ArticlePDF Available

‘Butta Kodi, Biné Kodi’: Stigma dan Dampaknya Terhadap Tu Tamanang di Kabupaten Gowa

Authors:

Abstract

Tu tamanang is a Makassar term for bad soil (butta kodi) for women and bad seed (biné kodi) for men, as sexual intercourse is analogised with planting (lamung-lamung). Whether or not one is considered as tu tamanang is not based on biomedical check-up, but simply on the basis ofmarital duration (5 years and more) and the attributes attached to tu tamanang which may be different by gender. The importance of the existence of children in the family has caused social stigma among tu tamanang. Such stigma is based on the attributes that can be observed, the gendered parable, the reproductive health-related perception towards the couple, and the label that tu tamanang are infortune persons. In dealing with such social stigma, tamanang women tend to be passive, while men are more aggressive, by showing their refusal to stigma through polygyny or divorce to get married. However, women also become agents in regard to divorce and polygyny. But, refusal towards social stigma is also the case for couple who does not problematised lack of children in the family, and tamanang is not simply a source of conflict. Stigma towards tu tamanang significantly affects the social life of tu tamanang, which is classified into 3 categories: self-isolation, demanding divorce and polygyny. There is a need to educate the society regarding the cause of infertility and how to deal with it, since existing various stigma against tu tamanang are based on social perception, which are non-medical and presumption. In addition, since biomedical service is not the main priority for tu tamanang, they need relevant information regarding existing service and service procedures because even though they access medical service, it has never been continued. This is because accessing medical service is identical with handling of various documents which they consider rather complicated.
ETNOSIA:
JURNAL ETNOGRAFI INDONESIA
Volume 2 Edisi 2, DESEMBER 2017
P-ISSN: 2527-9313, E-ISSN: 2548-9747
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial- ShareAlike
4.0 International License
153
‘Butta Kodi, Biné Kodi’:
Stigma dan Dampaknya Terhadap Tu Tamanang
di Kabupaten Gowa
Mirawati Syam1, Nurul Ilmi Idrus2
1,2 Universitas Hasanuddin. Makassar. Indonesia. E-mail : mirawatisyam@gmail.com
ARTICLE INFO
ABSTRACT
Keywords:
Child; stigma; marriage;
tamanang; tu tamanang;
biné; butta; impact.
How to cite:
Syam, Mirawati., Idrus,
Nurul Ilmi. (2017). ‘Butta
Kodi, Biné Kodi’: Stigma
dan Dampaknya Terhadap
Tu Tamanang
di Kabupaten Gowa.
Etnosia: Jurnal Etnografi
Indonesia, 2(2), 153-176.
Tu tamanang is a Makassar term for bad soil (butta kodi) for
women and bad seed (biné kodi) for men, as sexual intercourse is
analogised with planting (lamung-lamung). Whether or not one is
considered as tu tamanang is not based on biomedical check-up, but
simply on the basis ofmarital duration (5 years and more) and the
attributes attached to tu tamanang which may be different by
gender. The importance of the existence of children in the family has
caused social stigma among tu tamanang. Such stigma is based on
the attributes that can be observed, the gendered parable, the
reproductive health-related perception towards the couple, and the
label that tu tamanang are infortune persons. In dealing with such
social stigma, tamanang women tend to be passive, while men are
more aggressive, by showing their refusal to stigma through
polygyny or divorce to get married. However, women also become
agents in regard to divorce and polygyny. But, refusal towards social
stigma is also the case for couple who does not problematised lack of
children in the family, and tamanang is not simply a source of
conflict. Stigma towards tu tamanang significantly affects the social
life of tu tamanang, which is classified into 3 categories: self-
isolation, demanding divorce and polygyny. There is a need to
educate the society regarding the cause of infertility and how to deal
with it, since existing various stigma against tu tamanang are
based on social perception, which are non-medical and presumption.
In addition, since biomedical service is not the main priority for tu
tamanang, they need relevant information regarding existing
service and service procedures because even though they access
medical service, it has never been continued. This is because
accessing medical service is identical with handling of various
documents which they consider rather complicated.
Copyright © 2017 ETNOSIA. All rights reserved.
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
154
1. Pendahuluan
Dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1) disebutkan bahwa
‘perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Keluarga juga
memiliki berbagai macam fungsi
1
, salah satunya untuk meneruskan keturunan
(Mubarak dkk. 2009:53).
Kehadiran anak sangat berpengaruh dalam hubungan perkawinan karena anak
dianggap buah cinta kasih, penerus garis keturunan, perekat ikatan pernikahan
orang tua (Murniati dan Wibawa 2002; Rahmani dan Abrar 1999:213).
Kehadiran anak dalam rumah tangga juga berkaitan dengan nilai anak, baik
dari segi sosial, ekonomi, maupun psikologis bagi orang tua (Beni dan Anggal,
2001; Yebei, 2000; Rahmani dan Abrar, 1999; Munir 1986; Arif 2007).
Signifikannya kehadiran anak dalam perkawinan dapat dilihat dari bagaimana
orang yang telah menikah beberapa bulan akan ditanyai dengan pertanyaan
seperti: ‘Apakah sudah berisi (baca: hamil)? Jika telah menikah dalam jangka
waktu lama pertanyaan meningkat pada jumlah anak adalah: ‘Sudah punya
anak berapa?’ Tidak mengherankan jika kehadiran anak sangat didambakan
oleh setiap pasangan suami-istri, dan pasangan yang belum memiliki anak
akan senantiasa berupaya untuk memerolehnya.
Meskipun kehadiran anak dalam perkawinan adalah dambaan bagi setiap
pasangan suami-istri, tidak semua pasangan berkesempatan memiliki
keturunan. Ironisnya, terdapat 80 juta perempuan di dunia mengalami
kehamilan tak dikehendaki dan di Indonesia sendiri ada sekitar 11,2 juta
perempuan mengalami hal yang serupa (Kompas, 23 Juni 2017).
Pasangan yang tidak memeroleh keturunan dalam waktu lama secara medis
disebut mandul atau infertil (Burn dkk. 2005). Kemandulan merupakan
masalah yang cukup kompleks dan penyebab kemandulan dapat terjadi dari
1
Fungsi keluarga terdiri atas: fungsi biologis, untuk meneruskan keturunan, memelihara, dan
membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga; fungsi psikologis, yaitu
memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga, memberikan perhatian diantara
keluarga, memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas
pada keluarga; fungsi sosialisasi yaitu membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-
norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing dan meneruskan
nilai-nilai budaya; dan fungsi pendidikan yaitu menyekolahkan anak untuk memberikaan
pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang
dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam
memenuhi perannya sebagai orang dewasa serta mendidik anak sesuai dengan tingkat
perkembanganya (Mubarak dkk. 2009:76).
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
155
kedua belah pihak, baik dari suami maupun istri (Bennett dkk. 2015; Aizid
2010; Rahmani dan Abrar 1999:51).
2
Menurut Burn dkk. (2005:92), ada dua
faktor penyebab ketidaksuburan pasangan suami-istri yang menentukan dapat-
tidaknya pasangan memeroleh keturunan, yaitu faktor internal dan eksternal.
3
Namun bagaimana pasangan yang belum memiliki anak mengatasi
masalahnya? Kebanyakan pasangan, terutama suami tidak mengakses layanan
infertilitas karena merasa malu untuk melakukan cek medis, bahkan ada
asumsi bahwa ketika pasangan tidak memiliki anak, maka istri cenderung
disalahkan dan biasanya berakhir pada perceraian (Bennett dkk. 2012
Demartoto 2008:82; Rahmani dan Abrar 1999: 6870). Terkadang mereka
bercerai bahkan sebelum mengetahui penyebab ketidaksuburan itu (Indrizal
2014). Begitu kuatnya tuntutan normatif terhadap pasangan suami-istri untuk
memiliki keturunan juga memaksa mereka untuk melakukan pengobatan
ataupun memastikan sebab dari kegagalan melahirkan (Demartoto 2008:89).
Penanganan infertilitas di Indonesia cenderung menggunakan pluralisme
medis (Bennett 2012; Arif 2007).
4
Namun, survei infertilitas yang dilakukan di
tiga kota di Indonesia (Jakarta, Surabaya dan Denpasar) terhadap 212 pasien
perempuan yang berusia antara 18 dan 45 tahun menunjukkan konsultan
infertilitas merupakan sumber informasi yang paling bermanfaat bagi 65%
pasien (Bennett dkk. 2015). Di Indonesia, penanganan biomedis terkait
infertilitas bukan merupakan upaya yang dominan yang dilakukan oleh
pasangan suami-istri yang mengalami masalah infertilitas (Bennett 2012).
Jikapun pasien mengakses klinik infertililitas, mereka juga mengalami sejumlah
kendala yang lebih bersifat psikologis, diantaranya kurang percaya diri untuk
melakukan pengobatan infertilitas, seringnya berganti dokter karena
menganggap mereka gagal mengobati, malu untuk dilakukan examinasi
vaginal (Bennett dkk. 2012).
2
Al-Iraqi (2010) mengemukanan tentang dua jenis kemandulan, kemandulan primer dan
kemandulan sekunder. Kemandulan primer terjadi jika belum pernah terjadi kehamilan sama
sekali; sedangkan kemandulan sekunder adalah kemandulan yang terjadi setelah seseorang
pernah mengalami kehamilan sebelumnya kemudian mengalami keguguran.
3
Faktor internal disebabkan dari dalam tubuh pasangan suami-istri, misalnya, ketidak-
seimbangan fisiologi karena pengaruh kesehatan dan ketidakseimbangan psikis (seperti stress);
sedangkan faktor eksternal, yaitu pengaruh yang muncul dari lingkungan sosial (seperti
merokok secara berlebihan, minum minuman keras, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan
berhubungan intim dengan banyak pasangan) (Burn dkk 2005:92).
4
Baca, misalnya, artikel pendahuluan dari Connor (2001) tentang pluralisme pengobatan di
masyarakat Asia. Untuk diskusi yang ekstensif tentang sejarah dan fungsi pluralisme medis di
Indonesia, baca Ferzacca (2002:35-57).
