PreprintPDF Available
Preprints and early-stage research may not have been peer reviewed yet.

Abstract

Games dapat mengubah hidup seseorang, dan memiliki dampak positif serta negatif. Seseorang dapat terkenal dan kaya karena menjuarai kontes games online atau bahkan menciptakan sebuah permainan di internet. Akan tetapi seseorang akan terpuruk kehidupannya akibat games online, seperti dipecat dari pekerjaan, tidak dapat menyelesaikan pendidikan, serta menjadi pengangguran yang membebani masyarakat sekitarnya. Sejak lima tahun terakhir terjadi peningkatan yang signifikan dalam pengobatan kecanduan terhadap games online terhadap para remaja. Ini menunjukkan dampak negatif kecanduan games online sudah masuk tahap mengkhawatirkan. Harian Sydney Morning Herald pada Oktober 2018 menceritakan tentang Cam Adair, seorang warga negara Kanada, yang sejak remaja memiliki kebiasaan bermain games online (seperti Starcraft: Brood War, atau World of Warcraft) bersama dengan keponakannya. Adair menghabiskan waktu 16 jam per hari untuk main games. Ia tidak melanjutkan sekolah, tidak pernah masuk kuliah, dan akhir menjadi pengangguran. Saat usia 19 tahun ia berhasil keluar dari kecanduan games online, tetapi 5 bulan kemudian kambuh lagi dan selama 2 tahun lebih aktivitas games online semakin meluas. Adair yang mengalami putus asa mencoba bunuh diri, namun berkat pertolongan konselor ia kembali menjalani kehidupan normal dan bekerja di sebuah perusahaan retail. Sejak usia 30 tahun, Adair tidak lagi bermain games online (Ward, 2018). Kondisi kecanduan games online juga terjadi di Indonesia. Seperti dilaporkan oleh Kompas.com sebagai berikut (Nabila, 2018): Wajah Sri Lestari tertekuk sembari mengeluhkan kondisi putra semata wayangnya yang terus menerus bermain game. Sri bercerita, nilai semester putranya, Alfitra, memburuk dalam beberapa waktu terakhir. Sang anak menurutnya kerap melalaikan aktivitas lainnya untuk main game, termasuk malas mandi. "Sampai malas mandi, badannya bau,
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
1
KECANDUAN GAMES ONLINE (INTERNET GAMING DISORDER)
Ade Heryana, S.St, M.KM
Email: heryana@esaunggul.ac.id
Prodi Kesehatan Masyarakat, Universitas Esa Unggul
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat menjelaskan masalah Interget Gaming Disorder (IGD)
2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian, faktor risiko, dan dampat dari IGD
3. Mahasiswa dapat menjelaskan upaya pencegahan IGD
PENDAHULUAN
Games dapat mengubah hidup seseorang, dan memiliki dampak positif serta negatif.
Seseorang dapat terkenal dan kaya karena menjuarai kontes games online atau bahkan
menciptakan sebuah permainan di internet. Akan tetapi seseorang akan terpuruk
kehidupannya akibat games online, seperti dipecat dari pekerjaan, tidak dapat
menyelesaikan pendidikan, serta menjadi pengangguran yang membebani masyarakat
sekitarnya. Sejak lima tahun terakhir terjadi peningkatan yang signifikan dalam
pengobatan kecanduan terhadap games online terhadap para remaja. Ini menunjukkan
dampak negatif kecanduan games online sudah masuk tahap mengkhawatirkan.
Harian Sydney Morning Herald pada Oktober 2018 menceritakan tentang Cam Adair,
seorang warga negara Kanada, yang sejak remaja memiliki kebiasaan bermain games
online (seperti Starcraft: Brood War, atau World of Warcraft) bersama dengan
keponakannya. Adair menghabiskan waktu 16 jam per hari untuk main games. Ia tidak
melanjutkan sekolah, tidak pernah masuk kuliah, dan akhir menjadi pengangguran. Saat
usia 19 tahun ia berhasil keluar dari kecanduan games online, tetapi 5 bulan kemudian
kambuh lagi dan selama 2 tahun lebih aktivitas games online semakin meluas. Adair yang
mengalami putus asa mencoba bunuh diri, namun berkat pertolongan konselor ia kembali
menjalani kehidupan normal dan bekerja di sebuah perusahaan retail. Sejak usia 30
tahun, Adair tidak lagi bermain games online (Ward, 2018).
Kondisi kecanduan games online juga terjadi di Indonesia. Seperti dilaporkan oleh
Kompas.com sebagai berikut (Nabila, 2018):
Wajah Sri Lestari tertekuk sembari mengeluhkan kondisi putra semata
wayangnya yang terus menerus bermain game. Sri bercerita, nilai
semester putranya, Alfitra, memburuk dalam beberapa waktu terakhir.
Sang anak menurutnya kerap melalaikan aktivitas lainnya untuk main
game, termasuk malas mandi. “Sampai malas mandi, badannya bau,
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
2
malas sikat gigi. Papanya sampai beliin sabun yang sekalian buat
keramas juga. Maksudnya, kalau emang malas pakai saja itu,” kata Sri
saat berbincang dengan Kompas Lifestyle, Agustus lalu. Menurutnya, Afit,
demikian putranya kerap disapa, bermain games sejak masih duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan saat ini, ia sudah
semester tiga. Mengaku khawatir dengan kondisi putranya, Sri dan
suaminya hampir setiap sebulan sekali mengunjungi Afit di Purwokerto. Ia
menceritakan, putranya sering sudah tak lagi memiliki baju karena semua
bajunya habis dipakai dan masih dalam keadaan belum dicuci. Lemarinya
kosong dari pakaian. Ayahnya lah yang selalu pergi ke pusat binatu
(laundry) untuk mencucikan baju Afit. Saking seringnya, penjaga pusat
binatu pun sampai mengenali betul ayah Afit. Berat pakaian kotor tersebut,
kata Sri, bahkan bisa mencapai 10kg. Sementara dirinya seringkali ikut
menggantikan seprai tempat tidur Afit serta menyapu atau mengepel lantai
kamar kos putranya.
Suatu hari, Sri bahkan pernah menemukan banyak sekali bekas kartu
perdana berserakan di kosan Afit. Ia sempat khawatir putranya lebih
memprioritaskan membeli kuota internet ketimbang makan. Hati kecilnya
terkadang ingin memberi Afit uang tambahan, namun ia juga khawatir
uang lebih tersebut justru digunakan untuk keperluan putranya bermain
games. Sebab, pada masa awal kuliah, Sri pernah memberikan Afit uang
saku sekitar Rp 1,2 juta yang kemudian sudah habis dalam empat hari.
