ArticlePDF Available

SASTRA DAN JATI DIRI BANGSA: Kontribusi Mitologi dan Multikultural dalam Sastra Indonesia

Authors:
  • Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Abstract

Khazanah kesusastraan Indonesia modern yang memasuki abad XXI ini mengenal suatu masalah kemajemukan budaya sebagai akibat dari keragaman etnik yang menurunkan nilai budaya dalam etnik tersebut. Ada nilai budaya yang dianggap adiluhung dan edipeni oleh suatu etnis tertentu, misalnya nilai gotong royong, kerja sama, saling asah, asih, dan asuh, toleransi, serta persaudaraan yang menganggap semua orang bersaudara. Di dalam kemajemukan budaya itu kontribusi mitologi dan multikultural yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik tertentu menjadi perantara yang menghubungkan "Indonesia" dengan realitas budaya yang majemuk tersebut. Indonesia itu baru dianggap sebagai abstraksi dari keinginan untuk bersatu dari berbagai kelompok etnik dari seluruh wilayah Nusantara.
1
SASTRA DAN JATI DIRI BANGSA:
Kontribusi Mitologi dan Multikultural dalam Sastra Indonesia
Puji Santosa
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Khazanah kesusastraan Indonesia modern yang memasuki abad XXI ini
mengenal suatu masalah kemajemukan budaya sebagai akibat dari keragaman etnik
yang menurunkan nilai budaya dalam etnik tersebut. Ada nilai budaya yang
dianggap adiluhung dan edipeni oleh suatu etnis tertentu, misalnya nilai gotong royong,
kerja sama, saling asah, asih, dan asuh, toleransi, serta persaudaraan yang menganggap
semua orang bersaudara. Di dalam kemajemukan budaya itu kontribusi mitologi dan
multikultural yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik tertentu menjadi perantara yang
menghubungkan “Indonesia” dengan realitas budaya yang majemuk tersebut. Indonesia
itu baru dianggap sebagai abstraksi dari keinginan untuk bersatu dari berbagai kelompok
etnik dari seluruh wilayah Nusantara.
Dalam pandangan Umar Kayam (1981) ada jadwal dari berbagai kelompok etnik
di Indonesia yang berbeda-beda dalam proses untuk “mengindonesiakan” diri menjadi
sebuah Indonesia, yang kini tentu dapat dilihat dan dirasakan sendiri oleh masyarakat
kita. Untuk menjadi Indonesia itu, tampaknya orang etnik Melayu telah melakukannya
pada jadwal yang masuk paling awal dibandingkan dengan orang Jawa, Sunda, Batak,
Dayak, Bugis, Toraja, Mandar, Banjar, Manado, Maluku, Sasak, dan Papua, misalnya.
Hal itu tidak serta- merta harus ditafsirkan bahwa orang Melayu lebih Indonesia daripada
orang Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Bugis, Manado, Toraja, Mandar, Banjar, Maluku,
Nusa Tenggara, atau Papua. Lebih dahulu atau lebih kemudian dalam proses “meng-
Indonesia” tidak menjadi jaminan mutlak karena perwujudan Indonesia merupakan
sebuah proses panjang yang mengalami pasang surut, berubah berganti atas kesadaran
rakyat dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Proses menjadi Indonesia yang harus dialami oleh berbagai kelompok etnik di
Nusantara ini harus dilalui dengan penggalian nilai budaya lokal atau budaya setempat
yang selanjutnya diaktualisasikan dalam napas Indonesia. Dalam penggalian sumber
budaya lokal yang salah satu wujudnya adalah mitologi dan multikultural terjadi
pengungkapan mitologi yang terkait dengan kelompok etnik. Dari proses tersebut
ditemukan mitologi Indonesia sebagai bentuk penafsiran manusia Indonesia dengan latar
etnik yang beragam terhadap mitologi yang digali dari sumber budaya etnik setelah
“membaca” realitas Indonesia yang dihadapi dan dihidupinya. Oleh karena itu, kita
seharusnya mengenal mitologi Minang, Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Banjar, Bugis,
Mandar, Toraja, Sasak, Papua, dan Melayu Nusantara. Mitologi yang berakar dalam
budaya kelompok etnik itu boleh disebut sebagai “dasar pijakan” bagi kehadiran mitologi
Indonesia yang tengah menjadi. Atas dasar pikiran itu, fungsi mitologi etnik adalah
penghubung ke dunia realitas budaya yang konkret dan mampu menjembatani jarak
budaya antarkelompok etnik di Indonesia.