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
156
Tussadiyah (2015:67) menjelaskan bahwa ketidakhadiran anak juga sangat
berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan diri pasangan suami-istri, dimana
suami meragukan keperkasaannya dan istri meragukan kesuburannya.
Padahal, keperkasaan laki-laki tidak identik dengan masalah kesuburan dan
ketidaksuburan bisa terjadi pada istri dan/atau suami (Pranata 2009), sehingga
menstigma salah satunya menunjukkan adanya diskriminasi berbasis gender.
Bennett (2012) menyatakan bahwa dengan menganggap hanya perempuan
yang menjadi penyebab infertilitas, maka perempuan akan menjadi target
pengobatan. Ini tidak saja menimbulkan bias gender, tapi juga memromosikan
kebodohan secara medis karena mengabaikan kemungkinan bahwa infertilitas
juga bisa terjadi pada laki-laki atau keduanya.
Pada tahun 1997, Greil memublikasikan review literatur terkait dengan kajian-
kajian infertilitas, dan temuannya menunjukkan bahwa kebanyakan peneliti
memperlakukan infertilitas sebagai kondisi medis dengan konsekuensi
psikologis dan dengan metode kuantitatif daripada sebagai realitas yang
terkonstruksi secara sosial (Greil 1997). Greil (1991) sendiri menganalogikan
infertilitas dengan penyakit kronis dan disabilitas. Ia memandang infertilitas
sebagai disabilitas yang menyangkut pembatasan jangka panjang dari
kemampuan individual untuk menampilkan peran sosial dan aktivitas sehari-
hari yang normal sebagai hasil dari gangguan fisik. Sebagaimana dengan
penyakit kronis dan disabilitas, efek infertilitas terhadap identitas, termasuk
mengganggu interaksi dengan orang lain karena terjadinya stigma.
Review literatur tentang studi-studi infertilitas yang dilakukan oleh Greil dkk
(2010) mulai menunjukkan lebih banyak penelitian menempatkan infertilitas
dalam konteks sosial yang lebih besar dan kerangka kerja ilmiah sosial
meskipun penekanan pada aspek klinisnya tetap ada dan penggunaan metode
kualitatif semakin common. Artikel ini lebih terfokus pada aspek sosial dengan
pendekatan kualitatif terkait dengan stigma terhadap pasangan suami-istri
yang belum memiliki anak dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan
mereka. Diargumentasikan bahwa stigma terhadap pasangan suami-istri tidak
saja karena orang tidak memahami penyebab seseorang menjadi tamanang,
termasuk oleh tu tamanang sendiri, karena apakah seseorang tamanang atau
tidak didasarkan pada pemeriksaan biomedis melainkan pada persepsi sosial
yang bersifat non-medis dan rekaan.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Biringbulu Kabupaten Gowa, dimana
terdapat 98 pasangan suami-istri tanpa anak yang tersebar di berbagai desa.
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
157
Partisipan dalam penelitian ini adalah perempuan yang berstatus menikah dan
janda bercerai yang berusia antara 32 dan 56 tahun, yang terdiri dari 9 ibu
rumah tangga (IRT), 1 pegawai negri sipil (PNS), dan 3 dukun beranak (DB).
Meskipun kami bermaksud untuk mencakupkan laki-laki tu tamanang, tapi hal
tersebut tidak memungkinkan karena laki-laki tidak bersedia untuk
berpartisipasi. Laki-laki tidak terlibat karena mereka menolak untuk
diwawancarai. Mengingat sensitivitas topik, maka perekrutan informan
dilakukan secara snowball sampling. Perekrutan dimulai dari informan kunci
yang mengarahkan kepada informan pertama, kemudian bergulir ke informan-
informan lainnya, sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 1 berikut ini:
Wawancara dilakukan merupakan follow-up interview berdasarkan tema-tema
yang diperoleh dalam penelitian awal tentang tu tamanang, salah satunya
adalah tentang stigma terhadap tu tamanang. Tema stigma ini dikembangkan
dengan topik-topik wawancara yang meliputi: makna tamanang dan tu
tamanang, beragam bentuk stigma, dan bagaimana dampak stigma terhadap
kehidupan tu tamanang.
Analisa data dilakukan berdasarkan analisa tema (thematic analysis). Ini yang
diawali dengan mentranskripkan rekaman wawancara kemudian mengklasifi-
kasikan data dengan mendeteksi tema-tema yang muncul dalam wawancara
(seperti stigma, ciri-ciri tu tamanang, perumpamaan terhadap tu tamanang,
persepsi tentang kesehatan reproduksi, pengidentikan tu tamanang dengan
kesialan, isolasi diri, perceraian, poligini, dampak stigma) yang kemudian
dikodekan berdasarkan tema-tema tersebut.
Tabel 1. Informan Penelitian
Nama Samaran
Usia (Tahun)
Status Perkawinan
Pekerjaan
Lala
32
Menikah
Ibu rumah tangga
Nini
35
Menikah
Ibu rumah tangga
Hana
36
Menikah
Ibu rumah tangga
Tiara
44
Bercerai
Ibu rumah tangga
Lia
50
Menikah
Ibu rumah tangga
Nai
51
Menikah
Ibu rumah tangga
Ayu
52
Menikah
Ibu rumah tangga
Sasa
53
Menikah/Poligami
Ibu rumah tangga
Tati
56
Menikah
Ibu rumah tangga
Wati
49
Menikah/Poligami
Pegawai negri sipil
Sinar
37
Menikah
Dukun beranak
Nia
51
Menikah
Dukun beranak
Tika
53
Menikah
Dukun beranak
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
158
Setelah menjelaskan tentang topik, tujuan, pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan, manfaat penelitian terhadap informan, dan potensi resiko yang
mungkin ditimbulkan, kami meminta kesediaan informan untuk diwawancarai
dan direkam. Untuk menjaga kerahasiaan informasi dan identitas informan,
semua nama disamarkan (pseudonym) dan dijaga kerahasiaannya (confidential).
2.1. Tamanang dan Tu Tamanang
Tamanang dalam bahasa Makassar berasal dari dua kata ta (tidak) dan
manang(melahirkan), sehingga tamanang berarti ‘tidak melahirkan’ (mandul).
Sedangkan tu (berarti orang) dan tamanang (tidak melahirkan), sehingga tu
tamanang berarti orang yang tidak melahirkan (orang yang mandul). Ibu Tati
(56 tahun), seorang ibu rumah tangga, memberikan gambaran mengenai
perbedaan antara tamanang dan tu tamanang, yaitu :
Injo nikanaya tamanang battuanna téna nakullé mana’, baji tau, olo’-olo’, lamung-
lamung kulléi nikana tamanang. Taua punna tanré namana’ tamanangi, olo’-olo’
ka punna tanré anakna tamanangi, lamung-lamunga punna anréka nambua
tamanangi. Jari punna tau tanré’ anakna na sallomo kalabini nikana tu tamanang,
Yang dimaksud tamanang adalah jika tidak bisa melahirkan, baik itu
manusia, hewan maupun tumbuhan. Manusia jika tidak melahirkan
disebut tamanang, hewan jika tidak memiliki anak juga disebut tamanang,
tumbuhan jika tidak berbuah juga disebut tamanang. Jadi jika seseorang
yang telah lama menikah belum memiliki anak disebut tu tamanang (Ibu
Tati 56 tahun).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa istilah tamanang adalah ketidakmampuan
untuk melahirkan dan istilah ini tidak hanya digunakan pada manusia (tau),
tapi juga pada binatang (olo kolo’), dan tumbuhan (lamung-lamunga). Dalam
konteks manusia, maka orang yang mengalami tamanang disebut tu tamanang.
Namun, apakah seseorang disebut tamanang atau bukan tergantung pada usia
perkawinan yang bersangkutan. Secara sosial, jika usia pernikahan telah
melebihi 3 tahun dan belum memiliki anak, maka hal tersebut telah dianggap
ada ‘tanda-tanda kemandulan’ (tanda la tamanang intu). Ketika usia pernikahan
mencapai 5 tahun dan telah melakukan berbagai macam pengobatan untuk
mendapatkan anak dan pasangan suami-istri belum juga memiliki anak, maka
salah satu keduanya dianggap ada yang tamanang (mandul). Ini sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ibu Nia, seorang dukun beranak, berikut ini:
Punna rapi batémi na anré memang na tianang tanda la tamanang intu, punna
niamo limang taung na anré injapa na boya mo mangé pa’ballé na anréka nalé’ba
ammangtang battangna tantumi into nia’na tamanang apaka bura’nénna aréka
bainénna.
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
159
Jika usia pernikahan sudah lama dan ia belum hamil juga, maka itu
pertanda bahwa orang tersebut akan mandul, dan jika sudah cukup 5
tahun namun belum hamil juga dan telah berobat, maka sudah pasti ada
[diantaranya] yang mandul, apakah itu suaminya atau istrinya (Ibu Nia, 51
Tahun).
Hal ini dipertegas oleh Ibu Nai, seorang ibu rumah tangga, yang menjelaskan,
bahwa:
Injo nikanaya tu tamanang punna sallomi kalabini na téna memang nania’ ana’na,
na ténaja na kabé bainénna. Sala sé’réna intu nia tamanang, bajika bainénna iaréka
bura’nénna. Punna tanréka ja nakkabé bainénna gassingka bura’nénna issé
tamanang, gassingka ia rua tamanang. Iapa ni isséngi injo punna sisa’laki na
massing bunting issédé maraéng.
Yang dimaksud dengan tamanang adalah ketika [pasangan suami-istri]
telah lama menikah namun belum memiliki anak dan istrinya tidak sedang
ber-KB. Salah satu dari pasangan tersebut pasti ada yang mandul, baik itu
istrinya ataupun suaminya. Jika istri tidak sedang ber-KB, maka
kemungkinan besar suaminya yang mandul, atau keduanya mandul. Akan
ketahuan siapa sebenarnya yang mandul ketika mereka berpisah dan
masing-masing menikah lagi (Ibu Nai, 51 tahun).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tamanang, dapat terjadi pada suami
(bura’nénna) ataupun istri (bainénna) ataupun keduanya (ia rua tamanang)(baca,
misalnya, Bennett dkk. 2015). Namun, pemeriksaan secara biomedis tidak
dilakukan, sehingga sulit untuk memastikan siapa diantara keduanya yang
mandul atau dua-duanya mandul, selain menebak-nebak. Namun, hal ini
dianggap menjadi jelas ketika pasangan suami-istri bercerai dan masing-
masing menikah lagi. Siapa yang tidak memiliki anak dalam pernikahan
berikutnya, maka dialah yang dianggap ‘mengalami kemandulan’. Artinya,
siapa yang mandul atau tidak, bergantung pada perkawinan berikutnya.