Namun, dilema dirasakannya karena jika uang jajan dikurangi, ia khawatir
Afit justru tidak bisa makan. Perasaan khawatirnya semakin menjadi ketika
mengetahui putranya mendapatkan transfer hingga Rp 11 juta. “Saya sih
enggak ngerti yang begitu, katanya jual akun. Sampai dapat Rp 11 juta
waktu SMA. Saya bilang, “mama enggak mau kayak begitu, itu judi”,” tutur
warga Jakarta Selatan itu. Mengkhawatirkan kondisi tersebut, Sri pun
memberikan Afit rekening bank miliknya. Sehingga, ia bisa mengontrol
uang masuk dan keluar anaknya dari jauh. Kekhawatirannya semakin
besar ketika tahu bahwa beberapa di antara teman main games putranya
ternyata berusia jauh lebih tua. Hal itu diketahui Sri dari percakapan Afit
dengan orang yang dipanggilnya dengan sebutan “om”.
Di samping itu, Sri juga menemukan bahwa putranya menggunakan akun
Facebook dengan nama buatan untuk berinteraksi dengan teman-teman
mainnya tersebut. Beberapa perubahan perilaku juga dialami oleh Afit.
Misalnya, melawan ketika disuruh melakukan sesuatu seperti beribadah.
Padahal, menurutnya kebiasaan itu sebelumnya tak pernah dilakukan oleh
putranya. “Lalu saya konsul dengan bapaknya, ini kayaknya sudah
kecanduan banget karena rawat diri sendiri saja sudah enggak bisa. Kami
kan orangtua khawatir masa depan dia,” ucap Sri.
Kondisi kecanduan permainan secara daring seperti yang diceritakan di atas sudah
menjadi masalah international. WHO pada bulan Juni 2018 bahkan memasukkan
kecanduan games online ke dalam 11th Revision International Classification of Diseases
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
3
(ICD-11), sebuah dokumen yang berisi klasifikasi penyakit yang digunakan secara global.
WHO menyebutnya dengan Gaming Disorder (World Health Organization, 2018).
Laporan harian Bangkok Post menyatakan pada tahun 2017 di Thailand terjadi
peningkatan sebesar 400% remaja yang kecanduan video-games. Pada tahun 2016
terdapat 26 kasus kecanduan video games, kemudian tahun 2017 mengalami
peningkatan menjadi 129 kasus, sedangkan sampai dengan September 2018 sudah
ada146 kasus kecanduan (Wipatayotin & Raksaseri, 2018).
PENGERTIAN VIDEO GAMES
Sebelum membahas lebih dalam tentang kecanduan games, ada baiknya kita pelajari
terlebih dahulu pengertian dari video games. Pembahasan tentang video games ini
dikutip dari buku Internet Gaming Disorder yang ditulis oleh Daniel L. King dan Paul H.
Delfabbro.
Video games adalah bentuk permainan secara digital dengan media yang interaktif
sehingga dapat dimainkan oleh satu atau lebih pemain. Media interaktif ini terdiri dua
yaitu (1) media untuk mengontrol permainan (misalnya: keyboard, controller, atau sensor
gerak); dan (2) media untuk melihat manipulasi gambar (misalnya: monitor komputer,
televisi, atau smartphone).
Hasil dari video games adalah peserta bisa menang (melanjutkan ke level berikutnya),
atau kalah (mengulang atau memulai level dari awal). Video games yang berkembang
saat ini umumnya dirancang dengan output yang tidak terbatas. Pemain games baik yang
kalah atau menang tetap bisa melanjutkan permainan dengan menggunakan strategi
atau teknik tertentu. Akibatnya video games secara psikis dapat mengubah pola pikir
pemain, mengalami perasaan emosi yang berbeda, memuaskan kebutuhan
psikologisnya, atau melewati waktu dan mendapatkan realitas dengan mudah. Games
juga dapat digunakan untuk mendapatkan pilihan lingkungan sosial selain dunia kerja,
sekolah, atau teman main, serta sebagai tempat untuk mendapatkan eksistensi diri.
Jenis video games berbeda-beda tergantung pada aspek sebagai berikut (King &
Delfabbro, 2019):
a. Dilihat dari genre: shooting games (dengan menembak), role-playing games
(dengan memainkan peran), dan strategy games (dengan menggunakan strategi
untuk memenangkan permainan).
b. Dilihat dari platforms: games dengan media komputer dan games dengan media
smartphone.
c. Dilihat dari mode: single-player games (pemain sendiri melawan mesin komputer),
dan games yang berkompetisi dengan pemain lain
d. Dilihat dari konektivitas: online games dan offline games
e. Dilihat dari tujuan: mengalahkan lawan dengan kekerasan, argumentasi, atau
taktik tersembunyi.
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
4
Di antara berbagai jenis video games terdapat dua jenis permainan yang sering
memberikan implikasi terhadap kecanduan yaitu Massively Multiplayer Online (MMO)
dan Multiplayer Online Battle Arena (MOBA).
MMO merupakan jenis permainan yang paling digemari orang yang terdiagnosis IGD.
MMO dapat dimainkan oleh beberapa orang secara simultan. Para pemain umumnya
bermain secara tim atau bekerja sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan yang telah
dibagikan kepada seluruh pemain. Jenis MMO yang paling terkenal adalah MMO Role-
Playing Game (MMORPG), yaitu games yang memungkinkan pemain untuk menciptakan
karakter (atau “avatar”) dalam dunia fantasi atau lingkungan tertentu (misal: antariksa),
dan menyelesaikan tugas-tugas, serta memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada diri
sendiri atau pemain lainnya. Struktur permainan dalam MMORPG dirancang untuk
mencapai tujuan yang tidak akan berakhir dengan pola horisontal atau melebar ke
samping sehingga terdapat banyak pilihan-pilhan untuk menyelesaikan satu episode.
Secara berkala MMORPG menyediakan kebaruan (updating) yang menawarkan konten-
konten baru. Karakteristik utama permainan ini adalah “ketekunan” yang memungkinkan
pemain sulit menghentikan sementara (“pause”) dan pemain tetap eksis meskipun telah
keluar (logout) dari permainan. Contoh MMORPG yang populer antara lain World of
Warcraft dan The Elder Scrolls Online.
Jenis video games lain yang berkaitan dengan studi tentang Internet Gaming Disorder
antara lain:
a. First-Person Shooter games (FPS games), seperti: Counterstrike: Global
Offensive, Team Fortress 2, dan Call of Duty.
b. Third-Person Shooter games
c. Strategy games, seperti: Starcraft 2, Civilization, Total War, dan XCOM 2
d. Sport Simulation games, seperti: FIFA, Madden NFL
e. Racing Simulation games, seperti: Projects CARS, Gran Turismo, Burnout
MOBA merupakan jenis lain dari permainan online yang popularitasnya sedang
mengalami peningkatan. MOBA adalah permainan kompetitif yang mempertemukan dua
tim secara real-time dan saling mengalahkan untuk mempertahakan teritori. Permainan
dalam MOBA umumnya berlangsung cepat dan dapat memutar, serta ditampilkan dalam
bentuk olahraga seperti Bola Basket atau Sepakbola. Contoh populer games jenis MOBA
adalah League of Legends dan DOTA 2.