Oleh karena pentingnya mitologi sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya
sangat relevan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono (1999b) bahwa tidak dapat
dibayangkan adanya sastra yang sama sekali lepas dari mitologi. Dengan kata lain,
sastra Indonesia modern yang dihidupi oleh para pengarang dari berbagai kelompok
2
etnik di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu Nusantara itu
tidak berarti steril dari pengaruh mitologi dalam berbagai wujud dan jenisnya, termasuk
mitologi Melayu Nusantara. Hal itu berkaitan dengan anggapan bahwa bahasa, sastra,
dan budaya Indonesia yang terbentuk wujudnya itu berakar pada bahasa, sastra, dan
budaya Melayu Nusantara.
Orientasi pengarang kita dalam berkarya, termasuk menulis puisi, cerpen, dan
novel, pada awalnya memperlihatkan kecendrungan utama untuk memadukan antara
“mendaerah” dengan “mem-Barat”. Bahan yang ada, objek dan substansi puitik serta
tradisi, memang berasal dari daerah atau etnik, tetapi cara pandang dan pendidikan
mereka berasal dari dunia Barat. Dengan cara pandang mem-Barat dimaksudkan adanya
semangat di kalangan pengarang untuk mengungkapkan nilai yang berakar pada dunia
kedaerahan yang dipadukan dengan pemikiran Barat, terutama dunia perkotaan dan
modernisasi sebagai dasar berpijak mereka. Perpaduan itu terwujud dalam bentuk puisi
berjenis soneta atau balada, yang mencoba memadukan antara pantun atau syair dan
tradisi puisi Barat. Tentu dapat dimaklumi bahwa kondisi dan situasi saat itu Indonesia
berada di bawah kekuasaan kolonial Barat sehingga jalan masuk ke dunia internasional
atau arus global harus melalui Barat.
Goenawan Mohamad (1980) menyebut ihwal seperti itu sebagai pendurhakaan
terhadap nenek moyang yang dicitrakan sebagai kampung halaman dengan merujuk
legenda “Malin Kundang” sebagai sangkutan pikiran untuk gejala tersebut. Disebutkan
pula oleh Goenawan bahwa Sitor Situmorang yang menulis sajak “Si Anak Hilang”
merupakan Malin Kundang yang setelah mengembara jauh dari kampung halamannya,
ia tidak mau kembali. Apa yang dinyatakan oleh Goenawan itu mengangkat
permasalahan keterpencilan sastra Indonesia dari khalayak pembacanya yang
disebabkan oleh ketercerabutan pengarang Indonesia dari akar budaya etnik asalnya
sehingga pembaca sastra Indonesia kehilangan sangkutan pikirannya ke bumi Nusantara
(Indonesia yang terwujud dalam budaya etnik). Tampaknya hal itu merupakan hasil kajian
yang pumpunannya sastra dasawarsa 1950-an yang terbatas pada bacaan Goenawan
sendiri. Tentu sekarang hal itu telah berubah, bahkan warna setempat atau warna lokal
karya sastra Indonesia modern kini menjadi suatu kecenderungan umum meskipun
sikap, pandangan, dan perhatian dunia Barat tetap memengaruhi ekspresi estetis penyair
Indonesia.
Perkembangan sastra Indonesia modern dengan “dipelopori” Amir Hamzah,
penyair zaman Pujangga Baru, memulai kecenderungan baru dengan menulis di atas
pijakan semangat budaya setempat atau lokal, yakni semangat kembali ke kampung
halaman, yang disebut dengan nama Melayu. Sajak baladanya yang berjudul “Hang
Tuah”, “Batu Belah”, “Bonda I”, dan “Kamadewi” yang ditulis pada tahun 1930-an
menunjukkan akar yang kuat pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Amir Hamzah
memang sosok Melayu yang kuat. Hal itu berarti ada kecenderungan baru dalam
perkembangan dunia pemikiran di lingkungan para pengarang sastra Indonesia modern
meskipun tetap juga ada yang berpijak ke Barat, seperti Sutan Takdir Alisyahbana
dengan Layar Terkembang atau sonetanya dan Chairil Anwar dengan Ahasveros dan
Eros dalam sajak kreatif inovatifnya.
Langkah Amir Hamzah itu diikuti oleh Mansur Samin dalam beberapa sajaknya,
antara lain “Jelmaan”, “Raja Singamangaraja XII”, “Harimau Pandan”, “Delitua”,
3
“Sukadana”, “Buradaya”, dan “Sibaganding Sirajogoda”. Juga tidak ketinggalan penyair
Sitor Situmorang dengan sajaknya “Kisah Harimau Sumatera”, dan Iwan Simatupang
dengan sajaknya “Apa Kata Bintang di Laut”, ”Ada Tengkorak Terdampar ke Pulau
Karang”, “Si Nanggar Tullo”, dan Inang Sarge”. Para penyair Melayu lainnya untuk tetap
dapat berpijak pada bumi sendiri, bumi Nusantara, mengangkat sastra lisan atau sastra
rakyat untuk diaktualisasikan dalam karya sastra Indonesia modern cukup banyak
jumlahnya. Ada perbedaan dan juga ada kemajemukan dalam sastra Indonesia sebagai
wujud multikulturalisme.