Ketika ada pasangan yang baru pertama kali menikah dan belum memiliki
anak dan usia pernikahnnya telah lebih dari 5 tahun, maka salah satunya
dianggap mandul. Ini dialami oleh menantu Ibu Tati (56 Tahun), dimana usia
pernikahan menantunya telah berjalan lebih dari 10 tahun, namun sampai saat
ini masih belum memiliki anak. Belum diketahui siapa yang tamanang apakah
anaknya atau menantunya. Oleh karenanya, baik anak maupun menantu sama-
sama berobat secara tradisional untuk mendapatkan keturunan. Namun,
dengan usia pernikahan tersebut, maka secara sosial salah satu dari mereka
dianggap tamanang, karena usia perkawinan mereka, dimana istri belum
pernah mengandung ataupun melahirkan (kemandulan primer). Yang belum
pasti adalah apakah pihak suami atau istri yang mandul berdasarkan
pemeriksaan biomedis karena hal ini belum pernah dilakukan. Padahal tiga
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
160
klinik keluarga berencana (KB) tersedia di Kecamatan Biringbulu. Ibu Tati
mengungkapkan:
La’bimi sampulo taung kalabini anakku, mingka sampé pappakaminné téna
mémang anakna, ténapa nisséngi taréanga tamanang, apakah bainénna atau
bura’nénna. Anréka nalé’ba maé paréssa ri dottoroka jari anrékanisséngi nai
tamanang sebenarna. Téna naéro mangé paréssa, sanging nakua sa’bara’mi rolo,
gassing téapi bédé wattunna mémang.
Sudah lebih sepuluh tahun anak saya berkeluarga, namun sampai saat ini
belum dikaruniai anak. Belum diketahui siapa sebenarnya yang mandul,
apakah suami atau istri. Mereka belum pernah berobat ke dokter, sehingga
tidak diketahui siapa yang sebenarnya mandul. Tidak ada yang mau
periksa, mereka selalu mengatakan bersabar saja dulu, mungkin belum
waktunya (Ibu Tati, 56 tahun).
Dalam konteks menantu Ibu Tati yang tidak kunjung hamil, meskipun besar
keinginan mereka untuk memiliki anak, tidak ada upaya untuk memeriksakan
diri secara biomedis. Padahal, survei yang dilakukan oleh Bennett dkk. (2015)
terhadap pasien yang mengakses layanan infertilitas di tiga klinik masing-
masing di kota Jakarta, Surabaya dan Denpasar, menunjukkan bahwa 65%
diantara mereka menganggap, bahwa konsultasi biomedis merupakan sumber
informasi yang sangat bermanfaat. Apa yang dilakukan oleh anak dan menantu
Ibu Tati adalah bersabar dan karena mereka percaya bahwa jika Allah
menghendaki, maka keinginan tersebut akan terwujud.
Tapi bila belum ada kejelasan siapa yang tamanang, meskipun mereka telah
berobat secara tradisional, kemudian salah satunya menikah lagi dan memiliki
anak, maka ini menjadi penentu siapa diantara keduanya yang tamanang. Ini
mendemonstrasikan bahwa penentuan siapa yang tamanang atau tidak, bukan
tergantung pada rekam biomedis pasangan suami-istri, tapi pada siapa
diantara mereka berdua yang memiliki anak setelah perkawinan berikutnya.
Kenapa mereka tidak mengakses layanan biomedis untuk memeriksakan diri
dan mencari tahu penyebabnya? Jikapun ada yang mengakses layanan
biomedis, seperti Puskesmas atau Rumah Sakit Umum, tapi akses layanan
seperti ini memerlukan persyaratan kartu tanda penduduk (KTP), kartu
keluarga (KK), dan kartu asuransi (seperti Jamkesmas, BPJS, dan semacamnya).
Di desa hal-hal semacam ini seringkali terabaikan, sehingga tidak mengheran-
kan jika ada masyarakat yang tidak memiliki syarat administrasi yang
dimaksud dan dianggap mempersulit mereka yang ingin mengakses kesehatan.
Oleh karenanya layanan biomedis tidak menjadi prioritas utama. Akan tetapi,
jika pasangan suami-istri memandang perkawinan tidak sekedar untuk
memeroleh keturunan, maka keduanya tidak akan mencari-tahu siapa diantara
mereka yang tamanang. Sebaliknya, keduanya justru berobat dan mencari solusi
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
161
lain secara bersama-sama. Ibu Lala, misalnya, menganggap bahwa pernikahan
memang ‘jalan’ untuk mendapatkan keturunan. Namun, bukan berarti bahwa
jika belum memeroleh keturunan harus berpisah atau mengizinkan suami
untuk berpoligini. Ibu Lala mengungkapkan:
Injo nikanaya pakkalabinéang téai nikua siallo, sibulan arékasitaung, mingka
seumur hidup punna nikulléja. Memang érokki nia’ ana’, sanna éro’na, mingka ia
into nikua pa’ballé tawwa, boya-boya tawwa tikamma na lania’ tong, loéji tau pulo
taungmo nampa nia’ anakna. Nakké sikalabiné tanréka nakusicurigai nai
tamanang, kakupikkiriki téaipi kapang wattunna, jari punna maé pa’ballé mangé,
maé sikalabinéa’.
Sebuah pernikahan tidaklah dijalani sehari, sebulan atau setahun, akan
tetapi seumur hidup jika memang bisa. Keinginan untuk memiliki anak
memang ada, sangat besar harapan untuk itu karena itulah kami berobat,
mencari-cari cara agar segera dapat anak, banyak juga pasangan yang telah
lama berumah tangga baru dikaruniai anak. Saya suami-istri tidak pernah
saling curiga siapa sebenarnya yang tamanang sebab saya berfikir mungkin
memang belum waktunya, sehingga kalau pergi berobat kami pergi berdua
(Ibu Lala, 32 tahun).
Jika melihat bagaimana mereka menghadapi ketidakhadiran anak dalam
keluarga, maka kasus Ibu Lala merupakan pengecualian, bukan sebagai kasus
yang common terjadi. Meskipun kehadiran anak sangat diharapkan, mereka
tidak saling menyalahkan satu sama lain, atau menyelesaikan masalah dengan
perceraian atau poligini. Mereka menunjukkan bahwa masalah ketidakhadiran
anak tidak menjadi sumber konflik dalam rumah tangganya.
3. Stigma Terhadap Tu Tamanang
Pentingnya kehadiran seorang anak dalam keluarga membuat mereka
yang tidak memiliki anak cenderung mengalamai stigma sosial. Stigma
terhadap tu tamanang bervariasi berdasarkan ciri-ciri yang dapat diobservasi,
perumpamaan terhadap tu tamanang, persepsi tentang kesehatan reproduksi
pasangan suami-istri, dan tu tamanang sebagai pembawa sial, yang akan
dijelaskan satu persatu di bawah ini.
3.1. Ciri-ciri Tu Tamanang
Salah satu stigma yang ditujukan kepada tu tamanang didasarkan pada ciri-
cirinya yang dianggap menjadi penyebab kenapa seseorang sulit memiliki anak
atau bahkan tidak memiliki harapan sama sekali. Ciri-ciri tersebut berbeda
antara laki-laki dan perempuan (baca, misalnya, Papree dkk. (2000). Ciri
perempuan tamanang diobservasi dari berat badannya yang berlebihan (terlalu
gemuk) atau berkekurangan (terlalu kurus). Perempuan yang kelewat gemuk
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
162
(lalo co’mo’), rahimnya akan tertutupi oleh daging dan lemak (pa’manakkanga
lalang ribattang jari assi, jannana injo battanga), sehingga sulit dibuahi. Ibu Tika,
yang seorang dukun beranak (sanro pammana’), memberikan gambaran
mengenai bagaimana kondisi fisik (berat badan) berpengaruh terhadap
tamanang atau tidaknya seseorang, sebagai berikut:
Injo punna lalo co’mo tawwa katambunganngi injo pa’manakkanga lalang
ribattangri assi, jannana injo battanga, jari punna kalabiné sarriki nampa éro’
anjari. Ia into biasa joka tau tamananga sanging tu co’mo, cini sai into I’na, I Uki,
katambungang ngasékki pa’manakangna.
Jika [seseorang] terlalu gemuk, maka rahim akan tertimbun oleh daging
dan lemak, sehingga [menyebabkan seseorang] susah untuk hamil.
Makanya rata-rata orang tamanang itu bertubuh gemuk seperti Ikna dan
Uki, rahim mereka tertimbun (Ibu Tika, 53 tahun).
Secara fisik, jika seorang perempuan terlalu gemuk (lalo co’mo’), maka ini ibarat
rahim tertutupi oleh lemak. Namun, jika perempuan terlalu kurus (lalo roso’)
diidentikkan dengan ‘rahim yang kering’ (a’marai pammanakanga), dan
diibaratkan sebagai rahim yang ‘melengket’ (karakkikangi pa’manakanna),
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Tika, berikut ini:
Injo punna lalo roso’ tawwa, a’marai pa’manakkanga, jari sari tonji lanjari,
sikammaji punna lamung tawwa batara aréka paré na ri butta kalotorokka, téai
timbo mana baji tikamma binénna. Nakua taua kanné maé karakkikangi
pa’manakkanna, jari tanré naéro anjari caritanna injo biné nasaréangki bura’néa.
Jika [seseorang] terlalu kurus, maka rahimnya akan kering, sehingga sulit
dibuahi, ibaratnya seperti menanam jagung atau padi ditanah yang kering,
tidak akan pernah tumbuh sebagus apapun benih yang ditanam. Menurut
orang-orang disini, rahimnya melengket, sehingga benih yang diberikan
oleh suami tidak akan pernah bisa dibuahi (Ibu Tika, 53 tahun).
