Available via license: CC BY-NC 4.0
Content may be subject to copyright.
32
SIMBOLIKA, Vol. 4 (1) April (2018)
ISSN 2442- 9198X (Print), ISSN 2442-9996 (Online)
SIMBOLIKA
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/simbolika
Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi
Theory of Setting Agenda in Communication Science
Elfi Yanti Ritonga
Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia
*Corresponding Author, Email: eyritonga@gmail.com
Abstrak
Teori agenda setting ini banyak dipakai dalam penelitian oleh para peneliti yang ingin mengukur
pengaruh media bagi khalayak. Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan
agenda setting adalah : 1) masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan, mereka
menyaring dan membentuk isu, 2) konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat
untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain. Kritik terhadap teori agenda
setting ini sendiri sejalan dengan perkembangan zaman dan fenomena masyarakat, sudah
bermunculan. Munculnya teori agenda setting memberikan kritik dengan menggambarkan bahwa
manusia adalah pasif sehingga dalam mengendalikan lingkungannya agenda media berpengaruh
terhadap agenda masyarakat.
Kata Kunci: Teori Agenda Setting, Media dan Khalayak.
Abstract
Setting agenda theory is widely used in research by researchers who want to measure the influence of
media for audiences. The two most basic assumptions underlying the study of setting agenda setting are:
1) the press and mass media do not reflect reality; they filter and shape the issue; 2) the concentration of
mass media is only on a few issues of society to serve as issues of greater importance than other issues.
Critics of the agenda setting theory itself is in line with the development of the times and phenomena of
society, already emerging. The emergence of the agenda setting theory provides a critique by describing
that human is passive so that in controlling the environment agenda media influence on community
agenda.
Keywords: Setting Agenda Theory, Media and Audiences.
How to Cite: Ritonga, E.Y., (2018), Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, SIMBOLIKA, 4 (1): 32-
41.
SIMBOLIKA, 4 (1): 32-41.
33
PENDAHULUAN
Komunikasi massa merupakan sumber
kajian potensial yang memiliki bidang bahasan
yang cukup luas dan mendalam, dan juga
didukung oleh teori yang lumayan banyak
jumlahnya. Hal ini bisa dipahami sebab ilmu
komunikasi yang kita kenal sekarang ini,
merupakan proses evaluasi panjang dari ilmu
komunikasi massa, yang awalnya hanya
dikenal sebagai ilmu media massa atau ilmu
pers yang juga merupakan hasil elaborasi dari
ilmu publisistik (ilmu persurat-kabaran) yang
berpusat di Jerman dan ilmu Jurnalistik yang
berbasis di AS (Arifin, 2006: 10). Baru
dinamakan ilmu komunikasi pasca Perang
Dunia II oleh para ilmuan Barat, tujuan
utamanya adalah untuk mencover semua
bidang kajian dalam komunikasi yang semakin
luas dan berkembang.
Komunikasi massa sendiri kerap
didefinisikan sebagai komunikasi melalui
media massa (modern) pada awalnya hanya
mencakup media cetak (surat kabar, majalah
atau tabloid) dan media elektronik (TV dan
radio), baru belakangan termasuk kajian
multimedia yang juga sering disebut media dot
com (internet). Pada era ini, kajian komunikasi
massa berkembang menjadi semakin luas,
selain mencakup tiga jenis media (media
cetak, media elektronik, dan multimedia),
peran dan proses komunikasi massa, juga efek
media bagi masyarakat dan budaya, sehingga
semakin banyak dijadikan sebagai objek studi
(Mc Quail, 1987: 3)
Dalam tinjauan komunikasi massa,
paling tidak teori-teori yang muncul dapat
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) bidang,
yaitu teori-teori awal komunikasi massa,
pengaruh komunikasi massa terhadap
individu, pengaruh komunikasi massa
terhadap masyarakat dan budaya, dan audiens
pengaruhnya terhadap komunikasi massa
(Liliweri, 2011: 884-892).
Teori Agenda Setting misalnya, masih
saja sangat relevan hingga saat ini sekalipun
dengan catatan-catatan tertentu harus
dibubuhkan di sana, seperti pada masyarakat
dan budaya seperti apa, atau pada kondisi
kapan, dan seterusnya.
PEMBAHASAN
Jika diurai secara bahasa (etimologi)
agenda setting diambil dari Bahasa Inggris
yang terdiri dari dua suku kata, yakni agenda
dan setting. Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) kata agenda diartikan dalam
2 (dua) pengertian, yaitu: 1) buku catatan
yang bertanggal untuk satu tahun: acara rapat
itu telah dicatat dalam agenda; 2) acara (yang
akan dibicarakan dalam rapat), hal itu
tercantum juga dalam agenda rapat. Adapun
kata mengagendakan, sebagai kata kerja
(verb) berarti memasukkan dalam acara
(rapat dan seminar)
(http://blogilmukomunikasi.blogspot.co.id/20
13/12/teori-agenda-setting-komunikasi.html,
04.15).