Mitologi Nusantara pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya
Nusantara. Di dalam mitologi Nusantara itu terkandung muatan lokal genius atau kearifan
lokal setempat yang sering kali melandasi sikap dan perilaku hidup sehari-hari orang di
Nusantara. Dengan kata lain, mitologi telah menjadi ideologi bagi orang yang hidup di
wilayah Kepulauan Indonesia. Sebagai hasil penggalian budaya, mitologi Nusantara
dalam puisi Indonesia modern menunjukkan sikap dan pandangan hidup orang di
Nusantara dalam menghadapi problem dasar kehidupan, seperti maut, cinta, tragedi,
loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal yang transendental dalam
kehidupan manusia.
Dunia batin orang di Nusantara yang dipenuhi dengan berbagai mitologi
merupakan hasil kontak budaya dengan lingkungan alam dan dengan budaya yang lebih
besar. Ketika orang di Nusantara berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan
agama Hindu dan Budha, mulai terjadi pemasukan nilai budaya kedua agama itu dalam
tradisi berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Kreativitas manusia di Nusantara telah
berhasil ”memelayukan” mite yang berakar pada ajaran kedua agama itu dalam tradisi
sastra yang dihasilkannya. Berbagai bentuk sastra telah berhasil ditulis, misalnya hikayat,
cerita yang mengandung kepercayaan (legenda, dongeng, dan febel), bahkan dalam
bentuk pantun berkait atau syair keagamaan dalam bahasa Melayu.
Ketika agama Islam datang dengan membawa mitologi yang berakar pada
khazanah pemikiran agama tersebut, hikayat dan syair tasawuf (sastra kitab, sufi, dan
mistik) menjadi wahana yang canggih untuk memaparkan budaya mereka. Dalam
konteks tersebut para sufi dan ustad atau guru agama menyebarluaskan agama Islam di
kalangan orang Melayu di Nusantara dengan memanfaatkan hikayat, dongeng, legenda,
dan syair sufistik atau sastra keagamaan. Mereka memberinya ruh napas Islam ke dalam
berbagai media itu sehingga dikenal hikayat nabi atau Kisasu L Anbiya atau Surat Al-
Anbiya, cerita eskatologi dari Nurruddin Ar-Raniri, serta sastra keagamaan, dan kitab
dengan tokohnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Abdul Rauf Singkel.
Mereka menokohkan para pahlawan besar Islam, seperti Amir Hamzah dan
Iskandar Zulkarnain, sebagai teladan utama dalam berjihad. Bermula dari keyakinan,
akhirnya terjadilah sebuah “dialog” dua dunia, yaitu antara dunia Islam dan dunia Melayu,
yang memadu dalam mitologi. Dialog Islam dan Melayu itu, antara lain, terwujud dalam
bentuk “pengislaman” hikayat dan syair sufistik dan tasawuf. Tokoh sahibul hikayat yang
mengandung unsur Hindu, seperti cerita Bayan Budiman, Merong Mahawangsa, Malim
Demam, Puspa Wiraja, Parang Punting, Langlang Buana, Marakarma, Inderapura,
Indera Bangsawan, Jaya Lengkara, dan Hang Tuah sekalipun digantikan dengan tokoh
yang diangkat dari dunia pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain,
menurunkan tradisi hikayat zaman Islam, seperti Tajus Salatin, Hikayat, Wasiat Lukman
4
Hakim, dan Sejarah Melayu atau Salahlatus Salatin. Pada saat itu muncul pula syair
tasawuf dan puisi pengaruh Arab-Persia, seperti rubai, gazal, nazam, masnawai, dan
kithah, sehingga terbentuk puisi yang Islami berbentuk gurindam. Salah satu pelopor
jenis sajak gurindam adalah Raja Ali Haji dari daratan Melayu Riau dengan karyanya
“Gurindam 12”.
Atas dasar pemahaman di atas, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa mitologi
Melayu Nusantara pada hakikatnya adalah mitologi dunia hikayat dan syair tasawuf yang
terukir kuat dalam dunia batin orang Melayu di Nusantara. Hikayat nabi atau Surat Al-
Anbiyamenjadi pegangan dan teladan hidup orang Melayu di Nusantara. Demikian pula
syair tasawuf atau sufi yang merupakan pengaruh Arab-Persia menjadi pedoman hidup
sehari-hari mereka. Kini mereka, orang Melayu di Nusantara, mengidentikkan dirinya
dengan dunia muslimin, pemeluk agama Islam yang teguh, dan religius atau mistis Islam,
biasa disebut dengan istilah sufistik.