Seorang laki-laki dianggap tu tamanang jika ia kurang dapat bersosialisasi
dengan masyarakat dan cenderung menutup diri, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ibu Tika berikut ini:
Téna nasénggé into maé ripattémpoanga, manna nia nigaukang. Tanréka nal
caritanna, kamma into polé mallakki ribainénna, sikamma i Aris na Ali lokang.
Allésébédékki perhatikang, punna bura’né injo massing bainénna pasti tianangi
salla, mingka sitinatta maki.
[Seorang tamanang] jarang mengikuti acara-acara di masyarakat, meskipun
ada acara pesta, mereka juga lebih sedikit bicara dan agak pendiam, dan
seperti ‘suami takut istri’, seperti Aris dan Ali. Coba perhatikan mereka,
jika istri mereka bersuami lagi pasti akan hamil, lihat saja nanti (Ibu Tika,
53 tahun).
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
163
Seorang laki-laki yang dianggap tamanang juga disebut dengan istilah lupa’
yang berarti kosong (baca: tamanang), dan istilah ini berkaitan dengan
kesehatan reproduksi. Meskipun tamanang dapat terjadi pada laki-laki dan
perempuan, tidak ada istilah spesifik yang terkait dengan perempuan
tamanang, sebagaimana lupa’ bagi laki-laki. Untuk mengantisipasi agar
pasangan suami-istri tidak lupa’ (tamanang), maka bingkisan perkawinan (érang-
érang) dan mahar (sunrang) disertai dengan pinang, beras dan uang sebagai
kesehatan, kesejahteraan dan kesuburan kedua mempelai. Laki-laki tamanang
(lupa’) dianggap sebagai laki-laki ‘bersperma encer’ (éncéréki manni na) dan
tidak mampu ber-ereksi (téna éro amménténg katawangna). Dalam konteks ini,
laki-laki semacam ini diidentikkan dengan orang yang tidak berkemampuan
untuk membuahi sel telur. Ibu Tika menjelaskannya sebagai berikut:
Kabatéangji into punna bura’nénna tamanang, nakua taua kanné maé punna
bura’néa tamanang lupa’, battuanna injo éncéréki mannina na téna éro
amménténg katawangna.
Akan nampak jika laki-laki yang tamanang, orang-orang disini menyebut
laki-laki yang tamanang itu lupa’, artinya bersperma encer dan penisnya
tidak bisa berdiri (Ibu Tika, 53 tahun).
Selain itu, kekurang-bergaulannya dengan masyarakat sekitar diidentikkan
dengan ‘suami takut istri’ (mallaki ri bainénna). Dengan demikian laki-laki
semacam ini lebih dianggap sebagai laki-laki yang tamanang ketimbang istrinya,
dan dipercaya bahwa jika mereka bercerai dan istrinya menikah lagi, maka
istrinya dianggap akan mendapatkan keturunan dari suami keduanya.
Ciri-ciri di atas menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang penyebab
tamanang sangatlah minim dan perlakuan terhadap tamanang menjadi tidak
relevan dan ini semakin dipertegas dengan berbagai perumpamaan yang
dilabelkan kepada tu tamanang, sebagaimana yang akan didiskusikan pada sub-
sessi berikut ini.
3.2. Perumpamaan Tu Tamanang
Stigma terhadap tu tamanang juga diassosiasikan dengan perumpamaan terkait
dan ini berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perumpamaan tersebut
digambarkan oleh Ibu Nia, seorang dukun beranak (sanro pammana’), sebagai
berikut:
Punna lamung tawwa bajiki punna butta ga’ga na biné ga’ga todo’ polé, anréka
niposo parakai na timbo lébong injo binéa. Mingka punna nia’ sala ’réna inné
kodi anréka into nia’ timbo, aréka buttaya kodi aréka binéa. Sikamma tonji punna
kalabiné tawwa, kamma le’bakki a’lamung-lamung, injo pa’manakkanga sikamma
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
164
butta ga’ga, injo manni na bura’néa sikamma biné jari massing porépi inné rua
nampa éro ammantang injo anaka lalang.
Jika menanam hendaknya ditanah yang subur dan benih yang bagus pula,
sehingga benih yang ditanam akan tumbuh dengan subur tanpa
mengalami kesulitan. Tapi jika ada salah satunya rusak, maka tidak akan
ada yang tumbuh, baik itu tanah ataupun benihnya yang rusak. Hubungan
suami-istri diibaratkan ‘menanam’, rahim diibaratkan tanah dan sperma
diibaratkan benih, jika keduanya bagus, maka [istri] akan hamil (Ibu Nia,
51 tahun).
Rahim perempuan diumpamakan sebagai ‘tanah’ (butta), sedangkan sperma
laki-laki diumpamakan sebagai ‘benih’ (biné). Hubungan seks diumpamakan
sebagai aktivitas menanam (a’lamung-lamung). Jika benih ditanam di ‘tanah
yang kering’ (butta kodi), maka sebagus apapun ‘benih’ (biné ga’ga) yang
ditanam, maka benih tersebut tidak akan pernah tumbuh. Sebaliknya, sesubur
apapun ‘tanah’ yang akan ditanami (butta ga’ga), jika benih yang ditanam rusak
(biné kodi), maka benih tersebut tidak akan tumbuh.
Perumpamaan terhadap tu tamanang ini menunjukkan 3 hal: pertama, adanya
konstruksi dualisme: tanah-kering (perempuan) dan benih-rusak (laki-laki);
kedua, tamanang juga diassosiasikan dengan kesuburan dan keperkasaan
dengan dualisme perempuan-ketidaksuburan dan laki-laki-ketidakperkasaan;
ketiga, ketidakhadiran anak dalam keluarga karena tanah (butta) sebagai rahim
perempuan dan benih (biné) sebagai sperma laki-laki tidak berkualitas,
sehingga aktivitas menanam (a’lamung-lamung) tidak berhasil atau ‘gagal
panen’ yang dianalogikan sebagai kegagalan memeroleh keturunan.
3.3. Kesehatan Reproduksi
Stigma terhadap tu tamanang juga dikaitkan dengan kesehatan reproduksi, baik
terhadap perempuan maupun laki-laki. Jika laki-laki dikaitkan dengan
ketidakperkasaannya, maka perempuan diassosiasikan sebagai orang sakit.
Dari sisi laki-laki, Ibu Sinar (37 tahun), yang seorang dukun beranak
mengungkapkan, bahwa ‘si Intan sulit hamil sebab si suami tidak mau berdiri
burungnya’. Ungkapan seperti ini sangat mengganggu pihak suami karena
kejantanannya sebagai seorang laki-laki dipertanyakan. Tak mengherankan jika
banyak pasangan tu tamanang yang laki-lakinya berpoligini semata-mata
sebagai upaya ‘pembuktian’ bahwa laki-laki tersebut tidak mandul. Ibu Ayu,
yang seorang pegawai negeri sipil, harus ‘rela’ merasakan pahitnya dimadu
atas perkawinan kedua suaminya di usia perkawinan yang ke 29 tahun. Ini
karena suami ingin ‘membuktikan’ bahwa dirinya tidak mandul (tamanang).
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
165
Perkawinan kedua ini juga didukung oleh keluarganya (baca, misalnya,
Demartoto 2008), sebagaimana diungkapkannya berikut ini:
Apa boleh buat, mereka sudah punya anak baru saya tahu bilang menikah-
ki lagi suamiku, apa kutaukangi, ka selalu nabilang ada rapatnya jadi
terlambat-ki pulang. Jadi saya percayami juga, tidak pernah sebelumnya
dia singgung bilang mau menikah lagi. Tapi kalau ada keluarga kerumah
selalu bertanya berapami anak, kenapa belum ada, pokoknya banyak
tanyanya. Secara tidak langsung tersinggung-ki, malu-ki toh, takkala
nabuktikangngi, baru didukung juga sama keluarganya (Ibu Ayu, 52 tahun).
Kasus Ayu mengindikasikan tiga hal: pembuktian suaminya tidak mandul, dan
Ayu ‘tervonis’ sebagai tu tamanang, dan dukungan keluarga menunjukkan
bahwa kecenderungan yang disalahkan ketika pasangan suami-istri tidak
memiliki anak adalah pada istri dengan dualisme suami-subur (biné-ga’ga) dan
istri-lahan kering (butta-kodi). Suami menikah lagi karena ketidakhadiran anak
dalam keluarga dan dukungan keluarga suami atas pernikahan tersebut
dianggap sebagai suatu ‘kewajaran’ dan dilegitimasi secara sosial (socially
legitimated).
Upaya ‘pembuktian keperkasaan laki-laki’ juga dilakukan melalui pernikahan
berseri sebagaimana yang diceriterakan oleh Ibu Sinar berikut ini:
Injo Randi punna tanré kusalah ping appami bainé, tanré asé anakna injo
talluajari napélaki, inné nampai se tukanjo kalau, mingka kamma lanasambéi
missé, sampan bainéi nasallo téna anakna, nasambéi issé, lé’ba kukuta’nang
sissirikki bédé’ punna nikua béncong, jari abbainé teruski sampénna nia’ ana’na.
Nia polé nikua Mirdad bainé makatallunapa nampa nia’ anakna, sikammaji Randi
téai bédé nikana béncongang.
Kalau tidak salah si Randi itu sudah empat kali beristri, yang pertama
sampai ketiga tidak punya anak jadi mereka pisah, yang keempat ini
sepertinya akan pisah lagi karena belum juga punya anak, saya pernah
tanya dia katanya malu kalau dikatakan banci, jadi dia akan menikah lagi
sampai dia punya anak. Kasus serupa dialami Mirdad, setelah ketiga
kalinya menikah baru punya anak, sama dengan Randi tidak ingin
dikatakan banci (Ibu Sinar, 37 tahun).
Pak Randi telah 4 kali menikah, namun belum juga dikaruniai anak, sementara
Mirdad teah dikaruniai anak setelah pernikahan ketiganya. Pak Randi belum
membuktikan ‘keperkasaannya’ sementara Mirdad telah terbukti. Namun,
berhasil tidaknya ‘pembuktian keperkasaan’ pada kedua kasus ini
menunjukkan bagaimana laki-laki berupaya keras untuk memerolehnya
(melalui pernikahan berseri) karena ketidakhadiran anak juga diidentikkan
dengan ketidakperkasaan, sebagaimana telah dijelaskan di atas, yang
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
166
menimbulkan rasa malu bagi yang bersangkutan (baca, misalnya, Pranata 2009;
Arif 2007:57).