Tujuan orang untuk bermain games juga berbeda-beda, seperti:
1. Untuk mengisi waktu luang.
2. Untuk menghasilkan pendapatan, sehingga pada orang-orang tertentu terdapat
perbedaan yang tipis antara bermain games atau bekerja. Mereka umumnya
menyatakan bahwa dirinya sedang “bekerja” bukan bermain games. Bahkan pada
para gamers yang bekerja formal menyatakan bahwa games adalah pekerjaan
kedua.
3. Untuk menghilangkan kebosanan
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
5
Pada tingkatan tertentu para pemain games melekatkan dirinya dengan dunia maya
dalam games online seperti dengan benda-benda/alat, aksi-aksi, dan identitas. Bahkan
terdapat pemain yang dapat menghafal dengan baik apa yang mereka lakukan dalam
games online. Pemain games juga terlibat dalam komunikasi secara virtual dengan
sebagian atau seluruh komunitas di sosial media. Beberapa pemain sangat menghargai
dan mencatat perkembangan dan status mereka dalam games online, sehingga
kebiasaan bermain games sulit dihilangkan karena sudah menjadi bagian penting dalam
kehidupan para pemain.
Kondisi-kondisi yang disebutkan di atas menyebabkan masalah problematik (bahkan
kecanduan) pada beberapa orang. Adapun enam karakteristik video games yang
menyebabkan seseorang sulit melepaskan diri dan memberikan realitas hidup yang
seolah-olah lebih baik adalah:
a. Pemain merasakan kepiawaian dan prestasi (karakter interactivity)
b. Pemain merasakan kegembiraan atau emosi yang terlepaskan (karakter rewards)
c. Pemain dapat melupakan masalah dan membantu dalam mengurangi tekanan
(karakter immersion)
d. Pemain dapat menghabiskan waktu yang banyak (karakter endlessness)
e. Pemain dapat merasakan tujuan dan rutinitas (karakter work-like structure)
f. Pemain dapat merasakan kemajuan tiap episode dan dapat mengontrol kemajuan
tersebut (karakter virtual nature).
INTERNET GAMING DISORDER
Pada tahun 2013, gangguan kecanduan games melalui internet masuk dalam daftar
“kondisi mental yang harus diteliti” pada sebuah publikasi gangguan mental yang
diterbitkan American Psychiatric Association. Menurut publikasi tersebut gangguan ini
memiliki lima dari sembilan gangguan yang berhubungan dengan “gangguan asosiatif”
yaitu (Ward, 2018):
1. Membutuhkan waktu yang lama untuk bermain games
2. Kegagalan dalam usaha “keluar” dari games
3. Memanfaatkan games untuk mengatasi kecemasan atau rasa bersalah
4. Berbohong kepada orang agar dapat bermain games
5. Gejala “menarik kembali” atau withdrawal atau candu
Dalam laman online WHO istilah kecanduan games online disebut Gaming Disorder.
Dalam ICD-11 disebutkan Gaming Disorder adalah pola perilaku seorang pemain games
(digital games atau video games) yang gagal mengontrol perilakunya dalam bermain
games, yakni prioritas dalam bermain games lebih tinggi dibanding aktivitas lain sehingga
permainan games lebih diutamakan dibanding kegiatan harian lainnya, serta terjadi
peningkatan dan keberlanjutan bermain games meskipun terdapat dampak negatif bagi
dirinya. Seseorang didiagnosa mengalami Gaming Disorder jika perilakunya semakin
memburuk dan memberikan dampak pada gangguan terhadap aspek personal, keluarga,
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
6
sosial, pendidikan, pekerjaan dan aktivitas penting lainnya, yang umumnya terjadi lebih
dari satu tahun (World Health Organization, 2018).
Dalam Feng dkk (2017), Internet Gaming Disorder adalah satu kondisi pada individu yang
menggunakan/memainkan games online secara terus-menerus dan berulang-ulang dan
umumnya dilakukan bersama orang lain, serta secara klinis merupakan gangguan atau
distress. Sejak tahun 1998 hingga tahun 2016 prevalensi IGD mengalami peningkatan
(Feng, Ramo, Chan, & Bourgeois, 2017).
Para peneliti mendeskripsikan IGD dengan tiga karakteristik yaitu (Cheng, Cheung, &
Wang, 2018):
a. IGD merupakan masalah psikologis yang sifatnya patologis, artinya perlu
ditangani oleh ahli medis
b. IGD merupakan masalah interpersonal (hubungan antar manusia) yang
disebabkan ketidakmampuan seseorang menyesuaikan diri (maladaptive coping)
c. IGD merupakan masalah psikososial yang disebabkan tidak terpenuhinya
pengontrolan pada diri sendiri, dan akhirnya terjadi delusi (seseorang meyakini
sesuatu hal yang sebenarnya tidak ada).
PENGUKURAN DAN PREVALENSI INTERNET GAMING DISORDER
Untuk membantu praktisi dalam menentukan gejala IGD pada seseorang, para peneliti
telah menciptakan alat ukur (berbentuk kuesioner) yang dikembangkan berdasarkan
gejala-gejala umum. Para ahli ilmu perilaku di Hong Kong pada tahun 2017 telah
mengembangkan Chinese Internet Gaming Disorder Scale, sebuah kuesioner yang
terdiri dari 9 pertanyaan dan telah dilakukan uji validitas terhadap 502 responden
(Sigerson, Li, Cheung, Luk, & Cheng, 2017).