Sehubungan daerah Melayu Nusantara itu dikelilingi oleh dunia kelautan, seperti
laut, selat, dan kuala, register yang tampak mencolok adalah tentang ombak, topan,
nakhoda, kuala, lautan mahatinggi, perompak atau lanun, bajak laut, berlayar, sauh, dan
bertata niaga maritim. Iskandar Zulkarnain adalah mitos raja dan pahlawan di lautan.
Situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan mitologi orang Melayu Nusantara pun
berkisar tentang dunia kelautan, seperti tokoh Hang Tuah, Nakhoda Ragam, dan Malin
Kundang. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan pengaruh Hindu dan daratan
ikut memengaruhi pula mitologi mereka, seperti, kisah “Batu Belah” atau “Batu
Bertangkup” yang ditulis oleh Amir Hamzah atau “Kisah Harimau Sumatera” yang ditulis
Iwan Simatupang, atau “Harimau Pandan” yang ditulis Mansur Samin yang penuh gejolak
dan heroik di daratan.
Sebagai hasil penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan diri
dalam dan dengan beban pemikiran berupa aktualisasi, antara lain aktualisasi dan
reinterpretasi terhadap mitologi. Dengan aktualisasi terhadap mitologi akan terungkap
nilai mitologi dalam konteks zaman, pengukuhan nilai mitos, dan sebagai sarana
jembatan penghubung antara dunia tradisi dan dunia modernitas. Dengan adanya
reinterprestasi terhadap mitologi, akan terungkap penafsiran kembali yang berupa
pengingkaran atau pembalikan atas nilai yang terungkap dalam mitologi itu
diperhadapkan dengan persoalan zaman dan realitas. Salah satu contohnya
drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Reinterpretasi dalam hal itu dapat
menghasilkan efek alienasi karena ada pengasingan dan penyimpangan nilai dinamisnya
untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sastra dan jati diri bangsa menunjukkan adanya pluralisme budaya atau
multikulturalisme yang tumbuh dan berkembang dalam dunia sastra Indonesia modern.
Hal itu juga dapat dicirikan oleh pluralisme mitologi di dalam sastra Indonesia modern,
termasuk di dalamnya pluralisme penafsiran terhadap mitologi Melayu Nusantara. Hal itu
berarti bahwa dalam sastra Indonesia modern akan dijumpai mitologi Jawa, Sunda,
Batak, Dayak, Banjar, Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, dan Papua sebagai kekayaan
budaya dalam sastra Indonesia modern. Namun, dari sekian banyak mitologi etnik atau
setempat yang disebut Melayu Nusantara itu merupakan unsur mitologi yang menjadi
akar dan pilar budaya dalam sastra Indonesia modern sejak awal pertumbuhan sastra
Indonesia di tahun 1920-an hingga kini abad XXI. Pendek kata, mitologi Melayu
5
Nusantara dalam sastra Indonesia muktahir menjadi sesuatu yang niscaya, tidak hanya
dalam sastra yang ditulis oleh penyair yang berasal dari etnis Melayu di seputar tanah
Melaka, tetapi juga ditulis oleh orang Jawa, Sunda, Bali, Madura, Dayak, Bugis, Maluku,
Sasak, Papua, dan lain sebagainya yang tersebar luas di seluruh Kepulauan Nusantara.
Sastra Melayu Nusantara dan multikulturalisme menunjukkan jati diri bangsa yang
berakar pada tradisi sosial budaya masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. 1981. Mithologies. New York: Granada Publishing.
Budiman, Kris. 1999. Semiotika. Yogyakarta: LKIS.
Darmono, Sapardi Djoko. 1993. Pengembangan Sastra Melalui Penerjemahan. Makalah
Kongres Bahasa Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
----------- 1998. “Pengaruh Asing Dalam Sastra Indonesia”. Makalah Kongres Bahasa
Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
----------- 1999a. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
----------- 1999b. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dananjaya, James. 1984. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain.
Jakarta: Grafiti Press.
Day, Martin S. 1984. The Many Meanings of Myth. Lanham, New York: University Press
of America.
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Hasanuddin W.S. 2000. “Mitos Legitimasi Kekuasaan dalam Kesusastraan Klasik
Minangkabau Kaba Cindua Mato: Tinjauan Semiotika Budaya dan ideologi”
dalam Sudiro Satoto dan Zainiddin Fanani. Sastra: Ideologi, Politik dan
Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Junus, Umar. 1970. Perkembangan Puisi Melayu Modern. Kuala Lumpur, Malaysia:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
--------- 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Levi-Strauss, Claude. 1967. Structural Antropology. New York: Anchor Books, Doubleday
& Company, Inc.