Kata Setting atau yang dipadankan ke
dalam Bahasa Indonesia dalam bentuk kata
kerja (verb) dalam istilah “mengeset” diartikan
sebagai pekerjaan menata, mengatur (tentang
rambut, susunan huruf dalam mesin cetak, dan
sebagainya): sudah menjadi kebiasaannya, ia
mengeset rambut setiap pergi ke pesta,
adapun orang yang mengerjakan pekerjaan
mengeset dikatakan sebagai seorang
“pengeset”. Sementara itu, jika kata mengeset
diubah menjadi kata “pengesetan” artinya
menjadi “pengaturan”
(http://adiprakosa.blogspot.co.id/2013/01/te
ori-agenda-setting_1823.html, 03.15).
Berdasarkan pengertian secara
etimologi di atas, maka pengertian agenda
setting dapat dipahami sebagai pengaturan
atau penyusunan agenda/acara/kegiatan. Hal
ini sesuai dengan istilah yang dikemukakan
oleh beberapa ahli komunikasi Indonesia
sebagai penentuan atau penyusunan agenda.
Lihat misalnya terjemahan dari pendapat
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam
Hamdan, 2009: 415). Lihat juga Nuruddin,
2007: 195).
Elfi Yanti Ritonga, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi
34
Tentu saja yang dipahami dalam
keterkaitannya dengan pembahasan ini adalah
peran media massa dalam penyusunan
agenda/acara/kegiatan seseorang.
Adapun pengertian agenda setting dalam
istilah komunikasi adalah: a) Maxwell E.
McCombs dan Donald L. Shaw percaya bahwa
media massa memiliki kemampuan untuk
mentransfer hal yang menonjol yang dimiliki
sebuah berita dari news agenda mereka
kepada public agenda. Pada saatnya, media
massa mampu membuat apa yang penting
menurutnya, menjadi penting pula bagi
masyarakat. (Nuruddin, 2007: 195). b)
Menurut Bernard C. Cohen agenda setting
theory adalah teori yang menyatakan bahwa
media massa berlaku merupakan pusat
penentuan kebenaran dengan kemampuan
media massa untuk mentransfer dua elemen
yaitu kesadaran dan informasi ke dalam
agenda publik dengan mengarahkan
kesadaran publik serta perhatiannya kepada
isu-isu yang dianggap penting oleh media
massa. Dikemukakannya bahwa “pers
mungkin tidak berhasil banyak waktu dalam
menceritakan orang-orang yang berfikir,
tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa
dalam berpikir tentang apa”. (Baran dan
Dennis, 2007: 13), c) Stephan W. Littlejohn
dan Karen A. Foss mengemukakan bahwa
agenda setting theory adalah teori yang
menyatakan bahwa media membentuk
gambaran atau isu yang penting dalam
pikiran. Hal ini terjadi karena media harus
selektif dalam melaporkan berita. Saluran
berita sebagai penjaga gerbang informasi
membuat pilihan tentang apa yang harus
dilaporkan dan bagaimana melaporkannya.
Apa yang masyarakat ketahui pada waktu
tertentu merupakan hasil dari penjagaan
gerbang oleh media (Littlejohn & Foss, 2009:
416). d) Syukur Kholil mengutip pendapat
Samsudin A. Rahim mengemukakan bahwa
agenda setting adalah peran media massa yang
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi
pendapat dan perilaku masyarakat dengan
menentukan agenda terhadap masalah yang
dipandang penting (Kholil, 2007: 36).
Berdasarkan pengertian-pengertia di
atas, dapat dikemukakan bahwa agenda
setting theory membicarakan tentang peran
besar media massa dalam menentukan agenda
orang-orang yang terkena informasi tersebut.
Masyarakat menjadi terbiasakan dengan
berita-berita yang disampaikan media,
sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam
pergaulan sehari-hari. Berita atau informasi
yang disampaikan media tersebut bukan saja
hanya sebagai ilmu atau pengetahuan bagi
masyarakat, tetapi bahkan bisa mengubah
gaya hidup, perilaku, ataupun sikap
masyarakat.
Agenda setting theory (teori penyusunan
agenda) mulai dirintis sejak tahun 1968,
ketika berlangsungnya penelitian tentang
kampanye pemilihan presiden Amerika
Serikat. Penelitian ini berhasil menemukan
hubungan yang tinggi antara penekanan berita
dengan bagaimana berita itu dinilai
tingkatannya oleh pemilih yang kemudian
menjadi hipotesis teori agenda setting.
Meningkatkatnya nilai penting topik tersebut
bagi khalayak (Nuruddin, 2007: 195).