Bagi masyarakat Indonesia sendiri telah dikembangkan alat ukur untuk mengetahui
gejala IGD. Alat ukur tersebut telah mengalami uji validitas yang dilakukan terhadap
1.477 pelajar SMP dan SMA di Indonesia. Pertanyaan yang diajukan pada alat ukur ini
terdiri dari tujuh buah, antara lain (Jap, Tiratri, Jaya, & Suteja, 2013):
1. Saya memikirkan game online sepanjang hari
2. Waktu bermain game online saya bertambah (misalnya dari 1 jam menjadi 2 jam
setiap kali main)
3. Saya bermain game online untuk melarikan diri dari masalah
4. Orang lain gagal saat mencoba membantu saya mengurangi waktu bermain game
online
5. Saya merasa tidak enak ketika tidak dapat bermain game online
6. Bermain game online membuat hubungan saya dengan orang lain (keluarga,
teman, dll) menjadi bermasalah
7. Waktu yang saya habiskan untuk bermain game online membuat saya
kekuarangan jam tidur
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
7
Hasil pengukuran IGD di berbagai negara menunjukkan prevalensi yang berbeda antar
negara. Di Jerman prevalensi IGD remaja usia 13-18 tahun pada tahun 2015 sekitar
1,16%. Studi prevalensi IGD pada tahun 2015 di tujuh negara Eropa menunjukkan angka
1,6% pada remaja usia 14-17 tahun. Studi lainnya menunjukkan prevalensi 0,6% di
Norwegia (2011), prevalensi 2,0% pada remaja China (2014), prevalensi 1,3% pada
pemain games di Belanda (2012), prevalensi 1,5% pada remaja usia 13-16 tahun di
Belanda (2011), dan prevalensi 1,8% pada remaja di Australia (2013).
FAKTOR PENYEBAB INTERNET GAMING DISORDER
Internet Gaming Disorder merupakan gangguan kesehatan mental yang relatif masih
baru dan masih dibutuhkan berbagai penelitian untuk mengetahui penyebabnya (Hu,
Stavropoulos, Anderson, Scerri, & Collard, 2018).
Studi tentang IGD yang mengikutsertakan 153 anak muda Australia dan 457 anak muda
Amerika Utara yang bermain games online yang dilakukan pemain dalam jumlah banyak
(Massively Multiplayer Online Games atau MMOG) menunjukkan terdapat hubungan
yang signifikan antara simtom Hikikomori dengan IGD. Simtom Hikikomori adalah bentuk
penarikan diri secara sosial pada seseorang secara ekstrim, sehingga orang tersebut
terisolasi secara sosial akibat dirinya sendiri (Stavropoulos, et al., 2018).
Penelitian di Korea Selatan menunjukkan ada hubungan antara hasrat remaja untuk
menjalin hubungan dengan orang lain dengan games addiction (Seok, Lee, Park, & Park,
2018). Studi di negara Perancis menunjukkan hampir 2% penduduk negara ini
mengalami IGD. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara IGD dengan
motivasi, genre dari games, dan psikopatologis (Laconi, Pires, & Chabrol, 2017).
Faktor motivasi merupakan dorongan bagi seseorang untuk terus bermain games online.
Menurut King dkk, dorongan seseorang untuk terus menerus bermain games dengan
mengalokasikan waktu yang dimilikinya terdiri dari 3 hal yaitu dorongan untuk mendapat
keuntungan finansial (wealth), dorongan untuk memperoleh prestasi (achievement), dan
dorongan karena keserakahan atau merasa tidak pernah cukup atau inadequacy (King,
Herd, & Delfabbro, Motivational Components of Tolerance in Internet Gaming Disorder,
2018).
Studi terhadap 119 mahasiswa di China menunjukkan laki-laki lebih sering mengalami
IGD dibanding wanita. Hal ini disebabkan laki-laki lebih sulit mengontrol dirinya sendiri
dibanding wanita. Disamping itu wanita lebih menginginkan kenyamanan/kedamaian
yang tidak umumnya tidak terpenuhi pada game online (Dong, Wang, Wang, Du, &
Potenza, 2019). Namun demikian studi lain menunjukkan wanita lebih rentan mengamali
IGD dibanding laki-laki (Wang, et al., 2018).
Penelitian terhadap 394 partisipan dari berbagai ras pada tahun 2017 menunjukkan
gejala IGD berhubungan dengan gejala fobia sosial dan suatu kondisi psikologis yang
disebut avatar identification. Gejala fobia sosial atau kecemasan sosial meliputi rasa
ketakutan yang tidak masuk akal dan perasaan tidak nyaman di lingkungan sosial yang
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
8
menyebabkan dirinya tidak mau bergaul/bergabung. Sedangkan avatar identification
adalah kecenderung seseorang memerankan tokoh utama dalam games online ke
kehidupan nyata (Sioni, Burleson, & Bekerian, 2017).
Berdasarkan beberapa studi tersebut, faktor penyebab gejala Internet Gaming Disorder
adalah sebagai berikut:
a. Jenis kelamin (pria lebih seting mengalami IGD)
b. Genre games
c. Motivasi bermain games
d. Keinginan untuk mencari teman
e. Gejala fobia sosial
f. Identifikasi terhadap tokoh virtual (Avatar Identification)
g. Kondisi psikopatologis, seperti: gejala Hikikomori
DAMPAK INTERNET GAMING DISORDER
Setiap negara memiliki permasalahan IGD yang sama yaitu memberikan dampak
psikologis bagi pemain yang kecanduan. Namun setiap negara memiliki perbedaaan
dalam hal penyebab dari IGD tersebut seperti komunikasi antar personal yang tidak
sama. Disamping itu dampak psikologis dari IGD terhadap masing-masing penduduk di
tiap negara juga berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh kepuasan hidup masyarakat,
jarak kekuasaan, dan budaya maskulinitas (Cheng, Cheung, & Wang, 2018).
Dampak negatif IGD sebagian besar menyebabkan masalah psikologis dan sosial yaitu:
a. Perubahan suasana hati (mood) seperti mudah tersinggung, marah-marah, dan
rasa bosan
b. Gangguan pola tidur dan kualitas tidur yang buruk
c. Depresi dan kecemasan, bahkan risiko ingin bunuh diri
d. Ketidaknyaman secara fisik dan kemungkinan nyeri pada sebagian tubuh
e. Kondisi kesehatan umum yang buruk
f. Pola makan yang buruk dan konsumsi kopi berlebih
g. Kehilangan teman di dunia nyata dan terisolasi secara sosial
h. Konflik dengan anggota keluarga lain
i. Perpisahan dan perceraian
j. Gangguan terhadap pekerjaan dan produtivitas kerja
k. Absensi dan drop-out dari sekolah
l. Masalah kemanan finansial
Secara fisiologis IGD dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan dan terjadi
ketidakseimbangan. Di dalam tubuh terdapat satu protein polipeptida yang disebut
dengan Leptin. Leptin inilah yang terlibat dalam terjadinya nafsu makan dan
keseimbangan energi dalam tubuh. Sebuah studi terhadap 11 pasien Internet Gaming
Disorder menunjukkan Leptin tidak mengalami cukup perubahan pada tubuh seseorang
yang mengalami IGD (Geisel, Hellweg, Wiedemann, & Muller, 2018).