Mahayana, Maman S. 199. Kesusastraan Malaysia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya.
---------- 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.
6
Mangunwijaya, Y.B. 1982. “Mitologi sebagai Legitimasi Para Dewa” dan “Mitologi, Epos,
dan Roman” dalam Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Muhamad, Gunawan. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Peursen, C.A. Van. 1976. “Bab II Alam Pikiran Mistis” dalam Strategi Kebudayaan.
Terjemahan Dick Hartoko. Yogyakarta: Kanisius.
Rosidi, Ajip. 1985. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta: Gunung Agung.
Santosa, Puji. 1993. “Mitos Nabi Nuh di Mata Tiga Penyair Indonesia” dalam Bahasa dan
SastraTahun X Nomor 1 1993.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.
Santosa, Puji.; dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920--1960.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Santosa, Puji.; & Djamari. 1995. Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji.; & Djamari. 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan Tematik.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. Ende-Flores: Nusa
Indah.
1996. “Iptek Itu Bermula dari Mitos: Mengenal Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono”,
Makalah Seminar HPBI, Bandung, 10-12 Desember 1996.
Santosa, Puji.; dkk. 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1960–1980.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1998. “Analisis Struktur Sajak ‘Pembicaraan’ Karya Subagio
Sastrowardojo” dalam Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998, hlm. 3–15.
Santosa, Puji.; dkk. 1998a. Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji.; dkk. 1998b. Unsur Erotisme dalam Cerita Pendek Tahun 1950-an.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1999. “Perkembangan Soneta di Indonesia dan Jatidiri Bangsa” dalam
Pangsura Bilangan 9/Jilid 5, Julai–Desember 1999, hlm. 92–106.
Santosa, Puji. 1999. “Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan” dalam Bahasa dan
Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50.
Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo:
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Santosa, Puji.; dkk. 2003. Drama Indonesia Modern dalam Majalah Indonesia, Siasat,
dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan Amanat Disertai Ringkasan dan
Ulasan. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
7
Santosa, Puji.; dkk. 2004. Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra Indonesia
Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
Nasional.
Santosa, Puji. 2006. Pandangan Dunia Darmanto Jatman. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji.; & Agus Sri Danardana. 2008. Pandangan Dunia Motinggo Busye.
Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Santosa, Puji.; & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta:
Pararaton.
Santosa, Puji.; Suroso; & Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya Ruri.
Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji.; & Imam Budi Utono. 2010. Struktur dan Nilai Mitologi Melayu dalam Puisi
Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; & Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah Dunia Wayang
dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; & Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia Kesusastraan Nasjah Djamin dalam
Novel Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; Djamari; & Sri Sayekti. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; & Djamari. 2012. Merajut Kearifan Budaya: Analisis Kepenyairan
Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; & Djamari. 2012. Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; dkk. 2013. Puisi Promosi Kepariwisataan. Yogyakarta: Elmatera
Publishing,
Santosa, Puji.; & Djamari. 2013. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; & Djamari. 2013. Peran Horison Sebagai Majalah Sastra. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; & Djamari. 2014. Kriik Sastra Tempatan. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji.; & Djamari. 2014. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya, Proses Kreatif,
dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji. 2015. Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan
Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.
Santosa, Puji.; & Djamari. 2015. Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa Sekolah
Menengah. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.; & Djamari. 2015. Strategi Pembelajaran Sastra Pada Era Globalisasi.
Yogyakarta: Azzagrafika.
8
Silitonga, Ny. Sukartini. 1977. Mitologi Yunani. Jakarta: Jambatan.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suwondo, Tirto. 2003. “Pemahaman Pola Berpikir Jawa Melalui Mitos Dewi Sri: Studi
Struktural-Antropologis Menurut Levi-Strauss” dalam Studi Sastra Beberapa
Alternatif. Yogyakarta: Hanindita.
Teeuw, A. 1980a. Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
----------- 1980b. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
----------- 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
----------- 1985. Sastra Modern Indonesia II. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Wellek Rene dan Austin Warren. 1989. “Citra, Metafora, Simbol dan Mitos” dalam Teori
Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta: Jakarta: Gramedia.
Wibowo, Wahyu. 1995. “Warna Daerah atau Warna Setempat” dalam Konglomerasi
Sastra. Jakarta: Paron Press.
---------- 1995. “Sapardi, Adam, dan Mitepoik” dalam Konglomerasi Sastra. Jakarta: Paron
Press.