Dari sisi perempuan, di masyarakat dikenal penyakit yang dianggap penyebab
susahnya seorang perempuan mempertahankan kehamilan, yaitu bucicikang
(keguguran berulang-ulang). Biasanya seorang perempuan ketika kandungan-
nya masih muda (berumur sebulan hingga 3 bulan), ia rentan akan mengalami
keguguran (lécco’). Ada kepercayaan terkait ini yang ‘hidup’ di masyarakat,
bahwa jabang bayi yang ada dalam rahim sang ibu ‘dimakan’ oleh mahluk
halus (nakanré parakang). Ibu Hana, seorang ibu rumah tangga, memberikan
gambaran mengenai bucicikang yang dialaminya, berikut ungkapannya:
Nakké pintallungma lécco’, sampang umurukki ruang bulan aréka laganna’ tallu,
assulu’ji. Nakua ngaséng joka tauanpapinawanga anung kodi, nakammika bédé’,
jari sanging sulukki. Nakua joka sanroa mana jappu’na ja battanga mangé gassing
assulu’ji punna tau nia isséng-isssénna. Nakké pengalamang mantongma ka
pintallungmi, sanging nakanré parakang nakua joka tauwa.
Saya sudah tiga kali keguguran, setiap berumur 2 bulan hingga 3 bulan
selalu gugur. Kata orang saya diikuti mahluk buruk, dia jagai saya
sehingga selalu keguguran. Kata dukun walau hanya disentuh perut saya
pasti akan keluar, jika yang sentuh memiliki ilmu tertentu. Saya sudah
berpengalaman sebab sudah tiga kali [keguguran], kata orang [jabang
bayinya] dimakan parakang (Hana, 36 tahun).
Dalam kaitan dengan ini, Ibu Nia, seorang sanro pamana’, memberikan
gambaran mengenai bucicikang yang diyakini oleh masyarakat sebagai penyakit
yang diakibatkan oleh ‘gangguan mahluk halus’ (parakang), berikut
ungkapannya:
Injo tau nikuaya bucicikang tau téa a ammantang battangna, anrékapa nabaté
assulu’mi. Nampa anréka nisséngi pa’balléna ka ia tonji sulu’ kalé-kalé. Nampa
punna tau bucicikang cénggéré’ji nicini, mingka garai pa’manakkanna. Mingka
punna anung kodi kammiki ia sulu’ mintongi intua. Ia intu punna tu tianang
tanréka kullé lampa-lampa ka joka anung kodia nikamallakang. Mana
nabarusu’naja tawwa kodiji pakkasiaka, nakanréi parakang injo lalang anaka, jari
sulukki.
Yang disebut bucicikang adalah ketidakmampuan mempertahankan
kehamilan, belum kentara perutnya sudah keguguran. Kita tidak tahu apa
obatnya karena jabang bayi keluar dengan sendirinya. Kalau orang
bucicikang juga selalu kelihatan sehat, namun rahimnya rapuh. Tapi kalau
sesuatu yang buruk yang tinggal [di rahim], maka ia akan keluar. Oleh
karenanya, jika orang hamil tidak boleh pergi-pergi, sebab ditakutkan ada
mahluk buruk. Walau hanya berpapasan dengannya akan membuat
perasaan kita tidak enak. Isi perut dimakan oleh makhluk halus, jadi hilang
(Ibu Nia, 51 tahun).
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
167
Orang yang mengalami bucicikang dianggap sebagai orang sakit karena
‘kerapuhan’ rahimnya (garai pammanakanna), meskipun secara fisik yang
bersangkutan kelihatan sehat (cénggéré’ji nicini). Ini dipercaya sebagai akibat
kemasukan mahluk halus (parakang) yang mengonsumsi jabang bayi yang
bersangkutan. Berdasarkan pengalaman, tidak ada yang dapat mengobati
‘penyakit’ ini kecuali menghindarinya keluar rumah (tanréka kullé lampa-lampa).
Ini menunjukkan bahwa dunia luar (dunia di luar rumah) adalah dunia
berbahaya bagi perempuan hamil, sehingga perempuan hamil diharapkan
untuk tidak meninggalkan rumah untuk menghindari hal-hal buruk (anung
kodia).
Kepercayaan lainnya adalah bahwa jika seorang ibu pernah hamil hingga usia
kehamilan tua (hamil tua), namun secara misterius bayi yang ada dalam
kandungan tiba-tiba hilang, maka ini dipercaya bahwa bayi tersebut ‘melayang’
(allayang). Dalam kaitan dengan ini, Ibu Tika, yang seorang dukun beranak,
memberikan gambaran mengenai jabang bayi yang ‘melayang’ dari dalam
kandungan sebagai berikut:
Nia’ tu rawa kaminjo nikuai Nunu sallomi ngérang battangna, tiba-tiba ammassa
battangna, biringmi kapang bulanna injo riwattu. Anréka bédé napa’risi
maénguraya ammassana mintongji. Nikua kanné maé allayang, jari injo anaka
lalang nia’ angalléi, anréka nisséngi kua apaia ngalléi, anréka nania céra’ mangé
sulu ia.
Ada orang disana, namanya Nunu sudah lama hamil dan sudah hampir
waktunya melahirkan. Namun, tiba-tiba perutnya kempes, katanya tidak
merasakan sakit, hanya saja perutnya langsung kempes. Kata orang disini
[bayi dalam kandungannya] ‘melayang’, anak yang ada dalam perut ada
yang ‘mengambil’, namun tidak diketahui siapa yang ambil karena tidak
ada darah yang keluar (Ibu Tika, 53 tahun).
Masyarakat percaya bahwa hilangnya bayi dalam kandungan (allayang) erat
kaitannya dengan mahluk gaib (parakang). Mereka menganggap bahwa ada
mahluk gaib yang telah ‘mengambil’ bayi tersebut (anjo anaka ilalang nia’
angngalléi) dengan cara gaib pula (anréka nisséngi kua apaia ngalléi), sehingga
perut yang membesar karena kehamilan, dapat mengecil secara misterius pula
tanpa ada darah yang keluar (anréka nania céra’ mangé sulu ia), dan tidak
merasakan sakit. Ini menunjukkan hal yang kontradiktif karena, di satu sisi,
perempuan yang mengalami bucicikang dianggap sebagai ‘orang sakit’; di sisi
lain, apa yang dialaminya tidak menimbulkan kesakitan.
Hingga saat ini, belum ada cara yang diketahui oleh masyarakat untuk
mengatasi bucicikang dan allayang. Oleh karena keduanya berkaitan dengan
mahluk gaib (parakang), sehingga cara untuk mengatasinya juga harus dengan
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
168
bantuan dan izin Tuhan Yang Maha Esa. Ini menarik mengingat, bahwa
masyarakat biasanya ‘melawan’ mahluk gaib dengan kekuatan gaib. Ibu Tika
selaku dukun beranak menjelaskan sebagai berikut:
Anréka pa nisséng pakballéna, mallaka punna rikampong maraénga ia. Jari nak
kupauang aséng injo tau ngoloa garring kaminjo pala-pala doang mako naung,
punna karaéngngalataala kaérokang into pasti na kamaséang tawwa.
Belum diketahui obatnya, [saya] tidak tahu kalau di kampung orang. Jadi
saya kasi memberitahukan orang yang sakit begitu untuk berdoa saja,
sebab jika Tuhan sudah berkehendak, maka pasti akan mendapatkan
pertologannya (Ibu Tika, 53 Tahun).
3.4. Tu Tamanang = Orang Sial
Kenapa tu tamanang dianggap sebagai orang sial? Ini karena tu tamanangbaik
laki-laki maupun perempuantidak memiliki anak dan dengan demikian tidak
ada regenerasi keturunan (baca, misalnya, Suwaid 2004),
5
pewaris harta [jika
ada], perawat mereka (tena nia parotosokki) di hari tua dan yang mendoakan
(téna pappala’ doangangki) mereka setelah meninggal. Oleh karena pasangan tu
tamanang tidak memiliki ahli waris, hasil jerih payahnya selama hidup di dunia
[jika ada] akan menjadi rebutan sanak keluarga (pabbésérang ri bijaya). Ini yang
menyebabkan mereka dianggap sebagai ‘orang sial hidup di dunia’ (tu sialaka
tallasa’ ri lino). Ibu Sinar, seorang dukun beranak, menggambarkannya sebagai
berikut:
Iya mintu tu sialaka tallasa’ ri lino punna téna ana’na. Ngura takukua? Téna nia
parotosokki, téna niurang-urang, punna toamo tawwa takkulémo gio’.
Kammanakang lani rannuang, ruang allo ji kulléna nakalanréangmi tawwa.Punna
mateki ténania pappala doanganki. Punna nia’ mantongja usahaianna, usaha
tawwa saggénna nia’. Injo barang-barang nibokoia punna nia jari pa’bésérangji
ribijaya, gitté guppa todo sasaranna ri ahéra’.
Orang yang tak memiliki anak adalah orang sial. Kenapa saya mengatakan
seperti itu? Tidak ada yang urus, tidak ada yang temani, jika sudah tidak
bisa berbuat apa-apa lagi. Jika keponakan yang diharap, hanya dua hari
pasti sudah bosan. Jika telah meninggal juga tidak ada yang mendoakan.
Jika memang dapat diusahakan, maka harus diusahakan sampai ada. Itu
juga kalau kita punya harta yang ditinggalkan hanya jadi sumber sengketa
bagi keluarga. Jadinya diakhirat kita dapat sasarannya (Sinar, 37 tahun).
Hal ini dipertegas oleh Ibu Lia, seorang ibu rumah tangga, yang
memproyeksikan betapa sialnya hidupnya di dunia (tu siala’ tallasa’ ri lino)
karena tidak memiliki anak (téna kummana’-mana’), terutama jika dikaitkan
5
Dalam studi serupa, Suwaid (2004) menemukan bahwa anak dianggap sebagai penerus
keturunan. Jika seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak, maka keturunannya
menjadi terputus.
