang kegiatan usaha ekonominya
terimbas dengan kegiatan Restorasi Gambut berupa
rewetting dan revegetasi. Pembinaan DPG diharapkan
bisa jangka panjang dan berkelanjutan, sehingga
masyarakat akan merasakan dampak positif upaya
pembinaan yang dilakukan dan turut berpartisipasi
dalam upaya restorasi gambut dalam jangka panjang.
Untuk menyusun program yang jangka panjang
dan berkelanjutan (sustainable) perlu melibatkan tiga
pilar para pihak pemangku kepentingan yaitu: 1) Pilar
pemeritahan : Desa, Camat, Dinas-dinas terkait; 2) Pilar
dunia usaha : perusahaan swasta hulu-hilir, perbankan,
koperasi; 3) Masyarakat : tokoh masyarakat, LSM,
Masyarakat.
Tahapan yang dilakukan dalam pembinaan Desa
Peduli Gambut adalah: 1) membentuk kelembagaan
Masyarakat Desa Peduli Gambut (MDPG) yang
didukung oleh tiga pilar pemangku kepentingan; 2)
pembinaan dan penguatan terhadap lembaga tersebut
yang selanjutnya akan membina usaha ekonomi dan
sosial kelompok masyarakat di desa-desa sasaran.
Langkah-langkah kegiatan yang diperlukan
dalam pembentukan lembaga Masyarakat Desa
Peduli Gambut (MDPG) berbasis dukungan pemangku
kepentingan adalah sebagai berikut :
1) Sosialisasi kegiatan restorasi gambut terhadap
seluruh pemangku kepentingan oleh BRG dan Pemda
2) Pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Peduli
Gambut (MDPG) dengan keanggotaan seluruh
pemangku kepentingan
3) Penyusunan struktur organisasi dan pengurus
lembaga MDPG yang mendapat dukungan seluruh
pemangku kepentingan
Kelembagaan Masyarakat Desa Peduli Gambut
(MDPG) yang sudah terbentuk dimasyarakat perlu
dikuatkan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1) Menyusun aturan main kelembagaan yang jelas
dengan menyusun AD/ART (anggaran dasar/anggaran
rumah tangga) yang disetujui oleh seluruh pemangku
kepentingan
2) Penguatan kelembagaan Masyarakat Desa Peduli
Gambut (MDPG) oleh SK Kepala Desa.
3) Penguatan pengetahuan dan ketrampilan melalui
pelatihan-pelatihan (manajemen, administrasi, teknis
pertanian, perikanan, peternakan, marketing, dll).
Kegiatan restorasi lahan gambut kemungkinan
dapat menimbulkan dampak pada sumber mata
pencaharian masyarakat desa. Dampak tersebut
dapat berupa berkurangnya nilai pendapatan atau
rusaknya sumber mata pencaharian akibat kegiatan
restorasi gambut. Oleh karena itu perlu dicarikan upaya
membangun alternatif sumber mata pencaharian yang
terkena dampak.
Tidak semua masyarakat desa memiliki sumber
matapencaharian yang sama. Dari hasil penelitian
kuesioner dan data potensi desa menunjukkan sumber
pendapatan masyarakat berasal dari :
- Budi daya pertanian (padi sawah, padi ladang,
sayur, buah-buahan, hortikultura)
- Kebun (kelapa, karet)
- Perikanan (sungai, kolam)
- Peternakan (sapi, kambing, unggas)
Lembaga Masyarakat Desa Peduli Gambut
(MDPG) adalah lembaga yang dibentuk untuk tujuan
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat
kelompok tani yang terkena imbas kegiatan restorasi
lahan gambut dan lembaga MDPG dibekali dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dapat berfungsi
untuk penguatan kelompok usaha ekonomi dan sosial
masyarakat desa.