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
9
PENCEGAHAN INTERNET GAMING DISORDER
Secara konseptual, pencegahan terhadap IGD dilakukan untuk mencapai target sebagai
berikut (King & Delfabbro, Prevention and Harm Reduction for IGD, 2019):
1. Mencegah masalah perilaku IGD yang sudah terjadi
2. Memperpanjang waktu sejak bermain games hingga terjadinya masalah perilaku
IGD
3. Mengurangi dampak dari masalah perilaku IGD
4. Memperkuat pengetahuan, sikap, dan perilaku yang dapat meningkatkan emosi
dan fisik yang baik
5. Mengkampanyekan regulasi yang dapat meningkatkan kondisi fisik, sosial dan
emosional masyarakat oleh institusi, komunitas, dan aparat pemerintah.
Berdasarkan konsep tersebut, pencegahan terhadap IGD terbagi menjadi tiga yaitu (1)
Pencegahan Primer; (2) Pencegahan Sekunder; dan (3) Pencegahan Tersier. Sasaran
program pencegahan ini adalah pada orang yang tidak tepat dalam bermain games
(Gaming Misuse), dan orang yang didiagnosa mengalami gangguan bermain games
(Gaming Disorder).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer atau pencegahan secara universal (universal prevention) adalah
upaya yang dilakukan terhadap seluruh populasi secara umum, orang-orang yang
tidak peduli terhadap risiko kesehatan yang dilakukan dengan menekan perilaku
bermain games agar tetap aman atau tidak mengganggu. Pendekatan pencegahan
primer beranggapan bahwa individu yang bermain games memiliki risiko yang sama
(lihat tabel 1).
Tabel 1. Strategi Pencegahan Primer
Strategi Pencegahan
Contoh upaya pencegahan
1. Pendidikan
Membuat pedoman bermain games yang sehat
(mis: tidak boleh lebih dari 2 jam bermain games)
Membuat literasi digital agar pengguna internet
menjadi lebih produktif misalnya menganjurkan
aktivitas fisik minimal 30 menit per hari
Mengkampanyekan aktivitas di luar rumah
2. Membuat regulasi/kebijakan
Mewajibkan pihak berwenang mematikan layanan
games online beberapa jam dalam sehari
Mencegah penjualan games online kepada
kelompok umur tertentu
3. Teknologi
Menciptakan/memanfaatkan teknologi yang dapat:
Dikendalikan orangtua (parental lock)
Menyaring konten yang tidak sesuai
Menentukan time-limit pada instrumen pemain
games
Ditonton/dilihat bukan di smartphones
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
10
Strategi Pencegahan
Contoh upaya pencegahan
Dapat memberikan pesan total waktu yang
digunakan dalam bermain games
4. Meningkatkan kesadaran
(kampanye)
Menentukan 1 hari tanpa teknologi digital atau
mematikan/tanpa games online
Memberikan layanan informasi tentang IGD yang
tepat
5. Lingkungan
Mengurangi aksesibilitas terhadap perlengkapan
games, seperti tidak menempatkan peralatan games
i kamar tidur
2. Pencegahan Sekunder
Disebut juga pencegahan secara selektif (selected prevention) yaitu upaya
menhindari IGD pada individu yang berisiko mengalami masalah yang berhubungan
dengan bermain games, misalnya pada:
a. Remaja laki-laki
b. Individu yang memiliki gangguan psikologis (masalah defisit atensi, gangguan
mood)
c. Individu dengan fungsi sosial rendah atau kepercaraan diri rendah
d. Individu dengan kemampuan akademis rendah atau masalah pendidikan
e. Individu dengan minat yang rendah pada aspek bukan permainan
f. Individu dengan dukungan keluarga yang rendah atau pengawasan yang lemah
Tabel 2. Strategi Pencegahan Sekunder
Strategi Pencegahan
Contoh upaya pencegahan
1. Deteksi dini secara rutin
Penelitian epidemiologis pada populasi berisiko,
terutama di sekolah dan perguruan tinggi
2. Pemeriksaan kesehatan
Konsultasi dengan praktisi medis untuk mendeteksi
distress emosional atau permasalahan yang dapat
menyebabkan risiko dalam bermain games
3. Program pendidikan di
sekolah
Mengajarkan penggunaan teknologi yang aman
Mengkampanyekan interaksi sosial di dunia nyata
Mendukung hobi dan olahraga pada pelajar atau
mahasiswa untuk meningkatkan kepercayaan diri
dan pemberdayaan
4. Kebijakan internet di kantor
Membuat aturan akses internet untuk mencegah
karyawan mengakses konten yang tidak berkaitan
dengan pekerjaan, misalnya mengunjungi situs
games atau mengakses games online
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
11
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan terhadap individu yang telah terindikasi
mengalami masalah dengan games online (disebut juga indicated prevention).
Adapun contoh upaya yang dapat dilakukan adalah:
Tabel 3. Strategi Pencegahan Tersier
Strategi Pencegahan
Contoh upaya pencegahan
1. Kelompok dukungan
Membuat komunitas baik offline maupun online
2. Pelayanan kesehatan mental
dan rawat jalan
Penanganan gangguan mental (gangguan mood,
kepribadian, insomnia) dan masalah medis (rasa
nyeri, cedera) yang berkaitan dengan masalah
gaming disorder
3. Rehabilitasi psikososial
Menjalankan “digital detox” atau detoksifikasi
terhadap materi digital dan program terstruktur
lainnya yang berfokus pada peningkatan sosialisasi
secara tatap muka
Mengembangkan minat
4. Edukasi psikologis
Memberikan informasi khususnya tentang gejala
IGD dan strategi untuk mencegah dampak buruk
games online
KESIMPULAN
Internet Gaming Disorder atau kondisi psikologis yang ditandai dengan terjadinya gejala
kecanduan terhadap games secara online, dewasa ini menunjukkan peningkatan
prevalensi di berbagai negara. Kondisi ini terjadi pula di Indonesia, meskipun belum ada
penelitian yang secara khusus menghitung prevalensi IGD.
Faktor penyebab dan dampak dari IGD sebagian besar merupakan aspek psikologis dan
sosial, meskipun terdapat aspek bioligis/fisik dalam beberapa kasus tertentu. MMORPG
dan MOBA merupakan jenis video games yang paling sering menyebabkan IGD.
Pencegahan IGD dapat dilakukan dengan pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan ini ditujukan baik terhadap individu yang berisiko, individu yang kelompok
tertentu, atau individu yang sudah terindikasi IGD.