Zaidan, Abdul Rozak, et al. 1997. Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern: 1950-
1970. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
---------- 2002. Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern: 1970-1990. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
(Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/sastra-dan-jati-diri-
bangsa-kontribusi-mitologi-dan-multikultural-dalam-sastra-indonesia) 14/05/2012
Conference Paper
Full-text available
Membangun keindonesiaan atau menafsir keindonesiaan (Sutrisno, 2004:131—137) dan mencari identitas kultur keindonesiaan (Supriyono, 2004:139—153) tidak pernah selesai selama hayat masih dikandung badan. Selama masih ada negara yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih ada rakyat yang mendukungnya, pembangunan di Indonesia terus dan terus akan tetap berkelanjutan. Namun, mau dibawa ke arah mana pembangunan Indonesia dalam era global dan pasar bebas dunia ini? Dalam hal masalah keberagaman sastra Indonesia dalam membangun identitas keindonesiaan, berikut akan dibicarakan (1) keberagaman laras bahasa, (2) keberagaman budaya etnik, termasuk mitologi daerah dan masalah dasar kehidupan, serta (3) keberagaman pengaruh budaya asing dan global. Ketiga hal itulah kiranya yang menjadi masalah krusial kebangsaan dalam menentukan arah pembangunan Indonesia pada masa depan, khususnya pembangunan dan pembinaan sastra di Indonesia.
Book
Full-text available
Pada awal perkembangan kesastraan Indonesia Modern, drama tampaknya termasuk genre yang terkebelakang jika pengertian yang dimaksudkan adalah drama sebagai sastra drama. Namun, kalau yang dimaksud dengan drama adalah pementasan cerita di panggung hampir dapat dipastikan bahwa perkembangan genre itu "tidak kalah" dengan genre lain. Dapat dikatakan bahwa pada akhir abad XIX tradisi pertunjukkan sandiwara sudah dikenal masyarakat secara luas, terutama di kota-kota besar sebagai salah satu alternatif hiburan kalangan yang sudah membutuhkannya.
Book
Full-text available
Novel Malam Kuala Lumpur (1968) merupakan salah novel karya Nasjah Djamin. Ia adalah pengarang sastra Indonesia modern yang dilahirkan pada tanggal 24 Desember 1924 di Perbaungan, Propinsi Sumatera Utara, dan meninggal di Yogyakarta pada tahun 1997. Pendidikan sekolah dasar dan menengahnya (tidak tamat) di daerah kelahirannya, Sumatera Utara. Setelah tidak lagi sekolah, Nasjah Djamin mengembara ke pulau Jawa untuk mencari pengalaman hidup. Kota yang dituju adalah Yogyakarta. Di kota ini Nasjah Djamin bergabung dengan pera seniman Yogya, antara lain bergabung dengan sanggar seni lukis “Seniman Indonesia Muda Yogyakarta” dibawah asuhan pelukis S. Soedjojono, maestro Affandi, dan Soedarso pada zaman awal kemerdekaan (1947–1948).
Book
Full-text available
Pada dasarnya promosi kepariwisataan Indonesia itu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang bekerja di bidang kepariwisataan, industri kreatif, dan biro periklanan, tetapi juga dilakukan oleh para penyair sastra Indonesia modern. Dua ratus empat belas penyair sastra Indonesia modern, antara lain, Amir Hamzah, Mansur Samin, Hamid Jabbar, Slamet Sukirnanto, Taufiq Ismail, Dimas Arika Miharja, Surasono Rashar, Sensu Alfajrie Hamin, Isbedy Stiawan ZS, Ajip Rosidi, Dodong Djiwapradja, Lilik Mulyadi, Isma Sawitri, Sugiyanta, Abdul Hadi W.M., M. Junaedi, Aliemha, Annisa Al Hadis, Rina Kusmiarsih, Verrianto Madjowa, Ras Agaffar, Anshar Maudin ST, Bambang Widiatmoko, W.S. Rendra, Didi Marsudi, Yoseph Arakei UBD, Zainal Abidin, Sanny Tomasoa, Said Agus Salim, dan Hasballah S.M. Saad, melalui 30 puisi dari 500 puisi bertema kepariwisataan Indonesia menyampaikan makna dan pesan utamanya agar masyarakat, terutama Indonesia, dapat “sadar berwisata”, gemar melakukan traveling, dan mencintai Indonesia sebagai bagian dari hidupnya. Dengan daya penuh pesona melalui 30 puisinya itu mereka menyampaikan pesan tentang wisata daerah yang penuh pesona atas keindahan alam, budaya, dan sejarah yang dapat dikembangkan sebagai industri kreatif.