Hasil penelitian inilah yang kemudian
menjadi fenomena utama bagi Maxwell
McComb dan Donald L.Shaw dalam
melahirkan teori agenda setting pada tahun
1972 (Lubis, 2007: 106). Yang dipublikasikan
pertama kali dengan judul “The Agenda Setting
Function of the Mass Media” Public Opinion
Quarterly No. 37 (Bungin, 2006: 279).
Sebagai ilmuwan yang pertama sekali
menguji teori ini, Maxwell McComb dan
Donald L Shaw kemudian menjadi tokoh
utama dibalik teori ini, yang empat tahun
setelah penelitiannya (1968-1972) baru
mengumumkan ke publik, bahwa risetnya itu
menguatkan hipotesis hingga keduanya
sepakat menamakan teori tersebut sebagai
agenda setting theories.
Penelitian menjelang pemilu Presiden
Amerika Serikat Tahun 1968 itu juga sekaligus
SIMBOLIKA, 4 (1): 32-41.
35
menjadi latar belakang sejarah kelahiran teori
agenda setting. Meskipun, jauh sebelumnya
sudah ada gagasan/pandangan para ilmuan
yang cenderung sama dengan fungsi teori
agenda setting, sebagai hasil observasi
pengaruh media terhadap khalayak. Hanya
saja saat itu belum sampai memproklamirkan
teori seperti teori agenda setting.
Aplikasi teori agenda setting pertama
sekali pada penelitian perubahan sikap
pemilih dalam kampanye pemilu Presiden AS
tahun 1968, memberikan hasil penelitian
berbalik dengan teori efek media terbatas (the
limited media effect theories) sebelumnya.
Dengan kata lain teori agenda setting
menganggap media memiliki kekuatan untuk
menarik perhatian dan mempengaruhi
khalayak terhadap suatu isu. Fungsi teori ini
berlangsung karena media sangat selektif
dalam menyiarkan berita, yang menarik bagi
publik baik dilihat dari aspek nilai berita
(news value) maupun nilai jual (sell value).
Sehingga model agenda setting ini
mengasumsikan adanya hubungan positif
antara penilaian yang diberikan media pada
suatu persoalan dengan perhatian khalayak
pada persoalan yang sama (Rahmat, 1993:
68).
Berdasarkan teori agenda setting,
pemberitaan positif dan negatif media massa
terhadap para kandidat selama massa
kampanye akan sangat menentukan nasib
kandidat dalam pemilu. Dengan demikian
muncullah anggapan bahwa “menguasai
media berarti menguasai publik” atau
“menguasai media berarti menguasai massa
(politik)”. Jauh sebelum teori agenda setting
diperkenalkan oleh McCombs dan Shaw,
Bernard Cohen telah mengemukakan “pers
lebih penting daripada sekedar penyedia
informasi dan opini, barangkali mereka
(media) tidak terlalu sukses dalam menyuruh
apa yang dipikirkan seseorang tetapi mereka
sukses dalam menyuruh orang apa yang
seharusnya dipikir. Dunia akan terlihat
berbeda menurut orang yang berbeda pula,
tergantung bukan hanya pada visi mereka
pribadi tetapi juga peta yang diberikan media
massa kepada mereka (Stanley dan Dennis,
2007: 347).
Teori agenda setting merupakan salah
satu dari sekian banyak teori tentang efek
media massa bagi khalayak, baik yang
termasuk kategori teori klasik seperti teori
stimulus respon yang dikemukakan oleh
Hovland, et al (1953) dan teori SOR (Stimulus
Organisme Response) yang dikemukakan
Melvin DeFleur (1970) sebagai modifikasi dari
teori Stimulus Response sebelumnya, maupun
yang masuk kategori teori kontemporer
seperti teori Difusi Inovasi, teori Uses and
Gratification, teori Defendensi Efek
Komunikasi massa, teori Spiral of Silance, teori
Uses and Effects, teori Spiral of Silence, teori
Uses and Effect, teori The Limited Media Effects,
The Bullet Theory atau teori Jarum
Hipodermik, dan lain-lain.
Kehadiran teori Agenda Setting, telah
membantah banyak teori sebelumnya seperti
teori peluru (the bullet theory) yang
dikemukakan Wilbur Shramm (1950-an), yang
berasumsi efek media massa sangat luar biasa,
karena khalayak bersifat pasif dan tidak
berdaya, meskipun teori ini telah dibantah
sendiri oleh Schramm pada tahun 1970
dengan meminta supaya teori peluru ajaib itu
dianggap tidak ada, sebab ternyata khalayak
media massa tidak pasif (Lubis, 2007: 124).
Teori lain yang dibantah oleh teori agenda
setting adalah teori media terbatas (the limited
media effects) yang mengemukakan media
massa hanya memiliki pengaruh sedikit
terhadap khalayak.
