Content uploaded by Muh. Haris Zubaidillah
Author content
All content in this area was uploaded by Muh. Haris Zubaidillah on Oct 26, 2023
Content may be subject to copyright.
1
ILMU JARH WA TA’DIL
Muh. Haris Zubaidillah
Email: hariszub@gmail.com
Abstrak
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta‟dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-
cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta‟dilannya
(memandang lurus para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus
dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. Ilmu ini tumbuh
bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk
mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya,
secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau
kedustaanya hingga dapatlah merasa antara yang diterima dengan yang
ditolak. Karena itu para ulama menanyakan keadaan para perawi, meneliti
kehidupan ilmiyah mereka, agar mengetahui siapa yang lebih hafal dan
kuat ingatannya. Adapun kegunaan dari Ilmu Al Jarh wa Ta‟dil untuk
menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Menetapkan apakah
periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau ditolak sama sekali.
Kata Kunci: ilmu, jarh, ta‟dil
A. Pendahuluan
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadis-hadis
itu bersifat dhaif perawinya, oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat
sampai dengan generasi mukharrijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena
mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan
maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari
berbagai kitab yang di tulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang
terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan
untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak
diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnnya disini
penulis akan membahas tentang “Ilmu Jarh Wa Ta’dil.”
2
B. Pengertian Al-Jarh Wat-Ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang
mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke„adalahan seseorang
- Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat
menjatuhkan ke„adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga
menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
- At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang
menyebabkan pendla‟ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
- Al-„Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan
seorang yang „adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta‟dil artinya
mensucikannya dan membersihkannya.
- Al-„Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang
merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan
kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam,
baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
- At-Ta‟dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga
nampak ke„adalahannya, dan diterima beritanya.
1
Lebih jelasnya, ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib
atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh wa al-
Ta;dil".
Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut:
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak
periwayatannya".
2
Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al Ta'dil dengan:
1
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2005) h. 78
2
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits,Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974), h.
268
3
"Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan
mereka, baik yang dapat mencacatkan atau mebersihkan mereka, dengan ungkapan atau
lafadz tertentu".
3
Dari definisi di atas dapat dismpulkan bahwa ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil adalah
ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta‟dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-
kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta‟dil, dan tidak
menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan
dalil-dalil berikut :
- Sabda Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam kepada seorang laki-laki : “(Dan) itu
seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya”. (HR. Bukhari).
- Sabda Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang
menanyakan tentang Mu‟awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah
melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya
(suka memukul), sedangkan Mu‟awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR.
Muslim).
Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan
kemaslahatan. Adapun At-Ta‟dil, salah satunya berdasarkan hadits :
Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah
adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu „anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta‟dil untuk menjaga
syari‟at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh
dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh
dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan
harta.
3
Mudasir, “Ilmu Hadits”, (Bandung: Pustaka Setia), 1999, h.51
4
C. Perkembangan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhhnya periwayatan dalam Islam,
karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahi perlu mengetahui keadaan rawinya,
secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kbenaran rawi atau kedustaanya
hingga dapatlah membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak.
Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil oleh nabi
shallaulahu Alaihi wa Sallam sebagamana yang telah disebutkan tadi. Lalu menjadi
banyak dari para sahabat, tabi‟in, dan orang setalah mereka, karena takut terjadi seperti
apa yang diperingatkan oleh Rasulullah.
Al-Jarh dan At-Ta‟dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan
shahabat, tabi‟in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang
diperingatkan Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam : “Akan ada pada umatku yang
terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian
dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan
waspadailah mereka” (HR. Muslim).
Dari Yahya bin Sa‟idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada
Sufyan Ats-Tsaury, Syu‟bah, dan Malik, serta Sufyan bin „Uyainah tentang seseorang
yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang
dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (HR.
Muslim).
Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia
riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang
telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis
dari Isma‟il bin „Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal
maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari
para dlu‟afaa).
4
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan
penelitian para ulama‟ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan
4
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka
riski Putra, 1997) h. 98
5
untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : “(Bagaimana
dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,“Para ulama yang berpengalaman yang
akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan
penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar‟i menuntut akan
pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang
amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai
dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta‟dil) akan menyebabkan
kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam.