Untuk mencari alternatif komoditas dan sumber
mata pencaharian masyarakat dilakukan melalui
pendekatan bottom up berbasis kelompok tani/
masyarakat agar memudahkan pembinaannya. Salah
satu alternatifnya yaitu pemberdayaan masyarakat
pada bidang perikanan oleh Dinas Perikanan (DKP)
yang memiliki kepentingan yang tinggi tetapi masih
rendah pengaruhnya akan lahan gambut (Martin &
Winarno, 2010). Masyarakat dapat didorong untuk
melakukan program perikanan berkelanjutan dengan
cara budi daya ikan. Cara yang lazim dilakukan adalah
pemanfaatan air pasang surut dari sungai pada kolam
ikan (Huwoyon & Gustiano, 2013). Haryono (2012)
menyebutkan ikan berdasarkan potensi ikan di lahan
gambut di daerah Kalimatan Tengah, ikan yang
terkoleksi umumnya adalah ikan konsumsi (46,15%)
dan terdapat ikan hias serta endemik. Adapun jenis ikan
yang dapat dibudi dayakan antara lain ikan konsumsi
seperti Ikan Gabus/Haruan (Channa striata Bloch),
Ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis Regan), Ikan
Betok/Papuyu (Anabas testudineus Bloch) Lele Dumbo
(Clarias gariepinus), dan ikan nila (Oreochromis
niloticus) strain BEST (Bogor Enhanched Strain
Tilapia) dan ikan hias seperti Ikan Tambakan/Biawan
(Helostoma temminckii Cuvier), Ikan Toman (Channa
micropeltes Cuvier) (Huwoyon & Gustiano, 2013).
Untuk pembinaan agar tertib secara administrasi
dan teknis kegiatan diperlukan seorang fasilitator
pendamping di setiap kecamatan yang bertanggung
jawab terhadap BRG sebagai lembaga pemerintah
pusat dalam pelaksanaan restorasi lahan gambut.
Pengelolaan Wilayah Gambut ...... Provinsi Kalimantan Tengah (Ramdhan, M. & Siregar, Z.A.)
156
Fasilitator akan bertugas mendampingi kelompok
masyarakat dalam proses mencari alternatif mata
pencaharian, menyusun proposal, dan pendampingan
kegiatan sampai waktu tertentu.
KESIMPULAN
Lahan gambut di Indonesia merupakan ekosistem
yang sangat penting, oleh karenanya perlu dikelola
secara berkelanjutan. Salah satu lahan gambut
pesisir di Indonesia adalah Kawasan Hidrologis
Gambut Sungai Katingan - Sungai Mentaya di provinsi
Kalimantan Tengah yang memiliki luas area 254.522,24
Ha. Menurut peraturan Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup 50,58% dari wilayah gambut di KHG
tersebut seharusnya berfungsi sebagai area lindung.
Namun kenyataan di lapangan, telah terjadi alih fungsi
lahan menjadi lahan budi daya.
Dengan melihat kondisi lapangan, sangat
direkomendasikan untuk melakukan suatu upaya
restorasi wilayah gambut di KHG Sungai Katingan -
Sungai Mentaya. Yaitu dengan melakukan rewetting
di areal gambut yang berkanal dan pernah terjadi
kebakaran. Revegetasi bagi wilayah gambut yang
tutupan vegetasinya sudah < 25%. Upaya restorasi
juga harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat
setempat. Pembentukan desa-desa peduli gambut di
sekitar KHG Sungai Katingan - Sungai Mentaya akan
sangat efektif dalam upaya pengelolaan lahan gambut
yang berkelanjutan di wilayah studi. Terdapat 30 Desa
yang tersebar di 6 Kecamatan di lokasi kajian yang
dapat dijadikan lokasi pengelolaan wilayah gambut
berkelanjutan bagi KHG Sungai Katingan - Sungai
Mentaya di provinsi Kalimantan Tengah.
PERSANTUNAN
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
pihak Badan Restorasi Gambut atas data yang telah
diberikan dalam penyelesaian makalah ini. Juga
kepada rekan-rekan surveyor di PT. Matrasarakan
Sinergita yang telah melakukan survei lapangan dalam
pelaksanaan kegiatan Penyusunan Rencana Teknis
Tahunan Restorasi Gambut Provinsi Kalimantan
Tengah tahun 2017.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, S.N., Adrianto, L., Bengen, D.G. & Kurnia, R.
(2017). Metabolisme Emergi Sumber daya
Kota Pesisir Dan Aplikasinya Untuk Evaluasi
Perencanaan Kota Pesisir Yang Berkelanjutan,
Studi Kasus Kota Makassar. Jurnal Segara,
13(1): 9-24.
Arin, Z. & Ismail, M.F.A. (2013). Dinamika Temporal
Kandungan Merkuri Terlarut, Terendapkan Dan
Tersuspensi Di Perairan Estuari Kapuas Kecil,
Kalimantan Barat. Jurnal Segara, 9(1): 37-44.
BBPPSLP. (2011). Peta Lahan Gambut Indonesia skala
1:250.000 edisi tahun 2011. Balai Besar Penelitian
Dan Pengembangan Sumber daya Lahan
Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor. 17 hlm.
BMKG. (2014). Data Curah Hujan tahun 2009-2013.
Stasiun Tjilik Riwut. Palangka Raya.