Suatu studi yang dilakukan pada orang-
orang yang menonton dan tidak menonton
perdebatan calon-calon presiden Amerika
Serikat pada tahun 1976, peneliti dapat
menunjukkan perbedaan dalam penentuan
agenda di kalangan segmen-segmen khalayak
yang spesifik. Di samping itu, Becker dan
McLeod et al. (1979) ditunjukkan pula bahwa
waktu memainkan peranan penting dalam
Elfi Yanti Ritonga, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi
36
proses tersebut. Sebagai perbandingan, suatu
studi agenda setting surat kabar dan televisi di
Barquisimeto, Venezuela oleh Chaffee dan
Izcaray (1975) menunjukkan tiadanya efek
yang diharapkan. Penggunaan media massa
oleh responden kedua peneliti ini tidak
mengarah pada meningkatnya salience untuk
isu-isu yang menerima liputan media yang
besar. Di sini tampak bahwa posisi sosial
ekonomi responden memainkan peranan
dalam menentukan kepentingan relatif
beberapa isu publik (Sendjaja, 1993: 26).
Studi-studi ini menunjukkan bahwa
agenda setting oleh media massa dapat terjadi
dalam beberapa kondisi. Akan tetapi, kondisi
yang berlaku di negara industri dan di negara
sedang berkembang mungkin berbeda. Riset
tentang agenda setting oleh media di negara-
negara Dunia Ketiga masih perlu dilakukan,
karena kebanyakan studi tentang agenda
setting yang ada telah dilakukan di Eropa dan
Amerika Serikat.
Di Indonesia, contoh fungsi agenda
setting dalam pemberitaan media dan
membawa pengaruh signifikan terhadap
khalayak cukup banyak terjadi. Di Aceh
misalnya, media mengcover penumpasan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebelum
Agustus 2005 atau perundingan GAM-RI
setelah MoU Helsinki. Demikian juga berita
seputar pemberantasan korupse, makelar
kasus (markus), makelar pajak, maupun
agenda lainnya berhasil mempengaruhi publik
kita (Nuruddin, 2007: 196).
Dua asumsi dasar yang paling mendasari
penelitian tentang penentuan agenda setting
adalah : 1) masyarakat pers dan mass media
tidak mencerminkan kenyataan, mereka
menyaring dan membentuk isu, 2) konsentrasi
media massa hanya pada beberapa masalah
masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu
yang lebih penting daripada isu-isu lain
(Littlejohn & Foss, 2007: 416).
Adapun agenda yang dapat ditentukan
oleh media massa adalah: a) Apa yang harus
dipikirkan oleh masyarakat; b) Menentukan
fakta yang harus dipercayai oleh masyarakat;
c) Menentukan penyelesaian terhadap suatu
masalah ; d) Menentukan tumpuan perhatian
terhadap suatu masalah; e) Menentukan apa
yang perlu diketahui dan dilakukan
masyarakat (Kholil, 2007: 36).
Stephen W. Littlejohn mengatakan,
agenda setting beroperasi dalam tiga bagian
sebagai berikut: a) Agenda media itu sendiri
harus diformat. Proses ini akan memunculkan
masalah bagaimana agenda media itu terjadi
pada waktu pertama kali; b) Agenda media
dalam banyak hal memengaruhi atau
berinteraksi dengan agenda publik atau
kepentingan isu tertentu bagi publik.
Pernyataan ini memunculkan pertanyaan,
seberapa besar kekuatan media mampu
memengaruhi agenda publik dan bagaimana
publik itu melakukannya; c) Agenda publik
memengaruhu atau berinteraksi ke dalam
agenda kebijakan. Agenda kebijakan adalah
pembuatan kebijakan publik yang dianggap
penting bagi individu (Littlejohn & Foss, 2007:
416-417).
Aplikasi teori agenda setting dalam
penelitian Chapel Hill, adalah sebuah
penelitian sistematis pertama hipotesis
penentuan agenda dilakukan oleh McCombs
dan Shaw (1972). Pada dasarnya kedua pakar
komunikasi ini tertarik untuk meneliti
pendapat para pemilih menyangkut isu-isu
yang dianggap penting sebagai hasil bentukan
pemberitaan mengenai isu-isu tersebut.
Mereka meneliti penentuan agenda dalam
kampanye presiden tahun 1968 dan membuat
hipotesis bahwa media massa menentukan
agenda untuk setiap kampanye politik yang
memengaruhi proyeksi sikap terhadap isu-isu
politik.
Peneliti tersebut mewawancarai sampel
yang terdiri dari 100 responden dan secara
simultan melaksnaakan analisis isi media
massa yang dapat diperoleh para pemilih ini
dari lima surat kabar, dua majalah, dan dua
tayangan berita malam jaringan televisi. Para
peneliti ini mewawancarai seratus pemilih
SIMBOLIKA, 4 (1): 32-41.