5
D. Kegunaan Ilmu Al jarh wa Ta'dil
Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai
hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh
wa al-ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang
dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi,
jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud dan
derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang
tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.
6
Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila
seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya
harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat
yang lain dipenuhi.
Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua
jalan, yaitu:
7
5
An Nawawi Iman, “ dasar-dasar Ilmu Hadis”, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1998) h.40
6
Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina Ilmu,
1995, h:100
7
Drs. Munzier Suparta, “Ilmu Hadits”, Jakarta : PT Raja Grafindo, Persada, h. 33
6
a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai
orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah terkenal
dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi
diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan
kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi
yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya,
maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan
periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang
rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat
sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap
golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini.
E. Sebab-Sebab Perawi Dikenakan Jarh Dan Ta’dil
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-
sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar
disekitar lima macam saja: bid‟ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da‟wa al-inqitha‟.
8
Bid‟ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati
dengan bid‟ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang
yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka
yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan („itikad) yang
berlawanan dengan dasar syari‟at.
Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini
dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal
identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
8
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah ……… h.279.
7
Sedangkan Da‟wa al-“inqitha‟ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya
menda‟wa perawi, mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
F. Syarat Seorang Kritikus
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta‟dil ini merupakan
pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi
yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang
menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta‟dil. Adapun
syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
9
Haruslah orang tersebut „âlim (berilmu pengetahuan),
Bertaqwa,
Wara‟ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa
kecil dan makruhat-makruhat),
Jujur,
Belum pernah dijarh,
Menjauhi fanatik golongan,
Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta‟dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak
diterima.
G. Tinkatan-tingkatan Al-Jarh Wat-ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat
dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang
hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang
sering lupa dan salah padahal mereka orang yang „adil dan amanah; serta ada juga yang
berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para
ulama‟ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama‟ menetapkan
tingkatan Jarh dan Ta‟dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan.
Tingkatan Ta‟dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
9
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits……. h. 310-311.
8
1. Tingkatan At-Ta’dil
Tingkatan Pertama,
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta‟dil-an,
atau dengan menggunakan wazan af‟ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan
seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan
yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat
hafalan dan ingatannya”.
Tingkatan Kedua,
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya,
ke-„adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan
makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya
(ma‟mun), atau tsiqah dan hafizh.
Tingkatan Ketiga,
Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya
penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh.
Tingkatan Keempat,
Yang menunjukkan adanya ke-„adil-an dan kepercayaan
tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma‟mun
(dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba‟sa bihi (tidak
mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma‟in kalimat laa ba‟sa
bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma‟in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga
lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan
perawi tersebut).
Tingkatan Kelima,
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan;
seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan
darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
Tingkatan Keenam,
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti: Shalihul-
Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya.)
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka
lebih kuat dari sebagian yang lain.
Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits
mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits
9
mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits
mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits
mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian,
karena mereka tidak dlabith.
10
2. Tingkatan Al-Jarh
Tingkatan Pertama,
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling
rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi
maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla‟fun (padanya ada kelemahan).
Tingkatan Kedua,
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan
tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”,
atau “dla‟if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak
diketahui identitas/kondisinya).
Tingkatan Ketiga,
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis
haditsnya, seperti : “Fulan dla‟if jiddan (dla‟if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”,
atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya).
(Dikecualikan untuk Ibnu ma‟in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai
petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
Tingkatan Keempat,
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits,
seperti : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan
hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bi
tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan Kelima,
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan
semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla‟ (pemalsu
hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla‟ (dia memalsikan hadits).
Tingkatan Keenam,
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini
seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia
adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
10
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits……. h. 268
10
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits
mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang
untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak
boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
11
H. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang
perawi. Ulama yang satu menta‟dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya.
Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori.
Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak
diketahui sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik,
sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya
mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka
menta‟dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu
pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta‟dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya
hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang
lainnya mengetahui perawi itu sebagai orang yang dhabith, sehingga mereka
menta‟dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta‟dilnya
seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang
akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta‟dil
terdaapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
11
Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits, h. 152-154. As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, h.
229-233.
11
1. Jarh didahulukan dari ta‟dil meskipun ulama yang menta‟dilnya lebih banyak dari
ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur,
alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat
kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang
menta‟dil.