DAFTAR ISTILAH
Achievement Avatar Identification
Burnout games Call of Duty games
Chinese Internet Gaming Disorder Scale Civilization games
Counterstrike: Global Offensive games Delusi
Digital detox DOTA 2 games
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
12
Endlessness FIFA games
First-Person Shooter games (FPS games) Games addiction
Games online Gran Turismo games
Hikikomori symptom Immersion
Inadequacy Indicated prevention
Interactivity Internet Gaming Disorder (IGD)
League of Legends games Madden NFL games
Maladaptive coping Massively Multiplayer Online (MMO)
MMO Role-Playing Game (MMORPG) Multiplayer Online Battle Arena (MOBA)
Offline games Online games
Pencegahan primer IGD Pencegahan sekunder IGD
Pencegahan selektif Pencegahan tersier IGD
Pencegahan universal Project CARS games
Racing simulation games Rewards
Role-playing games Shooting games
Single-player games Sport simualtion games
Starcraft 2: Brood War games Strategy games
Team Fortress 2 games Third-Person Shooter games
Total War games Universal prevention
Video games Virtual nature
Wealth Withdrawal
Work-like structure World of Warcraft games
XCOM 2 games
KUIS
Jawablah dengan BENAR atau SALAH pernyataan di bawah ini.
1. WHO pada tahun 2018 memasukkan kecanduan games online ke dalam 11th
Revision International Classification of Diseases (ICD-11), sebuah dokumen yang
berisi klasifikasi penyakit yang digunakan secara global, dengan sebutan Gaming
Disorder
2. Dilihat dari tujuannya, jenis video games terdiri dari (1) games yang mengalahkan
lawan dengan kekerasan, (2) games dengan argumentasi, dan (3) games dengan
taktik tersembunyi
3. MOBA adalah permainan kompetitif yang mempertemukan dua tim secara real-
time dan saling mengalahkan untuk mempertahakan teritori
4. Gaming Disorder adalah pola perilaku seorang pemain games yang gagal
mengontrol perilakunya dalam bermain games
5. Gejala fobia sosial dan avatar identification merupakan faktor risiko dari IGD
6. Secara fisiologis IGD dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan dan terjadi
ketidakseimbangan.
7. Parental lock adalah salah satu contoh upaya pencegahan primer IGD dengan
intervensi teknologi
8. Salah satu contoh pencegahan sekunder IGD adalah membuat kebijakan
pembatasan internet di tempat kerja
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
13
9. Digital detox merupakah salah satu contoh pencegahan tersier IGD
10. Di antara berbagai jenis video games terdapat dua jenis permainan yang sering
memberikan implikasi terhadap kecanduan yaitu Massively Multiplayer Online
(MMO) dan Multiplayer Online Battle Arena (MOBA).
LATIHAN TUGAS
1. Mengapa internet gaming disorder sulit dikendalikan atau diberantas?
2. Mengapa remaja merupakan kelompok yang rentan terhadap IGD?
3. Mengapa peran orangtua sangat penting dalam pencegahan IGD?
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, C., Cheung, M., & Wang, H.-y. (2018, November). Multinational Comparison of
Internet Gaming Disorder and Psychosocial Problem versus Well-being: Meta
Analysis of 20 Countries. Computers in Human Behavior, 88, 153-167.
Dong, G., Wang, Z., Wang, Y., Du, X., & Potenza, M. (2019, January). Gender-related
functional Connectivity and Craving during Gaming and Immediate Abstinence
during a Mandatory Break: Implications for Development and Progression of
Internet Gaming Disorder. Progress in Neuro-Psychopharmacology and
Biological Psychiatry, 1-10.
Feng, W., Ramo, D., Chan, S., & Bourgeois, J. (2017, December). Internet Gaming
Disorder: Trends in Prevalence 1998-2016. Addictive Behaviors, 75, 17-24.
Geisel, O., Hellweg, R., Wiedemann, K., & Muller, C. (2018). Plasma Level of Leptin in
Patients with Pathological Gambling, Internet Gaming Disorder, and Alcohol Use
Disorder. Psychiatry Research, 268, 193-197.
Hu, E., Stavropoulos, V., Anderson, A., Scerri, M., & Collard, J. (2018). Flow and
Internet Gaming Disorder. Addictive Behaviors Reports.
Jap, T., Tiratri, S., Jaya, E. S., & Suteja, M. S. (2013, Apri 3). The Development of
Indonesian Online Game Addcition Questionnaire . PLoS ONE, 8(4), e61089.
King, D., & Delfabbro, P. (2019). Prevention and Harm Reduction for IGD. In D. L. King,
& P. H. Delfabbro, Internet Gaming Disorder (pp. 201-241). London: Academic
Press.
King, D., Herd, M., & Delfabbro, P. (2018). Motivational Components of Tolerance in
Internet Gaming Disorder. Computers in Human Behavior, 78, 133-141.
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
14
King, P. H., & Delfabbro, P. (2019). An Introduction to Gaming and IGD. In P. H. King,
P. H. Delfabbro, D. King, & P. Delfabbro (Eds.), Internet Gaming Disorder:
Theory, Treatment, and Prevention (pp. 1-21). London: Academic Press.
Laconi, S., Pires, S., & Chabrol, H. (2017). Internet Gaming Disorder, Motives, Game
Genre dan Psychopathology. Computers in Human Behavior, 652-659.
Nabila, T. (2018, October 16). Ada Klinik Khusus Kecanduan Gadget di Jakarta Lho...
(Wisnubrata, Editor, & Kompas Gramedia Group) Retrieved November 10, 2018,
from Kompas.com:
https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/16/061314220/ada-klinik-khusus-
kecanduan-gadget-di-jakarta-lho
Seok, H. J., Lee, J. M., Park, C.-Y., & Park, J. Y. (2018, November). Understanding
Internet Gaming Addiction among South Korean Adolescents through
Photovoices. Children and Youth Services Review, 35-42.
Sigerson, L., Li, A., Cheung, M.-L., Luk, J., & Cheng, C. (2017, November).
Psychometric Properties of the Chinese Internet Gaming Disorder. Addictive
Behaviors, 20-26.
Sioni, S., Burleson, M., & Bekerian, D. (2017, June). Internet Gaming Disorder: Social
Phobia and Identifying with your Virtual Self. Computers in Human Behavior, 71,
11-15.
Stavropoulos, V., Anderson, E. E., Beard, C., Latifi, M. Q., Kuss, D., & Griffiths, M.
(2018). A Preliminary Cross-cultural Study of Hikikomori and Internet Gaming
Disorder: The Moderating Effects of Game-playing Time and Living with Parents.
Addictive Behaviors Reports.
Wang, Z., Hu, Y., Zheng, H., Yuan, K., Du, X., & Dong, G. (2018, November). Females
ar More Vulnerable to Internet Gaming Disorder than Males: Evidence from
Cortical Thickness Abnormalities. Psychiatry Research: Neuroimaging, Online.