37
terdaftar yang belum memilih satu pun
kandidat. Mereka melaksanakan penelitian
mereka dengan berfokus pada pemilih yang
masih ragu-ragu di Chapel Hill, North Carolina,
karena pemilih “Ragu-ragu” seharusnya paling
mudah terpengaruh dengan dampak
penentuan agenda setting.
Para responden diminta untuk
menyebutkan masalah-masalah utama di
negara tersebut yang mereka lihat. Respons-
respons ini diberi kode menjadi 15 kategori
yang menggambarkan isu-isu utama dan juga
jenis-jenis kampanye berita lain. Isi media
berita yang berhubungan dengan pemilihan
juga disortir ke dalam 15 kategori ini
berdasarkan jumlahnya. Isi media berita juga
dibagi menjadi kategori “utama” dan “ringan”.
Setiap responden diberikan sejumlah
pertanyaan yang menggarisbawahi isu utama
yang muncul ketika mereka melihatnya, tidak
peduli apa yang akan dikatakan kandidat pasa
saat itu. Lalu mereka kemudian
membandingkan hasilnya dengan periodisasi
waktu dan ruang menurut berbagai isu yang
dihasilkan konten pada berita televisi, surat
kabar dan majalah, dan halaman editorial yang
tersedia bagi para pemilih wilayah tempat
penelitian itu dilakukan. Hasil penelitian
mereka selama bulan September dan Oktober
pada pemilihan presiden tahun 1968
kemudian menemukan beberapa fakta yang
mendukung berlangsungnya agenda setting
media (Tamburak, 2013: 30-31).
Hasilnya kemudian ditulis Maxwell E.
McCombs dan Donald Shaw dalam Baran
bahwa media terlihat memberikan dampak
yang cukup banyak terhadap subjek penelitian
mengenai apa yang mereka anggap isu utama
dalam pemilihan. Dengan adanya penelitian
awal agenda setting di Chapel Hill yang
dilakukan oleh McCombs dan D. Shaw, maka
perspektif penentuan agenda media tidak
hanya sebatas wacana yang berputar-putar di
tengah lingkup aktivitas media selama ini, tapi
yang paling penting mendapatkan pengakuan
karena dapat dibuktikan secara empiris
melalui penelitian mereka (Tamburak, 2013:
32).
Penelitian Charlotte adalah sebuah
penelitian yang dibiarkan terbuka oleh
penelitian agenda yang asli yang dilakukan
oleh McCombs dan Shaw (1972) adalah
pertanyaan mengenai urutan kausalitas.
Penelitian Chapil Hill yang asli menemukan
hubungan yang kuat antara media dengan
agenda publik selama kampanye pemilihan
tahun 1968, tetapi penelitian itu tak
menunjukkan mana yang memengaruhi yang
mana. Agenda media mungkin memengaruhi
agenda publik, sebagaimana yang dinyatakan
oleh hipotesis, tetapi agenda publik juga
memengaruhi agenda media.
Sebagai langkah berikut mereka dalam
mempelajari penentuan agenda, McCombs dan
Shaw merencanakan penelitian tambahan
yang berfokus pada kampanye pemilihan
presiden tahun 1972. Penelitian ini ditetapkan
di Charlotte, North Carolina. Penelitian ini
menggunakan sampel yang lebih besar
daripada penelitian Chapel Hill dan penelitian
ini merupakan desain panel, dengan
responden yang sama yang diwawancarai di
beberapa titik selama kampanye. Salah satu
tujuan spesifik penelitian ini adalah
memperoleh bukti mengenai arah kausalitas
penentuan agenda (Severin & James, 2011: h.
266-268).
Sampel diambil dari pemilih yang sama
secara random yang waktu pelaksanaan pada
bulan Oktober ketika puncak kampanye dan
bulan Nopember 1972 ketika pemilu digelar.
Agar dapat melihat hubungan kausalitas para
peneliti itu fokus pada dua periode, bulan Juni
dan Oktober.
Dalam penelitian Charlotte kesimpulan
hasil penelitian dibuat dalam bentuk tabel di
mana kategori isu penting diurutkan dari yang
paling penting hingga yang kurang penting. Isu
perang Vietnam: (1) dianggap paling penting
sehingga menempati peringkat pertama,
disusul isu kerusuhan rasial, (2) kerusuhan
kampus (3),… dan seterusnya. Nilai penting
Elfi Yanti Ritonga, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi
38
sebuah isu dalam penelitian ini berdasarkan
banyaknya jumlah artikel yang dimuat dan
banyaknya liputan yang dilakukan terhadap
isu tersebut, sebagai contoh: isu perang
Vietnam memiliki artikel berita dan liputan
berita paling banyak.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan
peringkat yang diberikan oleh surat kabar
terhadap isu perang Vietnam sama dengan
peringkat yang diberikan oleh responden
yaitu peringkat pertama, demikian juga
dengan isu kerusuhan pada peringkat kedua.