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
169
dengan perawatan di hari tua nanti, sebagaimana yang diungkapkan berikut
ini:
Nakké mi inné tusiala’ talasa rilino téna kummana’-mana’, upa’ kamma ngaséng
tau ta’balakka ia, érokki suro nania’, érokki lampa nia naurang, gitté kodong apa-
apa gitté ngaséng, jari punna takkullémo tawwa gio’ ballasa’mi tawwa anréka
parutusukki niméaimi naung kaléa maé anréka bissaiki.
Sayalah orang yang sial hidup di dunia tidak bisa melanjutkan keturunan,
beruntunglah orang-orang kebanyakan, mau menyuruh ada yang disuruh,
mau pergi ada yang temani. Saya kasian [pada diri saya], semuanya serba
[dilakukan] sendiri, sehingga kalau sudah tidak bisa bergerak
kesusahanlah jadinya, tidak ada yang mengurus, ketika mengencingi diri
sendiri tidak ada yang menyeboki (Ibu Lia, 50 Tahun).
Ungkapan Ibu Lia menunjukkan bagaimana pentingnya memiliki keturunan,
tidak saja untuk melanjutkan generasi, tapi juga anak diharapkan sebagai
pemelihara orang tuanya di masa tua mereka kelak. Bagaimana dampak stigma
terhadap kehidupan pasangan suami-istri tamanang akan dijelaskan pada sessi
berikut ini.
4. Dampak Stigma
Stigma masyarakat terhadap tu tamanang membawa dampak yang cukup
signifikan terhadap keharmonisan rumah tangga tu tamanang itu sendiri.
Dampak stigma terhadap tu tamanang meliputi pengisolasian diri, perceraian,
dan/atau poligini.
4.1. Pengisolasian Diri
Tu tamanang cenderung mengisolasikan diri secara sosial dengan menghindari
bertemu orang karena takut orang mempertanyakan tentang anak atau takut
jika orang secara tak sengaja memperbincangan tentang anak dan tu tamanang
menjadi tersinggung. Ibu Nini, yang seorang ibu rumah tangga, memberikan
gambaran terhadap tu tamanang yang menutup diri dari masyarakat sekitar,
berikut ungkapannya:
Intu I Tipah na bura’nénna tanréka into naéro maé dakka-dakka maé ri séppé’-
séppé’ balla’na, téami nikua dakka-daka joka lagi punna nia’ pa’gaukang ala bainé
ala bura’né tania’ battu, punna érangna nia’jia nakiring, upa’ mantong tawwa
punna niciniki Tipah ngonjok butta lalangna rua allo, bura’nénna minro rikoko
joré tommi riballa’na, joka lagi maéa barajama’ kamma téna lé’ba’, kamma into téai
niurang-urang carita, kamma tu capélé.
Si Tipah dan suami tidak pernah jalan-jalan ke rumah tetangga, apalagi
datang ke pesta, bingkisannya saja yang dikirim. Untung jika kita kalau
melihat Tipah injak tanah satu kali dalam dua hari, suaminya saja pulang
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
170
dari kebun pasti di rumah saja, sholat berjamaah saja tidak pernah, mereka
seperti tidak ingin diajak cerita, seperti orang malu (Ibu Nini, 35 tahun)
Kasus yang diceriterakan oleh Ibu Nini di atas menunjukkan bagaimana
dahsyatnya dampak stigma dalam kehidupan tu tamanang. Pasangan sumi-istri
mengisolasikan diri dari berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya untuk
menghindari pembicaraan [tentang anak] (téai niurang-urang carita) karena
mereka merasa malu (kamma tu capélé).
4.2. Perceraian
Perkawinan seringkali berakhir dengan perceraian karena ketidakhadiran anak
dan laki-laki cenderung sebagai inisiator perceraian (Rahmani dan Abrar 1999:
6870). Dalam konteks penelitian ini, stigma terhadap tu tamanang berpengaruh
signifikan terhadap terjadinya perceraian. Salah satu aspek dari stigma adalah
mempertanyakan keperkasaan laki-laki.
Mempertanyakan keperkasaan bagi laki-laki adalah hal yang memalukan dan
melukai harga diri laki-laki, sehingga membuat laki-laki tersebut ingin
membuktikan keperkasaan mereka. Demikian halnya dengan perempuan yang
juga tidak ingin diragukan kesuburannya. Namun, respon antara keduanya
berbeda, perempuan cenderung pasif dan laki-laki lebih agresif. Tidak ada
perempuan yang bersedia dimadu, tapi jikapun ada biasanya dengan
persyaratan (misalnya, istri pertama dan kedua tidak tinggal berdekatan atau
satu desa, istri pertama diutamakan). Pada banyak kasus, perempuan memilih
untuk bercerai. Ibu Tiara mengungkapkan bahwa suaminya tidak tahan
menjadi bahan perbincangan tetangga terkait keperkasaannya, sehingga
suaminya memutuskan menikah lagi. Namun karena Ibu Tiara menolak
dimadu, sehingga keduanya memutuskan bercerai, berikut ungkapannya:
Biasa langéré’ carita kanjo maé ribéréng kékkéséka, tersinggungi, mangangmi
kapang pilangngéri, jari pala kanai éro bainé. Nakké téa dipa’maruang jari
sisa’lakka’, le’ba’mi polé bainé ripappakaminnéa.
Biasa dengar cerita di pinggir jalan, dia tersinggung, mungkin juga sudah
capek mendengar, jadi dia minta izin nikah lagi. Tapi saya tidak mau
dimadu akhirnya kami memutuskan berpisah, dia sudah menikah lagi saat
ini (Ibu Tiara, 44 Tahun).
Bagi laki-laki, perempuan yang tidak mau dimadu lebih baik diceraikan karena
masalah yang dihadapi harus segera diatasi agar mengembalikan harga diri
dan kewibawaan laki-laki tersebut di mata masyarakat. Seperti kasus yang
dialami oleh Pak Aris dan Pak Ali, sebagaimana telah dijelaskan pada sessi
tentang ‘Stigma Terhadap Tu Tamanang di atas, yang mana mereka
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
171
menceraikan istri masing-masing karena tidak tahan dengan keperkasaan
mereka yang selalu dipertanyakan (bencong).
4.3. Poligini
Ketika pasangan suami-istri tidak memiliki anak, maka biasanya istri dijadikan
sebagai tumpuan kesalahan oleh suami maupun keluarganya karena dianggap
tidak dapat memenuhi ‘kewajibannya’ untuk mendapatkan keturunan (baca,
misalnya, Pranata 2009). Oleh karenanya, jika suami berselingkuh dan bahkan
menikahi selingkuhannya, hal ini dilegitimasi secara sosial (oleh keluarga
maupun masyarakat). Tak jarang istri mengetahui tentang hal tersebut ketika
suami telah menikah dan memiliki anak, seperti yang terjadi pada Ibu Sasa,
sebagaimana dituturkannya sebagai berikut:
Biringmi tallungpulo taung lébbakku bunting nampa nikkai polé daéngku rurung
bainé maraéng, injo polé nia’ napa anakna nampa kuasséngi. Tanré mantong
kuasséngi kana nia bainénna maraéng kasai punna sallo into nampa minro nakua
nia’ rapatna bédé jari téna lébbaka curiga, apalagi sikalingku tonji polé
kubura’néang. Kaminjona mi injo naku paléttéki ballakku rai maé kanné supaya
béllai ri bainénna. Nampa nakké téa tonga sisa’la téa tonga maru ka toama nak,
nakakkaliki polé tau gitté tonji sipamanakang sibawang-bawangang. Tapi éroka tea
pasti napaké injo bainénna jari nakké minawang mamia assala nakké napariolo,
apalagi nia’ anakna.
Hampir tiga puluh tahun usia pernikahan saya, kemudian suami menikah
lagi, itupun saya ketahui setelah mereka dikarunia anak. Saya betul-betul
tidak mengetahui kalau dia telah memiliki istri lain karena biasanya kalau
dia pulang terlambat selalu beralasan bahwa ada rapatnya, jadi saya tidak
pernah curiga, apalagi dia adalah sepupu yang menjadi suami saya. Oleh
karena itu, saya pindahkan rumah saya ke sini agar jauh dari istri
keduanya. Saya sendiri tidak ingin bercerai dan tidak ingin dimadu sebab
saya sudah tua, kami akan menjadi bahan tertawaan orang, sebagai kerabat
yang saling menyia-nyiakan. Saya setuju atau tidak, pasti dia tetap tidak
menceraikannya terpaksa saya mengikut suami [dimadu], asalkan tetap
saya yang diutamakan, apalagi mereka sudah punya anak (Ibu Sasa, 53
Tahun).
Pada kasus Ibu Sasa, menikah dengan kerabat sendiri tidak berarti ia tidak
potensil untuk dimadu. Ibu Sasa justru menghadapi situasi yang dilematik
karena, di satu sisi, ia tak ingin dimadu (téa tonga maru), di sisi lain, ia juga
tidak ingin diceraikan (téa tonga sisa’la’), apalagi suaminya adalah anggota
keluarganya sendiri (gitté tonji sipammanakang). Namun, ia akhirnya terpaksa
‘menerima’ untuk dimadu karena dua hal: pertama, perkawinan kedua
suaminya telah terjadi meski tanpa persetujuannya; kedua, suaminya telah
memiliki anak dari perkawinan tersebut, yang sekaligus telah membuktikan
bahwa yang tamanang adalah Ibu Sasa. Atas perkawinan kedua ini, Ibu Sasa
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
172
mengajukan persyaratan untuk tinggal jauh dari madunya demi menghindari
konflik. Ironisnya, ketimbang istri kedua suaminya yang dipindahkan ke
tempat lain yang jauh, ini justru Ibu Sasa yang mengungsikan diri, yang
menunjukkan bagaimana Ibu Sasa yang berinisiatif untuk menghindarkan diri
dari pertemuan dengan istri kedua suaminya, terutama karena kelahiran anak
pada perkawinan kedua mempertegas dirinya sebagai tu tamanang.