2. Ta‟dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta‟dil lebih banyak dari ulama
yang mentajrih, karena banyaknya yang menta‟dil memperkuat keadaan mereka.
Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang
menta‟dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta‟dil sesuatu
yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta‟dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah
satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa
kitatawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang
menguatkan salah satunya.
4. Ta‟dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi
menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta‟dil, kecuali
setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke‟adalahannya seorang
perawi.
Menurut Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
12
I. Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil telah berkembang sekitar
abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para
tokoh secara jarh dan ta‟dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam
ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma‟in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin
Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang
mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
12
Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975),
h. 267
12
Macam-macam kitab Jarh wa al ta'dil banyak sekali, diantaranya:
1. Kitab yang hanya menjelskan ketsiqahan perawi.
2. Buku yang hanya menjelaskan kelemahan dan kecacatan perawi.
3. Buku yang menjelaskan ketsiqahan dan kelemahan rawi, dari asfek lain, sebagian
kitab tentang Jarh wa al- Ta'dil umumnya menceritakan para perawi hadis
mengesampingkan penilaian terhadap tokoh-tokoh buku.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan
nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu‟jam). Dan berikut ini karya-karya
mereka yang sampai kepada mereka :
a. Ma'rifat ar- Rijal, karya Yahya Ibni Main (wafat tahun 233 H). Berada di Darul
kutub Adh- Dhahiriyah.
b. Adl-Dlu‟afaa‟ul-Kabiir dan Adl-Dlu‟afaa‟ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin
Isma‟il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India tahun 320 H. Karya beliau
yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir].
c. Al-Jarhu wa at Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy.
d. Al-Tsiqat, karya Ibnu Hatim bin Hibban al- Busty. Naskah aslinya di Darul kutub
al- Mishriyyah.
e. Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-„Ijly (wafat tahun
261 H), manuskrip.
f. Mizan al-I'tidal, karya Imam Syamuddin Muhammad adz- Dzahaby.
g. Lisan al- Mizan, karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalany, dicetak di India tahun
1329-1331H
h. Tahdib al- Tahdib, karya Ibnu Hajar.
i. Al- Kamal fi Asma ar- Rijal, karya Abdul Ghani Mudadisy.
J. Kesimpulan dan Saran
Maka ilmu Al-Jarh wa At-Ta‟dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-
cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta‟dilannya (memandang
lurus para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untukmenerima atau
menolak riwayat mereka.
13
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam,
karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya,
secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaanya
hingga dapatlah merasa antara yang diterima dengan yang ditolak.
Karena itu para ulama menanyakan keadaan para perawi, meneliti kehidupan
ilmiyah mereka, agar mengetahui siapa yang lebih hafal dan kuat ingatannya.
Adapun kegunaan dari Ilmu Al Jarh wa Ta‟dil untuk menentukan kualitas
perawi dan nilai hadisnya. Menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa
diterima atau ditolak sama sekali.
Ilmu jarh wa ta‟dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ilmu
hadits. karena ilmu ini merupakan timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat
timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya
ditolak riwayatannya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat
diterimahadistnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak
dapat diterimahaditsnya. Oleh karena itulah para ulama hadits memperhatikan ilmu ini
dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Ajaz. Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr,
Damaskus,1989.
Al-Qaththan, Syaikh Manna‟. Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman,
Lc.), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009.
An Nawawi Imam, "Dasar-Dasar Ilmu Hadist", Jakarta: Pustaka Firdaus.
At- Thahan Mahmud, "Metode Takhrij dan penelitian sanad hadis", Surabaya: PT Bina
Ilmu,1995.
At-Thahan, Mahmud, "Taisir Musthalah al- hadis". Maktabah Syamilah
Hasbi As-shidieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. "Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis",
jil. II Jakarta: Bulan Bintang.
----------------------. Pengantar Ilmu hadits, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, 2010.
Ma‟luf, Louis. Kamus al-Munjid,al-Mathba‟ah al-Bijatsu Kuliah, Beirut, 1935.
Mudasir, “Ilmu Hadits”, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Rahman, Fatchur., Ikhtisar Musthalah al-Hadits, PT. Al-Ma‟arif, Bandung, 1974.
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis,Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Yuslem, Nawir, Dr. M.A. Sembilan Kitab Induk Hadis, Hijri Pustaka Utama, Jakarta,
2006.