Book
Full-text available
Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dan di perguruan tinggi haruslah dapat menyenangkan, menghibur, menambah wawasan, kreatif, aktif, dan inovatif bagi siswa, mahasiswa, guru, dan juga pengajarnya sendiri. Pembelajaran apresiasi sastra yang dapat menyenangkan haruslah mengandung unsur hiburan dan tidak membosankan. Dengan adanya daya kreatif dan kreativitas itu siswa dan guru dapat melakukan kegiatan sehari-hari penuh vitalitas hidup, bersemangat, tidak mengenal kata putus asa, bahkan tampak lebih berseri, dan penuh rasa optimistis. Daya kreatif dan aktif siswa, mahasiswa, guru, dan pengajar apresiasi sastra dapat menimbulkan daya inovatif, yakni kemampuan untuk diberdayakan dengan cara selalu mencari hal-hal yang baru, berbeda dari yang sudah ada, terasa segar, dan cemerlang.
Book
Full-text available
Sapardi Djoko Damono adalah seorang penyair, budayawan, guru besar emeritus ilmu susastra, dan pujangga susastra Indonesia terkemuka yang berlian dan penulis kagumi. Beliau dikenal sebagai penyair dengan berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana dan bernas sehingga beberapa di antaranya sangat populer. Atas dasar kecintaan penulis kepada beliau itulah buku Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono ini hadir di tengah-tengah masyarakat pembaca.
Book
Full-text available
Mengingat betapa pentingnya peran media massa cetak, khususnya majalah dan surat kabar sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia, maka penerbitan buku Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari ini kehadirannya menambah wawasan bagi perkembangan kritik sastra di Indonesia. Majalah Mimbar Indonesia merupakan majalah mingguan politik yang terbit di Jakarta sejak tahun 1947, setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I terhadap Republik Indonesia. Pendiri dan pengasuhnya adalah Prof. Dr. Soepomo, Soekardjo Wirjopranoto, dan Adinegoro dengan dibantu para redaktur, seperti Gusti Majur, Sumantri Mertodipuro, Sugardo, Sutarto Ruslanputro, H.B. Jassin, dan Darsjaf Rachman. Redaktur sastra dipercayakan kepada H.B. Jassin sehingga majalah tersebut ikut serta andil menyebarkan karya sastra di Indonesia. Mimbar Indonesia dan majalah Siasat, penerbit sejenis yang terlebih dulu beredar awal tahun 1947, sama-sama merupakan pendukung republik di daerah pendudukan militer Belanda. Pada masa aksi militer Belanda yang pertama, Mimbar Indonesia pemah dilarang terbit setelah memuat foto tempat yang disebut "gerbong maut Banyuwangi" karena tentara Indonesia yang dimuat di dalamnya diperlihatkan sebagai tawanan yang dibiarkan menderita. Penutupan majalah ini terjadi lagi ketika Belanda melakukan aksi militer kedua pada bulan Desember 1948, akibat tulisan Adinegoro yang mengecam agresi tersebut dan menyerukan kepada masyarakat agar tidak bekerja sarna dengan Belanda, bahkan melakukan perlawanan terhadap mereka. Adinegoro menjadi penanggung jawab redaksi majalah ini sejak awal November 1948, tetapi meninggalkannya dua tahun kemudian untuk pergi ke Belanda. Majalah Mimbar Indonesia ini berhenti terbit pada tahun 1967 karena secara komersial tidak lagi menguntungkan.
Book
Full-text available
Mengingat betapa pentingnya peran media massa cetak, khususnya majalah dan surat kabar sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia, maka penerbitan buku Peran Horison Sebagai Majalah Sastra yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari ini kehadirannya menambah wawasan bagi perkembangan kritik sastra di Indonesia. Majalah Horison merupakan satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang hingga kini (pada waktu naskah buku ini ditulis pada tahun 2013) masih tetap terbit sebagai majalah sastra. Sudah lebih 47 tahun Horison berperan mewarnai corak perkembangan karya dan kritik sastra di Indonesia. Penulis buku ini memilih ragam puisi atau sajak dengan empat sampel puisi sebagai contoh kajian kritik sastranya. Bentuk ragam sajak sebagai sampel dalam majalah Horison itu dipilih sebagai objek kajian karena selama ini belum ada para peneliti dan kritikus yang membicarakan sajak-sajak tersebut dalam kaitannya dengan kedudukan, peran, dan fungsi majalah sastra Horison sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia yang dikaji dari tahun 1966--1970. Kalau ada hanya beberapa sajak yang sudah dimuat kembali dalam buku kumpulan sajak dari satu penyair tersendiri atau bunga rampai bersama-sama. Keterpisahan pembahasan sajak dari sebuah majalah sastra akan membuat kekacauan pemahaman pembaca dengan konteks zaman diterbitkannya majalah tersebut. Sajak-sajak yang dimuat dalam majalah tersebut tidak diketahui benang merah atau arah dari kebijakan pemuatan ragam sastra dalam suatu majalah. Oleh karena itu, penelitian ini penting artinya bagi keterpaduan pemahaman sajak dalam suatu majalah pada kurun waktu tertentu.