Kasus serupa dialami oleh Ibu Wati yang suaminya menikah lagi dan telah
memiliki anak dengan istrinya yang kedua. Dengan demikian, setelah usia
perkawinan 30 tahun dan setelah perkawinan kedua suaminya, Ibu Wati
dipastikan sebagai pihak yang tamanang. Harapan suaminya untuk memiliki
anak berakhir dengan pahitnya poligini atas Ibu Wati, berikut ungkapannya:
Lama juga saya pertahankan rumah tanggaku, berobat kesana kemari,
namun tidak membuahkan hasil. Mungkin suamiku sudah capek juga
menunggu, makanya dia tega begitu. Bayangkan saja itu adami anaknya
baru saya tahu bilang sudah pale menikah lagi, dulu hampirka cerai, tapi
keluarga tidak mengizinkan. Akhirnya itu istri kedua yang mengalah
untuk tidak datang disini di kampung. Saya juga sadar kalau wajar
suamiku begitu karena kekuranganku ini sudah pasti, yaitu saya memang
yang tamanang, keluarga juga tahu mi pas menikah suamiku dan ada
anaknya (Ibu Wati, 49 tahun).
Meskipun awalnya, Ibu Wati ingin bercerai, hal ini diurungkan karena
keluarganya sendiri yang menolak terjadinya perceraian. Poligami akhirnya
terpaksa ‘diterima’ oleh Ibu Wati karena dua hal: pertama, karena istri kedua
bersedia untuk tidak tinggal se desa dengannya; kedua, ia sendiri merasa
bahwa ia berkontribusi pada perkawinan poligini suaminya karena ia tidak
kunjung hamil. Artinya, Ibu Wati menjadikan dirinya sebagai sumber
kesalahan (self-blaming) dari ketidakhadiran anak dalam rumah tangga mereka
(baca, misalnya, Greil 1991). Ini kemudian dibuktikan dengan kehadiran anak
dalam perkawinan kedua suaminya.
Jika merujuk pada UU No. 1/1974, suami dapat beristri lebih dari satu jika istri
tidak dapat memberikan keturunan (pasal 4, ayat 2). Namun, dalam
perkawinan poligini suami Ibu Sasa dan Ibu Wati, keduanya paling sedikit
telah melanggar 3 pasal, yakni ketidaksetiaan terhadap istri (pasal 33) karena
penyelewengan; tidak mengajukan permohonan ke pengadilan untuk
berpoligini (pasal 4, ayat 1); dan berpoligini tanpa persetujuan istri (pasal 5,
ayat 1a). Namun, bagi masyarakat desa, berpoligini karena tidak memiliki anak
dapat diterima secara sosial, bahkan pada banyak kasus didukung oleh
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
173
keluarga suami untuk menikah lagi (seperti pada kasus Ibu Ayu yang
dijelaskan di section tentang stigma di atas).
5. Kesimpulan
Tamanang merupakan istilah dalam Bahasa Makassar terhadap mahluk hidup,
tidak saja bagi manusia, tapi juga hewan dan tumbuhan, yang tidak beranak-
pinak. Sedangkan tu tamanang merupakan sebutan bagi perempuan yang ber-
lahan kering (butta kodi) dan bagi laki-laki yang berbenih rusak (biné kodi),
sebagaimana hubungan seks dianggap sebagai aktivitas bertanam (lamung-
lamung). Seseorang dianggap sebagai tu tamanang atau tidak, bukan didasarkan
pada hasil pemeriksaan biomedis, melainkan pada lamanya usia perkawinan (5
tahun ke atas) dan ciri-ciri yang dilekatkan kepada tu tamanang, yang berbeda
berdasarkan gender.
Pentingnya kehadiran anak dalam keluarga menyebabkan mereka yang
tamanang mengalami anak mengalami stigma sosial. Stigma terhadap tu
tamanang didasarkan pada ciri-ciri yang dapat diobservasi, perumpamaan
terhadap laki-laki dan perempuan, persepsi tentang kesehatan reproduksi, dan
pelabelan tu tamanang sebagai orang sial. Stigma yang terkait dengan ciri-ciri tu
tamanang berbeda berdasarkan gender. Bagi perempuan, ciri-ciri tu tamanang
diassosiasikan dengan kondisi fisiknya (terlalu gemuk, terlalu kurus),
sedangkan bagi laki-laki dikaitkan dengan interaksi sosialnya (sulit bergaul,
suami takut istri). Perumpamaan terhadap tu tamanang dikonstruksikan dengan
dualisme perempuan-lahan kering dan laki-laki-benih rusak. Persepsi tentang
kesehatan reproduksi tu tamanang diassosiasikan dengan dualisme laki-laki-
ketidakperkasaan dan perempuan-sakit. Tu tamanang juga dilabelkan sebagai
orang sial karena ‘empat tidak’: tidak ada regenerasi keluarga, tidak ada
pewaris harta, tidak ada yang merawat di masa tua, dan tidak ada yang
mendoakan ketika meninggal. Namun, label sebagai orang sial yang hidup di
dunia (tu sialaka tallasa’ ri lino) tidak hanya datang dari luar (seperti keluarga,
masyarakat), tapi juga datang dari diri tu tamanang itu sendiri (seperti pada
kasus Ibu Lia). Dalam menyikapi stigma sosial yang terjadi, ada perbedaan
berdasarkan gender. Perempuan tamanang cenderung diam dan bersikap
seolah-olah menerima dampak tersebut, sedangkan laki-laki lebih bersifat
agresif, yaitu adanya keinginan melawan stigma tersebut dengan pembuktian
keperkasaan melalui perceraian yang diikuti dengan perkawinan berikutnya
atau poligini. Perlawanan akan stigma terhadap tu tamanang juga terjadi ketika
pasangan suami-istri tidak memersoalkan ketidakhadiran anak dalam keluarga,
meski tetap berupaya untuk itu melalui pengobatan non-biomedis, tapi tidak
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
174
menjadikan tamanang sebagai sumber konflik diantara pasangan suami-istri
(seperti pada kasus Ibu Lala).
Stigma sosial terhadap tu tamanang berdampak signifikan terhadap kehidupan
sosial tu tamanang itu sendiri. Dampak tersebut terklasifikasikan ke dalam 3
kategori, yaitu pengisolasian diri, perceraian dan poligini. Pengisolasian diri
dilakukan untuk menghindari pertanyaan dan perbincangan tentang anak;
perceraian terjadi karena suami ingin mendapatkan keturunan dan istri
menolak poligini; dan poligini terjadi sebagai upaya pembuktian diri bahwa
laki-laki bukan tamanang dan dapat memberikan keturunan. Namun
perempuan juga menjadi agen dalam kaitan dengan poligini ketika suami telah
terlanjur menikah, yakni dengan tinggal jauh dari rumah istri yang lain dan
menuntut untuk menjadi orang yang diutamakan (seperti pada kasus Ibu Sasa
dan Ibu Wati), sekaligus menunjukkan bahwa sebagai istri pertama dia masih
memiliki kekuasaan, paling tidak atas dirinya sendiri dan/atau suaminya.
Perceraian merupakan ‘cara’ perempuan untuk menunjukkan penolakannya
terhadap poligini atas nama tamanang dan poligini merupakan ‘cara’ laki-laki
untuk menghilangkan imej tentang ketidakperkasaan laki-laki.
Meskipun preferensi pluralisme medis digunakan sebagai upaya untuk
memeroleh keturunan, studi ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan
sejauh ini masih cenderung pada pemeriksaan non-biomedis (traditional,
spiritual, dan praktek-praktek populer lainnya). Temuan penelitian ini
mengindikasikan pentingnya pendidikan bagi masyarakat, terutama tu
tamanang, agar mereka mengetahui penyebab infertilitas dan bagaimana
mengatasinya, mengingat stigma terhadap tu tamanang didasarkan pada
persepsi sosial yang bersifat non-medis dan rekaan. Selain itu, oleh karena
layanan kesehatan biomedis tidak menjadi prioritas utama bagi mereka yang
mengalaminya, maka dibutuhkan informasi tentang layanan yang tersedia dan
prosedur layanan mengingat mereka (jikapun memeriksakan diri),
pemeriksaan tidak pernah berkelanjutan karena hal tersebut identik dengan
pengurusan beragam persyaratan administrasi yang dianggap menyulitkan
mereka.
Daftar Pustaka
Arif, Fhadillah A. (2007). ‘To Manang’: Suatu Kajian Sosial Budaya Pada
Masyarakat Bugis di Desa Patimpeng Kabupaten Bone. Makassar: Skripsi,
Universitas Hasanuddin.
Aizid, Rezim. (2010). Mengatasi Infertilitas (Kemandulan) Sejak Dini. Jogjakarta:
FlashBooks.
ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia. 2(2): ‘Butta Kodi, Biné Kodi’
175
Al-Iraqi, Butsainah As-Sayyid. (2010). Tip Menjadi Wanita Idaman Sepanjang
Masa. Jakarta: Klinikal Mahira Buku Sehat.
Beni dan Anggal. (2001). Nilai Anak dalam Pembangunan: Kerentanan Sosial
Anak Jalanan di Tengah Pembangunan’, Warta Demografi, 31(4):4-11.
Bennett, Linda Rae. (2017). ‘Indigenous Healing Knowledge and Infertility in
Indonesia: Learning about Cultural Safety from Sasak Midwives’, Medical
Anthropology, 36(2):111-124.
Bennett, Linda Rae; Wiweko, Budi; Bell, Lauren; Shafire, Nadia; Pangestu,
Mulyoto; Adnyana, I.B. Outa; dan Hinting, Aucky; dan Amstrong,
Gregory. (2015). Reproductive Knowledge and Patient Education Needs
among Indonesian Women Infertility Patients Attending Three Fertility
Clinics’. Patient Education and Counselling, 98:364-369, http://www.pec-
journal.com/article/S0738-3991(14)00489-3/pdf, diakses tanggal 17
Januari 2017.
Bennett, Linda Rae. (2012). ‘Infertility, Womenhood and Motherhood in
Contemporary Indonesia’. Intersections, Maret, 28, diakses tanggal 21 April
2017.
Bennett, Linda Rae; Wiweko, Budi; Hinting, Aucky; Adnyana, I.B. Putra; and
Pangestu, Mulyoto. (2012). ‘Indonesian Infertility Patients’ Health Seeking
Behaviour and Patterns of Access to Biomedical Infertility Care: An
Interviewer Administered Survey Conducted in Three Clinics’,
Reproductive Health, 9:24, https://reproductive-health-
journal.biomedcentral.com/articles/10.1186/1742-4755-9-24, diakses
tanggal 15 Maret 2017.