Namun, hasil terhadap isu lain cukup variatif,
ada beberapa isu yang mengalami pergeseran
seperti isu kerusuhan kampus yang tadinya
berada pada peringkat ketiga (media massa)
turun peringkat pentingnya menjadi peringkat
keempat (responden), digantikan oleh isu
kejahatan menjadi peringkat ketiga (menurut
responden) yang sebelumnya berada pada
peringkat keenam (liputan media massa).
Hasilnya, bahwa untuk setiap periode
tersebut peneliti mendapati tingkat agenda
media yang beragam dan diambil berdasarkan
analisis isu surat kabar Charlotte dan tayangan
berita malam di jaringan televisi CBS dan NBC
yakni, berkaitan dengan isu-isu kepentingan
seperti ditunjukkan tabel di atas. Data untuk
masa dua periode penelitian tersebut
kemudian diuji dengan teknik cross-lagged.
Penelitian menunjukkan hasil bahwa isu-isu
yang berpengaruh dari media hanya pada isu-
isu yang disajikan berita surat kabar saja
(Tamburak, 2013: 34).
Dari perbandingan teknik uji cross-
lagged tersebut, yang penting diperhatikan
adalah garis diagonal (persilangan) yang
menunjukkan adanya indikasi korelasi
kausalitas pada periode tertentu di bulan Juni
dan Oktober oleh pemilih terhadap isu-isu
kepentingan yang disajikan berita dalam surat
kabar Charlotte. Pertanyaannya, korelasi
manakah yang lebih besar?. Apakah korelasi
antara agenda surat kabar pada paruh waktu
pertama (1) dengan agenda pemilih paruh
waktu kedua (2) ataukah agenda surat kabar
pada paruh waktu kedua (2) dengan agenda
pemilih pada paruh waktu pertama (1)?.
Hasilnya menunjukkan isu-isu kepentingan
yang disajikan surat kabar Charlotte pada
bulan Juni sebagai agenda media paruh
pertama (1) memiliki korelasi kausalitas
dengan agenda pemilih pada paruh kedua (2)
di bulan Oktober. Hasil penilitian bukan hanya
membuktikan adanya hubungan, namun juga
menggambarkan adanya hubungan tersebut
secara jelas bahwa agenda media massa
memiliki pengaruh dalam membentuk agenda
publik (Tamburak, 2013: 35).
Di Indonesia, teori agenda setting kerap
digunakan (diuji) dalam penelitian-penelitian
untuk mengukur popularitas para kandidat
Presiden tiap kali menjelang pemilu presiden,
sejak tahun 2014 yang lalu. Lembaga survei
seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
selalu mempublikasikan hasil poolingnya yang
mengejutkan, sebab mengalami perbedaan
signifikan antara pooling pertama dengan
pooling berikutnya selama masa kampanye
(khususnya pemberitaan media), ini berarti
hipotesis fungsi agenda setting kembali teruji
(Hamdani, 2011: 223).
Selain itu juga, kasus pidato Anies
Baswedan setelah dilantik sebagai Gubernur
DKI Jakarta baru-baru ini menjadi kontroversi
yang tengah ramai diperbincangkan di media
sosial karena mencantumkan kata-kata
pribumi. Hal yang menjadi heboh di media
sosial adalah bagian pernyatan Anies yang
berbunyi “ dulu kita semua pribumi ditindas
dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini
saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Jangan sampai Jakarta ini seperti yang
dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam
singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang
mengerami.
Itu bunyi teks pidato yang dipegang
Anies, yang disampaikan langsung Anies agak
berbeda, ada sedikit penambahan kata-kata
menjadi berbunyi dan Jakarta ini satu dari
sedikit kota di Indonesia yang merasakan
kolonialisme dari dekat. Selama ratus tahun, di
SIMBOLIKA, 4 (1): 32-41.
39
tempat lain penjajahan mungkin tersa jauh.
Tapi di Jakarta, bagi orang Jakarta
kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan
sehari-hari, karena itu bila kita merdeka janji-
janji harus dilunaskan. Dulu kita semua,
pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah
merdeka, kini saatnya kita jadi tuan rumah di
negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini
seperti yang dituliskan dalam pepatah Madura
(Aghilfath 2017-10-17T11:57:27+07:00).
Dari kasus ini kita melihat bagaimana
proses agenda setting berjalan, bahwa media
massa mengarahkan “apa yang harus
dipikirkan” oleh publik melalui penonjolan
isu-isu (priming), dan membingkai (framing)
pesan-pesan media. Mengapa hal ini disebut
sebagai agenda setting, karena persoalan ini
diangkat oleh media massa maka isunya
menjadi nasional.