BRG. (2017). Rencana Restorasi Ekosistem Gambut
2017. (unpublished). Material Presentasi pada
ekspose kegiatan Penyusunan Rencana Teknis
Tahunan Restorasi Gambut. Jakarta.
BPS. (2017) Provinsi Kalimantan Tengah dalam Angka
Tahun 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi
Kalimantan Tengah. Palangka Raya.
CKPP. (2008). Tanya & Jawab Seputar Gambut di Asia
Tenggara, Khususnya di Indonesia. Konsorsium
Central Kalimantan Peatlands Project.
Palangkaraya. 94 hlm.
KLHK. (2017). Buku Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
Sk.130/Menlhk/Setjen/Pkl.0/2/2017 tentang
Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut
Nasional. Biro Hukum KLHK-RI. Jakarta.
Miloshis, M. & Faireld, C.A. (2015). Coastal wetland
management: A rating system for potential
engineering interventions, Ecological Engineering,
75, pp 195-198.
Rosalina, L., Hendaryanto., Kurniawaty, E.T.,
Mohammad, F., Putri, N.E., Pramono, G.H.,
Dheny, T.W.S., Ramadhani, Y.H., Pranowo, W.,
Suhelmi, I.R., Purbani, D., Siry, H.Y., Marwayana,
O.N., Darlan, Y., Permanawati, Y., Sudaryanto, A.,
Hutomo, M., Susanto, H.A., Riani, E. & Khazali, M.
(2013). Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia,
Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi Tata
Lingkungan, Jakarta. Indonesia. ISBN: 978-602-
8773-10-2.
SETNEG. (2014a). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2014. Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut. Lembar Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 209. Deputi Perundang-
undangan Bidang Perekonomian. Jakarta.
SETNEG. (2014b) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2014. Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
J. Segara Vol.14 No.3 Desember 2018: 145-157
157
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil. Jakarta.
SETNEG. (2016). Peraturan Presiden Republik
IndonesiaNomor 1 Tahun 2016 TentangBadan
Restorasi Gambut. Deputi Bidang Hukum dan
Perundang-undangan. Jakarta.
Dohong, A., Aziz, A.A. & Dargus, P. (2017) .A review
of the drivers of tropical peatland degradation in
South-East Asia. Land Use Policy. 69. pp 349-
360.
Global Forest Watch Fires. (2015). <http://res.
globalforestwatch.org/>, [20 Desember 2017].
Lakitan, B. (1994). Dasar-Dasar Klimatologi. Penerbit
PT Raja Grando Persada. Jakarta.
Hadi, S., Ningsih, N.S., Pranowo, W.S., Achmad, H.,
Ramadhan, M.A., Fauzie, R.M.D., Sunendar H.,
Muliadi., Huda, A., Sodikin, K., Ali, H., Cempaka,
R., Asparini, M., Gusman, A.R. & Berlianty, D.
(2002). Pengumpulan Data dan Informasi untuk
MCMA Provinsi Kalimantan Tengah, Pusat
Penelitian Kelautan, LPPM-ITB, Bandung.
Haryono. (2012). Iktiofauna perairan lahan gambut
pada musim penghujan di Kalimantan Tengah.
Jurnal Iktiologi Indonesia.12(1): 83-91.
Huwoyon, G.H. & Gustiano, R. (2013). Peningkatan
Produktivitas Budi daya Ikan di Lahan Gambut.
Media Akuakultur. 8(1): 13 21.
Martin, E. & Bondan, W. (2010). Peran Para pihak
Dalam Pemanfaatan Lahan Gambut; Studi Kasus
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
7(2): 81-95.
Sekaran, U. (2006) Metodologi Penelitian untuk Bisnis.
Edisi 4 Buku 2, Salemba Empat. Jakarta.
Wahyunto, S.R. & Subagjo, H. (2004). Peta Sebaran
LahanGambut, Luas dan Kandungan Karbon di
Kalimantan/Map of Peatland Distribution Area
and Carbon Content in Kalimantan, 2000 - 2002.
Wetlands International - Indonesia Programme &
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Wang, H., Richardson, C.J., Ho, M. & Flanagan, N.
(2016). Drained coastal peatlands: A potential
nitrogen source to marine ecosystems under
prolonged drought and heavy storm events - A
microcosm experiment, Science of the Total
Environment, 566-567, pp 621-626.
Wit, F., Müller, D., Baum, A., Warneke, T., Pranowo,
W.S., Müller, M. & Rixen, T. (2015). The impact
of disturbed peatlands on river outgassing
in Southeast Asia. Nature Communication,
doi:10.1038/ncomms10155.