Burn, August; Lovic, Ronny; Maxwell, Jane.; dan Shapiro, Katharina. (2005).
Bila Perempuan Tidak Ada Dokter. Yogyakarta: Insist Press.
Connor, Linda. 2001. 'Healing powers in Contemporary Asia,' in Linda Connor
and Geoffrey Samuel (eds.). Healing Powers and Modernity: Traditional
Medicine, Shamanism, and Science in Asian Societies. Westport: Bergin and
Garvey, 325.
Demartoto, Argyo. (2008). Dampak Infertilitas Terhadap Perkawinan: Suatu Kajian
Perspektif Gender. Laporan penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Ferzacca, Steve. (2002). 'Governing bodies in New Order Indonesia in Charles
Lesley (ed.), New Horizons in Medical Anthropology. London: Routledge, 35
57.
Greil AL. (1991). ‘A Secret Stigma: The Analogy Between Infertility and Chronic
Illness and Disability’, Advances in Medical Sociology, 2:1738.
Greil AL. (1997). ‘Infertility and Psychological Distress: A Critical Review of the
Literature’. Social Science and Medicine, 45(11):16791704.
P-ISSN: 2527-9313; E-ISSN: 2548-9747
176
Greil, Arthur L.; Slauson-Blevin, Kathleen; and McQuillan, Julia. (2010). The
Experience of Infertility: A Review of Recent Literature’, Social Health Illn.,
Januari, 32(1):140-162.
Idrus, Nurul Ilmi. (2016). Mana’ dan Eanam: Tongkonan, Harta Tongkonan,
Harta Warisan, dan Kontribusi Ritual di Masyarakat Toraja. Etnosia: Jurnal
Etnografi Indonesia, 1(1): 13-26.
Indrizal, Edi. (2014). ‘Problematika Orang Lansia Tanpa Anak Di Dalam Masyarakat
Minang Kabau Sumatera Barat’. Universitas Andalas. Padang
Kompas. (2017). ‘Program KB Penting Bagi Pasangan Muda’, Kompas, 23 Juni, 4.
Mubarak, Wahid Iqbal. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat.Jakarta: Salemba
Media.
Munir, Rozy. (1986). Hubungan Antara Nilai Anak Dengan Pemilihan Besar-
Kecilnya Jumlah Anak di Perkotaan. Jakarta: Kantor Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan Pusat Penelitian Pranata
Pembangunan Universitas Indonesia.
Papreen, N., Sharma, A., Shabin, K., Begum, L., Ahsan, S.K., and Baqui, A.H.
(2000). ‘Living with Fertility: Experiences among Urban Slum Populations
in Bangladesh’, Reproductive Health Matters, 8(15):3344.
Pranata, Setia. (2009). ‘Infertilitas di Kalangan Laki-laki Madura: Studi tentang
Permasalahn Sosial dan Konsekuensi Infertilitas’, Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 12(4):393-402.
Rahmani, D.P. dan Abrar, A.N. (1999). Infertilitas Dalam Perspektif Gender.
Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada.
Suwaid, Muhammad. (2004). Mendidik Anak Bersama Nabi. Solo: Pustaka Arafah.
Tussadiyah, Halimah. (2015). Hubungan Antara Infertilitas Pada Pasangan Suami-
istri Dengan Terjadinya Gangguan Harga Diri Rendah RW 08 Kelurahan
Kemayoran Kecamatan Krembangan Surabaya. Surabaya, Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Surabaya.
Yebei, Violet Naanyu, (2000). ‘Unmet Needs, Beliefs, and Treadment Seeking
for Infertility among Migrant Ghanaian Women in the Nederland’,
Reproductive Health Matters, 8(16):134-141.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
This essay reviews the literature on the social psychological impact of infertility, paying special attention to the relationship between gender and the infertility experience. It is convenient to divide the literature into articles which explore the possibility that infertility may have psychological causes (Psychogenic Hypothesis) and those which examine the psychological consequences of infertility (Psychological Consequences Hypothesis). The psychogenic hypothesis is now rejected by most researchers, but a related hypothesis, which states that stress may be a causal factor in infertility, is worthy of exploration. The descriptive literature on the psychological consequences of infertility presents infertility as a devastating experience, especially for women. Attempts to test the psychological consequences hypothesis have produced more equivocal results. In general, studies which look for psychopathology have not found significant differences between the infertile and others. Studies which employ measures of stress and self-esteem have found significant differences. The psychological consequences literature is characterized by a number of flaws, including over sampling of women, small sample size, non-representative samples, failure to study those who have not sought treatment, primitive statistical techniques, and an over-reliance on self-reports. Studies on infertility and psychological distress need to take into consideration both the duration of infertility and the duration of treatment. Finding an appropriate set of "controls" is a particularly intractable problem for this area of research. In general, the psychological distress literature shows little regard for the social construction of infertility. By taking what should be understood as a characteristic of a social situation and transforming it into an individual trait, the literature presents what is essentially a medical model of the psycho-social impact of infertility. Most researchers conclude that infertility is a more stressful experience for women than it is for men. Most studies have found that the relationship between gender and infertility distress is not affected by which partner has the reproductive impairment. Future research needs to be better informed by theoretical considerations. Scholars need to pay more attention to the way the experience of infertility is conditioned by social structural realities. New ways need to be developed for better taking into account the processual nature of the infertility experience. Efforts need to be make to include under-studied portions of the infertile population. Finally, more effort needs to be made to better integrate the empirical study of the experience of infertility with important social policy questions.
Article
Full-text available
This paper explores the perceived causes of infertility, treatment-seeking for infertility and the consequences of childlessness, particularly for women, among a predominantly Muslim population in urban slums of Dhaka in Bangladesh. In-depth interviews were conducted with 60 women and 60 men randomly selected from Urban Surveillance System clusters of the International Centre for Diarrhoeal Disease Research, Bangladesh. Case studies of 20 self-perceived infertile women who had previously participated in a study on the prevalence of sexually transmitted diseases and other reproductive tract infections were taken, and three traditional healers were interviewed as key informants. In both groups of respondents, the leading causes of infertility were perceived to be evil spirits and physiological defects in women and psychosexual problems and physiological defects in men. Herbalists and traditional healers were considered the leading treatment option for women, while for men it was remarriage, followed by herbalists and traditional healers. Childlessness was found to result in perceived role failure, with social and emotional consequences for both men and women, and often resulted in social stigmatisation of the couple, particularly of the woman. Infertility places women at risk of social and familial displacement, and women clearly bear the greatest burden of infertility. Successful programmes for dealing with infertility in Bangladesh need to include both appropriate and effective sources of treatment at community level and community-based interventions to demystify the causes of infertility, so that people know why infertility occurs in both men and women and and where best to seek care.
Article
In this article I demonstrate what can be learnt from the indigenous healing knowledge and practices of traditional Sasak midwives on Lombok island in eastern Indonesia. I focus on the treatment of infertility, contrasting the differential experiences of Sasak women when they consult traditional midwives and biomedical doctors. Women’s and midwives’ perspectives provide critical insight into how cultural safety is both constituted and compromised in the context of reproductive health care. Core components of cultural safety embedded in the practices of traditional midwives include the treatment of women as embodied subjects rather than objectified bodies, and privileging physical contact as a healing modality. Cultural safety also encompasses respect for women’s privacy and bodily dignity, as well as two-way and narrative communication styles. Local understandings of cultural safety have great potential to improve the routine practices of doctors, particularly in relation to doctor–patient communication and protocols for conducting pelvic exams.
Article
Studies on infertility in the Netherlands have little information on migrant Ghanaian women, even though Ghanaians are the third largest migrant group in Amsterdam. An exploratory study on the unmet needs, attitudes, and beliefs of migrant Ghanaian women with infertility problems living in the Netherlands, and the kinds of treatment they sought was undertaken in 1999. Qualitative data were collected from 12 women with primary or secondary infertility through narratives and 20 key informant interviews. The women described seeking treatment for infertility in Ghana, the Netherlands and other European countries, included use of infertility drugs, surgery, donor insemination and in vitro fertilisation. Illegal migrant women are not entitled to treatment paid by the national health system, and being of low income they cannot afford to pay directly for this or to obtain private health insurance. Herbalists and spiritual healers in both Amsterdam and Ghana were regularly consulted, especially for their willingness to address the social and spiritual aspects of infertility. To produce a pregnancy where male infertility was suspected, transfer of sexual rights to another man in the husband/partner's family, or a healer or priest, was a practical remedy that kept male infertility hidden. This study revealed difficulties experienced in clinical settings due to language barriers and cultural differences. Ghanaian women living in the Netherlands need much more information on the causes of infertility and their options.
  • Al-Iraqi
Al-Iraqi, Butsainah As-Sayyid. (2010). Tip Menjadi Wanita Idaman Sepanjang Masa. Jakarta: Klinikal Mahira Buku Sehat.
Nilai Anak dalam Pembangunan: Kerentanan Sosial Anak Jalanan di Tengah Pembangunan
  • Anggal Beni Dan
Beni dan Anggal. (2001). 'Nilai Anak dalam Pembangunan: Kerentanan Sosial Anak Jalanan di Tengah Pembangunan', Warta Demografi, 31(4):4-11.
Infertility, Womenhood and Motherhood in Contemporary Indonesia'. Intersections, Maret, 28, diakses tanggal 21
  • Linda Rae Bennett
Bennett, Linda Rae. (2012). 'Infertility, Womenhood and Motherhood in Contemporary Indonesia'. Intersections, Maret, 28, diakses tanggal 21 April 2017.
Bila Perempuan Tidak Ada Dokter
  • Jane Maxwell
  • Katharina Shapiro
Maxwell, Jane.; dan Shapiro, Katharina. (2005). Bila Perempuan Tidak Ada Dokter. Yogyakarta: Insist Press.
Healing powers in Contemporary Asia
  • Linda Connor
Connor, Linda. 2001. 'Healing powers in Contemporary Asia,' in Linda Connor and Geoffrey Samuel (eds.). Healing Powers and Modernity: Traditional Medicine, Shamanism, and Science in Asian Societies. Westport: Bergin and Garvey, 3-25.