Kritik terhadap teori agenda setting ini
adalah bahwa opini yang muncul di antara
peneliti media adalah bahwa media tidak
selalu memiliki pengaruh kuat dalam agenda
masyarakat. Kekuasaan media bergantung
pada faktor-faktor, seperti kredibilitas media
terhadap isu-isu tertentu pada saat-saat
tertentu, tingkat pertentangan bukti yang
dirasakan oleh individu anggota masyarakat,
tingkat dimana individu berbagi nilai media
pada waktu-waktu tertentu, dan kebutuhan
masyarakat Littlejohn dan Foss, Teori, h. 417.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
sebelumnya bahwa terdapat dua agenda yang
menentukan berpengaruh atau tidaknya suatu
media kepada khalayak, yaitu agenda media
dan agenda publik itu sendiri.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut,
maka kritik terhadap teori agenda setting ini
sendiri sejalan dengan perkembangan zaman
dan fenomena masyarakat, sudah
bermunculan. Adalah McChomb dan Shaw
yang awalnya juga sebagai penggagas
munculnya teori agenda setting memberikan
kritik dengan menggambarkan bahwa
manusia adalah pasif sehingga dalam
mengendalikan lingkungannya agenda media
berpengaruh terhadap agenda masyarakat.
Jika dihubungkan dengan limited effect
theories, pengaruh media atas publik tidak
sebesar yang diperkirakan. Ada halangan yang
menghambat peran media atas publik, seperti
tingkat intelektualitas, pendidikan agama,
norma keluarga dan sebagainya.
Banyak kritik dilontarkan, yang
mempertanyakan dimanakah perbedaan
substansial antara efek media dimasa lalu
dengan aplikasi pendekatan agenda setting
dalam menjelsakan sifat danderajad efek
media terhadap audiens. Dalam model
tersebut, realita yang mengarah pada
hubungan timbal balik antara agenda media
dan agenda publik kurang mendapatkan
perhatian. Seringkali terlupakan bahwa
framing dan priming agenda media, dan
tingkat kemenonjolan (salience) isu/kejadian
pada agenda publik, merupakan proses tidak
berujung dan tidak berpangkal. Kurang
perhatian terhadap proses baik dalam bentuk
agenda media maupun menjelaskan mengapa
isu-isu tertentu, yang disiarkan oleh media
tertentu mempunyai pengaruh, bagi audiens
tertentu (Nuruddin, 2007: 198).
Respon terhadap kenyataan tersebut
adalah terjadinya perubahan orientasi dalam
studi agenda bahwa agenda setting bukan
hanya suatu gejala melainkan sebuah proses
yang berlangsung terus menerus (on going
process). Berdasarkan perspektif ini,
pemenuhan (coverage variabel dalam studi
agenda setting menjadi sangat luas, karena
melibatkan faktor-faktor yang merupakan
bagian dari proses terbentuknya agenda
media dan agenda publik dan sekaligus bisa
digunakan untuk menjelaskan mengapa efek
media sangat besar, kecil, atau tidak ada sama
sekali.
Kekuatan teori agenda setting adalah: 1)
Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu
masyarakat dan hal-hal lain melalui media,
mereka juga belajar sejauhmana pentingnya
suatu isu atau topik dari penegasan yang
diberikan oleh media massa. Misalnya, dalam
Elfi Yanti Ritonga, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi
40
merenungkan apa yang diucapkan kandidat
selama kampanye, media massa tampaknya
menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata
lain, media menentukan “acara”(agenda)
kampanye. 2) Dampak media massa,
kemampuan untuk menimbulkan perubahan
kognitif di antara individu-individu, telah
dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari
komunikasi massa. Di sinilah terletak dari efek
komunikasi yang terpenting, kemampuan
media untuk menstruktur dunia buat kita.
Tapi yang jelas agenda setting telah
membangkitkan kembali minat peneliti pada
efek komunikasi massa (Ritonga, 2011: 612).
Adapun kelemahan teori agenda setting
adalah 1) Mayoritas berita yang ditayangkan
hanya menguntungkan si pemilik modal.
Sebagai contoh, jika kita melihat beberapa
acara media massa seperti TV ONE dan Metro
TV, kesan-kesan masa kampanye pilpres 2014
masih cukup terasa, sehingga masyarakat juga
sangat terpengaruh dengan keadaan tersebut.
Masyarakat secara otomatis ada keengganan
untuk menonton saluran yang mereka anggap
tidak berpihak dengan keinginan mereka,
begitu juga dengan media cetak. 2) Selain dari
itu teori agenda setting ini juga berperan
bagaikan pengadilan. Karena teori ini
menganggap bahwa apa yang mereka
beritakan itu adalah sebuah kebenaran
padahal belum tentu seperti itu, sebab dalam
proses kerja teori ini tidak ada istilah
konfirmasi, yang ada hanya mendengarkan
dari sepihak. Padahal seyogyanya dalam
menyampaikan sebuah informasi media harus
bersikap netral sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam menentukan keputusan atau
pun kebijakan.