Book
Full-text available
Buku Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa Sekolah Menengah merupakan hasil penelitian sastra ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari. Buku hasil penelitian ini mengungkapkan masalah bagaimana mengukur kesesuaian sastra pada siswa sekolah menengah (SMP). Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 100 responden siswa SMP Negeri 2 Bantul, Yogyakarta. Karya sastra yang diapresiasi siswa sekolah menengah itu ditentukan berdasarkan: (1) topik/tema (tidak mengandung SARA), (2) tingkat kerumitan gramatika, (3) panjang pendek karya sastra, (4) kerumitan konflik/alur cerita, (5) kerumitan perwatakan (termasuk jumlah tokoh), dan (6) tingkat pemicu imajinasi. Berdasarkan kriteria ini dipilihlah puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar, puisi “Sawah” karya Sanusi Pane, puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmy, cerita pendek “Kacamata” karya Rosidah, dan fragmen drama “Kuala” karya Mansur Samin. Ada lima teks sastra (3 genre puisi, 1 genre cerita pendek, dan 1 genre fragmen drama) terpilih yang diujicobakan kepada 100 siswa SMP Negeri 2 Bantul. Setiap teks sastra disertai kuesioner tertutup sebanyak 6 soal dengan masing-masing pertanyaan terdapat empat alternatif jawaban pilihan ganda. Terdapat 30 soal yang harus dijawab oleh siswa atas 5 teks sastra yang diapresiasinya. Tugas siswa sebagai responden adalah mimilih salah satu (a, b, c, atau d) jawaban yang dianggap paling benar atas alternatif jawaban masing-masing soal. Hasil jawaban siswa itulah untuk menentukan peringkat apresiasi sastra siswa sekolah menengah. Kami berharap masyarakat Indonesia pantas membaca buku ini karena dapat membuka wawasan tentang kiat-kiat mengukur dan mengevaluasi tingkat apresiasi sastra siswa sekolah menengah dengan menggunakan skor peringkat kemampuan apresiasi sastra siswa, mulai peringkat Terbatas, Marginal, Semenjana, Madya, Unggul, Istimewa, dan Sangat Istimewa.
Book
Full-text available
Buku Kritik Sastra Tempatan yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari ini diterbitkan sebagai upaya memahamkan dan menerang-jelaskan ihwal kritik sastra tempatan yang digali dan dikaji dari khazanah sastra daerah (lokal), Melayu (negeri serumpun), dan nasional (Indonesia). Dalam penelitian sastra tempatan ini mereka berdua menggali pemahaman teori dan kritik sastra tempatan dari tiga pakar sastra dan budaya dari Jawa Timur, yaitu Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A. (Guru besar Universitas Negeri Surabaya), Prof. Dr. Henricus Supriyanto, M.Hum. (Guru besar Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Begawan Sastra dari Padepokan Seni Sastra Tan Tular Malang), dan Dr. Sunu Catur Budiono, M.A. (pakar sastra dan sosial budaya Universitas PGRI Adi Buana Surabaya). Hal ini kami sadari bahwa selama abad XX hingga kini, terutama memasuki awal 1980-an, Indonesia diserbu arus global paradigma teori dan kritik sastra Barat yang datang secara beruntun. Hadirnya buku ini merupakan alternatif menuju teori dan kritik sastra produksi dalam negeri.
Book
Full-text available
Metodologi penelitian adalah cara mencari kebenaran dan asas-asas gejala alam, sosial, kebudayaan, dan kemasyarakatan atau kemanusiaan, berdasarkan disiplin ilmu yang bersangkutan. Dalam mencari kebenaran ter¬sebut peneliti dapat memilih jenis-jenis metode penelitian dalam melak¬sanakan penelitiannya, antara lain, metode kualitatif, kuantitatif, deskriptif, historis komparatif, eksperimental, analisis konten, dan kajian budaya. Demikian halnya dalam bidang kesusastraan, metodologi penelitian sastra adalah cara mencari kebenaran dan asas-asas gejala kesusastraan, kebudayaan, dan kemasyarakatan, berdasarkan disiplin ilmu humaniora untuk kesejahteraan umat. Buku Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan yang ditulis Puji Santosa ini merupakan buku panduan bagi calon peneliti dan peneliti, juga dapat sebagai referensi mahasiswa diploma, S-1, S-2, dan S-3, dalam melaksanakan penelitiannya, dari persoalan memahami paradigma penelitian, merancangan penelitian, membuat urutan kerja penelitian, memilih sarana dan prasarana yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, mengklasifikasikan, mengukur, menganalisis, dan menyajikan data, hingga melaporkan hasil penelitiannya.