Ward, M. (2018, October 17). "I was Having Panic Attacks": Online Gaming Addiction is
Real. Retrieved from The Sydney Morning Herald:
https://www.smh.com.au/lifestyle/health-and-wellness/i-was-having-panic-
attacks-online-gaming-addiction-is-real-20181011-p5094a.html
Wipatayotin, A., & Raksaseri, K. (2018, November 1). Video Games Addiction up by
400%. Retrieved from Bangkok Post:
https://www.bangkokpost.com/news/general/1568202/video-game-addiction-up-
by-400-
World Health Organization. (2018, September). Gaming Disorder. Retrieved November
7, 2018, from World Health Organization: http://www.who.int/features/qa/gaming-
disorder/en/
Ade Heryana, S.St, M.KM | Internet Gaming Disorder (IGD)
15
LAMPIRAN
Chinese Internet Gaming Disorder (Sigerson, Li, Cheung, Luk, & Cheng, 2017)
1. Do you feel preoccupied with Internet games (think about previous gaming activity
or anticipate playing the next game)?
2. Do you feel irritable, anxious, or sad when Internet gaming is taken away?
3. Do you feel the need to engage in Internet games with increasing amounts of time
in order to achieve satisfaction?
4. Have you repeatedly made unsuccessful attempts to control your participation in
Internet games?
5. Have you experienced loss of interests in previous hobbies and entertainment as
a result of, and with the exceptions of, Internet games?
6. Do you continue to use Internet games excessively despite knowledge of
psychosocial problems?
7. Have you deceived family members, therapists, or others regarding the amount of
Internet gaming?
8. Do you use Internet games as a way of escaping or relieving a negative mood
(e.g., feeling of helplessness, guilt, anxiety)?
9. Have you jeopardized or lost a significant relationship, job, or educational or career
opportunity because of participation in Internet games?
... Characteristics of this case are addicted to games include not wanting to go to school, playing games for more than 8 hours a day and continuing to repeat the habit every day as a routine. It prove that IGD is a serious problem for adolescent (Ulfa and Risdayati, 2017;Sundari and Ratna, 2018;Farasonalia and Assifa, 2019) Internet Gaming is a disorder of this millennium era health problems resulting from deviations of human behavior who overuse technology gadgets without realizing the impact excessive experienced by users (Heryana and Unggul, 2018). By playing games online make a person can lose track of time and leave the daily activities so it is interfering with his life as a whole (Männikkö, 2017;Snodgrass et al., 2019). ...
... With cross-sector cooperation, their parents and, teens that in line with research from Heryana and Unggul, the prevention of Internet Gaming Disorder in Indonesia can be done in two stages: primary prevention among parents, schools, the technology involves control by parents, campaigns, and supportive environment. As well as a secondary that early detection, health checks, educational programs in schools, and Internet policy in the office (Heryana and Unggul, 2018). ...
Article
Full-text available
Background: Emerging Internet technologies are now creeping into the game arena. Increased incidence of gaming addiction is felt in the world, and no doubt in Indonesia could have an impact as well, especially in an adolescent. In Makassar, found the incidence of internet games disorders by 30% in high school children. Therefore, internet games eventually became an important issue in the world of health to the WHO (World Health Organization) and making it the responsibility of the world. The state has a duty and responsibility in preventing health problems caused by the development of internet gaming in Indonesia. Internet Gaming Disorder is a mental problem that should be considered in adolescents, and even no single governing restrictions on the use of internet gaming and prevention programs for adolescents in Indonesia. Purpose: The purpose of this study is to explore the problem of Internet Gaming disorder by describing programs that have been implemented by countries outside Indonesia in terms of health promotion for adolescents. Methods: This study was a literature review of several journals, thesis, as well as patient data reports Internet Gaming disorder in Indonesia and the world. Result: The result is a necessary regulation involving adolescents, parents, schools, governments, and public health officials to regulate Internet gaming restrictions to prevent Internet Gaming Disorder as has been done in China, Hong Kong, Iran, and Switzerland which can be adopted in Indonesia. Conclusion: The problem of Internet gaming disorder being ordered must be a concern of government and cross-sectoral to prevent the development of this problem in Indonesia as a protective way for adolescents.
Article
Full-text available
Background The need for a better understanding of the risk factors underpinning disordered gaming has been consistently emphasized. Although, gaming may offer a simple and straightforward means of alleviating distress, relying on gaming to address one's unmet psychological needs could invite problematic usage. Self-determination theory highlights the significance of three universally inherent psychological needs for relatedness, competency, and autonomy. A motivation to engage in gaming may be to address unmet needs and may become problematic. Objective This study aimed to assess whether experienced levels of loneliness, depression and self-esteem mediate the association between Internet Gaming Disorder (IGD) behaviours and Need-Fulfilment deficits. Method The participants comprised of 149 adults (83 males, 66 females), aged between 18 and 62 years. A series of self-reported questionaries assessing their levels of IGD behaviours, depression, loneliness, self-esteem and need-fulfilment were completed. Results Need-fulfilment deficits were linked to higher IGD behaviours. Interestingly, this association was mediated by the reported levels of self-esteem and depression and not loneliness. Conclusions The findings lend further empirical support for the mediating role of psychological distress between need fulfilment deficits and IGD behaviours.
Article
Full-text available
Background: Internet Gaming Disorder (IGD) and Hikikomori (an extreme form of social real-life withdrawal, where individuals isolate themselves from society) have both been suggested as mental disorders that require further clinical research, particularly among young adult populations. Objective: To add to the extant literature, the present study used a cross-cultural, cross-sectional design to investigate the association between Hikikomori and IGD, and the potential moderating effects of reported game-playing time and living with parents. Method: Two online samples of 153 Australian and 457 U.S.-North American young adult players of Massively Multiplayer Online (MMO) games were collected. The nine-item Internet Gaming Disorder Scale-Short Form (IGDS-SF9), and the Hikikomori Social Withdrawal Scale were administered to dimensionally assess IGD and Hikikomori, respectively. Results: Linear regression analyses confirmed that Hikikomori symptoms are associated with IGD. Additionally, moderation analyses indicated that the association was exacerbated by longer game playing time across both populations. Gamers living with their parents was a significant moderator of the relationship for the Australian sample. Conclusions: Extreme real-life social withdrawal and IGD are related, and this association is exacerbated for those who spend more time playing MMOs per day, and, for Australian participants, living with their parents.