Bila kita melihat dengan kacamata Islam,
merupakan suatu keharusan bagi setiap
individu maupun masyarakat untuk
melakukan konfirmasi terhadap informasi
yang mereka terima, terlebih bila si
komunikator seorang yang kredibilitasnya
masih dipertanyakan (fasik). Hal ini secara
tegas dinyatakan Allah dalam firman-Nya Q.S
Al-Hujarat: 6.
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(Departemen Agama RI, 2005: 516).
SIMPULAN
Teori agenda setting pertama kali
dikemukakan oleh Walter Lippman pada
konsep “The World Outside and The Picture in
Our Head” yang sebelumnya telah menjadi
bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen
dalam konsep “The mass media may not be
successful in telling us what to think, but they
are stunningly successful in telling us what to
think about”. Penelitian empiris ini dilakukan
Maxwel E. McCombs dan Donald L. Shaw
ketika mereka meneliti pemilihan presiden
tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun
para ilmuan yang meneliti perilaku manusia
belum menemukan kekuatan media seperti
yang disinyalir oleh pandangan masyarakat
yang konvensional, belakangan ini mereka
menemukan cukup bukti bahwa para
penyunting dan penyiar memainkan peranan
yang penting dalam membentuk realitas sosial
kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan
tugas kesehariaan mereka dalam menonjolkan
berita. Khalayak bukan saja belajar tentang
isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui
media, mereka juga belajar sejauh mana
pentingnya suatu isu atau topik dari
penegasan yang diberikan oleh media massa.
Dua asumsi dasar yang paling mendasari
penelitian tentang penentuan agenda setting
adalah : 1) masyarakat pers dan mass media
tidak mencerminkan kenyataan, mereka
SIMBOLIKA, 4 (1): 32-41.
41
menyaring dan membentuk isu, 2) konsentrasi
media massa hanya pada beberapa masalah
masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu
yang lebih penting daripada isu-isu lain. Teori
agenda setting ini banyak dipakai dalam
penelitian oleh para peneliti yang ingin
mengukur pengaruh media bagi khalayak.
Kritik terhadap teori agenda setting ini sendiri
sejalan dengan perkembangan zaman dan
fenomena masyarakat, sudah bermunculan.
Adalah McChomb dan Shaw yang awalnya juga
sebagai penggagas munculnya teori agenda
setting memberikan kritik dengan
menggambarkan bahwa manusia adalah pasif
sehingga dalam mengendalikan
lingkungannya agenda media berpengaruh
terhadap agenda masyarakat. Jika
dihubungkan dengan limited effect theories,
pengaruh media atas publik tidak sebesar
yang diperkirakan. Ada halangan yang
menghambat peran media atas publik, seperti
tingkat intelektualitas, pendidikan agama,
norma keluarga dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, A., (2006), Ilmu Komunikasi; Sebuah
Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bungin, B., (2006), Sosiologi Komunikasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Departemen Agama RI, (2005), Alquran dan
Terjemahnya. Bandung: CV. Penerbit J-
ART.
Hamdani. (2011), Teori Agenda Setting. Teori
Komunikasi Massa. Medan: Cita Pustaka
Media Perintis.
Kholil, S.. (2007), Komunikasi Islami. Bandung:
Citapustaka Media.
Liliweri, A., (2011), Komunikasi: Serba Ada Serba
Makna. Jakartta: Kencana.
Lubis, S., (2007), Teori-teori Komunikasi (sebuah
konsepsi, Analisa dan Aplikasi) Medan.
Nuruddin. (2007), Pengantar Komunikasi Massa.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Quail, Mc D., (1987), Teori Komunikasi Massa.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Rahmat, J., (1993), Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sendjaja, S.D., (1993), Teori Komunikasi. Jakarta:
UT.
Stanley J.B., dan K. Dennis D., (2007), Teori
Komunikasi Massa (terj) Jakarta: Salemba
Humanika.
Littlejohn, S.W. dan Karen A.F., (2009), oleh
Mohammad Yusuf Hamdan, Theories of
Human Communications, 9 th ed Teori
Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Tamburak, A., (2013), Agenda Setting Media
Massa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
cet. 2.
Severin, W.J., & James W.T.,Jr., (2011), Teori
Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan
Di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana,
cet. 5.
Ritonga, H.J., (2011). Teori Agenda Setting. Jurnal
Akademika Volume II Nomor 6, Medan:
LPPI-SHA
aghilfath 2017-10-17T11:57:27+07:00.
http://blogilmukomunikasi.blogspot.co.id/2013/12
/teori-agenda-setting-
komunikasi.html,04.15
http://adiprakosa.blogspot.co.id/2013/01/teori-
agenda-setting_1823.html, 03.15