Article
Full-text available
Internet gaming disorder (IGD) has been viewed by scholars as (a) a pathology that co-occurs with psychological problems (comorbidity hypothesis), (b) maladaptive coping with abundant interpersonal problems (interpersonal impairment hypothesis), and (c) deficient self-regulation with the underlying motive to restore psychosocial well-being (dilution effect hypothesis). We examined the associations between IGD symptoms and four major criteria (psychological problems, interpersonal problems, psychological well-being, and interpersonal well-being), and compared the magnitude of these associations across countries. To test these hypotheses, we performed mixed-effects meta-analysis on 84 independent samples comprising 58,834 participants from 20 countries. The findings showed moderately strong positive associations between IGD symptoms and psychological problems across the countries, providing some support for the universality of the comorbidity hypothesis. The interpersonal impairment hypothesis was more tenable to countries lower (vs. higher) in power distance, which exhibited a stronger (vs. weaker) positive correlation between IGD symptoms and interpersonal problems. The dilution effect hypothesis was more tenable to countries either higher (vs. lower) in national life satisfaction or lower (vs. higher) in cultural masculinity, each of which displayed a weaker (vs. stronger) inverse correlation between IGD symptoms and interpersonal well-being.
Article
Background: Male predominance is a well-known feature of Internet gaming disorder (IGD), with a reported male to female ratio of 3:1. Because of the overwhelming focus on males, little is known about the neural basis of sex differences in IGD, especially neuroanatomical features. Thus, investigations on sex differences with an adequate sample size are critical for improving the understanding of biological mechanisms underlying IGD. Methods: Structural magnetic resonance imaging data were acquired from 62 IGD subjects (29 males, 33 females) and 71 recreational game users (RGUs) (37 males, 34 females) with well-matched age and education levels. Group-by-sex interaction in cortical thickness was analyzed, and the correlations between cortical thickness and addiction severity were calculated. Results: We detected a group-by-sex interaction in the bilateral rostral middle frontal gyri (MFG), left superior frontal gyrus (SFG), left supramarginal gyrus (SMG), right posterior cingulate cortex (PCC), and right superior parietal lobule (SPL). Post-hoc analyses revealed that, compared with same-sex RGUs, male IGD subjects had increased cortical thickness and female IGD subjects had reduced cortical thickness beside their right PCC. By contrast, male IGD subjects had reduced cortical thickness and female IGD subjects had increased cortical thickness in their right PCC. Moreover, only females showed significant negative correlations between the cortical thickness and their self-reported cravings and Internet addiction test scores. Conclusions: For female IGD subjects, the reduced cortical thickness, combined with the negative correlations of addiction severities, suggests the great effect created by IGD in the brain regions. Males and females may be affected differently by IGD, with females being more vulnerable to it.
Article
Internet gaming addiction is a serious problem for some adolescents in South Korea, although it has not yet been fully explored. The present study aims to explore adolescents' motivations for internet games, how their lives are affected, how they perceive internet games, what they gained and lost, and how they made sense of internet gaming addiction. Interviews, focus groups, and photovoice with a sample of ten adolescents at risk of internet addiction were conducted. The participants reported serious symptoms of internet game addiction, which negatively affected their psychological health and self-identity. They also reported that they were aware of how internet games negatively affected their daily lives, academic performance, and family relationships worsened once they became addicted to internet games. However, they also perceived internet games as avenues for entertainment, stress relief, and peer bonding. Understanding adolescents' perceptions and meaning of internet gaming addiction can facilitate the development of effective psychosocial intervention programs, which can subsequently contribute to healthy coping strategies and positive adolescent development and identity.
Article
Leptin has been suggested to be involved in the pathophysiology of addictive disorders via modulation of mesolimbic reward pathways. Previous studies in patients with substance use disorders (alcohol, tobacco, cocaine) found positive correlations of leptin blood levels with craving. Here, we investigated leptin blood levels in patients with non-substance related addictive disorders such as pathological gambling (PG) and internet gaming disorder (IGD) in comparison to patients with alcohol use disorder (AUD) and healthy controls. Plasma levels of leptin were measured in male patients with PG (n = 14), male patients with IGD (n = 11), male patients with AUD (n = 39) and male healthy controls (n = 12). Additionally, correlation analyses with blood levels of HPA axis hormones were performed. Leptin plasma levels of patients with PG, IGD or AUD and healthy controls did not differ significantly across groups. In patients with PG, leptin plasma levels were correlated with copeptin, a surrogate for arginine vasopressin. Our findings do not suggest an involvement of leptin in abstinent patients with AUD or in patients with active IGD. In patients with active PG, leptin blood levels were not related to craving for gambling, but leptin might be involved in PG via an interaction with the HPA axis.
Article
Background: Although males more frequently develop Internet gaming disorder (IGD) as compared with females, few studies have examined gender-related neurocognitive differences in IGD. TASK AND DESIGN: fMRI and subjective data were collected from 119 subjects (IGD, male 29, female 25; recreational game use (RGU), male 34, female 31) when they were actively playing games and during a forced mandatory break. Analyses investigating effects of group (IGD, RGU) and gender (male, female) on the functional connectivity (FC) of executive control and reward systems linked to the dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) and striatum, respectively, were performed. Correlations between FC and subjective craving measures were also calculated. Results: Gaming-group-by-gender interactions were observed. During gaming in males but not in females, the FC between the DLPFC and superior frontal gyrus was relatively decreased, and that between the striatum and thalamus was relatively increased. During the mandatory break, changes in the FC between DLPFC and superior frontal gyrus and the FC between the striatum and thalamus varied by gender with greater RGU-IGD differences observed in females. Significant correlations between FC and self-reported craving were observed. Conclusions: During both gaming and a forced mandatory break, brain regions implicated in executive control and reward processing showed changes in FC that varied by gender. Brain regions implicated in executive control showed differential FC in males during gaming, and FC during the forced mandatory break appeared relevant to both genders, and perhaps particularly for females. The findings suggest possible neural mechanisms for why males appear more likely to develop IGD, and why it may be particularly difficult for individuals with IGD to cease gaming.
Article
Tolerance in DSM-5 Internet gaming disorder (IGD) refers to a need for increasing time spent in gaming activities. However, the focus on ‘time’ has been criticized for being a superficial imitation of tolerance in substance-based addiction. Gaming tolerance may require a broader conceptualization of its motivational and cognitive features. The present study aimed to investigate tolerance-like processes in gaming and their association with IGD symptoms. An online survey that included a 20-item measure of gaming-related tolerance was administered to 630 adult gamers, including 4.0% who screened positively for IGD. Exploratory factor analysis indicated that a three-factor model for the tolerance items provided the best fit. These factors were: (1) Wealth, the need to accumulate in-game rewards of increasing rarity, novelty, or quantity; (2) Achievement, the need to pursue goal-driven activities of increasing complexity, difficulty, or uniqueness; and (3) Inadequacy, the need to rectify perceived insufficiencies in gaming capability or progress. A hierarchical regression analysis indicated that Inadequacy was modestly but significantly related to other IGD symptoms, after controlling for age, gender, and time spent gaming. These findings support the notion that problematic gaming may be motivated by the need for completion of increasingly more intricate, time-consuming, or difficult goals to achieve satisfaction and the need to rectify perceived inadequacies related to gaming.